BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf ·...
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Analisa Hidrologi
Langkah awal dari setiap perencanaan bangunan air selalu didahului
dengan Analisa hidrologi, kemudian dimulai dengan pengujian data, menghitung
curah hujan maksimum dengan menggunakan uji data untuk mengetahui data
curah hujan yang akan digunakan konsisten atau tidak, jika tidak maka data
tersebut perlu disesuaikan.
2.1.1 Uji Konsistensi Data
Suatu data hujan memungkinkan sifatnya tidak konsisten. Data seperti ini
tidak dapat langsung digunakan untuk analisa, jadi sebelum data hujan tersebut
dipakai sebagai bahan analisa lebih lanjut maka harus dilakukan uji konsistensi.
Pada kasus ini akan digunakan kurva masa ganda yaitu pengujian antara salah
satu stasiun hujan dengan kumulatif dari stasiun disekitarnya. Langkah-langkah
untuk menghitung kurva masa ganda sebagai berikut :
1. Menghitung hujan tahunan untuk masing-masing stasiun.
2. Menghitung rerata hujan tahunan untuk stasiun pembanding.
3. Menghitung kumulatif dari rerata stasiun hujan pembanding.
4. Menghitung kumulatif untuk stasiun hujan yang akan di uji.
5. Melakukan penggambaran dalam bentuk sumbu X dan stasiun yang akan
di uji pada sumbu Y.
6. Selanjutnya melakukan analisis terhadap data dengan cara membuat garis
lurus pada diagram, apakah ada kemencengan. Jika terjadi kemencengan
maka perlu adanya koreksi terhadap pencatatan data hujan dengan cara
mengalikan koefisien (K) yang dihitung berdasarkan perbandingan
kemencengan sebelum mengalami perubahan (S1) dan setelah
perubahan (S2) atau K = S2/S1.
5
Gambar 2.1 Kurva Masa Ganda
2.1.2 Uji Homogenitas Data
Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai hasil pengamatan
atau pengukuran dapat disebut sama jenis (homogen) apabila data tersebut
diukur dari suatu resim (regine) yang tidak berubah. Data hidrologi disebut tak
sama jenis (non homogen) apabila setiap sub kelompok populasi ditandai dengan
perbedaan nilai rata-rata (mean) dan perbedaan varian (variance) terhadap sub
kelompok yang lain dalam populasi tersebut.
Banyak cara untuk menguji kesamaan jenis dari data hidrolog,
diantaranya analisi :
Grafis
Kurva masa ganda
Statistik
Diantara ketiga cara diatas, cara analitis statistik yang paling baik,
Karena memberikan hasil hasil yang pasti dalam menentukan kesamaan jenis.
(Soewarno, 1995:26).
V1 = ∑ (𝑛𝑘
)𝑘(𝑥𝑗 − 𝑥)2𝑛
𝑗=𝑙 ( 2 - 1 )
V2 = ∑ (𝑛𝑘
)𝑛(𝑥𝑖 − 𝑥)2𝑛
𝑖𝑖=𝑙 ( 2 – 2 )
6
V3 = ∑ (𝑛𝑘
)𝑛
𝑗=𝑙∑ (𝑛
𝑘)(𝑋𝑗𝑖 − 𝑥 − 𝑥𝑗 − 𝑥)2
𝑘
𝑖𝑖=𝑙 ( 2 – 3 )
Dimana :
V1 = Variasi diantara grup
V2 = Variasi diantara kelas
V3 = Kesalahan residu
Xj = 1/𝑘 ∑ (𝑛𝑘
)Xi𝑘
𝑖=𝑙 ( 2 – 4 )
Xi = 1/𝑛 ∑ (𝑛𝑘
)Xj𝑛
𝑖=𝑗 ( 2 – 5 )
Xi = 𝑖/𝑛 ∑ (𝑛𝑘
)𝑘
𝑖=𝑙∑ (𝑛
𝑘)Xji
𝑛
𝑖=𝑗 ( 2 – 6 )
Xj = Rata-rata grup
Xi = Rata-rata kelas
X = Rata-rata total
Uji F dapat dihitung dengan rumus :
F1 = 𝑉1 ( 𝑛−1 )
𝑉3 ( 2 – 7 )
Dengan derajat kebebasan, 𝑑𝑘1 = (n-1) dan 𝑑𝑘2 = (k-1)(n-1)
F2 = 𝑉2 ( 𝑘−1 )
𝑉3 ( 2 – 8 )
Dengan derajat kebebasan, 𝑑𝑘1 = (k-1) dan 𝑑𝑘2 = (k-1)(n-1)
Pengambilan keputusan :
Nilai F dihitung berdasarkan rumus-rumus ( 2 – 7 ) dan ( 2 – 8 ),
dibandingkan dengan nilai Fc dari table 2.1. jika nilai F < Fc maka hipotesis nol
diterima dan jika F > Fc maka hipotesis nol ditolak dan harus menerima
hipotesis alternatif.
7
2.1.3 Uji Abnormalitas Data
Data yang telah konsisten kemudian perlu diuji lagi dengan uji
abnormalitas yaitu untuk mengetahui apakah data maksimum dan data minimum
dari rangkaian data yang ada layak digunakan atau tidak.
Untuk pemeriksaan uji abnormalitas digunakan cara iwai. Adapun
persamaan dapat dituliskan sebagai berikut :
Log Xo = 1/𝑛 ∑ (𝑛𝑘
)log Xi𝑛
𝑖=𝑗 ( 2 – 9 )
b = 1/𝑚 ∑ (𝑛𝑘
)bi𝑛
𝑖=𝑗 ( 2 – 10 )
m ∞ n / 10 ( 2 – 11 )
bi = 𝑋𝑠 ( 𝑋𝑡−𝑋𝑜 )
2.𝑋𝑜−(𝑋𝑠+𝑋𝑡) ( 2 – 12 )
Xo = 1
𝑛∑ (𝑛
𝑘)(log(Xi
𝑛
𝑖=𝑙+ 𝑏) ( 2 – 13 )
X2 = 1
𝑛∑ (𝑛
𝑘)(log(Xi
𝑛
𝑖=𝑙+ 𝑏))2(2 − 11) ( 2 – 14 )
Log (Xi + b) = log (Xo + b) ± Ye . Sx ( 2 – 15 )
𝑆𝑥 = √𝑋2 − √𝑋𝑜2 ( 2 – 16 )
εo = 1 – (1 – βo)1/n ( 2 – 17 )
Dimana ;
Xs = Harga pengamatan dengan nomor urut m yang terbesar
Xt = Harga pengamatan dengan nomor urut m dari yang terkecil
N = Banyaknya data
Xo = Harga yang diuji abnormalitasnya
8
Ye = Koefisien yang sesuai dengan derajat normalitas e
βo = Taraf signifikan, biasanya diambil 5 %
Tabel 2.1 Uji Abnormalitas
N-1 Derajat Abnormalitas
Sepihak
25 % 12,5 % 5 % 2,5 % 1,25 % 0,5 % 0,25 % 0,05 %
20 0,721 1,243 1,809 2,188 2,541 2,984 3,307 4,038
22 0,717 1,234 1,794 2,166 2,512 2,944 3,257 2,961
24 0,713 1,227 1,781 2,148 2,489 2,911 3,217 3,898
26 0,710 1,221 1,770 2,133 2,469 2,884 3,183 3,847
28 0,707 1,216 1,761 2,120 2,452 2,860 3,154 3,803
30 0,705 1,212 1,753 2,110 2,437 2,840 3,129 3,766
Tabel 2.2 Harga dari Limit Untuk Penyingkiran
5 % 1 %
N
18 0,285 % 0,056 %
20 0,256 % 0,049 %
22 0,233 % 0,046 %
24 0,214 % 0,042 %
26 0,197 % 0,039 %
28 0,183 % 0,036 %
30 0,171 % 0,034 %
Sumber MMA. Shahin
2.1.4 Data Curah Hujan
Data curah hujan didapatkan dari stasiun – stasiun penakar hujan yang
ada disekitar rencana proyek yang didapatkan dari stasiun pencatat hujan
Gembong, Tanjungrejo dan Rahtawu selama 20 tahun terhitung sejak tahun 1996
sampai 2016. Curah hujan yang diperlukan untuk menyusun suatu rancangan
pemanfaatan air dan rancangan pengendali banjir menggunakan data curah hujan
rata – rata stasiun. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah dan dinyatakan
dalam satuan millimeter (mm).
9
Dan di dalam pengerjaannya dimulai dengan pengujian data menghitung
curah hujan maksimum dan dengan menggunakan uji data curah hujan yang
akan kita gunakan konsisten atau tidak, jika tidak data tersebut perlu
disesuaikan.
2.1.5 Curah Hujan Harian Maksimum
Curah hujan yang diperlukan untuk menyusun suatu rancangan
pemanfaatan air dan rancangan pengendali banjir menggunakan curah data hujan
rata –rata stasiun. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah dan dinyatakan
dalam millimeter (mm).
Ada beberapa cara dalam menentukan tinggi curah hujan rata – rata
daerah (Soemarto, CD, Hidrologi Teknik 1987:37)
1. Cara Rata – Rata Aljabar
Dengan memperhitungkan perbedaan tinggi curah hujan antara stasiun
satu dengan stasiun lainnya tidak jauh berbeda. Cara ini didapatkan
dengan mengambil harga rata – rata hitung dari penakaran hujan dalam
area tersebut.
d = ∑ (𝑑1𝑛
) =𝑑1+ 𝑑2+⋯..+𝑑𝑛
𝑛
𝑛
𝑖=𝑖𝑛 ( 2 – 18 )
Dimana :
d = Tinggi curah hujanrata – rata area
n = Banyaknya pos penakar
d1, d2,………….dn = tinggi curah hujan pada pos penakaran 1,2,3,…n
2. Cara Thiessen
Jika titik – titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata
maka cara perhitungan curah hujan rata – rata itu dilakukan dengan
memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan. Curah hujan di
daerah itu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
drata-rata = W1 . d1 + W2 . d2 + .........+ Wn . dn ( 2 – 19 )
W1, W2,..... Wn = 𝐴1
𝐴,
𝐴12
𝐴, … …
𝐴𝑛
𝐴 ( 2 – 20 )
Dimana :
10
drata – rata = Curah hujan daerah
d1, d2,………….dn = Curah hujan tiap titik pengamatan
A1, A2,………….An = Bagian yang mewakili tiap titik pengamatan
W = Perbandingan dari daerah atau polygon
Gambar 2.2. Thiessen Polygon
3. Cara Kerja Isohyet
Cara ini adalah cara rasional terbaik jika garis – garis isohyet dapat
digambarkan dengan teliti. Akan tetapijika titik pengamatan itu banyak
dan variasi curah hujan yang bersangkutan besar maka, pada pembuatan
peta isohyet terdapat kesalahan. Curah hujan daerah ini dapat dihitung
dengan rumus berikut :
drata – rata = 𝐴1 . 𝑅1+ 𝐴2 . 𝑅2+⋯….+ 𝐴𝑛 . 𝑅𝑛
𝐴1+ 𝐴2+⋯…..+𝐴𝑛 ( 2 – 21 )
Dimana :
Drata – rata = Curah hujan daerah
A1, A2,………….An = Luas bagian – bagian antara garis – garis isohyet
R1, R2,………….Rn = curah hujan rata – rata pada bagian – bagian
Gambar 2.3 Peta Isohyet
11
2.1.6 Curah Hujan Rancangan
Curah hujan rancangan adalah suatu data tentang curah hujan
terbesar dengan suatu periode ulang tertentu, adapun pemilihan metode
analisis hujan rancangan tersebut sangat tergantung dari kesesuaian
parameter statistic data yang bersangkutan atau dipilih berdasarkan
pertimbangan – pertimbangan sebagai berikut :
1. Analisa frekuensi curah hujan rata – rata.
2. Pemilihan metode untuk mendapatkan curah hujan rancangan
berdasarkan analisa frekuensi.
3. Uji kesesuain frekuensi dengan Smirnov – Kolmogorov.
2.1.6.1 Analisa Frekuensi
Dimaksudkan untuk menentukan jens distribusi yang sesuai dalam
menentukan curah hujan rencana. Pemilihan jenis distribusi curah hujan
didasarkan pada nilai koefisien variasi, koefisien asimetri, koefisien
kurtosis yang didapat dari table parameter ( Soemarto,CD,1987:224 ).
1. Koefisien Asimetris (Cs)
Cs =
𝑛 ∑ (𝑛𝑘)(xi−x
𝑛
𝑖=𝑙)3
(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆3 ( 2 – 22 )
Dimana :
n = jumlah sample
2. Koefisien Variasi (Cv)
Cv = 𝑆𝑑
𝑥 ( 2 – 23 )
Sd = √(𝑥𝑖−𝑥)2
𝑛−1 ( 2 – 24 )
12
3. Koefisien Kepuncakan / Kurtosis (Ck)
Ck = 𝑛2 . 𝛴 (𝑥𝑖−𝑥)4
(𝑛−1).(𝑛−2).(𝑛−3).𝑆𝑑4 ( 2 – 25 )
Syarat – syarat analisa frekuensi untuk pemakaian distribusi curah hujan :
1. Jika koefisien asimetri / kepuncakan (Cs) = 0, koefisien kurtosis /
kepencengan (Ck) = 3, maka dipakai distribusi normal.
P (X) = 1
𝑆𝑑√2𝜋𝑒
(𝑥𝑖−𝑥)
2.𝑠𝑑√2𝜋 ( 2 – 26 )
2. Jika Cs = 3, Ck = 3 Cv, maka dipakai distribusi log normal
P (X) = 1
𝑆𝑑√2𝜋𝑒𝑘𝑠{−
1
2(
𝑙𝑛.𝑋−𝑋𝑛
𝑆𝑑𝑛)2 (x > 0) ( 2 – 27 )
3. Jika Cs = 1,1396, Ck = 5,4002, maka dipakai Distribusi Gumbel
XT = 1
(𝑎. 𝑌𝑡)+𝑏 ( 2 – 28 )
Dimana :
1/a = Sd / Sn ( 2 – 29 )
b = X - 𝑌𝑛 . 𝑆𝑑
𝑆𝑛 ( 2 – 30 )
S = √(𝑥𝑖−𝑥)2
𝑛−1 ( 2 – 31 )
Dimana ;
Xr = Curah hujan harian maksimum dengan periode ulang T (mm)
X = Rata – rata curah hujan harian maksimum (mm)
S = Simpangan baku
Sn = Reduced standart, tergantung dari besarnya n
Yn = Reduced mean, tergantung dari besarnya n
Yt = Reduced variate
= In [ - In ( ( Tr – 1 ) /Tr) ]
13
4. Jika Cs = bebas, Ck = bebas, maka dipakai Distribusi Log Pearson III
a. Mengubah data curah hujan rata – rata tahunan sebanyak n buah
X1, X2,………….Xn menjadi log X1, log X2,………..log Xn ( 2 – 32 )
b. Harga rata – rata, dengan :
Log X = 𝛴 log 𝑋𝑖
𝑛 ( 2 – 33 )
c. Simpangan baku, dengan :
S log x = √√(𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖−𝑙𝑜𝑔𝑥)2
𝑛−1 ( 2 – 34 )
d. Koefisien kepencengan dengan rumus :
Cs =
𝑛 ∑ (𝑛𝑘)(log xi−log x)2
(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆 log 𝑥3 ( 2 – 35 )
e. Dihitung logaritma curah hujan rencana dengan kala ulang tertentu
didapat dengan persamaan :
Log Xr = log XG . S log x ( 2 – 36 )
Dimana :
G = didapat dari table Log Pearson Type II Distribution
f. Curah hujan rencana dengan periode ulang tertentu dicari anti log
dari log Xr ( 2 – 37 )
2.1.6.2 Pemeriksaan Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi ( Log Pearson III )
Pemeriksaan uji kesesuaian ini dimaksudkan untuk mengetahui suatu
kebenaran hipotesa distribusi frekuensi. Untuk mengadakan pemeriksaan uji data
terlebih dahulu harus diadakan ploting data dari hasil pengamatan pada kertas
probabilitas dan garis durasi yang sesuai, yaitu sebagai berikut :
(Subarkah, Imam, 1986:117).
1. Data curah hujan maksimum harian rata – rata tiap tahun dari kecil ke besar
atau sebaliknya.
2. Probabilitas dihitung dengan persamaan Weibull, yaitu :
P = (m / ( n + 1 )) x 100 % ( 2 – 38 )
14
Dimana :
P = Probabilitas (%)
m = Nomor urut data dari kecil ke besar
n = Banyaknya data
3. Plot data curah hujan Xi dengan probabilitas
4. Plot persamaan teoritis, kemudian dengan mensubstitusikan dua harga Yt,
maka dapat ditarik durasi garis durasi.
5. Hasil posisi ploting dibandingkan dengan posisi ploting cara teoritis
kemudian lewat titik – titik yang dihitung dihubungkan satu sama lain
sehingga merupakan garis lurus.
Untuk mengontrol perbedaanyang timbul antara cara teoritis dan garis
empiris digunakan cara Smirnov – Kolmogorov.
2.1.5.3 Uji Chi Kuadrat
Uji chi kuadrat digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal
apakah distribusi pengamatan dapat diterima oleh distribusi teoritis. Perhitungan
dengan menggunakan persamaan (Shahin,1976:186).
((𝑋2)𝐻𝑖𝑡 = ∑ (𝑛𝑘
)(𝐸𝐹−𝑂𝐹)2
𝐸𝐹
𝑘
𝑖=𝑙 ( 2 – 39 )
Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus :
Dk = k – ( P + 1 ) ( 2 – 40 )
Dimana :
OF = Nilai yang diamati (observed frequency)
EF = Nilai yang diharapkan (expected frequency)
k = Jumlah kelas distribusi
n = Banyaknya data
Dk = Derajat kebebasan (nilai kritis didapat dari tabel)
P = Banyaknya parameter sebaran Chi Kuadrat (ditetapkan = 2)
Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 <
X2Cr. Harga X2
Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikasi α dengan
derajat kebebasannya (level of significant).
15
Tabel 2.3 Harga Chi-Square (X2) untuk Chi-Square Test
Kurva Distribusi X2
Harga-harga (Xn,a)2 untuk beberapa harga n
dan dengan Pr (X2 > (Xn,a)2 = α disajikan
dalam tabel.
X2
0,200 0,100 0,05 0,01 0,001
1 1,642 2,706 3,841 6,635 10,827
2 3,219 4,605 5,991 9,210 13,815
3 4,642 6,251 7,815 11,345 16,268
4 5,989 7,779 9,488 13,227 18,465
5 7,289 9,236 11,070 15,086 20,517
6 8,558 10,645 12,592 16,812 22,457
7 9,803 12,017 14,067 18,475 24,322
8 11,030 13,362 15,507 20,090 26,125
9 12,242 14,987 16,919 21,666 27,877
10 13,442 15,987 18,307 23,209 29,588
11 14,631 17,275 19,675 24,725 31,264
12 15,812 18,549 21,026 26,217 32,909
13 16,985 19,812 22,362 27,688 34,528
14 18,151 21,064 23,685 29,141 36,123
15 19,311 22,307 24,996 30,578 37,697
16 20,465 23,542 26,296 32,000 39,252
17 21,615 24,769 27,587 33,409 40,790
18 22,760 24,769 28,869 34,805 42,312
19 23,900 27,204 30,144 36,191 43,820
20 25,038 28,412 31,410 37,566 45,315
Sumber : M.M.A. Shahin, Statistical Analysis in Hidrology, volume 2, edisi
1976, Delf Netherland
16
2.1.6.4 Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji Smirnov-Kolmogorov digunakan untuk mengontrol perbedaan yang
timbul antara cara teoritis dan garis empiris. Data grafik ploting curah hujan
diperoleh nilai ∆ maksimum antara distribusi dan empiris (∆ maks)
(Soewarno,1995:199).
∆ maks = (Pe – Pt) (2-41)
Dimana :
∆ maks = Selisih data probabilitas teori dan empiris
Pe = Peluang empiris
Pt = Peluang teoritis
Bila ∆ maks < ∆ Cr maka pemilihan distribusi frekuensi tersebut diterima.
Tabel 2.4. Harga kritis (∆ Cr)
α
n 0,200 0,100 0,050 0,010
5 0,450 0,510 0,560 0,670
10 0,320 0,370 0,410 0,490
15 0,270 0,300 0,340 0,400
20 0,230 0,260 0,290 0,360
25 0,210 0,240 0,270 0,320
30 0,190 0,220 0,240 0,290
35 0,180 0,200 0,230 0,270
40 0,170 0,190 0,210 0,250
45 0,160 0,180 0,200 0,240
50 0,150 0,170 0,190 0,230
n > 50 1,07
𝑛0,5
1,22
𝑛0,5
1,36
𝑛0,5
1,63
𝑛0,5
Sumber : M.M.A. Shahin, Statistical Analysis in Hidrology, volume 2, edisi
1976, Delf Netherland
17
2.1.7 Curah Hujan Harian Maksimum yang Mungkin Terjadi (PMP)
Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi didefinisikan sebagai
tinggi tersebar tujuan dengan durasi tertentu yang secara meteorologi
dimungkinkan bagi suatu daerah pengaliran dalam suatu waktu dalam tahun.
Tanpa adanya kelonggaran yang dibuat untuk trend klimatologi jangka panjang.
Salah satu cara yang dapat digunakan adalah pendekatan statistik yang mana
metode ini mempunyai rumus sebagai berikut :
Xm = X + Km . Sn ( 2 – 42 )
Dimana :
Xm = Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi
X = Harga rata – rata dari data
Sn = Standart deviasi data
Km = Variabel statistik yang dipengaruhi oleh distribusi frekuensi
nilai – nilai ekstrim
2.1.8 Distribusi Curah Hujan
Untuk mentransformasi curah hujan rancangan menjadi debit banjir
rancangan diperlukan curah hujan jam – jaman. Pada umumnya data hujan yang
tersedia pada stasiun meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang
tercatat secara komulatif selama 24 jam (Sosrodarsono,Suyono,19876:145).
RT = 𝑅24
24 (
24
𝑡)2/3 ( 2 – 43 )
Curah hujan pada jam ke – t :
RT = (t . Rt) – {(t – 1) . R . (t – 1)} ( 2 – 44 )
Dimana :
Rt = Rata – rata hujan sampai jam ke – t (mm/jam)
RT = Curah hujan pada jam ke – t (mm)
T = Lama hujan awal sampai akhir jam ke – t (jam)
R24 = Hujan sehari yang menyebabkan limpasan langsung (mm)
2.1.8.1 Distribusi Curah Hujan Jam – Jaman
Pola pembagian hujan terpusat dianggap 5 jam setiap harinya (di
Indonesia biasanya berkisar antara 4 – 7 jam sehari).
18
Pembagian curah hujan jamnya dihitung dengan persamaan sebagai
berikut (Sosrodarsono,Suyono,1976:146).
a. Rata – rata curah hujan sampai jam ke – t
RT = 𝑅𝑜 . (𝑇𝑡)
2/3 ( 2 – 45 )
Dimana :
RT = Rata – rata hujan awal sampai jam ke – t (mm)
Ro = Hujan harian rata – rata
Ro = 𝑅24
𝑇 ( 2 – 46 )
𝑅24 = Jumlah hujan sehari
t = Waktu hujan dari awal sampai jam ke – t
T = Lamanya turun hujan dalam sehari (jam)
b. Curah hujan pada jam ke – T
Persamaan :
RT = (t . Rt) – {(t – 1) . R . (t – 1)} ( 2 – 47 )
Dimana :
Rt = Rata – rata hujan sampai ke – T (mm)
RT = Curah hujan pada jam ke – T (mm)
T = Lama hujan awal sampai akhir jam ke – T (mm)
R (t – 1) = Rata – rata hujan dari awal sampai ke (t-1)
2.1.8.2 Curah Hujan Netto
Hujan netto atau hujan efektif adalah bagian hujan total yang
menghasilkan limpasan langsung. Limpasan langsung itu terdiri atas limpasan
permukaan dan interflow (air yang masuk ke dalam lapisan tipis di bawah tanah
dengan permeabilitas rendah yang keluar lagi di tempat yang lebih rendah dan
berubah menjadi limpasan permukaan). Dengan menganggap bahwa proses
tranpormasi hujan menjadi limpasan langsung mengikuri proses linier dan tidak
berubah oleh waktu, maka akan menghitung hujan netto dipakai persamaan
sebagai berikut (Sosrodarsono,Suyono,1976:146).
19
Rn = f . Rmaks ( 2 – 48 )
Dimana :
Rn = Hujan netto
Rmaks = Curah hujan total
f = Koefisien pengaliran
2.1.9 Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran digunakan untuk menentukan besarnya hujan
efektif dimana besarnya hujan efektif dan distribusinya akan menentukan
hidrograf aliran sungai. Untuk koefisien didasarkan atas rumus dari ilmuan
Jepang Dr. Kawakami yang mengemukakan bahwa untuk sungai tertentu,
koefisien itu tidak tetap, tetapi berbeda – beda tergantung dari curah hujannya
(Sosrodarsono,Suyono,1976:145).
f = 1 – ( R’ / Rt ) = 1 = f’ ( 2 – 49 )
Dimana :
f = Koefisien pengaliran
f’ = Laju kehilangan = ϒ / RtS
Rt = Jumlah curah hujan (mm)
R’ = Kehilangan curah hujan (mm)
ϒ , S = Tetapan
Tabel 2.5. Rumus Koefisien Limpasan (Koefisien Pengaliran) Rerata di
Sungai-Sungai
No Daerah Kondisi sungai Curah Hujan Rumus Koefisien
Pengaliran Rata – Rata
1 Bagian Hulu f = 1 – 15,7/Rt3/4
2 Bagian Tengah Sungai Biasa Rt > 200 mm f = 1 – 5,65/Rt1/2
3 Bagian Tengah Sungai di Zona
Lava Rt < 200 mm f = 1 – 7,2/Rt1/2
4 Bagian Tengah f = 1 – 3,14/Rt1/3
5 Bagian Hilir f = 1 – 6,6/Rt1/2
Sumber : Suyono Sosrodarsono, 1976:146
20
2.2.10 Aliran Dasar (Base Flow)
Secara umum hidrograf tersusun dari dua kompone, yaitu aliran
permukaan yang berasal dari aliran langsung air hujan dan aliran dasar. Aliran
dasar berasal dari air tanah yang tidak memberikan respon yang cepat terhadap
hujan. Sedangkan aliran permukaan berasal dari hujan efektif.
Dalam pembahasan ini debit pengamatan di lokasi tidak diketahui, maka
aliran dasar juga dapat diperoleh dengan persamaan debit aliran dasar dengan
variabel luas DAS dan kerapatan jaringan sungai. Dengan rumus sebagai berikut
(Sriharto, 1993:168).
Panjang semua orde sungai (LN) = km
Luas Das Logung (A) = km2
Kerapatan Jaringan Kuras (D) = km/km2
D = LN /A
QB = 0,4751 x A0,6444 x D0,9430
2.1.11 Hidrograf Satuan Sintetik
Untuk mendapatkan suatu banjir rencana dari hujan dapat dipakai cara
dengan mentransformasikan hidrograf hujan menjadi hidrograf aliran sungai,
untuk itu dipakai hidrograf satuan. Yang dimaksud hidrograf satuan adalah
hidrograf aliran langsung yang dihasilkan dari hujan efektif setinggi rata – rata 1
mm tersebar merata didaerah alirannya dengan suatu laju seragam selama suatu
periode atau waktu tertentu (Tr).
Adapun persamaan hidrograf satuan sintetik Dr. Nakayasu adalah
(Soemarto,CD,1987:168).
Qp = 𝐶 . 𝐴 . 𝑅0
3,6(0,3 .𝑇𝑝+ 𝑇0,3) ( 2 – 50 )
Dimana :
Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)
A = Luas daerah pengaliran (km2)
Ro = Hujan satuan
21
Tp = Tenggang waktu dari permukaan hujan sampai puncak banjir
(jam)
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak
sampai menjadi 30 % dari debit puncak (jam)
Bagian lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan (lihat gambar 2.1)
mempunyai persamaan :
Qa = Qp (𝑡
𝑇𝑝)2,4 ( 2 – 51 )
Dimana :
Qa = Limpasan sebelum mencapai debit puncak
T = Waktu (jam)
Gambar 2.4 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
Bagian lengkung turun (decreasing limb) :
Qd > 0,3 . Qp : Qd . 0,3𝑡−𝑇𝑝
𝑇0,3 ( 2 – 52 )
0,3 . Qp > Qd > 0,32 Qp : Qd = Qp . 0,3𝑡−𝑇𝑝+0,5 .𝑇0,3
2.𝑇0,3 ( 2 – 53 )
0,32 . Qp > Qd : Qd = Qp . 0,3𝑡−𝑇𝑝+1,5 .𝑇0,3
2.𝑇0,3 ( 2 – 54 )
Tenggang waktu Tp = tg + 0,8 tr ( 2 – 55 )
Dimana untuk :
L < 15 Km Tg = 0,21 . L0,7 ( 2 – 56 )
L > 15 Km Tg = 0,4 + 0,058 . L ( 2 – 57 )
22
Dimana :
L = Panjang alur sungai
Tg = Waktu konsentrasi
Tr = 0,5 tg sampai tg (jam)
T0,3 = α tg (jam)
Dimana :
Untuk daerah pengaliran α= 2
Untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun cepat α =
1,5
Untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang
lambat α = 3
2.2 Analisa Hidrolika
2.2.1 Kapasitas Pengaliran Melalui Pelimpah
Bila fasilitas pengeluarannya berupa bangunan pelimpah bebas, maka
debit yang keluar (outflow) dari pelimpah dirumuskansebagai berikut :
Untuk menentukan debit yang lewat diatas ambang pelimpah dihitung
dengan persamaan berikut (Sosrodarsono,Suyono,1977:181).
Q = C . L . H3/2 ( 2 – 58 )
Dimana :
Q = Debit yang melalui pelimpah (m3/detik)
C = Koefisien limpasan bangunan pelimpah
L = Lebar efektif ambang pelimpah (m)
H = Total tinggi tekanan air diatas mercu pelimpah (m)
2.2.2. Koefisien Limpasan (C)
Koefisien limpasan pada bendungan biasanya berkisar 2,0 sampai 2,1
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :
1. Kedalaman air didalam saluran pengarah aliran
2. Kemiringan lereng untuk bendung
23
3. Tinggi air diatas mercu bendung
4. Perbedaan antara tinggi air rencana pada saluran pengatur aliran yang
bersangkutan
Koefisien limpasan (C) suatu pelimpah dapat diperoleh dengan
menggunakan sebuah rumus dari Iwasaki sebagaimana tertera berikut :
(Sosrodarsono,Suyono,1977,182)
Cd = 2,200 – 0,0416 ( Hd / w )0,99 ( 2 – 59 )
C = 1,6 x 1+2.𝑎(
ℎ
𝐻𝑑)
1+𝑎(ℎ
𝐻𝑑)
( 2 – 60 )
Dimana :
C = Koefisien limpasan
Cd = Koefisien limpasan pada saat h = Hd
H = Tinggi air diatas mercu pelimpah (m)
Hd = Tinggi tekanan rencana diatas mercu (m)
W = Tinggi pelimpah (m)
a = Konstanta (diperoleh pada saat h = Hd dan c = cd)
2.2.3. Panjang Efektif Pelimpah
Pada saat terjadi limpahan air melintasi mercu pelimpah maka terjadi
konstraksi aliran baik pada kedua dinding samping pelimpah maupun disekitar
pilar – pilar yang dibangun diatas mercu pelimpah tersebut, sehingga secara
hidrolis lebar efektif suatu pelimpah akan lebih kecil dari seluruh panjang
pelimpah yang sebenarnya.
Rumus yang dipakai untuk menghitung panjang pelimpah dalam hal ini
adalah rumus yang dikembangkan oleh civil engineering departement US. Army
sebagai berikut (Sosrodarsono,Suyono,1977:183).
L = L’ – 2 ( N . Kp + Ka ) H ( 2 – 61 )
Dimana :
L = Panjang efektif pelimpah (m)
24
L’ = Panjang dinding sesungguhnya (m)
N = Jumlah pilar – pilar diatas mercu pelimpah
Kp = Koefisien konstruksi pilar
Ka = Koefisien konstruksi pada dinding samping
H = Tinggi tekanan total diatas mercu pelimpah (m)
2.2.4. Penelusuran Banjir Lewat Waduk
Hidrograf banjir dapat diketahui lewat suatu bagian panjang sungai atau
lewat sebuah waduk. Penelusuran banjir lewat waduk dipergunakan untuk
mendapatkan hubungan antara outflow dari pelimpah dengan muka elevasi muka
air waduk. Pada prinsipnya penelusuran banjir pada waduk berdasarkan
kontiunitas sebagai berikut (Soemarto,1986,176).
I – Q = 𝑑𝑠
𝑑𝑡 ( 2 – 62 )
Kalau periode penelusurannya diubah dari dt menjadi ∆t maka :
I = 𝐼1 + 𝐼2
2 ; Q =
𝑄1 + 𝑄2
2 ; ds = S2 – S1 ( 2 – 63 )
𝐼1 + 𝐼2
2 +
𝑄1 + 𝑄2
2 = S2 – S1 ( 2 – 64 )
𝐼1 + 𝐼2
2∆𝑡 + 𝑆1 −
𝑄12
∆𝑡 = 𝑆2 −𝑄22
∆𝑡 ( 2 – 65 )
𝐼1 + 𝐼2
2 + (
𝑆1
∆𝑡−
𝑄1
2) = (
𝑆2
∆𝑡−
𝑄2
2) ( 2 – 66 )
Jika ( 𝑆1
∆𝑡−
𝑄1
2) = ψ dan (
𝑆2
∆𝑡−
𝑄2
2) = φ ( 2 – 67 )
Maka : 𝐼1 + 𝐼2
2 + ψ = φ ( 2 – 68 )
Dimana :
I1 = Inflow pada awal ∆t
I2 = Inflow pada akhir ∆t
Q1 = Outflow pada awal ∆t
Q2 = Outflow pada awal ∆t
S1 = Tampungan pada awal ∆t
25
S2 = Tampungan pada akhir ∆t
∆t = Periode penelusuran banjir (3600 detik)
Penelusuran banjir dilakukan dengan menganggap bahwa muka air
waduk pada waktu banjir tiba (original level) berada setinggi mercu pelimpah.
2.2.5 Bentuk Ambang Pelimpah
Bentuk ambang pelimpah direncanakan menggunakan metode yang
dikembangkan oleh C.E.D.U.S Army. Metode yang dipakai untuk menentukan
bentuk penampang sebelah hilir dari titik tertinggi mercu pelimpah adalah
lengkung Harold (Sosrodarsono,Suyono,1977:18).
X1,85 = 2 . Hd0,85 . Y ( 2 – 69 )
Dimana :
Hd = Tinggi tekanan rencana
X = Jarak horizontal dari titik tertinggi mercu bendung ke titik di
permukaan mercu disebelah hilirnya
Y = Jarak vertikal dari titik tertinggi mercu bendung ke titik di
mercu disebelah hilirnya
Sedangkan untuk profil di bagian hulu dapat diperoleh dengan persamaan :
X1 = 0,282 . Hd ( 2 – 70 )
X3 = 0,175 . Hd ( 2 – 71 )
R1 = 0,5 . Hd ( 2 – 72 )
R1 = 0,2 . Hd ( 2 – 73 )
26
Gambar 2.5 Bentuk Ambang Pelimpah Tipe Ogee
2.2.6. Penentuan Tinggi Muka Air pada Ambang Pelimpah
Untuk menentukan tinggi muka air pada ambang pelimpah digunakan
rumus (Chow Ven Te,1985:378).
Vz = √2𝑔(𝑧 + 𝐻𝑑 − 𝑌𝑧 ( 2 – 74 )
𝑄
𝐿 = Vz . Yz ( 2 – 75 )
Fz = 𝑉𝑧
√𝑔 .𝑌𝑧 ( 2 – 76 )
√2𝑔( 𝑧 + 𝐻𝑑 − 𝑌𝑧 - 𝑄
𝑌𝑧 .𝐿 = 0 ( 2 – 77 )
Dimana :
Q = Debit banjir rencana (m3/dt)
L = Len=bar pelimpah (m)
Vz = Kecepatan pada titik sejauh z (m/dt)
Yz = Kedalaman air pada titik sejauh z (m)
Z = Tinggi pelimpah dihitung dari mercu pelimpah sampai dengan
lereng hilir pelimpah (m)
Fz = Bilangan Froude pada titik sejauh z
Hd = Tinggi kecepatan disebelah hulu (m)
Adapun langkah perhitungan sebagai berikut :
27
a. Dengan mengambil harga z
b. Dengan metode coba banding, kemudian harga tersebut dimasukan ke
persamaan diatas
c. Dicari persamaan Yz dan Vz
d. Elevasi Lereng Spillway = elevasi puncak spillway – Yz
e. Elevasi muka air = Elevasi lereng spillway + Yz
2.2.7 Saluran Samping
Saluran samping merupakan saluran yang terletak pada akhir saluran
pengatur, dalam saluran samping akan terjadi suatu proses peredaman energi
karena terjadi benturan sesama masa air dan gesekan di antara molekul-molekul
air, sehingga saluran tersebut akan menerima beban hidrodinamis berupa
hempasan aliran air dan gaya-gaya.
Dalam perhitungan bentuk hidrodinamis pelimpah samping, dicari suatu
bentuk yang memberikan keuntungan baik dari segi bentuk hidrolik maupun dari
segi biaya konstruksi. Metode yang digunakan untuk menentukan bentuk yang
optimal adalah dengan menggunakan metode kombinasi “a” dan “n” yang
diambil dari rumus Julian Hinds. Rumus dasar dari J. Hinds adalah sebagai
berikut :
𝑄𝑥 = 𝑞 . 𝑥 ( 2-78 )
𝑣 = 𝑎 . 𝑥𝑛 ( 2-79 )
𝑦 =( (𝑛 + 1)/𝑛) x ℎ𝑣 ( 2-80 )
dengan:
Qx = debit pada titik x (m3/dt)
Q = debit per unit lebar yang melintasi bendung pengatur (m2/dt)
X = jarak antara tepi udik bendung dengan suatu titik pada mercu bendung
tersebut (m)
V = kecepatan rerata aliran air di dalam saluran samping pada suatu titik
tertentu (m/dt)
A = koefisien yang berhubungan dengan kecepatan aliran air di dalam
saluran samping
28
N = exponen untuk kecepatan aliran air di dalam saluran samping (antara
0,4 s/d 0,8)
Y = perbedaan elevasi antara mercu bendung dengan permukaan di dalam
saluran samping pada bidang Ax yang melalui titik tersebut di atas.
Hv = tinggi tekanan kecepatan aliran (hv = v2/2g)
Bentuk penampang lintang saluran samping dan kecepatan aliran serta
permukaan air yang terdapat di dalamnya dapat dihitung sengan Rumus (2-78)
s/d (2-80). Untuk memudahkan perhitungan dapat pula dipergunakan diagram
seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Diagram penentuan penampang lintang saluran samping
Sumber : Sosrodarsono (1977:193)
29
1. Pemilihan kombinasi yang sesuai untuk angka koefisien “a” dan “n”.
Angka “a” dan “n” pada rumus di atas dicari dalam kombinasi sedemikian rupa,
sehingga di satu pihak biaya konstruksi menjadi ekonomis dan juga mempunyai
bentuk hidrolis yang menguntungkan. Angka “a” dan “n” yang paling
menguntungkan dapat diperoleh dengan beberapa metode. Berikut ini
diperkenalkan 3 metode yang lazim digunakan sebagai berikut :
a. Metode pertama
Dengan cara penentuan beberapa harga “a” dan “n” secara sembarang
(sistem coba banding). Berdasarkan angka yang telah diambil langsung dihitung
volume kontruksi secara kasar. Walaupun perhitungan ini pada hakekatnya
hanya didasarkan pada volume konstruksi akan tetapi angka-angka “a” dan “n”
yang paling cocok tersebut supaya disesuaikan dengan peninjauan setempat
dimana saluran samping tersebut akan didirikan.
b. Metode kedua
Andaikan kecepatan aliran air dapat dihubungkan langsung dengan
rumus 𝑣=𝑎.𝑥𝑛, maka kedalaman air dalam saluran tersebut disesuaikan dengan
bentuk yang diandaikan dengan demikian harga Q dan n, mungkin mempunyai
persesuaian dengan rumus sebagai berikut :
A3/T= ((𝑛+1) / 𝑛) . (Q2/g) ( 2-81 )
dengan:
A = penampang basah saluran samping (m)
T = lebar permukaan air (m)
Q = debit (Q3/dtk)
n = exponent untuk kecepatan aliran
Perhitungan dilakukan dengan system coba banding, dari perhitungan tersebut di
atas, maka angka “a” akan didapatkan dengan mudah.
c. Metode ketiga
Pada hakekatnya besarnya biaya konstruksi suatu bangunan pelimpah
tergantung dari besarnya volume galian yang harus dilaksanakan pada saluran
peluncurnya. Sedang pemilihan kombinasi angka “a” dan “n” hanya ditujukan
untuk pemilihan bentuk penampang lintang dari ujung hilir saluran samping.
30
Dengan Rumus (2-9) untuk ujung hilir saluran samping, maka berbagai bentuk
penampang lintangnya yang didasarkan pada berbagai harga “n” dapat
digambarkan dan dengan demikian akan didapatkan angka “n” yang paling
menguntungkan dan dengan demikian angka “a” sebagai kombinasi untuk “n”
mudah diperoleh.
2. Penyesuaian bentuk dasar saluran samping.
Apabila bentuk penampang memanjang dasar saluran dibuat berdasarkan
hasil perhitungan yang merupakan garis lengkung seperti yang tertera pada
Gambar 2.10., maka pelaksanaan konstruksinya akan cukup sulit. Untuk
menghindari kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan tersebut, maka bentuk
penampang memanjang dasar saluran harus disesuaikan, yaitu dengan merubah
dasar saluran dari hasil perhitungan yang berbentuk garis lengkung menjadi
garis lurus. Penyesuaian dilakukan dengan menghubungkan ujung hilir garis
lengkung dengan titik yang terletak antara 1/3 s/d 1/10 dari panjang bendung,
dan diukurkan dari ujung udik garis lengkung tersebut. Kemiringan dasar untuk
saluran samping di buat I ≤ 1/13, dengan angka Froude < 0,5 dianjurkan 0,44
(Anonim, 1999:21). Penyesuian bentuk, elevasi serta kemiringan dasar dari
saluran samping agar tidak menimbulkan perubahan yang terlalu besar pada
rezim hidrolika aliran airnya.
Gambar 2.7 Penyesuaian dasar saluran samping
Sumber : Sosrodarsono (1977:198)
31
3. Perhitungan profil muka air pada saluran samping
Perhitungan permukaan air pada pelimpah samping tergantung pada
persamaan pergerakan aliran, dengan meninjau dua buah penampang melintang
saluran dengan jarak sependek mungkin. Momentum pada ujung hulu
ditambahkan dengan kenaikan momentum yang timbul sepanjang jarak
potongan tersebut akan sama dengan momentum dibagian ujung dari potongan
hilir, sehingga persamaannya digambarkan sebagai berikut :
∆ℎ = 𝑄1
𝑔 𝑥
(𝑉1 + 𝑉2)
(𝑄1 + 𝑄2) 𝑥 (∆𝑉) + (
𝑞. 𝑉2. ∆𝑥
𝑄 )
( 2 – 82 )
dengan:
Δℎ = kenaikan tinggi air pada jarak Δ𝑥
Q1 = debit dipotongan bagian hilir
Q2 = debit dipotongan bagian hulu
V1 = kecepatan rata-rata dipotongan bagian hilir
V2 = kecepatan rata-rata dipotongan bagian hulu
q = debit persatuan lebar (m3/dt/m)
Δ𝑉 = V1-V2
g = percepatan gravitasi (m2/dt)
Proses perhitungan dilakukan dari hilir sampai hulu. Ada metode
perhitungan dimana kehilangan geseran dapat diperhitungkan namun pengaruh
terhadap kehilangan geser dapat ditiadakan karena getaran muka air pada saluran
sangat turbulen.
2.2.8 Saluran Transisi
Saluran transisi direncanakan agar debit banjir rencana yang dialirkan
tidak menimbulkan air terhenti (back water), bagian hilir saluran dan memberi
kondisi paling menguntungkan, baik pada aliran dalam saluran transisi tersebut
maupun pada aliran yang menuju ke saluran peluncur.
Perencanaan ini didasarkan pada rumus Bernaulli
(Sosrodarsono,Suyono,1977:204).
32
-Z + Y1 + 𝑉1
2
2𝑔 = Zc + Yc + 𝛼
𝑉𝑐2
2𝑔 + K
𝑉12−𝑉𝑐
2
2𝑔 ( 2 – 83 )
Dimana :
Z1 = Elevasi dasar saluran transisi hulu = elevasi dasar hilir mercu
pelimpah (m)
Y1 = Kedalaman aliran yang masuk pada saluran transisi (m)
V1 = Kecepatan aliran di hulu saluran transisi (m/dt)
Z2 = Elevasi dasar saluran transisi hilir (m)
Yc = Kedalaman aliran di hilir saluran transisi (m)
he = Kehilangan energi akibat pusaran
he = k . (𝑉1
2− 𝑉𝑐 2)
2 .𝑔 ( 2 – 84 )
k = Koefisien kehilangan tinggi tekanan akibat perubahan penampang
lintang saluran transisi ( 0,1 – 0,2 )
hf = Kehilangan energi akibat gesekan (m)
Yc dan Vc dalam kondisi kritis (F = 1 )
2.2.9 Saluran Peluncur
Dalam merencanakan saluran peluncur (floodway) harus memenuhi
persyaratan (Sosrodarsono,Suyono,1977:205).
Agar air yang melimpah dari saluran peluncur mengalir dengan lancar
tanpa hambatan – hambata hidrolis.
Agar konstruksi saluran peluncur cukup kukuh dan stabil dalam
menampung semua beban yang timbul.
Agar biaya konstruksi diusahakan seekonomis mungkin.
Guna memenuhi persyaratan tersebut maka harus diperhatikan :
1. Diusahakan agar tampak atasnya selurus mungkin.
2. Penampang lintang saluran peluncur sebagai patokan supaya diambil
bentuk persegi empat.
33
3. Kemiringan dasar saluran diusahakan sedemikian rupa sehingga pada
bagian hulu berlereng landai dan kearah hilir semakin curam.
4. Biasanya saluran yang tertutup (berbentuk terowongan) kurang sesuai
untuk saluran peluncur.
2.2.9.1 Analisa Hidrolika Saluran Peluncur
Rencana teknis saluran peluncur didasarkan pada perhitungan hidrolika
untuk memperoleh gambaran kondisi pengaliran melalui saluran tersebut pada
debit tertentu. Metode yang dipakai untuk mendapatkan garis permukaan aliran
didalam saluran peluncur didasarkan pada sebuah teori dari ilmuan terkemuka
yaitu Bernaulli (Sosrodarsono,Suyono,1977:207).
Z1 + Y1 + α 𝑉1
2
2𝑔 = Z2 + Y2 + α
𝑉22
2𝑔 + hf ( 2 – 85 )
he1 = α1 𝑉2
2
2𝑔− α1
𝑉12
2𝑔 +
n2 .v2
𝑅3/4 x ∆L ( 2 – 86 )
he2 = d1 . d2 + ∆L . tan ϕ ( 2 – 87 )
hl = n2 .v2
𝑅3/4 x ∆L ( 2 – 88 )
Untuk rumus manning :
Sf = 𝑉2.𝑛2
𝑅4/3 ( 2 – 89 )
Hf = Sf . ∆x ( 2 – 90 )
Dimana :
Y1 . 2 = Kedalaman air di bidang 1 dan 2
V1 . 2 = Kecepatan aliran di bidang 1 dan 2 (m/dt)
Z1 . 2 = Tinggi dasar saluran dari garis persamaan potongan 1 dan 2 (m)
𝛼 = Koefisien aliran (coriolis)
Φ = Sudut kemiringan dasar saluran
Sf = Kemiringan garis energi
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
hf = kehilangan tekanan karena gesekan (m)
34
he = Perbedaan elevasi muka air potongan 1 dan 2 (m)
n = Koefisien kekasaran manning
R = Jari – jari hidrolis (m)
∆x = Jarak horizontal antara bidang 1 dan 2 (m)
Gambar 2.8 Skema Aliran Air Pada Saluran Peluncuran
2.2.9.2 Kemiringan Dasar Saluran Peluncur
Untuk memperoleh bentuk lengkungan dasar saluran peluncur digunakan
rumus (Sosrodarsono,Suyono,1989:211).
Y = X . tan θ + 𝑘.𝑋2
4.𝐻𝑣.𝐶𝑜𝑠 𝜃 ( 2 – 91 )
S = tan θ + 𝑘.𝑋
2.𝐻𝑣.𝐶𝑜𝑠2 𝜃 ( 2 – 92 )
Dimana :
Y = Sumbu vertikal
X = Sumbu horizontal
S = Kemiringan bagian lengkung dasar pada titik x
θ = Sudut kemiringan dasar saluran pada titik awal lengkungan
k = Koefisien yang didasarkan pada gaya gravitasi (biasanya k ≤ 0,5)
Hv = Tinggi tekanan kecepatan pada titik awal lengkungan dasar
35
2.2.10 Tinggi Jagaan
Tinggi jagaan (free board) pada bangunan pelimpah direncanakan untuk
dapat menghindari terjadinya limpasan, pada kemungkinan elevasi permukaan
aliran air yang paling tinggi, ditambah tinggi ombak dan benda terapung yang
terdapat pada aliran tersebut.
Untuk memperoleh tinggi jagaan pada bangunan pelimpah yang
berlereng curam, maka digunakanlah rumus untuk menghitung sebagai berikut
(Sosrodarsono,Suyono,1977:227).
Fb = 0,6 + 0,0037 . Vd1/3 ( 2 – 93 )
Atau
Fb = C . V .d1/2 ( 2 – 94 )
Dimana :
Fb = Tinggi jagaan (m)
V = Kecepatan aliran (m/dt)
d = Kedalaman air di saluran (m)
C = 0,1 untuk saluran segi empat dan 0,3 untuk saluran penampang
trapesium
2.2.11 Peredam Energi
Sebelum aliran yang melintasi bangunan pelimpah dikembalikan lagi ke
dalam sungai, maka aliran yang tinggi dalam kondisi super-kritis tersebut harus
diperlambat atau diubah pada kondisi sub-kritis.
Disesuaikan dengan type bendungan urugan, kondisi topografi serta
sistem kerjanya, maka peredam energi untuk bendungan urugan antara lain :
1. Tipe Loncatan (Water Jump Type)
Peredam energi tipe loncatan biasanya dibuat untuk sungai-sungai yang
dangkal (dengan kedalaman yang lebih kecil dibandingkan kedalaman
loncatan hidrolis aliran di ujung udik peredam energi). Tetapi tipe ini
hanya cocok untuk sungai dengan dasar alur yang kokoh.
36
2. Tipe Kolam Olakan (Stilling Basin Type)
Tipe ini memiliki blok-blok saluran tajam (gigi pemencar) di ujung hulu.
Yang paling sering digunakan dari tipe ini adalah kolam olakan datar
yang selanjutnya dibedakan menjadi 4 macam berdasarkan regime
hidrolika aliran dan kondisi konstruksinya.
Kolam Olakan Datar USBR I
Digunakan untuk debit yang kecil dengan kapasitas peredaman
energi yang kecil pula dan kolam olakannya berdimensi kecil. Tipe
ini biasanya dibangun untuk suatu kondisi yang tidak
memungkinkan pembuatan perlengkapan-perlengkapan lainnya pada
kolam olakan tersebut.
Kolam Olakan Datar Dengan USBR II
Tipe ini memiliki blok-blok saluran tajam di ujung hulu
atau sering disebut gigi-gigi pemencar aliran di pinggir hulu dasar
kolam untuk lebih meningkatkan efektifitas peredaman dan ambang
bergerigi di pinggir hilir sebagai penstabil loncatan hidrolis. Kolam
olakan tipe ini digunakan untuk alirang dengan tekanan hidrostatis
yang tinggi dan dengan debit besar (q = 45 m3/dt/m, tekanan
hidrostatis > 60 m dan bilangan Froude > 4,5)
Kolam Olakan Datar USBR III
Dipasang gigi pemencar di ujung hulu, pada dasar ruang olak.
Prinsip kerja kolam olakan ini sangat mirip dengan sistem kerja
kolam olakan datar tipe II, tetapi lebih sesuai untuk mengalirkan air
dengan tekanan hidrostatis yang rendah dan debit yang agak kecil 9q
< 18,5 m3/dt/m, V < m3/dt dan bilangan Froude > 4,5)
Kolam Olakan Datar USBR IV
Dipasang gigi pemencar di ujung hulu dan hilir dibuat perata aliran.
Sistem kerjanya sama dengan kolam olakan tipe III, tetapi
penggunaannya lebih cocok untuk aliran dengan tekanan hidrostatis
yang rendah dan debit yang besar per unit lebar (Bilangan Froude
37
antara 2,5 sampai dengan 4,5). Biasanya tipe ini digunakan pada
bangunan pelimpah suatu embung urugan yang sangat rendah.
3. Tipe Bak Pusaran (Roller Bucket Type)
Peredam energi tipe bak pusaran adalah bangunan peredam energi yang
terdapat di dalam aliran air dengan proses pergesekan antara
molekul=molekul air akibat adanya pusaran vertikal di dalam kolam.
Biasanya bak pusaran ini membutuhkan pondasi batuan yang kukuh dan
air yang terdapat di hilirnya cukup dalam.
2.3 Analisa Stabilitas Konstruksi
Kokohnya suatu bangunan selain ditentukan oleh konstruksi sendiri juga
ditentukan oleh kekuatan tanah dasar yang harus mampu menahan bangunannya.
2.3.1 Analisa Pembebanan
Perhitungan pembebanan dalam analisa stabilitas bangunan pelimpah
didasarkan pada kombinasi berbagai gaya yang bekerja pada bangunan tersebut
antara lain :
2.3.1.1 Tekanan Air
Persamaan yang digunakan dalam perhitungan adalah (KP.06,1986:25).
a. Tekanan Air Statis
Pw = 1
2 . ϒw . H2 ( 2 – 95 )
Dimana :
Pw = Tekanan air statis (t.m-2)
ϒw = Berat jenis air (t.m-3)
H = Kedalaman air (m)
b. Tekanan Air Dinamis
Pd = 7
12 . γw . KH . H2
2 (1 – Z1,5) ( 2- 96 )
Y = H2 ( 1 - 3
5 .
1− 𝑍2,5
1− 𝑍1,5 ) ( 2- 97 )
Dimana :
38
Pd = Tekanan air dinamis (t.m-2)
KH = Koefisien gempa
H1 = Tinggi air diatas mercu pelimpah (m)
H2 = Tinggi air dari dasar (m)
Z = Rasio perbandingan untuk H1 / H2
Y = Jarak terhadap pusat tekanan (m)
c. Berat air
W = ϒw . V ( 2 – 98 )
Dimana :
W = Berat air (ton)
V = Volume air (m3)
ϒw = Berat jenis air (t.m-3)
2.3.1.2 Berat Sendiri Bangunan
Yang menghasilkan gaya vertikal
W1 + W2 + W3 + .........+ Wn ( 2 – 99 )
W = V . ϒb ( 2 – 100 )
Dimana :
W = Berat bangunan (ton)
V = Volume bangunan (m3)
ϒb = Berat jenis bangunan (t.m-3)
Gaya akibat pengaruh gempa (gaya horizontal) :
Persamaan yang digunakan adalah :
We = W . KH ( 2 – 101 )
Dimana :
We = Gaya akibat pengaruh gempa (horizontal) (t.m-2)
W = Berat sendiri bangunan (ton)
KH = Koefisien gempa horizontal
39
2.3.1.3 Tekanan Tanah
Persamaan yang digunakan
1. Tekanan Tanah Aktif
Pa = 1
2 . Ka . ϒ ( H2 – Zo2 ) – 2 . C ( √𝐾𝑎 )( H – Zo ) ( 2 – 102 )
Dimana :
Pa = Tekanan tanah aktif (t.m-2)
ϒ = Berat volume tanah (t.m-3)
H = Tinggi tanah (m)
Zo = Kedalaman dari 2 C (Ka)0,5 = 2 . C / ( ϒ . √𝐾𝑎 ) (m)
C = Kohesi tanah
Ka = Koefisien tekanan tanah aktif
2. Tekanan Tanah Pasif
Pa = 1
2 . Kp . ϒ . H2 + 2 . C . H . √𝐾𝑝 ( 2 – 103 )
Dimana :
Pp = Tekanan tanah pasif (t.m-2)
Kp = Koefisien tekanan tanah pasif
2.3.1.4 Gaya Tekan ke Atas (Uplift)
Untuk menghitung gaya tekan ke atas digunakan persamaan
(KP.06>1986:29).
Px = Hx - 𝐿𝑥
𝑑𝐿 . ∆H ( 2 – 104 )
Dimana :
Px = Gaya angkat di titik x (t.m-2)
L = Panjang total bidang kontak bangunan dan tanah bawah (m)
Lx = Jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai ke x (m)
∆H = Beda tinggi energi (m)
40
2.3.1.5 Daya dukung Ijin Tanah
Persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut
(Sosrodarsono,Suyono,1994:33)
Σijin = 𝑞𝑢𝑙𝑡
𝐹𝑠 ( 2 – 105 )
qult = α . C . Nc + β . B . Nϒ + ϒ . Df . Nq ( 2 – 106 )
dimana :
qult = Daya dukung batas tanah (t.m-2)
σ = Daya dukung tanah yang diijinkan (t.m-2)
Fs = Faktor keamanan
Α,β = Faktor bentuk pondasi
Df = Kedalaman pondasi (m)
ϒ = Berat jenis tanah (t.m-3)
B = Lebar pondasi (m)
Nc = Koefisien daya dukung tanah berdasarkan sudut geser dalam
Nϒ = Koefisien daya dukung tanah berdasarkan sudut geser dalam
Nq = Koefisien daya dukung tanah berdasarkan sudut geser dalam
Tabel 2.6. Koefisien Daya Dukung dari Terzaghi
α Nc Nq Nϒ
0 ͦ 5,71 1,00 0
5 ͦ 7,32 1,64 0
10 ͦ 9,64 2,7 1,2
15 ͦ 12,8 4,44 2,4
20 ͦ 17,7 7,43 4,6
Sumber : Suyono S, Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi, 1994:32
Tabel 2.7. Faktor Bentuk Pondasi
Faktor
Bentuk
Bentuk Pondasi
Menerus Bujur sangkar Persegi Lingkaran
α 1,0 1,3 1,0 + 0,3 (B/L) 1,3
β 0,5 0,4 0,5 – 0,1 (B/L) 0,3
B = Sisi pendek
L = Sisi panjang
Sumber : Suyono S, Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi, 1994:33
41
2.3.2. Analisa Stabilitas
Dalam analisa stabilitas ini maka kontrol stabilitas bangunan yang perlu
diperhatikan adalah :
1. Stabilitas Guling
2. Stabilitas geser
3. Stabilitas terhadap daya dukung tanah
2.3.2.1 Stabilitas Terhadap Guling
Rumus – rumus yang digunakan untuk mengontrol stabilitas guling adalah
(Sosrodarsono,Suyono,1977:86).
Keadaan normal : Sf = 𝑀𝑡
𝑀𝑔 > 1,5 ( 2 – 107 )
Keadaan gempa : Sf = 𝑀𝑡
𝑀𝑔 > 1,1 ( 2 – 108 )
Dimana :
Sf = Angka keamanan
Mt = Momen tahanan (t.m)
Mg = Momen guling (t.m)
2.3.2.2 Stabilitas Terhadap Geser
Rumus untuk mengontrol stabilitas terhadap geser adalah
(Sosrodarsono,Suyono,1977:86).
Keadaan normal
Sf = 𝐶 .𝐴′𝛴𝑉 tan 𝜃
𝛴𝐻 > 1,5 ( 2 – 109 )
Keadaan gempa
Sf = 𝐶 .𝐴′𝛴𝑉 tan 𝜃
𝛴𝐻 > 1,1 ( 2 – 110 )
Dimana :
Sf = angka keamanan
ΣV = Jumlah gaya vertikal (ton)
ΣH = Jumlah gaya horizonal (ton)
C = Kohesi antara tanah dasar pondasi dengan tanah
42
A’ = Luas pembebanan efektif (m2)
Θ = Sudut geser tanah
2.3.2.3 Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah
Rumus untuk menghitung daya dukung tanah adalah
(Sosrodarsono,Suyono,1977:86).
a. Jika titik tangkap gaya resultan terletak di dalam batas 1/3 dari tepi dasar
masing-masing sisi :
𝜎 = 𝛴𝑉
𝐿.𝐵 ( 1 +
6.𝑒
𝐵) < 𝜏 ( 2 – 111 )
e = 𝛴𝑀𝑣− 𝛴𝑀ℎ
𝛴𝑉 =
𝐿
2 < 1/6 L ( 2 – 112 )
Dimana :
σ = Besarnya daya dukung tanah (t/m2)
e = Resultan gaya atau eksentrisitas pembebanan
Mv = Momen akibat gaya vertikal (t.m)
Mh = Momen akibat gaya horizontal (t.m)
B = Lebar pondasi (m)
L = Panjang pondasi (m)
Τ = Tegangan ijin (t/m2)
b. Jika titik tangkap gaya resultan terletak diluar batas 1/3 dari tepi dasar
masing-masing sisi (diluar inti dari pondasi)
e > L/6 ( 2 – 113 )
τmaks = 2𝛴𝑉
𝐿𝑋 ( 2 – 114 )
dimana :
L = Lebar (m)
X = Lebar manfaat dari kerja reaksi dasar pondasi = 3 ( B/2 – e )