BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Agresivitas 2.1.1 Pengertian...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Agresivitas 2.1.1 Pengertian...
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Agresivitas
2.1.1 Pengertian Agresivitas
Buss & Perry (1992) menyatakan agresivitas adalah segala bentuk
perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik
maupun mental. Perilaku agresi yang diukur adalah berupa bentuk agresi fisik
dan agresi verbal. Berkowitz (1995) mendefinisikan agresi sebagai segala
bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara
fisik maupun mental. Chaplin (1981) menyebutkan bahwa aggression
(agresi,penyerangan, serangan) merupakan satu serangan atau serbuan,
tindakan permusuhan yang ditujukan pada seseorang atau benda. Menurut
Adler (dalam Chaplin 1981) agresi merupakan perwujudan kemauan untuk
berkuasa dan menguasai orang lain.
Baron dan Richardson (Krahe,2005) mengusulkan penggunaan istilah
agresi untuk mendiskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk
menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari
perilaku itu. Motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah keinginan menyakiti
orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, seperti pada
agresi permusuhan atau keinginan untuk mencapai tujuan yang diinginkan
melalui tindakan agresif.
9
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah
segala bentuk perilaku yang tidak menyenangkan (aversive) yang mencakup
ketidaknyamanan, rasa sakit, serangan personal baik fisik maupun verbal.
2.1.2 Aspek-aspek Agresivitas
Buss dan Perry (1992) menyatakan bahwa ada empat aspek perilaku
agresif yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan dan permusuhan :
a) Agresi fisik adalah perilaku yang bertujuan untuk menyerang,
melukai dan melanggar hak orang yang dilakukan secra fisik.
b) Agresi verbal adalah perilaku yang bertujuan untuk menyerang,
melukai dan melanggar hak orang lain berupa perkataan atau
percakapan.
c) Kemarahan adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh
sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman, agresi
lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau
frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada system syaraf
otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik, dan
secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang
bersifat somatic atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.
d) Permusuhan adalah kecenderungan ingin menimbulkan kerugian,
kejahatan, gangguan atau kekerasan pada orang-orang lain dan
kecenderungan melontarkan ras kemarahan pada orang lain.
10
2.1.3 Bentuk-bentuk Perilaku Agresif
Byrne (dalam Kisworowati, 1992) membedakan agresi menjadi dua yaitu
agresi fisik yang dilakukan dengan cara melukai atau menyakiti badan dan
agresi verbal yaitu agresi yang dilakukan dengan mengucapkan kata-kata
kotor atau kasar.
Pendapat lain kemukakan oleh Buss & Perry (dalam Ekapeni, 2001)
yang menyatakan adanya delapan perilaku agresif yaitu:
a. Agresi fisik aktif yang dilakukan secara langsung misalnya menusuk,
memukul, mencubit.
b. Agresi fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya
menjebak untuk mencelakakan orang lain.
c. Agresi verbal aktif yang dilakukan secara langsung misalnya menolak
melakukan sesuatu.
d. Agresi verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalny mencaci
maki orang lain.
e. Agresi verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya
menyebarkan gosip tidak baik tentang orang lain.
f. Agresi verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalnya tidak
mau bicara dengan orang lain.
g. Agresi verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya
diam saja meskipun tidak setuju.
11
Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa bentuk-
bentuk perilakau agresif verbal atau fisik terhadap objek yang dilakukan
langsung atau tidak langsung dengan intensitas secara pasif atau aktif.
2.1.4 Faktor Penyebab Perilaku Agresi
Buss & Perry (dalam Anderson & Bushman, 2002) menyatakan bahwa
secara umum perilaku agresif dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor
personal dan faktor situasional. Faktor personal meliputi karakter bawaan
individu yang menentukan reaksi individu tersebut ketika menghadapi situasi
tertentu. Sementara itu, faktor situasional mencakup fitur-fitur atau hal-hal
yang terjadi di lingkungan yang juga mempengaruhi reaksi individu terhadap
suatu peristiwa. Dengan kata lain, faktor personal adalah faktor yang berasal
dari dalam diri individu, sedangkan faktor situasional adalah faktor yang
berasal dari luar individu. Kedua faktor tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Faktor Personal
a) Sifat
Sifat-sifat tertentu dapat menyebabkan seseorang lebih agresif dari
orang lain. Misalnya, individu yang memiliki sifat pencemburu akan lebih
agresif.
b) Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan perilaku agresif
yang berbeda. Laki-laki terbukti lebih banyak terlibat tindakan agresif
12
dibanding perempuan, dan pilihan agresi antara laki-laki dan perempuan
terbukti berbeda. Perempuan lebih memilih agresi tidak langsung,
sementara laki-laki lebih banyak terlibat pada tindak agresi langsung.
c) Keyakinan
Individu yang memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu melakukan
tindakan agresif lebih mungkin memilih melakukan tindakan agresif
ketimbang individu yang tidak yakin bahwa dirinya dapat melakukan
tindakan agresif.
d) Sikap
Sikap adalah evaluasi umum seseorang terhadap diri mereka sendiri,
orang lain, objek-objek ataupun isu-isu tertentu. Sikap positif terhadap
perilaku agresif terbukti mempersiapkan individu untuk melakukan
tindakan agresif. Sebaliknya, sikap negatif terhadap perilaku agresif
terbukti mencegah seseorang untuk melakukan tindakan agresif.
e) Nilai
Nilai adalah keyakinan mengenai apa yang harus dan sebaiknya
dilakukan. Nilai yang dianut seseorang mempengaruhi keputusannya untuk
melakukan perilaku agresif. Contohnya, orang yang menganut nilai bahwa
kekerasan diperbolehkan untuk mengatasi konflik interpersonal lebih
berperilaku agresif untuk menyelesaikan konflik yang dihadapinya.
f) Tujuan Jangka Panjang
Tujuan hidup jangka panjang juga mempengaruhi kesiapan individu
untuk terlibat dalam perilaku agresif. Misalnya, tujuan beberapa anggota
13
geng adalah untuk dihormati dan dihargai. Tujuan ini mewarnai persepsi,
nilai-nilai, dan keyakinan anggota geng mengenai pantas tidaknya
melakukan suatu tindakan tertentu, dan akhirnya mempengaruhi keputusan
anggota geng untuk terlibat dalam perilaku agresif.
1 Faktor Situasional
a) Petunjuk untuk Melakukan Tindakan Agresif (Aggressive Cues)
Aggressive Cues adalah objek yang menimbulkan konsep-
konsep yang berhubungan dengan agresi dalam memori. Contohnya,
ketika seseorang dihadapkan pada sebuah senjata api, maka akan lebih
agresif dibandingkan ketika dihadapkan dengan sebuah raket. Selain
senjata api, objek lain yang termasuk dalam kategori ini adalah
eksposur pada tayangan bermuatan kekerasan di televisi, film, dan
video games.
b) Provokasi
Faktor situasional lain yang sangat penting pengaruhnya
terhadap perilaku agresif adalah provokasi. Provokasi mencakup
hinaan, ejekan, sindiran kasar serta bentuk agresi verbal lainnya, agresi
fisik, gangguan-gangguan yang menghambat pencapaian suatu tujuan
dan sejenisnya. Karyawan yang mendapatkan provokasi untuk
mempersiapkan bahwa ia dapat perlakuan yang tidak adil terbukti lebih
agresif di tempat kerjanya.
14
c) Frustasi
Frustasi terjadi ketika individu menemui hambatan untuk mencapai
tujuan. Seseorang yang mengalami frustasi terbukti lebih agresif terhadap
agen yang menyebabkan terhalangnya pencapaian tujuan, ataupun pada
pihak-pihak yang sebenarnya tidak bertanggungjawab atas gagalnya
pencapaian tujuan. Selain itu, individu yang mengalami frustasi juga
terbukti melampiaskan rasa frustasinya dengan menyerang benda-benda
yang ada di sekitarnya.
d) Rasa Sakit dan Ketidaknyamanan
Kondisi-kondisi fisik lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan
dapat meningkatkan perilaku agresif. Lingkungan yang bising, terlalu
panas, ataupun berbau tidak sedap terbukti meningkatkan perilaku agresif.
e) Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan atau zat-zat tertentu seperti kafein ataupun
alkohol dapat meningkatkan perilaku agresif secara tidak langsung.
Individu yang berada di bawah pengaruh zat-zat seperti alkohol ataupun zat
psikotropika lainnya, lebih mudah terprovokasi, merasa frustasi, ataupun
menangkap petunjuk untuk melakukan kekerasan dibanding individu yang
tidak menggunakan zat-zat tersebut.
f) Intensif
Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk selalu
menginginkan lebih banyak hal. Maka dari itu, ada banyak objek yang
dapat digunakan sebagai intensif yang diberikan pada seseorang untuk
15
melakukan tindakan agresif. Perilaku agresif dapat dimediasi dengan
memberikan imbalan berupa hal yang dianggap berharga oleh pelaku.
Misal, penggunaan uang dapat memancing individu untuk melakukan
tindakan kekerasan.
2.2 Kecerdasan Emosional
2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Reuven Baron (dalam Goleman, 2000) berpendapat bahwa kecerdasan
emosional adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang
mempengaruhi seseorang untuk berhasil dalam mengatasi hambatan dan
tekanan lingkungan. Salovey dan Mayer (Goleman, 1997) mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai kemempuan untuk mengenali perasaan, meraih
dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan
dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehinnga
membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Bar-On (Hooper, 2000;Sumardjono dkk, 2008) mengartikan kecerdasan
emosional sebagai pendiskripsian estimatik dari hasil pengukuran perilaku
kompetensi emosional dan sosial. Shapiro (dalam Sumardjono dkk, 2008)
kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku
moral, cara berfikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi
diri, dan keberhasilan baik secara akademik maupun pekerjaan. Secapramana
(1999; dalam Sumardjono dkk, 2008) mengemukakan kecerdasan emosional
merupakan kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi
16
agar seseorang mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang
merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.
Kesimpulannya bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan
yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan
emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan
yang baik dengan orang lain, pemecahan masalah, serta berpikir realistis
sehingga mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang
merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.
2.2.2 Unsur-unsur dalam Kecerdasan Emosional
Salovey (Uno, 2006; Sumardjono dkk, 2008) mendeskripsikan
kemampuan kecerdasan emosioanal menjadi 5 wilayah utama, yaitu:
1. Mengenali emosi diri :
Intinya adalah kesadaran diri, yaitu ,mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi. Kemampuan mengenali diri sendiri merupakan
kemampuan dasar dari kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah perhatian
terus menerus terhadap keadaan batin seseorang. Dalam kesadran refleksi diri
ini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman, termasuk emosi. Ketidak
mampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya menandakan orang
berada dalam kekuasaan emosi.
17
2. Mengelola emosi :
Kemampuan mengelola emosi yaitu menanganiperasaan agar terungkap
dengan tepat. Kecakapan ini bergantung pada kesadaran diri pula. Mengelola
emosi berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat yang
timbul karena kegagalan ketrampilan emosi dasar. Orang yang buruk
kemampuannya dalam ketrampilan ini terus menerus bertarung melawan rasa
murung, orang yang pintar akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat.
Kemampuan mengelola emosi meliputi : kemampuan penguasaan diri dan
kemapuan menenangkan diri kembali.
3. Memotivasi diri sendiri :
Kemampuan menata emosi, yaitu alat untuk mencapai tujuan dalam
kaitan memberi perhatian yang sangat penting untuk memotivasi diri, berkreasi
dan menguasai diri. Orang yang memiliki kemampuan ini cenderung lebih
produktif dan efektif dalam berbagai bidang kegiatan yang dikerjakan.
Kemampuan ini didasari kemampuan megendalikan emosi, yaitu dengan
menahan diri terhadap kepuasaan dan mengendalikan dorongan hati.
Kemampuan ini memungkinkan orang menyesuaikan diri dalam tuntutan
berkreasi yang berlangsung di tempat kerja sambil mengendalikan dorongan
hati, kekuatan berfikir positif dan bersikap optimis.
4. Mengenali emosi orang lain :
Kemampuan ini disebut dengan istilah empati, yaitu kemampuan yang
juga bertanggung pada kesadran diri emosional, yang merupakan ketrampilan
18
dasar dalam bergaul. Kemampuan berempati, yaitu mengetahui perasaan orang
lain ikut berperan dalam perjuangan hidup. Orang yang empatik mampu
menangkap sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang
dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain.
5. Membina hubungan dengan orang lain :
Seni membina hubungan sosial merupakan ketrampilan mengelola
orang lain, meliputi ketrampilan sosial yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan hubungan antar pribadi. Individu yang termpil
dalam kecerdasan sosial lancar menjalin hubungan dengan orang lain, peka
membaca reaksi dan perasaan orang lain , mampu memimpin dan
mengorganisasi serta pintar menangani perselisihan dalam pekerjaan.
2.2.3 Dimensi-dimensi Pembentuk Kecerdasan Emosional
Pembentuk kecerdasan emosional berdimensi empat yang
dikembangkan Davies dan Roberts (1998) dengan deskripsi sbb :
1. Dimensi I : SEA (Self Emotional Apprasial) atau Apprasial and expression of
emotion ini oneself (menilai dan mengekspresikan perasaan dalam diri sendiri).
Dimensi ini berkenaan dengan kecakapan memahami perasaan diri yang
terdalam serta cakap mengekspresikan perasaan secara wajar.
2. Dimensi II : OEA (Others-Emotional Appraisal) atau Apprasial and
recognition of emotion in others ( menilai dan menerima perasaan dalam diri
orang lain). Dimensi ini berkenaan dengan kecakapan individu mengamati dan
memahami perasaan-perasaan orand di sekitar. Individu sangant peka dengan
perasaan orang lain sekaligus cakap memprediksi respon perasaan orang lain.
19
3. Dimensi III : UOE (Use of Emotion) atau Use of emotion to facilitate
performance ( menggunakan perasaan untuk memperlancar kinerja). Dimensi
ini berkenaan dengan kecakapan individu menggunakan perasaan melalui
mengarahkan perasaannya ke kegiatan konstruktif dan untuk mendukung
kinerja pribadi. Individu cakap mendorong dan menyemangati diri berbuat
semakin baik secara berkesinambungan. Individu juga mengarahkan
perasaannya ke kegiatan positif dan produktif.
4. Dimensi IV : ROE (Regulation of Emotion) atau Regulation of emotion in
oneself (mengatur perasaan diri sendiri). Dimensi ini berkenaan dengan
kecakapan individu mengatur perasaan-perasaannya sehingga
memampukannya cepat pulih dari ketegangan psikologik. Individu yang sangat
tinggi kadar kecakapan dalam dimensi ini dengan cepat pulih ke kondisi
psikologik normal usia bergembira-ria atau sakit hati. Individu juga
mempunyai kecakapan mengendalikan emosi serta kecil peluang kelepasan
kendali perasaan atau mengumbar amarah.
Berdasarkan Dimensi Pembentuk Kecerdasan Emosional tersebut
penulis meggunakan skala tersebut yang disusun oleh Wong dan Law, yang
mengacu pada definisi berdimensi empat yang dikembangkan Davies &
Roberts (1998).
20
2.3 Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Agresivitas Siswa
Kecerdasan emosional adalah kecakapan emosi meliputi kemampuan
untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi
rintangan, mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat merasa puas, mampu
mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan agar tidak
mengganggu kemampuan berpikir, mampu berempati serta berharap
(Goleman). Kecerdasan emosional memiliki maksud yaitu mampu untuk
mengendalikan emosi sehingga perilaku agresif yang merupakan dampak dari
adanya ketidakmampuan mengendalikan emosi maka disinyalir.
Kecerdasan emosional mempengaruhi perilaku agresif. Kecerdasan
emosi dapat digunakan untuk penanggulangan pada anak yang melakukan
perilaku agresif. Pengaruh kecerdasan emosi terhadap perilaku agresif yaitu
berkaitan dengan penanggulangan perilaku agresif dengan memberikan
pemahaman tentang kecerdasan emosi yaitu kemampuan untuk mengendalikan
emosinya agar perilaku agresif dapat dihindarkan. Agresi yang terjadi karena
adanya frustasi yang dapat membuat seseorang bertindak tidak sesuai dengan
kebiasaannya, tentu karena adanya perasaan dan pikiran yang tidak seimbang
tersebut (Lusiana, 2009).
2.4 Penelitian yang Relevan
Lusiana (2008) meneliti Pengaruh Kecerdasan Emosional dan
Agresivitas siswa SMA SHALAHUDDIN Malang, dapat ditemukan kecerdasan
emosi siswa SMA Shalahuddin adalah sedang dengan prosentase sebesar
21
72,5%, kecerdasan emosi pada kategori tinggi prosentasenya adalah 11,8%
lebih sedikit dari kecerdasan emosi pada kategori rendah dengan prosentase
15,7%. Serta tingkat agresi siswa-siswi SMA Shalahuddin adalah rata-rata
sedang dengan prosentase 68,6% sedangkan tingkat agresi siswa-siswi SMA
Shalahuddin yang berada pada kategori tinggi adalah 19,6% sedangkan sisanya
11,8% memiliki kategori rendah. Berdasarkan analisis regresi sederhana yang
telah dilakukan diperoleh nilai –0.457. Nilai signifikansi 0.000 sehingga sig.
lebih kecil dari nilai alpha (α) yaitu 0.000 < 0.05. Sehingga Ho ditolak berarti
ada pengaruh yangsignifikan antara kecerdasan emosi terhadap agresi.
Selanjutnya penelitian Rahmat Aziz, & Retno Mangestuti, (2006)
mengenai Pengaruh Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EI)
Dan Kecerdasan Spiritual (SI) Terhadap Agresivitas Pada Mahasiswa UIN
Malang , diketahui bahwa , dari hasil nilai R square diperoleh skor .325 artinya
ketiga variabel bebas (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan spiritual) secara bersama-sama mampu mempengaruhi variabel
terikat (agresivitas) sebesar 32,5% artinya masih ada sekitar 67,5% faktor lain
yang mempengaruhi agresivitas mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang.
Faktor tersebut bisa berupa faktor internal (yang berasal dari dalam diri
individu) atau faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar individu.
22
2.5 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
Terdapat pengaruh yang signifikan kecerdasan emosi terhadap perilaku
agresivitas siswa SMP N I Sumowono, Kabupaten Semarang.