Bab II Konsep Profesi Keguruan

34
BAB II KONSEP PROFESI KEGURUAN Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa memahami: 1) Pengertian dan syarat-syarat profesi, profesi keguruan, serta perkembangan profesi keguruan di Indonesia. 2) Pengertian dan fungsi kode etik profesional, khususnya kode etik guru Indonesia. 3) Fungsi dan tujuan organisasi profesional keguruan PGRI. Dalam percakapan sehari-hari sering terdengar istilah profesi atau profesional. Seseorang mengatakan bahwa profesinya sebagai seorang dokter; yang lain mengatakan bahwa profesinya sebagai arsitek, atau ada pula sebagai pengacara, guru; malah juga ada yang mengatakan profesinya pedagang, penyanyi, petinju, penari, tukang koran, dan sebagainya. Para staf dan karyawan instansi militer dan pemerintahan juga tidak henti- hentinya menyatakan akan meningkatkan keprofesionalannya. Ini berarti bahwa jabatan mereka adalah suatu profesi juga. Kalau diamati dengan cermat bermacam-macam profesi yang disebutkan di atas, belum dapat dilihat dengan jelas apa yang merupakan kriteria bagi suatu pekerjaan sehingga dapat disebut suatu profesi itu. Kelihatannya, kriterianya dapat bergerak dari segi pendidikan formal yang diperlukan bagi seseorang untuk mendapatkan suatu profesi, sampai kepada kemampuan yang dituntut seseorang dalam melakukan tugasnya. Dokter dan arsitek harus melalui pendidikan tinggi yang cukup lama, dan menjalankan pelatihan berupa pemagangan yang juga memakan waktu yang tidak sedikit

description

Profpen I

Transcript of Bab II Konsep Profesi Keguruan

Page 1: Bab II Konsep Profesi Keguruan

BAB II KONSEP PROFESI KEGURUAN

Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa memahami:

1) Pengertian dan syarat-syarat profesi, profesi keguruan, serta perkembangan profesi

keguruan di Indonesia.

2) Pengertian dan fungsi kode etik profesional, khususnya kode etik guru Indonesia.

3) Fungsi dan tujuan organisasi profesional keguruan PGRI.

Dalam percakapan sehari-hari sering terdengar istilah profesi atau profesional. Seseorang

mengatakan bahwa profesinya sebagai seorang dokter; yang lain mengatakan bahwa

profesinya sebagai arsitek, atau ada pula sebagai pengacara, guru; malah juga ada yang

mengatakan profesinya pedagang, penyanyi, petinju, penari, tukang koran, dan sebagainya.

Para staf dan karyawan instansi militer dan pemerintahan juga tidak henti-hentinya

menyatakan akan meningkatkan keprofesionalannya. Ini berarti bahwa jabatan mereka adalah

suatu profesi juga.

Kalau diamati dengan cermat bermacam-macam profesi yang disebutkan di atas, belum dapat

dilihat dengan jelas apa yang merupakan kriteria bagi suatu pekerjaan sehingga dapat disebut

suatu profesi itu. Kelihatannya, kriterianya dapat bergerak dari segi pendidikan formal yang

diperlukan bagi seseorang untuk mendapatkan suatu profesi, sampai kepada kemampuan

yang dituntut seseorang

dalam melakukan tugasnya. Dokter dan arsitek harus melalui pendidikan tinggi yang cukup

lama, dan menjalankan pelatihan berupa pemagangan yang juga memakan waktu yang tidak

sedikit sebelum mereka diizinkan memangku jabatannya. Setelah memangku jabatannya,

mereka juga dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka

dengan tujuan meningkatkan kualitas layanannya kepada khalayak.

Sernentara itu untuk menjadi pedagang atau petinju mungkin tidak diperlukan pendidikan

tinggi, rnalah pendidikan khusus sebelum memangku jabatan itu pun tidak perlu, meskipun

latihan, baik sebelum ataupun' sefelah menggauli jabatan itu, tentu saja sangat diperlukan.

Oleh sebab itu, agar tidak menimbulkan kerancuan dalam pembicaraan selanjutnya kita harus

memperjelas pengertian profesi itu.

Pada bab ini akan dibahas pengertian profesi, profesi keguruan, syarat-syarat profesi

keguruan, kode etik, dan organisasi profesional keguruan. Hal ini amat perlu diperhatikan

Page 2: Bab II Konsep Profesi Keguruan

mengingat jabatan guru dituntut untuk makin lama makin meningkatkan keprofesionalannya,

apalagi setelah keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) RI No.

2/1989.

A. Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi

Kebanyakan kita mengatakan bahwa mengajar adalah suatu profesi. Apakah yang dimaksud

dengan profesi, dan syarat-syarat serta kriteria yang harus dipenuhi agar suatu jabatan dapat

disebut suatu profesi. Omstein dan Levine (1984) menyatakan bahwa profesi itu adalah

jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini:

/. Pengertian Profesi

Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak

berganti-ganti pekerjaan). Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar

jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).

c) Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori bam dikembangkan

dari hasil penelitian).

d) Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.

e) Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk (untuk

menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang

ditentukaii untuk dapat mendudukinya).

f) Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja

tertentu (tidak diatur oleh orang luar).

g) Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang

ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab

terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang Iebih

tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.

h) Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan terhadap layanan

yang akan diberikan.

Page 3: Bab II Konsep Profesi Keguruan

i) Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya; relatif bebas dari

supervisi dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien,

sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).

j) Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.

k) Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok 'elit' untuk mengetahui dan mengakui

keberhasilan anggotanya (keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi

Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departeman Kesehatan).

l) Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan

yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.

m) Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari publik dan kepercayaan diri setiap

anggotanya (anggota masyarakat selalu meyakini dokter Iebih tahu tentang penyakit pasien

yang dilayaninya).

n) Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (biia disbanding dengan jabatan

lainnya).

Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al. (1991), mengutarakan ciri-ciri utama

suatu profesi itu sebagai berikut:

a) Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (crusial).

b) Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.

c) Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah

dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

d) Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit,

yang bukan hanya sekadar pendapat khalayak umum.

e) Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup

lama.

f) Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai

profesional itu sendiri.

Page 4: Bab II Konsep Profesi Keguruan

g) Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada

kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.

h) Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap

permasalahan profesi yang dihadapinya.

i) Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom ian bebas dari campur

tangan orang luar.

j) Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, (fan oleh karenanya

memperoleh imbalan yang tinggi pula.

Bila kita bandingkan kriteria yang dipakai Sanusi et al. ini kriteria Ornstein dan

Levine yang dibicarakan lebih dahulu, fata simpulkan bahwa keduanya hampir mirip, dan

saling i, dan oleh karenanya dapat kita pakai sebagai pedoman ponbicaraan selanjutnya.

Kalau kita pakai acuan ini maka jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta tukang

koran yang disebut pada bagian pertama jelas bukan profesi. Tetapi yang akan kita bicarakan

selanjutnya adalah jabatan guru, apakah jabatan guru telah dapat disebut sebagai suatu

profesi?

2. Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi Keguruan

Khusus untuk jabatan guru, sebenamya juga sudah ada yang niencoba menyusun

kriterianya. Misalnya National Education Association (NEA) (1948) menyarankan kriteria

berikut:

a) Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.

b) Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.

c) Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan

pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).

d) Jabatan yang memerlukan 'latihan dalam jabatan' yang bersinambungan.

e) Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.

f) Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.

g) Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan

Page 5: Bab II Konsep Profesi Keguruan

pribadi. h) Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan

terjalin erat.

Sekarang yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah apakah semua kriteria ini dapat

dipenuhi oleh jabatan mengajar atau oleh guru? Mari kita lihat satu persaru.

a. Jabatan yang. Melibatkan Kegiatan Intelektual

Jelas sekali bahwa jabatan guru memenuhi kriteria ini, karena mengajar melibatkan

upaya-upaya yang sifatnya sangat didominasi kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati,

bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi persiapan dari

semua kegiatan profesional lainnya. Oleh sebab itu, mengajar seringkali disebut sebagai ibu

dari segala profesi (Stinnett dan Huggett, 1963).

b. Jahatan yang Menggeluti Batang Tubuh Ilmu yang Khusus

Semua jabatan memponyai monopoli pengetahuan yang memisahkan anggota mereka

dari orang awam, dan memungkinkan mereka mengadakan pengawasan tentang jabatannya.

Anggota-anggota suatu profesi menguasai bidang ilmu yang membangun keahlian mereka

dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan, amatiran yang tidak terdidik, dan kelompok

tertentu yang ingin mencari keuntungan (misalnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab

yang membuka praktek dokter). Namun, belum ada kesepakatan tentang bidang ilmu khusus

yang melatari pendidikan (education) atau keguruan (teaching) (Ornstein and Levine, 1984).

Terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajar memenuhi persyaratan kedua

ini. Mereka yang bergerak di bidang pendidikan menyatakan bahwa mengajar telah

mengembangkan secara jelas bidang khusus yang sangat penting dalam mempersiapkan guru

yang berwenang. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa mengajar belum mempunyai

batang tubuh ilmu khusus yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama percaya bahwa

mengajar adalah suatu sains (science), sementara kelompok kedua mengatakan bahwa

mengajar adalah suatu kiat (art) (Stinnett dan Huggett, 1963). Namun, dalam karangan-

karangan yang ditulis dalam Encyclopedia of Educational Research, misalnya terdapat bukti-

bukti bahwa pekerjaan mengajar telah secara intensif mengembangkan batang tubuh ilmu

khususnya *). Sebaliknya masih ada juga yang berpendapat bahwa ilmu pendidikan sedang

dalam krisis identitas, batang tubuhnya tidak jelas, batas-batasnya kabur, strukturnya sebagai

Page 6: Bab II Konsep Profesi Keguruan

a body of knowledge samar-samar (Sanusi et al., 1991). Sementera itu, ilmu pengetahuan

tingkah laku (behavioral sciences), ilmu pengetahuan

*) Terbitan edisi ketiga tahun 1960, misalnya memuat lebih dari 1500 halaman hasil

riset, sebagai bukti bahwa profesi keguruan telah mengembangkan batang tubuh ilmu

khususnya. Tiap tahun dapat kita baca ribuan halaman laporan riset baru yang diterbitkan di

mana-mana, baik sebagai disertasi ataupun hasil riset para pelaksana pendidikan.

alam, dan bidang kesehatan dapat dibimbing langsung dengan peraturan dan prosedur

yang ekstensif dan menggunakan metodologi yang jelas. Ilmu pendidikan kurang terdefinisi

dengan baik. Di samping jtu, ilmu yang terpakai dalam dunia nyata pengajaran masih banyak

yang belum teruji validasinya dan yang disetujui sebagian besar ahlinya (Gideonse, 1982, dan

Woqdring, 1983).

Sebagai hasilnya, banyak orang khususnya orang awam, seperti juga dengan para

ahlinya, selalu berdebat dan berselisih, malahan kadang-kadang menimbulkan pembicaraan

yang negatif, Hasil lain dari bidang ilmu yang belum terdefinisi dengan baik ini adalah isi

dari kurikulum pendidikan guru berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, walaupun

telah mulai disamakan dengan menentukan topik-topik inti yang wajib ada dalam kurikulum.

Banyak guru di sekolah menengah diperkirakan mengajar di luar dan bidang ilmu

yang cocok dengan ijazahnya; misalnya banyak guru matematika yang tidak mendapatkan

mayor dalam matematika sewaktu dia belajar pada lembaga pendidikan guru, ataupun mereka

tidak disiapkan untuk mengajar matematika. Masalah ini sangat menonjol dalam bidang

matematika dan ilmu pengetahuan alam, walaupun sudah agak berkurang dengan adanya

persediaan guru yang cukup sekarang ini.

Apakah guru bidang ilmu pengetahuan tertentu juga ditentukan oleh baku pendidikan

dan pelatihannya? Sampai saat pendidikan guru banyak yang ditentukan dari atas, ada yang

waktu pendidikannya cukup dua tahun saja, ada yang perlu tiga tahun atau harus empat tahun.

Untuk melangkah kepada jabatan profesional, guru harus mempunyai pengaruh yang

cukup besar dalam membuat keputusan tentang jabatannya sendiri. Organisasi guru harus

mempunyai kekuasaan dan kepemimpinan yang potensial untuk bekerja sama, dan bukan

didikte dengan kelompok yang berkepentingan, misalnya oleh lembaga pendidikan guru atau

kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan beserta jajarannya.

Page 7: Bab II Konsep Profesi Keguruan

c, Jabatan yang Memerhtkan Persiapan Latihan yang Lama

Lagi-lagi terdapat perselisihan pendapat mengenai hal ini. Yang membedakan jabatan

profesional dengan non-profesional antara lain adalah dalam penyelesaian pendidikan melalui

kurikulum, yaitu ada yang diatur universitas/institut atau melalui pengalaman praktek dan

pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah. Yang pertama, yakni pendidikan

melalui perguruan tinggi disediakan untuk jabatan profesional, sedangkan yang kedua, yakni

pendidikan melalui pengalaman praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan dan

kuliah diperuntukkan bagi jabatan yang non-profesional (Ornstein dan Levine, 1984). Tetapi

jenis kedua ini tidak ada lagi di Indonesia.

Anggota kelompok guru dan yang berwenang di departemen pendidikan dan

kebudayaan berpendapat bahwa persiapan profesional yang cukup lama amat perlu untuk

mendidik guru yang berwenang. Konsep ini menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum

perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidikan umum, profesional, dan khusus, sekurang-

kurangnya empat tahun bagi guru pemula (SI di LPTK), atau pendidikan persiapan

profesiona! di LPTK paling kurang selama setahun setelah mendapat gelar akademik SI di

perguruan tinggi non-LPTK. Namun, sampai sekarang di Indonesia, ternyata masih banyak

guru yang lama pendidikan mereka sangat singkat, malahan masih ada yang hanya seminggu,

sehingga tentu saja kualitasnya masih sangat jauh untuk dapat memenuhi persyaratan yang

kita harapkan.

d. Jabatan yang Memerlukan Latihan dalam Jabatan yang Sinambung

Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan profesional,

sebab hampir tiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang

mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang

bermacam-macam pendidikan profesional tambahan diikuti guru-guru dalam menyetarakan

dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan. (Ingat penyetaraan D-D untuk guru-guru

SD, dan penyetaraan

D-III untuk guru-guru SLTP, baik melalui tatap muka di LPTK tertentu maupun lewat

pendidikan jarak jauh yang dikoordinasikan Universitas Terbuka.)

Dilihat dari kacamata ini, jelas kriteria ke empat ini dapat dipenuhi bagi jabatan guru

di negara kita.

Page 8: Bab II Konsep Profesi Keguruan

e. Jabatan yang Menjanjikan Karier Hidup dan Keanggotaan yang Permanen

Di luar negeri barangkali syarat jabatan guru sebagai karier permanen merupakan titik

yang paling lemah dalam menuntut bahwa mengajar adalah jabatan profesional. Banyak guru

baru yang hanya bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesi mengajar, setelah itu

mereka pindah kerja ke bidang lain, yang lebih banyak menjanjikan bayaran yang lebih

tinggi. Untunglah di Indonesia kelihatannya tidak begitu banyak guru yang pindah ke bidang

lain, walaupun bukan berarti pula bahwa jabatan guru di Indonesia mempunyai .pendapatan

yang tinggi. Alasannya mungkin karena lapangan kerja dan sistem pindah jabatan yang agak

sulit. Dengan demikian kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan guru di Indonesia.

f. Jabatan yang Menentukan Bakunya Sendiri

Karena jabatan guru menyangkut hajat orang banyak, maka baku untuk jabatan guru

ini sering tidak diciptakan oleh anggota profesi sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan

guru masih sangat banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan

tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan swasta.

Sementara kebanyakan jabatan mempunyai patokan dan persyaratan yang seragam

untuk meyakinkan kemampuan minimum yang diharuskan, tidak demikian halnya dengan

jabatan guru. Dari pengalarnan beberapa tahun terakhir penerimaan calon mahasiswa LPTK

didapat kesan yang sangat kuat bahwa skor nilai calon mahasiswa yang masuk ke lembaga

pendidikan guru jauh lebih rendah dibandingkan dengan skor calon yang masuk ke bi-dang

lainnya. Permasalahan ini mempunyai akibat juga dalara hasil pendidikan guru nantinya,

karena bagaimanapun juga mutu lu-lusan akan sangat dipengaruhi oleh mutu masukan atau

bahan bakunya, dalam hal ini mutu calon mahasiswa lembaga pendidikan guru.

Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok dianggap sanggup untuk

membuat keputusan profesional berhubungan dengan iklim kerjanya. Para profesional

biasanya membuat peraturan sendiri dalam daerah kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang

berhubungan dengan pengawasan yang efektif tentang hal-hal yang berhubungan dengan

pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan langganan (klien)nya. Sebetulnya

pengawasan luar adalah musuh alam dari profesi, karena riiembatasi kekuasaan profesi dan

membuka pintu terhadap pengaruh luar (Ornstein dan Levine, 1984).

Dokter dan pengacara misalnya, menyediakan layanan untuk masyarakat, sementara

kliennya membayar untuk itu, namun tak seorang pun mengharap bahwa orang banyak atau

Page 9: Bab II Konsep Profesi Keguruan

klien akan menulis resep ataupun yang menulis kontrak. Bila klien ikut mempengaruhi

keputusan dari praktek dokter atau pengacara, maka hubungan profesional-klien berakhir. Ini

pada hakikatnya berarti mempertahankan klien dari mangsa ketidaktahuannya, di samping

juga menjaga profesi dari penilaian yang tidak rasional dari klien atau khalayak ramai.

Peter Blau dan W. Richard Scott (1965: 51-52) menulis:

"Professional service ... requires that the [professional] maintain independence of

judgement and not permit the clients'wishes as distinguished from their interests to influence

his decisions."

Para profesional harus mempunyai pengetahuan dan kecakapan dalam membuat

penilaian, sebaliknya tidak demikian dengan klien, sebagaimana ditulis Blau dan Scott,

"and the clients not qualified to evaluate the services he needs.''Profesional yang

membolehkan langganannya untuk mengatakan apa yang harus dia kerjakan akan gagal

dalam memberikan layanan yang <jptimal.

Bagainiana dengan guru? Guru, sebagaimana sudah diutarakan juga di atas,

sebalikhya membolehkan orang tua, kepala sekolah, pejabat kantor wilayah, atau anggota

masyarakat lainnya mengatakan apa yang harus dilakukan mereka. Otonomi profesional tidak

berarti bahwa tidak ada sama sekali kontrol terhadap profesional. Sebaliknya, ini berarti

bahwa kontrol yang memerlukan kompetensi teknis hanya dapat dilakukan oleh orang-orang

yang mempunyai kemampuan profesional dalam hal itu.

Kelihatannya untuk masa sekarang sesuai dengan kondisi yang ada di negara kita,

kriteria ini belum dapat secafa keseluruhan dipenuhi oleh jabatan guru.

g. Jabatan yang Mementingkan Layanan di Atas Keuntungan Pfibadi

Jabatan mengajar adalah jabatan yang mempunyai nilai sosial yang tinggi, tidak perlu

diragukan lagi. Guru yang baik akan sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang

lebih baik dari warga negara masa depan.

Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya

termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain, bukan disebabkan oleh keuntungan

ekonomi atau keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan apa yang

dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan

Page 10: Bab II Konsep Profesi Keguruan

ekonomi atau lahiriah. Namun, ini tidak berarti bahwa guru harus dibayar lebih rendah tetapi

juga jangan mengharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru. Oleh sebab itu, tidak

perlu diraguk^ilagi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi dengan baik.

h. Jabatan yang Mempunyai Qrganisasi Profesional yang Kuat dan Terjalin Rapat

Semua profesi yang dikenal mempunyai organisasi profesional yang kuat untuk dapat

mewadahi tujuan bersama dan melindungi anggotanya. Dalam beberapa hal, jabatan guru

telah memenuhi kriteria ini dan dalam hal lain belum dapat dicapai. Di Indonesia telah ada

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru mulai dari

guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah lanjutan atas, dan ada pula Ikatan Sarjana

Pendidikan Indonesia (ISPI) yang mewadahi seluruh sarjana pendidikan. Di samping itu, juga

telah ada kelompok guru mata pelajaran sejenis, baik pada tingkat daerah maupun nasional,

namun belum terkait secara baik dengan PGRI. Harus dicarikan usaha yang sungguh-sungguh

agar kelompok-kelompok guru mata pelajaran sejenis itu tidak dihilangkan, tetapi dirangkul

ke dalam pangkuan PGRI sehingga merupakan jalinan yang amat rapi dari suatu profesi yang

biak.

Berdasarkan analisis ini tampaknya jabatan guru belum sepenuhnya dapat

dikategorikan sebagai suatu profesi yang utuh, dan bahkan banyak orang sependapat bahwa

guru hanya jabatan semiprofesional atau profesi yang baru muncul (emerging profession)

karena belum semua ciri-ciri di atas yang dapat dipenuhi.

Menurut Amitai Etzioni (1969: p. v.), guru adalah jabatan semiprofesional disebabkan

oleh:

"... the training [of teachers] is shorten, their status less legitimated [low or

moderate], their right to privileged communication less established; theirs is less of a

specialized knowledge, and they have less autonomy from supervision or societal'control than

'the professions' ...

Selanjutnya Robert B. Howsam et al. (1976), menulis bahwa guru hams dilihat

sebagai profesi yang baru muncul, dan karena itu mempunyai status yang lebih tinggi dari

jabatan semiprofesional, malahan mendekari status jabatan profesi penuh. Pada saat sekarang,

seperti telah dijelaskan juga di depan, sebagian orang cenderung raenyatakan guru sebagai

suatu profesi, dan sebagian lagi tidak mengakuinya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan jabatan

guru sebagian, tapi bukan seluruhnya, adalah jabatan profesional, namun sedang bergerak ke

Page 11: Bab II Konsep Profesi Keguruan

arah itu. Kita di Indonesia dapat merasakan jalan ke arah itu "mulai ditapaki, misalnya

dengan adanya peraturan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa yang boleh

menjadi guru hanya yang mempunyai akta mengajar yang dikeluarkan oleh Lembaga

Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selain itu, juga guru diberi penghargaan oleh

pemerintah melalui Keputusan Menpan No. 26 Tahun 1989, dengan memberikan tunjangan

fungsional sebagai pengajar, dan dengan kemungkinan kenaikan pangkat yang terbuka.

Setelah dibicarakan profesionalisasi secara panjang lebar, mungkin timbul pertanyaan,

untuk apa dibicarakan profesionalisasi dalam dunia kependidikan? Kalau dipahami secara

baik kriteria jabatan profesional yang telah dibicarakan di atas, maka jelaslah bahwa jabatan

profesional sangat memperhatikan layanan yang diberikan kepada masyarakat. Oleh sebab

itu, dalam rangka menjaga dan meningkatkan layanan ini secara optimal serta menjaga agar

masyarakat jangan sampai dirugikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,

tuntutan jabatan profesional harus sangat tinggi. Profesi kependidikan, khususnya profesi

keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan

dengan alasan tersebut, jelas kiranya bahwa profesionalisasi dalam bidang keguruan

mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal

layanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Lebih khusus lagi, Sanusi et ah (1991)

mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan (dan

bukan dilakukan secara acak saja), yakni sebagai berikut:

1) Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi,

dan perasaan, dan dapat dikembangkan segala potensinya; sementara itu pendidikan dilandasi

oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia.

2) Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan beitujuan, maka

pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara

universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan

pengelola pendidikan.

3) Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotetis dalarm menjawab

permasalahan pendidikan.

4) Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia

mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha

untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.

Page 12: Bab II Konsep Profesi Keguruan

5) Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog

antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah

yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi

masyarakat.

6) Sering terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan

manusia sebagai manusia yang baik (dirnensi intrinsik), dengan misi instrumental yakni yang

merupakan alat untuk perubahan atau mencapai sesuatu.

3. Perkembangan Profesi Keguruan

Kalau kita ikuti perkembangan profesi keguruan di Indonesia, jelas bahwa pada

mulanya guru-guru Indonesia diangkat dari orang-orang yang tidak berpendidikan khusus

untuk memangku jabatan guru. Dalam bukunya Sejarah Pendidikan Indonesia, Nasution

(1987) secara jelas melukiskan sejarah pendidikan di Indonesia terutama dalam zaman

kolonial Belanda, termasuk juga sejarah profesi keguruan. Guru-guru yang pada mulanya

diangkat dari orang-orang yang tidak dididik secara khusus menjadi guru, secara berangsur-

angsur dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru yang lulus dari sekolah guru

(Kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo tahun 1852. KaieriW kebutuhan guru

yang mendesak maka Pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru, yakni:

(1) guru lulusan sekblah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang penuh, (2^

guru yang bukan lulusan sekolah guru, tetapi lulus iijian yang diadafcan untukmenjadi guru,

(3) guru bantu, yakni yang Krnis ujian guru bantu*. (4) guru yang dimagangkan kepada

seorang guru senior, yang merupakan calon guru, dan (5) guru yang diangkat karena keadaan

yang amat mendesak yang berasal dari warga yang pernah>mengecap pendidikan. Teritu saja

yang terakhir ini sangat beragam dari satu daerah dengan daerah lainnya.

Walaupun sekolah guru telah dimulai dan kemudian juga didirikan sekolah normal,

namun pada mulanya bila dilihat dari kurikulumnya dapat kita katakan hanya mementingkan

pengetahuan yang akan diajarkan saja. Ke dalamnya belum dimasukkan secara khusus

kurikulum ilmu mendidik dan psikologi. Sejalan dengan pendjrian sekolah-sekolah yang

lebih tinggi tingkatnya dari sekolah umum seperti Hollands Inlandse School (HIS), M'eer

Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hogere Burgeschool (HBS), dan Algemene

Middelbare School (AMS) maka secara berangsur-angsur didirikan pula lembaga pendidikan

guru atau kursus-kursus; untuk mempersiapkan guru-gurunya, seperti Hogere Kweekschool

Page 13: Bab II Konsep Profesi Keguruan

(HKS) untuk guru HIS dan kursus Hoofdacte (HA) untuk calon kepala sekolah (Nasution,

1987).

Keadaan yang demikian berlanjut sampai zaman pendudukan Jepang dan awal perang

kemerdekaan, walaupun dengan nama dan bentuk lembaga pendidikan guru yang disesuaikan

dengan keadaan waktu itu. Selangkah demi selangkah pendidikan guru meningkatkan jenjang

kualifikasi dan mutunya, sehingga saat ini kita hanya mempunyai lembaga pendidikan guru

yang tunggal, yakni Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Walaupun jabatan guru tidak harus disebut sebagai jabatan profesional penuh,

statusnya mulai membailc. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)

yang mewadahi persatuan guru, dan juga mempunyai perwakilan di DPR/MPR. Apakah para

wakil daiit organisasi ini telah mewakili semua keinginan para guruj baik dari segi

profesional ataupun kesejahteraan? Apakah guru betul -betul jabatan profesional, sehingga

jabatan guru terlindungi, merapunyai otoritas tinggi dalam bidangnya, dihargai dan

mempunyai status yang tinggi dalam raasyarakat, semuanya akan tergantung kepada guru itu

sendiri dan unjuk kerjanya, serta masyarakat dan pemerintah yang memakai atau

mendapatkan layanan guru itu.

Dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia, guru pernah mempunyai status yang

sangat tinggi dalam masyarakat, mempunyai wibawa yang sangat tinggi, dan dianggap

sebagai orang yang serba tahu. Peranan guru saat itu tidak hanya mendidik anak di depan

kelas, tetapi mendidik masyarakat, tempat bagi masyarakat untuk bertanya, baik untuk

memecahkan masalah pribadi ataupun masalah sosial. Namun, kewibawaan guru mulai

memudar sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan teknologi, dan

kepedulian guru yang meningkat tentang imbalan atau balas jasa (Sanusi et al., 1991). Dalam

era teknologi yang maju sekarang, guru bukan lagi satu-satunya tempat bertanya bagi

masyarakat. Pendidikan masyarakat mungkin lebih tinggi dari guru, dan kewibawaan guru

berkurang antara lain karena status guru dianggap kalah gengsi dari jabatan lainnya yang

mempunyai pendapatan yang lebih baik.

B. Kode Etik Profesi Keguruan

Setiap profesi, seperti telah dibicarakan dalam bagian terdahulu, hams mempunyai

kode etik profesi. Dengan demikian, jabatan dokter, notaris, arsitek, guru, dan lain-lain yang

merupakan bidang pekerjaan profesi mempunyai kode etik. Sama halnya dengan kata profesi

Page 14: Bab II Konsep Profesi Keguruan

sendiri, penafsiran tentang kode etik juga belum memiliki pengertian yang sama. Sebagai

contoh, dapat dicantumkan beberapa pengertian kode .etik, antara lain sebagai berikut:

1. Pengertian Kode Etik

a) Menurut Uadang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian. Pasal 28 Undang-Undang ini dengan jelas menyatakan bahwa "Pegawai

Negeri Sipil mempunyai Kode Etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di

dalam dan diluar kedinasan." Dalam penjelasan Undang-Uhdang tersebut dinyatakan bahwa

dengan adanya Kode Etik ini, pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan

abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam

melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya, dalam Kode Etik

Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan

tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat kita simpulkan, bahwa kode etik

merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan

dalam hidup sehari-hari.

b) Dalam pidato pembukaan Kongres PGRI Xffl, Basuni sebagai Ketua Umum

PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan

pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya

bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat Ketua Umum PGRI ini dapat ditarik

kesimpulan bahwa dalam1 Kode Etik Guru Indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: (1)

Sebagai landasan moral. (2) Sebagai pedoman tingkah laku.

Dari uraian tersebut kelihatan, bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma

yang hams diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya

dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para

anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan,

yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh

mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut

tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di dalam

masyarakat.

2. Tujuan Kode Etik

Page 15: Bab II Konsep Profesi Keguruan

Pada dasarnya tujuan merarnuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk

kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan

mengadakan kode etik adalah sebagai berikut (R. Hermawan S, 1979): >

a) Untuk menjunjung tinggi martabat profesi

Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau

masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi

yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai

bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik

profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga seringkali disebut kode kehormatan.

b) Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya

Yang dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material)

maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para

anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya

untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya.

Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorarium anggota profesi dalam

melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di bawah minimum

akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin

para anggota profesi, kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk kepada para

anggotanya untuk melaksanakan profesinya.

Kode etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi

tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi dalam berinteraksi

dengan sesama rekan anggota profesi.

c) Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi

Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian

profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan

tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik

merumuskari-ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam

menjalankan tugasnya.

d) Unfftk meningkatkan mutu profesi

Page 16: Bab II Konsep Profesi Keguruan

Wntuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran

agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para

anggotanya.

e) Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi

Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota

untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan

yang dirancang organisasi.

Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun

kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara

kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan

mutu profesi dan mutu organisasi profesi.

3. Penetapan Kode Etik

Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan

mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres

organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang

secara perprangan, melainkan hams dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas

nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut. Dengan demikian, jelas bahwa orang-

orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat dikenakan aturan

yang ada dalam kode etik tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh

yang kuat dalam menegakkan disiplin dikaiangan profesi tersebut, jika semua orang yang

menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang

bersangkutan. Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis

tergabung di dalam suatu organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan

bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara raurni dan baik, karena setiap anggpta profesi

yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.

4. Sanksi Pelanggaran Kode Etik

Sering juga kita jumpai, bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi,

sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat

meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka

Page 17: Bab II Konsep Profesi Keguruan

aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi

aturan yang membenkan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya memaksa, baik berupa sanksi

perdata maupun sanksi pidana.

Sebagai contoh dalam hal ini jika seseorang anggota profesi bersaing secara tidak

jujur atau curang dengan sesama anggota profesinya, dan jika dianggap kecurangan itu serius

ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada umumnya, karena kode etik adalah landasan

moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan maka sanksi terhadap

pelanggaran kode etik adalah sanksi moral. Barangsiapa melanggar kode etik akan mendapat

celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah sipelanggar

dikeluarkan dari organisasi profesi. Adanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu,

menandakan bahwa organisasi profesi itu telah mantap,

5. Kode Etik Guru Indonesia

Kode Etik Guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-

norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu sistem yang utuh

dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman

tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru,

baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalarn kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Dengan demikian, maka Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk

pembentukan sikap prbfesional para anggota profesi keguruan.

Sebagaimana halnya dengan profesi lainnya, Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan

dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah, PGRI

dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam Kongres XIII di Jakarta tahun 1973, dan

kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 juga di Jakarta. Adapun teks

Kode Etik Guru Indonesia yang telah disempurnakan tersebut adalah sebagai berikut*):

KODE ETIK GURU INDONESIA

Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, bangsa, dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru

Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setiap pada Undang-Undang Dasar 1945, rurut

bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya

dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:

Page 18: Bab II Konsep Profesi Keguruan

1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia

seutuhnya yang berjiwa Pancasila.

2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.

3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan

melakukaii bimbingan dan pembinaan.

4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya

proses belajar-mengajar.

*) Dikutip dari lembaran Kode Etik Guru Indonesia (yang disempurnakan pada

Kongres XVI, Tahun 1989 di Jakarta) lerbitan PGRI.

5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua raurid dan masyarakat

sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.

6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu

dan martabat profesinya.

7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan

sosial.

8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI

sebagai sarana perjuangan dan pehgabdian.

9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.

C. Organisasi Profesional Keguruan

1. Fungsi Organisasi Profesional Keguruan

Seperti yang telah disebutkan dalam salah satu kriteria jabatan profesional, jabatan

profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan

keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru di negara kita, wadah ini telah

ada yakni Persatuan Guru Repubiik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI.

PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 November 1945, sebagai perwujudan aspirasi

guru Indonesia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa (Hermawan S., 1989). Salah

satu tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap, mutu, dan kegiatan profesi guru

serta meningkatkan kesejahteraan mereka (Basuni, 1986). Selanjutnya, Basuni menguraikan

Page 19: Bab II Konsep Profesi Keguruan

empat misi utama PGRI, yakni: (a) Misi politis/ideologi, (b) Misi persatuan organisatoris, (c)

Misi profesi, dan (d) Misi kesejahteraan. Kelihatannya, dari praktek pelaksanaan keempat

misi tersebut dua misi pertama - misi politis/ideologis, dan misi persatuan/organisasi - lebih

menonjol realisasinya dalam program-program PGRI. Ini dapat dibuktikan dengan telah

adanya wakil-wakil PGRI dalam badan legislatif seperti DPR dan MPR. Peranan yang lebih

menonjol ini dapat kita pahami sesuai dengan tahap perkembangan dan pembangunan bangsa

dalam era orde baru ini.

Dalam pelaksanaan misi lainnya, misi kesejahteraan, kelihatannya masih perlu

ditingkatkan. Sementara pelaksanaan misi ketiga, misi profesi, belum tampak kiprah

nyatanya dan belum terlalu melembaga.

Dalam kaitannya dengan pengembangan profesional guru, PGRI sampai saat ini

masih mengandalkan pihak pemerintah, misalnya dalam merencanakan dan melakukan

program-program penataran guru serta program peningkatan mutu lainnya. PGRI belum

banyak merencanakan dan melakukan program atau kegiatan yang berkaitan dengan

perbaikan cara mengajar, peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru, peningkatan

kualifikasi guru, atau melakukan penelitian ilmiah tentang masalah-masalah profesional yang

dihadapi oleh para guru dewasa ini.

Kebanyakan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan mutu profesi biasanya

dilakukan bersamaan dengan kegiatan peringatan ulahg tahun atau kongres, baik di pusat

maupun di daerah (Sanusi etal., 1991). Oleh sebab itu, peranan organisasi ini dalam

peningkatan mutu profesional keguruan belum begitu menonjol.

2. Jenis-Jenis Organisasi Keguruan

Di samping PGRI sebagai satu-satunya organisasi guru-guru sekolah yang diakui

pemerintah sampai saat ini, ada organisasi guru yang disebut Musyawarah .Guru Mata

Pelajaran (MGMP) sejenis yang didirikan atas anjuran pejabat-pejabat Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan

profesionalisasi dari guru dalam kelompoknya masing-masing. Kegiatan-kegiatan dalam

kelompok ini diatur dengan jadwal yang cukiip baik. Sayangnyaj belum ada keterkaitan dan

hubungan formal antara kelompok guru-guru dalam MGMP ini dengan PGRI.

Selain PGRI, ada lagi organisasi profesional resmi di bidang pendidikan yang harus

kita ketahui juga yakni Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), yang saat ini telah

Page 20: Bab II Konsep Profesi Keguruan

mempunyai divisi-divisi antara lain: Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), Himpunan

Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN), Himpunan Sarjana Pendidikan

Bahasa Indonesia (HSPBI), dan lain-lain. Hubungan formal antara organisasi-organisasi ini

dengan PGRI masih belum tarnpak secara nyata, sehingga belum didapatkan kerja sama yang

saling menunjang dan menguntungkan dalam peningkatan mutu anggotanya. Sebagian

anggota PGRI yang sarjana mungkin juga menjadi anggota salah satu divisi dari ISPI, tetapi

tidak banyak anggota ISPI staf pengajar di LPTK yang juga menjadi anggota PGRI.

Rangkuman

Jabatan guru merupakan jabatan profesional, dan sebagai jabatan profesional,

pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain

bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang

khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan

yang bersinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan yang permanen,

menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai organisasi profesional,

dan mempunyai kode etik yang ditaati oleh anggotanya.

Jabatan guru belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun

perkembangannya di tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut.

Usaha untuk ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan

organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan pemerintah.

Page 21: Bab II Konsep Profesi Keguruan

Daftar Pustaka

Amitai, Etzioni. 1969. The Semiprofessions and Their Organization Teachers, Nurses,

and Social Workers. New York: Free Press.

Blau, Peter dan Scott, W. Richard. 1965. Formal Organization. San Francisco:

Chandler.

Departemen Penerangan Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang Republik

Indonesia No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Jakarta: Dep. Penerangan

R.I.

Gideonse, Hendrick D.. 1982. The Necessary Revolution in Teacher Education.

Bloomington, Ind: Phi Delta Kappa.

Harris, Chester (ed.). 1960. Encyclopedia of Educational Research, erd. ed. New

York: The Macmillan Company, 1564 pp.

Hermawan, S. R.. 1979. Etika Keguruan. Suatu Pendekatan Terhadap Profesi dan

Kode Etik Guru Indonesia. Jakarta: FT Margi Hayu.

Howsam, Robert B., et al. 1976. Educating a Profession. Washington D.C: American

Association of Colleges for Teachers Education.

Nasutiorif S.. 1987. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Penerbit -. ..• =

Jenmars. ,

Page 22: Bab II Konsep Profesi Keguruan

National Education Association, Division of Field Service. 1948. The Yardstick of a

Profession. Dalam Institutes on Professional and Publik Relation* Washington D.C.: The

Association. Ornstein, Allan C., dan Levine, Daniel U.. 1984. An Introduction to the

Foundations of Education.. Third Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

PGRI. 1973. Kenang-Kenangan Kongrres PGRI XIII 21 s/d 25

November 1973 dan HUT PGRI XXVHI. Jakarta: PGRI.

Sanusi, Achmad, et al. 1991. Studi Pengembangan Model Pendidikan

Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung

Departemen P dan K.

Stinnett, T.M., dan Huggett, Albert J.. 1963. Professional Problems of Teachers.

Second Edition. New York: The Macmillan

Company. Suryamihardja, Basuni. 1986. PGRI sebagai Organisasi Profesi bagi

Guru. Bandung: IPBI.

Woodring, Paul. 1983. The Persistent Problems of Education. Bloonungton, Ind:

Phi Delta Kappa.

Page 23: Bab II Konsep Profesi Keguruan