BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY...

42
17 BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY DALAM MASYARAKAT PLURAL A. Konsep Negara Hukum Pancasila Konsep negara hukum, pada awalnya sangat dekat dengan tradisi politik negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Hamdan Zoelva yang mengutip Tamanaha, menjelaskan bahwa liberalisme yang lahir antara akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum dan negara hukum pada masa kini. 1 Secara embrionik, gagasan negara hukum telah disinggung oleh Plato ketika ia memperkenalkan konsep Nomoi. Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada hukum yang baik. Gagasan ini kemudian dipertegas oleh muridnya Aristoteles yang ditulis dalam bukunya Politica. Senada dengan Plato, konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Meski ide negara hukum telah ada sejak abad ke- 17, namun konsep negara hukum baru berkembang secara eksplisit pada abad ke-19 dengan munculnya istilah rechtsstaat yang bertumpu pada tradisi eropa kontinental, dan the rule of law yang bertumpu pada tradisi anglo saxon. 2 1 Hamdan Zoelva. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, (https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-Pancasila/, diunduh pada 10 Desember 2014. 2 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 2-3.

Transcript of BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY...

Page 1: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

17

BAB II

KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY DALAM

MASYARAKAT PLURAL

A. Konsep Negara Hukum Pancasila

Konsep negara hukum, pada awalnya sangat dekat dengan tradisi politik

negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Hamdan Zoelva yang

mengutip Tamanaha, menjelaskan bahwa liberalisme yang lahir antara akhir abad

ke-17 dan awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep

negara hukum dan negara hukum pada masa kini.1

Secara embrionik, gagasan negara hukum telah disinggung oleh Plato

ketika ia memperkenalkan konsep Nomoi. Plato mengemukakan bahwa

penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada hukum yang baik.

Gagasan ini kemudian dipertegas oleh muridnya Aristoteles yang ditulis dalam

bukunya Politica. Senada dengan Plato, konsep negara hukum menurut

Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan

kepada warga negaranya. Meski ide negara hukum telah ada sejak abad ke- 17,

namun konsep negara hukum baru berkembang secara eksplisit pada abad ke-19

dengan munculnya istilah rechtsstaat yang bertumpu pada tradisi eropa

kontinental, dan the rule of law yang bertumpu pada tradisi anglo saxon.2

1Hamdan Zoelva. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila,

(https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-Pancasila/,

diunduh pada 10 Desember 2014. 2 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 2-3.

Page 2: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

18

Menurut Jimly Asshiddiqie konsep negara hukum dengan istilah rechtstaat

telah dikembangkan oleh Imanuel Kant, F.J Stahl, Fichte dan lain-lain. Sedangkan

negara hukum dengan istilah the rule of law dikembangkan atas kepeloporan A. V

Dicey. Dengan mengutip Stahl, Jimly mengungkapkan empat ciri ataupun elemen

penting yang harus ada dalam negara hukum (rechtsstaat) yaitu:

1. perlindungan hak asasi manusia;

2. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia;

3. peradilan tata usaha negara (administrasi);

4. pemerintahan berdasarkan perundang-undangan.3

Sementara itu, Dicey menguraikan unsur-unsur negara hukum (the rule of

law) yang lahir dari tradisi anglo-amerika, sebagai berikut:

1. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law);

2. kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law);

3. terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang (due process of

law).4

Meski berasal dari tradisi dan latar belakang berbeda, baik rechtsstaat

maupun the rule of law lahir atas dasar yang sama, yakni perlindungan terhadap

hak-hak dan kebebasan individu serta pembatasan kekuasaan negara. Perumusan

ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat dan the rule of law sebagaimana

diungkapkan oleh Stahl dan Dicey di atas, kemudian dikembangkan dan

diintegrasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan untuk menandai

ciri-ciri negara hukum modern masa kini. The International Commisison of Jurist

3Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Mahkamah

Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2004), 122. 4Ibid.

Page 3: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

19

pada konverensinya di Bangkok tahun 1965 mencirikan konsep negara hukum

yang dinamis yakni:

1. perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu

konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh

perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

2. adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

3. adanya pemilihan umum yang bebas;

4. adanya kebebasan menyatakan pendapat;

5. adanya kebebasan berserikat, berorganisasi dan beroposisi;

6. adanya pendidikan kewarganegaraan.5

Sudargo Gautama mengemukakan, bahwa teori negara hukum pada

hakikatnya menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu suatu negara yang

berdasarkan hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu,

termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Karena pada

dasarnya, negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan

diri dari tindakan sewenang-wenang penguasa.6

Mahfud MD menambahkan, selain perlindungan terhadap hak-hak

individu untuk menggunakan hak asasinya, konsep negara hukum juga didasari

atas suatu pemahaman bahwa hukum ditentukan oleh rakyat dan untuk mengatur

hubungan diantara sesama rakyat. Begitu dekatnya hubungan antara paham negara

5Hamdan Zoelva, Negara Hukum dan Demokrasi: Peran Mahkamah Konstitusi dalam

Menegakkan Negara Hukum dan Demokrasi dalam “Negara Hukum yang Berkeadilan” (Bandung:

FH. Universitas Padjajaran, 2011), 623. 6 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983), 3.

Page 4: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

20

hukum dan kerakyatan, muncul sebutan negara hukum yang demokratis

(democratische rechstaat) yang mensyaratkan demokrasi sebagai salah satu asas

negara hukum. Ide tentang perlindungan hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat

akan menuntut suatu sistem negara hukum yang demokratis.7

Landasan pemikiran inilah yang kemudian melahirkan konsep negara

hukum Barat sebagaimana dirumuskan oleh beberapa ahli, yakni pandangan

negara hukum yang didasari oleh semangat liberalisme dan demokrasi dengan

pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak individu. Di samping itu,

rumusan-rumusan yang telah dipaparkan dengan jelas memperlihatkan bahwa

konsep negara hukum sesungguhnya bermuara pada satu hal pokok, yakni

pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dimana dalam

sebuah negara hukum, negara (pemerintah) harus tunduk dan mengikuti hukum

serta undang-undang yang ada, semua orang tanpa kecuali harus tunduk pada

hukum secara sama, yakni tunduk pada hukum yang adil. Dengan demikian,

perlindungan hak-hak fundamental warga negara dengan ketundukan para

pemegang kekuasaan negara pada hukum adalah merupakan esensi dari suatu

negara hukum.

Selain terdapat persamaan esensial dari rumusan-rumusan di atas, terlihat

pula perbedaan beberapa unsur dari konsep negara hukum dimasing-masing era

dan tempat dimana konsep itu lahir. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep

negara hukum pada dasarnya tidak bermakna seragam, tetapi dimaknai berbeda

dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, konsepsi negara hukum sangat

7 Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (Yogyakarta:Gama Media, 1999), 126-

127.

Page 5: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

21

tergantung pada pengaruh kesejarahan, idiologi, falsafah bangsa serta setting

sosial budaya di suatu negara. Maka, untuk mengetahui secara tepat konsep

negara hukum Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui gambaran sejarah

perkembangan pemikiran yang mendorong lahirnya konsep negara hukum

Indonesia.

Secara historis, sejak berdirinya negara Indonesia pada 17 Agustus 1945,

para pendirinya telah menetapkan bangsa ini sebagai negara hukum. Hal tersebut

dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang

selanjutnya disebut UUD 1945 pra amandemen, yakni penjelasan umum

mengenai sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa “Negara

Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak

berdasarkan kekuasaan (machtsstaat)”. Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) pasca

amandemen menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Rumusan tersebut oleh Soepomo diartikan bahwa negara harus tunduk pada

hukum, peraturan-peraturan hukum dan berlaku bagi seluruh badan serta alat-alat

perlengkapan negara.8

Dengan ungkapan lain, rumusan tersebut mencerminkan bahwa konstitusi

Indonesia (UUD 1945) juga menghendaki pembatasan kekuasaan negara oleh

hukum, sebagaimana konsep negara hukum Barat. Ini sekaligus membuktikan

bahwa munculnya ide negara hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konsep

negara hukum barat (rechtsstaat), sebagai konsekuensi dari kolonialisasi Belanda

yang telah menjajah Indonesia lebih kurang 350 Tahun.

8Teguh Prasetyo dan Arie Purnomisidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila

(Bandung: Nusa Media, 2014), 1.

Page 6: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

22

Meskipun awal kelahirannya diinspirasi dari konsep negara hukum Barat,

akan tetapi dalam tataran implementasi, negara hukum Indonesia memiliki

karakteristik yang berbeda, sesuai dengan dinamika sejarah yang melingkupinya.

Berbeda dengan latar belakang lahirnya pemikiran negara hukum Barat yang lahir

sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja,9 pemikiran atau ide

negara hukum Indonesia didasari oleh semangat kebersamaan dari seluruh elemen

bangsa untuk membebaskan diri dari kolonialisme dengan cita-cita terbentuknya

bangsa baru bernama Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan

makmur. Hal tersebut terlihat dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, sebagai

pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia dan dasar filosofis tujuan

negara.10

Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi dengan berdasarkan kajian dan

pemahaman terhadap unsur-unsur negara hukum Indonesia, menyimpulkan bahwa

konsep negara hukum yang diimplementasikan di Indonesia baik pada saat

berlakunya UUD 1945 pra amandemen maupun dalam UUD 1945 amandemen,

memiliki ciri khas Indonesia yang terkandung dalam Pancasila. Dengan

argumentasi tersebut, Negara Hukum Indonesia disebut dengan negara hukum

Pancasila, yakni suatu negara hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai, identitas

dan karakteristik yang terdapat dalam Pancasila. Landasan nilai-nilai Pancasila

dapat ditemukan pada lima sila dalam Pancasila, sedangkan identitas dan

9Menurut Paul Scholten, gagasan negara hukum muncul sebagai reaksi terhadap kerajaan

yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Rights 1689, yang berisi

hak dan kebebasan dari warga negara serta peraturan pengganti Raja di Inggris. Bahder Johan

Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: CV Mandar Maju, cet. III, 2014), 3. 10

Ibid.

Page 7: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

23

karakteristik yang ada dalam falsafah Pancasila adalah Ketuhanan, kekeluargaan,

gotong-royong dan kerukunan.11

Disisi lain, konsep negara hukum Pancasila mempunyai keistimewaan

tersendiri terkait dengan budaya dan corak masyarakat Indonesia yang pluralis.

Oleh karena itu, konsep negara hukum Indonesia harus disesuaikan dengan

struktur sosial masyarakat Indonesia serta harus bisa mengikuti perkembangan

zaman dengan berlandaskan pada cita-cita negara Indonesia modern.12

Ini penting

dilakukan agar negara hukum Indonesia dapat mewujudkan kesejahteraan dan

keadilan bagi warga negaranya. Meminjam istilah Satjipto Rahardjo, agar

Indonesia sebagai negara hukum dapat benar-benar menjadi rumah yang

membahagiakan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.13

Lebih lanjut, Teguh dan Arie mengidentifikasi unsur-unsur dalam negara

hukum Pancasila yang telah disesuaikan dengan perkembangan saat ini, dengan

mengacu pada pendapat beberapa ahli terutama dari Jimly Asshidiqie.

Menurutnya terdapat dua belas unsur penting yang harus ada dalam negara hukum

Pancasila masa kini, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) supremasi Hukum

(supremacy of law); 3) pemerintahan berdasarkan hukum; 4) demokrasi; 5)

pembatasan kekuasaan negara; 6) pengakuan dan perlindungan HAM; 7) asas

persamaan di depan hukum; 8) impeachment (pemakzulan); 9) kekuasaan

kehakiman yang bebas dan merdeka; 10) peradilan tata negara (mahkamah

konstitusi); 11) peradilan tata usaha negara; 12) negara kesejahteraan (welfare

11

Teguh, Membangun Hukum...46-48. 12

Ibid, 39. 13

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta

Press, 2008), 14.

Page 8: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

24

state).14

Unsur-unsur ataupun prinsip-prinsip dari negara hukum Pancasila sebagai

sebuah konsep sebagaimana disebutkan di atas, merupakan nilai yang diambil dan

“diramu” dari keseluruhan proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta

cita hukum negara Indonesia.15

Melalui penelusuran sejarah perkembangan pemikiran konsep negara

hukum akan didapatkan bahwa negara hukum berdasarkan Pancasila secara tegas

menempatkan agama (Ketuhanan) sebagai elemen yang sangat penting, yang

berbeda dari konsep negara hukum Barat yang memisahkan antara agama dan

negara (sekuler). Namun ini juga tidak berarti bahwa negara Indonesia adalah

negara agama (teokrasi), yang hanya mendasarkan pada satu agama tertentu,

melainkan negara yang mengakui dan menjadikan nilai luhur semua agama di

Indonesia sebagai pijakannya, sesuai dengan realitas Indonesia yang majemuk.

Penyebutan kata „Allah‟ dalam pembukaan UUD 1945 menunjukkan

bahwa prinsip Ketuhanan menjadi elemen utama dari elemen negara hukum

Indonesia, yang khas, yang membedakan dengan negara hukum yang dikenal

secara umum. Selain itu, adanya pluralitas budaya, suku, etnis dan agama yang

dimiliki oleh bangsa ini, menjadi keunikan dan kekayaan tersendiri jika dikelola

dengan baik sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi oleh founding people.16

14

Ibid, 60-134. 15

Dalam konstitusi negara Indonesia, cita negara hukum menjadi bagian yang tak

terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Maka, istilah

cita hukum (Rechtsidee) berarti konsep-konsep hukum menurut bangsa Indonesia (Pancasila).

Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum berdasarkan Pancasila (Yogyakarta: Media Perkasa,

2013), 66-68. 16

Pancasila yang terumus dalam Pembukaan UUD 1945 adalah modus vivendi atau

kesepakatan luhur bangsa Indonesia. Pancasila sangat relevan dengan realitas bangsa Indonesia

yang plural. Pancasila akan menjadi ruang bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang

semula saling bertentangan secara diametral. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara

Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta : Pustaka LP3ES, 2007), 35.

Page 9: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

25

Berkaitan dengan model relasi agama dan negara, John Titaley

meyakinkan bahwa konsep negara Pancasila merupakan model terbaik diantara

bangsa-bangsa di dunia, yang khas Indonesia, unik dan memiliki signifikansi

universal. Salah satu argumen yang dikemukakan adalah presentasi MM Thomas

yang menggambarkan empat model yang dibentuk oleh negara Asia dalam

menghadapi sekularisasi.17

Pertama, Negara sekularistik; bentuk negara yang melarang agama dan

tidak mendukung eksistensi agama. Contoh: RRC selama revolusi. Kedua, Negara

sekuler; bentuk negara yang mengizinkan agama eksis dan diakui negara, tetapi

agama tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Contoh: india. Ketiga,

Negara agama; negara ketika sebuah agama tertentu diakui sebagai agama resmi

dan mendiskriminasi agama lain. Contoh: Pakistan. Dan keempat, Negara

Pancasila; negara ketika agama dan aliran kepercayaan serta pandangan hidup

diijinkan untuk mempunyai hubungan dengan kehidupan politik. Contoh:

Indonesia. Dalam negara Pancasila, agama tertentu tidak dijadikan menjadi dasar

negara, tetapi negara mengambil nilai-nilai agama dalam konstitusi.18

Senada dengan Titaley, dalam buku “Negara Paripurna” Yudi Latif

mengungkapkan bahwa Pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia

yang paling realistis karena berpijak pada sejarah pembentukan nusantara itu

sendiri. Soekarno pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah tamansari

peradaban dunia. Di tamansari peradaban dunia inilah telah hidup berbagai

macam suku bangsa dengan warna kulit, bahasa serta keyakinan yang berbeda.

17

John A. Titaley, Religiositas di Alenia Tiga, Pluralisme, Naionalisme dan Transformasi

Agama-agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 155-156. 18

Ibid.

Page 10: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

26

Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah keniscayaan dalam proses pembentuk bangsa

Indonesia. Untuk itu toleransi, pluralisme dan Ketuhanan yang berakar pada

sejarah pembentukan bangsa harus terus menerus dibina dan dijaga eksistensinya.

Karena tanpa itu kita hanya tinggal menunggu kehancuran Indonesia.19

Titaley menambahkan, pada alenia ketiga pembukaan UUD 1945,

pernyataan “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa...” yang awalnya

berbunyi “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa...” mengindikasikan

bahwa negara baru bernama Indonesia saat itu mengakui dan menggunakan kata

“Tuhan” sebagai perwujudan “Yang Mutlak”, yang merupakan representasi semua

agama di Nusantara--bahkan yang tidak diakui sebagai agama- dan menjadikan

seluruh masyarakat Indonesia setara, sederajat dan manusiawi dihadapan hukum

dan dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Namun sayang, konsep keberagamaan Pancasila yang disebutnya sebagai

model keberagamaan inklusif transformatif ini telah dicedirai dan sering diingkari

oleh para pemimpin bangsa.20

Atas dasar pengakuan akan keberadaan dan

kemahakuasaan tersebut, negara hukum Pancasila wajib menjamin kebebasan

beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan.

1. negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

2. negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Pasal tersebut jelas menyatakan tentang hak beragama di Indonesia yang

dijamin oleh Undang-undang sebagai hak semua warga negara yang sah dan

19

Yudi Latif, Negara Paripurna:Historisitas,Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2011), 3. 20

Titaley, Religiositas di Alenia...153-154.

Page 11: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

27

setara yang merupakan landasan yuridis formal untuk keyakinan umat beriman.

Tugas dan fungsi negara juga sangat jelas dinyatakan yakni untuk melindungi,

menjamin, memfasilitasi serta memberi pelayanan kepada setiap warga negara

untuk menjalankan setiap bentuk praktik keagamaan secara netral dan fair.

Dalam konteks kebebasan beragama di negara hukum Pancasila, Teguh

dan Arie berpandangan bahwa negara hanya boleh melakukan intervensi dalam

masalah-masalah administratif seperti penyediaan sarana dan prasarana (tempat

ibadah) serta penyelesaian konflik antarumat beragama secara adil. Jadi urusan

tatacara dan ajaran dari agama-agama sama sekali bukan urusan negara.21

Dengan demikian, dalam konteks negara hukum Indonesia--yang merujuk

pada prinsip negara hukum Pancasila mutakhir-, kebebasan beragama hanya bisa

diwujudkan jika negara (Pemerintah) benar-benar menyadari keragaman

(pluralitas) masyarakat sebagai kenyataan normatif yang mendasari pendirian

Indonesia. Sehingga semua pihak dapat diperlakukan secara sama dan setara

dihadapan hukum yang adil.

Dengan asumsi tersebut, Pemerintah ditingkat nasional hingga lokal harus

secara konsisten menghindari praktik sewenang-wenang, diskriminatif dan

melanggar hak asasi manusia. Disamping itu, secara konsekuen dan tegas dapat

menindak segala bentuk kekerasan dan intoleransi yang mengancam kebebasan

beragama di negara bhineka tungggal ika.

Tanda tanya besar yang perlu diajukan kemudian, jika negara hukum

Pancasila telah dengan jelas menjamin kebebasan beragama warga negaranya,

21

Prasetyo, Membangun Hukum...67-68.

Page 12: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

28

mengapa pelanggaran terhadap kebebasan beragama tetap menjadi masalah serius

di bumi Pancasila?

Menurut Satjipto Rahardjo, dalam suatu konsep negara hukum disyaratkan

untuk selalu menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian

hukum dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.22

Maka, diperlukan

suatu sistem hukum yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak warga negara

termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama. Jika sistem merupakan suatu

kesatuan yang terdiri dari elemen yang saling berinteraksi, maka hukum sebagai

sebuah sistem merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri dari unsur-unsur yang

berkaitan erat satu dengan yang lain.

Teguh Prasetyo mencatat, sistem hukum merupakan suatu sistem yang

terbuka. Dalam sistem hukum yang terbuka kesatuan unsur-unsur dari sistem

hukum dipengaruhi faktor dari luar sistem, begitupun sebaliknya unsur-unsur

dalam sistem juga mempengaruhi unsur diluar sistem hukum tersebut. Oleh

karena itu, hukum selalu mengalami perkembangan mengikuti perkembangan

yang terjadi diluar sistem hukum itu sendiri.23

Terdapat tiga aspek dari sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman,

sebagaimana dikutip Teguh Prasetyo dan A. Halim Barkatullah, yaitu structure,

substance dan culture, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.

1. Struktur hukum, (legal structure), yakni terkait lembaga-lembaga yang

berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang. Seperti lembaga

pengadilan, lembaga legislatif dan penegak hukum.

22

Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 1978), 11. 23

Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum...40.

Page 13: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

29

2. Substansi hukum, (legal substance) yakni menyangkut isi, materi atau

bentuk dari peraturan hukum atau perundang-undangan.

3. Budaya hukum (legal culture), yakni menyangkut kepercayaan akan nilai,

pikiran dan harapan masyarakat.24

Hukum akan berperan dengan baik manakala ketiga aspek subsistem yaitu

struktur, substansi dan budaya hukum saling berinteraksi dan memainkan peranan

sesuai fungsinya, sehingga hukum akan berjalan secara serasi dan seimbang

sebagaimana mestinya. Namun apabila ketiga subsistem hukum tidak berfungsi

dengan baik, maka akan muncul problem dalam upaya memfungsikan hukum.25

Dalam suatu negara hukum, ketiga elemen sistem hukum tersebut harus

menjadikan hukum sebagai panglima agar sistem hukum dapat bersinergi dan

selaras mewujudkan keadilan bagi semua. Dalam konteks negara hukum

Pancasila, ketiga subsistem baik kelembagaan, isi peraturan maupun budayanya

harus menginternalisasikan nilai-nilai dan falsafah yang ada dalam Pancasila.

Apabila hukum atau peraturan justru menimbulkan konflik di masyarakat,

kemungkinan terjadi ketidak cocokan antara salah satu atau ketiga sub sistem

hukum diatas. Jika budaya hukum dalam masyarakat secara umum menghargai

pluralisme sebagaimana tercermin dalam Pancasila, namun lembaga hukum

ataupun pemerintah serta substansi hukum bertentangan dengan nilai-nilai dan

falsafah Pancasila maka bisa dipastikan akan menimbulkan chaos di masyarakat.

Sebaliknya, jika materi hukum telah sesuai dengan Pancasila namun otoritas

24

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:

Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: PT. Raja Grafindo,

2012), 312. 25

Ibid.

Page 14: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

30

lembaga dan budaya masyarakat tidak berkiblat pada kenyataan pluralisme bangsa

sebagaimana dijunjung dalam Pancasila, maka hukum tidak akan memberikan

keadilan bagi masyarakat. Begitu seterusnya, sehingga ketiga subsistem harus

sejalan agar hukum berfungsi dengan baik.

Di negara yang beraneka tradisi, suku, ras, bahasa dan agama seperti

Indonesia, dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan. Di

antara kepentingan itu ada yang berselaras dengan kepentingan yang lain, tetapi

ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan lain.26

Dalam

konteks ini pula hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk

mencapai tujuannya.

Roscoe Pound berpandangan bahwa dalam fungsi hukum tercakup dua hal.

Pertama, hukum berfungsi sebagai rekayasa sosial (law as tool a social

engineering). Fungsi hukum sebagai sarana untuk mengadakan pembaruan

(rekayasa sosial) mengehendaki agar perilaku masyarakat diarahkan sesuai

dengan hukum. Kedua, hukum sebagai kontrol sosial (law as tool as social

control). Fungsi hukum sebagai sarana untuk pengendalian sosial (kontrol sosial)

adalah hukum berfungsi sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga

masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri

dan harta bendanya.27

Dalam konteks sosiologi hukum, fungsi hukum adalah untuk menertibkan

dan mengatur pergaulan serta menyelesaikan konflik yang terjadi dalam

26

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama), 130. 27

Soerdjono Soekamto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Dalam Masyarakat (Bandung:

Alumni, 1983), 270.

Page 15: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

31

masyarakat.28

Sedangkan tujuan hukum seringkali diungkapkan dengan tiga hal

yang menentukan satu sama lain yakni kepastian, ketertiban (keteraturan) dan

keadilan.29

Maka, sebagaimana tujuan dan fungsi hukum, keberadaan hukum

menjadikan konflik tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat,

melainkan berdasarkan peraturan yang berorientasi pada keadilan, yakni

berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak

membedakan antara yang kuat dan yang lemah.

Ketika hukum telah dijadikan panglima dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, maka pola kehidupan dan sikap masyarakat maupun aparat negara

yang cenderung menyimpang dari norma hukum Pancasila akan dapat

dikendalikan dan mengalami perubahan. Dengan demikian, pendekatan sosiologis

juga diperlukan untuk menciptakan pola-pola baru agar masalah-masalah sosial

dapat dipecahkan dan mencapai tujuan dan fungsi sosial yang diharapkan,

sebagaimana termaktub dalam nilai-nilai dasar Pancasila.

B. Konsep Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama

Terdapat tiga konsep dasar penyelenggaraan negara telah lahir dari paham

yang menolak kekuasaan absolut menyusul renaissance yang bergelora di dunia

barat, yakni perlindungan hak asasi manusia, demokrasi dan negara hukum.

Dalam paham ini dikatakan, pemerintah berkuasa karena rakyat bukan lagi

sebagai wakil Tuhan. Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kuasa

28

Soerdjono Soekamto, Suatu Tinjaun Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial

(Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1989), 274. 29

Lili Rasjidi dan I.B Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Sebuah Sistem (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1993), 127.

Page 16: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

32

menyelenggarakan pemerintahan negara agar dapat memberi perlindungan atas

hak asasi manusia. Untuk melindungi hak asasi manusia negara harus dibangun di

atas prinsip negara hukum agar ada instrumen yang mengawasi dan mengadili jika

terjadi pelanggaran hak asasi manusia.30

Dengan kata lain, konsekuensi dari

negara hukum dan demokrasi adalah negara berkewajiban untuk melindungi hak-

hak asasi warganya, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.

Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu konsep etika politik modern

dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan

kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang

bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Konsep HAM

berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan

bermartabat (human dignity). Karena itu, esensi dari konsep HAM adalah

penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa

diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun, serta pengakuan

terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.31

Deklarasi Universal hak asasi manusia (Universal Declaration of Human

Rights) PBB pada 10 Desember 1948 atau dikenal dengan DUHAM merupakan

pernyataan definitif pertama tentang hak asasi manusia dan yang menyebutkan

secara jelas hak-hak yang bersifat universal. Meski secara gagasan, paradigma dan

kerangka konseptual telah ada sebelumnya dalam sejumlah dokumen historis

30

Nasution. Negara Hukum...9 31

Paul S. Baut dan Beny Harman, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia (Jakarta:YLBHI

1988), vi.

Page 17: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

33

seperti Magna Charta (1215), Bill of Rights England (1689), Rights of Man

France (1789), Bill of Rights USA (1791), Rights of Russian People (1917).32

Jan Materson dari komisi HAM PBB, dalam Teaching Human Rights

United Nation sebagaimana dikutip Baharudin Lopa menyatakan “Human Rights

could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and

without which can not live as human being”. Sementara John Locke

mengungkapkan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan

langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh

karenanya tidak ada kekuasaan dan keadaan apapun di dunia yang dapat

mencabutnya.33

Di Indonesia, definisi HAM secara terperinci diatur dalam UU Nomor 39

Tahun 1999 dimana jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan

menjadi bagian fundamental hak asasi manusia. Pada Pasal 1 disebutkan “hak

asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,

pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia”, Dengan kata lain, hak beragama yang merupakan hak asasi

manusia, adalah hak setiap manusia yang dibawa sejak lahir dan bersifat kodrati

(fundamental) sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa -bukan pemberian

32

Peter Baehr, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2001) 33

Dede Rosyada, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta:

Prenada Media, 2003), 200-201.

Page 18: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

34

manusia ataupun lembaga kekuasaan- yang harus dihormati dan dilindungi oleh

setiap individu, masyarakat dan negara.

Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen hak asasi

manusia internasional (DUHAM) secara jelas disebutkan pada Pasal 18: “Setiap

orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini

mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan

untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,

peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan

orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.”34

Selain dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak kebebasan

beragama dan berkeyakinan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini telah diratifikasi

pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isi dari kovenan tersebut

adalah sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,

berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau

menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,

baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum

atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan

ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh

dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu

agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.35

34

Baut, Kompilasi Hukum...81. 35

Ismail Hasani dan Nipospos Bonar Tigor (ed.), Mengatur Kehidupan Beragama;

Menjamin Kebebasan Beragama? Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan (Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 24.

Page 19: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

35

Maka dalam perspektif HAM, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan,

tercakup dalam delapan komponen utama sebagai berikut:

1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir,

berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk

menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya

sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.

2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara

individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk

memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan

peribadahannya.

3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan

yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi

suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.

4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan

menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di

dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis

kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk:

asli atau pendatang, serta asal usulnya.

5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati

kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa

pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan

keyakinannya sendiri.

Page 20: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

36

6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek vital dari kebebasan

beragama atau berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah

berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu

komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau

berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian dalam pengaturan

organisasinya.

7. Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk

menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh

undang-undang, dan itupun semata-mata demi kepentingan melindungi

keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum, serta

dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.

8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama

atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.36

Jika kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk dalam hak individu

yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (non derogable rights), maka kebebasan

beragama merupakan hak asasi manusia yang fundamental yang harus dijamin

dan dilindungi oleh negara. Prinsip non derogable rights menegaskan tentang

hak-hak mendasar yang bersifat absolut dan oleh karena itu tak dapat

ditangguhkan dalam situasi dan kondisi apapun.

Hak-hak yang tercantum dalam prinsip non drogable rigths ini mencakup

hak hidup, hak atas keutuhan diri, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas

beragama, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama didepan

36

Nur Kholis Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

(Jakarta: LBH, 2011), 20-21.

Page 21: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

37

hukum, hak untuk tidak dipenjara atas kegagalannya memenuhi kewajiban

kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku

surut. Dengan demikian, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan

hilangnya hak seseorang ataupun kelompok untuk bebas bergama, dapat

dikategorikan sebagai pelanggran HAM.37

Musdah Mulia dengan mengutip Nowak, menjelaskan bahwa kebebasan

beragama dalam bentuk kebebasan mewujudkan, mengimplementasikan, atau

memanifestasikan agama dan keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah

atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah

digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama

dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau

ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, penundaan pelaksanaan, pembatasan atau

pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.38

Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan,

pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan atas lima hal,

yaitu public safety; public order; public health; public morals;protection of rights

and freedom of others, sebagaimana penjelasan dibawah ini.

1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk

Melindungi Keselamatan Masyarakat). Pembatasan disini mencakup

tentang larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan

37

Ibid. 38

Musdah Mulia, HAM dan Kebebasan Beragama (Disampaikan pada acara Konsultasi

Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi

KUHP, tgl 4 Juli 2007 di Jakarta)

Page 22: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

38

pemeluknya. Sebagai contoh, ajaran agama yang ekstrim, yang

menghalalkan bom bunuh diri, baik secara individu maupun secara masal.

2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk

Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan dalam kebebasan

memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau

masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan

hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat atau keharusan mendirikan

tempat ibadah pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum

3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk

Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan

dengan kesehatan publik ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan

kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau

penyakit lainnya. Pemerintah mewajibkan melakukan vaksinasi atau

mengambil sikap ketika ada ajaran agama tertentu yang melarang

vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya.

4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi

Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang

menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.

5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom

of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan

orang lain). (1) Proselytism (Penyebaran Agama): Pemerintah dapat

membatasi kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agama mereka

melalui aktivitas-aktivitas misionaris. Ini dilakukan dalam rangka

Page 23: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

39

melindungi agar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau

dikonversikan. (2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari

agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari

orang lain, seperti hak hidup, hak untuk bebas dari kekerasan,

perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak pada kaum

minoritas.39

Dengan demikian, tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan,

pengaturan atau pembatasan kebebasan beragama di atas adalah dalam kerangka

untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik warga

negara.

Dalam hal kebebasan beragama di Indonesia, secara legalistik-formal,

republik ini telah menjaminnya sebagai hak sipil warga negara yang dijamin oleh

undang-undang, ini dapat ditemukan dalam pasal 28 dan pasal 29 UUD 1945 yang

secara jelas telah mengatur hal tersebut. Pasal 28 (e) ayat 1, 2 dan 3 undang-

undang hasil amandemen, menyebutkan:

1. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan

fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya

2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

nuraninya

3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat

39

Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkayakinan di Era Reformasi.

Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM, Penegakan HAM dalam 10 Tahun

Reformasi (Jakarta: Hotel Borobudur, 2008)

Page 24: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

40

Pasal di atas dipertegas dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 dimana negara harus

menjamin keberlangsungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa

2. Negara menjamin kebebasan individu untuk menjalankan kewajiban

menurut agama dan kepercayaannya.

Pasal-pasal ini kemudian dikuatkan dengan UU nomor 39 tahun 1999 ayat

1 dan 2 dengan redaksi sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu

2. Negara menjamin kemerdekaan kemerdekaan tiap orang memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan

kepercayaannya itu.

Pasal-pasal di atas telah secara gamblang dinyatakan tentang hak

beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang dijamin oleh konstitusi sebagai hak

semua warga negara yang sah dan setara yang merupakan landasan yuridis formal

untuk keyakinan umat beriman di Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga telah

meratifikasi beberapa kovenan internasional yang memberikan jaminan kebebasan

beragama dan berkeyakinan. Maka, amanat konstitusi tersebut sudah seharusnya

menjadi panduan dalam memproduksi kebijakan dibawahnya.

Nurkholis Hidayat mencatat, ketentuan jaminan nasional dan internasional

terdapat dalam beberapa instrumen antara lain: DUHAM Pasal 18, UUD 1945

Pasal 28e dan 29, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 dan 22, UU

Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan ICCPR atau kovenan tentang hak sipil

Page 25: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

41

dan politik, UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang pengesahan CERD atau kovenan

Penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, UU Nomor 11 Tahun 2005

tentang Ecosob atau Kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya.40

Maka, prinsip

kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu pada instrumen hukum

internasional mengenai HAM (DUHAM), juga mengacu pada konstitusi dan

sejumlah Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM.

Namun, dalam implementasi DUHAM yang merupakan tonggak

bersejarah peradaban manusia tersebut mengalami hambatan pelaksanaan

dikarenakan asumsi deklarasi ini adalah karya manusia yang tidak bisa melebihi

wahyu Tuhan sebagaimana klaim yang difatwakan oleh para pemuka agama di

beberapa belahan dunia. Akibatnya, negara yang seharusnya mendapat wewenang

penuh untuk melindungi perwujudan HAM tidak sanggup melaksanakan

kewajibannya ketika berhadapan dengan klaim tersebut. Oleh karenanya, menurut

Titaley, mengatasi eksklusivisme menjadi penting dalam relasi agama, negara dan

HAM. Selama eksklusivisme ini masih kental dalam kehidupan beragama

masyarakat, maka masalah masih akan terus terjadi di negeri Pancasila ini.41

Dalam masyarakat yang multi-SARA seperti Indonesia, agama memang

lebih dimaknai sebagai organisasi sosial dari pada seperangkat nilai dan

spiritualitas. Agama tidak hanya menjadi urusan pribadi antara hamba dengan

Tuhannya, tetapi juga sebagai landasan dan rujukan dalam setiap tindakan sosial,

politik, ekonomi dan budaya. Konsekuensi logis yang harus ditanggung, adalah

terjadinya tarik menarik antara agama dan kekuasaan, serta kompetisi dalam satu

40

Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus...19. 41

Titaley, Religiositas di Alenia...1-2.

Page 26: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

42

organisasi agama ataupun dengan agama lain. Kompetisi tersebut sesungguhnya

wajar terjadi dalam masyarakat, akan tetapi ketika kompetisi melebar ke arena

politik kekuasaan, yang terjadi kemudian adalah kontestasi merebut ruang publik

dan pengaruh politik. Disinilah sebuah regulasi yang adil dan dapat

mempertahankan kemajemukan menjadi sebuah kebutuhan.

C. Dari SKB ke PBM: Upaya Negara dalam Mengelola Kehidupan

Beragama

Tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum mengandung konsekuensi

bahwa negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warganya, baik

dalam bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan agama.

Sebagai negara yang bertanggungjawab atas terciptanya kerukunan

antarumat beragama, Pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya dalam

menjaga hubungan harmonis antarumat beragama. Salah satunya dengan

membenahi peraturan tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam

Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah

Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya” dalam Surat Keputusan Bersama (selanjutnya

disebut SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dengan Nomor

01/BER/MDN-MAG/1969, yang telah dikeluarkan pada 13 Desember 1969.42

Regulasi ini lahir untuk menjawab tantangan baru hubungan antaragama

pada masa Orde Baru. SKB ini tidak secara khusus mengatur tentang pendirian

rumah ibadah. Peraturan tersebut secara umum mengatur tentang pengembangan

42

Dokumen SKB Nomor 1 tahun 1969.

Page 27: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

43

dan penyiaran agama yang di dalamnya terkait dengan keberadaan rumah ibadah.

Pada Pasal pendirian rumah ibadah, SKB Dua Menteri ini menyatakan bahwa

pendirian rumah ibadah harus mendapatkan ijin dari kepala daerah setempat. Ijin

pendirian rumah ibadah akan dikeluarkan jika. pemohon telah mendapatkan

rekomendasi dari kepala perwakilan Departemen Agama, peneliti planologi, dan

persetujuan dari masyarakat setempat.43

Namun, maraknya konflik tempat ibadah yang memuncak di tahun 2005

semakin memicu ketegangan sosial diantara kelompok agama. SKB tersebut

dinilai banyak kalangan multitafsir dan diskriminatif. Maka Pemerintah-pun

terdesak memperbarui regulasi rumah ibadah yang terdapat dalam SKB no 01

tahun 1969, sehingga regulasi yang khusus mengatur tentang rumah ibadah segera

direalisasikan. Satu tahun kemudian, pada 2006 Pemerintah menerbitkan

Peraturan Bersama Menteri (selanjutnya disebut PBM) tentang “Pedoman

Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan

Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama

dan Pendirian Rumah Ibadah” no 8 dan 9 tahun 2006.44

PBM ini sangat detail mengatur kewenangan pemeliharaan kerukunan

umat beragama, mekanisme perijinan rumah ibadah, dan penyelesaian jika terjadi

konflik. PBM terdiri dari 30 Pasal yang dibagi dalam 10 bab, yakni: (1) Ketentuan

Umum; (2) Tugas Kepala Daerah; (3) Tugas dan Peran Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB); (4) Pendirian Rumah Ibadah (5) Rumah Ibadah Sementara;

(6) Ijin Sementara Pemanfaatan Gedung; (7) Penyelesaian Perselisihan; (8)

43

Ihsan Ali Fauzi, Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS UGM, 2011), 34. 44

Suara Merdeka, 23 Maret 2006, Menag: Sudah Tidak Multitafsir.

Page 28: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

44

Pengawasan dan Pelaporan; (9) Sumber Dana FKUB; dan (10) Mekanisme

Peralihan dan Penutup. PBM ini antara lain mengatur bahwa pendirian rumah

ibadah wajib memenuhi syarat, yaitu (1) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk

(KTP) 90 orang pengusul rumah ibadah yang disahkan oleh pejabat sesuai dengan

batas wilayah setempat, (2) KTP 60 orang warga setempat yang disahkan oleh

kepala desa atau lurah, (3) Rekomendasi tertulis dari kantor Departemen Agama

kabupaten atau kota setempat, (4) Rekomendasi dari FKUB kabupaten setempat

Rekomendasi tersebut harus didasarkan pada musyawarah mufakat dan tidak

dapat dilakukan dengan voting.45

Oleh Pemerintah PBM ini dianggap lebih baik karena disusun berdasarkan

berbagai pengalaman penerapan SKB sebelumnya, sehingga kekurangan yang ada

bisa diperbaiki. Namun, setelah hampir sembilan tahun PBM ini

diimplementasikan, celah diskriminasi justru semakin lebar terjadi pada warga

minoritas. Seperti di Bali, warga muslim yang merupakan minoritas tetap sulit

untuk mendirikan rumah ibadah, dan warga Kristen kesulitan mendirikan

bangunan di wilayah yang mayoritas Islam, begitu pula sebaliknya. Kesulitan ini

lebih disebabkan karena PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006 terlalu rigid mengatur

hal-hal yang bersifat administratif.46

45

Dokumen PBM Nomor 8 dan 9 tahun 2006. 46

Dari penelitian yang dilakukan oleh Tim dari Paramadina dan CRCS, menyimpulkan

bahwa peluang diskriminasi dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu: pertama, politisasi

kewenangan pemerintah daerah dalam megeluarkan IMB. Kedua, keanggotaan FKUB berdasarkan

presentasi jumlah pemeluk agama, mengakibatkan minoritas selalu kalah dalam voting meski

tertera bahwa keputusan FKUB harus dengan musyawarah mufakat. Ketiga, persyaratan dukungan

60 KTP seringkali melahirkan diskriminasi pada masyarakat yang kurang toleran. Fauzi,

Kontroversi Gereja...37-38 .

Page 29: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

45

Berdasarkan konstitusi, regulasi negara, dan sejumlah instrumen hukum

internasional sebagaimana disebutkan pada sub bab sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa tidak ada alasan bagi siapapun, termasuk negara untuk

melarang umat beragama mendirikan rumah ibadah. Jadi, pendirian rumah ibadah

merupakan hak setiap individu atau kelompok masyarakat. Mengutip Dawam

Rahardjo, pendirian rumah ibadah seharusnya tidak lebih sulit dari pada pendirian

bangunan lainnnya seperti pendirian panti pijat ataupun klub malam. Karena pada

hakikatnya pendirian rumah ibadah tak memiliki bahaya apapun, sebaliknya hal

itu akan menjadi berkah bagi semua orang, dikarenakan kehadiran rumah ibadah

meniscayakan hadirnya manusia-manusia beriman yang berakhlak mulia.47

Menurut Nella Sumika Putri, pada dasarnya pembatasan kebebasan

beragama yang dilakukan oleh Pemerintah diperkenankan dan tidak melanggar

HAM sepanjang berkaitan dengan forum externum (kebebasan memanifestasikan

ajaran yang dipeluknya) dan dilaksanakan tanpa ada diskriminasi. Hal ini pun

dengan catatan bahwa pembatasan hanya boleh didasarkan pada undang-undang.

Akan tetapi, karena PBM no 8 dan 9 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah

bukan merupakan produk undang-undang dan dalam pengimplementasiannya

melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan, maka dapat dikatakan PBM tersebut

merupakan produk yang inkonstitusional.48

Maka dalam konteks tersebut, keberadaan regulasi yang secara

komprehensif menjamin terlaksananya hak beragama dan berkeyakinan semakin

47

Dawam Rahardjo, Kebebasan Beragama Bukan Karunia Pemerintah (Jakarta: Veritas

Dei vol 6 Juni 2012 Tahun III), 5. 48

Nella Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama di Indonesia (External Freedom)

dihubungkan Ijin Pembangunan Rumah Ibadah (Bandung: Jurnal Dinamika hukum Unpad, vol. 11

no. 2 Mei2011), 237.

Page 30: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

46

mendesak diejawantahkan. Regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum

bagi setiap warga negara Indonesia dalam melaksanakan haknya atas kebebasan

untuk beragama dan berkeyakinan di negara multi-SARA ini.

Dengan hadirnya regulasi pendirian rumah ibadah yang adil, netral dan

non-diskriminatif maka akan dapat mencegah regulasi sosial yang diciptakan oleh

kelompok-kelompok diluar institusi negara. Karena pada realitasnya, regulasi

sosial lebih membatasi kebebasan beragama dibanding regulasi yang dibuat

negara, disebabkan negara seringkali tunduk pada tekanan sosial dari kelompok-

kelompok yang mengatasnamakan mayoritas.

D. Konsep Civil Society dalam Masyarakat Plural

Secara analitis, konsep civil society bukanlah merupakan suatu konsep

yang final dan „siap pakai‟, melainkan sebuah wacana yang harus dipahami

sebagai sebuah proses yang terus berkembang dan berdialog dengan zamannya.

Oleh karena itu diperlukan sebuah analisa historik dalam rangka memahami dan

menemukan ciri atau konsep civil society yang relevan dengan setting sosial-

kultural, politik dan ekonomi suatu bangsa. Dalam kajian ini, konsep civil society

dipakai untuk menjelaskan sejauh mana suatu kelompok gerakan masyarakat

dapat disebut sebagai bagian dari civil society.

Di Indonesia, sebagai sebuah terminologi, civil society memiliki

penerjemahan yang berbeda-beda. Diantara terjemahan tersebut adalah

masyarakat sipil, masyarakat madani, masyarakat kewargaan, masyarakat warga

dan civil society (tanpa diterjemahkan). Dalam studi ini, penulis menggunakan

Page 31: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

47

istilah masyarakat sipil sebagai terjemahan dari civil society untuk

menggambarkan sebuah konsep atau tatanan komunitas masyarakat yang

mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban serta menghargai

pluralisme sebagai sebuah keharusan dalam konteks keindonesiaan.

Secara historis, wacana mengenai civil society (masyarakat sipil) bermula

dan berkembang dalam tradisi pemikiran politik Barat dan telah melalui

perjalanan sejarah sejak zaman Yunani kuno. Wacana masyarakat sipil merupakan

konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat

yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju

kehidupan masyarakat industri kapitalis.49

Gagasan masyarakat sipil telah ada dalam pembicaraan tentang filsafat

sosial pada abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 di Eropa.50

Bahkan menurut

beberapa sarjana, wacana masyarakat sipil telah mengemuka sejak abad ke-4 SM

dalam pemikiran Aristoteles (384-322 SM), yang dipahami dengan istilah

koinonia politike (masyarakat politik). Istilah ini dikemukakan Aristoteles untuk

menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di

dalamnya bekedudukan sama didepan hukum (ethos).51

Dalam konsep Aristoteles

gagasan masyarakat sipil adalah sebuah ide tentang keadilan bagi semua warga

negara untuk diperlakukan setara tanpa membedakan apapun.

49

M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan

Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 133. 50

Ibid. 51

Ethos dalam masa itu dipahami sebagai seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya

berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari

berbagai bentuk interaksi diantarawarga negara. Jean L.Cohen dan Andrew Arato, Civil Society

and Political Theory (Cambridge: MIT Press, 1992), 84-85.

Page 32: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

48

Konsepsi Aristoteles ini kemudian diikuti oleh Marcus Tullius Cicero

(106-43 SM) yang mula-mula menggunakan istilah dari bahasa latin societies

civilies, yang secara harfiah diterjemahkan dengan civil society. Lahirnya istilah

tersebut berkaitan dengan warga romawi yang hidup di kota yang telah memiliki

hukum sipil (civil law) sebagai ciri masyarakat beradab berhadapan dengan warga

diluar romawi yang dianggap belum beradab (barbarian). Dalam jangka waktu

cukup lama, istilah tersebut menghilang dan baru muncul kembali pada

pertengahan 1950-an hingga 1960-an.52

Thomas Hobes, John Locke dan JJ. Rousseau adalah orang yang

menghidupkan kembali istilah civil society (masyarakat sipil) di alam modern.

Hobbes, Locke dan Rousseau memahami masyarakat sipil sebagai tahapan lebih

lanjut dari natural society (masyarakat alami) dengan mentautkan asal-usul negara

atau masyarakat politik sebagai hasil dari kontrak sosial. Terlepas dari perbedaan

gagasan diantara mereka, ketiga tokoh ini hendak menggambarkan satu bentuk

masyarakat beradab sebagaimana dicita-citakan Aristoteles dan Cicero. Baik

dalam pandangan Hobes, Locke maupun Rousseau belum dikenal perbedaan

antara masyarakat sipil, masyarakat politik dan negara.53

Dengan kata lain,

mereka meyakini masyarakat sipil sebagai kebalikan dari masyarakat alami dan

ketiganya masih mengidentikkan negara, masyarakat politik dan masyarakat sipil

sebagai entitas yang sama, yang membedakan dengan masyarakat alami.

Arief Budiman memiliki pandangan senada terkait sejarah lahirnya

gagasan masyarakat sipil. Menurutnya, kehadiran konsep masyarakat sipil di

52

Rahardjo, Masyarakat Madani...137. 53

Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, Wahana dan Aksi Ornop di Indonesia

(Jakarta:LP3ES, 2006), 44.

Page 33: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

49

Eropa tidak dapat dilepaskan dari munculnya konsep natural society (masyarakat

alami). Ini adalah sebuah konsep tentang masyarakat dimana mereka hidup secara

alamiah dan belum mengenal hukum kecuali hukum alam (hukum rimba). Untuk

mengatasi hal yang memungkinkan adanya pertentangan antar kelompok atau

antar individu, rakyat kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada suatu badan

yang disebut sebagai negara. Badan ini kemudian berkembang dan mempunyai

kekuasaan yang sangat besar yang mampu mengontrol semua kehidupan

masyarakat. Kekuatan dan hukum alam kemudian digantikan dengan kekuatan

dan hukum politik yang dikenal sebagai political society (masyarakat politik).54

Perbedaan antara masyarakat sipil dan negara baru muncul pada

pandangan G. W. F Hegel yang kemudian diikuti Karl Marx dan Antonio Gramsci

yang me-vis-a-vis-kan masyarakat sipil dengan negara, dan tidak lagi

menyamakan masyarakat sipil dengan pemerintahan sipil (negara). Ketiga tokoh

ini menekankan konsep masyarakat sipil sebagai elemen ideologi kelas dominan

(borjuis) yang melawan tindakan sewenang-wenang negara.55

Dengan demikian,

Hegel dan pengikutnya telah mengembangkan konsep masyarakat sipil dengan

menambahkan domain masyarakat ekonomi yang menyatu dengan masyarakat

sipil dan memisahkan domain masyarakat politik yang identik dengan negara.

Pada periode berikutnya, konsep tentang masyarakat sipil dikembangkan

oleh Alexis de‟ Tocqueville, sebagai reaksi atas pemikiran Hegel. Meski ia sendiri

merupakan orang berkebangsaan Perancis, namun ia telah memberikan gambaran

cukup komperhensif mengenai konsep masyarakat sipil dalam konteks demokrasi

54

Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia (Clayton: Center of Southheast Asian

Studies Monash University, 1990), 3-4. 55

Ibid, 48-50.

Page 34: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

50

Amerika Serikat. Pada awal pembentukannya, demokrasi di sana dijalankan

melalui masyarakat sipil berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat yang

concern membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi

negara. Dalam konteks ini, teori masyarakat sipil dikembangkan sebagai

komunitas penyeimbang kekuatan bagi negara agar tidak bertindak sewenang-

wenang.

Tocqueville berpandangan bahwa kekuatan politik dan masyarakat sipil

telah menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Masyarakat sipil

dalam konteks ini digambarkannya sebagai masyarakat yang menjunjung

pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik. Dengan prasyarat tersebut

Tocqueville mengasumsikan warga negara akan mampu mengimbangi dan

mengontrol kekuatan negara.56

Disini, Tocqueville masih mengidentikkan domain

masyarakat politik dengan negara, meski di sisi lain ia juga telah mengembangkan

gagasan Gramsci dengan memisahkan atau mendikotomikan hubungan

masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi.57

Berbeda dengan para pendahulunya yang memposisikan masyarakat sipil

sebagai kelompok subordinatif negara. Paradigma yang diusung Tocqueville ini

lebih menekankan pada masyarakat sipil yang tidak apriori subordinatif terhadap

negara. Konsep masyarakat sipil dalam pengertian ini merupakan suatu entitas

yang keberadaanya mampu melampaui batas-batas kelas dan dapat menjadi

kekuatan penyeimbang (balancing force) terhadap kecenderungan intervensionis

negara. Pada saat yang sama, masyarakat sipil mampu melahirkan kekuatan kritis

56

Alexis de Tocqueville, Democracy in America (New York: Alferd A Knopf, 1994). 57

Culla, Rekonstruksi Civil... 48

Page 35: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

51

reflektif (reflective force) yang dapat mencegah atau mengurangi derajat konflik

dalam masyarakat. Timbulnya konflik dalam masyarakat oleh Tocqueville disebut

sebagai akibat dari proses formasi sosial modern yang mendorong terjadinya

formalisme dan kekuatan birokratis.58

Bagi Tocqueville, masyarakat sipil bertanggung jawab mengontrol negara

yang cenderung despotik. Karena itu, masyarakat sipil harus mencari dan

menemukan perangkat yang dapat digunakan untuk membatasi kekuasaan negara,

misalnya dengan pembagian kekuasaan atau pemilihan umum secara periodik.

Kontrol kekuasaan tetap dipegang oleh masyarakat sipil. Interaksi asosiasi-

asosiasi bebas dan mandiri yang mampu mengimbangi kekuasaan negara, oleh

Tocqueville disebut sebagai independent eye of civil society.59

Penjelasan tentang teori masyarakat sipil dalam paradigma Tocquevellian

di atas menuju pada satu definisi bahwa masyarakat sipil merupakan suatu

komunitas atau kelompok masyarakat yang memposisikan diri sebagai

penyeimbang kekuatan (balancing force) agar kekuatan besar yang dimiliki oleh

negara tidak menghegemoni dan memasung kebebasan masyarakat yang sejatinya

adalah pemilik negara. Karakteristik yang dapat disarikan dari konsep Tocqueville

dalam konteks Amerika Serikat adalah, 1) menjunjung pluralitas; 2) bersifat

otonom (mandiri); 3) egaliter; 4) memiliki kapasitas politik; 5) bersikap kritis dan

reflektif terhadap segala kebijakan negara.

Konsep tentang masyarakat sipil kontemporer dengan kerangka

pemahaman lebih luas, dikemukakan oleh Jean Louis Cohen dan Andrew Arato.

58

M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1997), 84-85.. 59

Neera Chandoke, The State and Civil Society: Exploration in Political Theory (New

Delhi: Sage Publications, 1995), 161.

Page 36: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

52

Kedua ilmuwan ini mengembangkan konsep masyarakat sipil dengan

menyebutkan:

...a sphere of social interaction between economy and state, compose

above all of the intimate sphere (especially the family), the sphere of

associations (especially voluntary associations), social movements, and

forms of public communications60

Dalam pengertian ini masyarakat sipil merupakan suatu ruang interaksi

sosial antara ekonomi dan negara. Pemahaman terhadap ruang disini adalah suatu

ruang asosiasi bersifat sukarela yang terwujud dalam gerakan-gerakan sosial dan

bentuk-bentuk komunikasi publik. Selanjutnya ia menciptakan bentuk-bentuk

konstitusi-diri dan memobilisasi diri serta diinstitusionalisasi dan digeneralisasi

melalui hukum dan hak-hak subjektif.

Menurut Cohen dan Arato masyarakat sipil adalah wilayah sosial di luar

lembaga resmi yang tidak hanya mengontrol proses ekonomi, namun juga

mengkritik dan mengontrol negara, sekaligus mengkritik dan memisahkan

masyarakat politik sebagai domain yang tunggal. Dengan demikian masyarakat

sipil mengacu pada kehidupan individu dalam organisasi yang bekerjasama

membangun ikatan sosial, menggalang solidaritas kemanusiaan di atas prinsip-

prinsip egaliterianisme dan inklusivisme universal.

Bagi Cohen dan Arato masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan

juga penghasil ruang publik politis. Ruang publik politis yang dihasilkan aktor-

aktor masyarakat sipil dicirikan oleh pluralitas (kelompok non formal dan

kelompok sukarela), publisitas (media massa dan institusi budaya), privasi (moral

60

Cohen, Civil Society...ix.

Page 37: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

53

dan pengembangan diri) serta legalitas (struktur hukum dan hak-hak dasar).

Sedangkan karakter dari masyarakat sipil minimal harus memiliki empat prasyarat

yang harus dipenuhi yaitu otonom (autonomy); wilayah publik yang bebas (free

public sphere); wacana publik (public discource); dan interaksi berdasarkan

prinsip-prinsip kewarganegaraan (citizenship).61

Melalui penelusuran historik di atas, terlihat bahwa konsep masyarakat

sipil sangat beragam, tidak hanya dalam terminologi tapi tentunya dalam gagasan

yang berkelindan disetiap terminologi yang muncul dan berkembang seiring

perkembangan sejarahnya. Dari masa Aristoteles yang memaknai masyarakat sipil

sebagai satu entitas dengan negara, hingga era Cohen dan Arato yang memandang

masyarakat sipil sebagai entitas yang berbeda dengan domain negara, masyarakat

politik dan masyarakat ekonomi. Penulis akan menghadapi masalah ketika harus

mengadopsi dan menerapkan konsep teori-teori Barat tanpa memperhatikan

konteks sejarah serta pengalaman negeri non-Barat yang berbeda.

Dalam pengelompokan pandangan masyarakat sipil, tampak bahwa

masyarakat sipil menjadi prasyarat utama yang diperlukan dalam sebuah proses

demokratisasi, dimana prinsip egalitarianisme dan supremasi hukum dijunjung

tinggi. Ini semakin diperjelas oleh Tocqueville yang mengambil pengalaman

demokrasi Amerika, bahwa tujuan masyarakat sipil adalah sebagai wadah

asosiasi untuk berpartisipasi dalam mengawal, menjaga, dan mengawasi

pemerintah dengan segala kebijakannya agar tidak hegemonik dan otoriter.

Dengan harapan, pemerintah akan menjalankan fungsinya untuk menjamin hak

61

Ibid, 46-61

Page 38: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

54

milik, kehidupan, pluralitas dan kebebasan para anggotanya serta tidak

mendominasi masyarakat.

Dalam kajian ini penulis mengidentifikasi beberapa karakteristik

masyarakat sipil yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Indonesia untuk

menjadi pijakan dalam merumuskan sebuah konsep masyarakat sipil yang lebih

spesifik, aktual dan kontekstual dengan keindonesiaan saat ini. Identifikasi ini

bermanfaat untuk menganalisa sejauh mana sebuah asosiasi, organisasi,

komunitas ataupun kelompok masyarakat bisa disebut sebagai bagian dari

masyarakat sipil yang dapat mendorong laju demokrasi di negeri berbhineka ini.

AS Hikam dengan memegang konsep Tocqueville, mendiskripsikan

konsep masyarakat sipil Indonesia sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang

terorganisasi dan bercirikan antara lain 1) kesukarelaan (voluntary); 2)

keswasembadaan (self-generating); 3) keswadayaan (self-supporting); 4)

kemandirian tinggi berhadapan dengan negara; dan 5) keterkaitan dengan norma-

norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Apabila esensi dari

masyarakat sipil adalah ketundukan pada norma hukum, maka dalam konteks

negara hukum pancasila, masyarakat sipil adalah masyarakat yang mengacu pada

identitas, nilai-nilai serta karakteristik dalam Pancasila. Ketiga norma tersebut

terkandung dalam lima sila pancasila dan nilai-nilai komunal seperti gotong-

royong, kekeluargaan, toleransi dan ketuhanan.

Hikam menjelaskan bahwa pada konteks ruang politik, masyarakat sipil

adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan

refleksi mandiri dan tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material maupun

Page 39: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

55

terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalam masyarakat

sipil tersirat pentingnya ruang publik yang bebas (free public sphere) tempat

dimana komunikasi yang bebas dapat dilakukan oleh warga masyarakat.62

Menurut Bahtiar Effendy, sebagai sebuah konsep masyarakat sipil

memang memiliki banyak pandangan. Namun ada satu kesamaan garis besar

bagaimana konsep tersebut dipahami, yakni istilah “civilitas” yang merupakan inti

dari konsep tersebut. Terdapat tiga ciri pokok dari masyarakat sipil menurutnya

yakni toleran terhadap perbedaan cara pandang, pembatasan kekuasaan negara

dan kebebasan berekspresi dalam menentukan pilihan jalan hidup.63

Dede Rosyada berpandangan bahwa dalam merealisir wacana masyarakat

sipil diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat

dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi

dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat sipil. Dalam konteks ini Dede

mengidentifikasi syarat masyarakat sipil Indonesia dalam lima hal: 1) ruang

publik yang bebas, 2) demokratis, 3) toleran, 4) pluralisme, 5) keadilan sosial.64

Merujuk pada definisi serta ciri-ciri yang dikemukakan oleh beberapa

sarjana di atas, penulis mengidentifikasi karakeristik masyarakat sipil di negara

hukum pancasila sebagai berikut:

1. Sukarela, Swasembada dan Swadaya

Adanya suatu komunitas bersifat sukarela (tanpa paksaan) yang menjamin

berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung

62

Hikam, Demokrasi dan...3 63

Bahtiar Effendy, Masa Depan Civil Society di Indonesia dalam “Masyarakat Agama dan

Pluralisme Keagamaan” (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 162 64

Dede Rosyada...247-250

Page 40: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

56

oleh kondisi kehidupan material (swasembada) dan tidak menjadi

subordinasi negara dengan terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan

politik resmi (swadaya).

2. Otonom

Sebuah komunitas gerakan masyarakat sipil harus mampu mengambil

sikap yang mandiri, independen serta bebas intrvensi negara, ataupun

pihak lain seperti masyarakat ekonomi maupun masyarakat politik.

3. Ruang dan wacana publik yang bebas

Individu-individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan

transaksi wacana pada ruang publik yang bebas tanpa mengalami distorsi

dan kekhawatiran. Masyarakat berhak melakukan kegiatan secara merdeka

dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta

mempublikasikan informasi kepada publik.

4. Demokratis

Sebuah asosiasi masyarakat sipil secara ekspisit harus mensyaratkan

tumbuhnya demokrasi dan memberikan kesadaran bahwa warga negara

adalah pemilik negara

5. Egaliter

Dalam interaksinya masyarakat sipil dapat berlaku santun dengan

sekitarnya tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan.

Page 41: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

57

6. Toleran

Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat sipil

untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas

yang dilakukan orang lain.

7. Pluralisme

Komunitas masyarakat sipil harus berlandaskan pada penghargaan

terhadap kemajemukan bangsa. Pluralisme tidak hanya dipahami dengan

sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk,

tetapi disertai dengan menyadari dan bersikap tulus menerima kenyataan

pluralisme bernilai positif dan merupakan rahmat Yang Kuasa.

8. Keadilan sosial

Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian

yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang

mencakup seluruh aspek kehidupan.

9. Pembatasan kekuasaan negara

Tugas masyarakat sipil adalah mengontrol Negara dengan membatasi

kekuasaan negara. Masyarakat dapat melakukan partisipasi dan

mengkritisi kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan

berinteraksi, dengan semangat toleransi.

10. Terikat dengan norma hukum

Hubungan baik antara masyarakat sipil dengan negara, tidak berarti bahwa

masyarakat sipil dapat merebut kekuasaan atas negara atau mendapatkan

posisi dalam negara.

Page 42: BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/2/T2_752013019_BAB II... · ke-17 dan awal abad ke-18 ... namun konsep negara hukum

58

Apabila gerakan kemasyarakatan adalah pertanda kehadiran masyarakat

sipil, maka kararakeristik masyarakat sipil Indonesia dalam studi ini akan menjadi

indikator dan alat analisa, apakah sebuah asosiasi, organisasi, komunitas atau

suatu kelompok gerakan masyarakat dapat dikatakan sebagai bagian dari

masyarakat sipil, atau justru sebaliknya akan berwujud kelompok gerakan yang

menghegemoni negara dan kelompok yang lain (uncivil society).