BAB II KONSELING FEMINIS -...

29
BAB II KONSELING FEMINIS Bagian ini membahas mengenai teori-teori yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian. Namun, sebelum membahas mengenai peran single parent terhadap anak dari perspektif konseling feminis, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pemahaman para ahli tentang defenisi, single parent masalah-masalah yang dihadapi single parent, peran single parent dalam pemenuhan kebutuhan anak. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peran seperti apa yang harus dijalankan single parent terhadap anak. 2.1 Defenisi Single Parent Friedman dalam pandangannya mengatakan bahwa, “single parent merupakan bentuk keluarga yang di dalamnya hanya terdapat satu orang kepala rumah tangga yaitu ayah atau ibu”. 1 Qaimi menjelaskan, perempuan “single parent adalah suatu keadaan seorang ibu menduduki dua jabatan sekaligus, sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah, dan sebagai ayah. Selain itu dia akan memiliki dua bentuk sikap, sebagai ibu yang harus bersikap lembut terhadap anaknya, dan sebagai ayah yang bersikap jantan dan bertugas memegang kendali aturan dan tata tertib keluarga, serta berperan sebagai penegak keadilan dalam kehidupan rumah tangga. 2 Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, penulis memberi kesimpulan bahwa; pengertian perempuan single parent adalah seorang perempuan yang suaminya sudah meninggal 1 Friedman, Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik, (Jakarta : EGC,1998), 19 2 Qaimi, A. Single parent: Peran Ganda Ibu dalam Mendidik Anak. (Bogor: Cahaya, 2003), 23

Transcript of BAB II KONSELING FEMINIS -...

BAB II

KONSELING FEMINIS

Bagian ini membahas mengenai teori-teori yang dibutuhkan untuk kepentingan

penelitian. Namun, sebelum membahas mengenai peran single parent terhadap anak

dari perspektif konseling feminis, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa

pemahaman para ahli tentang defenisi, single parent masalah-masalah yang dihadapi

single parent, peran single parent dalam pemenuhan kebutuhan anak. Hal ini

bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peran seperti apa yang harus

dijalankan single parent terhadap anak.

2.1 Defenisi Single Parent

Friedman dalam pandangannya mengatakan bahwa, “single parent merupakan

bentuk keluarga yang di dalamnya hanya terdapat satu orang kepala rumah tangga

yaitu ayah atau ibu”.1 Qaimi menjelaskan, perempuan “single parent adalah suatu

keadaan seorang ibu menduduki dua jabatan sekaligus, sebagai ibu yang merupakan

jabatan alamiah, dan sebagai ayah. Selain itu dia akan memiliki dua bentuk sikap,

sebagai ibu yang harus bersikap lembut terhadap anaknya, dan sebagai ayah yang

bersikap jantan dan bertugas memegang kendali aturan dan tata tertib keluarga, serta

berperan sebagai penegak keadilan dalam kehidupan rumah tangga.2 Berdasarkan

beberapa definisi tersebut di atas, penulis memberi kesimpulan bahwa; pengertian

perempuan single parent adalah seorang perempuan yang suaminya sudah meninggal

1 Friedman, Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik, (Jakarta : EGC,1998), 19 2 Qaimi, A. Single parent: Peran Ganda Ibu dalam Mendidik Anak. (Bogor: Cahaya, 2003), 23

atau tinggal sendiri tanpa kehadiran pasangan, dan membesarkan anak-anaknya

sendiri.

Dwiyani mendefinisikan perempuan single parent merupakan “ibu yang

mengasuh anak-anaknya sendirian tanpa didampingi oleh suami atau pasangan hidup

yang disebabkan oleh perceraian, kematian pasangan hidup, terpisah tempat tinggal,

hamil diluar pernikahan dan memutuskan untuk mengadopsi anak dan diasuh sendiri

tanpa proses pernikahan”.3 Sedangkan Anderson, et al mengartikan perempuan single

parent sebagai “ibu yang memilih untuk hidup sendiri tanpa pendamping dikarenakan

perpisahan atau perceraian”. Exter dalam Anderson, mengatakan bahwa; “menjadi

single parent merupakan pilihan hidup yang dijalani oleh individu yang berkomitmen

untuk tidak menikah atau menjalin hubungan intim dengan orang lain”. Single parent

dapat pula diartikan sebagai sosok yang menjadi tulang punggung keluarga, baik

karena bercerai, kematian atau karena tidak menikah”.4 Penulis memberikan

kesimpulan bahwa; Perempuan single parent merupakan sebuah keluarga yang hanya

terwakili oleh satu orang tua, dan kemudian mengusung kompleksitas kehidupan

keluarga dan menjaga tatanan kehidupan keluarga dengan penuh rasa tanggung jawab

(responsible).

2.2 Masalah-masalah yang dihadapi keluarga Single Parent

Weinraub dan Wolf, menemukan bahwa, orang tua tunggal apabila

dibandingkan dengan orang tua yang menikah cenderung berada pada keterisolasian

3 Dwiyani. Jika Aku harus Mengasuh Anakku sendiri. (Jakarta: PT.Alexmedia Copitindo,2009), 59 4 Anderson, C.A. Carnagey, N.L., & Eubanks, J. Exposure to violent media: The effect of songs with

violent Lyrics on aggresive thoughts and feelings. Journal of personality and social Psychology,

84,2003, 960- 971

dalam kehidupan, bekerja lebih lama, kurangnya dukungan, cenderung stress akan

perubahan hidup dan memiliki jaringan sosial (social network) yang kurang stabil.

Castros juga menenukan bahwa wanita yang memiliki anak jauh kemungkinannya

untuk menikah lagi, dibandingkan pria yang memiliki anak.5 Sebagaimana dijelaskan

di atas, penulis melihat bahwa; probabilitas perempuan single parent memiliki

polemik yang besar apabila dianalogikan dengan perempuan yang memiliki pasangan

dalam keluarga lazim, sebab kehidupannya lebih difokuskan sebagaimana menjalani

peran ganda (dual role), juga secara fundamental memiliki beban ganda (double

burden).

Menurut Gootman dan De Clair; “keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak

penting karena mempengaruhi perkembangan sosial anak. Anak-anak yang mendapat

kehangatan dari ayah semasa kanak-kanak cenderung memiliki hubungan sosial yang

baik. Ibu berperan sebagai orang tua tunggal dianggap memiliki keterbatasan dalam

proses pembentukan kemandirian anak”.6 Hal yang sejalan dikemukan juga oleh

Dagun, lewat hasil penelitian terhadap perkembangan anak yang tidak mendapat

asuhan dan perhatian ayah membenarkan bahwa; “perkembangan anak menjadi

pincang. Kelompok anak yang tidak mendapatkan perhatian ayahnya cenderung

memiliki kemampuan akademis menurun, aktifitas sosial terhambat dan interaksi

5 Shannon Sommer Karyn m. Plumm Cheryl a. Terrance, Perceptions of Younger Single Adultsas a

Function of Their Gender and Number of Children, The Journal of General Psychology, 140(2),2013,

90 6 Gootman & De Claire. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecemasan

emosional.ed.T.Hermaya. (Jakarta:Gramedia PustakaUtama,1998), 185

sosial terbatas, hal ini berlaku bagi anak lelaki yang kemungkinan maskulinnya (ciri-

ciri laki-laki) bisa menjadi kabur”.7

Hurlock merumuskan masalah umum yang dihadapi orang tua tunggal

(menjanda).

a. Masalah Ekonomi

Ketika menjadi single parent, maka akan mengalami kurangnya income dalam

keluarga, sehingga pemenuhan kebutuhan terminimalisir. Seorang single parent

yang memulai aktifitas perekonomian pada usia madya, cenderung atau bahkan

tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kehidupan

keluarganya.

b. Masalah Praktis

Menjalankan hidup dalam kesendirian setelah terbiasa hidup lewat bantuan

pasangan. Tetapi, perceraian menambah sudah pekerjaan tunggal dengan

pendapatan minim.

c. Masalah Sosial

Kehidupan sosial diantara orang berusia madya hampir sama halnya dengan

kehidupan orang dewasa-muda, yaitu berorientasi pada pasangan. Seorang single

parent akan mengalami kesulitan dalam berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan

sosial karena tidak adanya pasangan.

7 Save M. Dagun, Psikologi Keluarga,(Jakarta : Rineka Cipta,2002), 13

d. Masalah Seksual

Keinginan seksual yang tidak terpenuhi setalah sebelumnya secara intens

dilakukan selama bertahun-tahun, kemudian semenjak ditinggal pasangan

membuat single parent mengalami frustasi karena merasa tidak terpakai lagi.

e. Masalah Keluarga

Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka ibu single parent

harus memainkan peran ganda yakni sebagai ayah dan ibu, kemudian harus

menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan selain

itu juga harus menghadapi masalah yang berhubungan anggota keluarga yakni

dengan orang tua ibu single parent.

f. Masalah Tempat Tinggal

Ketergantungan single parent diperhadapkan pada dua kondisi. Pertama, status

ekonomi, dan kedua, masalah tempat tinggal (bukan lingkungan) tetapi lebih

kepada infrastruktur fisik (bangunan rumah). Dengan demikian, single parent

mengalami sebuah permaslahan penerimaan dalam keluarga atau orang yang

bersedia menampung atau tinggal bersama dengan single parent dikarenakan

keadaan ekonomi yang dialami oleh single parent. 8

Menurut perlmutter dan hall dalam Listiyanti, ada beberapa sebab mengapa

sampai seorang menjadi single parent , yaitu karena kematiansuami atau istri,

perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa menikah. Sejalan dengan itu

menurut Dwiyani, menjadi single parent adalah konsekuensi ketika pasangannya;

8 Hurlock.E. Perkembangan anak.Jilid 2 edisi ke enam. (Jakarta:Erlangga,1990), 29

meninggal, memilih bercerai dan kegagalan dalam membangun rumah tangga oleh

karena tidak menikah. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut: 9

a. Menjadi orang tua tunggal sebagai konsekuensi pasangan yang meninggal

Orang tua tunggal sebagai akibat salah satu pasangan meninggal dunia, sering

berlarut dalam kesedihan. Permasalahan yang kerap muncul pada tipologi ini

adalah finansial, ditambah lagi dengan pasangan yang meninggal merupakan

tulang punggung keluarga.

b. Menjadi orang tua tunggal sebagai konsekuensi perceraian

Permasalahan yang sering muncul pasca perceraian lebih disebabkan kekurang

dewasaan masing-masing pihak dalam menyikapi perceraiannya, terlebih jika

perceraian yang dibumbuhi oleh konflik saling menyakiti baik fisik, verbal,

emosional maupun yang lain. Pasangan yang memiliki konlik, pasca perceraian

akan berpengaruh pada pola dalam mengasuh anak. Hal ini kerap menimbulkan

kekerasan terhadap anak.

c. Menjadi orang tua tunggal sebagai konsekuensi kegagalan menikah

Orang tua tunggal dalam tipologi ini disebabkan oleh kehamilan diluar ikatan

pernikahan, dan hampir seluruhnya masih pada usia belia, bahkan bisa jadi mereka

belum siap untuk menjadi orang tua. Tipologi orangtua ini kemudian menjadi dua

yakni; (1) Hal ini terjadi atas inisiatif sendiri, sehingga memilih untuk mengasuh

anak secara tunggal; (2) Hal ini terjadi karena terpaksa, dalam kaitannya dengan

tidak ada konsensus yang mengarah pada pernikahan.

9 Dwiyani, .Jika Aku harus Mengasuh Anakku sendiri.(Jakarta:PT.Alexmedia copitindo,2009), 56

Pandangan penulis terkait tipologi yang telah dipaparkan di atas dalam hal

sejalan dengan temuan penulis adalah tipologi single parent yang gagal menikah.

Pasalnya, eksistensi mereka seakan terusik oleh pihak eksternal (keluarga dan

lingkungan sosial) yang memahami mereka secara kontradiktif dan langsung

menjustifikasi mereka tanpa mengenali permasalahan yang sebenarnya terjadi. Stress

merupakan gejolak psikologi yang secara visual merupakan dampak dalam diri dan

pengaruh lingkungan. Hal ini kemudian sangat berdampak pada perkembangan dan

pertumbuhan anak.

Caballo dan Mcloyd, berpendapat bahwa; ketika menjadi single parent, maka akan

terbelenggu dalam keadaan kerugian sosio-ekonomi yang lebih besar, mereka (single

parent) juga cenderung berpenghasilan rendah, lebih bermain sebagai penyewa rumah

daripada pemilik rumah, kemudian kebanyakan mereka adalah pengangguran dan

menganggap diri rendah. Bigner menyebutkan, ibu tunggal lazimnya lebih senang

menghukum anak dan memiliki gaya pengasuhan yang otoriter.10 Anak yang

dibesarkan dalam keluarg single parent memiliki perilaku yang berbeda dalam hal ini,

perilaku agresif dan tidak patuh, masalah di sekolah, masalah dengan teman, dan kerap

cemas (bosan) ketika berada di sekolah.11 Legros mengkalim lewat studinya mengenai

keluarga single parent bahwa, kemungkinan anak-anak mengalami keterbelakangan

psiko-emosional, gangguan perilaku, gagal dalam sekolah dan bahkan kejahatan lebih

tinggi merupakan perilaku anak dari keluarga single parent. Hal tersebut menjadi

10 Caballo & Mcloyd in Nicolette, “Maternal Parenting In Single And Two-Parent Families In South

Africa From A Child’s Perspective”, Social Behavior And Personality, 2011, (5), 578 11 Jane Brooks, The Process of Parenting, ( Amerika : Pustaka Belajar, 2011), 795

kendala bagi orang tua tunggal dalam beradaptasi, bahkan menjadi korban baru dari

kemiskinan, mereplikasi diri, mereproduksi dan memperluas seluruh rantai masalah

sosial.12 Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah-

masalah yang dihadapi oleh perempuan yang berperan sebagai orang-tua tunggal

adalah masalah ekonomi atau keuangan, masalah keluarga, masalah tempat tinggal,

masalah sosial, masalah praktis, dan masalah seksual. untuk itu single parent harus

mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai orang tua dengan baik terhadap

anak, jika itu tidak dilakukan dengan baik, maka pada anak akan berdampak negatif.

2.3 Peran Single Parent Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Anak

Peran orang tua merupakan komponen penting yang membentuk pandangan

anak tentang diri anak sendiri dan mempengaruhi dunia mereka . “Orang tua

merupakan model dari harga diri yang sehat , nilai diri , berpikir sehat dan perilaku

yang baik bagi anak”.13 Soetjiningsih merumuskan peran orang tua dalam memenuhi

kebutuhan dasar anak meliputi:

a. Kebutuhan Fisik-biomedis (Asuh) menyangkut pangan/gizi merupakan kebutuhan

penting, perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pengobatan kalau

sakit,papan/pemukiman yang layak, sandang,nkesegaran jasmani, rekreasi

b. Kebutuhan emosi/kasih sayang (Asih)

Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras

antara ibu dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk menjamin tumbuh

12 Legros in Alina Costin, “Difficulties of exercising educative roles in Single-parent families”, Journal

Plus Education, Vol X (2014), No. 1 13 Beenish Sartaj dan Naeem Aslam, “Role of Authoritative and Authoritarian Parenting in Home,

Health and Emotional Adjustment”, Journal of Behavioural Sciences, Vol. 20,2010

kembang baik secara fisik, mental maupun psikis anak. untuk itu kasih sayang

orang tua sangat berperan penting untuk menciptakan ikatan erat antara orangtua

dan anak.14

Berdasarkan hal tersebut, maka seorang perempuan yang berperan sebagai

single parent mempunyai kewajiban berperan ganda dalam mengurus dan membina

anak. Sebagai single parent, perempuan dituntut mampu mengkombinasikan dengan

baik antara pekerjaan domestik dan publik. Dalam hal ini, kematangan fisik dan

psikologis merupakan faktor yang disadari penting atau vital terkait memanajemen

keluarga.

Menurut Noor, peranan ibu dalam mendidik anak terbagi atas tiga tugas penting,

antara lain; (1) ibu sebagai pemuas kebutuhan anak, meliputi kebutuhan fisik, psikis,

sosial, dan spiritual; (2) ibu sebagai teladan atau model peniruan anak; (3) ibu sebagai

pemberi stimulasi bagi perkembangan anak.15 Sejalan dengan pandangan Noor, Alvita

dalam Akmalia mengemukakan bahwa, single parent mempunyai peran ganda dalam

keluarga. Makna peran ganda yang dimaksud lebih mengarah pada pemenuhan.

Pemenuhan ini teraktualisasikan sebagai kebutuhan psikologis anak (kasih sayang,

perhatian dan rasa aman), dan kebutuhan fisik anak (sandang, pangan, papan,

kesehatan, pendidikan dan kebutuhan sekunder lainnya berkaitan dengan materi).

Dengan demikian, peran ibu single parent hendaknya mengerti sungguh fungsi

domestic dan public agar dapat mengkreasikan sebuah hubungan ideal dalam hal peran

14 Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, (Jakarta:EGC,1995),hlm 59 15 Sofia Retnowati Noor, Peran perempuan dalam keluarga: sebuah tinjauan psikologis, dalam www

majalah.com, sebuah artikel diunduh pada hari selasa 2 september 2015 Pukul 10.51 WIB

dan fungsi single parent sebagai penggagas kesejahteraan keluarga. Beberapa item

yang mencerminkan fungsi dan peran single parent dalam membesarkan anak yakni:16

a. Memberikan dukungan kepada anak

b. Menunjukkan kasih sayang

c. Menghormati pendapat anak

d. Percaya kepada pujian dari pada hukuman.

Single parent secara totalitas memiliki peran primer sebagai sosok pencari

nafkah dan pengasuh terhadap anak. Hal ini sejatinya mendilematisir perasaan single

parent karena terjebak pada persimpangan yang harus dipilih antara kebutuhan

finansial sebagai tolak ukur kesejahteraan atau berjibaku dengan pekerjaan dan

melupakan hal vital sebagai “pengasuh anak”.17

2.4 Peran Perempuan Single Parent Terhadap Anak Dari Perspektif Konseling

Feminis

Ketidakmampuan single parent dalam menjalankan fungsi dan peran sebagai

orang tua, sering dipengaruhi dengan budaya patriakhi yang sudah berkembang

menjadi ideologi masyarakat.18 Dimana, perempuan dianggap tidak mampu untuk

hidup sendiri, membesarkan anak tanpa seorang suami yang mendampingi. Laki-laki

dianggap kuat, rasional, dan jantan, sementara perempuan dianggap lemah lembut,

keibuan, dan emosional sehingga hanya pantas untuk melakukan pekerjaan rumah

16Riitta-Leena Metsa Pelto & Lea Pulkkinen, “Personality Traits and Parenting: Neuroticism,

Extraversion, and Openness to Experience as Discriminative Factors”, European Journal of Personality

Eur. J. Pers.17,20013, 59–78 17 Randy Albelda, Susan Himmelweit, and Jane Humphries, The Dilemmas Of Lonemotherhood:

Keyissues For Feminist Economics, Feminist Economics 10(2),2004, 1 – 7 18Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah kata hati, (Jakarta: Buku Kompas,2006), 5

tangga dan merawat anak. Konstruksi sosial yang terjadi lebih menindas perempuan

daripada laki-laki.19 Dalam sistem budaya patriakhi ini perempuan sering juga

mengalami diskriminasi, marginalisasi, kekerasan, pelecehan, dan lain-lain. Hal ini

secara konkrit dapat tercermin dalam kehidupan rumah tangga, dimana perempuan

dituntut untuk menjadi istri yang selalu siap melayani suami dan dan mendidik anak-

anak. Perempuan dalam ranah domestic adalah perempuan yang dipandang sebagai

pekerja sukarela, informal, dan tidak dibayar lewat tata cara merawat dan melayani

anak serta suami, memasak dan peran sebagai ibu rumah tangga pada lazimnya.

Sedangkan, laki-laki bertugas pada domain public sebagai sosok yang professional,

formal dan dibayar.20

Seorang aktivis feminis radikal Alison Jaggar memaparkan ketertindasan

secara mendasar yang dialami kaum perempuan, meliputi :21

a. Perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas

b. Ketertindasan perempuan sangat meluas hampir seluruh masyarakat manapun

c. Ketertindasan perempuan merupakan yang paling dalam dan bentuk ketertindasan

yang paling sulit untuk dihilangkan dengan perubahan-perubahan sosial seperti

penghapusan kelas masyarakat

d. Ketertindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang amat sangat

terhadap korbannya baik secara kualitatif maupun kuantitatif , walaupun

19 Stevi Jackson dan Jackie Jones, Teori-teori Feminis Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2009),331 20 Ita F. Nadia, Relevansi Pemikiran Feminis Indonesia:Didalam Bentangkanlah sayapmu Bendalina

Doeka-souk & Stephen suleeman, (Jakarta: Persetia, 1999), 114 21 Gadis Arivia. Filsafat Bersperspektif feminisa. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2003), 97

kesengsaraan tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan baik yang

dilakukan oleh pihak penindas maupun yang tertindas

e. Penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan model konseptual

untuk mengerti bentuk-bentuk lain penindasan.

Dengan demikian, perjuangan perempuan berakar dari fenomena ketidakadilan

sosial (penindasan oleh dominasi), untuk itu maka isu-isu gerakan feminis hadir guna

sebagai upaya menyadarkan perempuan akan kemampuan dirinya, bahkan perbedaan

peran bukan halangan bagi seorang perempuan untuk dapat menjalankan peran

sebagai kepala rumah tangga sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Friedan seorang

sosiolog dan aktifis feminis dalam bukunya “Feminine Mystique” menandai

dimulainya gerakan feminis gelombang ke 2 yang kemudian meningkatkan kedudukan

dan derajat wanita untuk meninggalkan domestisitas, di mana perempuan bisa

melakukan pekerjaan laki-laki untuk bekerja di luar rumah seperti hal; mencari

nafkah, pegawai atau karyawan kantor, buruh di pabrik, dan bukan hanya sebatas

melaksanakan peran di rumah untuk melakukan perkerjaan rumah tangga dan merawat

anak.22

Dalam bukunya Lukman Sutrisno dikatakan bahwa perempuan dituntut untuk

memiliki sikap mandiri, disamping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya

sebagai manusia sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Persyaratan ini terasa belum

dimiliki oleh kaum perempuan Indonesia. Profil perempuan Indonesia pada saat ini

dapat digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi dilematis. Di satu

22 Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,2003), 14

sisi perempuan Indonesia dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi

lain muncul pula tuntutan lain agar perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai

perempuan.23

Untuk memahami peran tersebut maka feminis radikal mengalaskan dua keyakinan

sentral terhadap perempuan, yakni perempuan mempunyai nilai positif untuk

menentang apa yang orang lain katakan sebagai devaluasi wanita universal dan bahwa

dimana-mana perempuan ditindas oleh sistem patriakhi itu. Hal itu harus dimulai

dengan merevitalisasi kesadaran mendasar perempuan; sehingga perempuan mengakui

nilai dan kekuatan dirinya sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka perempuan akan

mampu berkronfrontasi dengan sistem patriakhi itu dan perempuan mulai mampu

memimpin bisnis, melakukan pekerjaan diluar rumah, dan memimpin rumah tangga.24

Untuk itu, konsep diri (identitas diri) seorang perempuan harus dikonstruksikan agar

perempuan menyadari kelebihan dan keunggulannya yakni dengan cara : 25

a. Membentuk manusia seutuhnya, yakni manusia androgini (berjenis kelamin ganda

memiliki sisi laki-laki dan perempuan)

b. Mengembangkan potensi kreatif, produktif, aktif, dan mandiri dalam pikiran dan

perbuatan

c. Membangun citra perempuan sebagai perempuan yang mampu mengaktualisasikan

kemampuan potensialnya dengan pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri,

dari diri perempuan itu sendiri.

23 Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan,(Yogyakarta: Kanisius 1997), 61 24 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana,2014), 383 25 Siti Hariti Sastriyani, Women In Public Sector, ( Yogyakarta:Tiara Wacana,2008),103

Menurut penulis perempuan yang berperan sebagai single parent merupakan

representasi simbol kekuatan dan kemampuan seorang perempuan yang mungkin saja

selama ini terisolasi dan termaginalisasi dalam pandangan otentik. Kapabilitas

perempuan berstatus single parent mengimplisitkan ketangguhan seorang perempuan

yang selalu dicap rendah oleh logika secara universal. Untuk mengembangkan hal

tersebut maka Penulis melihat beberapa hal terkait definisi single parent, yakni

sebagai berikut:

a. Single parent sebagai identitas

b. Single parent berdasarkan habitus

Single parent sebagai identitas kerap terstereotipe oleh logika dominasi

(masyarakat domain tertentu) yang kemudian mengintimidasi perempuan single

parent sebagai perempuan yang gagal. Castells mengemukakan tiga hal terkait asal-

usul identitas yang kemudian dijelaskan sebagaimana; legitimizing identity, resistance

identity, dan project identity. 26 Pandangan Castells terkait legitimizing identity sejalan

dengan single parent sebagai identitas yang kemudian mengalami pandangan yang

paradoksal. Di satu sisi ia seorang perempuan/ibu yang harus mengasuh anak,

memberi perhatian terhadap anaknya, di sisi lain, ia harus memikul beban ganda

(double burden) dalam hal menunjang kebutuhan anak secara nyata. Hal ini

merupakan identitas legitimasi secara internal. Sedangkan secara eksternal, single

parent terintimidasi oleh masyarakat luar akibat label negatif (stereotype) logika

masyarakat.

26 Manuel Castells, The Power of Identity,(Oxford:Blackwell,2004), 121

Resistance identity atau identitas perlawanan oleh penulis dilihat sebagaimana,

perempuan single parent harus melakukan perlawanan terhadap dirinya sendiri dan

sosial. Perlawanan terhadap dirinya sendiri adalah bagaimana ia seorang perempuan

tunggal harus memilih untuk bekerja demi keberlanjutan kehidupannya dan

keluarganya. Sedangkan secara sosial, ia melawan stigma-stigma negatif yang lalu

kemudian mencap rendah ia sebagai perempuan yang gagal degan cara mampu

memikul peran dan beban ganda (dual role and double burden).

Castells menawarkan project identity atau identitas proyek sebagai alternatif

untuk membangun sebuah identitas baru yang kemudian meredefinisi posisi mereka

dalam masyarakat, dan dengan cara itu berusaha mentransformasikan seluruh struktur

masyarakat.27 Dengan demikian penulis melihat bahwa, identitas proyek ini

sepenuhnya harus melibatkan gereja atau gereja harus sepenuhnya melibatkan diri

dalam hal menanggulangi permasalahan mendesak single parent. Identitas proyek ini

dilihat penulis sebagaimana adanya konseling feminis, dan penyiapan tenaga-tenaga

volunteer dalam hal memainkan peran dalam pembagian kerja (the division of labor).

Single parent sebagai habitus dilihat pada dua cara pandang yang berbeda akibat

kebiasaan. Bourdieu melihat bahwa, habitus yang berbeda memberikan pengaruh pada

pandangan mereka akan ruang sosial (arena).28 Mereka (single parent) yang sedari

dulu hidup di desa memiliki kecenderungan bersosialisasi baik dan hidup dalam

kerukunan karena mereka memiliki solidaritas secara mekanik atau hidup sebagai

27 Castells, The Power of Identity…..,122 28 Bourdieu Pierre, The Field of Cultural Productions : Essays on art and Literature, (Cambridge :

Politik Press, 1993),hlm

masyarakat komunitarianisme. Sedangkan mereka (single parent) yang hidup sedari

dulu di kota memiliki kesejangan interaksi secara sosial akibat menganut paham

kosmpolitanisme atau berada pada solidaritas organik berdasarkan pembagian kerja.

Penulis melihat bahwa dua sudut pandang organik (pembagian kerja) dan

mekanik (kesamaan nilai dan norma) harus dipadukan sehingga ada sebuah pembagian

kerja secara internal (dalam keluarga) dan eksternal (gereja dan masyarakat) atas dasar

kesamaan nilai dan norma yang begitu kental dalam budaya orang Maluku guna

meminimalisir tugas ganda single parent. Penulis menyadari, perempuan single

parent secara personal merupakan sentra pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan

seorang pengasuh bagi anak, tetapi ia juga seorang yang memiliki jaringan sosial

(social network) karena ia seorang yang hidup dalam masyarakat atau hidup secara

sosial. Dengan demikian, pembagian kerja secara esensial tidak mungkin dapat

dijalankan secara personal.

Marwel melihat teori pembagian kerja (the division of labor) dalam dua sudut

pandang yakni; nature dan nurture.29 Teori nature memiliki asumsi bahwa, pembagian

kerja berdasar pada jenis kelamin (seksual) disebabkan oleh faktor-faktor biologis

laki-laki dan perempuan. Faktor-faktor ini merupakan anggapan secara psikologis

bahwa, perempuan cenderung emosional, pasif, dan submisif, sedangkan laki-laki

lebih perkasa, aktif dan agresif. Dengan demikian, perempuan dengan struktur

biologisnya cenderung tinggal di rumah dan membesarkan anak, memasak, dan

29 Marvel dalam saidah, Sistem Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin (Analisis Gender

Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit Pt Muaratoyu Subur Lestari Di Kabupaten Paser),

eJournal Sosiologi Konsentrasi, 2013, 2

memberi perhatian kepada keluarganya, sedangkan laki-laki pergi ke luar rumah dan

mencari sumber penghidupan bagi keluarganya.

Teori nurture melihat pada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (seksual),

secara hakiki merupakan hasil konstruksi sosial-budaya, sehingga menghasilkan peran

dan tugas yang berbeda. Perbedaan ini mengindikasikan perempuan kerap diabaikan

lewat kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.

Menurut Skolnick dalam Budiman, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin

muncul lewat kontradiksi psikologis yang disebabkan oleh faktor-faktor biologis dan

sosio-kultural dalam proses pembentukan perbedaan peran antara laki-laki dan

perempuan. Budiman menjelaskan, ada beberapa hal-hal yang menyebabkan

pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi

masyarakat. Kebutuhan ini didasarkan pada kebutuhan riil dari sistem masyarakat

tersebut.

2. Faktor-faktor yang didasarkan pada sistem psiko-kultural dengan lembaga-lembaga

kemasyarakatan yang menyebarkannya dan mengembangbiakan sistem pembagian

kerja ini. Sistem pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin ini menjadi sistem

patriarkal yang bukan hanya sekedar sistem kepercayaan abstrak belaka, tetapi

didukung oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan yang menyebarkan dan

mengembangbiakannya.

Menurut Fakih (dalam Saidah), ada lima bentuk ketidakadilan yaitu sebagai berikut:30

1. Pelebelan Negatif (Stereotip)

Stereotip yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat

negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Dalam masyarakat

banyak sekali stereotipe yang dilekatkan pada kaum perempuan yang berakibat

membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Misalnya,

karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai

sekretaris, guru Taman Kanak-kanak dan banyak lagi stereotipe lainya dalam

masyarakat.

2. Penomorduaan (Subordinasi)

Subordinasi yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih

rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.

Contoh Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan

dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”.

3. Peminggiran (Marginalisasi)

Marginalisasi adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis

kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya,

perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual

oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-

laki.

30 Fakih dalam saidah, Sistem Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin (Analisis Gender Terhadap

Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit Pt Muaratoyu Subur Lestari Di Kabupaten Paser), eJournal

Sosiologi Konsentrasi, 2013, 4

4. Beban Ganda (Double Burden)

Double Burden adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana

yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin

lainnya. Seperti yang terjadi dalam masyarakat bahwa peran gender perempuan adalah

mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik

lebih banyak dan lebih lama.

5. Kekerasan (violence)

Violence terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan karena perbedaan

gender. Kekerasaan ini seperti pemerkosaan, pemukulan, pelecehan dan menciptakan

ketergantungan

Berdasarkan hal tersebut menurut penulis dibutuhkan konseling feminis agar

perempuan bisa menyadari akan kekuatan yang mereka miliki serta kebebasan mereka

sebagai seorang perempuan.

Konseling lewat pendekatan feminis merupakan sebuah revolusi konseling,

dan juga sebagai pendekatan baru dalam kurun waktu tiga dekade terakhir. Konseling

feminis sering disebut sebagai feminist counseling, counseling for women. Sedangkan

dalam dimensi klinis sering disebut sebagai feminist psychotherapies dan feminist

therapy tetapi sering dipakai secara bersama-sama yaitu feminist counseling and

therapy atau feminis counseling and psychotherapies.31 Konseling feminis

sesungguhnya bersandar pada seperangkat asumsi filosofis yang dapat diterapkan pada

berbagai orientasi teoretis. Teori konseling apapun dapat dievaluasi dengan kriteria

31 Richard Nelson, Teori dan Praktek:Konseling & Terapi, (Yogyakarta:Pustaka Belajar,2011), 710

gender-fair, flexible-multicultural, interaksionis, dan orientasi sepanjang rentang

kehidupan. Peran dan fungsi konselor akan berbeda satu sama lain bergantung pada

teori apa yang dielaborasikan dengan prinsip dan konsep feminis.32

Konseling feminis memperhatikan faktor-faktor psikologis sekaligus pengaruh

sosiologis terhadap konseli. Konseling feminis berfokus pada isu gender dan kekuatan

(power) sebagai inti dari proses terapi (the core of the therapeutic process). Konsep

sentral dalam terapi feminis adalah sangat penting memahami tekanan psikologis para

perempuan dan pembatasan-pembatasan yang timbul dari status sosio-politik yang

memarginalisasikan perempuan. Perspektif feminis menawarkan pendekatan yang

unik untuk memahami peran perempuan dan laki-laki, dan membawa pemahaman

tersebut ke dalam proses konseling.

Riset Toni Sands dilatarbelakangi oleh pengalaman depresi yang dialami oleh

perempuan sehingga pendekatan konseling feminis yang berkembang terspesialisasi

bagi perempuan yang mengalami depresi. Pokok-pokok dalam feminist counseling

adalah sebagai berikut ini33.

1. Hubungan yang setara (egalitarian relationship). Egalitarian relationship,

merupakan sebuah bentuk hubungan antara konselor dengan konseli. Konseling

dipandang sebagai proses kerjasama, dimana setiap individu dihargai dalam

kapasitas kekuatan yang sama untuk mendiskusikan pokok masalah dan strategi

pemecahan masalahnya. Ditambahkan lagi bahwa walaupun metode kerjasama ini

32 Alesha Durfee dan Karen Rosenberg, Teaching sensitive issues : Feminist pedagogy and the practice

of advocacy-based counselling, Vol. 19, No. 2,2009. p. 103. 33 Sands, Toni., (1998). Feminist Counseling an Female Adolescents :Treatment Strategies for

Depression. Journal of Mental Health Counseling . Vol. Jan 1998. (20, 1). 43

sangat tidak mungkin untuk dilakukan pada setiap konseli tetapi proses ini harus

tetap dilaksanakan sebagai salah satu tahap dalam konseling feminis. Egalitarian

relationship menggunakan pendekatan dasar humanistik yaitu mendengar secara

empatik, dorongan tak bersyarat (unconditional support), mutual respect,

membantu membuka ketertutupan konseli secara tepat. Konselor diharapkan

membantu memahami secara rasional terhadap permasalahan yang dihadapi dan

membebaskan dari prasangka.

2. Personal memiliki posisi politis dalam masyarakat (The Personal is Political)

Carolyn Zerbe Enn menjelaskan bahwa the personal is political sering

diasumsikan, dihubungkan dan dipengaruhi oleh iklim sosial politik dalam

kehidupan seseorang. Perspektif konseling feminis tidak dapat dilepaskan dari

masalah sosial, politik, ekonomi dan faktor institusional yang mempengaruhi

pilihan-pilihan individu dalam mengambil keputusan.

Menurut Enns, konseling feminis merupakan kombinasi yang unik antara

konselor yang memiliki orientasi gender dengan pendekatan konseling, dimana semua

teori feminis memfokuskan pentingnya kesetaraan dan upaya-upaya mencapai

kesetaraan, tetapi konseling feminis dalam memandang konseli lebih kepada

terfasilitasinya pihak perempuan dalam konteks klinis maupun pengembangan diri.

Beberapa tujuan konseling feminis ialah pemberdayaan (empowerment), menghargai

(appreciate) dan meneguhkan keragaman (affirming diversity), berjuang untuk

perubahan daripada penyesuaian ( fight for a change rather than adjustment),

kesetaraan (equality), kemandirian (autonomy), dan persamaan ketergantungan

(dependence equation), perubahan sosial (social change), dan pengasuhan diri

(nurturing self), membantu individu dalam melihat diri mereka sebagai agen

aktif bagi kehidupan mereka maupun untuk orang lain.34 Teknik-teknik dalam

konseling feminis dikembangkan dari beberapa pendekatan tradisional dan diadaptasi

menjadi model konseling feminis. Beberapa teknik dan strategi konseling feminis

yang dikembangkan adalah sebagai berikut.35

a. Pemberdayaan. Kekuatan konseling feminis adalah memberdayakan konseli.

Konselor membantu konseli agar dapat menjadi pribadi yang mandiri dan

mempunyai partisipasi yang seimbang dalam masyarakat.

b. Keterbukaan. Hubungan antara konselor dengan konseli dibangun melalui

keterbukaan. Keterbukaan tidak hanya sharing informasi dan pengalaman tetapi

ada hubungan timbal balik antara konselor dengan konseli.

c. Menganalisis peran gender. Konselor mengeksplorasi harapan -harapan konseli

yang berkaitan dengan peran gender dan dampaknya pada pengambilan keputusan

untuk masa yang akan datang.

d. Intervensi peran gender. Konselor memberikan pemahaman yang menekankan

pada perbedaan peran antara laki-laki dengan perempuan

e. Bibliotherapy. Konselor memakai sumber-sumber seperti buku non fiksi, buku

teks bimbingan & konseling, autobiografi, video pendidikan & pengetahuan

sebagai bahan diskusi bersama konseli.

34 Corey G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, seven edition. (Belmont

Brooks/Cole,2005),51 35 Corey G.Theory And Practice Of Counselingand Psyhoterapy,Seven Edition, 65

f. Latihan untuk asertif. Konselor membantu konseli untuk bersikap asertif sehingga

konseli mempunyai kesadaran tentang hak-haknya. Membantu mengubah

stereotype negatif peran gender, mengubah keyakinan yang negatif dan

mengimplementasikan perubahannya dalam kehidupan.

g. Reframing dan relabeling. Konselor membantu konseli untuk memahami akar

permasalahan karena problem yang dialami konseli berhubungan dengan tekanan

sosial (social pressure) bukan semata-mata berasal dari dirinya.

h. Group work. Pada akhir sesi konseling individual, konselor memberikan

kesempatan konseli untuk bergabung dalam kelompok. Langkah ini dimaksudkan

agar konseli merasa tidak sendiri dan dapat mendiskusikan pengalaman hidupnya.

i. Social action. Konselor mendorong konseli untuk terlibat dalam kegiatan

pemberdayaan perempuan, menuliskan pengalaman hidupnya atau aktif dalam

komunitas pendidikan yang berlatar isu gender.

Enns juga menambahkan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk

membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan

kepentingan orang lain. Sejatinya, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk

menghilangkan seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di

masyarakat. Konseling feminis berusaha melakukan transformasi, baik terhadap

konseli secara individual maupun terhadap masyarakat secara umum.36

36 Enns in Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives , Vol. 32, 2004, p. 385.

Sejalan dengan pemahaman diatas, melalui studi yang dilakukan oleh beberapa

peneliti terhadap pemberdayaan perempuan di Indonesia, menjelaskan tentang

beberapa tujuan terkait peran ideal perempuan, yakni37 :

a. Dapat mengubah kesadaran perempuan tentang kemampuan dirinya sebagai pribadi

dan dalam mengisi peran sosialnya (mengubah sikap ambigu yang masih

merupakan ciri dari kebanyakan perempuan).

b. Agar tercipta kesadaran masyarakat pada umumnya dan para pengambil keputusan

pada khususnya dengan membuat kebijakan yang menyambung/benar-benar

relevan dengan kebutuhan perempuan dan variasi permasalahannya.

c. Memberikan arah pada perubahan nilai-nilai yang merupakan bagian integral dari

berlangsungnya proses pembangunan dimana kaum perempuan berperan sebagai

objek ataupun subjek pembangunan.

d. Menjawab kebutuhan kaum perempuan di suatu kelompok/daerah berbeda dengan

kaum perempuan yang ada di kelompok/daerah lain.

e. Menyertakan partisipasi laki-laki yang mau peduli. Keikutsertaan ini membuat laki-

laki lebih peka dan memahami pengalaman perempuan. Sehingga, dari kepekaan

tersebut mereka turut membantu memecahkan persoalan yang biasa perempuan

alami. Seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, dan diskrminasi dalam

lingkungan kerja.

37 Saparinah sadli, Berbeda tetapi Setara : Pemikiran tentang kajian Perempuan, (Jakarta : PT Kompas

Media Nusantara, 2010), 80.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka menurut penulis pada level individual,

konselor feminis bekerja untuk membantu para wanita dan pria agar mengidentifikasi,

menuntut, serta memperoleh kekuatan personal mereka. Pemberdayaan konseli

merupakan inti dari konseling ini, dan merupakan tujuan jangka panjang konseling.

Perempuan berdaya apabila dapat menentukan hidupnya sendiri sesuai dengan

keinginannya.ini berarti bebas dan merdeka memilih jalan hidup, memahami diri

sendiri, berdasarkan kekurangan dan kelebihannya ,serta memahami struktur dirinya

yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya, maka kemudian ia akan mampu

mengambil keputusan secara bebas dan bertanggung jawab. Untuk itu dalam konseling

feminis , ini harus dimulai dengan penyadaran diri, kemudian penyadaran kelompok

dalam usaha-usaha kooperatif.

Hal ini bagi penulis sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas tentang

masalah masalah perempuan single parent yang dialami perempuan yang

mengakibatkan perempuan selalu berada dalam posisi kurang beruntung.

Ketidakberuntungan ini kemudian nampak dalam peran perempuan single parent yang

dijelaskan oleh Mary Astuti bahwa peran perempuan terbagi tiga yakni peran

produktif, peran reproduktif dan peran sosial. 38

a. Peran Produktif (ekonomi)

Peran produktif yaitu peran-peran yang jika dijalankan mendapatkan uang

langsung atau mendapat upah yang lain. Peran di sektor public dikontribusikan

38 Departemen Pendidikan Nasional, “Peran Ganda Perempuan dalam Keluarga Nelayan ( Studi

Kasus di Desa Sendang Sikucing Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal)

”http://mbaawoeland.blogspot.com/2011/12/peran-ganda-perempuan.html (Diakses 14 oktober 2015)

oleh masyarakat sebagai pekerja produktif. Zaman sekarang perempuan tidak lagi

berkutat dalam ranah reproduktif tetapi juga merambah ranah produktif.

Perempuan tidak hanya terhenti pada tugas-tugas reproduktif seperti memasak,

melahirkan anak, mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan hanya

menguasai wilayah domestik saja seperti dapur, dan tempat tidur. Perempuan

dituntut untuk mandiri apalagi perempuan berstatus single parent. Maka, segala

pekerjaan harus dilakukan mulai dari mencari nafkah dan mengurus anak.

b. Peran Reproduktif (kodrat)

Peran reproduktif adalah peran yang menitik beratkan pada kodrat wanita

secara biologis, peran ini juga diikuti dengan peran yang dijalankan dalam

rumah untuk keluarga dan tidak menghasilkan uang. Peran reproduktif

merupakan bentuk kontruksi dari masyarakat di bidang domestic. Menurut

White peran perempuan kebanyakan hanya ditemui dalam sektor domestik,

artinya sebagai ibu rumah tangga ia harus dapat menjaga, merawat, memberikan

ketenangan dan menciptakan suasana bahagia dalam rumah tangga sekalipun

perempuan tersebut adalah pekerja publik namun di dalam rumah tangga

kedudukannya tetap tersubordinasi (lebih rendah) dari laki-laki. 39 Gamble juga

menjelaskan bahwa gambaran perempuan seringkali dikaitkan dengan tugas-

tugas ibu rumah tangga seperti merawat anak, memasak, membersihkan rumah,

dan mengurus suami. Jika dirunut, kewajiban di ranah domestik ini menurutnya

39 Saparinah sadli, Berbeda tetapi Setara : Pemikiran tentang kajian Perempuan, (Jakarta : PT Kompas

Media Nusantara, 2010), 173.

berkaitan dengan nature atau biologis40, artinya sejak awal perempuan telah

memiliki karakteristik biologis tertentu yakni mencakup kemampuan untuk

melahirkan. Berbeda dengan perempuan yang dilekatkan dengan ranah

domestiknya, laki-laki justru sebaliknya. Laki-laki dianggap sebagai sosok yang

sesuai di ranah publik. Hal ini kemudian diungkapkan oleh Nugroho bahwa

posisi perempuan dalam kebudayaan tidak seberuntung dan sebaik posisi laki-

laki.41 Hal ini dikarenakan pemahaman umum yang telah menjadi stereotype

seperti dalam pemaparan Gamble dan Nugroho bahwa dalam pembagian kerja

perempuan kemudian berada pada ranah domestik dan laki-laki pada ranah

publik. Menurut penulis, Hal ini semakin didukung dengan kodrat perempuan

yang “katanya” adalah untuk melahirkan dan menjadi partner bagi laki-laki,

partner yang dimaksudkan pun bukan seperti rekan kerja, namun memiliki

pengertian lebih rendah dari status dan kedudukan laki-laki.

c. Peran Sosial (kemasyarakatan)

Peran sosial pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan dari para ibu rumah

tangga untuk mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat. Peran ini lebih

mengarah pada proses sosialisasi dari pada ibu rumah tangga. dimana

keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat. Briggs

mengatakan bahwa dukungan sosial penting untuk mendukung perempuan,

40 Gamble, S, Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Yogyakarta : Jalasutra, 2010),

295. 41 Nugroho, R, Gender dan Strategi pengarus utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka

Pelajar, 2008), 172.

dukungan sosial di sini berkaitan dengan keluarga.42Stigma masyarakat pun

mempengaruhi kehidupan mereka sehingga pada akhirnya mereka tidak

menyadari kekuatan yang mereka miliki serta kebebasan mereka sebagai

seorang perempuan.

Berdasarkan ketiga peran perempuan diatas, maka menurut penulis bahwa tujuan

konseling feminis ialah sebagai pemberdayaan perempuan dalam menerapkan

perubahan serta kesadaran dalam dirinya, maka seorang perempuan haruslah

memahami bahwa dirinya masih merupakan kepribadian yang utuh. Hal ini penting

dilakukan oleh seorang konselor agar konselinya menyadari bahwa dirinya tetap utuh

walaupun telah mengalami kisah yang pahit. Berkaitan dengan perannya yang

rangkap, dari perspektif konseling feminis justru peran tersebut haruslah dilihat

sebagai kekuatan untuk memberdayakan.

Pemberdayaan yang dimaksudkan ialah bahwa seorang perempuan walaupun ia

seorang diri dan melakukan tugas sebagai ibu dan ayah, ia masih tetap memiliki

keyakinan bahwa tugas-tugas tersebut adalah cara untuk memberdayakan dirinya

kembali. Hal ini setara dengan penjelasan Enns yang mengatakan bahwa tujuan kunci

konseling adalah untuk membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen

kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain. Berdasarkan penjelasan tersebut,

maka menurut penulis peran perempuan kaitan dengan perspektif konseling feminis

ialah mengacu pada tugas konselor yang harus mampu menanamkan nilai-nilai positif

42 Briggs in Social support in single parents’ transition from welfare to work: Analysis of qualitative

finding, Agustus 2011, p.344.

dari substansi tujuan konseling feminis sehingga sebagai konseli mereka merasa

terbantu dalam mengenali serta memahami dan menerima diri mereka secara utuh

serta menyadari pemberdayaan-pemberdayaan yang mereka lakukan dalam

menjalankan peran ganda mereka sebagai single parent.