BAB II KERANGKA TEORITIK A. Deskripsi Teori 1. Ketaatan ...repository.unj.ac.id/2284/2/BAB II.pdf10...
Transcript of BAB II KERANGKA TEORITIK A. Deskripsi Teori 1. Ketaatan ...repository.unj.ac.id/2284/2/BAB II.pdf10...
10
BAB II
KERANGKA TEORITIK
A. Deskripsi Teori
1. Ketaatan Tata Tertib Sekolah
a) Pengertian Ketaatan Tata Tertib Sekolah
Dalam mewujudkan suasana belajar mengajar yang kondusif, salah
satu hal mendasar adalah faktor ketaatan dan kepatuhan peserta didik
terhadap peraturan atau tata tertib yang disusun, diberlakukan, dan ditaati
siswa di sekolah. Secara umum ketaatan sering juga disebut kepatuhan
yang dapat diartikan sebagai sikap tunduk, penurut, mudah diatur, mau
melakukan tugas dan kewajiban secara sukarela.
Menurut Saronji Dahlan dan Asy’ari, menyatakan bahwa
pengertian ketaatan siswa dalam mematuhi aturan yang belaku di
sekolah, diantaranya: “Taat dan patuh adalah suatu sikap menerima serta
melaksanakan suatu yang dibebankan kepada seseorang dengan rasa
ikhlas dan penuh tanggung jawab tanpa ada paksaan dari siapa pun. Taat
dan patuh terhadap peraturan yang berlaku berarti sikap menerima serta
ikhlas melaksanakan peraturan yang berlaku dengan keteguhan hati tanpa
paksaan dari siapa pun.”2
Berdasarkan dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa
ketaatan adalah suatu sikap menyadari peraturan-peraturan yang berlaku
2 Soranji Dahlan dan Asy’ari, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2009), hlm. 2.
11
dilingkungan sekolah, untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif,
sehingga keharmonisan antarwarga sekolah akan tercermin, yaitu
menaati tata tertib yang berlaku tanpa paksaan dari siapaun, baik guru
maupun peserta didik yang lain.
Sedangkan Menurut McKendry dalam Krisnatuti, menjelaskan
bahwa ketaatan merupakan kecenderungan dan kerelaan seseorang untuk
memenuhi dan menerima permintaan, baik yang berasal dari seseorang
pemimpin atau yang bersifat mutlak sebagai sebuah tata tertib atau
perintah.3 Dengan demikian, bahwa ketaatan peserta didik adalah
kepatuhan terhadap suatu aturan hukum yang ada di sekolah seperti tata
tertib sekolah yang diimplementasikan dengan tindakan yang benar dan
berlaku bagi seluruh peserta didik yang berada di lingkungan sekolah
tersebut.
Selanjutnya pengertian dari tata tertib. Menurut Mulyo, Tata tertib
adalah kumpulan aturan-aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat
anggota masyarakat.4 Beberapa hal yang mendasari tata tertib di sekolah,
yakni “tata tertib saat masuk sekolah, saat berada di dalam kelas, saat
istirahat, dan saat pulang sekolah. Berpedoman pada pendapat di atas,
ternyata tata tertib sekolah yang dibuat dan dilaksanakan peserta didik
meliputi semua perilaku peserta didik, sebelum masuk kelas, selama di
kelas, saat istirahat dan saat pulang. Perilaku peserta didik tersebut
3 Krisnatuti, Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri
Remaja, (Bogor: Departemen Ilmu dan konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor, 2011). Diambil darihttp://journal.ipb.ac.id/index.php/jikk/article/view/6433/11315.
Diakses pada tanggal 13 Januari 2018. 4 Mulyo, Kesadaran Berbangsa, (Bandung: Angkasa, 2000), hlm. 14.
12
diwujudkan setiap hari dan harus berpedoman pada tata tertib yang sudah
ada untuk mencapai suasana belajar yang kondusif.
Menurut Depdiknas menyatakan bahwa kepatuhan siswa terhadap
tata tertib sekolah tersebut pada dasarnya berupa : (1) kepatuhan terhadap
ketentuan umum, (2) kepatuhan terhadap kewajiban-kewajiban, (3)
kepatuhan terhadap ketertiban dalam mengikuti pelajaran, dan (4)
ketertiban terhadap larangan yang diberlakukan sekolah.5
Secara umum dibuatnya tata tertib sekolah mempunyai tujuan
utama yaitu agar semua warga sekolah mengetahui tugas, hak dan
kewajiban serta melaksanakannya dengan baik sehingga kegiatan sekolah
dapat berjalan dengan lancar. Prinsip tata tertib sekolah adalah
diharuskan, dianjurkan dan ada yang tidak boleh dilakukan dalam
pergaulan di lingkungan sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sekolah pada umumnya
menyusun pedoman tata tertib sekolah bagi semua pihak yang terkait,
baik dari guru, tenaga administrasi maupun peserta didik. Peraturan
sekolah merupakan aspek yang harus ada dalam upaya pengembangan
suasan sekolah yang kondusif, peraturan-peraturan yang ada di sekolah
antara lain peraturan tata tertib sekolah yang memuat hak, kewajiban,
sanksi, penghargaan. Tata tertib ini harus dipatuhi dan dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab oleh semua warga sekolah tanpa kecuali.
5 Depdiknas. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
(Jakarta : Eko Jaya, 2003), hlm. 79.
13
Berdasarkan penjelasan diatas, maka ketaatan tata tertib sekolah
adalah perilaku seseorang yang mampu melaksanakan suatu peraturan
yang ada, kriteriannya mengikat semua peserta didik secara keseluruhan,
tidak hanya sekedar membuat takut untuk melanggar pada peraturan,
tetapi membuat peserta didik sadar terhadap peraturan tata tertib sekolah
yang bertujuan menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang baik.
b) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketaatan Tata Tertib Sekolah
Ketaatan peserta didik dalam melaksanakan tata tertib sekolah
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Graham dalam Normasari,
dikatakan ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang
terhadap nilai tertentu, yaitu:
1. Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum.
selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga
bentuk, yaitu :
a. Kepatuhan terhadap nilai atau norma itu sendiri.
b. Kapatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri.
c. Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari
peraturan itu.
2. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran
dengan pertimbangan-pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
3. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar
basa basi.
4. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.6
Dari keempat faktor dasar kepatuhan seseorang, faktor yang
diharapkan yaitu faktor kepatuhan yang bersifat normativist , sebab
6 Normasari, Kepatuhan Siswa Kelas X Dalam Melaksanakan Peraturan Sekolah di SMK
Muhammadiyah 3 Banjarmasin, (Banjarmasing: Program Studi PPKn FKIP Universitas
Lampung Mangkurat, 2013). Diambil dari http://eprints.ulm.ac.id/94/1/PDF_Output.PDF.
Diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
14
kepatuhan semacam ini didasari kesadaran akan nilai tanpa
mempedulikan apakah tingkah laku itu menguntungkan untuk dirinya
atau tidak.
Sedangkan menurut Gunarsa dalam Normasari, mengatakan bahwa
yang melatarbelakangi kepatuhan siswa, diantaranya yaitu:
a. Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri
(faktor internal), antara lain :
1) Kesehatan siswa
2) Ketidakmampuan anak dalam mengikuti pelajaran disekolah
3) Kemampuan intelektual yang dimiliki oleh anak
b. Faktor-faktor yang bersumber dari luar diri siswa (faktor eksternal),
antara lain :
1) Keadaan keluarga yang meliputi
a) Suasana keluarga
b) Cara orang tua menanamkan disiplin kepada anaknya
c) Harapan dari orang tua
2) Bimbingan yang diberikan oleh orang tua
3) Keadaan sekolah7
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kedua faktor tersebut (faktor internal dan eksternal) akan saling
mempengaruhi dalam menentukan kepatuhan peserta didik dalam
menaati tata tertib sekolah. Apabila faktor internal dan eksternal tersebut
berjalan baik, maka keputuhan peserta didik dalam melaksanakan tata
tertib sekolah akan baik pula. Sebaliknya, apabila kedua faktor tersebut
tidak berjalan baik, maka keputuhan peserta didik dalam tata tertib
sekolah kurang baik.
Sementara menurut Suryosubroto, indikator ketaatan tata tertib
sekolah sedikitnya berisikan beberapa hal, yaitu:
7Ibid
15
1. Sekolah wajib berpakaian sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh sekolah.
2. Siswa wajib memelihara dan menjaga ketertiban serta
menunjung tinggi nama baik sekolah.
3. Siswa harus hadir di sekolah paling lambat 5 (lima) menit
sebelum pelajaran dimulai.
4. Siswa harus siap untuk menerima pelajaran yang akan diberikan
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
5. Pada jam istirahat siswa tidak diperkenankan dalam ruangan
kelas atau meninggalkan pekarangan sekolah kecuali karena
alasan tertentu.
6. Selama jam sekolah berlangsung siswa harus berada dalam
lingkungan sekolah, kecuali dengan izin kepala sekolah.
7. Setiap siswa yang tidak dapat mengikuti pelajaran harus dapat
menunjukkan keterangan yang sah.
8. Setiap siswa wajib memelihara dan menjaga ketertiban sekolah.
9. Siswa tidak dibenarkan:
a) Merokok di dalam ruang kelas atau di dalam halaman.
b) Berpakaian yang tidak senonoh, dan meakai perhiasan yang
berlebihan.
c) Membaca buku dan atau membawa alat lain yang
mengganggu pendidikan dan pelajaran di sekolah.
d) Mengadakan kegiatan yang bersifat mengganggu jalannya
pelajaran dan atau persekolahan.8
Sehubungan dengan penjelasan diatas, indikator ketaatan tata tertib
sekolah harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin agar terciptanya
lingkungan belajar yang baik. Selain itu, ketaatan peserta didik dapat
dikembangkan melalui pemberian penghargaan bagi peserta didik yang
dianggap disiplin dalam menaati tata tertib yang berlaku di sekolah. Cara
tersebut cukup efektif untuk meningkatkan motivasi peserta didik untuk
taat dan patuh terhadap tata tertib sekolah.
Dari berbagai pendapat diatas, ketaatan tata tertib sekolah meliputi
8 (delapan) bagian, antara lain : (1) Berpakaian sesuai dengan ketentuan
8 B. Suryosubroto, Tata Laksana Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 41-42.
16
yang ditetapkan oleh sekolah, (2) Masuk sekolah 5 menit sebelum
pelajaran dimulai, (3) Mengikuti kegiatan belajar-mengajar, (4) Pada jam
istirahat siswa tidak diperkenankan dalam ruangan kelas atau
meninggalkan sekolah kecuali karena alasan tertentu, (5) Setiap siswa
yang tidak mengikuti pelajaran harus dapat menunjukkan keterangan
yang sah, (6) Memelihara dan menjaga ketertiban sekolah, (7) Tidak
merokok, dan (8) Tidak mengadakan kegiaatan yang mengganggu
jalannya pelajaran.
2. Pemberian Sanksi
a) Pengertian Pemberian Sanksi
Dalam menerapkan kehidupan yang aman, tertib, dan damai maka
harus selalu berdisiplin, cara yang terbaik yaitu dengan mematuhi
peraturan yang ada dan menjauhi dari segala penyimpangan-
penyimpangan dari peraturan tersebut. Akan tetapi, seiring dengan
berjalannya waktu hal tersebut tidak dapat berjalan sesuai dengan apa
yang diharapkan. Semakin dilarang anakpun justru merasa tidak suka dan
ia akan cenderung untuk menentang yang telah dilarang oleh orang tua
maupun guru. Anak pun sering melakukan pelanggaran yang
bertentangan dengan tata tertib yang ada tanpa disadarinya, antara lain
yaitu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mencontek, tidak patuh
terhadap guru, datang ke sekolah tidak tepat waktu, tidak mengerjakan
tugas, tidak mengikuti upacara setiap hari senin, dan lain sebagainya.
17
Dalam hal mendidik anak harus ada cara yang dilakukan oleh orang
tua di rumah maupun guru di sekolah. Salah satu cara yaitu dengan
memberikan sesuatu yang memiliki efek jera terhadap seseorang yang
telah melakukan kesalahan berupa pemberian sanksi yang bertujuan agar
anak menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi perbuatan-
perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang ada.
Pemberian sanksi terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu pemberian dan
sanksi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pemberian diartikan sebagai
”Proses, cara, dan perbuatan memberi”.9 Dalam hal ini menyerahkan
sesuatu untuk seseorang. Pemberian ini dapat dibagi menjadi pemberian
positif dan negatif. Pemberian positif merupakan pemberian yang
dianggap telah berjasa dalam melakukan sesuatu kegiatan, Sedangkan
pemberian negatif merupakan pemberian atas dilakukannya sebuah
kesalahan dalam melakukan sebuah kegiatan.
Sedangkan sanksi diartikan sebagai “Tanggungan, (tindakan,
hukuman, dan sebagainya) untuk memaksa orang menepati perjanjian
atau menaati ketentuan undang-undang” dan “Tindakan, sebagai
hukuman kepada suatu negara”.10
Dapat disimpulkan bahwa pemberian sanksi adalah menjatuhkan
sanksi (hukuman) kepada seseorang yang melanggar peraturan yang
sudah ditetapkan sebagai balasan atas pelanggaran yang telah
9 Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia. (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Diambil dari http://jurnal-
oldi.or.id/public/kbbi.pdf. Diakses pada tanggal 21 Desember 2017. 10Ibid.
18
dilakukannya dan diharapkan agar ia tidak mengulangi perbuatan yang
melanggar peraturan tersebut.
Menurut M. Ngalim Pruwanto, pemberian sanksi (hukuman) adalah
penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh
seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi suatu
pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan.11 Dapat disimpulkan bahwa
pemberian sanksi merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk
mengubah perilaku peserta didik setelah melakukan/terjadinya suatu
pelanggaran, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Malik Fadjar, pemberian sanksi (hukuman) adalah suatu
perbuatan yang kurang menyenangkan, yang berupa penderitaan yang
diberikan kepada peserta didik secara sadar dan sengaja, sehingga sadar
hatinya untuk tidak mengulangi lagi.12 Dapat disimpulkan bahwa
pemberian sanksi (hukuman) diberikan kepada anak agar merasakan
bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut merupakan tindakan yang
tidak baik, sehingga anak akan sadar untuk tidak melakukan
perbuatannya kembali.
Pendapat tersebut sejalan dengan Amier Daien, yang menyatakan
bahwa hukuman (sanksi) adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak
secara sadar dan disengaja sehingga menimbulkan nestapa. Dan dengan
adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan
11 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
hlm. 243. 12 Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), hlm. 202.
19
berjanji untuk tidak mengulanginya.13 Pemberian sanksi diberikan
kepada peserta didik agar merasakan bahwa perbuatan yang
dilakukannya tersebut merupakan perilaku yang tidak baik, sehingga
anak akan sadar dan menghindari perbuatan yang tidak baik tersebut.
Menurut pendapat Soeroso, menyatakan bahwa di lingkungan
sekolah, perlu adanya suatu aturan atau tata tertib dilengkapi dengan
sanksi-sanksi tertentu bagi pelanggarnya yang berfungsi untuk mengatur
sedemikian rupa guna tercapainya tujuan pendidikan. Penerapan sanksi
pada peraturan atau tata tertib sekolah, selain dimaksudkan dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan juga untuk memelihara kedisiplinan peserta
didik dalam interaksi belajar mengajar agar tercapainya pengajaran yang
diharapkan.14
Dengan adanya pemberian sanksi, diharapkan supaya peserta didik
dapat menyadari kesalahan yang diperbuatnya, sehingga peserta didik
lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan. Dalam memberikan sanksi,
guru tidak boleh bertindak sewenang-wenang, sanksi yang diberikan itu
harus bersifat pedagogis dan bukan bersifat balas dendam. Pemberian
sanksi dikatakan berhasil apabila dapat menimbulkan perasaan
penyesalan akan perbuatan yang telah dilakukannya tersebut.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian pemberian sanksi adalah perbuatan atau tindakan yang
dilakukan secara sadar dan sengaja oleh orang tua maupun seorang guru
13 Amier Daien Indra Kusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973),
hlm. 147. 14 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 27.
20
terhadap peserta didik akibat dari kelalaian perbuatan atau tingkah laku
yang tidak sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam lingkungan
hidupnya. Dimana tindakan tersebut menimbulkan penderitaan terhadap
peserta didik dengan maksud supaya penderitaan tersebut benar-benar
dirasakannya dan tidak mengulangi perbuatannya kembali.
b) Kriteria Pemberian Sanksi
Menurut M. Ngalim Purwanto, syarat-syarat hukuman (sanksi)
yang bersifat pedagogis, antara lain sebagai berikut:
1. Tiap-tiap hukuman hendaknya dapat dipertanggung jawabkan. Ini
berarti hukuman itu tidak boleh dilakukan sewenang-wenang, tetapi
harus dilandasi dengan kasih sayang.
2. Hukuman itu sedapat-dapatnya bersifat memperbaiki yang berarti
bernilai mendidik.
3. Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam
yang bersifat perorangan, karena hukuman yang demikian tidak
memungkinkan adanya hubungan baik antara pendidik dengan
anak didiknya.
4. Hukuman jangan diberikan sewaktu sedang marah, sebab jika
demikian kemungkinan besar hukuman tersebut tidak adil atau
terlalu berat.
5. Tiap-tiap hukuman diberikan secara sadar dan diperhitungkan
terlebih dahulu.
6. Bagi siswa, hukuman itu dirasakan sendiri sebagai kedudukan atau
penderitaannya sehingga siswa merasa menyesal dan menyadari
untuk tidak mengulangi lagi.
7. Hukuman jangan diterapkan pada badan, karena hukuman badan
tidak menyakinkan adanya perbaikan pada si terhukum, tetapi
sebaliknya hanya menimbulkan dendam atau sikap suka melawan.
8. Hukuman tidak boleh merusak hubungan baik antara guru dengan
siswanya.
9. Sehubungan dengan butir diatas, maka perlu adanya kesanggupan
memberi maaf dari guru sesudah menjatuhkan hukuman dan
setelah siswa menginsafi kesalahannya.15
15 M. Ngalim Purwanto, op.cit. hlm 191-192.
21
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa guru
sebagai pendidik dalam menjatuhkan sanksi kepada peserta didik yang
bersalah tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tetapi harus diberikan
sanksi secara adil, sesuai dengan kepribadian peserta didik tersebut.
Disamping itu, peserta didik harus diberikan kepercayaan dan harapan
kembali bahwa peserta didik tersebut akan sanggup dan mampu untuk
berbuat baik.
Sementara menurut Umaedi, sanksi dapat diberikan secara bertahap
dari yang paling ringan dan yang paling berat. Sanksi tersebut dapat
berupa:
a) Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran
ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
b) Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya
membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan
berbahasa inggris dan lain sebagainya.
c) Melaporkan secara tertulis kepada orang tua peserta didik
tentang pelanggaran yang dilakukan putra-putrinya.
d) Memanggil yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang
bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang
diperbuatnnya.
e) Melakukan skorsing kepada peserta didik apabila yang
bersangkutan melakukan pelanggaran peraturan sekolah
berkali-kali dan cukup berat.
f) Mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang
bersangkutan tersangkut perkara pidana dan perdata yang
dibuktikan bersalah oleh pengadilan.16
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
besar ringannya sanksi yang akan diberikan kepada peserta didik sangat
tergantung pada besar kecilnya kesalahan yang ia perbuat. Dalam hal ini,
16 Umaedi, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah, (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 10.
22
guru janganlah cepat-cepat memberikan hukuman terhadap peserta didik.
pada tahap pertama, peserta didik harus diberi kesempatan untuk
memperbaiki kesalahannya, sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan
diri dan menghormati dirinya serta merasakan akibat dari perbuatannya
tersebut.
Apabila tahap pertama ini belum berhasil, maka dilanjutkan dengan
tahap kedua, yaitu berupa teguran, peringatan dan nasehat-nasehat.
Apabila pada tahap yang kedua ini masih belum berhasil, maka saatnya
guru mempertimbangkan untuk memberikan hukuman.
Dari berbagai penjelasan diatas, pemberian sanksi meliputi 4
(empat) bagian, antara lain: (1) Pemberian teguran atau nasehat apabila
pelanggaran yang ditimbulkannya tersebut dapat memberikan sedikit
efek merugikan untuk orang lain seperti menggangu teman yang sedang
belajar, (2) Pemberian tugas apabila pelanggaran yang ditimbulkannya
tersebut dapat memberikan cukup efek merugikan untuk orang lain
seperti membolos pelajaran, (3) Pemberian surat peringatan untuk orang
tua apabila pelanggaran yang ditimbulkannya tersebut dapat memberikan
banyak efek merugikan untuk orang lain seperti berkelahi dengan teman,
(4) Skorsing bagi siswa atau dikeluarkan dari sekolah apabila
pelanggaran yang ditimbulkannya tersebut dapat memberikan banyak
efek merugikan untuk diri sendiri, orang lain dan masyarakat seperti
tawuran antar pelajar atau melakukan tindak pidana lainnya.
23
c) Tujuan Pemberian Sanksi
Sehubungan dengan pemberian sanksi yang dijatuhkan kepada
peserta didik, maka tujuan yang ingin dicapai yaitu agar peserta didik
yang melanggar tata tertib dapat merasa jera dan tidak ingin melakukan
kembali perbuatannya. Selain itu, tujuan pemberian sanksi merupakan
alat pendidikan yang dapat membantu tercapainya tujuan pendidikan dan
dapat menjadi alat motivasi bagi peserta didik.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Amier Daien Indra Kusuma,
yang menyatakan bahwa hukuman walaupun alat pendidikan yang tidak
menyenangkan, alat pendidikan yang bersifat negatif, namun dapat pula
menjadi alat motivasi atau alat pendorong untuk mempergiat belajar.
Peserta didik yang pernah mendapatkan hukuman karena kelalaian,
seperti tidak mengerjakan tugas, maka ia akan berusaha untuk selalu
memenuhi tugas-tugas belajarnya, agar terhidar dari hukuman.17 Hal ini
berarti ia didorong untuk selalu belajar membiasakan diri dengan
peraturan yang ada dan selalu bertingkah laku baik.
Menurut Charles Schaefer, tujuan pemberian sanksi terdapat 2
(dua), yaitu tujuan dalam jangka pendek dan tujuan dalam jangka
panjang. Tujuan dalam jangka pendek adalah untuk menghentikan
tingkah laku yang salah, sedangkan tujuan dalam jangka waktu yang
panjang adalah untuk mengajar dan mendorong peserta didik agar dapat
17 Amir Daien Indra Kusuma, op.cit. hlm 165.
24
menghentikan sendiri tingkah lakunya yang salah, agar dapat
mengarahkan dirinya yaitu mematuhi aturan yang berlaku.18
Sedangkan menurut M. Ngalim Purwanto, tujuan pemberian sanksi
berdasarkan teori hukuman dibedakan menjadi beberapa bagian,
diantaranya yaitu:
1. Teori Pembalasan
Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembelasan dendam
terhadap kelainan dan pelanggaran yang telah dilakukan seseorang.
tentu saja teori ini tidak boleh dipakai dalam pendidikan di sekolah.
2. Teori Perbaikan
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan.
Maksud dari hukuman ini adalah untuk memperbaiki si pelanggar
agar tidak mengulangi perbuatan yang telah dilakukannya.
3. Teori Perlindungan
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat
dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya
hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan-kejahatan
yang telah dilakukan oleh si pelanggar.
4. Teori Ganti Rugi
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-
kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran
18 Charles Schaefer, Bagaimana Mendidik dan Mendisiplinkan Anak, (Jakarta: Restu Agung,
2003), hlm. 91.
25
tersebut. Hukuman ini biasanya dilakukan dalam masyarakat dan
pemerintahan.
5. Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan
takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang
melanggar itu sehingga ia akan takut untuk melakukan perbuatanya
dan mau meninggalkan perbuatan yang melanggar peraturan.19
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap
teori sebenarnya dapat saling menunjang teori lainnya, karena antara
teori yang satu dengan yang lainnya sama-sama saling melengkapi dalam
pembahasannya. Akan tetapi, dalam penelitian ini, lebih menitikberatkan
pada teori perlindungan, teori perbaikan, dan teori menakut-nakuti,
sebagai mana teori tersebut cocok digunakan dalam ruang lingkup
pendidikan di sekolah.
Pemberian sanksi (hukuman) pada peserta didik hanya bersifat
untuk memperbaiki tingkah laku dan kebiasaan dari peserta didik, serta
mendidik kearah perbaikan. Setelah mengetahui tujuan dari pemberian
sanksi (hukuman) dalam pendidikan, maka guru perlu mengetahui sanksi
yang cocok untuk diterapkan dalam dunia pendidikan.
Selain itu, melalui proses pembelajaran dengan materi pendidikan
pancasila dan kewarganegaraan diharapkan dapat membantu penerapan
19 M. Ngalim Purwanto, op.cit. hlm. 187-189.
26
pemberian sanksi kepada peserta didik yang melanggar tata tertib sekolah
agar berjalan baik, sehingga peserta didik mampu untuk menaati
peraturan atau tata tertib sekolah yang ada.
3. Hubungan Pemberian Sanksi dengan Ketaatan Tata Tertib Sekolah
Setiap sekolah pasti mempunyai peraturan masing-masing, diataranya
tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah merupakan kumpulan aturan-aturan
yang dibuat secara tertulis dan mengikat di lingkungan sekolah. Tata tertib
sekolah ini harus dipatuhi oleh seluruh anggota sekolah khususnya peserta
didik. Tata-tertib merupakan peraturan yang bertujuan untuk kebaikan
bersama. Ketertiban dalam ruang lingkup sekolah akan didapat apabila
semua anggota sekolahnya berdisiplin dan tidak melanggar peraturan yang
ada. Tujuan diadakannya tata tertib di sekolah adalah agar tercipta suasana
yang teratur dan kondusif sehingga mendukung terciptanya tujuan
pendidikan yang baik.
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa tata tertib sekolah
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain sebagai aturan yang berlaku di sekolah agar proses pendidikan dapat
berlangsung dengan efektif, efisien dan tertib.
Tata tertib sekolah harus mempunyai sanksi atau hukuman bagi yang
melanggarnya. Sanksi berperan penting dalam memelihara kedisiplinan
peserta didik. Pemberian hukuman (sanksi) merupakan cara terakhir yang
harus dilakukan oleh guru untuk menegakkan kedisiplinan peserta didik.
27
Hukuman (sanksi) diberikan kepada peserta didik sebagai akibat atau
ganjaran atas kesalahan yang telah ia lakukan karena telah melanggar tata
tertib sekolah, sehingga ia akan sadar dan taat pada tata tertib yang berlaku
disekolah serta tidak mengulangi kesalahan yang telah ia perbuat.
Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat dari Tulus Tu’u, yang
menyatakan bahwa seseorang yang taat pada aturan cenderung disebabkan
karena dua hal, yang pertama karena adanya kesadaran diri, kemudian yang
kedua karena adanya hukuman. Hukuman akan menyadarkan, mengoreksi,
dan meluruskan yang salah, sehingga orang kembali pada perilaku yang
sesuai dengan harapan.20
Lebih lanjut, Nur Uhbiyati menjelaskan tentang teori menjerakan
yang menyatakan bahwa teori menjerakan ini diterapkan dengan tujuan agar
si pelanggar sesudah menjalani hukuman merasa jera (kapok) dan tidak mau
dikenai hukuman semacam itu lagi sehingga ia tidak akan melakukan
kesalahannya kembali.21
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara pemberian sanksi/hukuman dengan ketaatan tata tertib
sekolah. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku peserta didik yang tidak
melakukan kesalahan kembali karena ia telah jera (kapok) dengan hukuman
yang diberikan oleh guru. Selain itu, pemberian sanksi/hukuman dapat
memberi dorongan dan kekuatan bagi peserta didik untuk menaati dan
mematuhi tata tertib sekolah. Sanksi hukuman yang diberikan seharusnya
20 Tulus Tu’u, Peran Disiplin Pada Perilaku dan Prestasi Siswa, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004),
hlm. 48-49. 21 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 154.
28
tidak terlalu ringan atau terlalu berat supaya hukuman itu tetap mendidik
siswa untuk mengubah perilakunya. Dengan demikian, diharapkan tidak ada
lagi pelanggaran yang sama atau yang lainnya.
B. Kerangka Berfikir
Dalam lingkungan sekolah, masa perkembangan peserta didik terkadang
sering dilakukan dengan perbuatan-perbuatan menyimpang yang hampir
mengarah pada tindakan-tindakan yang melanggar peraturan yang ada. Bila
perbuatan-perbuatan menyimpang tersebut tidak ditangani secara serius, maka
perbuatan yang melanggar peraturan tersebut akan menggangu jalannya proses
belajar mengajar di lingkungan sekolah secara optimal.
Timbulnya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan peserta didik di
sekolah, secara sadar memang tidak dapat dihindari secara menyeluruh. Hal ini
merupakan kodrat manusia yakni sebagai makhluk tuhan yang tidak lepas dari
berbuat kesalahan, namun bukan berarti kita harus selalu mentolerir setiap bentuk
pelanggaran, melainkan harus berusaha sedemikian rupa untuk memperkecil
bentuk-bentuk pelanggaran yang diperbuat oleh peserta didik.
Salah satu diantaranya adalah dengan cara penerapan sanksi tata tertib
sekolah, sebagai tindakan sekolah untuk memaksakan peserta didik untuk menaati
peraturan yang telah ditetapkan. Melalui penerapan sanksi ini peserta didik harus
merasakan penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatannya. Pemberian sanksi
tersebut dapat berupa pemberian tugas tambahan atau skorsing tidak boleh masuk
sekolah untuk beberapa waktu tertentu. Sehingga dengan dijatuhkannya sanksi ini
29
peserta didik akan menjadi mengerti, bahwa ia mendapatkan hukuman sebagai
akibat dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Dengan demikian, tujuan dari
penerapan pemberian sanksi tersebut yaitu menghentikan tingkah laku buruk yang
diperbuat oleh peserta didik. Selain itu, sanksi yang diberikan kepada peserta
didik dapat membawa perbaikan tingkah laku dan mengandung unsur pendidikan.
Berfungsi atau tidaknya suatu peraturan tata tertib sekolah, tergantung dari
penerapannya yang dapat dilihat dari perilaku sehari-hari peserta didik di
lingkungan sekolah. Peraturan tata tertib sekolah dikatakan berfungsi apabila
seluruh peserta didik yang berada di lingkungan sekolah tersebut berperilaku
sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan.
Penerapan sanksi ini ditujukan kepada peserta didik yang melakukan
pelanggaran terhadap tata tertib sekolah, namun tidak menutup kemungkinan bila
ada perbuatan guru yang dinilai termasuk melanggar peraturan sekolah perlu
mendapatkan peringatan dari pihak sekolah.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk
mengurangi terjadinya pelanggaran peserta didik terhadap peraturan yang ada,
dalam hal ini yaitu tata tertib sekolah dengan menerapkan sebuah sanksi secara
tegas dan konsekuen yang didalamnya mengandung unsur adanya perbaikan
perilaku ke arah yang lebih baik. Selain itu, untuk mewujudkan kedisiplinan
peserta didik dapat dipengaruhi oleh penerapan pemberian sanksi sebagai akibat
dari pelanggaran dalam tata tertib sekolah dengan ketaatan peserta didik dalam
menjalankan peraturan yang ada di lingkungan sekolah.
30
C. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan deskripsi teoritis dan kerangka berfikir diatas, maka hipotesis
penelitian ini dapat dirumusakan sebagai berikut “Diduga terdapat hubungan
antara pemberian sanksi pelanggaran dengan ketaatan tata tertib sekolah di SMP
Negeri 71 Jakarta”.
D. Penelitian yang Relevan
Penelitian ini didasarkan pada penelitian yang relevan. Adapun penelitian
yang digunakan yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Vivi Prasetya dari Program Studi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Jakarta tahun 2012 yang berjudul “Hubungan Pemberian Hukuman
(Punishment) dengan Perilaku Siswa Dalam Pelaksanaan Tata Tertib
Sekolah”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode korelasional
dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengambilan sampel menggunakan
simple random sampling. Instrumen yang digunakan kedua variabel tersebut
yaitu menggunakan angket dengan skala likert. Penelitian ini menunjukkan
bahwa adanya hubungan yang positif antara Punishment dengan Perilaku
siswa di SMP Negeri 137 Jakarta Pusat. Hal tersebut dapat dilihat dari
perhitungan Uji Hipotesis Korelasi Product Moment menghasilkan rxy
sebesar = 0,620. Kemudian dilanjutkan dengan Uji-t signifikasi koefisien
korelasi, hasil yang diperoleh thitung = 4,19 sedangkan ttabel pada dk = (n-2) =
30-2 = 8. Taraf signifikannya 0,05 adalah 2,04 dengan berarti thitung ˃ ttabel.
31
Uji Koefisien determinasi menghasilkan KD = 38,49%. Sedangkan
perbedaan dalam penelitian ini adalah tidak menggunakan Perilaku sebagai
variabel Y.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Asep Ahmad Yani dari Jurusan Pendidikan
Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah tahun 2013 yang berjudul “Pengaruh Hukuman terhadap
Tingkah Laku Siswa”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
survey dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah angket dengan pilihan berganda. Sedangkan teknik korelasi
menggunakan product moment. Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara Hukuman dengan Tingkah Laku Siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rhitung sebesar 0,450 dan termasuk
dalam kategori sedang atau cukup. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang cukup dan signifikan antara hukuman dengan pembentukan
tingkah laku siswa di SDIT Meranti Senen Jakarta Pusat. Sedangkan
perbedaan dalam penelitian ini adalah tidak menggunakan Tingkah Laku
sebagai variabel Y dan tidak menggunakan metode survey melainkan
menggunakan metode koresional.