BAB II KEHILANGAN DAN KEDUKAAN, PENDAMPINGAN DAN...

35
12 BAB II KEHILANGAN DAN KEDUKAAN, PENDAMPINGAN DAN KONSELING PASTORAL KEDUKAAN SERTA SOLIDARITAS SOSIAL Bagian ini akan membahas mengenai pastoral yang mencangkup dua pendekatan yakni pendampingan dan konseling budaya dan solidaritas sosial, bagaimana kedudukan, fungsi pendampingan dan konseling pastoral budaya secara holistik dalam hidup manusia yang berduka. Diawali dengan pembahasan tentang kehilangan (loss), dan kedukaan (grief). A. Kehilangan Dan Kedukaan Kehilangan (loss) adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada atau dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan. 1 Kehilangan tidak selalu berkaitan dengan kematian, tetapi bisa juga karena kehilangan kesehatan (fisik dan mental), kehilangan pekerjaan, status, kehilangan harta benda, ditinggalkan anak-anak karena menikah atau pindah rumah, dan lain- lain. Bertha Simon menyatakan bahwa kematian seseorang dianggap sebagai kehilangan yang paling hebat. Hal ini, menjadi peristiwa yang sangat menguncang pikiran dan yang merupakan awal dari proses dukacita. 2 Kenapa? Sebab Kematian melenyapkan segala kemampuan manusia. Kematian adalah sesuatu yang belum dimengerti manusia, sesuatu pengalaman yang tidak dapat terjajaki. Namun, di sisi lain kematian juga menyadarkan manusia untuk mengevaluasi nilai-nilai pribadi untuk mendapatkan sebuah nilai tentang hidup yakni kemampuan untuk melihat berbagai kenyataan dan pengalaman yang saling berkaitan agar hidup ini lebih bermakna. Membuat perspektif ini dapat menjadi salah satu pengalaman paling konstruktif yang memperkaya dan memenangkan hidup. 3 1 Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto, Asuhan Keperawatan Jiwa (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009),102. 2 Bertha G. Simon, “A Time To Grief: Loss as A Universal Human Experience”, (New York: Family Servive Association Of America, 1979)10-11,28-29. 3 Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian, (Jakarta: BPK.Gunung Mulia,2001),1-7.

Transcript of BAB II KEHILANGAN DAN KEDUKAAN, PENDAMPINGAN DAN...

12

BAB II

KEHILANGAN DAN KEDUKAAN, PENDAMPINGAN DAN KONSELING

PASTORAL KEDUKAAN SERTA SOLIDARITAS SOSIAL

Bagian ini akan membahas mengenai pastoral yang mencangkup dua

pendekatan yakni pendampingan dan konseling budaya dan solidaritas sosial,

bagaimana kedudukan, fungsi pendampingan dan konseling pastoral budaya

secara holistik dalam hidup manusia yang berduka. Diawali dengan pembahasan

tentang kehilangan (loss), dan kedukaan (grief).

A. Kehilangan Dan Kedukaan

Kehilangan (loss) adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan

sesuatu yang sebelumnya ada atau dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan.1

Kehilangan tidak selalu berkaitan dengan kematian, tetapi bisa juga karena

kehilangan kesehatan (fisik dan mental), kehilangan pekerjaan, status, kehilangan

harta benda, ditinggalkan anak-anak karena menikah atau pindah rumah, dan lain-

lain. Bertha Simon menyatakan bahwa kematian seseorang dianggap sebagai

kehilangan yang paling hebat. Hal ini, menjadi peristiwa yang sangat menguncang

pikiran dan yang merupakan awal dari proses dukacita.2 Kenapa? Sebab Kematian

melenyapkan segala kemampuan manusia. Kematian adalah sesuatu yang belum

dimengerti manusia, sesuatu pengalaman yang tidak dapat terjajaki. Namun, di

sisi lain kematian juga menyadarkan manusia untuk mengevaluasi nilai-nilai

pribadi untuk mendapatkan sebuah nilai tentang hidup yakni kemampuan untuk

melihat berbagai kenyataan dan pengalaman yang saling berkaitan agar hidup ini

lebih bermakna. Membuat perspektif ini dapat menjadi salah satu pengalaman

paling konstruktif yang memperkaya dan memenangkan hidup.3

1Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto, Asuhan Keperawatan Jiwa (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2009),102. 2Bertha G. Simon, “A Time To Grief: Loss as A Universal Human Experience”, (New York:

Family Servive Association Of America, 1979)10-11,28-29.

3Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian, (Jakarta: BPK.Gunung Mulia,2001),1-7.

13

Dalam kebudayaan mana saja, rasanya berbicara masalah kematian,

merupakan sesuatu yang tabu atau orang mau segera menghindarinya. Orang lebih

banyak menjauhi pokok tersebut dan lebih suka berbicara hal-hal yang berkaitan

dengan kegembiraan, sukses dan sejenisnya.4 Sebab, kematian menyisahkan

kehilangan dan dukacita bagi orang-orang terdekatnya bukan saja karena kematian

itu telah memisahkannya dari orang-orang yang dikasihinya melainkan dalam

kondisi itu juga mereka yang ditinggalkan kehilangan makna hidup secara

mendalam.5

Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa kematian adalah suatu

peristiwa yang menimbulkan kehilangan yang besar dalam hidup manusia.

Kematian bukan cuma memisahkan kita dengan orang yang kita cintai, tetapi

serasa ada bagian dari hidup kita yang ikut hilang. Reaksi kita terhadap

kehilangan itu disebut dukacita/kedukaan (grief). Kedukaan merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Setiap manusia dalam segala lapisan

dapat dihampirinya, baik melalui kehilangan yang bersifat developmental dan

kehilangan yang bersifat accidental. Menurut Paul E.Johnson, di antara peristiwa-

peristiwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang lebih berarti dari detik-detik

menuju kematian, sebab pada saat itu segala kemampuan manusia lenyap dan

tidak berdaya.6

1. Konsep Kedukaan

Konsekuensi dari sebuah kematian adalah dukacita/kedukaan bagi yang

merasa ditinggalkan (kehilangan). Di dalam kedukaan ada perasaan tegang dan

bimbang yang sifatnya sangat pribadi. Kedukaan adalah pengalaman hidup yang

universal, yang pernah, sedang atau akan dialami setiap orang pada saat-saat

tertentu.7 Walaupun demikian, banyak orang yang tidak mengenali dinamika

pengalaman ini oleh karena mekanisme pertahanan diri (defence mechanism)

4Mesack Krisetya, Teologi Pastoral (Semarang: PT Panji Graha,1998),90.

5Mike Brennan,” Mourning and Loss : Finding Meaning in The Maurning For Hillbroungh”

Journal Mortality, vol.13,1 (UK: University Warwick,2008),6.

6Paul E.Johnson, Psychology Of Pastoral Care (Nashville New York, Abingdon Press,1953),

233.

7Yakub B.Susabda, Pastoral Konseling 2 (Malang: Gandum Mas) dan lihat juga Garry

R.Collins, Cristian Counseling (Waco, Texas: Woed Book Pub,1980),411.

14

yang ada pada setiap orang yaitu selalu menghindarkan dirinya dari perasaan-

perasaan negatif.

Ada banyak konsep tentang kedukaan (grief), seperti dari Sigmund

Freud dalam karya awalnya “Mourning and Melancholia”, ia melihat depressi

atau “melancholia” sebagai kedukaaan patogenik.8 Kedukaan dapat menjadikan

manusia mengalami depresi walaupun tidak semua depresi disebabkan oleh

kematian seseorang. Kedukaan memiliki persamaan dengan depresi sebab

keduanya menimbulkan gejala psikis yang sama seperti kehilangan selera

makan, gangguan tidur, munculnya amarah, merasa tidak nyaman, dan

sebagainya. Hampir senada dengan Freud, Norman Wright juga mengungkapkan

bahwa kedukaan adalah suatu penderitaan emosi yang luar biasa, disebabkan

oleh peristiwa kehilangan, bencana dan ketidakberuntungan.9 Coval MacDonald,

melihat kedukaan dari prespektif yang baru, yaitu bahwa kedukaan bukanlah

penyakit. Tetapi, kedukaan adalah bagian dari hidup yang tidak tampak, terluka

tetapi tidak sakit. Kedukaan adalah bagian terpenting dari pengalaman

manusia.10

Clinebell,11

mengatakan bahwa kedukaan ada di dalam segala perubahan,

kehilangan dan transisi kehidupan yang penting, tidak hanya dalam kematian

orang yang sangat dikasihi. Abineno memahami kedukaan sebagai sikap dan

reaksi terhadap kematian orang yang dicintai. Manusia berduka karena tidak lagi

bersama dengan orang yang dicintai dan tidak mampu melupakannya. Kedukaan

tidak terbatas pada apa yang dirasakan tetapi mencakup yang dipikirkan,

diinginkan, diharapkan dan yang dilakukan atau dikerjakan.12

Menurut

8J.William Worden, Grief Counseling and Grief Therapy, (New York: Springer Publishing

Company,1982),28, dikutip dari Stigmund Freud, “Mourning and Melancholia,1917, Standart

Edition,Vol.XIV,London, Hagarth,1957).

9H.Norman Wright, “Crisis Counseling, A Practical Guide For Pastors, Couselor and Friend”

(California: Regel Books, 1993),154.

10Coval B.MacDonald, Clinical Handbook of Pastoral Counseling,editor: Robert J.Wicks,dkk

(Amerika: Paulis Press,1985),540.

11

Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral (Yogyakarta:

Kanisius,2002),284. 12

J.L.Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka (Jakarta: BPK.Gunung Mulia,

1991),1.

15

Wiryasaputra,13

kedukaan bukan hanya tanggapan kognitif, melainkan juga

tanggapan holistik (fisik, mental,spiritual dan sosial) terhadap pengalaman

kehilangan atas sesuatu yang bernilai sehingga peristiwa kehilangan mampu

menimbulkan symptom mental, tentulah dimensi yang lain juga mengalami

perubahan sebab ke empat aspek tersebut saling berhubungan dan

mempengaruhi.

Dari uraian di atas, ternyata ada begitu banyak konsep tentang kedukaan

dan sangat sulit untuk mendefenisikan kedukaan, sebab kedukaan itu unik dan

kedukaan itu berbeda pada tiap-tiap orang. Kedukaan adalah bagian pengalaman

hidup yang harus dihadapi manusia, tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa

diprediksi kapan akan berakhir. Namun, kedukaan dialami sebagai reaksi dari

kehilangan sesuatu atau seseorang yang begitu dikasihi. Kedukaan terbesar yang

dialami manusia diakibatkan oleh kematian orang yang dikasihi. Kedukaan

bukanlah penyakit, jika dikelolah dengan baik.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dalam Kedukaan14

Dikatakan di atas bahwa dalamnya kedukaan berbeda antara satu

penduka dengan yang lain, sebab ada banyak faktor yang mempengaruhi

kedalaman kedukaan seseorang, yaitu :

2.1 Kedekatan Antara Penduka dengan Almarhum

Hubungan emosional dan peran yang dimiliki alrmarhum merupakan

faktor pertama yang memberikan dampak yang kuat bagi kedalam kedukaan

seseorang. Jika almarhum tidak memainkan peranan yang urgen dalam hidup

penduka maka rasa duka tidak begitu mendalam, sebaliknya jika peran

13

Wiryasaputa,Mengapa Berduka,25. 14

Wiryasaputra, Mengapa Berduka,43-67.

16

almarhum sangat signifikan, maka respon kedukaan menjadi lebih mendalam

dan kompleks.15

2.2 Cara dan Penyebab Kematian

Cara dan penyebab kematian almarhum akan mempengaruhi dangkal

atau dalamnya kedukaan. Misalnya, seorang anak yang kehilangan ayahnya

karena sakit tua pada usia 90 tahun tentu berbeda dengan seorang anak yang

kehilangan ayahnya karena kecelakaan lalu lintas yang tragis pada usi 35

tahun. Kedukaan seorang istri yang kehilangan suaminya karena kecelakaan

pesawat terbang di usia 41 tahun berbeda dengan kehilangan suaminya karena

penyakit tifus di usia 50 tahun. Makin “dianggap biasa” cara kematian, maka

makin dangkal dan sederhana juga dinamika kedukaannya. Sebaliknya, makin

“dianggap tidak biasa” cara dan penyebab kematian itu makin dalam dan

rumitlah proses kedukaannya.16

Sehingga, dapat dikatakan bahwa dinamika

kedukaan terletak pada kedukaan spontan akibat kematian yang tiba-tiba/tidak

terantisipasi dan kedukaaan terantisipasi (anticipated grief).

2.3 Coping Orang Yang Berduka

Coping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam

upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang

melelahkan atau melebihi individu.17

Rasmun mengatakan coping adalah

proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Coping

tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya

baik secara fisik maupun psikologik.18

Budi Kelliat menggambarkan

mekanisme coping sebagai suatu cara yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dari perubahan, serta respons

15

Wiryasaputra, Mengapa Berduka,45. 16

Wiryasaputra, Mengapa Berduka,45. 17

http://nursingakademy.blogspot.co.id/2010/04/koping.html, di akses tanggal 11 Juni 2016,

Pukul 14.25 WIB.

18

Rasmun, Stress, Koping & Adaptasi; Teori dan Pohon Masalah Keperawatan (Jakarta:

Sagung Seto,2004),17.

17

terhadap situasi yang mengancam.19

Dapat dikatakan bahwa coping seseorang

(baca: orang yang berduka) sangat menentukan berhasil atau tidak orang yang

berduka melewati masa kedukaannya.

2.4 Sosial-Budaya Orang Yang Berduka

Menurut Wiryasaputra, kedukaan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh

kemampuan seseorang, tetapi juga berakar pada sistem sosial. Jika lingkungan

sosial mengerti seluk beluk kedukaan dan menyediakan saranan pendukung

kesembuhan, maka penduka dapat menyelesaikan kedukaannya dengan baik.

Sebaliknya, jika iklim sosial tidak bersahabat dan memandang kedukaan

sebagai hal yang negatif, maka kedukaan akan menjadi patogenik. Untuk

memahami kedukaan seseorang sangat penting untuk mengerti iklim

sosialnya.20

Faktor-faktor di atas saling mempergaruhi, tidak berdiri sendiri-sendiri.

Satu faktor dengan yang lain memang dapat dibedakan, namun faktor-faktor ini

tidak adapat dipisahkan satu dengan yang lain, saling berhubungan dan saling

mempengaruhi.

3. Gejala-Gejala dalam Proses Kedukaan

Kedukaan bersifat universal, unit, dan situasional. Setiap orang

mengalaminya secara berbeda, tidak ada yang sama, situasi dan kultur yang

berbeda menghasilkan kedukaan yang berbeda, namun, symptom dapat diamati

dan dipahami.21

Gejala-gejala kedukaan utama dalam proses berduka, seperti

yang disampaikan Wiryasaputra, antara lain:

3.1 Air Mata dan kepedihan hati

Menangis merupakan gejala normal dan manusiawi. Dengan

mengeluarkan air mata merupakan cara meluapkan emosi kesedihan,

19A.Budi Kelliat, Gangguan Konsep Koping; Citra Tubuh, Seksual pada Klien Kanker (Jakarta:

EGC,1998),57.

20Wiryasaputra, Mengapa Berduka,Ibid,44.

21Jackson, Understanding Grief, the Roots, Dynamics and Treatment (Nashville, New York:

Abingdon Press, 1957),15 dalam Joshua Liebman, “Peace Of Mind” (New York: Simon and

Schuster, 1946),110.

18

walaupun ada individu yang mengeluarkan air mata pada saat emosi

kegembiraan, namun secara umum air mata diasosiasikan dengan dukacita

dan tawa adalah simbol kegembiraan. Kadang, ada mitos bahwa menangis

adalah tanda kelemahan.22

Apalagi kalau yang menangis adalah lelaki,

sehingga banyak orang menahan tangisan saat berduka. Menangis saat

berduka adalah wajar dan beralasan. Dengan menangis, orang yang berduka

mengeluarkan segala isi hatinya, kepedihan batinnya.23

Silakan menangis jika

kita ingin menangis.

3.2 Stress

Strees adalah sebuah reaksi psikologi kedukaan yang sering ditandai

dengan dengan beberapa perubahan pada tubuh, misalnya zat adrenaline

terpompa masuk ke dalam sistem peredaraan darah, menyebabkan urat syaraf

menjadi tegang, tekanan darah naik, detakan jantung kian cepat, frekuensi

keringat meningkat dan kelebihan energi glycogen.24

Perubahan tersebut

melahirkan gangguan kesehatan fisik, yang memperlihatkan hubungan

kedukaan dengan penyakit akibat stres, misalnya hubungan sakit diabetes,

akibat meningkatnya glycogen yang berubah menjadi zat gula, dengan

kedukaan yang tidak diselesaikan.

3.3 Penolakan

Penolakan berarti orang yang mengalami kehilangan belum atau tidak

mau mengakui atau menerima keadaan yang sebenarnya. Tidak percaya

bahwa telah terjadi kematian orang yang dikasihi. Secara psikologi,

penolakan ini wajar sebagai cara mempertahankan diri. Gejala ini

berlangsung singkat, tetapi jika muncul berkepanjangan akan menimbulkan

gejaja-gejala yang lain, seperti halusinasi.25

3.4 Marah

22

Johanis M.Felubun, Kaya Dalam Perjumpaan, Miskin Dalam Relasi, (Fak-Fak: GPI di Papua,

2012), 108-109. 23

Wiryasaputa,Mengapa Berduka,108. 24

Wiryasaputa,Mengapa Berduka,109. 25

Wiryasaputa,Mengapa Berduka,109-110.

19

Kedukaan dapat dikenal lewat kemarahan orang yang mengalami

kehilangan. Elisabeth Kubler Ross, seorang psikiater sosial menyebut gejala

ini sebagai gejala kedua dari tahapan kedukaan. Marah (anger) dapat

ditujukan pada pihak lain seperti teman, suatu keadaan atau hal-hal yang

terkait dengan peristiwa kematian bahkan Tuhan. Kemarahan juga dapat

ditujukan pada diri sendiri. Orang yang berada pada tahapan ini akan

mengekspresikan bentuk kemarahannya dan ketidakpuasannya melalui

berbagai macam kata-kata dan tindakan kepada siapa saja dan apa saja

dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab baik secara langsung

maupun tidak langsung terhadap meninggalnya orang yang ia cintai.26

3.5 Depresi, Muram, Tertekan Batin

Kedukaan juga terlihat dari depresi, namun tidak semua depresi

merupakan gejala kedukaan. Depresi berorientasi pada masa lalu, sedangkan

putus asa berkaitan dengan masa kini dan masa depan. Orang yang depresi

biasanya membenci dirinya sendiri dan terus mempersalahkan dirinya

sendiri.27

3.6 Putus Asa

Putus asa berkaitan erat dengan kehidupan masa kini dan masa

depan. Orang yang putus memandang masa kini dan masa depan bagaikan

keberadaan dalam kegelapan hidup. Gejala putus asa ini akan semakin dalam

jika orang yang berduka tidak memiliki teman yang menemaninya, kesepian,

tidak ada yang menolongnya.28

3.7 Rasa Bersalah, menyesal

Rasa bersalah selalu dirasakan setelah menyadari adanya kehilangan.

pada saat kedukaan. Rasa bersalah membuat orang yang mengalami

26

Elisabeth Kubler Ross, On The Death and Dying (New York: Collier Books,Macmillan

Publishing Company, 1969), dalam Totok S.Wiryasaputa,Mengapa Berduka,111-112.

27Wiryasaputa,Mengapa Berduka,112.

28Wiryasaputa,Mengapa Berduka,112-114.

20

kehidlangan seakan-akan menyesali dirinya sendiri. Hal ini, dikarenakan

kemarahan dan kebenciaan tidak dapat diarahkan pada pihak lain, sehingga

diarahkan kepada diri sendiri.29

3.8 Menerima Kenyataan

Akhir dari proses kedukaan adalah menerima kenyataan. Penerimaan

adalah titik terakhir dari proses berduka dan titik awal dari sebuah masa

depan yang akan dijalani tanpa kehadiran almarhum. Di titik ini, orang yang

berduka telah siap memasuki babak baru, yakni babak pertumbuhan. Jika,

gejala ini tidak dimiliki oleh orang yang berduka, itu menandakan bahwa

proses berdukanya belum atau tidak terselesaikan dengan baik.30

4. Dinamika Kedukaan Menurut

Dinamika kedukaan selalu diberikan berdasarkan tahapan kedukaan

secara bervariasi dan semua individu/ keluarga yang berduka akan melewati

tahapan kedukaan yang tidak sama. Wiryasaputra, memandang bahwa

dinamika berduka tidak selamanya berjalan secara mekanis dan sistematis.31

Dinamika proses kedukaan pada dasarnya tidak berurutan secara mekanis.

Artinya, tidak ada warna, irama atau nada kedukaan yang sama. Tahapan

shock/terkejut, mungkin tampak pada klien tertentu, namun belum tentu

tampak pada klien lain di Indonesia. Dalam klien tertentu gejala terkejut

mungkin muncul pada awal proses berduka. Namun, bukan berarti bahwa

gejala terkejut selalu muncul pada awal setiap proses kedukaan. Bisa saja,

dalam beberapa kasus kedukaan, tahapan terkejut tidak muncul sama sekali,

misalnya pada peristiwa kehilangan dan kedukaan yang terantisipasi

(anticipated grief). Tahapan marah tidak selalu muncul dalam proses kedukaan

di Indonesia karena pola pikir dan kebudayaan kita. Marah bisa saja ditujukan

pada pihak lain ataupun diri sendiri. Dinamika berduka membutuhkan

kepekaan batin orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan orang

29

Wiryasaputa,Mengapa Berduka,114. 30

Wiryasaputa,Mengapa Berduka,115. 31

Wiryasaputa,Mengapa Berduka,114.

21

yang berduka, termasuk dalam hal ini yang memberi pertolongan atau

pendamping pastoral.

5. Tugas-Tugas Dalam Kedukaan

Berikut ini akan memuat beberapa tugas dalam kedukaan dan tipe

pertolongan yang memudahkan untuk menyelesaikan masa kedukaan.

Alan D.Wolfelt32

berpendapat bahwa sebuah proses berduka akan

membawa kita pada titik rekonsialiasi, yaitu meyakini sebuah kenyataan baru

dan bergerak maju tanpa kehadiran fisik dari orang yang telah meninggal. Hal

ini dimulai dari saat upacara pemakaman, dimana kebutuhan orang yang

berduka akan terpenuhi melalui kerja kedukaan mereka sendiri dan melalui

cinta dan kasih sayang dari orang di sekitar mereka. Ketika sang orang yang

berduka melihat bahwa ada orang-orang disekitarnya, ini mampu

mendamaikan kesedihan mereka. sehingga Sang penduka kemudian bisa

menemukan makna hidup dan kehidupannya.

Secara umum, Alan D.Wolfelt, menjelaskan enam tugas berkabung

(tasks of mourning) yang bisa ditemukan dalam tradisi-tradisi kematian yang

menimbulkan kehilangan dan kedukaan, yakni: pertama, upacara pemakaman

yang umumnya dilakukan adalah sebuah tindakan simbolik pengakuan manusia

terhadap realitas kematian. Orang yang berduka bisa bergerak maju dengan

kesedihan, jika orang yang berduka mengakui secara terbuka realitas dan

finalitas kematian.

Kedua, rangkulah rasa kehilangan. Kesedihan yang sehat berarti

mengungkapkan pikiran yang menyakitkan dan perasaan kita. Dengan adanya

berbagai upacara pemakaman dapat memungkinkan kita untuk melakukannya

dengan cara menangis,terisak bahkan secara histeris meratap ketika

pemakaman terjadi karena perpisahan akan segera terjadi. Pemakaman

32Alan D.Wolfelt, “Undersatand The Six Needs Of Mourning,” Journal Home Healthcare Nurse,

29.No.2.

22

memaksa kita untuk mengalami rasa sakit, bahwa kematian itu sungguh-

sungguh terjadi pada orang yang kita kasihi.

Ketiga, mengingat orang yang meninggal. Untuk menyembuhkan

kesedihan dalam kedukaan, kita perlu menggeser hubungan dengan orang yang

meninggal, dari kebersamaan fisik menjadi tinggal kenangan. Setelah

rangkaian upacara pemakaman, kita akan mendapat penghiburan dari pelayat

yang tentunya ketika kita berjumpa, akan berbagi kenangan bersama almarhum

kepada orang yang berduka bahkan sebaliknya. Semakin kita mampu

menceritakan kisah kematian tersebut sebagai sebuah kenangan, maka semakin

besar pula kemungkinan kita dapat mendamaikan kesedihan. Menceritakan

kebersamaan selama almarhum hidup, mengajarkan kita untuk tetap

menghargai kehidupan dan kematian almarhum.

Keempat, mengembangkan indentitas diri yang baru. Manusia adalah

mahkluk sosial yang hidupnya diberikan makna dalam kaitannya dengan

kehidupan orang-orang disekitarnya. Kematian suami, istri, orang tua dan anak

secara langsung memberikan sebuah indentitas yang baru kepada orang yang

berduka. Misalnya, peran baru sebagai janda, duda, yatim atau piatu.

Kehadiran para pelayat adalah bukti kepedulian sesama atas peran baru

tersebut. Kehadiran dan dukungan mereka, membantu orang yang berduka

bahwa ia masih ada dan berada di dunia.

Kelima, mencari makna. Ketika orang yang kita kasihi dan cintai

meninggal, kita tentu mempertanyakan makna kehidupan dan kematian.

Mengapa dia meninggal? Kenapa sekarang? Mengapa dengan cara seperti

ini? Apa yang terjadi setelah kematian? Untuk menyembuhkan kedukaan,

maka harus mengeksplorasi pertanyaan tersebut untuk didamaikan dengan

kedukaan kita. Pertanyaan mengapa memutuskan mengapa kita harus terus

hidup sebelum kita dapat bertanya pada diri sendiri “bagaimana” kita akan

terus hidup. Ini tidak berarti kita harus menemukan jawaban yang pasti, hanya

bahwa kita perlu kesempatan untuk berpikir tentang makna hidup itu sendiri.

23

Keenam, menerima dukungan dari orang lain. Kehadiran keluarga/

kerabat dan para pelayat lainnya adalah tempat untuk memberikan dukungan

fisik sekaligus untuk mendapatkan dukungan moril. Sebab kehadiran banyak

orang adalah satu aspek yang samgat penting dari sebuah penyembuhan

kedukaan.

Pada saat kehilangan terjadi, kebutuhan untuk dihibur sangat kuat

sekali. Tindakan pelayanan gereja dalam ibadah penghiburan dapat memberi

hiburan yang menenangkan batin bagi orang yang mengalami kehilangan. Baik

sentuhan fisik maupun pemberian makanan adalah tindakan simbolik untuk

berkomunikasi sebagai pendampingan kedukaan. Makan sesudah acara

penguburan menyatakan berlangsungnya terus kehidupan meskipun terjadi

kematian. Clinebell, berpendapat bahwa salah satu maksud dari tradisi

penguburan atau acara-acara lain setelah penguburan akan mempermudah

pembebasan emosional dari perasaan duka, sebab upacara penguburan atau

ibadah penghiburan adalah juga suatu kebaktian pengucapan syukur kepada

Tuhan karena perbuatanNya melalui orang yang meninggal itu. Sebuah

penegasan tentang kepercayaan komunitas yang membantu orang yang

kehilangan itu dalam konteks iman yang luas, yang meneguhkan

kehidupannya.33

Apa yang dipaparkan di atas tentang tugas-tugas dalam kedukaan

menyatakan bahwa orang yang berada dalam kedukaan juga membutuhkan

pelayanan. Siapakah yang harus melayani mereka? Apakah hanya pelayan

gereja (pendeta/pastor/penatua/diaken)? Ataukah sang penduka juga

mempunyai tugas dalam pelayanan masa kedukaan ini? Kita harus sama-sama

mengusahakannya, bukan hanya pendeta/pastor tetapi juga orang-orang yang

berada dalam kedukaan, harus turut mengusahakannya. Tanpa partisipasi

mereka, usaha untuk menyelesaikan kedukaan tidak akan mempunyai manfaat.

33Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 289.

24

B. PENDAMPINGAN DAN KONSELING PASTORAL BUDAYA

1. Pastoral

Untuk istilah pastoral, berasal dari bahasa Latin kata “pastor” atau

dalam bahasa Yunani disebut “poimen” yang artinya “gembala”. Istilah ini

dipakai dalam kehidupan gerewaji sebagai tugas Pendeta yang dituntun

menjadi gemala bagi jemaat. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri

Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai “Pastor Sejati” atau “Gembala Yang

Baik” (Yoh.10). Ungkapam ini mengacu pada pelayanan Yesus yang tanpa

pamrih, bersedia memberikan pertolongan dan pengasuhan terhadap para

pengikut-Nya, bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya. Pelayanan yang

diberikan-Nya ini merupakan tugas manusiawi yang teramat mulia dan

pengikut-Nya diharapkan dapat mengambil sikap dan pelayanan Yesus ini

dalam kehidupan praktis mereka. Oleh karena itu, tugas pastoral bukan hanya

tugas resmi atau monopoli para pastor/pendeta saja, tetapi juga setiap orang

yang menjadi pengikut-Nya.34

Pengertian istilah pastoral di atas kemudian memberi pemahaman

kepada kita bahwa tugas pastoral bukan hanya tugas seorang pastor/pendeta

tetapi tugas yang dimandatkan kepada semua orang percaya untuk saling

menopang dan menolong sesama. Dalam pastoral ada dua pendekatan, yaitu

pendampingan pastoral dan konseling pastoral. Secara fungsi kedua

pendekatan ini sama tetapi secara tekniks pelaksanaan keduanya berbeda.

Akan dijelaskan dibawah ini.

2. Pendampingan Pastoral

Kata pendampingan pastoral adalah gabungan kata yang memiliki

makna pelayanan, yaitu kata pendampingan dan pastoral. Pertama;

34

Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015),9-10.

25

Pendampingan berasal dari kata kerja mendampingi. Menurut Aart Van

Beek35

mendampingi adalah kegiatan menolong orang lain yang disebabkan

oleh sesuatu hal sehingga perlu didampingi. Orang yang melakukan kegiatan

mendampingi disebut pendamping dan orang yang membutuhkan

pendamping disebut sebagai yang didampingi. Relasi antara pendamping dan

didampingi bersifat sejajar atau adanya relasi timbal balik.

Pendampingan pastoral disebut juga sebagai penyembuh jiwa. Kondisi

di mana seseorang ada dalam kondisi marah, kecewa, serakah, iri hati, malas

dan lainnya yang menandakan bahwa jiwa seseorang sedang dalam kondisi

sakit. Penyembuh jiwa dapat dilakukan melalui pendampingan pastoral. Jiwa

yang mengalami penyakit tersebut didampingi agar bebas atau sembuh.

Menurut Clebsch dan Jackle bahwa jiwa yang sakit harus disembuhkan

dengan pendampingan pastoral. Pendampingan pastoral menghadirkan nilai

kristen yang bertujuan untuk menyembuhkan, membimbing,

mempertahankan atau mendamaikan. Tujuan ini dirangkum dalam fungsi

pendampingan pastoral.36

Daan Engel, menambahkan bahwa dalam tugas sebagai pendamping,

maka proses pendampingan akan dialami bersama dengan yang didampingi,

keduanya akan mengalami perubahan bersama. Pendamping hadir dengan

kepeduliaan dan sikap empati sehingga yang didampingi tidak merasa sendiri.

Sekaligus juga, pendamping melakukan pendampingan pada diri sendiri.

Artinya pendamping juga mengalami luka-luka secara pribadi, sehingga

dalam proses pendampingan maka pendamping memberikan diri sekaligus

menyebuhkan luka-luka yang dialami. Berarti pendampingan adalah sebuah

proses yang terjadi terus menerus antara pendamping dan didampingi yang

berelasi sejajar sehingga pendamping dan yang didampingi mengalami

perubahan dan pertumbuhan bersama ke arah yang lebih baik.37

Itu berarti

35

Van Beek, Pendampingan Pastoral, 9-11. 36

William A Clebsch & Charles R.Jaeke, Pastoral Care in Historical Perspective, (Prentice

Hall,Inc,1964),1-10,136-137. 37

Jacob Daan Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika,2007),2.

26

dalam proses pendampingan itu sendiri sangat dimungkinkan bagi

pendamping dan didampingi untuk mengalami perubahan bersama. Relasi

pendamping dan yang didampingi dibangun dalam bentuk relasi mesra dan

harmonis, yang memungkinkan untuk mengalami kedamaian dan

kebahagiaan sehingga menumbuhkan sikap saling menghargai dan

mempercayai.38

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli di atas dapat dikatakan

bahwa pendampingan pastoral adalah suatu upaya menolong orang lain dalam

relasi yang sejajar antara pendamping dan yang didampingi sehingga

keduanya memiliki kesempatan untuk bertumbuh bersama, sehingga terjadi

pertumbuhan pada kehidupan manusia secara utuh, yaitu fisik, mental, sosial

dan spiritual. Pendampingan adalah proses perjumpaan yang melahirkan

kepeduliaan dan empatik. Pendampingan bisa dilakukan oleh siapapun.

3. Konseling Pastoral

Menurut Aart Van Beek, istilah konseling dari kata counseling

(bahasa Inggris), memiliki banyak pandangan yang berbeda. Awalnya

Konseling memiliki pengertian memberi nasehat atau membimbing.39

Proses

percakapannya disebut konseling dan diharapkan melalui konseling, konseli

menemukan kekuatan baru dan wawasan baru untuk mengatasi

masalah.40

Konseling Pastoral terjadi ketika seseorang membutuhkan bantuan

atau pertolongan sehingga terjadi perjumpan dan percakapan pastoral.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konseling pastoral merupakan

bagian dari pendampingan pastoral.41

Konseling pastoral bukan hanya

memampukan klien menyelesaikan masalahnya tetapi juga menyakinkan

klien untuk menggembangkan spiritualitasnya sehingga klien sendiri dapat

38

Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral,1-4.

39Van Beek, Pendampingan Pastoral, 9-10.

40Aart Van Beek, Potret Diri Seorang Konselor (Salatiga: UKSW Press, 1997),1-3

41Van Beek, Pendampingan Pastoral, 16-17.

27

membangun, memperbaiki dan membina hubungan yang baik dan mengalami

pertumbuhan.

Lebih lanjut, Daan Engel,42

mengartikan konseling sebagai proses

pertolongan antar seorang penolong (konselor) dan yang ditolong (konseli),

dengan maksud bukan hanya meringankan penderitaan orang yang ditolong,

tetapi juga memberdayakannya. Konseling menempatkan seorang konselor

bersentuhan selalu dengan apa yang disebut relasi terhadap sesamanya.

Kedalaman relasi terbangun jika seorang konselor memandang orang yang

bermasalah itu berharga, yang bukan hanya dikasihani tetapi dicintai sebagai

sesama yang membutuhkan dukungan dan pertolongan. Perwujudan cinta

kasih dalam suatu konseling adalah dengan memperhatikan orang lain dengan

kehadirannya secara utuh, penuh perhatian, menghargai, mendengarkan,

saling bekerjasama, bersikap lemah lembut, ramah dan penuh kehangatan

serta menyatakan empati yang tepat, tidak berpura-pura. Selain pengertian di

atas, Clinbell mengartikan konseling sebagai ungkapan pendampingan yang

bersifat memperbaiki (reparatif), yang berusaha membawa kesembuhan bagi

orang lain yang sedang menderita gangguan fungsi pribadi akibat krisis.43

Paparan-paparan di atas, mau menjelsakan bahwa antara

pendampingan dan konseling pastoral, tidak ada perbedaan yang signifikan.

Sebab, keduanya didasari oleh nilai-nilai kristiani dan secara konseptual

memiliki fungsi yang sama. Perbedaan keduanya terletak pada pelaksanaan

dimana konseling pastoral dilakukan ketika seseorang (klien) sementara ada

dalam masalah dan membutuhkan pertolongan sedangkan pendampingan

pastoral dilakukan seumur hidup, di ruang dan diwaktu manapun.

Pendampingan menjadi dasar bagi pemahaman kita tentang konseling atau

pendampingan merupakan landasan yang kuat bagi konseling. Itu berarti

bahwa pendampingan dapat kita lakukan tanpa konseling, tetapi sebaliknya

42

Jacob Daan Engel, Konseling Dasar Dan Pendampingan Pastoral: Pemahaman dan

Pengalaman Dalam Praktek (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),1.

43Clinbell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 17-18.

28

kita tidak bisa melakukan konseling tanpa pendampingan. Keduanya adalah

tindakan penggembalaan, pendampingan dan konseling.44

4. Fungsi Pendampingan dan Konseling Pastoral

William A. Clebsch dan Charles R.Jaekle dalam buku “Pastoral Care

in Historical Perspektive” mengatakan fungsi pendampingan dan konseling

pastoral secara tradisonal ada empat45

yaitu, menyembuhkan (healing),

mendukung (sustaining), membimbing (guiding), rekonsiliasi (reconciling).

Howard Clinebell dalam buku “Basic Types of Pastoral Care & Counseling”

mengatakan fungsi pendampingan dan konseling pastoral secara tradisonal

ada empat,46

menambahkan fungsi yang kelima, yaitu memelihara

(nurturing),47

dan Arrt Van Beek48

menambahkan fungsi yang keenam, yaitu

mengutuhkan.49

(1) Menyembuhkan (healing)

Untuk mengatasi gangguan dengan mengembalikan orang

pada keutuhan dan memimpin dia mau melampaui kondisi

sebelumnya. Fungsi ini sangat penting untuk mereka yang mengalami

dukacita karena kehilangan atau terbuang. Tekanan mental yang

terjadi dapat mengakibatkan penyekit psikosomatis, suatu penyakit

yang langsung maupun tidak karena tekanan mental yang berat.

44

Dalam bukunya yang berjudul Pendampingan Pastoral, Aart Van Beek mengatakan bahwa

seyogianya pengembalaan didefenisikan sebagai “pendampingan dan konseling pastoral”. Usulan

ini didasarkan pada konteks masa kini dimana kata “gembala” kurang dapat dianggap kontekstual

lagi. Mengingat perkembangan masyarakat yang tadinya tradisional-agraris ke arah industri,

alegori domba pun bukan lagi simbol yang terlalu positif. Pendamping adalah orang yang

menolong penderita agar ia menolong dirinya sendiri, buka menjadi pengikut yang pasif seperti

domba, yang pada suatu saat dapat berjalan sendiri dengan tegar. Dengan demikian, menurut Van

Beek, sebetulnya setiap orang dapat menjadi pendamping pastoral, asal dalam pelayanannya ia

berangkat dari prespektif pendampingan/ menggembalakan. Kesimpulan yang ia berikan adalah,

pendampingan sama dengan penggembalaan. Pendampingan/ penggembalaan berarti menolong

manusia yang menderita ke arah pengutuhan, lengkah demi langkah. Konseling pastoral

merupakan bagian dari pendampingan pastoral. 45

William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive

(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964),33-36. 46

Howard Jhon Clinebell, Basic Types Of Pastoral Care and Caunseling-Resources For The

Ministry of Healing & Growth (Nashville: Abidong Press, 1966),42-43.

47

Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 89-172.

48Van Bekk, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015), 13-15.

49

Van Beek, Potret Diri,13-17.

29

Tekanan mental sering terungkap melalui disfungsi tubuh. Pada

kondisi ini pendamping diharapkan dapat menolong dengan

pendekatan agar yang didampingi mengungkapkan perasaan yang

tertekan.

(2) Mendukung (sustaining);

Berfungsi membantu seseorang yang terluka untuk bertahan

dan mengatasi keadaan menuju proses pemulihan atau penyembuhan

dari luka yang paling berat sekalipun. Dukungan yang dapat dilakukan

biasanya melalui kehadiran dan sapaan yang meneduhkan serta

terbuka, ini dapat mengurangi penderitaan. Dukungan yang seperti ini

dapat mengurangi penderitaan yang berat atau memukul.

(3) Membimbing (guiding);

Dilakukan ketika yang didampingi merasa kebingungan

untuk menentukan pilihan atau keputusan. Dalam mengambil

keputusan harus diketahui konsekuensi atau dampak dari pilihan, baik

sekarang maupun yang akan datang. Dalam hal ini pendampingan

harus mengemukakan beberapa kemungkinan yang bertanggungjawab

dengan segala resiko sekaligus membimbing ke arah yang berguna.

Keputusan tetap di tangan orang yang didampingi dengan mengetahui

segala resiko dari keputusan.

(4) Rekonsiliasi (reconciling);

Adalah usaha untuk membangun kembali hubungan yang

rusak antara yang didampingi dengan orang lain, begitu juga yang

didampingi dengan Tuhan. Rekonsiliasi ditempuh dengan cara

mendamaikan melalui pengampunan dan kedisiplinan. Hubungan

yang rusak sering mengakibatkan penderitaan psikis maupun fisik,

karena itu, pendampingan membantu untuk menganalisa faktor yang

mengancam dan merusak hubungan tersebut sehingga menemukan

alternatif untuk memperbaiki hubungan tersebut. Pendampingan harus

menjadi orang yang tidak berpihak, tetapi penengah dari semua pihak

yang didampingi.

30

(5) Memelihara (nurturing);

Bertujuan memampukan orang untuk mengembangkan

potensi-potensi yang diberikan Allah kepada di sepanjang perjalanan

hidup mereka dengan segala lembah, puncak dan datarannya.50

(6) Mengutuhkan

Yang memiliki fungsi sentral karena merupakan tujuan utama

dari pendampingan pastoral. Mengutuhkan menenjadi tujuan sentral

karena adanya pengutuhan kehidupan manusia dalam seluruh aspek

kehidupan yakni fisik, sosial, mental dan spiritual. Penderitaan

manusia ada, rusak dan menjadi terganggu dapat dilihat pada empat

aspek kehidupana manusia. Oleh karena itu, pengutuhan kembali

semua aspek ini penting sehingga manusia mengalami keutuhan dalam

hidupnya.51

Berdasarkan fungsi di atas, Gerkin menyatakan konseling pastoral

sebagai suatu seni pengenalan. Dengan demikian, konseling pastoral

mempunyai tugas utama yaitu menimbulkan kepekaan.52

Ini berarti bahwa,

baik konselor maupun konseli harus sama-sama memiliki rasa kepekaan

dalam hubungan dan pengalaman mereka, dimana keintiman/ kedekatan dari

kehadiran dan aktivitas rohlah yang dapat dirasakan/ dikenali.

5. Pendekatan Integratif dalam Pendampingan dan Konseling Pastoral

Arrt Van Beek dalam bukunya „Konseling Pastoral‟53

menggunakan

kata “holistik” dalam kaitan dengan perspektif menyeluruh. Adapun uraian

penjelasannya berangkat dari titik pandangan terhadap manusia yang sangat

kompleks. Prespektif menyeluruh ialah suatu pandangan terhadap kehidupan

manusia yang sangat kompleks. Prespektif menyeluruh ialah suatu pandangan

50

Clinebell, Basic Types, 43. 51

Van Beek, Konseling Pastoral,15-16. 52

Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral Dalam Transisi, (Jakarta: Kanisius, 1992),96. 53

Van Beek, Konseling Pastoral (Semarang: Satya Wacana,1987),24-29.

31

terhadap situasi dan masalah-masalah konseli yang dapat menghasilkan

informasi mengenai semua aspek dalam kehidupannya. Dengan kata lain,

konselor harus mempertimbangkan persoalan-persoalan konseli dengan segala

kompleksitasnnya. Semua aspek dari kehidupan konseli perlu diperhatikan

sedikit banyak untuk menjamin pemahaman yang cukup lengkap mengenai

kesulitan yang menganggu dia. Sedangkan Daan Enggel, menggunakan

prespektif intergratif, Untuk menyederhanakan kompleksitas hidup manusia

itu kita bisa membagi hidup manusia menjadi empat aspek, yaitu:54

1) Aspek Fisik

Aspek ini berkaitan erat dengan bagian yang tampak dari hidup kita.

Aspek ini terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar

dirinya. Dengan aspek ini, manusia dapar dilihat, diraba, disentuh dan

diukur.

2) Aspek Mental

Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi dan kepribadian manusia.

Aspek ini juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa dan intergritas

manusia. Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang

dengan bagian dalam dirinya (batin, jiwa). Sesungguhnya aspek ini tidak

tampak, sehingga tidak dapat diraba, disentuh dan diukur. Aspek mental

memampukan manusia berhubungan dengan dirinya dan lingkunganya

secara utuh, memberadakan, membuat jarak (distansi), membedakan diri,

dan bahkan berkaitan dengan diri sendiri.

3) Aspek Spiritual

Aspek ini berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara khusus

dapat berhubungan dengan sang pencipta sejati. Aspek ini mengacu pada

hubungan manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar

jangkauannya. Inilah aspek vertikal dari kehidupan manusia. Dalam hal

ini manusia bergaul dengan sesuatu yang agung, yang berada di luar

dirinya dan mengatasi kehidupannya.

54Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral Dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta; BPK. Gunung

Mulia, 2016), 18-19.

32

4) Aspek Sosial

Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin

berdiri sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungan dengan pihak luar

secara horizontal, yakni dunia sekelilingnya. Manusia selalu hidup dalam

sebuah interelasi dan interaksi yang berkesinambungan. Manusia tidak

dapat tumbuh tanpa relasi dan interaksi. Aspek ini, memampukan

manusia tidak hanya berelasi dan berinteraksi dengan sesama manusia,

melainkan juga dengan mahkluk ciptaan lainnya; udara, air, tanah,

tumbuhan, binatang, dan sebagainya.

Seluruh aspek kehidupan manusia saling berkaitan dan

mempengaruhi secara sistematik dan sinergis membentuk eksistensi

manusia sebagai keutuhan yang bertumbuh mencapai kepenuhannya. Kita

dapat membendakan satu aspek dengan aspek yang lain, namun pada

dasarnya kita tidak dapat memisahkannya, karena keempat aspek tersebut

saling berkaitan dan mempengaruhi. Hal tersebut menunjukkan bahwa

sesungguhnya manusia selalu berelasi dengan dirinya sendiri (internal) dan

dengan sesuatu yang berada di luar dirinya (eksternal), baik secara fisik,

mental, sosial dan spiritual. Dalam perjumpaan, manusia mengalami proses

pertumbuhan.

Crocker dan Canevello menulis di jurnal mereka bahwa manusia

adalah mahkluk sosial. Mereka membutuhkan hubungan yang mendukung

dengan orang lain baik itu fisik maupun psikologi.55

Hal ini menunjukkan

bahwa tidak ada manusia yang dapat bertahan hidup seorang diri saja karena

sesungguhnya kodrat manusia itu adalah mahkluk sosial. Setiap interaksi

yang terjadi pasti akan selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitarnya

dan sesama manusia akan mengisi dalam kehidupannya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konseling

pastoral dalam pendekatan integratif dapat dipahami sebagai proses

pertolongan sesama manusia secara utuh mencakup aspek fisik, mental,

55

Jennifer Crocker And Amy Canevello, “Creating and Underming Social Support in

Communal Relationships: The Role Of Compassionate and Self-Image Goals, Journal Of

Personality and Social Psycology (University Of Michigan,2008),Vol.95,3,555-575.

33

spiritual dan sosial yang bersifat pastoral yaitu menyembuhkan, menopang,

membimbing, mendamaikan dan mengutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa

sesungguhnya manusia harus dilihat secara utuh/menyeluruh, artinya dalam

konseling pastoral kita harus melihat orang yang didampingi sebagai

manusia holistik yang sedang mengalami krisis.

4. Pendampingan dan Konseling Pastoral Budaya

4.1 Makna Budaya Dalam Konteks Pendampingan Dan Konseling

Pastoral

Pendampingan dan Konseling dalam konteks budaya harus

membahas budaya dalam konteks psikologi karena dasar pendampingan

berakar pada psikologi. Dalam hal ini, psikologi memiliki dua tujuan,

yakni: (1). Budaya sebagai sebuah konsep abstrak; aspek budaya yang

dapat diamati sesungguhnya bukanlah budaya itu sendiri melainkan

perbedaan perilaku manusia dalam aktivitas dan tindakan, pemikiran,

ritual, tradisi maupun material sebagai produk kelakuan manusia, (2).

Budaya sebagai konseptual kelompok; budaya ada ketika terjadi

pertemuan antar manusia yang didalamnya akan membuahkan pola-pola

adaptasi dalam perilaku, norma, keyakinan maupun pemikiran dan atau

ide, dan (3). Budaya dinternalisasi oleh anggota kelompok; budaya adalah

produk yang ditemani oleh individu yang disatukan dalam kelompok,

maka budaya adalah alat pengikat dari individu-individu yang memberi

ciri khas keanggotaan suatu kelompok yang berbeda dengan individu-

individ dari kelompok budaya lain.56

Berdasarkan pada tiga ciri khas budaya di atas, budaya dapat

didefenisikan sebagai tingkah laku individu dan masyarakat terikat oleh

kebudayaan yang dalam perspektif psikologi pendampingan wujudnya

terlihat dalam berbagai aturan atau norma yang khusus, dimana aturan dan

56

David Matsumoto & Linda Juang, Culture and Psychology (Thomson Wadsworth, 2004),24.

34

norma tersebut menjadi kontrol bagi masyarakat. Sehingga kebudayaan

adalah proses yang dipelajari dan berkembang serta nilai-nilai yang ada

diambil sekelompok masyarakat. Nilai atau aturan tersebut menjadi sebuah

sistem nilai yang diatur. Budaya sebagai konstruk individu dan sosial

memuat sistem nilai budaya (culture value system) dan dalam konteks

psikologi berprespektif budaya system nilai budaya merupakan hal yang

mendasari sikap dan perilaku. Menurut Koenjaranigrat, sistem nilai budaya

merupakan tingkat paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Nilai-

nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang hidup

dalam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat. Nilai budaya

merupakan hal-hal yang mereka anggap sebagai hal yang bernilai,

berharga dan penting bagi kehidupan. Sistem nilai budaya berfungsi

sebagai pedoman yang dapat memberi arah dan orientasi bagi kehidupan

masyarakat.57

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam konteks

pendampingan dan konseling berbasis budaya seperti yang ditawarkan

oleh Greenfield,58

yang memakai istilah pendekatan kontekstual atau

pendekatan emik dan Daan Engel,59

yang memakai istilah kekhususan

budaya atau pendekatan emik. Pendekatan emik menyatakan bahwa aspek

kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu, dan

setiap budaya memiliki konsep yang unik. Pendekatan emik (kekhususan

budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik yang khas dari

populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus

mereka.

4.2 Aplikasi Pendampingan Dan Konseling Pastoral Budaya Dalam

Kedukaan

57

Koenjranigrat, Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP,1993),3.

58Patricia M.Greenfield, “Theree Approaches to The Psychology of Culture: Where do They

Come From? Where Can They Go?”, Asian Journal of Social Psykology (2000),3 223-240. 59

Jacob Daan. Engel, Konseling Pastoral Dan Isu-Isu Kontemporer,68-69.

35

Dengan berbagai keterbatasan dan hambatan dalam pengembangan

praktek pendampingan dan konseling pastoral, maka ada beberapa

pendekatan yang bisa dijadikan kekuatan dalam pendampingan dan

psikologi, yaitu psikodinamik, behavioristik, eksistensi dan humanistik,

yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya asli masyarakat

(indegineous value), yang berkembang dalam praktek pastoral di

masyarakat tetapi dalam praktek pendampingan dan konseling budaya

tidak semua pendekatan ini dipraktekkan secara efektif, terutama dalam

setting budaya yang tidak sama dengan budaya barat.60

Untuk tindakan

pastoral dalam suatu kedukaan, maka bisa dilakukan melalui dua

pendekatan, yakni pendetakan psikodinamik yang bertujuan

mengembangkan kemampuan dan adanya upaya untuk memahami diri

sendiri, dan pendekatan behavioris yang bertujuan menggembangkan

perilaku baru, yakni perilaku yang merugikan.

Peran budaya membantu dalam proses untuk mendefnisikan tujuan

dengan memakai pengalaman hidup dan nilai budaya konseli, baik

individu maupun kelompok. Dalam hal ini, budaya dipakai sebagai sebuah

strategi yang berperan untuk penyembuhan dan menyeimbangkan nilai

individu dan kelompok dalam sistem budaya yang ada. Sebab, individu

dalam masyarakat memiliki identitas yang bersumber dari satu kultur atau

beberapa kultur. Dampaknya adalah kultur seseorang atau sekelompok

orang terlihat dalam relasi, masalah emosi dan perilaku serta pemahaman

tentang hidup. Kultur tersebut ditemukan dalam simbol yang diwariskan

secara turun temurun untuk berkomunikasi, bertahan hidup dan

menggembangkan pengetahuan tentang hidup. Aspek penting yang terkait

didalamnya adalah realitas, memahami diri, konstruksi moral, konsep

waktu, nilai penting dari sebuah tempat.61

60M.Jumarin, Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),23.

61John McLeod, Pengantar Konseling; Teori Dan Study Kasus, (Kencana: 2010),273-290.

36

Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa dalam budaya ada

nilai-nilai kehidupan yang diberlakukan untuk individu maupun kelompok,

bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Nilai-nilai dalam budaya

diwariskan dari generasi ke generasi untuk menghidupkan manusia

sehingga manusia menemukan makna dan nilai didalamnya. Apa yang

tertuang dalam perilaku-perilaku di masyarakat menjadi dasar bagi ilmu

psikologi untuk memahami keberadaan seseorang, sehingga pengetahuan

psikologi dalam konteks budaya menjadi dasar untuk membantu konselor

melakukan pendampingan dan konseling pastoral.

C. SOLIDARITAS SOSIAL

Selain sebagai mahkluk personal, manusia juga adalah mahkluk sosial.

Ia ada dan berkembang bersama dengan individu yang lain, dalam arti ini

kehadian orang lain merupakan hal yang mutlak. Hidup manusia adalah ada

bersama. Pembentukan diri dan realisasi diri pribadi hanya bisa terpenuhi

berkat kehadiran pribadi-pribadi yang lain.62

1. Manusia sebagai Mahkluk ber-Solidaritas Sosial

Solidaritas, dapat diartikan sebagai sifat (perasaan) solider, sifat satu

rasa (senasib), perasaan setia kawan antar sesama anggota masyarakat, atau

dengan kata lain, solidaritas adalah kekompakan hidup yang didasarkan pada

rasa setia kawan.63

Solidaritas dimaksud, muncul dari kenyataan hidup

masyarakat, yang memiliki suatu ikatan hidup bersama. Ikatan utama adalah

kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral. Singkatnya, solidaritas

menunjuk pada suatu keadaan hubungan antar individu dan atau kelompok

yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama

dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.64

62

Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humanisme (Yogyakarta:

Kanisius,2009),101.

63Peter Salim, The Commentary English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Sixth

Edtions,1991),325.

64

Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik Dan Modern Jilid I (Jakarta:PT Gramedia,

1986),181.

37

Menurut Robert H.Laver, solidaritas kelompok dimaksud, dapat

dimunculkan dari ikatan kekeluargaan dan agama.65

Ikatan kekeluargaan

dapat menciptakan solidaritas, karena dengan ikatan kekeluargaan manusia

memiliki dorongan alamiah untuk melindungi kerabat dari serangan atau

penindasan dari pihak lain. Dengan kata lain, solidaritas muncul dari

kelompok masyarakat, karena ada ikatan-ikatan kekeluargaan diantara

mereka. Melalui solidaritas, mereka menampakkan kesatuan dan

kekompakan sebagai suatu komunitas. Selain ikatan kekeluargaan, agama

juga dapat menciptakan solidaritas bagi para pemeluknya. Agama

menetralisir semangat persaingan dan perasaan iri antarsesama anggota

kelompok. Agama menekankan kesatuan hidup dan menyediakan tujuan

bersama.

Emile Durkheim, menggemukakan dua bentuk solidaritas dalam

masyarakat, yakni solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik

didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama, yang menunjuk pada

“totalitas kepercayaan dan setimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada

masyarakat yang sama itu.66

Jadi, solidaritas mekanik tergantung pada

individu-individu yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan

dan pola normatif yang sama pula. Dengan kata lain, solidaritas mekanik

hanya dapat terjadi pada suatu tingkat homogenitas. Menurut Durkheim, pada

solidaritas mekanik, individualistik tidak berkembang, sebab dilumpuhkan

oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Artinya, kesadaran kolektif

membungkus kesadaran individu dalam segala hal, dimana kesadaran

individu serupa dengan kesadaran kolektif. Bila individu melanggar

kesadaran kolektif, karena merusak dasar keteraturan sosial, harus diberikan

hukuman. Hukuman yang diberikan bersifat menekan (repressive), yang

mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif atas pelanggaran moral.67

Sedangkan solidaritas organik, didasarkan pada tingkat saling ketergantungan

65

Robert H.Laver, Prespektif Tentang Perubahan Sosial (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003),45

66Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik,183.

67Doyle, Teori Sosioligi Klasik,... Ibid,183, lihat pula, Durkheim dalam Peter Beiltharz, Teori-

Teori Sosial (Yogyakarta: Pustaka, Pelajar Offset,2003),106.

38

yang tinggi. Saling ketergantungan muncul karena bertambahnya spesialisasi

dalam pembagian kerja yang bersifat otonom.68

Untuk mempertahankan

saling ketergantungan dimaksud, diperlukan hukum yang bersifat

memulihkan (restituve). Bila tidak, saling ketergantungan akan dirusakkan

oleh koordinasi yang tidak memadai antara orang-orang yang memiliki

spesialisasi, yang kegiatan-kegiatannya tidak dapat dihubung menjadi satu.

Sementara itu, ancaman terbesar bagi solidaritas mekanik adalah

heterogenitas dan individualitas, sebab dengan heterogenitas yang tinggi,

ikatan bersama yang mempersatukan pelbagai anggota masyarakat menjadi

kendor.

Manusia menjadi mahkluk sosial setelah berinteraksi dengan individu

lain yang berada disekitarnya, atau dengan perkataan lain, setelah mengalami

proses sosialisasi barulah manusia tadi dapat berkembang menjadi mahkluk

sosial.69

Proses sosialisasi oleh manusia sebagai mahkluk sosial sepanjang

kehidupannya sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Karena interaksi

merupakan kunci berlangsungnya proses sosialisasi, maka diperlukan agen

sosialisasi, yakni orang-orang disekitar manusia tersebut yang

mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Agen sosialisasi ini merupakan significant others

(orang yang paling dekat) dengan manusia tersebut, seperti orang tua, kakak-

adik, saudara, teman, dan sebagainya.70

2. Kematian dalam Konsep Solidaritas Sosial

Dengan menjadikan manusia yang lain sebagai agen sosialisasi,

menyatakan bahwa antar manusia memiliki sikap saling ketergantungan satu

dengan lain dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kematian. Setiap

peristiwa kematian yang terjadi dalam suatu lingkungan masyarakat baik di

desa maupun kota, turut menyita perhatian semua warganya tanpa kecuali.

68

Doyle, Teori Sosioligi Klasik,183-184,190. 69

R.Diniarti F.Soe‟Oed, Proses Sosialisasi dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga,

(ed).T.O.Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999),31.

70

F.Soe‟Oed, Proses Sosialisasi,32.

39

Kematian tak lain merupakan suatu usaha dari mereka yang masih hidup

untuk melanggengkan hubungan relasi sosial yang terputus.71

Relasi sosial

yang bersifat intim, pribadi dan relatif dalam lingkungan yang terbatas inilah

yang membuat kolektifitas dan solidaritas didalamnya tumbuh semakin kuat.

Kemauan tersebut berakar dari perasaan yang menjadi kuat oleh kebiasaan

dan menjadi sempurna dalam kepercayaan mereka. Bagi Durkheim

kepercayaan dan nilai memberikan arti dan tujuan hidup sedangkan norma

membimbing dan mengatur perilaku manusia, sebab jika tidak adanya norma

maka individu akan terkantung-kantung, putus dari ikatan sosial

ditempatnya.72

Secara sosial, kematian memiliki efikasi untuk mengevaluasi perilaku

seseorang di tengah komunitasnya. Bersama dengan kematian, hubungan

sosial yang dibangun individu dan keluarga diperlihatkan keluarga kembali

melalui bantuan yang diberikan secara kolektif dalam bentuk solidaritas

kematian kepada keluarga yang sementara berduka.

3. Kehilangan Dan Kedukaan

Jakoby mengatakan bahwa kehilangan dan kedukaan adalah emosi

sosial,73

artinya di dalam kehilangan dan kedukaan itu ada ikatan sosial yang

melekat dengan almarhum. Selama ada hubungan yang intim/ baik atas dasar

persahabatan, cinta maka kehilangan dan kedukaan akan ada saat seseorang

meninggal, berpisah dan lain-lain. Kehilangan merupakan bagian integral dari

suatu kehidupan tetapi bukan sesuatu yang dinginkan. Dari sudut padang

sosial, kedukaan dilihat sebagai emosi sosial dan proses interpersonal karena

muncul dari suatu hubungan sosial yang intim. Perasaan dan ekspresi

kedukaan bervariasi sesuai kondisi sosial dan budaya.74

71

Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio:Theoretical Perspektives,” Death Sudies Journal,36

(2012),679-711. 72

Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik,191 73

Emosi diartikan sebagai keadaan fisiologi (seperti kegembiraan, kesedihan, kecintaan,

keberanian) dan ekspresi melalui wajah, suara, perasaan subjektif.

74Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio, :Theoretical Perspektives,”679-711

40

Secara teoritik, sosial melihat kedukaan sebagai emosi, yang lebih

lanjut dijelaskan bahwa, pertama, kedukaan adalah situasi karena kehilangan

sesuatu atau seseorang yang penting. Artinya, kehilangan merunjuk pada apa

yang dirasakan, sedangkan kedukaan pada apa yang dilakukan. Kedua, sosial

membedakan antara kedukaan dan penyakit. Kedukaan bukan penyakit,

karena umumya kedukaan dipahami sebagai sesuatu yang normal dan

masyarakat tidak bisa membedakan kedukaan secara fisik atau mental

sehingga mereka mengatakan bahwa kehilangan nafsu makan, mood sebagai

gangguan depresi. Ketiga, kedukaan didefenisikan sebagai bentuk emosi yang

negatif atau „emosional sindrom”75

Di zaman modern ini, masyarakat dicirikan dengan keragaman

individu, sosial dan budaya. Selain itu, pengaruh perpindahan demografi,

sosial dan geografis, sekularisasi membentuk pengalaman dan kompleksitas

kedukaan masyarakat. Sehingga, kedukaan dalam model sosial berfokus pada

kehadiran terus-menerus, bercakap-cakap untuk mengembalikan sebuah

makna akan hidup. Kedukaan bukan hanya proses batin, mental, karena emosi

dibentuk kembali melalui interpersonal, kekerabatan, interaksi sosial dengan

orang lain.

Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa kehilangan dan

kedukaan dalam pendekatan sosial adalah emosi. Putusnya hubungan sosial

antara orang yang berduka dengan orang yang meninggal. Hal ini

menyebabkan apa yang dirasakan (kehilangan) dan apa yang akan dilakukan

(kedukaan). Secara sosial, kedukaan bukan penyakit dan kalau sudah terjadi

depresi, maka ini adalah emosi negatif.

D. RANGKUMAN

Berdasarkan sejumlah pikiran para ahli di bab dua ini, maka tampak

beberapa hal yang menarik, yaitu sebagai berikut:

75

Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio,761

41

1. Kematian itu universal, artinya, kematian adalah sebuah kenyataan yang tidak

bisa dihindari oleh manusia. Terhadap kematian, semua kebudayaan pada

masing-masing daerah selalu menggambarkan konsep kematian dan ritus-ritus

yang berkaitan dengan kematian. Reaksi dari kehilangan adalah kedukaan

(grief) bagi orang yang merasa ditinggalkan. Itu berarti bahwa, setiap manusia

pernah mengalami kehilangan dan secara langsung juga pernah mengalami

kedukaan. Kedukaan adalah pengalaman hidup yang universal, yang pernah,

sedang atau akan dialami setiap orang pada saat-saat tertentu. Kedukaan adalah

proses yang memiliki tahapan emosional yang dapat dikenali dan muncul

sebagai akibat peristiwa kehilangan. Walaupun demikian, banyak orang yang

tidak mengenali dinamika pengalaman ini oleh karena memiliki mekanisme

pertahanan diri (defence mechanism) yang ada pada setiap orang yaitu

menghindarkan dirinya dari perasaan-perasaan negatif.

Banyak ahli yang melakukan penelitian terhadap reaksi-reaksi kehilangan

yakni kedukaan, menyatakan bahwa kedukaan menimbulkan banyak gejala,

seperti Sigmud Freud, dalam karya awalnya “Mourning and Melancholia”

menyatakan bahwa depresi atau “melancholia” sebagai kedukaan patogenik.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Jackson, yang melihat ada tiga

perasaan yang muncul dalam kedukaan, yaitu: shock, cemas dan depresi.

Kedukaan lebih dari sekedar gejala penyakit. Wright, juga mengungkapkan

bahwa kedukaan adalah suatu penderitaan emosi yang luar biasa.

Hal ini ditantang oleh banyak pemikir ilmu kedukaan lainnya, seperti,

Coval MacDonald, Clinebell, Wiryasaputra bahwa tidak semua orang

mengalami proses kedukaan akan depresi. Sebab, depresi sangat terkait oleh

peristiwa masa lalu sedangkan kedukaan adalah persoalan masa kini

(situasional) dan masa depan. Coval Macdonald, melihat kedukaan dari

prespektif baru, yaitu kedukaan bukan penyakit, tetapi kedukaan adalah bagian

hidup yang tidak tampak, terluka tetapi tidak sakit. Clinebell, melihat kedukaan

ada pada segala perubahan, kehilangan dan transisi kehidupan manusia.

Ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi kedukaan seseorang. Hal

ini yang melatarbelakangi sehingga kedukaan masing masing orang berbeda

42

satu dengan yang lainnya. Tercatat ada empat faktor penting, yakni, pertama

kedekatan antara penduka dengan almarhum, merupakan faktor utama dan

yang memberikan dampak kuat dalam kedukaan seseorang. Hal ini sangat

terkait dengan seberapa urgennya almarhum dalam kehidupan orang yang

berduka. Jika, almarhum tidak memainkan peran yang penting dalam hidup

orang yang berduka, maka rasa duka tidak begitu dalam, sebaliknya jika peran

almarhum sangat signifikan, maka respon kedukaan menjadi lebih mendalam

dan kompleks. Kedua, cara dan penyebab kematian seseorang, yakni

bagaimana almarhum mengalami kematian. Berbeda seorang anak yang

mengalami kehilangan ayahnya yang berusia 90 tahun karena sakit dengan

seorang anak yang kehilangan ayahnya yang berusia 35 tahun kerena

kecelakaan. Kedukaan seorang istri akibat kehilangan suaminya di usia 41

karena kecelakaan pesawat berbeda dengan kehilangan suaminya akibat sakit

strok bertahun-tahun. Artinya kematian tiba-tiba, dan bukan karena sakit

menyebabkan semakin dalamnya/rumitnya proses kedukaan. Dinamika

kedukaan sangat tergantung pada kematian yang tiba-tiba/tidak terantisipasi

dan kedukaan yang terantisipasi. Ketiga, coping orang yang berduka. Artinya,

sampai seberapa besar kemampuan orang yang berduka untuk mengatasi rasa

kehilangan akibat kematian orang yang dikasihi. Jika coping orang yang

berduka baik, maka ia mampu melewati krisis kedukaannya tetapi sebaliknya

jika copingnya lemah, maka krisis kedukaan akan lama berakhir dan patogenik

(penyakit). Keempat, Sosial-Budaya orang yang berduka. Ini terkait dengan

lingkungan sosial dimana orang yang berduka berada. Jika lingkungan

sosialnya mengerti seluk beluk kedukaan dan menyediakan saranan pendukung

kesembuhan, maka kedukaan dapat diselesaikan dengan baik.

2. Kedukaan itu unik. Sebab, kedukaan menimbulkan banyak gejala.

Wiryasaputra mencatat ada tujuh gejala yang sering nampak pada orang yang

berduka seperti: air mata dan kepedihan hati, stres, penolakan, marah, depresi,

muram, tertekan batin, putus asa, rasa bersalah, menyesal, dan menerima

kenyataan. Gejala-gejala ini berbeda pada masing-masing orang yang berduka.

Artinya, tidak ada kesamaan antara kedukaan seseorang dengan orang lain.

43

Oleh sebab itu, lebih lanjut dikatakan bahwa dinamika berduka orang di

Indonesia tidak selamanya berjalan secara mekanis dan sistematis seperti yang

dipaparkan oleh para ahli-ahli kedukaan. Dalam klien yang satu dengan klien

yang lain dinamika berduka berbeda sehingga dalam mengatasi dinamika

berduka membutuhkan kepekaan batin orang-orang yang mempunyai

hubungan dekat dengan orang yang berduka, termasuk dalam hal ini yang

memberi pertolongan atau pendamping pastoral.

3. Ada tugas bersama dalam kedukaan. Alan D.Wolfelt menyatakan enam tugas

bersama dalam kedukaan, yaitu: pertama, harus ada pengakuan terhadap

realitas kematian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara

pemakaman. Kedua, merangkul kesedihan artinya mengungkapkan kesedihan

dengan cara yang sehat sebagai cara mengungkapkan pikiran yang

menyakitkan. Ketiga, mengingat orang yang meninggal. Untuk menyembuhkan

kesedihan dalam kedukaan, kita perlu menggeser hubungan dengan orang yang

meninggal dari kebersamaan fisik menjadi kenangan. Semakin kita mampu

bercerita kisah kematian sebagai sebuah kenangan maka semakin besar

kemungkinan kita dapat mendamaikan kesedihan. Keempat, mengembangkan

identitas yang baru bahwa orang yang berduka telah berstatus janda, duda,

anak yatim/piatu sehingga mereka dan orang lain pun tahu peran tersebut.

Kelima, mencari makna dengan mempertanyakan apa yang akan teralami di

balik peristiwa ini sehingga membuat orang yang berduka pun menyadari

bahwa “bagaimana” ia akan hidup ke depan tanpa almarhum dan keenam,

harus terbuka menerima dukungan orang lain. Sebab, kehadiran banyak orang

adalah aspek yang sangat penting dari sebuah penyembuhan kedukaan.

Lebih lanjut, Clinbel menambahkan bahwa pada saat terjadi kehilangan,

kebutuhan untuk dihibur sangat kuat. Tindakan gereja dalam ibadah

penghiburan dapat memberi hiburan yang menenangkan batin bagi orang yang

mengalami kehilangan. Dengan kehadiran fisik maupun pemberian makanan,

menyatakan berlangsungnya terus kehidupan meskipun terjadi kematian.

4. Pastoral selalu dikatakan sebagai sebuah pekerjaan dari Pelayan gereja

(Pendeta/Penatua/Diaken), karena berasal dari kata “pastor”. Padahal, istilah

44

“pastor” dalam konotasi prakteknya berarti merawat dan memelihara, yang

kemudian dihubungkan dengan diri Yesus sebagai “Pastor Sejati” atau

“Gembala Yang Baik” (Yoh.10). Dengan demikian, pekerjaan pastoral bukan

hanya pekerjaan yang dimonopoli oleh pastor/pendeta saja, tetapi juga setiap

orang yang menjadi pengikutNya.

Dalam pastoral ada dua pendekatan, yaitu pendampingan pastoral dan

konseling pastoral. Secara fungsi, yaitu menyembuhkan, mendukung,

membimbing, rekonsiliasi, memeilihara dan mengutuhkan, kedua pendekatan

ini sama tetapi secara teknis pelaksanaan keduanya berbeda. Pendampingan

adalah suatu upaya menolong orang lain dalam relasi yang sejajar antara

pendamping dan didampingi sehingga keduanya memiliki kesempatan untuk

bertumbuh bersama. Pendampingan adalah proses perjumpaan yang

melahirkan kepedulian dan empatik. Pendampingan adalah proses yang long

time (sepanjang waktu) dan bisa dilakukan oleh siapapun. Sedangkan,

konseling pastoral ada pada tataran pendampingan yang harus menyelesaikan

masalah klien secara maksimal dan sesuai kemampuan konselor. Perbedaan

keduanya terletak pada pelaksanaan dimana konseling pastoral dilakukan

ketika seseorang (klien) sementara ada dalam masalah dan membutuhkan

pertolongan sedangkan pendampingan pastoral dilakukan seumur hidup, di

ruang dan diwaktu manapun. Pendampingan menjadi dasar bagi pemahaman

kita tentang konseling atau pendampingan merupakan landasan yang kuat bagi

konseling. Itu berarti bahwa pendampingan dapat kita lakukan tanpa konseling,

tetapi sebaliknya kita tidak bisa melakukan konseling tanpa pendampingan.

Keduanya adalah tindakan penggembalaan, pendampingan dan konseling yang

bersifat integratif, yakni dalam kaitan prespektif menyeluruh yang meliputi

aspek fisik, mental, spiritual dan sosial.

Pendampingan dan konseling dalam budaya harus membahas budaya

dalam konteks psikologi karena dasar pendampingan berakar pada psikologi.

Dalam hal ini, psikologi memiliki tiga tujuan, yaitu budaya sebagai konsep

abstrak, budaya sebagai konseptual kelompok, dan budaya diinternalisasi oleh

anggota kelompok. Berdasarkan pada tiga ciri khas budaya di atas, budaya

45

dapat didefenisikan sebagai tingkah laku individu dan masyarakat terikat oleh

kebudayaan yang dalam perspektif psikologi pendampingan wujudnya terlihat

dalam berbagai aturan atau norma yang khusus, dimana aturan dan norma

tersebut menjadi kontrol bagi masyarakat. Sehingga kebudayaan adalah proses

yang dipelajari dan berkembang serta nilai-nilai yang ada diambil sekelompok

masyarakat. Nilai atau aturan tersebut menjadi sebuah sistem nilai yang diatur.

Nilai-nilai ini menjadi tolak ukur individu dalam keterikatannya dengan

masyarakat dengan keunikan yang dimiliki sebagai identitas kelompok. Nilai-

nilai dalam budaya diwariskan dari generasi ke generasi untuk menghidupkan

manusia sehingga manusia menemukan makna dan nilai di dalamnya. Apa

yang tertuang dalam perilaku-perilaku di masyarakat menjadi dasar bagi ilmu

psikologi untuk memahami keberadaan seseorang, sehingga pengetahuan

psikologi dalam konteks budaya menjadi dasar untuk membantu konselor

melakukan pendampingan dan konseling pastoral.

5. Manusia adalah mahkluk sosial. Ia ada dan berkembang bersama dengan

individu yang lain. Manusia juga disebut mahkluk ber-solidaritas karena terkait

dengan sifat solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan antara

sesama anggota masyarakat. Robert H. Laver, mengatakan bahwa solidaritas

kelompok bisa muncul dari ikatan kekeluargaan karena keluarga bisa

membentuk kelompok masyarakat lewat ikatan-ikatan kekeluargaan di antara

mereka. Emile Durkheim, menggemukakan dua bentuk solidaritas, yakni

solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu

“kesadaran kolektif” dan yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan dan

setimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama atau

solidaritas mekanik sangat terkait dengan individu-individu yang memiliki sifat

yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula.

Sedangkan, solidaritas organik didasari pada tingkat saling ketergantungan

yang tinggi akibat adanya spesialisasi dalam pembagian kerja. Untuk

mempertahankankan saling ketergantungan, dibutuhkan hukum yang bersifat

memulihkan.

46

6. Proses sosialisasi oleh manusia sebagai mahkluk sosial berlangsung sepanjang

kehidupannya lewat interaksi dengan orang-orang disekitarnya yang

mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Agen sosialisasi ini

merupakan significant others (orang yang paling dekat). Dengan menjadikan

manusia sebagai agen sosialisasi menyatakan bahwa antar manusia memiliki

sikap ketergantungan satu dengan yang lain dalam berbagai hal, termasuk

kematian. Kematian dalam proses interaksi adalah suatu usaha dari mereka

yang masih hidup untuk melanggengkan hubungan relasi sosial yang terputus.

7. Kehilangan dan kedukaan dalam sosial adalah emosi. Dari sudut pandang

sosial, kedukaan dilihat sebagai emosi sosial dan proses inetrpersonal karena

muncul dari suatu hubungan sosial yang intim. Secara teoritik, dapat

dijelaskan, pertama, kedukaan adalah situasi karena kehilangan sesuatu atau

seseorang yang penting. Artinya, kehilangan merunjuk pada apa yang

dirasakan, sedangkan kedukaan pada apa yang dilakukan. Kedua, sosial

membedakan antara kedukaan dan penyakit. Kedukaan bukan penyakit, karena

umumya kedukaan dipahami sebagai sesuatu yang normal dan masyarakat

tidak bisa membedakan kedukaan secara fisik atau mental sehingga mereka

mengatakan bahwa kehilangan nafsu makan, mood sebagai gangguan depresi.

Ketiga, kedukaan didefenisikan sebagai bentuk emosi yang negatif atau

„emosional sindrom