BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Polisi Lalu Lintas ...eprints.uny.ac.id/18311/4/BAB II...
-
Upload
truongphuc -
Category
Documents
-
view
221 -
download
2
Transcript of BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Polisi Lalu Lintas ...eprints.uny.ac.id/18311/4/BAB II...
15
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan tentang Polisi Lalu Lintas
1. Pengertian Polisi
Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara
keamanan, memberikan perlindungan, dan menciptakan ketertiban
masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, polisi diartikan: 1)
sebagai badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang
dsb.), dan 2) anggota dari badan pemerintahan (pegawai negara yang
bertugas menjaga keamanan, dsb.).
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau disebut dengan Undang-Undang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 1 Ayat (1)
disebutkan bahwa, “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan
dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.” Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia disebutkan bahwa:
1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri.
2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional
yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
16
Sadjijono mengemukakan bahwa polisi adalah organ atau
lembaga pemerintah yang ada dalam negara (Sadjijono, 2008: 53). Istilah
kepolisian sebagai organ dan juga sebagai fungsi. Polisi sebagai organ,
yakni suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam
ketatanegaraan yang oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang dan
tanggung jawab untuk menyelenggarakan kepolisian. Sebagai fungsi
menunjuk pada tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang
yakni fungsi preventif dan fungsi represif.
Polisi lalu lintas merupakan unsur pelaksana yang bertugas
menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan,
pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas,
registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor,
penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang
lalu lintas guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu
lintas (repository.usu.ac.id,2013).
Pembagian wilayah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada
dasarnya didasarkan dan disesuaikan atas wilayah administrasi
pemerintahan sipil. Komando pusat berada di Markas Besar Polri
(Mabes) di Jakarta. Pada umumnya struktur komando Polri dari pusat ke
daerah adalah:
a. Pusat
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri)
b. Wilayah Provinsi
Kepolisian Daerah (Polda)
c. Wilayah Kabupaten dan Kota
1) Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes)
17
2) Kepolisian Resor Kota (Polresta)
3) Kepolisian Resor Kabupaten (Polres)
d. Tingkat kecamatan
1) Kepolisian Sektor Kota (Polsekta)
2) Kepolisian Sektor (Polsek)
Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada
Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor Pasal 1 angka (5)
disebutkan bahwa, Kepolisian Resort yang selanjutnya disingkan Polres
adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota
yang berada di bawah Kapolda. Sedangkan dalam Pasal 1 angka (20)
disebutkan bahwa, Satuan Lalu Lintas yang selanjutnya disingkat
Satlantas adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi lalu lintas pada
tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres.
Sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian kedudukan polres
berada di ibukota kabupaten/kota di daerah hukum masing-masing.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian
disebutkan bahwa, Polres terdiri dari:
a. Tipe Metropolitan;
18
b. Tipe Polrestabes;
c. Tipe Polresta; dan
d. Tipe Polres.
Tugas polres adalah menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dan melaksanakan tugas-tugas Polri lainnya dalam daerah
hukum Polres, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Polres
menyelenggarakan fungsi:
a. pemberian pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dalam
bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan,
pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengamanan
kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, dan pelayanan
surat izin/keterangan, serta pelayanan pengaduan atas tindakan
anggota Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. pelaksanaan fungsi intelijen dalam bidang keamanan guna
terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan
dini (early warning);
c. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, fungsi identifikasi
dan fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka
penegakan hukum, serta pembinaan, koordinasi, dan pengawasan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);
d. pembinaan masyarakat, yang meliputi pemberdayaan masyarakat
melalui perpolisian masyarakat, pembinaan dan pengembangan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan
kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan, terjalinnya hubungan
19
antara Polri dengan masyarakat, koordinasi dan pengawasan
kepolisian khusus;
e. pelaksanaan fungsi Sabhara, meliputi kegiatan pengaturan,
penjagaan pengawalan, patroli (Turjawali) serta pengamanan
kegiatan masyarakat dan pemerintah, termasuk penindakan
tindak pidana ringan (Tipiring), pengamanan unjuk rasa dan
pengendalian massa, serta pengamanan objek vital, pariwisata
dan Very Important Person (VIP);
f. pelaksanaan fungsi lalu lintas, meliputi kegiatan Turjawali lalu
lintas, termasuk penindakan pelanggaran dan penyidikan
kecelakaan lalu lintas serta registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor dalam rangka penegakan hukum dan pembinaan
keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas;
g. pelaksanaan fungsi kepolisian perairan, meliputi kegiatan patroli
perairan, penanganan pertama terhadap tindak pidana perairan,
pencarian dan penyelamatan kecelakaan di wilayah perairan,
pembinaan masyarakat perairan dalam rangka pencegahan
kejahatan, dan pemeliharaan keamanan di wilayah perairan; dan
h. pelaksanaan fungsi-fungsi lain, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Polres memiliki beberapa unsur pelaksana tugas pokok yang
berada di bawah Kapolres. Salah satu unsur pelaksana tugas pokok
adalah Satlantas.
2. Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas
Satlantas bertugas melaksanakan Turjawali lalu lintas, pendidikan
masyarakat lalu lintas (Dikmaslantas), pelayanan registrasi dan
identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penyidikan kecelakaan
lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu lintas. Satlantas sesuai
dengan Pasal 59 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Polres
menyelenggarakan fungsi, yaitu:
20
a. pembinaan lalu lintas kepolisian;
b. pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas
sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu
lintas;
c. pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka
penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban,
kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas);
d. pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor serta pengemudi;
e. pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta
penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan
hukum, serta menjamin Kamseltibcarlantas di jalan raya;
f. pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan; dan
g. perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan.
Berdasarkan Pasal 62 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Polres
Satlantas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh:
a. Urusan Pembinaan Operasional (Urbinopsnal), yang bertugas
melaksanakan pembinaan lalu lintas, melakukan kerja sama lintas
sektoral, pengkajian masalah di bidang lalu lintas, pelaksanaan
operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan
hukum dan Kamseltibcarlantas, perawatan dan pemeliharaan
peralatan dan kendaraan;
b. Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Urmintu), yang bertugas
menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan;
c. Unit Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan dan Patroli
(Unitturjawali), yang bertugas melaksanakan kegiatan Turjawali
dan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dalam rangka
penegakan hukum;
d. Unit Pendidikan Masyarakat dan Rekayasa (Unitdikyasa), yang
bertugas melakukan pembinaan partisipasi masyarakat dan
Dikmaslantas;
21
e. Unit Registrasi dan Identifikasi (Unitregident), yang bertugas
melayani administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor serta pengemudi; dan
f. Unit Kecelakaan (Unitlaka), yang bertugas menangani kecelakaan
lalu lintas dalam rangka penegakan hukum.
Polantas merupakan bagian dari Polri yang dibutuhkan oleh
masyarakat untuk mencapai ketentraman terutama yang menyangkut lalu
lintas. Pelayanan kepada masyarakat dalam bidang lalu lintas akan
berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat karena dalam kehidupan
masyarakat yang modern seperti saat ini lalu lintas merupakan faktor
utama pendukung produktivitas. Banyaknya masalah atau gangguan
dalam lalu lintas seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan, maupun
tindak pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor merupakan
permasalahan yang mengganggu masyarakat. Terkait dengan pelayanan
tersebut, adapun visi dan misi dari polisi lalu lintas yaitu:
a. Visi Polisi Lalu Lintas
Menjamin tegaknya hukum di jalan yang bercirikan perlindungan,
pengayoman, pelayanan masyarakat yang demokratis sehingga
terwujudnya keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu
lintas (Dit Lantas Polda D.I. Yogyakarta, 2012).
b. Misi Polisi Lalu Lintas
Mewujudkan masyarakat pemakai jalan memahami dan yakin
kepada Polantas sebagai pelindung, pengayoman dan pelayanan
masyarakat bidang lalu lintas, penegakan hukum lalu lintas,
pengkajian masalah lalu lintas, registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor dan pengemudi (Dit Lantas Polda D.I. Yogyakarta, 2012).
Unit Lalu Lintas (Unitlantas) merupakan unsur pelaksana tugas
pokok yang bertugas melaksanakan Turjawali bidang lalu lintas,
22
penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu
lintas pada tingkat Kepolisian Sektor. Unitlantas dipimpin oleh
Kanitlantas merupakan unsur pelaksana tugas pokok di bawah Kapolsek
yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan sehari-
hari berada di bawah kendali Wakapolsek (Wakil Kepala Kepolisian
Sektor). Sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 23
Tahun 2010 Pasal 120 ayat (3), dalam melaksanakan tugasnya Unitlantas
menyelenggarakan fungsi:
a. pembinaan partisipasi masyarakat di bidang lalu lintas melalui
kerja sama lintas sektoral dan Dikmaslantas;
b. pelaksanaan Turjawali lalu lintas dalam rangka Kamseltibcarlantas;
dan
c. pelaksanaan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan
lalu lintas dalam rangka penegakan hukum.
B. Tinjauan tentang Siswa
Siswa adalah murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan
menengah) (KBBI, 2005: 1077). Siswa/Siswi merupakan istilah bagi peserta
didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu
(Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Angka (4)).
Sekolah menengah pertama (SMP) adalah jenjang pendidikan dasar
pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar. Sekolah
menengah pertama ini ditempuh dalam waktu 3 tahun seperti pada tingkat
sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan. Saat ini SMP tidak
23
lagi menggunakan istilah kelas 1, 2 , dan 3 tetapi kelas 7, 8, dan 9. Bagi siswa
kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional yang mempengaruhi kelulusan
siswa. Bagi siswa yang mampu lulus ujian nasional sekolah menengah
pertama dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas atau
sekolah menengah kejuruan, sedangkan bagi siswa yang belum lulus ujian
dapat mengulang ujian nasional tahun berikutnya atau mengikuti program
paket.
Pada umumnya usia siswa sekolah menengah pertama berusia 13-15
tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar 6 tahun dan sekolah
menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun. Pemerintah juga mengupayakan
agar pendidikan dasar minimal 9 tahun ini dapat terselenggara dengan gratis
secara menyeluruh. Dengan demikian akan mendorong tercapainya salah satu
tujuan nasional Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sekolah menengah pertama diselenggarakan oleh pemerintah maupun
swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan
sekolah menengah pertama negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di
bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan Departemen Pendidikan
Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional
pendidikan. Secara struktural, sekolah menengah pertama negeri merupakan
unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
24
Sekolah menengah Atas (disingkat SMA;bahasa Inggris; Senior High
School), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal setelah
lulus Sekolah Menengah Pertama (sederajat) (Wikipedia Bahasa Indonesia,
2014). Sekolah ini ditempuh dalam waktu tiga tahun, mulai dari kelas 10
sampai kelas 12.
Pelajar SMA umumnya berusia 16-18 tahun. SMA tidak termasuk
program wajib belajar pemerintah, sebab pemerintah hanya mewajibkan
pendidikan dasar yaitu SD dan SMP. Meskipun sejak tahun 2005 telah mulai
diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikutsertakan SMA di
beberapa daerah, contohnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
SMA diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak
diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan SMA negeri
di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan
Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah Kabupaten/kota.
Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai
regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural SMA
negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
C. Tinjauan tentang Upaya Menanggulangi Pelanggaran
1. Pengertian Pelanggaran
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia memuat
pembagian atas tindak pidana yaitu buku Kedua mengatur tentang
kejahatan dan buku Ketiga mengatur tentang pelanggaran. Setiap
25
perbuatan yang bertentangan dengan buku Kedua disebut kejahatan dan
perbuatan yang bertentangan dengan buku Ketiga disebut sebagai
pelanggaran. Antara kejahatan dengan pelanggaran tersebut pada
hakekatnya tidak ada perbedaan yang tegas karena keduanya sama-sama
delik atau merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Namun jika dilihat dari hukuman yang diterima orang yang melakukan
kejahatan dan pelanggaran tentu saja berbeda, kejahatan diancam dengan
hukuman yang jauh lebih berat daripada pelanggaran.
Pelanggaran adalah perbuatan (perkara) melanggar, tindak pidana
yang lebih ringan dari kejahatan (KBBI, 2005: 1634). Sedangkan
kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma
yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis (KBBI, 2005: 450).
Pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaan
ditegaskan dalam Memorie van Toelichting. Kejahatan adalah “delik
hukum” yakni peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-
asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari
undang-undang, sedangkan pelanggaran adalah delik “undang-undang”
yakni peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-
undang sebagai hal yang terlarang (G.W. Bawengan, 1973: 3).
Menurut Utrecht yang dikutip oleh G.W. Bawengan menjelaskan
bahwa kejahatan adalah perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan
ketertiban hukum sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh
undang-undang dicap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
26
ketertiban hukum. Sebagai contoh, pembunuhan, pencurian,
pemerkosaan, penganiayaan dan sebagainya, sebelum menjelma ke
dalam KUHP telah lama ada, yaitu tersebut dalam 10 perintah Tuhan
yang diterima oleh Nabi Musa. Perbuatan-perbuatan tersebut selain dicap
sebagai sebuah kejahatan juga menimbulkan reaksi dari masyarakat
terhadap pelakunya. Contoh tersebut hanya sebuah norma agama, namun
keyakinan untuk jangan membunuh atau mencuri bukan saja dimiliki
oleh sebuah agama tertentu, tetapi hidup juga dalam keyakinan setiap
manusia (G.W. Bawengan, 1973: 4).
Sedangkan contoh lain adalah pelanggaran lalu lintas
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009.
Pengemudi yang mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM
ditetapkan undang-undang sebagai sebuah pelanggaran karena melanggar
Pasal 77 Ayat (1), padahal reaksi orang lain tidak selalu negatif terhadap
orang yang tidak memiliki SIM. Namun, karena kepemilikan SIM
dianggap sebagai bukti registrasi dan identifikasi seseorang yang telah
memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani dan rohani,
memahami peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan
bermotor sehingga seseorang yang memiliki SIM dianggap layak
mengemudikan kendaraan bermotor dan tidak membahayakan atau
mengganggu ketertiban masyarakat.
Secara prinsip perbedaan kejahatan dengan pelanggaran yaitu:
27
a. Kejahatan sanksi hukumnya berupa pidana penjara, sedangkan
pelanggaran berupa pidana kurungan.
b. Percobaan dalam melakukan kejahatan akan dikenai hukuman,
sedangkan pada pelanggaran percobaan melakukan pelanggaran tidak
dihukum.
c. Tenggang waktu daluarsa bagi kejahatan lebih lama dari pada
pelanggaran.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran adalah tindak
pidana yang lebih ringan dari kejahatan dan merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang.
2. Upaya Menanggulangi Pelanggaran
Sebelum menguraikan bagaimana menanggulangi suatu
pelanggaran perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai tindak pidana.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana
dilarang dan dipidana bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut (Bambang Poernomo, 1985: 130).
Tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar suatu aturan
hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai
dengan sanksi pidana bagi yang melanggar. Sanksi yang dijatuhkan
misalnya dapat berupa pidana penjara, pidana kurungan, dan denda.
Tindak pidana baik merupakan kejahatan maupun pelanggaran
pada hakekatnya melekat pada kehidupan dinamis masyarakat yang
antara lain menyangkut aspek sosial budaya, ekonomi, ideologi, politik,
28
dan kemampuan atau efektifitas aparat negara serta masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut dalam menanggulangi tindak pidana
hendaknya dilakukan secara menyeluruh dan dinamis mengikuti
kehidupan masyarakat yang kompleks yaitu dengan upaya preventif,
maupun represif.
Menurut G.W. Bawengan di dalam upaya menanggulangi tindak
pidana dapat dilakukan dengan tindakan preventif maupun represif.
Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah agar
tidak terjadi suatu tindak kejahatan maupun pelanggaran, sedangkan
tindakan represif adalah tindakan untuk memberantas adanya tindak
pidana. Melihat dari pengertian kedua tindakan tersebut sulit untuk
dipisah-pisahkan karena keduanya saling berkaitan. Tindakan represif
sendiri memiliki ciri-ciri preventif, maksudnya tindakan represif terhadap
seseorang yang melakukan tindak pidana dengan pemberian sanksi
pidana akan mempengaruhi orang lain untuk tidak melakukan tindak
pidana (G.W. Bawengan, 1977: 197).
Menurut Bambang Poernomo tindakan hukum pencegahan
(preventif) adalah tindakan untuk melancarkan berlakunya hukum pada
waktu sebelum terjadinya perubahan melanggar hukum secara riil.
Penegakan hukum preventif adalah tindakan yang bersifat pencegahan
oleh petugas hukum baik dengan menggunakan sarana hukum maupun
sarana bukan hukum (sosiologis, psikologis, kriminologis, dan lain-lain).
Dengan kata lain tindakan preventif merupakan pencegahan terhadap
29
tindak pidana kejahatan ataupun pelanggaran sehingga orang tersebut
langsung mendapat sentuhan tentang arti pentingnya taat terhadap hukum
bagi kepentingan masyarakat (Bambang Poernomo, 1988: 88).
Bambang Poernomo juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan
tindakan represif. Tindakan represif adalah segala tindakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya pelanggaran
hukum. Tindakan represif adalah tindakan petugas hukum terhadap
perbuatan seseorang sesudah terjadinya pelangaran hukum.
Penanggulangan tindak pidana secara represif dilakukan untuk
menghukum pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Hukuman
tersebut dapat berupa penjara atau denda atau bahkan keduanya
(Bambang Poernomo, 1988: 90).
Di lingkungan Polri istilah penanggulangan diartikan sebagai
suatu usaha, tindakan maupun kegiatan untuk mencegah dan menindak
suatu kejahatan dan pelanggaran. Selain itu untuk memelihara dan
meningkatkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Penanggulangan dapat meliputi 2 usaha yaitu: usaha pencegahan
dan pembinaan, usaha penindakan. Oleh karena itu penanggulangan
dapat dimaksudkan sebagai segala tindakan yang terkait pada segi
preventif maupun represif dalam upaya meniadakan gangguan terhadap
kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) (Nurdjana, 2009: 28).
Tindakan preventif merupakan tindakan pencegahan agar tidak
terjadi pelanggaran norma-norma yang berlaku yaitu dengan
30
mengusahakan agar faktor niat dan kesempatan tidak bertemu sehingga
situasi kamtibmas tetap terkendali. Sedangkan tindakan represif
merupakan tindakan yang dimulai dari penyelidikan, penindakan
(pemanggilan, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan),
pemeriksaan, dan penyerahan perkara penuntut umum untuk dihadapkan
di sidang pengadilan (Nurdjana, 2009: 28-29).
Upaya penanggulangan tindak pidana baik kejahatan maupun
pelanggaran secara preventif dan represif merupakan bagian dari politik
kriminil secara umum. Politik kriminal artinya mengadakan pemilihan
dari sekian banyak alternatif penanggulangan yang efektif dalam
menanggulangi masalah kejahatan dan pelanggaran. Politik kriminal
dalam arti sempit diartikan sebagai keseluruhan asas dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa
pidana. Sedangkan politik kriminal dalam arti yang lebih luas merupakan
keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya
cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam arti yang paling luas
merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-
undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan
norma-norma sentral dalam masyarakat (Sudarto, 1986: 114).
Menurut Barda Nawawi upaya untuk menangulangi tindak pidana
dapat ditempuh dengan dua pendekatan yaitu pendekatan integral antara
kebijakan penal dan non penal serta pendekatan kebijakan dan
pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi pidana.
31
a. Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non-penal
Upaya nyata untuk menanggulangi tindak pidana (politik
kriminil) dapat ditempuh dengan memadukan antara sarana penal
(hukum pidana) dengan sarana non-penal. Kegiatan utama dalam
upaya ini adalah mengintegrasikan dan mengharmoniskan kebijakan
penal dan non-penal tersebut ke arah penekanan atau pengurangan
faktor-faktor yang potensial untuk terjadinya tindak pidana. Dengan
upaya ini diharapkan social defance planning dapat berhasil dan
mewujudkan tercapainya tujuan kebijakan sosial.
Usaha-usaha non-penal penal ini meliputi bidang yang cukup
luas dari seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional.
Usaha-usaha non-penal yang dapat dilakukan misalnya dengan
pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab
masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui
pendidikan moral dan agama; meningkatkan usaha-usaha
kesejahteraan anak dan remaja; serta kegiatan patroli dan
pengawasan lainnya secara berkala oleh polisi dan aparat keamanan
lainnya (Muladi dan Barda Nawawi, 1992: 159).
Adanya sarana non-penal tersebut akan memberikan
pengaruh preventif terhadap adanya tindak pidana (kejahatan dan
pelanggaran) karena mampu memperbaiki kondisi-kondisi sosial
tertentu. Oleh karena itu, apabila dicermati dari segi politik kriminil
seluruh upaya non-penal tersebut memiliki peran yang strategis
32
karena merupakan upaya preventif dalam mencegah terjadinya
tindak pidana sehingga perlu diintensifkan dan diefektifkan.
Kegagalan dalam menggarap posisi strategis itu justru akan
berakibat fatal bagi usaha penanggulangan tindak pidana.
b. Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan
sanksi pidana
Kebijakan kriminil dalam penggunaan sarana penal (hukum
pidana) menyangkut permasalahan perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya dikenakan
bagi si pelanggar. Hal tersebut harus berorientasi pada kebijakan
(policy aoriented approach) (Barda Nawawi, 2010: 36).
Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan itu,
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral
tentang perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana yang
sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang
pada intinya sebagai berikut:
1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil
makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum
pidana bertujuan untuk menaggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak
dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
(material dan atau spiritual) atau warga masyarakat;
3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
“biaya dan hasil” (cost benefit princiole);
33
4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)
(Barda Nawawi, 2010: 36-37).
3. Hambatan Dalam Menanggulangi Pelanggaran
Polisi terus berupaya menanggulangi berbagai bentuk tindak
pidana baik kejahatan maupun pelanggaran termasuk pelanggaran lalu
lintas. Hal tersebut untuk melindungi, menciptakan keamanan dan juga
ketertiban di dalam masyarakat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
terkadang polisi mengalami kendala-kendala sehingga menghambat
proses penanggulangan tindak pidana. Menurut Anton Tabah hambatan
yang dialami oleh polisi antara lain:
a. Belum memadainya mutu profesionalisme kepolisian di tubuh Polri,
terutama apabila dihadapkan pada tugas-tugas dalam penyelidikan dan
penyidikan. Kurangnya profesionalisme ini mengakibatkan polisi
sering ragu-ragu dalam bertindak padahal profesionalisme itu sangat
melekat pada fungsi dan tugas polisi.
b. Lemahnya mutu dan kemampuan managerial Polri. Hal ini berakibat
lemah dalam proses pengambilan keputusan dan lemah dalam
mengantisipasi berbagai kendala yang dihadapi termasuk dalam
menempatkan skala prioritas dan selektifitas.
c. Instrumen hukum yang belum memadai. Maksudnya bahwa KUHP
dan berbagai perundang-undangan banyak yang kurang antisipatif
terhadap perkembangan yang terjadi.
d. Sarana dan prasarana yang sangat minim. Maksudnya bahwa dari
berbagai peralatan vital sampai peralatan pendukung, polisi masih
dihadapkan pada kekurangan yang sangat serius. Termasuk biaya
operasional. Hal ini sangat mempengaruhi kinerja dan profesionalisme
polisi.
e. Sumber daya manusia yang belum memadahi.
f. Kesadaran dan disiplin masyarakat yang masih rendah. Hal ini
mempengaruhi mekanisme penegakan hukum dalam masyarakat
(Banurusman, 1995: 78).
34
D. Tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal
26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni
2009. Undang-undang ini lebih luas cakupannya dari Undang-undang Nomor
14 Tahun 1992 karena merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari
jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang sebelumnya terdiri dari 16 bab dan
74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan bahwa untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila,
transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan
bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada
kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah. Transportasi merupakan
sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda
perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi
semua aspek kehidupan bangsa dan negara.
Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, Undang-undang Nomor
22 Tahun 2009 ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai
peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional
sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya di
dalam batang tubuh di jelaskan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh
Undang-Undang ini adalah: terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan modal
35
angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan
kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta
mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; terwujudnya etika berlalu lintas
dan budaya bangsa; dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum
bagi masyarakat. Undang-undang ini berlaku untuk membina dan
menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat,
tertib, dan lancar melalui: kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau
barang di Jalan; kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas
pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan kegiatan yang berkaitan
dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi,
pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 secara tegas mengatur tentang
pengemudi yang merupakan bagian dari lalu lintas. Berdasarkan Pasal 77
Ayat (1) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
memiliki surat Izin Mengemudi (SIM) sesuai dengan jenis kendaraan
bermotor yang dikemudikan. SIM adalah bukti registrasi dan identifikasi
yang diberikan oleh Polri kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan
administrasi, sehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas dan
terampil mengemudikan kendaraan bermotor. SIM berfungsi sebagai:
a. Bukti kompetensi mengemudi;
b. Registrasi pengemudi kendaraan bermotor yang memuat identitas
lengkap pengemudi; dan
36
c. Media untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan
identifikasi forensik kepolisian.
Adapun jenis SIM yang terdapat di Indonesia adalah SIM kendaraan
bermotor perseorangan dan SIM kendaraan bermotor umum. Sesuai dengan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 80 SIM untuk kendaraan
bermotor perseorangan digolongkan menjadi:
a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil
penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang
diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil
penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang
diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat
berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik
kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang
diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000
(seribu) kilogram;
d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor;
dan
e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan
khusus bagi penyandang cacat.
Sedangkan SIM untuk kendaraan bermotor umum sesuai Pasal 82
digolongkan menjadi:
a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan
kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang
diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan
mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang
diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan
c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan
Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta
tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk
kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.
37
Untuk medapatkan SIM, calon pengemudi harus memiliki kompetensi
mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan maupun
belajar sendiri. Dalam Pasal 81 dijelaskan mengenai persyaratan seseorang
untuk mendapatkan SIM.
(1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia,
administratif, kesehatan, dan lulus ujian.
(2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling
rendah sebagai berikut:
a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin
Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan
c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.
(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk;
b. pengisian formulir permohonan; dan
c. rumusan sidik jari.
(4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan
b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis.
(5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ujian teori;
b. ujian praktik; dan/atau
c. ujian keterampilan melalui simulator.
(6) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan
mengajukan permohonan:
a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan
b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.
E. Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Istilah yang dipakai HIR adalah perkara rol, ketentuan tentang acara
pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian
tertentu (Andi Hamzah, 2010: 246). Hal itu dapat dibaca dalam Pasal 210
KUHAP yang mengatakan bahwa ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian
38
Kedua, dan Bagian Ketiga bab ini (Bab 16) tetap berlaku sepanjang peraturan
itu tidak bertentangan dengan paragraf ini.
Pemeriksaan cepat dibagi dua menurut KUHAP, pertama Acara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan yaitu termasuk delik yang diancam
dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan.
Kedua Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan yaitu
termasuk pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu
lintas jalan. Jadi, pelanggaran lalu lintas jalan diberlakukan pemeriksaan
cepat.
Penjelasan Pasal 211 KUHAP memberi uraian tentang apa yang
dimaksud dengan “perkara pelanggaran tertentu” sebagai beriku:
1. Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi,
membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas, atau yang mungkin
menimbulkan kerusakan pada jalan.
2. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan
surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), surat
tanda uji kendaraan yang sah, atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia
dapat memperlihatkannya, tetapi masa berlakunya sudah kedaluwarsa.
3. Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan
oleh orang yang tidak memiliki SIM.
39
4. Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas
jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan
kendaraan, dan syarat penggandengan kendaraan lain.
5. Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat
tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan STNK.
6. Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu
lintas jalan dan/atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu
atau tanda yang ada di permukaan jalan.
7. Pelanggaran terhadap ketentuan ukuran dan muatan yang diizinkan, cara
menaikkan dan menurunkan penumpang, dan/atau cara memuat dan
membongkar barang.
8. Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan
beroperasi di jalan tertentu.
Beberapa hal yang diberlakukan dalam pemeriksaan perkara
pelanggaran lalu lintas jalan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal.
2. Untuk perakara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara
pemeriksaan sesuai dengan Pasal 212 KUHAP.
3. Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di
sidang, hal ini berdasarkan Pasal 213 KUHAP.
4. Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau wakilnya
(verstek atau putusan in absentia). Ini diatur dalam Pasal 214 KUHAP.
40
5. Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu
berupa perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan
perlawanan, hal ini berdasarkan Pasal 214 ayat (4) KUHAP.
6. Berdasarkan Pasal 214 ayat (5) KUHAP disebutkan bahwa, dalam waktu
tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia
dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan
putusan itu.