BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematikaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/258/2/BAB II.pdfbahasa,...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematikaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/258/2/BAB II.pdfbahasa,...
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pembelajaran Matematika
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 37 Ayat 1 menyakatan bahwa kurikulum pendidikan dasar sampai
menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan,
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan
budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan
lokal. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa matematika merupakan salah
satu mata pelajaran wajib yang harus diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar
sampai menengah. Suatu mata pelajaran yang diharapkan mampu mempunyai
kegunaan dalam kehidupan sehari-hari bagi yang mempelajarinya.
1. Belajar
Perubahan seseorang yang awalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan
hasil dari proses belajar. Perubahan yang didapat adalah kemampuan yang
baru dan ditempuh dalam jangka waktu yang lama serta terjadi karena ada
usaha dari dalam diri tiap individu. Menurut Sudjana (1996: 5), perubahan
sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk
seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku,
keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang
ada pada individu yang belajar. Oleh karena itu, belajar merupakan unsur yang
sangat penting dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.
12
Cronbach, Harold Spears, dan Geoch (Sardiman, 2016: 20) memberikan
definisi belajar. Cronbach mendefinisikan “Learning is shown by a change in
behavior as a result of experience”. Artinya Belajar itu adalah perubahan
perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Harold Spears memberikan batasan
“Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to
listen, to follow direction”. Artinya Belajar adalah mengamati, membaca,
meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu. Geoch
mengatakan “Learning is change in performence as a result of practice”.
Artinya Belajar adalah perubahan prestasi sebagai hasil latihan.
Menurut Klein (1996: 2), “Learning can be defined as an experiential
process resulting in a relatively permanent change in behavior that cannot be
explained by temporary states, maturation, or innate respons tendencies”.
Artinya bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai proses pengalaman yang
mengakibatkan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku.
Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang merupakan bagian
penting dari pendidikan sebagai hasil dari latihan yang menghasilkan suatu
perubahan yang relatif menetap, baik perubahan pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, dan sikap.
2. Pembelajaran
Perubahan yang terjadi dalam belajar adalah perubahan yang disebabkan
oleh proses pembelajaran. Menurut Jihad (2008: 11), pembelajaran merupakan
suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu belajar tertuju
13
kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa dan mengajar berorientasi pada
apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Jadi, dalam
pembelajaran bukan hanya guru yang memegang peranan penting tetapi siswa
juga memegang peranan penting dalam proses pembelajaran agar tujuan
pembelajaran tercapai.
Suprijono (2009: 13) mengatakan bahwa pembelajaran berdasarkan
makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Menurut Horsley
(1990: 59) ada empat tahap yang umumnya dialami seseorang saat proses
pembelajaran berlangsung, yaitu: (1) tahap apersepsi, tahap ini berguna untuk
mengungkapkan konsep awal siswa dan digunakan untuk membangkitkan
motivasi belajar siswa; (2) tahap eksplorasi, tahap ini berguna untuk mediasi
pengungkapan ide-ide atau pengetahuan dalam diri siswa; (3) tahap diskusi
dan penjelasan konsep, pada tahap ini siswa diupayakan untuk bekerjasama
dengan teman-temannya, berusaha menjelaskan pemahamannya kepada orang
lain, bahkan menghargai penemuan temannya; (4) tahap pengembangan dan
aplikasi konsep, tahap ini adalah tahap untuk mengukur sejauh mana
pemahaman siswa terhadap suatu konsep dengan menyelesaikan
permasalahan.
Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah serangkaian kegiatan belajar yang dirancang oleh guru
melalui model pembelajaran agar dalam proses pembelajaran siswa berperan
aktif secara mental maupun fisik sehingga kemampuan dan keterampilan
siswa terasah dan tujuan pembelajaran tercapai dengan baik.
14
3. Pembelajaran Matematika
Menurut Suherman (2003: 18) istilah matematika menurut berbagai
bahasa antara lain Mathematics (bahasa Inggris), Mathematik (bahasa
Jerman), Mathematique (bahasa Prancis), Matematiceski (bahasa Rusia), atau
Mathematik (bahasa Belanda). Istilah matematika tersebut berasal dari bahasa
Yunani yaitu Mathematike yang berarti relating to learning. Kata
Mathematike mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau
ilmu. Kata ini berhubungan erat dengan sebuah kata mathanein yang
mengandung arti belajar (berpikir).
Menurut Abdurrahman (2003: 252) matematika adalah suatu cara yang
dilakukan untuk menemukan jawaban, menggunakan informasi, menggunakan
pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, serta menggunakan pengetahuan
tentang menghitung dan memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam
melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Sedangkan seorang
matematikawan Peirce (American Journal of Mathematics, 1881: 97)
menyebutkan matematika sebagai ilmu yang menggambarkan simpulan-
simpulan yang penting.
Menurut Cornelius (Abdurrahman, 1999: 253) ada 5 alasan perlunya
belajar matematika merupakan:
a. Sarana berfikir yang jelas dan logis.
b. Sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
c. Sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman.
d. Sarana untuk mengembangkan kreatifitas.
15
e. Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Lebih lanjut, Suherman (2003: 58) mengemukakan tujuan pembelajaran
matematika adalah memberikan penekanan pada penataan nalar dan
pembentukan sikap siswa. Selain itu, pembelajaran matematika juga dapat
melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik suatu kesimpulan secara
logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efesien serta memberikan
penekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika didalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari ilmu pengetahuan lainnya.
Pembelajaran matematika pada dasarnya adalah memberikan kemampuan
belajar mandiri sehingga mampu meningkatkan dan mengembangkan
pengetahuan yang dimilikinya.
Pada pembelajaran matematika prinsip belajar menurut Sardiman (2010:
95) adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan
kegiatan. Berbuat salah satunya menemukan sendiri berbagai pengetahuan
yang diperlukannya. Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara
penyelesian secara informal dalam pembelajaran matematika di kelas.
Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal yang baru bagi orang
yang telah mengetahuinya.
Oleh karena itu, pada proses pembelajaran matematika seorang guru
sebaiknya memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh siswa serta
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pendapatnya
dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Dalam proses
pembelajaran matematika guru sebaiknya memilih suatu model pembelajaran
16
yang dapat merubah pandangan siswa terhadap pelajaran matematika yang
dianggap sulit dengan cara memilih suatu model pembelajaran yang dapat
membuat siswa merasa senang belajar matematika dan membuat siswa aktif
dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
matematika adalah ilmu pengetahuan eksak dan ilmu tentang logika mengenai
bentuk, besaran, susunan dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan
yang lainnya dan suatu cara untuk menemukan jawaban dengan menggunakan
pengetahuan menghitung. Pembelajaran matematika adalah proses interaksi
antara siswa dan guru, antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan bahan
ajar yang melibatkan pola pikir dan memberikan peluang kepada siswa untuk
berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. Dengan demikian
pembelajaran matematika yang bermutu adalah jika proses belajar yang
dialami siswa dan proses mengajar yang dialami oleh guru berjalan efektif.
Dari pengertian tersebut pembelajaran matematika meliputi guru, siswa,
proses pembelajaran, dan materi matematika di sekolah.
B. Model Pembelajaran Make A Match
Model pembelajaran Make A Match diupayakan menjadi model
pembelajaran yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran, karena dikemas
dalam bentuk model pembelajaran yang menyenangkan sehingga para guru
diharapkan mencoba untuk menerapkan model pembelajaran Make A Match ini
dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran Make A Match artinya model
pembelajaran mencari/membuat pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu
17
(bisa jawaban atau soal) lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan
kartu yang ia pegang.
Teori yang melandasi model pembelajaran Make A Match adalah Teori
Vygotski dan Teori Behaviorisme.
1. Teori Vygotski
Slavin (2000: 46) menegaskan bahwa vygotski sangat menekankan
pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam
perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Vygotski (Ormrod, 1995: 178)
menyatakan bahwa, children’s cognitive depelopment is promoted and
enchanced through their interaction with more advanced and capable
individuals. Maknanya adalah bahwa siswa sebaiknya belajar melalui interaksi
dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi ini
memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual
siswa.
Bruner (Arends, 1997: 165), mengatakan bahwa panduan yang diberikan
oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu disebut scaffolding.
Mengutip dari Ormrod (1995: 368),
Scaffolding support mechanism, provided by a more competent individual,
that helps a leraner successfully perform a task within his or her ZPD
(zone of proximal development).
Kutipan tersebut dapat dimaknai bahwa sacffolding adalah pemberian bantuan
(tuntutan) yang dapat mendukung siswa lebih kompeten dalam usahanya
menyelesaikan tugas di daerah jangkauan kognitifnya. Scaffolding ini dapat
berupa penyederhanaan tugas, memberikan petunjuk kecil mengenai apa yang
18
harus dilakukan siswa, pemberian model prosedur penyelesaian tugas,
menunjukkan kepada siswa apa saja yang telah dilakukannya dengan baik, dan
pemberitahuan kekeliruan yang dilakukan siswa dalam langkah pengerjaan
tugas. Maka dapat dikatakan bahwa scaffolding merupakan bagian dari
kegiatan pembelajaran kooperatif.
2. Teori Behaviorisme
Menurut teori behaviorisme belajar adalah perubahan tingkah laku,
seseorang dianggap belajar sesuatu bila ada menunjukkan perubahan tingkah
laku. Belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon.
Teori behaviorisme menyatakan bahwa dalam belajar yang penting
adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan oleh guru sedangkan respon berupa reaksi
siswa terhadap apa yang diberikan guru. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Hartley & Davies (Toeti, 1992: 23) menyatakan bahwa prinsip-prinsip
teori behaviorisme yang banyak dipakai di dunia pendidikan adalah:
a. Proses belajar dapat berhasil dengan baik apabila si pelajar ikut
berpartisipasi secara aktif didalamnya.
b. Materi pelajaran dibentuk dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur
berdasarkan urutan yang logis sehingga si pelajar mudah mempelajarinya.
19
c. Tiap-tiap respon perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga si
pelajar dapat mengetahui apakah respon yang diberikan telah benar atau
belum.
d. Setiap kali si pelajar memberikan respon yang benar maka ia perlu
diberikan penguatan. Penguatan positif ternyata memberikan pengaruh
yang lebih baik dari pada penguatan negatif.
Model belajar mengajar mencari pasangan (Make A Match) ini pada tahun
1994 dikembangkan oleh seorang pakar pendidikan yaitu Lorna Curran. Menurut
Rusman (2011: 223), salah satu keunggulannya adalah siswa mencari pasangan
sambil belajar mengenai konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.
Aturan main pada model pembelajaran Make A Match yaitu siswa diminta
untuk mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau soal sebelum batas
waktunya, dan siswa yang dapat menemukan terlebih dahulu pasangannya atau
dapat mencocokkan kartunya akan diberi poin. Menurut Suyatno (Komalasari,
2010: 85-86), langkah-langkah model pembelajaran Make A Match yaitu:
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya
kartu jawaban.
2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
3) Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang.
4) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya.
20
5) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi
poin.
6) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya.
7) Kesimpulan.
8) Penutup.
C. Model Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa
digunakan guru dalam mengajar dan paling banyak digunakan guru dalam proses
pembelajaran. Hadi (2005: 11-12) mengemukakan beberapa hal yang menjadi ciri
praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada
guru. Guru menyampaikan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat
materi yang disampaikan guru.
Menurut Sanjaya (2006: 259) pada pembelajaran konvensional siswa
ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi
secara pasif. Model pembelajaran konvensional menuntut guru yang lebih aktif
dari pada siswa sehingga proses pembelajaran hanya berjalan satu arah. Seperti
yang dikemukakan Djafar, Zahara (2001: 86) bahwa pembelajaran konvensional
dilakukan dengan satu arah.
Lebih lanjut, model pembelajaran konvensional sering disebut sebagai
model pembelajaran tradisional. Armstrong (2009: 56) menjelaskan bahwa “In
the traditional classroom, the teacher lectures while standing at the front of the
classroom, writes on the blackboard, ask students questions about the assigned
21
reading or handouts, and waits while students finish their written work”.
Maknanya bahwa dalam ruang kelas dengan pembelajaran tradisional, guru
berdiri di depan kelas sambil menulis di papan tulis, mengajukan pertanyaan
tentang bacaan yang ditugaskan atau yang ada dalam handout, dan menunggu
siswa menyelesaikan apa yang mereka tulis.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka model pembelajaran konvensional
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang utamanya adalah
menghafal, pembelajaran berpusat kepada guru dan menjadikan siswa sebagai
objek penerima materi yang pasif, dan yang dilihat adalah benar atau tidaknya
jawaban dari soal yang diberikan guru. Sehingga, dalam pembelajaran
konvensional dapat dikatakan bahwa guru adalah tokoh utama dalam
pembelajaran.
D. Kemampuan Komunikasi Matematis
Komunikasi melalui interaksi sosial memiliki peranan penting dalam
membina pengetahuan matematika siswa. Oleh karena itu, guru hendaknya
mewujudkan komunikasi yang berbentuk interaksi sosial di kalangan siswa
dengan siswa, siswa dengan guru dalam proses pembelajaran matematika.
Menurut Sardiman (2016: 7-8) mengartikan bahwa istilah komunikasi yang
berasal dari perkataan „communicare‟ berarti „berpartisipasi‟, „memberitahukan‟,
„menjadi milik bersama‟. Secara konseptual arti komunikasi itu adalah
menyebarkan berita, pengetahuan, pikiran-pikiran, dan nilai-nilai dengan maksud
mengunggah partisipasi, mempermudah untuk memberitahukan kepada teman dan
selanjutnya akan mencapai tujuan mengenai suatu pokok permasalahan yang
22
merupakan kepentingan bersama. Sardiman (2016: 7) berpendapat bahwa
komunikasi erat kaitannya dengan interaksi yaitu:
...interaksi berkaitan dengan istilah komunikasi atau hubungan. Dalam proses
komunikasi, dikenal dengan adanya unsur komunikan dan komunikator.
Hubungan komunikator dengan komunikasi biasanya karena menginteraksikan
sesuatu, dikenal dengan pesan. Kemudian untuk menyampaikannya perlu
adanya media atau saluran. Jadi unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi
adalah komunikator, komunikan, pesan dan media.
Interaksi antara siswa dengan guru dan teman sebayanya dapat diibaratkan
“denyut nadi” dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, interaksi
sosial di antara siswa dengan guru, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan siswa,
secara individu atau kelompok merupakan salah satu proses komunikasi yang
harus diwujudkan dalam proses pembelajaran matematika.
Berdasarkan pengertian-pengertian komunikasi sebelumnya, ada beberapa
faktor dalam komunikasi antara lain pemberi informasi, penerima informasi, dan
pesan atau informasi itu sendiri. Komunikasi merupakan suatu sarana untuk
mengungkapkan gagasan, pendapat, atau penemuannya pada orang lain saat
berinteraksi. Maka, komunikasi adalah proses penyampaian sebuah informasi
antara dua orang atau lebih, baik penyampaian secara lisan dan tulisan.
Baroody (Ansari, 2012: 13) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah
kemampuan siswa yang dapat diukur melalui aspek-aspek:
1. Representasi (Representing)
Representasi adalah bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah atau
ide; translasi suatu diagram atau model fisik kedalam simbol kata-kata.
23
2. Mendengar (Listening)
Mendengarkan merupakan hal penting ketika diskusi. Begitu juga dalam
kemampuan komunikasi, mendengar merupakan hal penting untuk dapat
terjadi komunikasi yang baik.
3. Membaca (Reading)
Membaca adalah aktivitas membaca aktif untuk mencari jawaban dari
pertanyaan yang telah disusun. Membaca aktif artinya membaca yang
difokuskan pada paragraf yang dianggap mempunyai jawaban yang tepat
dengan pertanyaannya.
4. Diskusi (Discussing)
Mendiskusikan suatu gagasan atau ide merupakan hal yang baik bagi siswa
untuk menjauhi perselisihan. Diskusi juga dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis.
5. Menulis (Writing)
Menulis merupakan aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk
mengungkapkan apa yang dipikirkan. Menulis merupakan proses tahapan
berpikir keras dan kemudian dituangkan kedalam kertas. Dalam komunikasi,
menulis sangat diperlukan untuk merangkum pelajaran yang telah terlaksana
dan dituangkan dalam bahasa sendiri agar lebih mudah dipahami.
Sementara, Skemp (1971: 68) menempatkan komunikasi sebagai fungsi
pertama dari simbol matematika dan secara khusus dapat digunakan untuk
mengaitkannya dengan fungsi-fungsi simbol yang lain. Simbol dalam matematika
juga dapat mempermudah siswa untuk mengerti dan memahami keabstrakan
24
matematika karena secara mental simbol terhubung dengan ide. Melalui
komunikasi pula, ide siswa dapat diketahui oleh guru maupun siswa yang lainnya.
Selain itu, Cheach (Sukoco, 2013: 15) mengungkapkan bahwa pentingnya
komunikasi dalam pembelajaran matematika yaitu:
Communication is an essential part of the mathematical classroom. Students
may use verbal language to communicate their thoughts, extend thinking, and
understand mathematical concepts. They may also use written language to
explain, reason, and process their thinking of mathematical ideas.
Artinya bahwa siswa dapat menggunakan bahasa secara lisan untuk
mengkomunikasikan idenya, memperluas pemikiran, dan memahami konsep-
konsep matematika. Selain itu, siswa juga dapat menggunakan bahasa secara
tertulis untuk menjelaskan, memberi alasan, dan menunjukkan proses berpikir
mengenai ide-idenya secara matematis.
Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001: 130) mengatakan bahwa siswa harus
mampu membenarkan dan menjelaskan ide-ide untuk membuat penalarannya
jelas, mengasah kemampuan bernalar, dan meningkatkan pemahaman konsepnya.
Jika diperhatikan, kata “membenarkan dan menjelaskan” lebih mengarah kepada
kemampuan komunikasi matematis siswa. Kemampuan komunikasi matematis
merupakan salah satu bagian dari percakapan yang harus dimiliki siswa dalam
mempelajari matematika.
Lee (2006: 69) juga mengatakan bahwa siswa yang mengkomunikasikan
ide-idenya saat belajar menyebabkan siswa tersebut mampu menggunakan dan
mengontrol konsep-konsep matematika dengan keyakinan yang lebih dari yang
mereka lakukan sebelumnya. Keyakinan itulah yang selalu terkait dengan
25
keyakinan siswa terhadap kemampuannya sendiri dan secara perlahan siswa akan
menunjukkan keaktifannya saat pembelajaran. Mengutip pendapat Lee (2006: 69),
Teachers can accomplish this in several ways: by changing the ways in which
pupils interact with the work and each other: by giving them more challenging
problems to solve: and by asking them to express their mathematical ideas in
writting...
Pendapat diatas mengatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan
komunikasi matematis yang dapat dilakukan oleh guru adalah mengubah cara
siswa berinteraksi dengan pekerjaannya dan siswa yang lain, memberikan siswa
lebih banyak masalah yang menantang untuk dipecahkan, dan meminta siswa
untuk mengekspresikan ide-idenya secara tertulis.
Proses pembelajaran matematika harus melibatkan komunikasi matematis
tertulis agar siswa dapat mengasah kemampuannya dalam menyelesaikan masalah
matematika. Melihat begitu pentingnya komunikasi matematis dalam
pembelajaran matematika, tidak hanya memahami konsep dan bernalar, tetapi
kemampuan komunikasi perlu menjadi perhatian karena dengan kemampuan
komunikasi matematis siswa dapat membantu siswa dalam memecahkan
permasalahan matematika yang dihadapinya. Pada penelitian ini difokuskan pada
kemampuan komunikasi matematis tertulis.
Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis menurut NCTM
(2000: 60) adalah sebagai berikut:
a. Mampu mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan pemikiran matematis
melalui komunikasi.
b. Mampu mengkomunikasikan pemikiran matematis secara koheren dan jelas
kepada siswa lain, guru, dan orang lain.
26
c. Mampu menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi-
strategi siswa lain.
d. Mampu menggunakan bahasa matematis untuk mengekspresikan ide-ide
matematis secara tepat.
Vermont Departement of Education (Sukoco, 2013: 21) menjabarkan dua
indikator penting dari komunikasi matematis. Pertama, menggunakan bahasa
matematika dan representasinya untuk mengkomunikasikan penyelesaian suatu
masalah. Kedua, komunikasi yang efektif dapat dilihat dari bagaimana suatu
masalah dapat diselesaikan dan penalaran yang digunakan.
Menurut Ontario Ministry of Education (2005: 21), komunikasi matematis
mencakup tiga indikator:
1) Mengekspresikan dan mengorganisasikan ide-ide dan berpikir secara
matematis (kejelasan ekspresi, organisasi logis), menggunakan bahasa lisan,
visual, dan bentuk tulis (misalnya gambar, grafik, hitungan, bentuk aljabar:
materi-materi dalam bentuk konkret).
2) Komunikasi untuk audiensi yang berbeda (misalnya siswa lain, guru) dan
tujuan (mengumpulkan data, membenarkan penyelesaian, dan
mengungkapkan pendapat secara matematis) secara lisan, visual, dan tertulis.
3) Menggunakan konvensi, kosakata, dan istilah dari matematika (misalkan
istilah, simbol) secara lisan, visual, dan tertulis.
Berdasarkan uraian sebelumnya, kemampuan komunikasi matematis yang
akan diteliti hanya pada aspek tertulis. Adapun indikator yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
27
Tabel 2.1
Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis
No Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis
1 Kemampuan menyelesaikan masalah matematika dengan tahap-tahap
yang terstruktur serta penggunaan istilah dan simbol matematika dalam
penyelesaian masalah matematika dengan tepat.
2 Kemampuan mengintepretasikan ide-ide matematis secara tertulis.
3 Kemampuan memberikan penjelasan atau alasan yang logis sesuai dengan
solusi, konsep, dan penalaran yang digunakan.
E. Keaktifan Siswa
Keaktifan siswa merupakan unsur yang penting dalam proses pembelajaran.
Seperti yang dikemukakan Nasution (2010: 86) bahwa keaktifan belajar
merupakan asas yang terpenting dalam proses belajar mengajar. Dimyati &
Mudjiono (2010: 45) menjelaskan bahwa dalam proses belajar, siswa selalu
menampakkan keaktifan. Keaktifan mulai dari aktivitas fisik yang mudah diamati
sampai aktivitas psikis yang sulit untuk diamati.
Lebih lanjut, Rousseau (Sardiman, 2016: 96-97) memberikan penjelasan
bahwa segala pengetahuan harus diperoleh dari pengamatan sendiri, pengalaman
sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang
diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun teknis. Senada dengan yang
ditegaskan Nasution (2010: 88) bahwa dalam pendidikan anak-anak sendirilah
yang harus aktif. Hal ini menunjukkan bahwa dalam belajar perlu adanya
aktivitas, dan setiap orang harus belajar aktif sendiri. Tanpa adanya aktivitas
proses belajar tidak akan terjadi. Klesse (2004: 1) mengemukakan bahwa:
28
Student activities are education in nature, based on genuine student interest
areas, usually conducted during student time rather than on school time,
student led, opportunities for student to learn through feedback and evaluation,
centered in the purpose of education and a process in which the final product
in sometimes not as educationally important as the pocess of achieving it and
the learning outcomes for each participant.
Maknanya adalah bahwa pendidikan adalah aktivitas siswa yang muncul
secara alami, hal tersebut dikarenakan kesungguhan dan ketertarikan siswa terjadi
selama waktu belajar jika dibandingkan dengan aktivitas lain yang dilakukan
disekolah, kemudian timbal balik dari belajar tersebut adalah evaluasi yang dapat
mengukur kemampuan siswa dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk terus
meningkatkan hasil belajar, walaupun demikian, aktivitas siswa dapat dilihat saat
proses pembelajaran berlangsung, sedangkan hasil akhir terkadang tidak
dipentingkan.
Berdasarkan pengertian-pengertian sebelumnya, maka keaktifan siswa
dalam belajar merupakan segala aktivitas yang bersifat fisik dan psikis dalam
proses pembelajaran. Paul B. Diendrich (Sardiman, 2016: 101)
mengklasifikasikan aktivitas siswa dalam belajar menjadi beberapa jenis sebagai
berikut:
1. Visual activities, seperti membaca, memperhatikan gambar demonstrasi,
melakukan percobaan.
2. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran,
mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
3. Listening activities, seperti mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik,
pidato.
4. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.
29
5. Drawing activities, seperti menggambar grafik, menggambar peta, diagram.
6. Motor activities, seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, model
mereparasi, bermain, berkebun, beternak.
7. Mental activities, seperti menanggapi, mengingat, memecahkan soal,
menganalisis, menemukan hubungan-hubungan, mengambil keputusan.
8. Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira,
semangat, bergairah, berani, tenang, gugup.
Salah satu penilaian dalam proses pembelajaran adalah dengan melihat
sejauh mana siswa aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Sudjana (2013:
61) menyatakan keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal:
a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.
b. Terlibat dalam pemecahan masalah.
c. Bertanya kepada siswa yang lain atau guru apabila tidak memahami persoalan
yang dihadapinya.
d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan
masalah.
e. Melaksanakan diskusi kelompok.
f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya.
g. Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis.
h. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperolehnya dalam
menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.
Sedangkan menurut Yamin (2007: 85) indikator keaktifan belajar siswa
antara lain:
30
1) Membaca materi pelajaran sebelum proses belajar mengajar berlangsung.
2) Mengajukan suatu pertanyaan ketika ada materi yang belum dipahami.
3) Mengemukakan pendapat pada saat proses belajar mengajar.
4) Mendengarkan penyajian materi pelajaran.
5) Aktif dalam diskusi.
6) Membuat rangkuman atau catatan materi yang disampaikan oleh guru.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, keaktifan siswa dalam belajar
merupakan segala aktivitas yang bersifat fisik ataupun nonfisik dalam proses
pembelajaran yang dapat dilihat dari banyak hal. Adapun aspek keaktifan siswa
yang akan diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Aspek dan Indikator Keaktifan Siswa
Aspek Indikator
Visual activities 1.
2.
Memperhatikan penjelasan guru
Mengamati kegiatan presentasi
Oral activities 3.
4.
5.
6.
Bertanya kepada guru maupun teman
mengenai materi lingkaran yang belum
dipahami
Menjawab pertanyaan yang diberikan guru.
Mengemukakan pendapat saat proses
pembelajaran.
Diskusi kelompok.
Listening activities 7.
Mendengarkan sajian presentasi dari
kelompok lain.
Writing activities 8. Mencatat materi yang disampaikan guru.
Mental activties 9. Mengerjakan soal yang diberikan guru.
Emotional activities 10. Percaya diri dalam kegiatan pembelajaran.
31
F. Kajian Peneitian yang Relevan
Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan Make A
Match adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian Riyana Hari Rahayu (2014) yang berjudul “Peningkatan
Keaktifan dan Kemampuan Komunikasi Belajar Matematika Siswa Melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match”. Dilihat dari indikator
keaktifan siswa: (1) siswa mampu mengerjakan tugas dari kondisi awal
19,23% meningkat menjadi 84,61%; (2) siswa mampu menyelesaikan soal
latihan dari kondisi awal 26,92% meningkat menjadi 73,07%; (3) siswa
mampu bekerjasama dalam kelompok menunjukkan peningkatan dari kondisi
awal 11,53% meningkat menjadi 76,92%. Dilihat dari indikator kemampuan
komunikasi belajar: (1) siswa mampu menjawab pertanyaan dari kondisi awal
19,23% meningkat menjadi 88,46%; (2) siswa mampu mengajukan pertanyaan
dari kondisi awal 38,46% meningkat menjadi 80,76%; (3) siswa mampu
mengemukakan ide matematika secara tertulis menunjukkan peningkatan dari
kondisi awal 26,92% meningkat menjadi 73,07%. Dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran Make A Match dapat meningkatkan keaktifan dan
kemampuan komunikasi belajar matematika pada siswa kelas VIIIG SMP
Negeri 3 Ngadirojo tahun ajaran 2014/2015.
2. Hasil penelitian Novianti (2017) yang berjudul “Penerapan Model
Pembelajaran Make A Match Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa Dengan Menggunakan Geoboard Pada Materi Bangun Datar Di Kelas
VII SMP Negeri 2 Bireuen”. Hasil penelitian dengan menggunakan uji t d
32
peroleh (3,456 > 1,67) sehingga ditolak. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Make A Match
terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa dengan menggunakan
Geoboard pada materi bangun datar lebih baik dari pada model pembelajaran
konvensional.
3. Hasil penelitian Ari Mulyani (2013) yang berjudul “Peningkatan Keaktifan
dan Prestasi Belajar Siswa menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Make A Match”. Hasil penelitian ini adalah bahwa menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dalam proses pembelajaran dapat
meningkatkan keaktifan siswa dan prestasi belajar siswa. Sebelum dilakukan
penelitian keaktifan siswa hanya mencapai 39% (kategori kurang). Pada siklus
I keaktifan siswa mencapai 50% (kategori cukup) dan pada siklus II keaktifan
meningkat mencapai 60% (kategori aktif). Sedangkan untuk prestasi belajar
siswa sebelum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A
Match hanya mencapai 47,39% (kategori kurang). Pada siklus I mencapai
67,22% (kategori cukup) dan pada siklus II meningkat 79,44% (kategori
tinggi).
G. Kerangka Berfikir
Penggunaan model pembelajaran yang tidak bervariatif dalam pembelajaran
matematika membuat siswa merasa bosan dan enggan belajar matematika
sehingga siswa kurang antusias mengikuti pembelajaran matematika, kurang aktif
selama mengikuti pembelajaran matematika, sehingga prestasi belajar matematika
cenderung rendah. Keaktifan siswa merupakan salah satu hal yang penting dalam
33
pembelajaran matematika. Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas jika
seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar siswa terlibat aktif baik fisik,
mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran.
Dalam pembelajaran matematika, semua siswa yang telibat aktif dalam
pembelajaran dapat menumbuh kembangkan potensi yang dimilikinya dan juga
dapat mengasah kemampuan komunikasi dalam pembelajaran matematika.
Namun, pada kenyataannya berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa sebagian
besar siswa tidak telibat aktif selama proses pembelajaran matematika
berlangsung. Siswa takut bertanya pada guru jika ada materi yang tidak dipahami,
dan siswa juga tidak aktif menjawab pertanyaan guru sehingga guru harus
menunjuk salah satu siswa untuk menjawab.
Dalam pembelajaran matematika guru harus mampu menciptakan suasana
yang nyaman dalam belajar, yang melibatkan seluruh aktivitas siswa dalam
belajar tanpa ada perbedaan status. Guru hendaknya dapat memilih salah satu
model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan serta melibatkan siswa
secara aktif dalam proses pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam belajar dapat
mengasah kemampuan komunikasi matematis sehingga siswa dapat
menyelesaikan masalah matematika dengan baik.
Model pembelajaran Make A Match merupakan salah satu model
pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran matematika di
sekolah. Model pembelajaran Make A Match merupakan cara untuk memperoleh
partisipasi siswa melalui tulisan. Model pembelajaran Make A Match (mencari
pasangan) melibatkan siswa untuk berperan aktif dan kemampuan komunikasi
34
matematis siswa akan terasah, terutama kemampuan komunikasi matematis
tertulis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diterapkan model pembelajaran
Make A Match yang diasumsikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap
kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan siswa. Dengan demikian
kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1
Kerangka Berfikir Penelitian
Model pembelajaran Make A Match
lebih baik/unggul terhadap kemampuan
komunikasi matematis dan keaktifan
siswa.
Model
pembelajaran
Make A
Match
Model
pembelajaran
konvensional
Pretest
Kemampuan komunikasi dan
keaktifan siswa belum maksimal
Pretest
Posttest
Posttest
35
H. Hipotesis
Hipotesis utama dalam penelitian ini adalah “Model pembelajaran Make A
Match berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan
siswa.”
Lebih rinci, hipotesis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Model pembelajaran Make A Match efektif baik terhadap kemampuan
komunikasi matematis maupun keaktifan siswa dalam pembelajaran
matematika.
2. Model pembelajaran Make A Match lebih baik/unggul ditinjau baik dari
kemampuan komunikasi matematis maupun keaktifan siswa dibandingkan
model pembelajaran konvensional.