BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematikaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/258/2/BAB II.pdfbahasa,...

25
11 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematika Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 Ayat 1 menyakatan bahwa kurikulum pendidikan dasar sampai menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Suatu mata pelajaran yang diharapkan mampu mempunyai kegunaan dalam kehidupan sehari-hari bagi yang mempelajarinya. 1. Belajar Perubahan seseorang yang awalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil dari proses belajar. Perubahan yang didapat adalah kemampuan yang baru dan ditempuh dalam jangka waktu yang lama serta terjadi karena ada usaha dari dalam diri tiap individu. Menurut Sudjana (1996: 5), perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. Oleh karena itu, belajar merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.

Transcript of BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematikaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/258/2/BAB II.pdfbahasa,...

11

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pembelajaran Matematika

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 37 Ayat 1 menyakatan bahwa kurikulum pendidikan dasar sampai

menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan,

bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan

budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan

lokal. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa matematika merupakan salah

satu mata pelajaran wajib yang harus diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar

sampai menengah. Suatu mata pelajaran yang diharapkan mampu mempunyai

kegunaan dalam kehidupan sehari-hari bagi yang mempelajarinya.

1. Belajar

Perubahan seseorang yang awalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan

hasil dari proses belajar. Perubahan yang didapat adalah kemampuan yang

baru dan ditempuh dalam jangka waktu yang lama serta terjadi karena ada

usaha dari dalam diri tiap individu. Menurut Sudjana (1996: 5), perubahan

sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk

seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku,

keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang

ada pada individu yang belajar. Oleh karena itu, belajar merupakan unsur yang

sangat penting dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.

12

Cronbach, Harold Spears, dan Geoch (Sardiman, 2016: 20) memberikan

definisi belajar. Cronbach mendefinisikan “Learning is shown by a change in

behavior as a result of experience”. Artinya Belajar itu adalah perubahan

perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Harold Spears memberikan batasan

“Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to

listen, to follow direction”. Artinya Belajar adalah mengamati, membaca,

meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu. Geoch

mengatakan “Learning is change in performence as a result of practice”.

Artinya Belajar adalah perubahan prestasi sebagai hasil latihan.

Menurut Klein (1996: 2), “Learning can be defined as an experiential

process resulting in a relatively permanent change in behavior that cannot be

explained by temporary states, maturation, or innate respons tendencies”.

Artinya bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai proses pengalaman yang

mengakibatkan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku.

Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa

belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang merupakan bagian

penting dari pendidikan sebagai hasil dari latihan yang menghasilkan suatu

perubahan yang relatif menetap, baik perubahan pengetahuan, pemahaman,

keterampilan, dan sikap.

2. Pembelajaran

Perubahan yang terjadi dalam belajar adalah perubahan yang disebabkan

oleh proses pembelajaran. Menurut Jihad (2008: 11), pembelajaran merupakan

suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu belajar tertuju

13

kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa dan mengajar berorientasi pada

apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Jadi, dalam

pembelajaran bukan hanya guru yang memegang peranan penting tetapi siswa

juga memegang peranan penting dalam proses pembelajaran agar tujuan

pembelajaran tercapai.

Suprijono (2009: 13) mengatakan bahwa pembelajaran berdasarkan

makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Menurut Horsley

(1990: 59) ada empat tahap yang umumnya dialami seseorang saat proses

pembelajaran berlangsung, yaitu: (1) tahap apersepsi, tahap ini berguna untuk

mengungkapkan konsep awal siswa dan digunakan untuk membangkitkan

motivasi belajar siswa; (2) tahap eksplorasi, tahap ini berguna untuk mediasi

pengungkapan ide-ide atau pengetahuan dalam diri siswa; (3) tahap diskusi

dan penjelasan konsep, pada tahap ini siswa diupayakan untuk bekerjasama

dengan teman-temannya, berusaha menjelaskan pemahamannya kepada orang

lain, bahkan menghargai penemuan temannya; (4) tahap pengembangan dan

aplikasi konsep, tahap ini adalah tahap untuk mengukur sejauh mana

pemahaman siswa terhadap suatu konsep dengan menyelesaikan

permasalahan.

Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran adalah serangkaian kegiatan belajar yang dirancang oleh guru

melalui model pembelajaran agar dalam proses pembelajaran siswa berperan

aktif secara mental maupun fisik sehingga kemampuan dan keterampilan

siswa terasah dan tujuan pembelajaran tercapai dengan baik.

14

3. Pembelajaran Matematika

Menurut Suherman (2003: 18) istilah matematika menurut berbagai

bahasa antara lain Mathematics (bahasa Inggris), Mathematik (bahasa

Jerman), Mathematique (bahasa Prancis), Matematiceski (bahasa Rusia), atau

Mathematik (bahasa Belanda). Istilah matematika tersebut berasal dari bahasa

Yunani yaitu Mathematike yang berarti relating to learning. Kata

Mathematike mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau

ilmu. Kata ini berhubungan erat dengan sebuah kata mathanein yang

mengandung arti belajar (berpikir).

Menurut Abdurrahman (2003: 252) matematika adalah suatu cara yang

dilakukan untuk menemukan jawaban, menggunakan informasi, menggunakan

pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, serta menggunakan pengetahuan

tentang menghitung dan memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam

melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Sedangkan seorang

matematikawan Peirce (American Journal of Mathematics, 1881: 97)

menyebutkan matematika sebagai ilmu yang menggambarkan simpulan-

simpulan yang penting.

Menurut Cornelius (Abdurrahman, 1999: 253) ada 5 alasan perlunya

belajar matematika merupakan:

a. Sarana berfikir yang jelas dan logis.

b. Sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.

c. Sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman.

d. Sarana untuk mengembangkan kreatifitas.

15

e. Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.

Lebih lanjut, Suherman (2003: 58) mengemukakan tujuan pembelajaran

matematika adalah memberikan penekanan pada penataan nalar dan

pembentukan sikap siswa. Selain itu, pembelajaran matematika juga dapat

melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik suatu kesimpulan secara

logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efesien serta memberikan

penekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika didalam

kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari ilmu pengetahuan lainnya.

Pembelajaran matematika pada dasarnya adalah memberikan kemampuan

belajar mandiri sehingga mampu meningkatkan dan mengembangkan

pengetahuan yang dimilikinya.

Pada pembelajaran matematika prinsip belajar menurut Sardiman (2010:

95) adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan

kegiatan. Berbuat salah satunya menemukan sendiri berbagai pengetahuan

yang diperlukannya. Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara

penyelesian secara informal dalam pembelajaran matematika di kelas.

Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal yang baru bagi orang

yang telah mengetahuinya.

Oleh karena itu, pada proses pembelajaran matematika seorang guru

sebaiknya memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh siswa serta

memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pendapatnya

dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Dalam proses

pembelajaran matematika guru sebaiknya memilih suatu model pembelajaran

16

yang dapat merubah pandangan siswa terhadap pelajaran matematika yang

dianggap sulit dengan cara memilih suatu model pembelajaran yang dapat

membuat siswa merasa senang belajar matematika dan membuat siswa aktif

dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

matematika adalah ilmu pengetahuan eksak dan ilmu tentang logika mengenai

bentuk, besaran, susunan dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan

yang lainnya dan suatu cara untuk menemukan jawaban dengan menggunakan

pengetahuan menghitung. Pembelajaran matematika adalah proses interaksi

antara siswa dan guru, antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan bahan

ajar yang melibatkan pola pikir dan memberikan peluang kepada siswa untuk

berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. Dengan demikian

pembelajaran matematika yang bermutu adalah jika proses belajar yang

dialami siswa dan proses mengajar yang dialami oleh guru berjalan efektif.

Dari pengertian tersebut pembelajaran matematika meliputi guru, siswa,

proses pembelajaran, dan materi matematika di sekolah.

B. Model Pembelajaran Make A Match

Model pembelajaran Make A Match diupayakan menjadi model

pembelajaran yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran, karena dikemas

dalam bentuk model pembelajaran yang menyenangkan sehingga para guru

diharapkan mencoba untuk menerapkan model pembelajaran Make A Match ini

dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran Make A Match artinya model

pembelajaran mencari/membuat pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu

17

(bisa jawaban atau soal) lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan

kartu yang ia pegang.

Teori yang melandasi model pembelajaran Make A Match adalah Teori

Vygotski dan Teori Behaviorisme.

1. Teori Vygotski

Slavin (2000: 46) menegaskan bahwa vygotski sangat menekankan

pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam

perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Vygotski (Ormrod, 1995: 178)

menyatakan bahwa, children’s cognitive depelopment is promoted and

enchanced through their interaction with more advanced and capable

individuals. Maknanya adalah bahwa siswa sebaiknya belajar melalui interaksi

dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi ini

memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual

siswa.

Bruner (Arends, 1997: 165), mengatakan bahwa panduan yang diberikan

oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu disebut scaffolding.

Mengutip dari Ormrod (1995: 368),

Scaffolding support mechanism, provided by a more competent individual,

that helps a leraner successfully perform a task within his or her ZPD

(zone of proximal development).

Kutipan tersebut dapat dimaknai bahwa sacffolding adalah pemberian bantuan

(tuntutan) yang dapat mendukung siswa lebih kompeten dalam usahanya

menyelesaikan tugas di daerah jangkauan kognitifnya. Scaffolding ini dapat

berupa penyederhanaan tugas, memberikan petunjuk kecil mengenai apa yang

18

harus dilakukan siswa, pemberian model prosedur penyelesaian tugas,

menunjukkan kepada siswa apa saja yang telah dilakukannya dengan baik, dan

pemberitahuan kekeliruan yang dilakukan siswa dalam langkah pengerjaan

tugas. Maka dapat dikatakan bahwa scaffolding merupakan bagian dari

kegiatan pembelajaran kooperatif.

2. Teori Behaviorisme

Menurut teori behaviorisme belajar adalah perubahan tingkah laku,

seseorang dianggap belajar sesuatu bila ada menunjukkan perubahan tingkah

laku. Belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal

kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil

interaksi antara stimulus dan respon.

Teori behaviorisme menyatakan bahwa dalam belajar yang penting

adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus

adalah apa saja yang diberikan oleh guru sedangkan respon berupa reaksi

siswa terhadap apa yang diberikan guru. Teori ini mengutamakan pengukuran,

sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau

tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Hartley & Davies (Toeti, 1992: 23) menyatakan bahwa prinsip-prinsip

teori behaviorisme yang banyak dipakai di dunia pendidikan adalah:

a. Proses belajar dapat berhasil dengan baik apabila si pelajar ikut

berpartisipasi secara aktif didalamnya.

b. Materi pelajaran dibentuk dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur

berdasarkan urutan yang logis sehingga si pelajar mudah mempelajarinya.

19

c. Tiap-tiap respon perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga si

pelajar dapat mengetahui apakah respon yang diberikan telah benar atau

belum.

d. Setiap kali si pelajar memberikan respon yang benar maka ia perlu

diberikan penguatan. Penguatan positif ternyata memberikan pengaruh

yang lebih baik dari pada penguatan negatif.

Model belajar mengajar mencari pasangan (Make A Match) ini pada tahun

1994 dikembangkan oleh seorang pakar pendidikan yaitu Lorna Curran. Menurut

Rusman (2011: 223), salah satu keunggulannya adalah siswa mencari pasangan

sambil belajar mengenai konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

Aturan main pada model pembelajaran Make A Match yaitu siswa diminta

untuk mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau soal sebelum batas

waktunya, dan siswa yang dapat menemukan terlebih dahulu pasangannya atau

dapat mencocokkan kartunya akan diberi poin. Menurut Suyatno (Komalasari,

2010: 85-86), langkah-langkah model pembelajaran Make A Match yaitu:

1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang

cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya

kartu jawaban.

2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

3) Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang.

4) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan

kartunya.

20

5) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi

poin.

6) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang

berbeda dari sebelumnya.

7) Kesimpulan.

8) Penutup.

C. Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa

digunakan guru dalam mengajar dan paling banyak digunakan guru dalam proses

pembelajaran. Hadi (2005: 11-12) mengemukakan beberapa hal yang menjadi ciri

praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada

guru. Guru menyampaikan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat

materi yang disampaikan guru.

Menurut Sanjaya (2006: 259) pada pembelajaran konvensional siswa

ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi

secara pasif. Model pembelajaran konvensional menuntut guru yang lebih aktif

dari pada siswa sehingga proses pembelajaran hanya berjalan satu arah. Seperti

yang dikemukakan Djafar, Zahara (2001: 86) bahwa pembelajaran konvensional

dilakukan dengan satu arah.

Lebih lanjut, model pembelajaran konvensional sering disebut sebagai

model pembelajaran tradisional. Armstrong (2009: 56) menjelaskan bahwa “In

the traditional classroom, the teacher lectures while standing at the front of the

classroom, writes on the blackboard, ask students questions about the assigned

21

reading or handouts, and waits while students finish their written work”.

Maknanya bahwa dalam ruang kelas dengan pembelajaran tradisional, guru

berdiri di depan kelas sambil menulis di papan tulis, mengajukan pertanyaan

tentang bacaan yang ditugaskan atau yang ada dalam handout, dan menunggu

siswa menyelesaikan apa yang mereka tulis.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka model pembelajaran konvensional

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang utamanya adalah

menghafal, pembelajaran berpusat kepada guru dan menjadikan siswa sebagai

objek penerima materi yang pasif, dan yang dilihat adalah benar atau tidaknya

jawaban dari soal yang diberikan guru. Sehingga, dalam pembelajaran

konvensional dapat dikatakan bahwa guru adalah tokoh utama dalam

pembelajaran.

D. Kemampuan Komunikasi Matematis

Komunikasi melalui interaksi sosial memiliki peranan penting dalam

membina pengetahuan matematika siswa. Oleh karena itu, guru hendaknya

mewujudkan komunikasi yang berbentuk interaksi sosial di kalangan siswa

dengan siswa, siswa dengan guru dalam proses pembelajaran matematika.

Menurut Sardiman (2016: 7-8) mengartikan bahwa istilah komunikasi yang

berasal dari perkataan „communicare‟ berarti „berpartisipasi‟, „memberitahukan‟,

„menjadi milik bersama‟. Secara konseptual arti komunikasi itu adalah

menyebarkan berita, pengetahuan, pikiran-pikiran, dan nilai-nilai dengan maksud

mengunggah partisipasi, mempermudah untuk memberitahukan kepada teman dan

selanjutnya akan mencapai tujuan mengenai suatu pokok permasalahan yang

22

merupakan kepentingan bersama. Sardiman (2016: 7) berpendapat bahwa

komunikasi erat kaitannya dengan interaksi yaitu:

...interaksi berkaitan dengan istilah komunikasi atau hubungan. Dalam proses

komunikasi, dikenal dengan adanya unsur komunikan dan komunikator.

Hubungan komunikator dengan komunikasi biasanya karena menginteraksikan

sesuatu, dikenal dengan pesan. Kemudian untuk menyampaikannya perlu

adanya media atau saluran. Jadi unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi

adalah komunikator, komunikan, pesan dan media.

Interaksi antara siswa dengan guru dan teman sebayanya dapat diibaratkan

“denyut nadi” dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, interaksi

sosial di antara siswa dengan guru, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan siswa,

secara individu atau kelompok merupakan salah satu proses komunikasi yang

harus diwujudkan dalam proses pembelajaran matematika.

Berdasarkan pengertian-pengertian komunikasi sebelumnya, ada beberapa

faktor dalam komunikasi antara lain pemberi informasi, penerima informasi, dan

pesan atau informasi itu sendiri. Komunikasi merupakan suatu sarana untuk

mengungkapkan gagasan, pendapat, atau penemuannya pada orang lain saat

berinteraksi. Maka, komunikasi adalah proses penyampaian sebuah informasi

antara dua orang atau lebih, baik penyampaian secara lisan dan tulisan.

Baroody (Ansari, 2012: 13) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah

kemampuan siswa yang dapat diukur melalui aspek-aspek:

1. Representasi (Representing)

Representasi adalah bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah atau

ide; translasi suatu diagram atau model fisik kedalam simbol kata-kata.

23

2. Mendengar (Listening)

Mendengarkan merupakan hal penting ketika diskusi. Begitu juga dalam

kemampuan komunikasi, mendengar merupakan hal penting untuk dapat

terjadi komunikasi yang baik.

3. Membaca (Reading)

Membaca adalah aktivitas membaca aktif untuk mencari jawaban dari

pertanyaan yang telah disusun. Membaca aktif artinya membaca yang

difokuskan pada paragraf yang dianggap mempunyai jawaban yang tepat

dengan pertanyaannya.

4. Diskusi (Discussing)

Mendiskusikan suatu gagasan atau ide merupakan hal yang baik bagi siswa

untuk menjauhi perselisihan. Diskusi juga dapat meningkatkan kemampuan

berpikir kritis.

5. Menulis (Writing)

Menulis merupakan aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk

mengungkapkan apa yang dipikirkan. Menulis merupakan proses tahapan

berpikir keras dan kemudian dituangkan kedalam kertas. Dalam komunikasi,

menulis sangat diperlukan untuk merangkum pelajaran yang telah terlaksana

dan dituangkan dalam bahasa sendiri agar lebih mudah dipahami.

Sementara, Skemp (1971: 68) menempatkan komunikasi sebagai fungsi

pertama dari simbol matematika dan secara khusus dapat digunakan untuk

mengaitkannya dengan fungsi-fungsi simbol yang lain. Simbol dalam matematika

juga dapat mempermudah siswa untuk mengerti dan memahami keabstrakan

24

matematika karena secara mental simbol terhubung dengan ide. Melalui

komunikasi pula, ide siswa dapat diketahui oleh guru maupun siswa yang lainnya.

Selain itu, Cheach (Sukoco, 2013: 15) mengungkapkan bahwa pentingnya

komunikasi dalam pembelajaran matematika yaitu:

Communication is an essential part of the mathematical classroom. Students

may use verbal language to communicate their thoughts, extend thinking, and

understand mathematical concepts. They may also use written language to

explain, reason, and process their thinking of mathematical ideas.

Artinya bahwa siswa dapat menggunakan bahasa secara lisan untuk

mengkomunikasikan idenya, memperluas pemikiran, dan memahami konsep-

konsep matematika. Selain itu, siswa juga dapat menggunakan bahasa secara

tertulis untuk menjelaskan, memberi alasan, dan menunjukkan proses berpikir

mengenai ide-idenya secara matematis.

Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001: 130) mengatakan bahwa siswa harus

mampu membenarkan dan menjelaskan ide-ide untuk membuat penalarannya

jelas, mengasah kemampuan bernalar, dan meningkatkan pemahaman konsepnya.

Jika diperhatikan, kata “membenarkan dan menjelaskan” lebih mengarah kepada

kemampuan komunikasi matematis siswa. Kemampuan komunikasi matematis

merupakan salah satu bagian dari percakapan yang harus dimiliki siswa dalam

mempelajari matematika.

Lee (2006: 69) juga mengatakan bahwa siswa yang mengkomunikasikan

ide-idenya saat belajar menyebabkan siswa tersebut mampu menggunakan dan

mengontrol konsep-konsep matematika dengan keyakinan yang lebih dari yang

mereka lakukan sebelumnya. Keyakinan itulah yang selalu terkait dengan

25

keyakinan siswa terhadap kemampuannya sendiri dan secara perlahan siswa akan

menunjukkan keaktifannya saat pembelajaran. Mengutip pendapat Lee (2006: 69),

Teachers can accomplish this in several ways: by changing the ways in which

pupils interact with the work and each other: by giving them more challenging

problems to solve: and by asking them to express their mathematical ideas in

writting...

Pendapat diatas mengatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan

komunikasi matematis yang dapat dilakukan oleh guru adalah mengubah cara

siswa berinteraksi dengan pekerjaannya dan siswa yang lain, memberikan siswa

lebih banyak masalah yang menantang untuk dipecahkan, dan meminta siswa

untuk mengekspresikan ide-idenya secara tertulis.

Proses pembelajaran matematika harus melibatkan komunikasi matematis

tertulis agar siswa dapat mengasah kemampuannya dalam menyelesaikan masalah

matematika. Melihat begitu pentingnya komunikasi matematis dalam

pembelajaran matematika, tidak hanya memahami konsep dan bernalar, tetapi

kemampuan komunikasi perlu menjadi perhatian karena dengan kemampuan

komunikasi matematis siswa dapat membantu siswa dalam memecahkan

permasalahan matematika yang dihadapinya. Pada penelitian ini difokuskan pada

kemampuan komunikasi matematis tertulis.

Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis menurut NCTM

(2000: 60) adalah sebagai berikut:

a. Mampu mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan pemikiran matematis

melalui komunikasi.

b. Mampu mengkomunikasikan pemikiran matematis secara koheren dan jelas

kepada siswa lain, guru, dan orang lain.

26

c. Mampu menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi-

strategi siswa lain.

d. Mampu menggunakan bahasa matematis untuk mengekspresikan ide-ide

matematis secara tepat.

Vermont Departement of Education (Sukoco, 2013: 21) menjabarkan dua

indikator penting dari komunikasi matematis. Pertama, menggunakan bahasa

matematika dan representasinya untuk mengkomunikasikan penyelesaian suatu

masalah. Kedua, komunikasi yang efektif dapat dilihat dari bagaimana suatu

masalah dapat diselesaikan dan penalaran yang digunakan.

Menurut Ontario Ministry of Education (2005: 21), komunikasi matematis

mencakup tiga indikator:

1) Mengekspresikan dan mengorganisasikan ide-ide dan berpikir secara

matematis (kejelasan ekspresi, organisasi logis), menggunakan bahasa lisan,

visual, dan bentuk tulis (misalnya gambar, grafik, hitungan, bentuk aljabar:

materi-materi dalam bentuk konkret).

2) Komunikasi untuk audiensi yang berbeda (misalnya siswa lain, guru) dan

tujuan (mengumpulkan data, membenarkan penyelesaian, dan

mengungkapkan pendapat secara matematis) secara lisan, visual, dan tertulis.

3) Menggunakan konvensi, kosakata, dan istilah dari matematika (misalkan

istilah, simbol) secara lisan, visual, dan tertulis.

Berdasarkan uraian sebelumnya, kemampuan komunikasi matematis yang

akan diteliti hanya pada aspek tertulis. Adapun indikator yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

27

Tabel 2.1

Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

No Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

1 Kemampuan menyelesaikan masalah matematika dengan tahap-tahap

yang terstruktur serta penggunaan istilah dan simbol matematika dalam

penyelesaian masalah matematika dengan tepat.

2 Kemampuan mengintepretasikan ide-ide matematis secara tertulis.

3 Kemampuan memberikan penjelasan atau alasan yang logis sesuai dengan

solusi, konsep, dan penalaran yang digunakan.

E. Keaktifan Siswa

Keaktifan siswa merupakan unsur yang penting dalam proses pembelajaran.

Seperti yang dikemukakan Nasution (2010: 86) bahwa keaktifan belajar

merupakan asas yang terpenting dalam proses belajar mengajar. Dimyati &

Mudjiono (2010: 45) menjelaskan bahwa dalam proses belajar, siswa selalu

menampakkan keaktifan. Keaktifan mulai dari aktivitas fisik yang mudah diamati

sampai aktivitas psikis yang sulit untuk diamati.

Lebih lanjut, Rousseau (Sardiman, 2016: 96-97) memberikan penjelasan

bahwa segala pengetahuan harus diperoleh dari pengamatan sendiri, pengalaman

sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang

diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun teknis. Senada dengan yang

ditegaskan Nasution (2010: 88) bahwa dalam pendidikan anak-anak sendirilah

yang harus aktif. Hal ini menunjukkan bahwa dalam belajar perlu adanya

aktivitas, dan setiap orang harus belajar aktif sendiri. Tanpa adanya aktivitas

proses belajar tidak akan terjadi. Klesse (2004: 1) mengemukakan bahwa:

28

Student activities are education in nature, based on genuine student interest

areas, usually conducted during student time rather than on school time,

student led, opportunities for student to learn through feedback and evaluation,

centered in the purpose of education and a process in which the final product

in sometimes not as educationally important as the pocess of achieving it and

the learning outcomes for each participant.

Maknanya adalah bahwa pendidikan adalah aktivitas siswa yang muncul

secara alami, hal tersebut dikarenakan kesungguhan dan ketertarikan siswa terjadi

selama waktu belajar jika dibandingkan dengan aktivitas lain yang dilakukan

disekolah, kemudian timbal balik dari belajar tersebut adalah evaluasi yang dapat

mengukur kemampuan siswa dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk terus

meningkatkan hasil belajar, walaupun demikian, aktivitas siswa dapat dilihat saat

proses pembelajaran berlangsung, sedangkan hasil akhir terkadang tidak

dipentingkan.

Berdasarkan pengertian-pengertian sebelumnya, maka keaktifan siswa

dalam belajar merupakan segala aktivitas yang bersifat fisik dan psikis dalam

proses pembelajaran. Paul B. Diendrich (Sardiman, 2016: 101)

mengklasifikasikan aktivitas siswa dalam belajar menjadi beberapa jenis sebagai

berikut:

1. Visual activities, seperti membaca, memperhatikan gambar demonstrasi,

melakukan percobaan.

2. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran,

mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.

3. Listening activities, seperti mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik,

pidato.

4. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.

29

5. Drawing activities, seperti menggambar grafik, menggambar peta, diagram.

6. Motor activities, seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, model

mereparasi, bermain, berkebun, beternak.

7. Mental activities, seperti menanggapi, mengingat, memecahkan soal,

menganalisis, menemukan hubungan-hubungan, mengambil keputusan.

8. Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira,

semangat, bergairah, berani, tenang, gugup.

Salah satu penilaian dalam proses pembelajaran adalah dengan melihat

sejauh mana siswa aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Sudjana (2013:

61) menyatakan keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal:

a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.

b. Terlibat dalam pemecahan masalah.

c. Bertanya kepada siswa yang lain atau guru apabila tidak memahami persoalan

yang dihadapinya.

d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan

masalah.

e. Melaksanakan diskusi kelompok.

f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya.

g. Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis.

h. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperolehnya dalam

menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.

Sedangkan menurut Yamin (2007: 85) indikator keaktifan belajar siswa

antara lain:

30

1) Membaca materi pelajaran sebelum proses belajar mengajar berlangsung.

2) Mengajukan suatu pertanyaan ketika ada materi yang belum dipahami.

3) Mengemukakan pendapat pada saat proses belajar mengajar.

4) Mendengarkan penyajian materi pelajaran.

5) Aktif dalam diskusi.

6) Membuat rangkuman atau catatan materi yang disampaikan oleh guru.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, keaktifan siswa dalam belajar

merupakan segala aktivitas yang bersifat fisik ataupun nonfisik dalam proses

pembelajaran yang dapat dilihat dari banyak hal. Adapun aspek keaktifan siswa

yang akan diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2

Aspek dan Indikator Keaktifan Siswa

Aspek Indikator

Visual activities 1.

2.

Memperhatikan penjelasan guru

Mengamati kegiatan presentasi

Oral activities 3.

4.

5.

6.

Bertanya kepada guru maupun teman

mengenai materi lingkaran yang belum

dipahami

Menjawab pertanyaan yang diberikan guru.

Mengemukakan pendapat saat proses

pembelajaran.

Diskusi kelompok.

Listening activities 7.

Mendengarkan sajian presentasi dari

kelompok lain.

Writing activities 8. Mencatat materi yang disampaikan guru.

Mental activties 9. Mengerjakan soal yang diberikan guru.

Emotional activities 10. Percaya diri dalam kegiatan pembelajaran.

31

F. Kajian Peneitian yang Relevan

Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan Make A

Match adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian Riyana Hari Rahayu (2014) yang berjudul “Peningkatan

Keaktifan dan Kemampuan Komunikasi Belajar Matematika Siswa Melalui

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match”. Dilihat dari indikator

keaktifan siswa: (1) siswa mampu mengerjakan tugas dari kondisi awal

19,23% meningkat menjadi 84,61%; (2) siswa mampu menyelesaikan soal

latihan dari kondisi awal 26,92% meningkat menjadi 73,07%; (3) siswa

mampu bekerjasama dalam kelompok menunjukkan peningkatan dari kondisi

awal 11,53% meningkat menjadi 76,92%. Dilihat dari indikator kemampuan

komunikasi belajar: (1) siswa mampu menjawab pertanyaan dari kondisi awal

19,23% meningkat menjadi 88,46%; (2) siswa mampu mengajukan pertanyaan

dari kondisi awal 38,46% meningkat menjadi 80,76%; (3) siswa mampu

mengemukakan ide matematika secara tertulis menunjukkan peningkatan dari

kondisi awal 26,92% meningkat menjadi 73,07%. Dapat disimpulkan bahwa

model pembelajaran Make A Match dapat meningkatkan keaktifan dan

kemampuan komunikasi belajar matematika pada siswa kelas VIIIG SMP

Negeri 3 Ngadirojo tahun ajaran 2014/2015.

2. Hasil penelitian Novianti (2017) yang berjudul “Penerapan Model

Pembelajaran Make A Match Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa Dengan Menggunakan Geoboard Pada Materi Bangun Datar Di Kelas

VII SMP Negeri 2 Bireuen”. Hasil penelitian dengan menggunakan uji t d

32

peroleh (3,456 > 1,67) sehingga ditolak. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Make A Match

terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa dengan menggunakan

Geoboard pada materi bangun datar lebih baik dari pada model pembelajaran

konvensional.

3. Hasil penelitian Ari Mulyani (2013) yang berjudul “Peningkatan Keaktifan

dan Prestasi Belajar Siswa menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Make A Match”. Hasil penelitian ini adalah bahwa menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dalam proses pembelajaran dapat

meningkatkan keaktifan siswa dan prestasi belajar siswa. Sebelum dilakukan

penelitian keaktifan siswa hanya mencapai 39% (kategori kurang). Pada siklus

I keaktifan siswa mencapai 50% (kategori cukup) dan pada siklus II keaktifan

meningkat mencapai 60% (kategori aktif). Sedangkan untuk prestasi belajar

siswa sebelum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A

Match hanya mencapai 47,39% (kategori kurang). Pada siklus I mencapai

67,22% (kategori cukup) dan pada siklus II meningkat 79,44% (kategori

tinggi).

G. Kerangka Berfikir

Penggunaan model pembelajaran yang tidak bervariatif dalam pembelajaran

matematika membuat siswa merasa bosan dan enggan belajar matematika

sehingga siswa kurang antusias mengikuti pembelajaran matematika, kurang aktif

selama mengikuti pembelajaran matematika, sehingga prestasi belajar matematika

cenderung rendah. Keaktifan siswa merupakan salah satu hal yang penting dalam

33

pembelajaran matematika. Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas jika

seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar siswa terlibat aktif baik fisik,

mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran.

Dalam pembelajaran matematika, semua siswa yang telibat aktif dalam

pembelajaran dapat menumbuh kembangkan potensi yang dimilikinya dan juga

dapat mengasah kemampuan komunikasi dalam pembelajaran matematika.

Namun, pada kenyataannya berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa sebagian

besar siswa tidak telibat aktif selama proses pembelajaran matematika

berlangsung. Siswa takut bertanya pada guru jika ada materi yang tidak dipahami,

dan siswa juga tidak aktif menjawab pertanyaan guru sehingga guru harus

menunjuk salah satu siswa untuk menjawab.

Dalam pembelajaran matematika guru harus mampu menciptakan suasana

yang nyaman dalam belajar, yang melibatkan seluruh aktivitas siswa dalam

belajar tanpa ada perbedaan status. Guru hendaknya dapat memilih salah satu

model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan serta melibatkan siswa

secara aktif dalam proses pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam belajar dapat

mengasah kemampuan komunikasi matematis sehingga siswa dapat

menyelesaikan masalah matematika dengan baik.

Model pembelajaran Make A Match merupakan salah satu model

pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran matematika di

sekolah. Model pembelajaran Make A Match merupakan cara untuk memperoleh

partisipasi siswa melalui tulisan. Model pembelajaran Make A Match (mencari

pasangan) melibatkan siswa untuk berperan aktif dan kemampuan komunikasi

34

matematis siswa akan terasah, terutama kemampuan komunikasi matematis

tertulis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diterapkan model pembelajaran

Make A Match yang diasumsikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap

kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan siswa. Dengan demikian

kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Kerangka Berfikir Penelitian

Model pembelajaran Make A Match

lebih baik/unggul terhadap kemampuan

komunikasi matematis dan keaktifan

siswa.

Model

pembelajaran

Make A

Match

Model

pembelajaran

konvensional

Pretest

Kemampuan komunikasi dan

keaktifan siswa belum maksimal

Pretest

Posttest

Posttest

35

H. Hipotesis

Hipotesis utama dalam penelitian ini adalah “Model pembelajaran Make A

Match berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan

siswa.”

Lebih rinci, hipotesis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Model pembelajaran Make A Match efektif baik terhadap kemampuan

komunikasi matematis maupun keaktifan siswa dalam pembelajaran

matematika.

2. Model pembelajaran Make A Match lebih baik/unggul ditinjau baik dari

kemampuan komunikasi matematis maupun keaktifan siswa dibandingkan

model pembelajaran konvensional.