BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · proximal terdiri dari lateral dan medial yaitu...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · proximal terdiri dari lateral dan medial yaitu...
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Carpal Tunnel Syndrome
2.1.1 Definisi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) atau disebut juga Sindrom Terowongan
Karpal (STK) adalah kumpulan gejala akibat terjadi penekanan pada nervus
medianus ketika melalui terowongan karpal di pergelangan tangan. Manifestasi
klinis dari sindroma ini adalah rasa nyeri dan kesemutan (paraesthesia) (Sidharta,
1996).
CTS merupakan entrapment neuropathy yang terjadi akibat adanya
penekanan nervus medianus pada saat melalui terowongan karpal di pergelangan
tangan tepatnya di bawah fleksor retinaculum (Rambe, 2004).
Terowongan karpal berada di bagian sentral dari pergelangan tangan di
mana berbagai komponen tulang dan ligamen membentuk suatu terowongan
sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus (Samuel, 1999).
Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan
kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal
ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-
tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini
akan menyebabkan tekanan pada nervus medianus.
7
2.1.2 Anatomi dan Biomekanika
Pergelangan tangan disusun oleh 3 tulang yaitu tulang radius, ulna dan
karpal. Dimana terowongan karpal terletak di pergelangan tangan yang
kerangkanya di bentuk oleh 8 tulang carpal yang tersusun atas 2 bagian. Bagian
proximal terdiri dari lateral dan medial yaitu tulang navicular, lunatum,
triquertum, dan pisiformis. Bagian distal yaitu tulang trapezium, trapezoideum,
capitatum dan hamatum. Tulang-tulang karpal tangan susunannya membusur
dengan bagian konkaf menghadap ke arah telapak tangan. Ruangan ini tertutup
oleh ligamentum karpi transversum sehingga terbentuk suatu terusan yang sempit
yang disebut terowongan karpal (Anshar, et,al., 2011).
Gambar 2.1 Anatomi Nervus Medianus
(Sumber: Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy. Fourth edition. Saunders:
Elsevier; 2006)
8
Terowongan karpal tersusun secara rapat Musculi antebrachium palmares
superficial (m. pronator teres, m. flexor carpi radialis, m. palmaris longus, m.
flexor carpi ulnaris, m. flexor digitorum superficialis), Musculi antebrachium
palmares profunda (m. flexor digitorum profunda, m. flexor digitorum longus, m.
pronator quadratus), Flexor digitorum longus dan nervus medianus (Wichaksana,
dkk., 2002)
Nervus medianus terbentuk dari fasikulus lateralis asal radiks C5, C6, C7
dan fasikulus medialis C8 dan T1. Saraf medianus di atas siku tidak mempunyai
cabang-cabang artikuler menuju sendi siku cabang muskuler mempersarafi
pollicis longus, pronator quadratus. Setelah memberi cabang pada otot-otot lengan
bawah untuk berbagai gerakan lengan dan jari-jari tangan di bawah ligamentum
carpi transversal syaraf medianus bercabang dua, yang lateral (motorik)
mempersyarafi otot thenaris yaitu otot abductor pollicis brevis, otot flexor pollicis
brevis, otot oponen pollicis dan otot adductor pollicis. Percabangan medial
(sensorik) mempersyarafi otot antara ossa metacarpalia yaitu lumbricales,
interossei palmaris dan interossei dorsalis bagian polar jari-jari 1, 2, 3 dan ½ jari
ke 4 (sisi lateral) serta bagian tengah sampai sisi radial juga dipersyarafi oleh n.
Medianus (Sloane, 1994).
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Katz, dkk (2002), kriteria diagnostik dibuat berdasarkan
pengalaman klinis para peneliti, banyak gejala pasien ditemukan pada perbatasan
dari kelas klasifikasi yang satu dengan yang lainnya. Pada derajat 0 atau disebut
juga dengan derajat Asimtomatik yaitu tidak ada gejala dan tanda CTS, namun
9
apabila dilakukan pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin
ditemukan kelainan pada sekitar 20% populasi. Pada kondisi ini tidak perlu
dilakukan terapi.
Derajat 1 atau disebut juga derajat Simtomatik Intermiten terdapat
parastesia tangan (kesemutan) intermiten, namun tidak terdapat defisit neurologis.
Apabila dilakukan tes provokasi dan pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan
motorik mungkin ditemukan kelainan. Pada derajat 1 sudah dapat dilakukan terapi
konservatif.
Pada CTS derajat 2 atau disebut juga dengan Simtomatik Persisten
terdapat defisit neurologis sesuai dengan distribusi saraf medianus dan bila
dilakukan tes provokasi akan didapatkan hasil yang positif serta pada pemeriksaan
konduksi saraf sensorik dan motorik tidak normal. Penanganan yang dapat
dilakukan pada CTS derajat 2 adalah dengan terapi konservatif atau operatif.
Derajat tertinggi yaitu derajat 3 disebut juga dengan derajat Berat. Kondisi CTS
derajat berat adalah terdapat atrofi otot thenaris. Apabila dilakukan pemeriksaan
dengan elektromiografis terdapat fibrilasi atau neuropati unit motorik. Tindakan
yang dapat dilakukan pada derajat ini dengan melakukan terapi operatif.
Komplikasi yang mungkin timbul pada CTS oleh karena kompresi antara
lain atrofi otot thenaris, gangguan sensorik yang mengenai bagian radial telapak
tangan dan sisi palmar dari tiga jari tangan yang pertama, serta terdapat deformitas
“ape hand”, tidak mampu memfleksikan jari tangan, gengggaman tangan
10
melemah, terutama ibu jari dan telunjuk, dan jari-jari ini cenderung mengadakan
hiperekstensi dan ibu jari abduksi.
2.1.4 Patofisiologi
CTS terjadi apabila saraf medianus mengalami tekanan dalam struktur
anatomis terowongan karpal. Tekanan dapat disebabkan oleh meningkatnya
volume dalam terowongan karpal, pembesaran saraf medianus, atau berkurangnya
area cross-sectional dalam terowongan karpal. Dari ketiga penyebab ini, yang
menjadi penyebab terbanyak adalah meningkatnya volume terowongan karpal.
Meningkatnya volume terowongan karpal dipengaruhi oleh gerakan yang
berulang dengan kontraksi sangat kuat, tekanan mekanis, sikap kerja kaku dan
aneh, getaran setempat dan penggunaan sarung tangan sempit dingin. Hal ini akan
menyebabkan peradangan tendon pada sendi dan bursa yang akan menekan N.
Medianus dan menimbulkan manifestasi klinis seperti nyeri, terdapat kelemahan
dan gangguan fisik (Silverstein, dkk., 1987).
Teori getaran gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari penggunaan
jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di terowongan karpal.
Menurut Lunborg dalam Tana (2004) mencatat edema epineural pada saraf
medianus dalam beberapa hari terkena paparan alat getar genggam. Edema
epineural diakibatkan adanya peningkatan tekanan intrafasikuler yang
menyebabkan aliran darah vena melambat sehingga endotel menjadi rusak dan
kebocoran protein. Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik,
iskemik, dan trauma kimia.
11
Getaran ini merangsang kontraksi tendon, mengurangi kelenturan,
mencederai saraf perifer, menyebabkan mati rasa jari-jari atau mengurangi sensasi
tangan sebagai akibat konstriksi vaskuler atau vasospasme mikrosirkulasi ke saraf
perifer. Cedera mikroskopik, mikrosirkulasi, arteriosklerosis lokal yang
menyebabkan pembengkakan lokal berisi cairan dan fibrin yang menekan nervus
medianus.
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-klinis seperti di atas
dan perkuat dengan pemeriksaan yaitu:
1) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita
dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan.
Menurut Katz, dkk (2002) beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosis CTS adalah:
a) Phalen test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal.
Bila dalam waktu 60 detik timbul nyeri, tes positif CTS. Sensitivitas dan
spesifisitas tes Phalen dalam mendiagnosis CTS secara berurutan adalah
82% dan 100% (Widodo, 2014).
12
Gambar 2.2 Phalen Test
(Sumber: Sawaya, Raja A. Journal of Clinical Neurophysiology. 2009)
b) Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet
dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di
atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnosis.
c) Tinel sign : Tes ini mendukung diagnosis bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
Gambar 2.3 Tinel’s Sign
(Sumber: Sawaya, Raja A. Journal of Clinical Neurophysiology. 2009)
13
d) Flick's sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosis CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat
dijumpai pada penyakit Raynaud.
e) Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi
otot-otot thenar.
f) Menilai kekuatan dan keterampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dynamometer.
g) Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga
dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS,
maka tes ini menyokong diagnosis CTS.
h) Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis.
i) Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan
jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak
dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
mendukung diagnosis CTS.
j) Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik
(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosis.
14
k) Pemeriksaan fungsi otonom : Pada penderita diperhatikan apakah ada
perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah
inervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosis CTS.
Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel sign adalah tes yang
tepat untuk CTS (Tana, dkk., 2004).
2) Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)
Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dapat menunjukkan adanya fibrilasi,
polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot
thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal.
EMG bisa normal pada 31% kasus CTS.
Kecepatan Hantar Saraf (KHS) pada 15-25% kasus, bisa normal. Pada
yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency)
memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan
tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik (Latov, 2007).
3) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu
melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher
berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan
dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG
dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di carpal tunnel
proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome (Wilkinson,
2001).
4) Pemeriksaan Laboratorium
15
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa
adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan
seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap (Rambe,
2004).
2.1.6 Pencegahan
Berbagai pekerjaan yang banyak menggunakan tangan dalam jangka
waktu lama, sering dihubungkan dengan terjadinya CTS. Pekerjaan yang
dimaksud umumnya menggunakan kombinasi antara kekuatan dan pengulangan
gerakan yang sama pada jari-jari dan tangan, selama periode waktu yang lama.
Sindroma terowongan karpal dapat pula tercetus akibat paparan terhadap getaran
atau vibration (misalnya pekerjaan pengeboran), atau akibat kesalahan posisi
tangan yang tidak ergonomis (misalnya pekerjaan dengan komputer), yang terjadi
dalam jangka waktu lama (Astaqaulia, 2010).
Panduan yang telah dibuat Silverstein, dkk (2000) mengenai pencegahan
untuk mengendalikan risiko penyebab CTS akibat gerakan berulang (repetitive)
adalah dengan mengurangi penggunaan gerakan tangan berulang dengan bantuan
mesin otomatis dan lakukan rotasi pekerjaan dengan gerakan yang berbeda.
Gerakan yang sangat kuat (forceful) dapat dicegah dengan pengurangan berat atau
ukuran perkakas yang digunakan disesuaikan dengan kekuatan normal tangan.
Pada sikap tubuh yang kaku atau tidak ergonomis dapat dicegah dengan
menyesuaikan jenis pekerjaan dengan pekerja dan usahakan posisi pergelangan
tangan harus selalu netral dengan membuat pekerjaan lebih mudah dijangkau.
16
Tekanan mekanis dapat dicegah dengan memberi bantalan pada pegangan
perkakas yang digunakan atau dengan penggunaan sarung tangan. Untuk
mengendalikan efek getaran dapat menggunakan isolator (alat peredam) vibrator
dan hindari penggunaan perkakas pemutar yang kuat (Silverstein, dkk., 1987).
Menurut NIOSH (1997), pencegahan ergonomi yang terpenting untuk
mengindari CTS adalah dengan pengendalian sikap tubuh dengan memelihara
posisi alamiah pergelangan tangan saat bekerja, mengurangi gerakan berulang,
meredam getaran dan melakukan rotasi pekerja untuk meningkatkan kewaspadaan
pekerja.
2.2 Getaran
2.2.1 Definisi Getaran
Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah
bolak balik dari kedudukan keseimbangan. Getaran terjadi saat mesin atau alat
dijalankan oleh penggerak, sehingga pengaruhnya bersifat mekanis (Budiono,
2003). Hal ini dapat disebabkan oleh getaran udara atau getaran mekanis,
misalnya mesin atau alat-alat mekanis lainnya (Gabriel, 1996). Getaran adalah
suatu faktor fisik yang menjalar ke tubuh manusia, mulai dari tangan sampai
keseluruh tubuh turut bergetar (osilasi pada satu titik) akibat getaran peralatan
mekanis yang di pergunakan dalam tempat kerja (Salim, 2002).
17
2.2.2 Jenis Getaran
2.2.2.1 Getaran Udara
Menurut Gierke dan Nixon dalam Gabriel (1996), getaran udara juga
disebabkan oleh benda bergetar dan diteruskan melalui udara sehingga akan
mencapai telinga. Pengaruhnya terutama pada akustik. Getaran dengan frekuensi
1-20 Hz tidak akan menyebabkan gangguan vestibular seperti gangguan orientasi,
kehilangan keseimbangan, dan mual-mual. Akan tetapi dapat menimbulkan nyeri
pada telinga, nyeri dada, dan bisa terjadi getaran seluruh tubuh.
2.2.2.2 Getaran Mekanis
Menurut Wignjosoebroto (2000) dalam Budiono (2005), getaran mekanis
dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis
yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh dan mengakibatkan resonansi atau
turut bergetarnya tubuh.
2.2.3 Sumber Getaran
Perkakas yang bergetar secara luas dipergunakan dalam industri logam,
perakitan kapal, dan otomotif, juga dipertambangan, kehutanan, dan pekerjaan
konstruksi. Perkakas yang paling banyak digunakan adalah bor pneumatik. Alat
ini menghasilkan getaran mekanis dengan ciri fisik dan efeknya merugikan yang
berbeda (Wijaya, 1995).
18
2.2.4 Efek Getaran
2.2.4.1 Getaran Seluruh Tubuh (whole body vibration)
Getaran pada seluruh tubuh atau umum (whole body vibration) yaitu
terjadi getaran pada tubuh pekerja yang bekerja dengan posisi duduk atau berdiri
dimana landasannya yang menimbulkan getaran. Biasanya frekuensi getaran ini
adalah 5 – 20 Hz (Salim, 2002). Getaran seperti ini biasanya dialami oleh
pengendara traktor, bus, helikopter, atau bahkan kapal.
Gangguan kesehatan yang ditimbulkan Whole Body Vibration yaitu
gangguan aliran darah, gangguan syaraf pusat menyebabkan kelemahan
degeneratif syaraf, gangguan metabolisme atau pertukaran oksigen dalam paru-
paru, gangguan pada otot atau persendian (Rohmansyah, dkk., 2013).
2.2.4.2 Getaran lengan tangan (hand arm vibration)
Getaran lengan tangan atau hand arm vibration adalah getaran yang
merambat melalui tangan akibat pemakaian peralatan yang bergetar, frekuensi
berkisar 20 – 500 Hz (Salim, 2002). Frekuensi dapat dikatakan berbahaya apabila
sudah mencapai 128 Hz, karena tubuh manusia sangat peka pada frekuensi ini.
Getaran ini berbahaya pada pekerjaan seperti supir bajaj, operator gergaji rantai,
tukang potong rumput, pekerja gerinda dan penempa palu.
19
2.3 Pekerja
2.3.1 Definisi Pekerja
Pekerja adalah penduduk yang melakukan kegiatan bekerja. Penduduk
dibagi menjadi 3 yaitu penduduk usia kerja, penduduk yang termasuk angkatan
kerja dan penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja. Penduduk yang
termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang
bekerja atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.
Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan
maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan,
paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut
termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha
atau kegiatan ekonomi (BPS, 2000).
2.3.2 Jenis Pekerjaan
Menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 1990 (BPS, 2009),
lapangan usaha dibagi menjadi 9 yaitu pertanian (termasuk didalamnya
perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan), pertambangan dan penggalian,
industri, listrik (termasuk didalamnya gas dan air minum), konstruksi,
perdagangan (termasuk didalamnya rumah makan dan jasa akomodasi),
transportasi (termasuk pergudangan dan telekomunikasi), lembaga keuangan
(termasuk didalamnya real estate, usaha penyewaan dan jasa perusahaan), jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Data statistik yang dikeluarkan Badan
Pusat Statistik (2014) menyatakan bahwa jumlah penduduk yang bekerja pada
20
lapangan usaha konstruksi menempati urutan ke empat tertinggi di seluruh
Indonesia.
2.3.3 Pekerja Las
Pekerja las merupakan pekerja yang bekerja di lapangan usaha bidang
konstruksi. Pekerjaan yang dilakukan berupa mengelas, memotong, meratakan
dan membelah benda kerja (Riko, 2013). Ketika melakukan pekerjaan las, pekerja
melakukan pekerjaan dengan posisi tidak ergonomis, seperti mengelas dengan
membungkuk, berjongkok, dan posisi kepala mendongak ke atas. Keadaan seperti
itu dapat mempengaruhi posisi kerja tangan saat melakukan pekerjaan
menggerinda. Menggerinda adalah bagian dari pekerjaan pengelasan yang
menggunakan mesin gerinda (Fatmawati, dkk., 2009).
Posisi tangan saat menggunakan mesin gerinda yang tidak sesuai juga
akan berisiko menyebabkan terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) yaitu Carpal
Tunnel Syndrome. Berdasarkan penelitian Pangestusi, dkk (2014), posisi kerja
tangan responden saat menggunakan mesin gerinda sebagian besar dengan lateral
pinch. Sedangkan menurut Vienza (2011), posisi lateral pinch merupakan posisi
yang tidak normal dan tidak ergonomis karena jari – jari tangan tidak
menggenggam sempurna sehingga berpotensi menyebabkan cedera pada tangan.
2.4 Mesin Gerinda
Mesin gerinda merupakan alat yang digunakan dalam proses
menghaluskan atau meratakan permukaan dan memotong benda kerja yang
21
digunakan pada tahap finishing dengan daerah toleransi yang sangat kecil
sehingga mesin ini harus memiliki konstruksi yang sangat kokoh (Riko, 2013).
Bekerja dengan mesin gerinda prinsipnya sama dengan proses pemotongan
benda kerja. Pisau atau alat potong gerinda adalah ribuan keping berbentuk pasir
gerinda yang melekat menjadi keping roda gerinda. Proses penggerindaan
dilakukan oleh keping roda gerinda yang berputar menggesek permukaan benda
kerja (Paryanto, 2004). Berdasarkan penelitian Pangestuti, dkk (2014),
pengukuran intensitas getaran dengan menggunakan vibration meter pada mesin
gerinda adalah sebesar 8 – 12 m/s2.
Gambar 2.4 Mesin Gerinda
(sumber: www.makitatools.com)
Keuntungan dari proses menggerinda adalah sebagai berikut (Paryanto, 2004) :
1. Merupakan metode yang umum dari pemotongan bahan seperti baja yang
dikeraskan. Besarnya kelegaan tergantung pada ukuran, bentuk, dan
kecenderungan suku cadang untuk melengkung selama operasi perlakuan
panas.
22
2. Disebabkan banyaknya mata potong kecil pada roda, maka menimbulkan
penyelesaian yang sangat halus dan memuaskan pada permukaan singgung
dan permukaan bantalan. Kekasaran permukaan yang dicapai adalah 0,4
sampai 2200 µm.
3. Penggerindaan dapat menyelesaikan pekerjaan sampai ukuran teliti dalam
waktu singkat. Mesin gerinda perlu pengaturan roda halus, sebab hanya
jumlah kecil bahan yang dilepas, sampai ± 0,005 mm. Tekanan pelepasan
logam dalam proses ini kecil, sehingga memperbolehkan untuk
menggerinda benda kerja yang mudah pecah dan benda kerja yang
cenderung untuk melenting menjauhi perkakas. Sifat ini memungkinkan
memakai pencekam magnetis untuk memegang benda kerja dalam operasi
penggerindaan.