BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih...

41
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008:A-13). Emile Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-14) melalui karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide menjelaskan bahwa teoritisi Fakta Sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang menganut paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu. Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama kerapian antarhubungan dan keteraturannya dengan dipertahankan oleh 9 Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok

dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti

dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara

mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan

jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam

bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau

subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma

menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode

dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008:A-13).

Emile Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-14) melalui

karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide menjelaskan bahwa

teoritisi Fakta Sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim

fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang

menganut paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena

fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan

individu. Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan

metode interview-kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang

penganut paradigma lain. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif

teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama

kerapian antarhubungan dan keteraturannya dengan dipertahankan oleh

9 Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

10

konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara

fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui

kekuatan yang memaksa dalam masyarakat.

Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-16) menjelaskan

bahwa Paradigma Definisi Sosial ini mempelajari cara aktor mendefinisikan

situasi sosial mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial

ini terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Observasi adalah metode

khusus penganut paradigma definisi sosial. Ada sejumlah besar teori yang

dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: Teori Tindakan, Interaksionisme

Simbolik, Fenomenologi, Etnometodologi dan Eksistensialisme. Paradigma

definisi sosial memusatkan perhatian pada tindakan, interaksi dan konstruksi

sosial dari realitas. Realitas sosial dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat

beraneka ragam yang meliputi interaksi dan perubahan yang berlangsung

terus-menerus.

B.F. Skinner dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-15) menjelaskan

bahwa perhatian utama penganut paradigma perilaku sosial tertuju pada

hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman

(punishments) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Metode khusus

paradigma ini adalah eksperimen.

Ritzer dalam Bungin (2008:187) mengemukakan bahwa pada

umumnya teori dalam Paradigma Definisi Sosial sebenarnya berpandangan

bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti,

tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-

kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

11

fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial.

Tindakan manusia adalah hasil interaksinya dengan orang lain dalam

lingkungannya.

Pandangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendekatan

interpretif/konstruktivisme yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang

subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dalam hal ini, peneliti sendirilah

yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat

lebih sedikit penekanan penekanan pada objektivitas karena sifat objektif

yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa

penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh

partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West dan Turner, 2009:75)

Menurut Deddy N. Hidayat (2002), Paradigma Konstruktivisme

memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial

yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan

rinci terhadap pelaku sosial dalam situsasi (setting) keseharian yang alamiah,

agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang

bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.

Sementara Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:190) melihat

konstruktivisme sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan

dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan

lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri

pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur

pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme semacam inilah

yang oleh Berger dan Luckmann disebut sebagai konstruksi sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

12

Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran

tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Ada kebenaran yang dapat

ditangkap dari pemaknaan manusia atas suatu fenomena yang tertangkap

indra. Apabila membedah interpretivisme dalam sudut pandang filsafat

berdasarkan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, dapat dipertegas

beberapa hal umum sebagai berikut. Secara ontologis, interpretivisme

menuntut pendekatan holistik, menyeluruh: mengamati objek dalam konteks

keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel

guna mendapat pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak

mekanistis melainkan humanistis. Secara epistimologis, interpretivisme

menuntut menyatunya subjek dengan objek penelitian serta subjek

pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di

lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Secara

aksiologis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial

yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008:59-61).

Penjelasan interpretif terkait dengan upaya untuk membantu

pembentukan pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk

menemukan makna dari sebuah peristiwa atau praktik dengan

menempatkannya dalam sebuah konteks sosial tertentu. Proses penjelasan

semacam ini sama dengan proses penafsiran teks atau karya sastra. Teori-teori

komunikasi dalam kelompok tradisi fenomenologis, semiotika dan

sosiokultural bisa dikategorikan menggunakan model penjelasan interpretif

ini (Sunarto, 2013:57).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

13

Martin Hammersley dalam West dan Turner (2009:75), mendukung

adanya realisme yang tidak kentara yang menyatakan bahwa peneliti

“memonitor berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian

mereka”. Pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat

bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif.

Dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam

mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai

pribadinya dan ia harus menyatakannya secara jelas kepada pembacanya,

karena niai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Peneliti-

peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan

untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih

tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang

mereka teliti.

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu

Beberapa penelitian sejenis terdahulu juga pernah meneliti mengenai

beberapa topik yang turut menjadi kajian dalam penelitian ini, sehingga

dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan referensi bagi peneliti.

1) Penelitian yang dilakukan oleh Mark S. Rosenbaum dengan judul

“Exploring the Social Supportive Role of Third Places in Consumer’s

Lives”, Illinois University Tahun 2006 menggunakan metodologi

grounded theory. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dan

mengapa “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar menjadi bermakna

dalam kehidupan para pelanggannya. Hasil penelitian menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

14

bahwa beberapa pelanggan mendatangi kedai-kedai kopi dan bar tidak

hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga

kebutuhan mereka akan persahabatan yang dapat memberikan

dukungan secara emosional. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini lazimnya

hanya berlaku pada mereka dengan usia tua, dimana sering mengalami

kerenggangan pada hubungan mereka. Oleh karena itu, para pelanggan

bisa berpaling kepada sebuah “persahabatan komersial” mereka di

“tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar untuk memperoleh

dukungan.

Atas dasar kebutuhan dan memberikan kepuasan tersendiri, maka

“tempat ketiga” ini dapat dilihat sebagai tempat dari sisi praktis, tempat

sebagai lokasi pertemuan dan tempat sebagai rumah. Data

mengungkapkan bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut

secara rutin dapat membuat seseorang memperoleh peningkatan

kualitas pada persahabatan, dukungan emosional dan loyalitas mereka.

Gambaran ini pula yang akan dilihat oleh peneliti pada penelitian

mengenai profesi wartawan dan warung kopi, bagaimana warung kopi

dapat mendukung kebutuhan wartawan dari segi fisik maupun

emosional.

2) Penelitian oleh Sue Robinson dan Cathy Deshano dengan judul

“Citizen Journalists and Their Third Places” Tahun 2011 berusaha

mengkaji apakah orang-orang yang terlibat dalam situs berita lokal

dapat mencapai perasaan masyarakatnya terkait dengan adanya “tempat

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

15

ketiga” bergaya Amerika, yakni sebuah istilah yang mengacu pada

kedai kopi, perpustakaan dan tempat-tempat pertemuan masyarakat

lainnya. Tulisan ini berpendapat bahwa beberapa orang yang disebut

sebagai “jurnalis warga” berusaha meningkatkan pemenuhan kebutuhan

mereka akan pemberdayaan informasi dan koneksi komunal lokal di

saat mereka terlibat dalam situs berita lokal dan blog online. Penelitian

ini juga turut menggali mengapa sebagian orang termotivasi meskipun

bukan bagian dari kontributor situs-situs lokal tersebut. Empat

hambatan yang ditemui adalah adanya persepsi penuh dari suatu

kelompok sosial, otoritas atas informasi, kebingungan temporal dan

ketidaknyamanan spasial antara dunia fisik dan virtual.

Penelitian Sue Robinson dan Cathy Deshano ini melihat peran para

jurnalis warga dalam pemberdayaan informasi di situs berita lokal

melalui tempat-tempat seperti warung kopi, perpustakaan dan tempat

pertemuan lain, sementara peneliti ingin melihat bukan pada jurnalis

warga, melainkan profesi wartawan pada sebuah media yang juga

mengunjungi warung-warung kopi.

3) Penelitian oleh En-Ying Lin dengan judul “Starbucks as the Third

Place: Glimpses into Taiwan’s Consumer Culture and Lifestyles” tahun

2012 menemukan bahwa kedai kopi kelas dunia, Starbucks telah

mendominasi konsumsi kopi pada masyarakat Taiwan, dimana

Starbucks telah berfungsi sebagai “tempat ketiga” dalam kehidupan

para konsumennya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

16

mengeksplorasi faktor-faktor budaya pada konsumen serta hubungan

gaya hidup dan konsumsi. Temuan menunjukkan bahwa dalam budaya

konsumen, Starbucks telah mempengaruhi budaya percakapan dari

mulut ke mulut di warung kopi, termasuk persoalan gaya hidup dan

konsumsi kopi memiliki hubungan yang sangat signifikan. Jadi, faktor

budaya disini perlu juga didalami dalam kaitannya dengan kebiasaan

masyarakat tertentu mengunjungi warung kopi.

4) Anne P. Crick dalam sebuah penelitian di Tahun 2011 yang berjudul

“New Third Places: Opportunities and Challenges” membahas

fenomena “tempat ketiga” sebagai sebuah institusi yang menyediakan

tempat bagi interaksi sosial di luar rumah dan kantor. Studi ini

mengeksplorasi berbagai jenis “tempat ketiga” serta peluang dan

tantangan yang ditawarkannya. Penelitian ini menyoroti pertumbuhan

sebuah organisasi yang ingin mendapatkan keuntungan dari fenomena

“tempat ketiga” dengan kesempatan untuk memperoleh keuntungan

lebih lanjut, di samping juga turut menyoroti potensi “tempat ketiga”

virtual dalam meningkatkan peluang bagi brand awareness pada

penjualan produk dan jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

generasi baru lebih mementingkan faktor fleksibilitas dan kegembiraan

dibandingkan generasi lainnya. Bagi organisasi, “tempat ketiga”

menciptakan peluang untuk interaksi sosial dan membangun komunitas

dalam organisasi yang bermanfaat untuk menarik generasi yang berbeda

dalam pemilihan “tempat ketiga” mereka.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

17

Penelitian ini mengkaji hal yang sama dengan peneliti, yakni persoalan

warung kopi dalam menciptakan peluang untuk berinteraksi, namun

berbeda pada aspek kajian yang mengarah pada segi pemasaran dari

warung kopi itu sendiri, yakni pada bagaimana menciptakan brand

awareness pada generasi muda.

5) Neeti Gupta dan Keith N. Hampton dalam sebuah penelitian berjudul

“Grande Wi-Fi: Social Interaction in Wireless Coffee Shop” meneliti

perihal interaksi dan komunitas masyarakat di warung kopi. Penelitian

dilakukan di warung-warung kopi dengan fasilitas Wi-Fi gratis maupun

berbayar di wilayah Boston dan Seattle. Penelitian dilakukan mulai dari

Bulan Desember 2003 sampai dengan Bulan Maret 2004 dan

menghabiskan 120 jam untuk mengobservasi warung-warung kopi

tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet digunakan oleh

para pengguna di warung-warung kopi tersebut untuk lingkaran sosial

yang lebih kecil, sebagian bahkan berdampak pada aktivitas

interpersonal dan jaringan sosial mereka. Penelitian ini juga turut

mendukung penelitian sebelumnya oleh Robert Putnam, yang

mengidentifikasikan bahwa tren sosial yang semakin maju ini turut

menambah nilai privatisme, yakni sebuah kecenderungan dimana

orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada

di ruang-ruang publik atau tempat-tempat umum.

Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa keberadaan teknologi baru

seperti internet dan Wi-Fi juga turut mempengaruhi perilaku orang-

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

18

orang di ruang-ruang publik, seperti warung kopi. Fasilitas Wi-Fi yang

tersedia di warung-warung kopi turut memberikan kontribusi bagi

masyarakat, jaringan sosial dan ikatan sosial yang menghubungkan

manusia sebagai makhluk individu terhadap dukungan sosial di

sekelilingnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Ada kelompok di warung kopi yang disebut sebagai “True Mobile” dan

“Place Maker”. Kelompok “True Mobile” adalah kelompok orang-

orang yang menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan fasilitas

internet dan Wi-Fi selama berada di warung kopi, teknologi baru ini

sebagai pendukung aktivitas mereka dalam bekerja demi meningkatkan

produktivitasnya. Kelompok ini jarang sekali terlibat dalam sebuah

interaksi dengan orang lain di sekitarnya, kecuali rekan sekerja yang

duduk dengannya. Kelompok “Place Maker” adalah kelompok yang

pergi ke warung kopi untuk sekedar bersantai dan mencari hiburan di

waktu luang. Biasanya mereka pergi ke warung kopi yang sama setiap

harinya, bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka dengan orang-

orang di sekelilingnya dan menggunakan teknologi baru hanya sebagai

pengikat hubungan sosial mereka saja. Umumnya kedua kelompok ini

menghabiskan waktu 30 menit di setiap kunjungannya ke warung-

warung kopi dan sebagian dari mereka bisa menghabiskan waktu 4-5

jam dalam setiap kunjungannya.

Penelitian ini membagi para pengunjung warung kopi ke dalam dua

kategori berdasarkan intensitas penggunaan dan pemanfaatan fasilitas

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

19

free Wi-Fi di warung kopi. Kategori ini nantinya dapat membantu

peneliti mendapatkan gambaran masuk ke dalam kategori manakah dari

informan dari peneliti.

6) Penelitian oleh Grant Blank dan Nicole Van Vooren yang berjudul

“Camping Out in the Coffee Shop World: A Sociological Analysis of

Coffee Shop Conventions”, American University menggunakan metode

penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi

dan wawancara. Penelitian ini meneliti tentang orang-orang yang

disebut sebagai “Campers” atau “orang-orang yang berkemah” di dunia

warung kopi. Para “Campers” ini bersosialisasi dengan pola-pola yang

diterapkan di warung kopi, mencakup beberapa kegiatan yang

bervariasi seperti: membaca buku atau surat kabar, menggunakan

komputer, bekerja dan lain sebagainya. Para “Campers” ini bisa saja

datang sendiri ke warung kopi tanpa ditemani oleh siapapun. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa terpenuhi

kebutuhan sosialnya dengan mengunjungi warung-warung kopi,

sekalipun mereka pergi sendiri dan tidak terlibat percakapan dengan

orang lain.

Penelitian ini menggambarkan pengunjung warung kopi yang disebut

sebagai “Campers” yang menikmati dunianya di warung kopi, dengan

atau tanpa teman sekalipun. Menjadi suatu hal yang menarik

mengetahui informan peneliti adalah bagian dari kategori ini atau

bukan.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

20

7) Fidagta Khoironi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tahun 2009 dengan judul “Ekspresi Keberagaman Komunitas Warung

Kopi Blandongan di Yogyakarta” menemukan bahwa latar belakang

terciptanya komunitas warung kopi di Yogyakarta berawal dari

hadirnya warung kopi itu sendiri. Bercorak nuansa kedaerahan dan cita

rasa tradisional ternyata tidak menggeser eksistensinya di tengah-tengah

kompleksitas kehidupan budaya modern dengan produk-produk lain

seperti: Cheers Coffee Shop, Coffee Break dan Starbucks Coffee Shop.

Fanatisme pelanggan Blandongan atas dasar kesenangan dan

kenyamanan, pada akhirnya menciptakan komunitas penikmat kopi di

dalamnya. Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas mengisi

waktu luang, tempat untuk istirahat dari kepenatan. Namun kemudian

ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Komunitas lifestyle ini telah

melahirkan sebuah subkultur baru yaitu komunitas Blandongan.

Sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan modern dalam kerangka

spektrum global market (pasar global), warung kopi Blandongan

ternyata menciptakan kultur positif sekaligus negatif yang berimplikasi

terhadap persepsi dan ekspresi komunitas di dalamnya. Blandongan

memiliki banyak konsumen yang berasal dari berbagai jenis lapisan

masyarakat. Sebagai ruang publik yang cukup fenomenal, keberadaan

Blandongan menciptakan kultur pluralisme di dalam komunitas ini.

Plural terhadap keanekaragaman budaya, status sosial, stratifikasi

sosial, egalitaritas gender bahkan diferensiasi religi tidak berlaku disini,

setiap orang bebas masuk ke dalamnya. Dari sini dapat dipahami bahwa

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

21

kultur Blandongan memiliki kecenderungan nilai dan norma yang

identik dengan budaya modern. Budaya yang senantiasa toleran

terhadap berbagai perbedaan yang ada. Atas dasar ini, peneliti nantinya

juga ingin melihat dalam fenomena warung kopi Aceh apakah terdapat

komunitas-komunitas serupa dan bagaimana mereka berinteraksi di

dalam komunitas tersebut.

8) Penelitian tentang “Perkembangan Warung Kopi Phoenam 1946-2006”

yang dilakukan oleh Riswan Amri, Universitas Hasanuddin

menyimpulkan bahwa Warung Kopi Phoenam kini berkembang bukan

hanya sebatas tempat menyediakan kopi, namun telah berubah wajah

dengan menjadi rumah kedua bagi para pengusaha, pejabat pemerintah,

aktivis, politisi dan lain sebagainya, dikarenakan menikmati kopi di

Warung Kopi Phoenam mewakili banyak aktivitas mulai dari negosiasi

bisnis, tukar pikiran dalam pekerjaan, reuni dengan teman lama, sampai

dengan berbincang-bincang formal (rapat) dan sebagainya. Pengelola

Warung Kopi Phoenam telah menyediakan fasilitas ruang terbuka dan

ruang tertutup yang terbilang eksklusif (VIP).

Warung Kopi Phoenam juga telah bekerjasama dengan Radio Mercerius

FM, yang menjadi mediator dalam acara talkshow di Warung Kopi

Phoenam. Pembicaraan publik yang dahulunya banyak berlandaskan

pada budaya politik tradisional kini telah tergantikan oleh diskusi-

diskusi ala Warung Kopi Phoenam yang berdasarkan pada mediasi

media massa dan representasi tokoh-tokoh publik.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

22

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nantinya peneliti ingin menggali

lebih dalam pada penelitian mengenai wartawan dan warung kopi ini

untuk melihat keunikan apa yang dimiliki oleh warung kopi Aceh yang

tidak dimiliki oleh warung kopi lainnya serta meneliti apakah ada

bentuk kerjasama yang dilakukan dengan media lokal (Cth: radio) dan

mengadakan acara talkshow live di warung kopi dengan mengangkat

topik-topik tertentu, sehingga terbuka ruang untuk berdiskusi dengan

pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya.

9) Beberapa penelitian berikutnya yang menggunakan pendekatan

fenomenologi dengan perspektif Teori Konstruksi Sosial Peter L.

Berger dan Thomas Luckmann yaitu penelitian yang dilakukan oleh

Faya Praditya Ridwan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas

Padjadjaran, yang berjudul “Konstruksi Makna Citizen Journalism

Oleh Member Program Wide Shot Metro TV dengan sub bab Studi

Fenomenologi Mengenai Konstruksi Makna Citizen Journalism Oleh

Member Program Wide Shot Metro TV di Bandung”. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui motif member bergabung menjadi citizen

journalist Wide Shot, pemaknaan member Wide Shot mengenai citizen

journalism dan pengalaman komunikasi member selama menjadi citizen

journalist Wide Shot. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan dengan

perspektif teori fenomenologi Schutz serta Teori Konstruksi Sosial atas

realita Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teknik penelitian yang

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

23

digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi, wawancara

mendalam, analisis dokumen dan studi pustaka.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi makna citizen

journalism oleh member program Wide Shot Metro TV diperoleh dari

pengalaman dan pengetahuan baik sebelum maupun setelah bergabung

dengan Wide Shot. Para member Wide Shot membangun makna citizen

journalism berdasarkan motif, pemaknaan dan pengalaman mereka

selama menjadi citizen journalist. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

(1) Motif yang dimiliki terdiri atas motif masa lalu (motif-karena) dan

motif masa depan (motif-untuk) (2) Pemaknaan member mengenai

citizen journalism yaitu peduli terhadap perkembangan negara,

kepedulian terhadap sesama manusia dan bentuk eksistensi diri (3)

Pengalaman member selama menjadi citizen journalist terdapat tiga

bagian, yaitu pengalaman komunikasi antara member citizen journalist

dengan narasumber, pengalaman suka dan pengalaman duka.

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa setiap informan

memiliki ke dua jenis motif yang disebutkan oleh Alfred Schutz yaitu

“because motive” dan “in order motive” dengan porsi yang berbeda-

beda. Berdasarkan hasil kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat

“because motive” dan “in order motive” dari profesi wartawan sebagai

pengunjung warung kopi.

10) Penelitian Reza Pahlevy, Atwar Bajari dan Agus Setiaman, yang

berjudul “Konstruksi Makna Tato pada Anggota Komunitas Paguyuban

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

24

Tattoo Bandung”, Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu

Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Bandung Tahun 2012

menuangkan analisis konstruksi makna dan realitas sosial tato pada

anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung ke dalam model

konstruksi makna. Peneliti menggunakan konsep fenomenologi

transedental Husserl untuk melakukan analisis terhadap pembentukan

makna secara mental pada ranah individu. Peneliti menggunakan

fenomenologi Alfred Schutz untuk melakukan analisis terhadap faktor-

faktor yang melatarbelakangi ketertarikan terhadap tato. Sedangkan

untuk proses konstruksi makna dan realitas tato secara sosial, peneliti

menggunakan konsep Berger dan Luckmann tentang konstruksi realitas

secara sosial.

Kesimpulan dari penelitian ini menjelaskan bahwa realitas makna tato

menurut pandangan anggota Komunitas Paguyuban Tattoo Bandung,

yaitu sebagai identitas, karya seni dan bisnis. Makna tato Sebagai

identitas menunjukkan identitas mereka sebagai pencinta dan

penggemar tato. Makna tato sebagai seni meliputi hobi, ekspresi,

kreativitas dan gaya hidup. Sedangkan makna tato sebagai bisnis yaitu

sumber penghasilan. Adapun faktor yang melatarbelakangi ketertarikan

anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung terhadap tato terbentuk

dalam dua lingkup, yakni ranah individu dan ranah komunitas. Dalam

ranah individu, ketertarikan mereka terhadap tato dilatarbelakangi oleh

empat faktor, yaitu motivasi internal, motivasi eksternal, keterampilan

dan tujuan. Sedangkan dalam ranah komunitas dilatarbelakangi oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

25

tiga faktor, yaitu orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi

masa depan.

Makna tato mengalami pergeseran dari dulu hingga saat ini, mulai dari

kebudayaan tradisional, budaya populer, budaya tandingan, hingga

konsumsi dan komersialisme. Di Indonesia tato sempat mendapat

tanggapan yang negatif pada tahun 1980-an, namun saat ini penggunaan

tato lebih kepada trend perkembangan fashion dan gaya hidup

seseorang. Melalui kajian terdahulu ini peneliti ingin melihat proses

pergeseran makna warung kopi melalui orientasi terdahulu, orientasi

sekarang dan orientasi masa depan.

11) Penelitian Citra Abadi yang berjudul “Konstruksi Makna Sosialita Bagi

Kalangan Sosialita di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Tentang

Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita Di Kota

Bandung)”, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, Tahun 2013.

Dalam kerangka ini, sosialita merupakan fenomena yang menjadi

sebuah realitas. Kalangan sosialita tersebut memiliki makna tentang

sosialita sesuai dengan pemahaman masing-masing. Untuk mengetahui

makna tersebut, akan dilihat dari berbagai sub fokus pembahasan, mulai

dari nilai sosial yang ada di lingkungan sosial mereka, motif menjadi

sosialita, pesan artifaktual yang digunakan sebagai wujud pemaknaan

sosialita dan pengalaman yang telah dilakukan sebagai seorang

sosialita. Berdasarkan kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

26

jauh tentang profesi wartawan dan keberadaannya di warung-warung

kopi berdasarkan nilai sosial yang ada di lingkungannya, motif menjadi

wartawan dan pengalamannya selama berada di warung kopi.

2.3. Teori Interaksionisme Simbolik

Pendekatan Interaksionisme Simbolik oleh George Herbert Mead dan

Herbert Blumer berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh

penafsiran. Objek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya

sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Penafsiran

bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia

atau bukan. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang

dalam situasi tertentu sering mengembangkan definisi bersama (atau

perspektif bersama dalam bahasa interaksi simbolik) karena mereka secara

teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah dan latar

belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan (Moleong,

2006:20).

Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu

adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui

interaksinya dengan individu yang lain. Afdjani dan Soemirat (2010:59)

menyebutkan bahwa:

“Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi

dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-

tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang

digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan

sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal),

perilaku nonverbal dan objek yang disepakati bersama.”

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

27

Sunarto (2013:54) melalui tulisannya menyatakan bahwa aspek

ontologis Ilmu Komunikasi tidak hanya tanda atau simbol saja, tapi juga

makna yang muncul dalam proses transaksi diantara para partisipan

pengguna simbol tesebut untuk memuaskan tujuan-tujuan mereka.

Interaksionisme Simbolik, berfokus pada cara-cara manusia membentuk

makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan. Barbara Ballis

Lal dalam Littlejohn dan Foss (2011:231) meringkaskan dasar-dasar

pemikiran gerakan ini:

a. Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan

pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka

menemukan diri mereka.

b. Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada

susunan, sehingga terus berubah.

c. Manusia memahami pengalaman mereka melalui makna-makna

yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama

mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan

sosial.

d. Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan

makna yang ditentukan secara sosial.

e. Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, dimana

objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang

dipertimbangkan dan diartikan.

f. Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan

layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial

dengan orang lain.

Masyarakat (society) atau kehidupan kelompok, terdiri atas perilaku-

perilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerjasama manusia mengharuskan

kita untuk memahami maksud orang lain yang juga mengharuskan kita

mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi, kerjasama terdiri

dari “membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya

dengan cara yang tepat (Littlejohn dan Foss, 2011:233). Teori Interaksi

Simbolik ini memiliki pengaruh yang sangat penting dalam tradisi

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

28

sosiokultural karena teori ini berangkat dari ide bahwa struktur sosial dan

makna diciptakan dan dipelihara dalam interaksi sosial (Morissan dan

Wardhany, 2009:39).

Bagian lainnya yang penting dari Teori Interaksionisme Simbolik ialah

konstrak atau definisi tentang diri. Diri tidak dilihat sebagai yang berada

dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan yang teratur, motivasi dan

norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang

(melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam

mengkonstrak atau mendefinisikan “aku”, manusia mencoba melihat dirinya

sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat

yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan menempatkan dirinya dalam

peranan orang lain. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil

persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi

melalui proses interaksi tersebut (Moleong, 2006:22).

2.4. Fenomenologi

Tradisi fenomenologis menekankan pada proses interpretasi, tetapi

dalam cara yang sangat berbeda daripada yang dilakukan oleh Osgood. Teori

Osgood-yang jelas-jelas didasarkan pada tradisi sosiopsikologis-melihat

interpretasi sebagai sebuah proses intuitif, tidak sadar, kognitif dan

berhubungan dengan perilaku. Sebaliknya, teori-teori fenomenologis melihat

interpretasi sebagai sebuah proses pemahaman yang sadar dan hati-hati.

Fenomenologi secara harfiah berarti penelitian tentang pengalaman sadar,

dimana interpretasi mengambil peranan yang penting (Littlejohn dan Foss,

2011:192).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

29

Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data

utama dalam memahami realitas. Apa yang diketahui seseorang adalah apa

yang dialaminya. Stanley Deetz dalam Littlejohn dan Foss (2011:57),

mengemukakan tiga prinsip dasar fenomenologi sebagai berikut:

1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari

pengalaman, namun ditemukan secara langsung dari pengalaman

sadar.

2. Makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu itu pada hidup

seseorang. Dengan kata lain, bagaimana Anda memandang suatu

objek, bergantung pada makna objek itu bagi Anda.

3. Bahasa adalah “kendaraan makna” (vehicle meaning). Kita

mendapatkan pengalaman melalui bahasa yang digunakan untuk

mendefinisikan dan menjelaskan dunia kita.

Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral

dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari

suatu pengalaman. Menurut pemikiran fenomenologi, orang yang

melakukan interpretasi (interpreter) mengalami suatu peristiwa atau situasi

dan ia akan memberikan makna kepada setiap peristiwa atau situasi yang

dialaminya. Dengan demikian, interpretasi akan terus berubah, bolak-balik,

sepanjang hidup antara pengalaman dengan makna yang diberikan kepada

setiap pengalaman baru (Morissan dan Wardhany, 2009:31-32). Jadi, dalam

pandangan fenomenologi sesuatu yang tampak itu pasti bermakna menurut

subjek yang menampakkan fenomena itu, karena setiap fenomena berasal

dari kesadaran manusia sehingga sebuah fenomena pasti ada maknanya

(Bungin, 2007: 3).

Dalam pandangan fenomenologist, peneliti berusaha memahami arti

peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-

situasi tertentu. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

30

merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang

diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subyektif

dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia

konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka

mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh

mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong,

2006:17).

Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia

pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi

dengan orang lain dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang

membentuk kenyataan. Untuk paham fenomenologi sebagaimana

diungkapkan Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu

sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan

untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakikat

gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan

bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi

antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak

menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran

(Ikbar, 2012:65-66).

Tradisi fenomenologis memandang bahwa peran kepribadian dalam

perilaku paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung

orang, yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memperhatikan dan

memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka. Oleh sebab itu,

tradisi fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunia

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

31

secara subjektif, sensasi, perasaan dan fantasi yang terlibat adalah titik tolak

untuk meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai subjek

(Surip, 2011:12).

Tim Fakultas Ilmu Sosial Ilmu dan Ilmu Politik Universitas

Diponegoro dalam Pramestaningtyas (2013:7) menulis bahwa fenomenologi

mendeskripsikan pengalaman yang diperoleh secara langsung dan

memahami perilaku sebagai sesuatu yang dipengaruhi fenomena

pengalaman daripada realitas obyektif yang berasal dari luar diri individu.

Teori Fenomenologi dari Alfred Schutz mengemukakan bahwa orang secara

aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberi tanda dan arti

tentang apa yang mereka lihat. Interpretasi merupakan proses aktif dalam

menandai dan mengartikan tentang sesuatu yang diamati, seperti bacaan,

tindakan atau situasi bahkan pengalaman apapun. Lebih lanjut, Schutz

menjelaskan pengalaman indrawi sebenarnya tidak punya arti. Semua itu

hanya ada begitu saja; obyek-obyeklah yang bermakna. Semua itu memiliki

kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian-bagian, yang berbeda-beda dan

individu-individu itu memberi tanda tertentu mengenai sesuatu.

Menurut Schutz, fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan yang

datang dari kesadaran atau cara kita memahami sebuah obyek atau peristiwa

melalui pengalaman sadar tentang obyek atau peristiwa tersebut. Sebuah

fenomena adalah penampilan sebuah obyek, peristiwa atau kondisi dalam

persepsi seseorang, jadi bersifat subjektif. Bagi Schutz dan pemahaman

kaum fenomenologis, tugas utama analisis fenomenologis adalah

merekonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

32

mereka sendiri alami. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam

arti bahwa sebagai anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai

dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan

mereka melakukan interaksi atau komunikasi (Mulyana, 2008:63).

2.5. Teori Konstruksi Sosial

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality),

menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas

Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of

Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”. Ia menggambarkan

proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu

menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami

bersama secara subjektif (Bungin, 2008:189).

Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger

dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah

melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer

dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat

transisi modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an dimana media massa

belum menjadi sebuah fenomena yang menarik dibicarakan. Dengan

demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann

tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang

berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas (Bungin, 2008:175).

Di dalam penjelasan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan

konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia

yang bebas melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

33

Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan

kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media

produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia

sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002:194).

Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran

individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu

memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara

subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara

obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan mengkonstruksinya

dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas

individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:12).

Berger dan Luckmann dalam Yuningsih (2006:62) mengatakan bahwa

dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga

momen dialektis yang simultan (eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi)

serta masalah yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang dinamakan

kenyataan sosial itu adalah suatu konstruksi sosial produk masyarakat sendiri

(social construction of reality) dalam perjalanan sejarahnya di masa lampau,

ke masa kini dan menuju masa depan.

Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:193) menjelaskan bahwa

tugas pokok Sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri

(self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses

dengan tiga momen simultan, (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan

dunia sosiokultural sebagai produk manusia; (2) objektivasi, yaitu interaksi

sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

34

mengalami proses institusionalisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses

yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga

sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

Dunia pengalaman individual tidak dipisahkan dari dunia sosial

sebagaimana diutarakan oleh Berger dan Luckmann dalam Ngangi (2011:3).

Selanjutnya dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi

ilmu pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses itu terjadi. Keduanya

mengakui adanya realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas

yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemauan kita

(sebab sesungguhnya fenomena tersebut tidak dapat dihindarkan).

Baran dan Davis (2010:383) menyebutkan bahwa konstruksi sosial

merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan

sosial. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi

dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan

realitas tersebut secara objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori

yang mengasumsikan sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena

orang-orang berbagi sebuah pemahaman mengenai realitas.

2.6. Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi memainkan peran penting dalam kehidupan manusia.

Hampir setiap saat kita bertindak dan belajar dengan dan melalui komunikasi.

Dikarenakan manusia bisa menciptakan simbol-simbol, maka ia juga mampu

mengkomunikasikan suatu niat, makna, keinginan atau maksud yang

kompleks dan karena itu pula manusia bisa mengubah bentuk kehidupan

sosialnya. Dengan demikian, komunikasi merupakan pendorong proses sosial,

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

35

yang ditentukan oleh akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan.

Tanpa komunikasi, manusia akan tetap pada pola primitif tanpa organisasi

sosial (Rivers et al., 2003:33).

Sebagian besar kegiatan komunikasi berlangsung dalam situasi

komunikasi antar pribadi (komunikasi interpersonal). Komunikasi antar

pribadi mempunyai berbagai macam manfaat. Melalui komunikasi antar

pribadi kita dapat mengenal diri kita sendiri dan orang lain, kita dapat

mengetahui dunia luar, bisa menjalin hubungan yang lebih bermakna, bisa

memperoleh hiburan dan menghibur orang lain dan sebagainya. Menurut

Abadi (1996:4) Komunikasi interpersonal dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu (1) komunikasi tatap muka (face to face communication) antar

pribadi dan (2) komunikasi tatap muka forum (assabled). Komunikasi tatap

muka antar pribadi melibatkan sekurang-kurangnya dua orang, sedangkan

komunikasi tatap muka forum melibatkan banyak orang yang berhimpun di

suatu tempat.

Devito (2011:258) menjelaskan efektivitas komunikasi interpersonal

dalam lima kualitas umum yang dipertimbangkan, yaitu:

1) Keterbukaan (openness), ialah sikap dapat menerima masukan dari orang

lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain.

Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan

semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain

menginginkan informasi yang diketahuinya. Dengan kata lain,

keterbukaan ialah kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan

informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan

informasi ini tidak bertentangan dengan asas kepatutan.

2) Empati (empathy), ialah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau

seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang

dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan

dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain,

melalui kacamata orang lain.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

36

3) Sikap mendukung (supportiveness), artinya masing-masing pihak yang

berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya

interaksi secara terbuka.

4) Sikap positif (positiveness), ditunjukkan dalam bentuk sikap dan

perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak

yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan

dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Dalam bentuk perilaku,

artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan

komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata melakukan aktivitas untuk

terjalinnya kerjasama.

5) Kesetaraan (equality), ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak

memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan

berharga dan saling memerlukan. Memang secara alamiah ketika dua

orang berkomunikasi secara interpersonal, tidak pernah tercapai suatu

situasi yang menunjukkan kesetraan atau kesamaan secara utuh diantara

keduanya. Kesetaraan yang dimaksud disini adalah berupa pengakuan

atau kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara (tidak ada

yang superior atau inferior) dengan partner komunikasi.

Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antar-perorangan dan

bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun

tidak langsung (melalui medium). Contohnya kegiatan percakapan tatap

muka, percakapan melalui telepon, surat-menyurat pribadi fokus

pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat-sifat hubungan (relationship),

percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik komunikator (Bungin,

2008:32).

Richard L. Weaver dalam Budyatna dan Ganiem (2012:15),

menyebutkan bahwa karakteristik komunikasi antar pribadi, yaitu:

1) Melibatkan paling sedikit dua orang.

2) Adanya umpan balik atau feedback.

3) Tidak harus tatap muka.

4) Tidak harus bertujuan.

5) Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect.

6) Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata.

7) Dipengaruhi oleh konteks.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

37

Hardjana (2003:90) dalam buku Komunikasi Intrapersonal &

Interpersonal menulis bahwa komunikasi interpersonal dengan masing-

masing orang berbeda tingkat kedalaman komunikasinya, tingkat intensif dan

tingkat ekstensifnya. Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang

dinamis.

Fajar (2008:78) menyebutkan bahwa komunikasi antar pribadi dapat

digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai berikut:

1) Mengenal Diri Sendiri dan Orang Lain

2) Mengetahui Dunia Luar

3) Menciptakan dan Memelihara Hubungan Menjadi Bermakna

4) Mengubah Sikap dan Perilaku

5) Bermain dan Mencari Hiburan

Komunikasi merupakan pendorong proses sosial, yang ditentukan oleh

akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan. John Dewey dalam

Rivers et al. (2003:33), mengatakan bahwa masyarakat manusia bertahan

berkat adanya komunikasi. Dengan komunikasi, manusia melakukan berbagai

penyesuaian diri yang diperlukan dan memenuhi berbagai kebutuhan dan

tuntutan yang ada sehingga masyarakat manusia tidak tercerai-berai. Melalui

komunikasi pula manusia mempertahankan institusi-institusi sosial berikut

segenap nilai dan norma perilaku, tidak hanya dari hari ke hari, namun juga

dari generasi ke generasi.

2.7. Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak Dilihat dari

Paradigma Kontruksionis

Paradigma konstruksionis mempunyai penilaian sendiri dalam melihat

fakta/peristiwa, media massa, wartawan dan berita.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

38

2.7.1. Fakta/peristiwa dalam pandangan paradigma konstruksionis

Dalam paradigma konstruksionis, realitas itu besifat subjektif dan

tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat

konstruksi dan pandangan tertentu dari wartawan. Realitas bisa berbeda-

beda, tergantung bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh

wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Menurut James W. Carey

dalam Eriyanto (2002:22), realitas bukanlah sesuatu yang diberi begitu

saja, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Hal yang utama

dalam pandangan konstruktivisme adalah fakta itu sendiri bukan sesuatu

yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut.

Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai

kenyataan. Kita secara aktif mendefinisikan dan memaknai peristiwa/fakta

tersebut sebagi sesuatu. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan

secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan

bagaimana fakta tersebut dikonstruksi.

2.7.2. Media massa dalam pandangan paradigma konstruksionis

Selama ini kita mengetahui bahwa media massa adalah sebuah

saluran, sebuah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke

komunikan (khalayak). Media massa adalah saluran untuk

menggambarkan realitas/peristiwa. Tetapi dalam pandangan

konstruksionis, media massa bukanlah sekedar saluran untuk

menggambarkan realitas. Menurut Eriyanto, media massa juga merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

39

subjek yang mengonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias

dan pemihakannya.

Berita yang disajikan selain menggambarkan realitas dan menunjukan

pendapat sumber berita, juga menggambarkan konstruksi realitas dari

media itu sendiri. Media massa memilih realitas mana yang diambil dan

mana yang tidak diambil. Selain itu, secara sadar atau tidak sadar, media

massa juga memilih aktor yang dijadikan sumber berita, sehingga hanya

sebagian saja dari sumber berita yang tampil dalam pemberitaan. Media

massa juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa lewat

bahasa yang digunakan dalam pemberitaan. Media massa dapat

membingkai suatu peristiwa dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya

menentukan bagaimana cara khalayak harus melihat dan memahami

peristiwa dalam kaca mata tertentu.

Eriyanto (2002:24) menyebutkan bahwa pekerjaan media massa pada

dasarnya adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan

realitas. Peran media dalam membentuk realitas bisa dilihat dalam tiga

tingkatan, yaitu:

1) Media massa membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu.

2) Media massa memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan

aktor yang terlibat dalam berita.

3) Media massa juga menentukan apakah peristiwa ditempatkan sebagai

hal yang penting atau tidak.

2.7.3. Berita dalam pandangan paradigma konstruksionis

Fakta merupakan hasil konstruksi dan media massa sebagai agen

konstruksi, begitu juga berita dalam pandangan konstruksionis juga dilihat

sebagai hasil konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi

Universitas Sumatera Utara

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

40

dan nilai-nilai wartawan atau media. Menurut Eriyanto (2002:25),

bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana

fakta dipahami dan dimaknai oleh media atau wartawan.

Dalam pembentukan dan penulisan berita, secara sadar atau tidak

sadar akan melibatkan nilai-nilai tertentu yang dimiliki wartawan atau

media, sehingga mustahil berita merupakan pencerminan realitas. Realitas

yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena adanya cara

pandang yang berbeda. Oleh karena itu, berita bersifat subjektif karena

saat melihat realitas wartawan atau media melihat dengan perspektif dan

pertimbangan subjektif. Hal ini dapat dilihat dari contoh sederhana, yakni

bagaimana seorang tokoh lebih ditonjolkan pendapatnya dan mendapat

ruang yang lebih besar dalam sebuah berita dibandingkan tokoh lainnya.

Namun dalam pandangan konstruksionis, perbedaan antara realitas yang

sesungguhnya dengan berita tidak dianggap kesalahan, tetapi suatu

kewajaran karena berita adalah produk jurnalistik bukan representasi dari

realitas. Sebuah berita yang hadir di tengah-tengah khalayak pun tidak

serta-merta jadi, tetapi telah melalui proses seleksi agar memenuhi kriteria

kualifikasi yang berlaku dalam sebuah media tertentu.

2.7.4. Wartawan dalam pandangan paradigma konstruksionis

Paradigma konstruksionis memandang wartawan sebagai

agen/aktor konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta,

memberitakan atau mentransfer apa yang dilihatnya di lapangan,

melainkan wartawan juga mendefinisikan peristiwa dan secara aktif

membentuknya. Setiap berita yang disajikan dalam sebuah surat kabar

Universitas Sumatera Utara

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

41

tidak terlepas dari peran serta dari jurnalis yang melakukan proses

pengumpulan berita. Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang

bertugas atau bekerja untuk mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah

berita dan menyajikannya secara cepat kepada khalayak luas yang dapat

dilakukan melalui media cetak atau media elektronik.

Menurut Eriyanto (2002:28), dalam melakukan tugasnya,

wartawan sebetulnya bukan hanya mengambil realitas yang sebenarnya,

tapi juga membentuk berita: ia menguraikan, mengurutkan, mengonstruksi

peristiwa demi peristiwa, sumber demi sumber, serta membentuk citra dan

berita tertentu. Saat meliput satu peristiwa dan menuliskannya, ia secara

sengaja atau tidak menggunakan dimensi perseptualnya. Dengan begitu

realitas yang berserakan dipahami dan ditulis dengan melibatkan konsepsi

yang mau tidak mau sulit dilepaskan dari unsur subjektivitas. Apa yang

kemudian tersaji dan muncul sebagai berita, pada dasarnya adalah hasil

olahan dan konstruksi wartawan. Sebagai konsekuensinya, realitas yang

dihasilkan bersifat subjektif.

Dengan kata lain, dalam proses kerjanya wartawan sering kali

bukan melihat lalu menyimpulkan suatu peristiwa dan menulisnya, tetapi

justru menyimpulkan terlebih dahulu kemudian melihat fakta yang ingin

dikumpulkan. Dalam proses ini wartawan tidak bisa menghilangkan faktor

subjektivitasnya, misalnya dengan memilih fakta tertentu dan membuang

fakta yang lainnya. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral

dan keberpihakannya karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam

pembentukan berita. Lagi pula berita yang disajikan bukan merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

42

produk individual wartawan, melainkan juga merupakan bagian dari

proses organisasi dan interaksi antara wartawannya.

Dalam pandangan paradigma konstruktivisme, fenomena “realitas”

adalah penciptaan kognitif manusia. Dengan demikian, pemikiran

konstruktivisme sangat meragukan kemampuan jurnalis untuk

“mencerminkan” realitas murni di lapangan seperti apa adanya. Sebab,

berita yang disajikan wartawan adalah salah satu versi dari realitas di

lapangan (Hanitzsch, 2001).

2.8. Profesionalisme Wartawan

Profesi (profession) adalah penghargaan atas karya etika profesi

berarti suatu cabang ilmu yang secara sistematis merefleksikan moral yang

melekat pada suatu profesi. Etika profesi juga dipahami sebagai nilai-nilai

dan asas moral yang melekat pada pelaksanaan fungsi profesional tertentu

dan wajib dilaksanakan oleh pemegang profesi itu (Masduki, 2004:35). Di

Indonesia, wartawan adalah sebuah profesi dan menjadi wartawan adalah

pilihan profesional. Bagaimana wartawan mendefinisikan pekerjaannya

akan mempengaruhi isi media yang ia produksi.

Ukuran profesionalisme wartawan terletak pada ketaatan terhadap

Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selagi berpegang teguh pada KEJ, tidak satu

pihakpun bisa menggugat hasil karya jurnalistik yang dibuat wartawan.

selain itu, wartawan secara profesi juga sudah semestinya berpegang pada

undang-undang yang secara khusus berlaku untuknya, yaitu Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Wartawan juga perlu

bergabung dengan organisasi formal terkait profesinya, seperti PWI dan

Universitas Sumatera Utara

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

43

AJI, untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam profesi kewartawanan

(Ershad, Srimulyani, H., Supriadi, D., 2012:9).

Dalam Undang-Undang Pers No. 40/1999 Bab I pasal 1 Ayat (1)

tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI) beserta penjelasannya, Wartawan Indonesia menempuh

cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Ada

delapan atribut professional wartawan, diantaranya:

1) Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

2) Menghormati hak privasi;

3) Tidak menyuap;

4) Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

5) Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar,

foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan

ditampilkan secara berimbang;

6) Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam

penyajian gambar, foto, suara;

7) Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan

wartawan lain sebagai karya sendiri;

8) Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk

peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Menurut Yasak (2010:21), wartawan dituntut profesional semata-

mata bukan hanya karena idealisme yang ada pada profesi tersebut, namun

keprofesionalan itu mempengaruhi media yang mempunyai efek cukup

besar terhadap publik. Suatu profesi memerlukan semangat dan

kesungguhan terentu. Disiplin profesi mengikat setiap anggota yang telah

bergabung ke dalam lingkaran profesi tersebut, sekaligus menolak

hadirnya orang-orang yang tidak dapat memenuhi disiplin tersebut.

Masyarakat melihat wartawan sebagai alat untuk menegakkan keadilan.

Menurut Shoemaker dalam Yasak (2010:21), ada tiga pengaruh

penting atas isi media yang bersumber pada faktor personalitas wartawan.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

44

Pertama, latar belakang pendidikan. Kedua, kepercayaan dan nilai-nilai

yang dianutnya. Ketiga, orientasi profesional atau tujuan ketika seseorang

memilih pekerjaannya sebagai wartawan. Jadi, berita yang dihasilkan oleh

wartawan baik itu berita foto maupun berita tulis tidak benar-benar

obyektif. Namun subyektifitas wartawan dalam melaporkan suatu kejadian

dapat dilihat dari latar belakang pribadi wartawan tersebut.

Dalam melaksanakan tugas sebagai wartawan, penting kiranya bagi

wartawan untuk turut memperhatikan nilai-nilai lokal yang berlaku di

masyarakat sekitarnya. Menurut Popples dan Bailey dalam Samovar, L.

A., Porter, R. E. & McDaniel, E. R. (2010:30), nilai merupakan fitur lain

dari suatu budaya. Nilai merupakan kritik atas pemeliharaan secara

keseluruhan karena hal ini mewakili kualitas yang dipercayai orang yang

penting untuk kelanjutan hidup mereka. Nilai adalah standar keinginan,

kebaikan dan keindahan yang diartikan dari udaya yang berfungsi sebagai

petunjuk dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, nilai-nilai berguna

untuk menentukan bagaimana seseorang seharusnya bertingkah laku.

Sementara Ade M. Kartawinata (2011) dalam sebuah buku berjudul

“Merentas Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi dan Tantangan

Pelestarian” menulis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah

kearifan lokal sebagai sebuah konsepsi eksplisit dan implisit yang khas

milik seseorang, suatu kelompok atau masyarakat. Suatu nilai yang

diinginkan yang dapat mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-

bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan. Nilai

yang hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan dan

Universitas Sumatera Utara

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

45

materi yang dibuat manusia yang diturunkan melalui suatu aktivitas ritual

atau pendidikan. Karena itu, fungsi langsung nilai adalah untuk

mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan

fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar

yang berupa motivasional. Lebih jauh, makna dari sebuah nilai dapat

mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu,

memberi arah dan intensitas emosional terhadap tingkah laku secara terus

menerus dan berkelanjutan. Itu artinya, dengan nilai setiap pelaku

merepresentasikan tuntutan termasuk secara biologis dan keinginan-

keinginannya, selain tuntutan sosial tentunya.

Masih berkaitan dengan profesionalisme wartawan, rutinitas yang

dijalankan oleh sebuah media berhubungan dengan mekanisme dan proses

penentuan berita. Silaban (2012:322) menulis bahwa setiap media

umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita,

apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran

tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi

prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas

media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita

dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput,

bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan

siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa

penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Rutinitas media ini

mempengaruhi wujud akhir sebuah berita.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

46

Agar sebuah perusahaan/organisasi media dapat berjalan dengan

baik dan sesuai dengan aturan untuk mencapai suatu sasaran yang

diinginkan, baik sasaran jangka pendek maupun jangka panjang, maka

perlu adanya sebuah pedoman, metode, dasar atau aturan yang harus

dijalankan secara benar oleh semua bagian di organisasi/perusahaan.

Standar kinerja ini sekaligus untuk menilai organisasi/perusahaan baik

secara internal maupun eksternal. Standar internal yang bersifat prosedural

inilah yang disebut dengan Standard Operating Procedures (SOP) atau

Prosedur Operasi Standar. Menurut Jones (2001:49) dalam bukunya

Organizational Theory dinyatakan bahwa istilah SOP ini merupakan

bagian dari peraturan tertulis yang membantu untuk mengontrol perilaku

anggota organisasi. SOP mengatur cara pekerja untuk melakukan peran

keorganisasiannya secara terus-menerus dalam pelaksanaan tugas dan

tanggung jawab organisasi.

Secara umum, SOP merupakan gambaran langkah-langkah kerja

(sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam

pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai organisasi. Standard Operating

Procedure (SOP) adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas

pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja organisasi yang

bersangkutan berdasarkan indikator teknis, administrasif dan prosedural.

Tujuan SOP adalah menciptakan komitmen mengenai apa yang dikejarkan

oleh satuan unit kerja sebuah organisasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

47

2.9. Kerangka Berpikir

Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang bertugas atau bekerja

untuk mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita dan

menyajikannya secara cepat kepada khalayak luas yang dapat dilakukan

melalui media cetak atau media elektronik. Menurut Eriyanto (2002:28),

dalam melakukan tugasnya, wartawan sebetulnya bukan hanya mengambil

realitas yang sebenarnya, tapi juga membentuk berita: ia menguraikan,

mengurutkan, mengonstruksi peristiwa demi peristiwa, sumber demi

sumber, serta membentuk citra dan berita tertentu. Dalam Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan

wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan

informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta

data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media

cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Dari

keseluruhan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pers tersebut, dapat

dirangkum menjadi tiga kegiatan yang umumnya dilakukan oleh wartawan

di lapangan, yaitu kegiatan mencari berita (news hunting) yang merujuk

pada kenyataan bahwa wartawan harus mengejar (memburu) sumber berita

agar mendapatkan hasil yang diharapkan, lalu kegiatan pengumpulan berita

(news gathering), merujuk pada pekerjaan wartawan yang hanya

mengumpulkan bahan berita dari berbagai sumber yang tersedia sampai

kepada kegiatan membuat berita (news making).

Universitas Sumatera Utara

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

48

Ukuran profesionalisme wartawan terletak pada ketaatan terhadap

Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selagi berpegang teguh pada KEJ, tidak satu

pihakpun bisa menggugat hasil karya jurnalistik yang dibuat wartawan.

selain itu, wartawan secara profesi juga sudah semestinya berpegang pada

undang-undang yang secara khusus berlaku untuknya, yaitu Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Wartawan juga perlu

bergabung dengan organisasi formal terkait profesinya, seperti PWI dan

AJI, untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam profesi kewartawanan

(Ershad et al., 2012:9).

Selain ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan

Wartawan Indonesia (PWI) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999

Tentang Pers, seorang wartawan juga harus memperhatikan nilai-nilai lokal

yang berlaku pada masyarakat di sekitarnya. Hal ini dikarenakan profesi

wartawan memiliki mobilitas dan dinamika yang tinggi. Wartawan harus

aktif melakukan “personal contact” atau hubungannya dengan orang lain.

Wartawan menjalin hubungan dengan semua orang dari berbagai latar

belakang dan status sosial, khususnya narasumber yang menjadi mitra

wartawan.

Warung kopi, merupakan tempat yang sangat akrab dengan profesi

wartawan khususnya di Kota Lhokseumawe. Wartawan dari berbagai media

kerap memanfaatkan warung kopi sebagai sarana berkumpul dan berdiskusi

tentang berbagai hal, khususnya yang berhubungan dengan pekerjaan dan

kegiatan peliputan di lapangan. Warung kopi menawarkan beragam fasilitas

Universitas Sumatera Utara

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat

49

yang dapat mendukung kegiatan wartawan sekaligus sebagai tempat

berkomunikasi dan berdiskusi.

Ada begitu banyak informasi yang berkembang di warung kopi.

Beberapa diantaranya bahkan menginspirasi para wartawan untuk

mengangkatnya menjadi sebuah berita di media. Namun demikian, tidak

semua informasi yang berkembang di warung kopi bisa diangkat ke media,

kesemuanya harus melewati proses seleksi dengan melihat nilai berita (news

value) yang dimilikinya. Hanya informasi yang memiliki nilai berita yang

tinggilah yang dapat diangkat menjadi sebuah berita di media sesuai dengan

Standard Operating Procedure (SOP) yang dimiliki oleh media yang

bersangkutan. Dengan mengacu pada gambaran tersebut, maka dapat dibuat

sebuah alur kerangka berpikir pada penelitian ini sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

Warung

Kopi Wartawan Organisasi

Media

Profesi

Universitas Sumatera Utara