BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. … · 2019. 9. 5. · orang-orang lebih memilih...
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok
dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti
dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara
mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan
jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam
bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau
subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma
menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode
dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008:A-13).
Emile Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-14) melalui
karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide menjelaskan bahwa
teoritisi Fakta Sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim
fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang
menganut paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena
fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan
individu. Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan
metode interview-kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang
penganut paradigma lain. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif
teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama
kerapian antarhubungan dan keteraturannya dengan dipertahankan oleh
9 Universitas Sumatera Utara
10
konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara
fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui
kekuatan yang memaksa dalam masyarakat.
Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-16) menjelaskan
bahwa Paradigma Definisi Sosial ini mempelajari cara aktor mendefinisikan
situasi sosial mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial
ini terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Observasi adalah metode
khusus penganut paradigma definisi sosial. Ada sejumlah besar teori yang
dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: Teori Tindakan, Interaksionisme
Simbolik, Fenomenologi, Etnometodologi dan Eksistensialisme. Paradigma
definisi sosial memusatkan perhatian pada tindakan, interaksi dan konstruksi
sosial dari realitas. Realitas sosial dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat
beraneka ragam yang meliputi interaksi dan perubahan yang berlangsung
terus-menerus.
B.F. Skinner dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-15) menjelaskan
bahwa perhatian utama penganut paradigma perilaku sosial tertuju pada
hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman
(punishments) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Metode khusus
paradigma ini adalah eksperimen.
Ritzer dalam Bungin (2008:187) mengemukakan bahwa pada
umumnya teori dalam Paradigma Definisi Sosial sebenarnya berpandangan
bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti,
tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-
kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam
Universitas Sumatera Utara
11
fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial.
Tindakan manusia adalah hasil interaksinya dengan orang lain dalam
lingkungannya.
Pandangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendekatan
interpretif/konstruktivisme yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang
subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dalam hal ini, peneliti sendirilah
yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat
lebih sedikit penekanan penekanan pada objektivitas karena sifat objektif
yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa
penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh
partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West dan Turner, 2009:75)
Menurut Deddy N. Hidayat (2002), Paradigma Konstruktivisme
memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial
yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan
rinci terhadap pelaku sosial dalam situsasi (setting) keseharian yang alamiah,
agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang
bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.
Sementara Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:190) melihat
konstruktivisme sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur
pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme semacam inilah
yang oleh Berger dan Luckmann disebut sebagai konstruksi sosial.
Universitas Sumatera Utara
12
Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran
tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Ada kebenaran yang dapat
ditangkap dari pemaknaan manusia atas suatu fenomena yang tertangkap
indra. Apabila membedah interpretivisme dalam sudut pandang filsafat
berdasarkan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, dapat dipertegas
beberapa hal umum sebagai berikut. Secara ontologis, interpretivisme
menuntut pendekatan holistik, menyeluruh: mengamati objek dalam konteks
keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel
guna mendapat pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak
mekanistis melainkan humanistis. Secara epistimologis, interpretivisme
menuntut menyatunya subjek dengan objek penelitian serta subjek
pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di
lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Secara
aksiologis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial
yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008:59-61).
Penjelasan interpretif terkait dengan upaya untuk membantu
pembentukan pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk
menemukan makna dari sebuah peristiwa atau praktik dengan
menempatkannya dalam sebuah konteks sosial tertentu. Proses penjelasan
semacam ini sama dengan proses penafsiran teks atau karya sastra. Teori-teori
komunikasi dalam kelompok tradisi fenomenologis, semiotika dan
sosiokultural bisa dikategorikan menggunakan model penjelasan interpretif
ini (Sunarto, 2013:57).
Universitas Sumatera Utara
13
Martin Hammersley dalam West dan Turner (2009:75), mendukung
adanya realisme yang tidak kentara yang menyatakan bahwa peneliti
“memonitor berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian
mereka”. Pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat
bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif.
Dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam
mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai
pribadinya dan ia harus menyatakannya secara jelas kepada pembacanya,
karena niai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Peneliti-
peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan
untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih
tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang
mereka teliti.
2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu
Beberapa penelitian sejenis terdahulu juga pernah meneliti mengenai
beberapa topik yang turut menjadi kajian dalam penelitian ini, sehingga
dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan referensi bagi peneliti.
1) Penelitian yang dilakukan oleh Mark S. Rosenbaum dengan judul
“Exploring the Social Supportive Role of Third Places in Consumer’s
Lives”, Illinois University Tahun 2006 menggunakan metodologi
grounded theory. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dan
mengapa “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar menjadi bermakna
dalam kehidupan para pelanggannya. Hasil penelitian menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
14
bahwa beberapa pelanggan mendatangi kedai-kedai kopi dan bar tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga
kebutuhan mereka akan persahabatan yang dapat memberikan
dukungan secara emosional. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini lazimnya
hanya berlaku pada mereka dengan usia tua, dimana sering mengalami
kerenggangan pada hubungan mereka. Oleh karena itu, para pelanggan
bisa berpaling kepada sebuah “persahabatan komersial” mereka di
“tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar untuk memperoleh
dukungan.
Atas dasar kebutuhan dan memberikan kepuasan tersendiri, maka
“tempat ketiga” ini dapat dilihat sebagai tempat dari sisi praktis, tempat
sebagai lokasi pertemuan dan tempat sebagai rumah. Data
mengungkapkan bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut
secara rutin dapat membuat seseorang memperoleh peningkatan
kualitas pada persahabatan, dukungan emosional dan loyalitas mereka.
Gambaran ini pula yang akan dilihat oleh peneliti pada penelitian
mengenai profesi wartawan dan warung kopi, bagaimana warung kopi
dapat mendukung kebutuhan wartawan dari segi fisik maupun
emosional.
2) Penelitian oleh Sue Robinson dan Cathy Deshano dengan judul
“Citizen Journalists and Their Third Places” Tahun 2011 berusaha
mengkaji apakah orang-orang yang terlibat dalam situs berita lokal
dapat mencapai perasaan masyarakatnya terkait dengan adanya “tempat
Universitas Sumatera Utara
15
ketiga” bergaya Amerika, yakni sebuah istilah yang mengacu pada
kedai kopi, perpustakaan dan tempat-tempat pertemuan masyarakat
lainnya. Tulisan ini berpendapat bahwa beberapa orang yang disebut
sebagai “jurnalis warga” berusaha meningkatkan pemenuhan kebutuhan
mereka akan pemberdayaan informasi dan koneksi komunal lokal di
saat mereka terlibat dalam situs berita lokal dan blog online. Penelitian
ini juga turut menggali mengapa sebagian orang termotivasi meskipun
bukan bagian dari kontributor situs-situs lokal tersebut. Empat
hambatan yang ditemui adalah adanya persepsi penuh dari suatu
kelompok sosial, otoritas atas informasi, kebingungan temporal dan
ketidaknyamanan spasial antara dunia fisik dan virtual.
Penelitian Sue Robinson dan Cathy Deshano ini melihat peran para
jurnalis warga dalam pemberdayaan informasi di situs berita lokal
melalui tempat-tempat seperti warung kopi, perpustakaan dan tempat
pertemuan lain, sementara peneliti ingin melihat bukan pada jurnalis
warga, melainkan profesi wartawan pada sebuah media yang juga
mengunjungi warung-warung kopi.
3) Penelitian oleh En-Ying Lin dengan judul “Starbucks as the Third
Place: Glimpses into Taiwan’s Consumer Culture and Lifestyles” tahun
2012 menemukan bahwa kedai kopi kelas dunia, Starbucks telah
mendominasi konsumsi kopi pada masyarakat Taiwan, dimana
Starbucks telah berfungsi sebagai “tempat ketiga” dalam kehidupan
para konsumennya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
Universitas Sumatera Utara
16
mengeksplorasi faktor-faktor budaya pada konsumen serta hubungan
gaya hidup dan konsumsi. Temuan menunjukkan bahwa dalam budaya
konsumen, Starbucks telah mempengaruhi budaya percakapan dari
mulut ke mulut di warung kopi, termasuk persoalan gaya hidup dan
konsumsi kopi memiliki hubungan yang sangat signifikan. Jadi, faktor
budaya disini perlu juga didalami dalam kaitannya dengan kebiasaan
masyarakat tertentu mengunjungi warung kopi.
4) Anne P. Crick dalam sebuah penelitian di Tahun 2011 yang berjudul
“New Third Places: Opportunities and Challenges” membahas
fenomena “tempat ketiga” sebagai sebuah institusi yang menyediakan
tempat bagi interaksi sosial di luar rumah dan kantor. Studi ini
mengeksplorasi berbagai jenis “tempat ketiga” serta peluang dan
tantangan yang ditawarkannya. Penelitian ini menyoroti pertumbuhan
sebuah organisasi yang ingin mendapatkan keuntungan dari fenomena
“tempat ketiga” dengan kesempatan untuk memperoleh keuntungan
lebih lanjut, di samping juga turut menyoroti potensi “tempat ketiga”
virtual dalam meningkatkan peluang bagi brand awareness pada
penjualan produk dan jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
generasi baru lebih mementingkan faktor fleksibilitas dan kegembiraan
dibandingkan generasi lainnya. Bagi organisasi, “tempat ketiga”
menciptakan peluang untuk interaksi sosial dan membangun komunitas
dalam organisasi yang bermanfaat untuk menarik generasi yang berbeda
dalam pemilihan “tempat ketiga” mereka.
Universitas Sumatera Utara
17
Penelitian ini mengkaji hal yang sama dengan peneliti, yakni persoalan
warung kopi dalam menciptakan peluang untuk berinteraksi, namun
berbeda pada aspek kajian yang mengarah pada segi pemasaran dari
warung kopi itu sendiri, yakni pada bagaimana menciptakan brand
awareness pada generasi muda.
5) Neeti Gupta dan Keith N. Hampton dalam sebuah penelitian berjudul
“Grande Wi-Fi: Social Interaction in Wireless Coffee Shop” meneliti
perihal interaksi dan komunitas masyarakat di warung kopi. Penelitian
dilakukan di warung-warung kopi dengan fasilitas Wi-Fi gratis maupun
berbayar di wilayah Boston dan Seattle. Penelitian dilakukan mulai dari
Bulan Desember 2003 sampai dengan Bulan Maret 2004 dan
menghabiskan 120 jam untuk mengobservasi warung-warung kopi
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet digunakan oleh
para pengguna di warung-warung kopi tersebut untuk lingkaran sosial
yang lebih kecil, sebagian bahkan berdampak pada aktivitas
interpersonal dan jaringan sosial mereka. Penelitian ini juga turut
mendukung penelitian sebelumnya oleh Robert Putnam, yang
mengidentifikasikan bahwa tren sosial yang semakin maju ini turut
menambah nilai privatisme, yakni sebuah kecenderungan dimana
orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada
di ruang-ruang publik atau tempat-tempat umum.
Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa keberadaan teknologi baru
seperti internet dan Wi-Fi juga turut mempengaruhi perilaku orang-
Universitas Sumatera Utara
18
orang di ruang-ruang publik, seperti warung kopi. Fasilitas Wi-Fi yang
tersedia di warung-warung kopi turut memberikan kontribusi bagi
masyarakat, jaringan sosial dan ikatan sosial yang menghubungkan
manusia sebagai makhluk individu terhadap dukungan sosial di
sekelilingnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Ada kelompok di warung kopi yang disebut sebagai “True Mobile” dan
“Place Maker”. Kelompok “True Mobile” adalah kelompok orang-
orang yang menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan fasilitas
internet dan Wi-Fi selama berada di warung kopi, teknologi baru ini
sebagai pendukung aktivitas mereka dalam bekerja demi meningkatkan
produktivitasnya. Kelompok ini jarang sekali terlibat dalam sebuah
interaksi dengan orang lain di sekitarnya, kecuali rekan sekerja yang
duduk dengannya. Kelompok “Place Maker” adalah kelompok yang
pergi ke warung kopi untuk sekedar bersantai dan mencari hiburan di
waktu luang. Biasanya mereka pergi ke warung kopi yang sama setiap
harinya, bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka dengan orang-
orang di sekelilingnya dan menggunakan teknologi baru hanya sebagai
pengikat hubungan sosial mereka saja. Umumnya kedua kelompok ini
menghabiskan waktu 30 menit di setiap kunjungannya ke warung-
warung kopi dan sebagian dari mereka bisa menghabiskan waktu 4-5
jam dalam setiap kunjungannya.
Penelitian ini membagi para pengunjung warung kopi ke dalam dua
kategori berdasarkan intensitas penggunaan dan pemanfaatan fasilitas
Universitas Sumatera Utara
19
free Wi-Fi di warung kopi. Kategori ini nantinya dapat membantu
peneliti mendapatkan gambaran masuk ke dalam kategori manakah dari
informan dari peneliti.
6) Penelitian oleh Grant Blank dan Nicole Van Vooren yang berjudul
“Camping Out in the Coffee Shop World: A Sociological Analysis of
Coffee Shop Conventions”, American University menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi
dan wawancara. Penelitian ini meneliti tentang orang-orang yang
disebut sebagai “Campers” atau “orang-orang yang berkemah” di dunia
warung kopi. Para “Campers” ini bersosialisasi dengan pola-pola yang
diterapkan di warung kopi, mencakup beberapa kegiatan yang
bervariasi seperti: membaca buku atau surat kabar, menggunakan
komputer, bekerja dan lain sebagainya. Para “Campers” ini bisa saja
datang sendiri ke warung kopi tanpa ditemani oleh siapapun. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa terpenuhi
kebutuhan sosialnya dengan mengunjungi warung-warung kopi,
sekalipun mereka pergi sendiri dan tidak terlibat percakapan dengan
orang lain.
Penelitian ini menggambarkan pengunjung warung kopi yang disebut
sebagai “Campers” yang menikmati dunianya di warung kopi, dengan
atau tanpa teman sekalipun. Menjadi suatu hal yang menarik
mengetahui informan peneliti adalah bagian dari kategori ini atau
bukan.
Universitas Sumatera Utara
20
7) Fidagta Khoironi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Tahun 2009 dengan judul “Ekspresi Keberagaman Komunitas Warung
Kopi Blandongan di Yogyakarta” menemukan bahwa latar belakang
terciptanya komunitas warung kopi di Yogyakarta berawal dari
hadirnya warung kopi itu sendiri. Bercorak nuansa kedaerahan dan cita
rasa tradisional ternyata tidak menggeser eksistensinya di tengah-tengah
kompleksitas kehidupan budaya modern dengan produk-produk lain
seperti: Cheers Coffee Shop, Coffee Break dan Starbucks Coffee Shop.
Fanatisme pelanggan Blandongan atas dasar kesenangan dan
kenyamanan, pada akhirnya menciptakan komunitas penikmat kopi di
dalamnya. Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas mengisi
waktu luang, tempat untuk istirahat dari kepenatan. Namun kemudian
ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Komunitas lifestyle ini telah
melahirkan sebuah subkultur baru yaitu komunitas Blandongan.
Sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan modern dalam kerangka
spektrum global market (pasar global), warung kopi Blandongan
ternyata menciptakan kultur positif sekaligus negatif yang berimplikasi
terhadap persepsi dan ekspresi komunitas di dalamnya. Blandongan
memiliki banyak konsumen yang berasal dari berbagai jenis lapisan
masyarakat. Sebagai ruang publik yang cukup fenomenal, keberadaan
Blandongan menciptakan kultur pluralisme di dalam komunitas ini.
Plural terhadap keanekaragaman budaya, status sosial, stratifikasi
sosial, egalitaritas gender bahkan diferensiasi religi tidak berlaku disini,
setiap orang bebas masuk ke dalamnya. Dari sini dapat dipahami bahwa
Universitas Sumatera Utara
21
kultur Blandongan memiliki kecenderungan nilai dan norma yang
identik dengan budaya modern. Budaya yang senantiasa toleran
terhadap berbagai perbedaan yang ada. Atas dasar ini, peneliti nantinya
juga ingin melihat dalam fenomena warung kopi Aceh apakah terdapat
komunitas-komunitas serupa dan bagaimana mereka berinteraksi di
dalam komunitas tersebut.
8) Penelitian tentang “Perkembangan Warung Kopi Phoenam 1946-2006”
yang dilakukan oleh Riswan Amri, Universitas Hasanuddin
menyimpulkan bahwa Warung Kopi Phoenam kini berkembang bukan
hanya sebatas tempat menyediakan kopi, namun telah berubah wajah
dengan menjadi rumah kedua bagi para pengusaha, pejabat pemerintah,
aktivis, politisi dan lain sebagainya, dikarenakan menikmati kopi di
Warung Kopi Phoenam mewakili banyak aktivitas mulai dari negosiasi
bisnis, tukar pikiran dalam pekerjaan, reuni dengan teman lama, sampai
dengan berbincang-bincang formal (rapat) dan sebagainya. Pengelola
Warung Kopi Phoenam telah menyediakan fasilitas ruang terbuka dan
ruang tertutup yang terbilang eksklusif (VIP).
Warung Kopi Phoenam juga telah bekerjasama dengan Radio Mercerius
FM, yang menjadi mediator dalam acara talkshow di Warung Kopi
Phoenam. Pembicaraan publik yang dahulunya banyak berlandaskan
pada budaya politik tradisional kini telah tergantikan oleh diskusi-
diskusi ala Warung Kopi Phoenam yang berdasarkan pada mediasi
media massa dan representasi tokoh-tokoh publik.
Universitas Sumatera Utara
22
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nantinya peneliti ingin menggali
lebih dalam pada penelitian mengenai wartawan dan warung kopi ini
untuk melihat keunikan apa yang dimiliki oleh warung kopi Aceh yang
tidak dimiliki oleh warung kopi lainnya serta meneliti apakah ada
bentuk kerjasama yang dilakukan dengan media lokal (Cth: radio) dan
mengadakan acara talkshow live di warung kopi dengan mengangkat
topik-topik tertentu, sehingga terbuka ruang untuk berdiskusi dengan
pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya.
9) Beberapa penelitian berikutnya yang menggunakan pendekatan
fenomenologi dengan perspektif Teori Konstruksi Sosial Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann yaitu penelitian yang dilakukan oleh
Faya Praditya Ridwan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Padjadjaran, yang berjudul “Konstruksi Makna Citizen Journalism
Oleh Member Program Wide Shot Metro TV dengan sub bab Studi
Fenomenologi Mengenai Konstruksi Makna Citizen Journalism Oleh
Member Program Wide Shot Metro TV di Bandung”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui motif member bergabung menjadi citizen
journalist Wide Shot, pemaknaan member Wide Shot mengenai citizen
journalism dan pengalaman komunikasi member selama menjadi citizen
journalist Wide Shot. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan dengan
perspektif teori fenomenologi Schutz serta Teori Konstruksi Sosial atas
realita Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teknik penelitian yang
Universitas Sumatera Utara
23
digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi, wawancara
mendalam, analisis dokumen dan studi pustaka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi makna citizen
journalism oleh member program Wide Shot Metro TV diperoleh dari
pengalaman dan pengetahuan baik sebelum maupun setelah bergabung
dengan Wide Shot. Para member Wide Shot membangun makna citizen
journalism berdasarkan motif, pemaknaan dan pengalaman mereka
selama menjadi citizen journalist. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
(1) Motif yang dimiliki terdiri atas motif masa lalu (motif-karena) dan
motif masa depan (motif-untuk) (2) Pemaknaan member mengenai
citizen journalism yaitu peduli terhadap perkembangan negara,
kepedulian terhadap sesama manusia dan bentuk eksistensi diri (3)
Pengalaman member selama menjadi citizen journalist terdapat tiga
bagian, yaitu pengalaman komunikasi antara member citizen journalist
dengan narasumber, pengalaman suka dan pengalaman duka.
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa setiap informan
memiliki ke dua jenis motif yang disebutkan oleh Alfred Schutz yaitu
“because motive” dan “in order motive” dengan porsi yang berbeda-
beda. Berdasarkan hasil kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat
“because motive” dan “in order motive” dari profesi wartawan sebagai
pengunjung warung kopi.
10) Penelitian Reza Pahlevy, Atwar Bajari dan Agus Setiaman, yang
berjudul “Konstruksi Makna Tato pada Anggota Komunitas Paguyuban
Universitas Sumatera Utara
24
Tattoo Bandung”, Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu
Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Bandung Tahun 2012
menuangkan analisis konstruksi makna dan realitas sosial tato pada
anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung ke dalam model
konstruksi makna. Peneliti menggunakan konsep fenomenologi
transedental Husserl untuk melakukan analisis terhadap pembentukan
makna secara mental pada ranah individu. Peneliti menggunakan
fenomenologi Alfred Schutz untuk melakukan analisis terhadap faktor-
faktor yang melatarbelakangi ketertarikan terhadap tato. Sedangkan
untuk proses konstruksi makna dan realitas tato secara sosial, peneliti
menggunakan konsep Berger dan Luckmann tentang konstruksi realitas
secara sosial.
Kesimpulan dari penelitian ini menjelaskan bahwa realitas makna tato
menurut pandangan anggota Komunitas Paguyuban Tattoo Bandung,
yaitu sebagai identitas, karya seni dan bisnis. Makna tato Sebagai
identitas menunjukkan identitas mereka sebagai pencinta dan
penggemar tato. Makna tato sebagai seni meliputi hobi, ekspresi,
kreativitas dan gaya hidup. Sedangkan makna tato sebagai bisnis yaitu
sumber penghasilan. Adapun faktor yang melatarbelakangi ketertarikan
anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung terhadap tato terbentuk
dalam dua lingkup, yakni ranah individu dan ranah komunitas. Dalam
ranah individu, ketertarikan mereka terhadap tato dilatarbelakangi oleh
empat faktor, yaitu motivasi internal, motivasi eksternal, keterampilan
dan tujuan. Sedangkan dalam ranah komunitas dilatarbelakangi oleh
Universitas Sumatera Utara
25
tiga faktor, yaitu orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi
masa depan.
Makna tato mengalami pergeseran dari dulu hingga saat ini, mulai dari
kebudayaan tradisional, budaya populer, budaya tandingan, hingga
konsumsi dan komersialisme. Di Indonesia tato sempat mendapat
tanggapan yang negatif pada tahun 1980-an, namun saat ini penggunaan
tato lebih kepada trend perkembangan fashion dan gaya hidup
seseorang. Melalui kajian terdahulu ini peneliti ingin melihat proses
pergeseran makna warung kopi melalui orientasi terdahulu, orientasi
sekarang dan orientasi masa depan.
11) Penelitian Citra Abadi yang berjudul “Konstruksi Makna Sosialita Bagi
Kalangan Sosialita di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Tentang
Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita Di Kota
Bandung)”, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, Tahun 2013.
Dalam kerangka ini, sosialita merupakan fenomena yang menjadi
sebuah realitas. Kalangan sosialita tersebut memiliki makna tentang
sosialita sesuai dengan pemahaman masing-masing. Untuk mengetahui
makna tersebut, akan dilihat dari berbagai sub fokus pembahasan, mulai
dari nilai sosial yang ada di lingkungan sosial mereka, motif menjadi
sosialita, pesan artifaktual yang digunakan sebagai wujud pemaknaan
sosialita dan pengalaman yang telah dilakukan sebagai seorang
sosialita. Berdasarkan kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat lebih
Universitas Sumatera Utara
26
jauh tentang profesi wartawan dan keberadaannya di warung-warung
kopi berdasarkan nilai sosial yang ada di lingkungannya, motif menjadi
wartawan dan pengalamannya selama berada di warung kopi.
2.3. Teori Interaksionisme Simbolik
Pendekatan Interaksionisme Simbolik oleh George Herbert Mead dan
Herbert Blumer berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh
penafsiran. Objek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya
sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Penafsiran
bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia
atau bukan. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang
dalam situasi tertentu sering mengembangkan definisi bersama (atau
perspektif bersama dalam bahasa interaksi simbolik) karena mereka secara
teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah dan latar
belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan (Moleong,
2006:20).
Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu
adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain. Afdjani dan Soemirat (2010:59)
menyebutkan bahwa:
“Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi
dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-
tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang
digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan
sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal),
perilaku nonverbal dan objek yang disepakati bersama.”
Universitas Sumatera Utara
27
Sunarto (2013:54) melalui tulisannya menyatakan bahwa aspek
ontologis Ilmu Komunikasi tidak hanya tanda atau simbol saja, tapi juga
makna yang muncul dalam proses transaksi diantara para partisipan
pengguna simbol tesebut untuk memuaskan tujuan-tujuan mereka.
Interaksionisme Simbolik, berfokus pada cara-cara manusia membentuk
makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan. Barbara Ballis
Lal dalam Littlejohn dan Foss (2011:231) meringkaskan dasar-dasar
pemikiran gerakan ini:
a. Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan
pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka
menemukan diri mereka.
b. Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada
susunan, sehingga terus berubah.
c. Manusia memahami pengalaman mereka melalui makna-makna
yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama
mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan
sosial.
d. Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan
makna yang ditentukan secara sosial.
e. Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, dimana
objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang
dipertimbangkan dan diartikan.
f. Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan
layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial
dengan orang lain.
Masyarakat (society) atau kehidupan kelompok, terdiri atas perilaku-
perilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerjasama manusia mengharuskan
kita untuk memahami maksud orang lain yang juga mengharuskan kita
mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi, kerjasama terdiri
dari “membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya
dengan cara yang tepat (Littlejohn dan Foss, 2011:233). Teori Interaksi
Simbolik ini memiliki pengaruh yang sangat penting dalam tradisi
Universitas Sumatera Utara
28
sosiokultural karena teori ini berangkat dari ide bahwa struktur sosial dan
makna diciptakan dan dipelihara dalam interaksi sosial (Morissan dan
Wardhany, 2009:39).
Bagian lainnya yang penting dari Teori Interaksionisme Simbolik ialah
konstrak atau definisi tentang diri. Diri tidak dilihat sebagai yang berada
dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan yang teratur, motivasi dan
norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang
(melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam
mengkonstrak atau mendefinisikan “aku”, manusia mencoba melihat dirinya
sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat
yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan menempatkan dirinya dalam
peranan orang lain. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil
persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi
melalui proses interaksi tersebut (Moleong, 2006:22).
2.4. Fenomenologi
Tradisi fenomenologis menekankan pada proses interpretasi, tetapi
dalam cara yang sangat berbeda daripada yang dilakukan oleh Osgood. Teori
Osgood-yang jelas-jelas didasarkan pada tradisi sosiopsikologis-melihat
interpretasi sebagai sebuah proses intuitif, tidak sadar, kognitif dan
berhubungan dengan perilaku. Sebaliknya, teori-teori fenomenologis melihat
interpretasi sebagai sebuah proses pemahaman yang sadar dan hati-hati.
Fenomenologi secara harfiah berarti penelitian tentang pengalaman sadar,
dimana interpretasi mengambil peranan yang penting (Littlejohn dan Foss,
2011:192).
Universitas Sumatera Utara
29
Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data
utama dalam memahami realitas. Apa yang diketahui seseorang adalah apa
yang dialaminya. Stanley Deetz dalam Littlejohn dan Foss (2011:57),
mengemukakan tiga prinsip dasar fenomenologi sebagai berikut:
1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari
pengalaman, namun ditemukan secara langsung dari pengalaman
sadar.
2. Makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu itu pada hidup
seseorang. Dengan kata lain, bagaimana Anda memandang suatu
objek, bergantung pada makna objek itu bagi Anda.
3. Bahasa adalah “kendaraan makna” (vehicle meaning). Kita
mendapatkan pengalaman melalui bahasa yang digunakan untuk
mendefinisikan dan menjelaskan dunia kita.
Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral
dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari
suatu pengalaman. Menurut pemikiran fenomenologi, orang yang
melakukan interpretasi (interpreter) mengalami suatu peristiwa atau situasi
dan ia akan memberikan makna kepada setiap peristiwa atau situasi yang
dialaminya. Dengan demikian, interpretasi akan terus berubah, bolak-balik,
sepanjang hidup antara pengalaman dengan makna yang diberikan kepada
setiap pengalaman baru (Morissan dan Wardhany, 2009:31-32). Jadi, dalam
pandangan fenomenologi sesuatu yang tampak itu pasti bermakna menurut
subjek yang menampakkan fenomena itu, karena setiap fenomena berasal
dari kesadaran manusia sehingga sebuah fenomena pasti ada maknanya
(Bungin, 2007: 3).
Dalam pandangan fenomenologist, peneliti berusaha memahami arti
peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-
situasi tertentu. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam
Universitas Sumatera Utara
30
merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang
diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subyektif
dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia
konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka
mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh
mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong,
2006:17).
Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia
pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi
dengan orang lain dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang
membentuk kenyataan. Untuk paham fenomenologi sebagaimana
diungkapkan Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu
sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan
untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakikat
gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan
bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi
antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak
menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran
(Ikbar, 2012:65-66).
Tradisi fenomenologis memandang bahwa peran kepribadian dalam
perilaku paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung
orang, yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memperhatikan dan
memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka. Oleh sebab itu,
tradisi fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunia
Universitas Sumatera Utara
31
secara subjektif, sensasi, perasaan dan fantasi yang terlibat adalah titik tolak
untuk meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai subjek
(Surip, 2011:12).
Tim Fakultas Ilmu Sosial Ilmu dan Ilmu Politik Universitas
Diponegoro dalam Pramestaningtyas (2013:7) menulis bahwa fenomenologi
mendeskripsikan pengalaman yang diperoleh secara langsung dan
memahami perilaku sebagai sesuatu yang dipengaruhi fenomena
pengalaman daripada realitas obyektif yang berasal dari luar diri individu.
Teori Fenomenologi dari Alfred Schutz mengemukakan bahwa orang secara
aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberi tanda dan arti
tentang apa yang mereka lihat. Interpretasi merupakan proses aktif dalam
menandai dan mengartikan tentang sesuatu yang diamati, seperti bacaan,
tindakan atau situasi bahkan pengalaman apapun. Lebih lanjut, Schutz
menjelaskan pengalaman indrawi sebenarnya tidak punya arti. Semua itu
hanya ada begitu saja; obyek-obyeklah yang bermakna. Semua itu memiliki
kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian-bagian, yang berbeda-beda dan
individu-individu itu memberi tanda tertentu mengenai sesuatu.
Menurut Schutz, fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan yang
datang dari kesadaran atau cara kita memahami sebuah obyek atau peristiwa
melalui pengalaman sadar tentang obyek atau peristiwa tersebut. Sebuah
fenomena adalah penampilan sebuah obyek, peristiwa atau kondisi dalam
persepsi seseorang, jadi bersifat subjektif. Bagi Schutz dan pemahaman
kaum fenomenologis, tugas utama analisis fenomenologis adalah
merekonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang
Universitas Sumatera Utara
32
mereka sendiri alami. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam
arti bahwa sebagai anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai
dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan
mereka melakukan interaksi atau komunikasi (Mulyana, 2008:63).
2.5. Teori Konstruksi Sosial
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality),
menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of
Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”. Ia menggambarkan
proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami
bersama secara subjektif (Bungin, 2008:189).
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger
dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah
melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer
dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat
transisi modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an dimana media massa
belum menjadi sebuah fenomena yang menarik dibicarakan. Dengan
demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann
tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang
berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas (Bungin, 2008:175).
Di dalam penjelasan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia
yang bebas melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain.
Universitas Sumatera Utara
33
Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan
kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media
produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia
sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002:194).
Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu
memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara
subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara
obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan mengkonstruksinya
dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas
individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:12).
Berger dan Luckmann dalam Yuningsih (2006:62) mengatakan bahwa
dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga
momen dialektis yang simultan (eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi)
serta masalah yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang dinamakan
kenyataan sosial itu adalah suatu konstruksi sosial produk masyarakat sendiri
(social construction of reality) dalam perjalanan sejarahnya di masa lampau,
ke masa kini dan menuju masa depan.
Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:193) menjelaskan bahwa
tugas pokok Sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri
(self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses
dengan tiga momen simultan, (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan
dunia sosiokultural sebagai produk manusia; (2) objektivasi, yaitu interaksi
sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau
Universitas Sumatera Utara
34
mengalami proses institusionalisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses
yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga
sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.
Dunia pengalaman individual tidak dipisahkan dari dunia sosial
sebagaimana diutarakan oleh Berger dan Luckmann dalam Ngangi (2011:3).
Selanjutnya dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi
ilmu pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses itu terjadi. Keduanya
mengakui adanya realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas
yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemauan kita
(sebab sesungguhnya fenomena tersebut tidak dapat dihindarkan).
Baran dan Davis (2010:383) menyebutkan bahwa konstruksi sosial
merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan
sosial. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi
dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan
realitas tersebut secara objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori
yang mengasumsikan sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena
orang-orang berbagi sebuah pemahaman mengenai realitas.
2.6. Komunikasi Antar Pribadi
Komunikasi memainkan peran penting dalam kehidupan manusia.
Hampir setiap saat kita bertindak dan belajar dengan dan melalui komunikasi.
Dikarenakan manusia bisa menciptakan simbol-simbol, maka ia juga mampu
mengkomunikasikan suatu niat, makna, keinginan atau maksud yang
kompleks dan karena itu pula manusia bisa mengubah bentuk kehidupan
sosialnya. Dengan demikian, komunikasi merupakan pendorong proses sosial,
Universitas Sumatera Utara
35
yang ditentukan oleh akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan.
Tanpa komunikasi, manusia akan tetap pada pola primitif tanpa organisasi
sosial (Rivers et al., 2003:33).
Sebagian besar kegiatan komunikasi berlangsung dalam situasi
komunikasi antar pribadi (komunikasi interpersonal). Komunikasi antar
pribadi mempunyai berbagai macam manfaat. Melalui komunikasi antar
pribadi kita dapat mengenal diri kita sendiri dan orang lain, kita dapat
mengetahui dunia luar, bisa menjalin hubungan yang lebih bermakna, bisa
memperoleh hiburan dan menghibur orang lain dan sebagainya. Menurut
Abadi (1996:4) Komunikasi interpersonal dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu (1) komunikasi tatap muka (face to face communication) antar
pribadi dan (2) komunikasi tatap muka forum (assabled). Komunikasi tatap
muka antar pribadi melibatkan sekurang-kurangnya dua orang, sedangkan
komunikasi tatap muka forum melibatkan banyak orang yang berhimpun di
suatu tempat.
Devito (2011:258) menjelaskan efektivitas komunikasi interpersonal
dalam lima kualitas umum yang dipertimbangkan, yaitu:
1) Keterbukaan (openness), ialah sikap dapat menerima masukan dari orang
lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain.
Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan
semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain
menginginkan informasi yang diketahuinya. Dengan kata lain,
keterbukaan ialah kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan
informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan
informasi ini tidak bertentangan dengan asas kepatutan.
2) Empati (empathy), ialah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau
seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang
dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain,
melalui kacamata orang lain.
Universitas Sumatera Utara
36
3) Sikap mendukung (supportiveness), artinya masing-masing pihak yang
berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya
interaksi secara terbuka.
4) Sikap positif (positiveness), ditunjukkan dalam bentuk sikap dan
perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak
yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan
dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Dalam bentuk perilaku,
artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan
komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata melakukan aktivitas untuk
terjalinnya kerjasama.
5) Kesetaraan (equality), ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak
memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan
berharga dan saling memerlukan. Memang secara alamiah ketika dua
orang berkomunikasi secara interpersonal, tidak pernah tercapai suatu
situasi yang menunjukkan kesetraan atau kesamaan secara utuh diantara
keduanya. Kesetaraan yang dimaksud disini adalah berupa pengakuan
atau kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara (tidak ada
yang superior atau inferior) dengan partner komunikasi.
Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antar-perorangan dan
bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun
tidak langsung (melalui medium). Contohnya kegiatan percakapan tatap
muka, percakapan melalui telepon, surat-menyurat pribadi fokus
pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat-sifat hubungan (relationship),
percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik komunikator (Bungin,
2008:32).
Richard L. Weaver dalam Budyatna dan Ganiem (2012:15),
menyebutkan bahwa karakteristik komunikasi antar pribadi, yaitu:
1) Melibatkan paling sedikit dua orang.
2) Adanya umpan balik atau feedback.
3) Tidak harus tatap muka.
4) Tidak harus bertujuan.
5) Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect.
6) Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata.
7) Dipengaruhi oleh konteks.
Universitas Sumatera Utara
37
Hardjana (2003:90) dalam buku Komunikasi Intrapersonal &
Interpersonal menulis bahwa komunikasi interpersonal dengan masing-
masing orang berbeda tingkat kedalaman komunikasinya, tingkat intensif dan
tingkat ekstensifnya. Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang
dinamis.
Fajar (2008:78) menyebutkan bahwa komunikasi antar pribadi dapat
digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai berikut:
1) Mengenal Diri Sendiri dan Orang Lain
2) Mengetahui Dunia Luar
3) Menciptakan dan Memelihara Hubungan Menjadi Bermakna
4) Mengubah Sikap dan Perilaku
5) Bermain dan Mencari Hiburan
Komunikasi merupakan pendorong proses sosial, yang ditentukan oleh
akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan. John Dewey dalam
Rivers et al. (2003:33), mengatakan bahwa masyarakat manusia bertahan
berkat adanya komunikasi. Dengan komunikasi, manusia melakukan berbagai
penyesuaian diri yang diperlukan dan memenuhi berbagai kebutuhan dan
tuntutan yang ada sehingga masyarakat manusia tidak tercerai-berai. Melalui
komunikasi pula manusia mempertahankan institusi-institusi sosial berikut
segenap nilai dan norma perilaku, tidak hanya dari hari ke hari, namun juga
dari generasi ke generasi.
2.7. Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak Dilihat dari
Paradigma Kontruksionis
Paradigma konstruksionis mempunyai penilaian sendiri dalam melihat
fakta/peristiwa, media massa, wartawan dan berita.
Universitas Sumatera Utara
38
2.7.1. Fakta/peristiwa dalam pandangan paradigma konstruksionis
Dalam paradigma konstruksionis, realitas itu besifat subjektif dan
tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat
konstruksi dan pandangan tertentu dari wartawan. Realitas bisa berbeda-
beda, tergantung bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh
wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Menurut James W. Carey
dalam Eriyanto (2002:22), realitas bukanlah sesuatu yang diberi begitu
saja, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Hal yang utama
dalam pandangan konstruktivisme adalah fakta itu sendiri bukan sesuatu
yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut.
Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai
kenyataan. Kita secara aktif mendefinisikan dan memaknai peristiwa/fakta
tersebut sebagi sesuatu. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan
secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan
bagaimana fakta tersebut dikonstruksi.
2.7.2. Media massa dalam pandangan paradigma konstruksionis
Selama ini kita mengetahui bahwa media massa adalah sebuah
saluran, sebuah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke
komunikan (khalayak). Media massa adalah saluran untuk
menggambarkan realitas/peristiwa. Tetapi dalam pandangan
konstruksionis, media massa bukanlah sekedar saluran untuk
menggambarkan realitas. Menurut Eriyanto, media massa juga merupakan
Universitas Sumatera Utara
39
subjek yang mengonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias
dan pemihakannya.
Berita yang disajikan selain menggambarkan realitas dan menunjukan
pendapat sumber berita, juga menggambarkan konstruksi realitas dari
media itu sendiri. Media massa memilih realitas mana yang diambil dan
mana yang tidak diambil. Selain itu, secara sadar atau tidak sadar, media
massa juga memilih aktor yang dijadikan sumber berita, sehingga hanya
sebagian saja dari sumber berita yang tampil dalam pemberitaan. Media
massa juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa lewat
bahasa yang digunakan dalam pemberitaan. Media massa dapat
membingkai suatu peristiwa dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya
menentukan bagaimana cara khalayak harus melihat dan memahami
peristiwa dalam kaca mata tertentu.
Eriyanto (2002:24) menyebutkan bahwa pekerjaan media massa pada
dasarnya adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan
realitas. Peran media dalam membentuk realitas bisa dilihat dalam tiga
tingkatan, yaitu:
1) Media massa membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu.
2) Media massa memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan
aktor yang terlibat dalam berita.
3) Media massa juga menentukan apakah peristiwa ditempatkan sebagai
hal yang penting atau tidak.
2.7.3. Berita dalam pandangan paradigma konstruksionis
Fakta merupakan hasil konstruksi dan media massa sebagai agen
konstruksi, begitu juga berita dalam pandangan konstruksionis juga dilihat
sebagai hasil konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi
Universitas Sumatera Utara
40
dan nilai-nilai wartawan atau media. Menurut Eriyanto (2002:25),
bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana
fakta dipahami dan dimaknai oleh media atau wartawan.
Dalam pembentukan dan penulisan berita, secara sadar atau tidak
sadar akan melibatkan nilai-nilai tertentu yang dimiliki wartawan atau
media, sehingga mustahil berita merupakan pencerminan realitas. Realitas
yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena adanya cara
pandang yang berbeda. Oleh karena itu, berita bersifat subjektif karena
saat melihat realitas wartawan atau media melihat dengan perspektif dan
pertimbangan subjektif. Hal ini dapat dilihat dari contoh sederhana, yakni
bagaimana seorang tokoh lebih ditonjolkan pendapatnya dan mendapat
ruang yang lebih besar dalam sebuah berita dibandingkan tokoh lainnya.
Namun dalam pandangan konstruksionis, perbedaan antara realitas yang
sesungguhnya dengan berita tidak dianggap kesalahan, tetapi suatu
kewajaran karena berita adalah produk jurnalistik bukan representasi dari
realitas. Sebuah berita yang hadir di tengah-tengah khalayak pun tidak
serta-merta jadi, tetapi telah melalui proses seleksi agar memenuhi kriteria
kualifikasi yang berlaku dalam sebuah media tertentu.
2.7.4. Wartawan dalam pandangan paradigma konstruksionis
Paradigma konstruksionis memandang wartawan sebagai
agen/aktor konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta,
memberitakan atau mentransfer apa yang dilihatnya di lapangan,
melainkan wartawan juga mendefinisikan peristiwa dan secara aktif
membentuknya. Setiap berita yang disajikan dalam sebuah surat kabar
Universitas Sumatera Utara
41
tidak terlepas dari peran serta dari jurnalis yang melakukan proses
pengumpulan berita. Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang
bertugas atau bekerja untuk mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah
berita dan menyajikannya secara cepat kepada khalayak luas yang dapat
dilakukan melalui media cetak atau media elektronik.
Menurut Eriyanto (2002:28), dalam melakukan tugasnya,
wartawan sebetulnya bukan hanya mengambil realitas yang sebenarnya,
tapi juga membentuk berita: ia menguraikan, mengurutkan, mengonstruksi
peristiwa demi peristiwa, sumber demi sumber, serta membentuk citra dan
berita tertentu. Saat meliput satu peristiwa dan menuliskannya, ia secara
sengaja atau tidak menggunakan dimensi perseptualnya. Dengan begitu
realitas yang berserakan dipahami dan ditulis dengan melibatkan konsepsi
yang mau tidak mau sulit dilepaskan dari unsur subjektivitas. Apa yang
kemudian tersaji dan muncul sebagai berita, pada dasarnya adalah hasil
olahan dan konstruksi wartawan. Sebagai konsekuensinya, realitas yang
dihasilkan bersifat subjektif.
Dengan kata lain, dalam proses kerjanya wartawan sering kali
bukan melihat lalu menyimpulkan suatu peristiwa dan menulisnya, tetapi
justru menyimpulkan terlebih dahulu kemudian melihat fakta yang ingin
dikumpulkan. Dalam proses ini wartawan tidak bisa menghilangkan faktor
subjektivitasnya, misalnya dengan memilih fakta tertentu dan membuang
fakta yang lainnya. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral
dan keberpihakannya karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam
pembentukan berita. Lagi pula berita yang disajikan bukan merupakan
Universitas Sumatera Utara
42
produk individual wartawan, melainkan juga merupakan bagian dari
proses organisasi dan interaksi antara wartawannya.
Dalam pandangan paradigma konstruktivisme, fenomena “realitas”
adalah penciptaan kognitif manusia. Dengan demikian, pemikiran
konstruktivisme sangat meragukan kemampuan jurnalis untuk
“mencerminkan” realitas murni di lapangan seperti apa adanya. Sebab,
berita yang disajikan wartawan adalah salah satu versi dari realitas di
lapangan (Hanitzsch, 2001).
2.8. Profesionalisme Wartawan
Profesi (profession) adalah penghargaan atas karya etika profesi
berarti suatu cabang ilmu yang secara sistematis merefleksikan moral yang
melekat pada suatu profesi. Etika profesi juga dipahami sebagai nilai-nilai
dan asas moral yang melekat pada pelaksanaan fungsi profesional tertentu
dan wajib dilaksanakan oleh pemegang profesi itu (Masduki, 2004:35). Di
Indonesia, wartawan adalah sebuah profesi dan menjadi wartawan adalah
pilihan profesional. Bagaimana wartawan mendefinisikan pekerjaannya
akan mempengaruhi isi media yang ia produksi.
Ukuran profesionalisme wartawan terletak pada ketaatan terhadap
Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selagi berpegang teguh pada KEJ, tidak satu
pihakpun bisa menggugat hasil karya jurnalistik yang dibuat wartawan.
selain itu, wartawan secara profesi juga sudah semestinya berpegang pada
undang-undang yang secara khusus berlaku untuknya, yaitu Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Wartawan juga perlu
bergabung dengan organisasi formal terkait profesinya, seperti PWI dan
Universitas Sumatera Utara
43
AJI, untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam profesi kewartawanan
(Ershad, Srimulyani, H., Supriadi, D., 2012:9).
Dalam Undang-Undang Pers No. 40/1999 Bab I pasal 1 Ayat (1)
tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) beserta penjelasannya, Wartawan Indonesia menempuh
cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Ada
delapan atribut professional wartawan, diantaranya:
1) Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
2) Menghormati hak privasi;
3) Tidak menyuap;
4) Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
5) Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar,
foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan
ditampilkan secara berimbang;
6) Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam
penyajian gambar, foto, suara;
7) Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan
wartawan lain sebagai karya sendiri;
8) Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk
peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Menurut Yasak (2010:21), wartawan dituntut profesional semata-
mata bukan hanya karena idealisme yang ada pada profesi tersebut, namun
keprofesionalan itu mempengaruhi media yang mempunyai efek cukup
besar terhadap publik. Suatu profesi memerlukan semangat dan
kesungguhan terentu. Disiplin profesi mengikat setiap anggota yang telah
bergabung ke dalam lingkaran profesi tersebut, sekaligus menolak
hadirnya orang-orang yang tidak dapat memenuhi disiplin tersebut.
Masyarakat melihat wartawan sebagai alat untuk menegakkan keadilan.
Menurut Shoemaker dalam Yasak (2010:21), ada tiga pengaruh
penting atas isi media yang bersumber pada faktor personalitas wartawan.
Universitas Sumatera Utara
44
Pertama, latar belakang pendidikan. Kedua, kepercayaan dan nilai-nilai
yang dianutnya. Ketiga, orientasi profesional atau tujuan ketika seseorang
memilih pekerjaannya sebagai wartawan. Jadi, berita yang dihasilkan oleh
wartawan baik itu berita foto maupun berita tulis tidak benar-benar
obyektif. Namun subyektifitas wartawan dalam melaporkan suatu kejadian
dapat dilihat dari latar belakang pribadi wartawan tersebut.
Dalam melaksanakan tugas sebagai wartawan, penting kiranya bagi
wartawan untuk turut memperhatikan nilai-nilai lokal yang berlaku di
masyarakat sekitarnya. Menurut Popples dan Bailey dalam Samovar, L.
A., Porter, R. E. & McDaniel, E. R. (2010:30), nilai merupakan fitur lain
dari suatu budaya. Nilai merupakan kritik atas pemeliharaan secara
keseluruhan karena hal ini mewakili kualitas yang dipercayai orang yang
penting untuk kelanjutan hidup mereka. Nilai adalah standar keinginan,
kebaikan dan keindahan yang diartikan dari udaya yang berfungsi sebagai
petunjuk dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, nilai-nilai berguna
untuk menentukan bagaimana seseorang seharusnya bertingkah laku.
Sementara Ade M. Kartawinata (2011) dalam sebuah buku berjudul
“Merentas Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi dan Tantangan
Pelestarian” menulis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah
kearifan lokal sebagai sebuah konsepsi eksplisit dan implisit yang khas
milik seseorang, suatu kelompok atau masyarakat. Suatu nilai yang
diinginkan yang dapat mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-
bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan. Nilai
yang hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan dan
Universitas Sumatera Utara
45
materi yang dibuat manusia yang diturunkan melalui suatu aktivitas ritual
atau pendidikan. Karena itu, fungsi langsung nilai adalah untuk
mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan
fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar
yang berupa motivasional. Lebih jauh, makna dari sebuah nilai dapat
mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu,
memberi arah dan intensitas emosional terhadap tingkah laku secara terus
menerus dan berkelanjutan. Itu artinya, dengan nilai setiap pelaku
merepresentasikan tuntutan termasuk secara biologis dan keinginan-
keinginannya, selain tuntutan sosial tentunya.
Masih berkaitan dengan profesionalisme wartawan, rutinitas yang
dijalankan oleh sebuah media berhubungan dengan mekanisme dan proses
penentuan berita. Silaban (2012:322) menulis bahwa setiap media
umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita,
apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran
tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi
prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas
media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita
dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput,
bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan
siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa
penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Rutinitas media ini
mempengaruhi wujud akhir sebuah berita.
Universitas Sumatera Utara
46
Agar sebuah perusahaan/organisasi media dapat berjalan dengan
baik dan sesuai dengan aturan untuk mencapai suatu sasaran yang
diinginkan, baik sasaran jangka pendek maupun jangka panjang, maka
perlu adanya sebuah pedoman, metode, dasar atau aturan yang harus
dijalankan secara benar oleh semua bagian di organisasi/perusahaan.
Standar kinerja ini sekaligus untuk menilai organisasi/perusahaan baik
secara internal maupun eksternal. Standar internal yang bersifat prosedural
inilah yang disebut dengan Standard Operating Procedures (SOP) atau
Prosedur Operasi Standar. Menurut Jones (2001:49) dalam bukunya
Organizational Theory dinyatakan bahwa istilah SOP ini merupakan
bagian dari peraturan tertulis yang membantu untuk mengontrol perilaku
anggota organisasi. SOP mengatur cara pekerja untuk melakukan peran
keorganisasiannya secara terus-menerus dalam pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab organisasi.
Secara umum, SOP merupakan gambaran langkah-langkah kerja
(sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam
pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai organisasi. Standard Operating
Procedure (SOP) adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas
pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja organisasi yang
bersangkutan berdasarkan indikator teknis, administrasif dan prosedural.
Tujuan SOP adalah menciptakan komitmen mengenai apa yang dikejarkan
oleh satuan unit kerja sebuah organisasi.
Universitas Sumatera Utara
47
2.9. Kerangka Berpikir
Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang bertugas atau bekerja
untuk mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita dan
menyajikannya secara cepat kepada khalayak luas yang dapat dilakukan
melalui media cetak atau media elektronik. Menurut Eriyanto (2002:28),
dalam melakukan tugasnya, wartawan sebetulnya bukan hanya mengambil
realitas yang sebenarnya, tapi juga membentuk berita: ia menguraikan,
mengurutkan, mengonstruksi peristiwa demi peristiwa, sumber demi
sumber, serta membentuk citra dan berita tertentu. Dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan
wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media
cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Dari
keseluruhan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pers tersebut, dapat
dirangkum menjadi tiga kegiatan yang umumnya dilakukan oleh wartawan
di lapangan, yaitu kegiatan mencari berita (news hunting) yang merujuk
pada kenyataan bahwa wartawan harus mengejar (memburu) sumber berita
agar mendapatkan hasil yang diharapkan, lalu kegiatan pengumpulan berita
(news gathering), merujuk pada pekerjaan wartawan yang hanya
mengumpulkan bahan berita dari berbagai sumber yang tersedia sampai
kepada kegiatan membuat berita (news making).
Universitas Sumatera Utara
48
Ukuran profesionalisme wartawan terletak pada ketaatan terhadap
Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selagi berpegang teguh pada KEJ, tidak satu
pihakpun bisa menggugat hasil karya jurnalistik yang dibuat wartawan.
selain itu, wartawan secara profesi juga sudah semestinya berpegang pada
undang-undang yang secara khusus berlaku untuknya, yaitu Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Wartawan juga perlu
bergabung dengan organisasi formal terkait profesinya, seperti PWI dan
AJI, untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam profesi kewartawanan
(Ershad et al., 2012:9).
Selain ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
Tentang Pers, seorang wartawan juga harus memperhatikan nilai-nilai lokal
yang berlaku pada masyarakat di sekitarnya. Hal ini dikarenakan profesi
wartawan memiliki mobilitas dan dinamika yang tinggi. Wartawan harus
aktif melakukan “personal contact” atau hubungannya dengan orang lain.
Wartawan menjalin hubungan dengan semua orang dari berbagai latar
belakang dan status sosial, khususnya narasumber yang menjadi mitra
wartawan.
Warung kopi, merupakan tempat yang sangat akrab dengan profesi
wartawan khususnya di Kota Lhokseumawe. Wartawan dari berbagai media
kerap memanfaatkan warung kopi sebagai sarana berkumpul dan berdiskusi
tentang berbagai hal, khususnya yang berhubungan dengan pekerjaan dan
kegiatan peliputan di lapangan. Warung kopi menawarkan beragam fasilitas
Universitas Sumatera Utara
49
yang dapat mendukung kegiatan wartawan sekaligus sebagai tempat
berkomunikasi dan berdiskusi.
Ada begitu banyak informasi yang berkembang di warung kopi.
Beberapa diantaranya bahkan menginspirasi para wartawan untuk
mengangkatnya menjadi sebuah berita di media. Namun demikian, tidak
semua informasi yang berkembang di warung kopi bisa diangkat ke media,
kesemuanya harus melewati proses seleksi dengan melihat nilai berita (news
value) yang dimilikinya. Hanya informasi yang memiliki nilai berita yang
tinggilah yang dapat diangkat menjadi sebuah berita di media sesuai dengan
Standard Operating Procedure (SOP) yang dimiliki oleh media yang
bersangkutan. Dengan mengacu pada gambaran tersebut, maka dapat dibuat
sebuah alur kerangka berpikir pada penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
Warung
Kopi Wartawan Organisasi
Media
Profesi
Universitas Sumatera Utara