BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN … II.pdf · ... auditing adalah suatu pemeriksaan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN … II.pdf · ... auditing adalah suatu pemeriksaan...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Pengertian Auditing
Auditing menurut Arens, et.al. (2009: 4) adalah the accumulation an
evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of
correspondenc between the information and established criteria. Auditing should
be dont by a competent, independent person. Artinya adalah, auditing merupakan
pengumpulan dan penilaian bukti mengenai informasi untuk menentukan dan
melaporkan tingkat kesesuaian antar informasi tersebut dan kriteria yang
ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.
Menurut Agoes (2004:3), auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan
secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan
keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan
dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat
mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa auditing adalah
pekerjaan menghimpun dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
informas dengan tujuan untuk menetapkan dan melaporkan tingkat kesesuaian
antara informasi tersebut dengan kriteria yang ditetapkan, sert menyampaikan
hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan.
8
2.1.2 Standar Auditing
Standar auditing berkenaan dengan kriteria atau ukuran mutu pelaksanaan
audit serta dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai Standar auditing
merupakan pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab
profesionalnya. Standar ini meliputi pertimbangan kualitas profesional auditor,
seperti keahlian dan independensi persyaratan pelaporan, dan bahan bukti. Standar
auditing terdiri dari sepuluh standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok
besar, yaitu standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan
(IAI 2001: 150.1).
1) Standar Umum
a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi
dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
2) Standar Pekerjaan Lapangan
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunaka asisten
harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk
merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian
yang akan dilakukan.
9
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalu inspeksi,
pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan.
3) Standar Pelaporan
a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah
disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
b. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
c. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai
laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asers bahwa pernyataan
demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak
dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama
auditor dikaitkan dengan lapora keuangan, maka laporan auditor harus
memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang
dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh
auditor.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa standar auditing
berkenaan dengan kriteria atau ukuran mutu pelaksanaan audit serta dikaitkan
dengan tujuan yang hendak dicapai. Secara spesifik standar auditing
dikelompokkan menjadi 3, yaitu standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan
standar pelaporan.
10
2.1.2 Prosedur Audit
Menurut Arens, et al. (2009:172) prosedur audit (audit procedure) adalah
rincian instruksi untuk pengumpulan jenis bukti audit yang diperoleh pada suatu
waktu tertentu saat berlangsungnya proses audit, sedangkan Agoes (2004:125)
mendefinisikan prosedur audit sebagai langkah-langkah yang harus dijalankan
auditor dalam melaksanakan pemeriksaannya dan sangat diperlukan oleh asisten
agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat bekerja secara efisien dan efektif.
Auditor dalam melaksanakan tugasnya harus mendapatkan bukti audit
kompeten yang cukup melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan
konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan
keuangan (IAI, 2001:150). Dalam usaha memperoleh bukti audit kompeten yang
cukup, maka auditor sebelum melaksanakan penugasan audit harus menyusun
program audit yang merupakan kumpulan dari prosedur audit yang akan
dijalankan dan dibuat secara tertulis. Kualitas kerja auditor dapat diketahui dari
seberapa jauh auditor melaksanakan prosedur-prosedur audit yang tercantum
dalam program audit (Malone dan Roberts, 1996) dalam (Ulum, 2005).
Prosedur audit yang digunakan dalam penelitian ini ialah prosedur audit
yang dilaksanakan pada tahap perencanaan audit dan tahap pekerjaan lapangan
yang telah ditetapkan dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Menurut Herningsih (2002) prosedur audit yang dilaksanakan pada tahap
perencanaan audit dan tahap pekerjaan lapangan tersebut mudah untuk dilakukan
praktik penghentian prematur, antara lain:
11
1) Membangun pemahaman bisnis industri klien
Auditor harus membangun pemahaman dengan klien tentang jasa yang akan
dilaksanakan untuk setiap perikatan. Pemahaman tersebut dilakukan untuk
mengurangi risiko terjadinya salah interpretasi kebutuhan atau harapan pihak
lain, baik di pihak auditor maupun klien. Pemahaman tersebut harus
mencakup tujuan perikatan, tanggung jawab manajemen, tanggung jawab
auditor, dan batasan perikatan. Auditor harus mendokumentasikan
pemahaman tersebut dalam kertas kerjanya atau lebih baik dalam bentuk
komunikasi tertulis dengan klien (PSA No.05 SA Seksi 310, 2001).
2) Pertimbangan atas pengendalian intern dalam audit laporan keuangan
Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan
komisaris, manajemen, dan personal lain entitas yang didesain untu
memberikan keyakinan memadai atas keandalan laporan keuangan efektifitas
dan efisiensi operasi, dan kepatuhan terhadap hukum dan ketentuan yang
berlaku. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh
auditor untuk merencanakan audit dengan melaksanakan prosedur untuk
memahami desain pengendalian yang relevan dengan audit atas laporan
keuangan, dan apakah pengendalian intern tersebut dioperasikan (PSA No.69
SA Seksi 319, 2001).
3) Pertimbangan auditor atas fungsi auditor intern klien
Auditor intern bertanggung jawab untuk menyediakan jasa analisis dan
evaluasi, memberikan keyakinan dan rekomendasi, dan informasi lain kepada
manajemen entitas dan dewan komisaris, atau pihak lain yang setara
12
wewenang dan tanggung jawabnya dengan tetap mempertahankan
objektivitasnya berkaitan dengan aktivitas yang diaudit. Tanggung jawab
penting fungsi audit intern adalah memantau kinerja pengendalian entitas.
Pada saat auditor berusaha memahami pengendalian intern, auditor harus
berusaha memahami fungsi audit intern yang cukup untuk mengidentifikasi
aktivitas audit intern yang relevan dengan perencanan audit (PSA No.33 SA
Seksi 322, 2001).
4) Informasi asersi manajemen
Asersi adalah pernyataan manajemen yang terkandung di dalam komponen
laporan keuangan. Asersi tersebut dapat diklasifikasika menjadi 4, yaitu
keberadaan atau keterjadian (existence on occurrence), kelengkapan
(completeness), hak dan kewajiban (righ and obligation), penilaian
(valuation) atau alokasi, serta penyajian dan pengungkapan (presentation and
disclosure). Informasi asers manajemen digunakan oleh auditor untuk
memperoleh bukti audi yang mendukung asersi dalam laporan keuangan
(PSA No.7 SA Seks 326, 2001).
5) Prosedur analitik
Prosedur analitik merupakan bagian penting dalam proses audit dan terdiri
dari evaluasi terhadap informasi keuangan yang dibuat dengan mempelajari
hubungan yang masuk akal antara data keuangan yang satu dengan data
keuangan yang lainnya, atau antara data keuangan dengan data non keuangan.
Tujuan dari dilakukannya prosedur analitik adalah membantu auditor dalam
merencanakan sifat, saat, dan lingkup prosedur audit lainnya, sebagai
13
pengujian substantif untuk memperoleh bukti tentang asersi tertentu yang
berhubungan dengan saldo akun atau jenis transaksi, serta sebagai review
menyeluruh informasi keuangan pada tahap review akhir audit (PSA No.22
SA Seksi 329, 2001).
6) Konfirmasi
Konfirmasi adalah proses pemerolehan dan penilaian buat komunikasi
langsung dari pihak ketiga sebagai jawaban atas surat permintaan informasi
tentang unsur tertentu yang berdampak terhadap asersi laporan keuangan.
Konfirmasi dilaksanakan untuk memperoleh bukti dari pihak ketiga mengenai
asersi laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen. Proses konfirmasi
mencakup pemilihan unsur yang dimintakan konfirmasi, pendesainan
permintaan konfirmasi pengkomunikasian informasi kepada pihak ketiga
yang bersangkutan memperoleh jawaban dari pihak ketiga, serta penilaian
terhadap informasi atau tidak adanya inforamsi yang disediakan oleh pihak
ketiga mengenai tujuan audit termasuk keandalan informasi tersebut (PSA
No.7 SA Seksi 330, 200).
7) Representasi manajemen
Representasi manajemen (lisan maupun tertulis) merupakan bagian dari bukti
audit yang diperoleh auditor tetapi tidak merupakan pengganti bagi penerapan
prosedur audit yang diperlukan untuk memperoleh dasar memadai bagi
pendapat auditor atas laporan keuangan. Representasi tertulis bagi manajemen
biasanya menegaskan representasi lisan yang disampaikan oleh manajemen
kepada auditor, dan menunjukkan serta mendokumentasikan lebih lanjut
14
ketepatan representasi tersebut, dan mengurangi kemungkinan salah paham
mengenai yang direpresentasikan (PSA No.17 SA Seksi 333, 2001).
8) Pengujian Pengendalian Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK)
Penggunaan TABK harus dikendalikan oleh auditor untuk memberikan
keyakinan memadai bahwa tujuan audit dan spesifikas rinci TABK telah
terpenuhi, dan bahwa TABK tidak dimanipulasi semestinya oleh staf entitas
(PSA No.59 SA Seksi 327, 2001).
9) Sampling audit
Sampling audit adalah penerapan terhadap prosedur audit terhadap kurang
dari seratus persen unsur dalam suatu saldo akun atau kelompok transaksi
dengan tujuan untuk menilai beberapa karakteristik saldo akun atau kelompok
tersebut. Sampling audit diperlukan oleh auditor untuk mengetahui saldo-
saldo akun dan transaksi yang mungkin sekali mengandung salah saji.
Auditor harus menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam perencanaan
pelaksanaan, dan penilaian sampel, serta dalam menghubungkan bukti audit
yang dihasilkan dari sampel dengan bukti audit lain dalam penarikan
kesimpulan atas saldo akun atau kelompok transaksi yang berkaitan (PSA
No.26 SA Seksi 350, 2001).
10) Perhitungan fisik
Perhitungan fisik berkaitan dengan pemeriksaan auditor melalui pengamatan,
pengujian, dan permintaan keterangan memadai atas efektifitas metode
perhitungan fisik persediaan atau kas dan mengukur keandalan atas kuantitas
dan kondisi fisik persediaan atau kas klien (PSA No.7 SA Seksi 331, 2001).
15
Dari uraian di atas diketahui bahwa prosedur audit merupakan kumpulan
jenis bukti audit yang diperoleh pada suatu waktu tertentu saat berlangsungnya
proses audit yang harus dijalankan auditor dalam melaksanakan pemeriksaan
secara efisien dan efektif. Bukti audit tersebu meliputi inspeksi, pengamatan,
permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar untuk menyatakan pendapat
atas laporan keuangan.
2.1.4 Tindakan Supervisi
Akuntan pemula, sebagai pihak yang harus disupervisi di lingkungan Kantor
Akuntan Publik (KAP), sering mengalami ketidakpuasan kerja dikarenakan oleh
keberadaan supervisor serta pemberian bimbingan dan pengawasannya. Penyebab
kurang puasnya akuntan pemula ini terutama disebabkan oleh adanya ketidak-
samaan persepsi antara akuntan pemula dengan supervisornya. Penyebab tidak
puas ini antara lain adalah kurangnya pemberian umpan balik (feedback),
kemampuan kurang dimanfaatkan, kurangnya supervisi, rendahnya kesempatan
untuk berpartisipasi, dan kurangnya pujian untuk pekerjaan yang dilakukan
dengan baik. Hal-hal ini bisa menyebabkan kurangnya profesionalisme akuntan
pemula dalam melaksanakan tugas, sehingga akan berdampak pada pandangan
negatif terhadap citra akuntan publik dan profesi akuntan publik dimasyarakat
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan bukti empiris tentang Pengaruh
tindakan supervise terhadap kepuasan kerja akuntan pemula.
Menurut Hadi (2003) tindakan supervisi terbagi menjadi tiga aktivitas yang
terdapat dalam AECC Statement No.4 tentang Recommendations for Supervisors
16
of Early Work Experience yaitu aspek kepemimpinan dan mentoring, aspek
kondisi kerja, dan aspek penugasan, dijabarkan sebagai berikut:
1) Aspek kepemimpinan dan mentoring
Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok kearah
pencapaian tujuan. Supervisi merupakan seorang pimpinan yang membawahi
sejumlah staf, yang berfungsi memotivasi dan mengawas pekerjaan staf
bawahannya. Seorang supervisi harus berorientasi pada pekerjaannya dan
mempunyai sensitivitas sosial (Basset, 1994) yan memberikan feedback,
penghargaan, pengakuan keahlian terhadap stafnya.
Mentoring didefinisikan sebagai proses membentuk dan mempertahankan
hubungan secara insentif antara karyawan senior dengan karyawan yunior dan
supervisi sebagai penghubungnya. Mentoring sangat erat hubungannya
dengan karir, auditor akan mencapai kemajuan berkarir jika mereka pindah
dan berkarir selain di KAP (Ariyanti, 2002). Supervisi harus menciptakan
lingkungan senyaman mungkin untuk meminimalkan stres dengan
meningkatkan peran konseling, keteladanan dari supervisi yang merupakan
fungsi psikolososial, sebagai akibat dari perkembangan karir di KAP yang
didukung pengetahuan, pelatihan dan pemberian tugas yang menantang.
2) Aspek kondisi kerja
Kondisi kerja merupakan kesempatan yang individu rasakan untu melakukan
tugas yang bernilai. Seringkali akuntan pemula mengeluh karena mereka tidak
memahami gambaran secara keseluruhan dari penugasan, sehingga supervisi
harus meningkatkan mental pada bawahannya untuk bekerja dengan benar
17
pada saat pertama da menciptakan kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi.
Misalnya denga menjelaskan suatu penugasan kepada staf secara mendetail
mengalokasikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas denga baik,
terbuka terhadap hambatan serta mengawasi sampai penugasan selesai.
3) Aspek penugasan
Penugasan merupakan kesempatan yang dimiliki individu untu memilih tugas
yang berarti bagi akuntan pemula dan melaksanakan tugas dengan cara yang
sesuai dengan mereka. Misalnya dengan memberika kesempatan kepada
akuntan pemula dalam menggunakan kemampuan verbal, baik lisan maupun
tulisan, berfikir kritis dan mengijinkan akuntan pemula untuk menyusun dan
menyajikan laporan.
Dari uraian di atas diketahui bahwa tindakan supervisi merupakan tindakan
seorang pimpinan yang membawahi sejumlah staf, yang berfungsi memotivasi
dan mengawasi pekerjaan staf bawahannya. Seorang supervise harus berorientasi
pada pekerjaannya dan mempunyai sensitivitas sosial yang memberikan feedback,
penghargaan, pengakuan keahlian terhadap profesinya.
Konsep tindakan supervisi yang digunakan dalam penelitian ini diterjemahkan
ke sejumlah dimensi yang merupakan aspek-aspek dari tindakan supervisi menurut
Issues Statement No. 4 dari Accounting Education Change Commission (AECC)
mengenai Recommendations for Supervisors of Early Work Experience yang meliputi
aspek Kepemimpinan & Mentoring, aspek Kondisi Kerja dan aspek Penugasan ke
dalam sejumlah elemen yang meliputi pilihan, kompetensi, kebermaknaan dan
kemajuan. Rincian supervisi tersebut adalah sebagai berikut:
18
1) Supervisor hendaknya menunjukkan sikap kepemimpinan dan mentoring yang
kuat
a. Sering memberikan feedback yang jujur, terbuka, dan interaktif kepada
junior di bawah supervisinya
b. Memperhatikan pesan-pesan tidak langsung dari auditor junior dan jika
yang disampaikan adalah ketidakpuasan, secara lagsung supervisor
menanyakan keadaan dan penyebabnya.
c. Meningkatkan konseling dan mentoring, misalnya memberikan pujian
terhadap yang baik, memperlakukan junior auditor sebagai profesional,
membantu junior auditor menemukan peluang kerja, dan mmepedulikan
minat serta rencana junior auditor.
d. Dituntut mampu menjadi panutan sebagai profesional di bidangnya,
mampu menumbuhkan kebanggaan akan profesi yang digelutinya.
2) Supervisor hendaknya menciptakan kondisi kerja yang mendorong terjadinya
kesuksesan.
a. Menumbuhkan sikap mental pada junior auditor untuk bekerja dengan
benarsejak awal dan menciptakan kondisiyang memungkinkan hal itu
terjadi. Hal ini bisa dilaksanakan dengan menjelaskan suatu penugasan
kepada junior auditor secara gamblang, mengalokasikan waktu yang
cukup dalam penugasan yang rumit sehingga bisa terselesaikan dengan
baik, menampung semua keluhan akan hambatan yang dihadapi termasuk
diantaranya hambatan budgeter dan menjelaskan bgaiamana suatu bagian
19
penugasan sesuai dengan penugasan keseluruhan serta senantiasa
mengawasi junior auditor sampai penugasan selesai.
b. Mendistribusikan tugas dan beban secara adil dan sesuai dengan tingkat
kemampuan junior auditor
c. Meminimalkan stress yang berkaitan dengan pekerjaan
3) Supervisor hendaknya memberikan tugas yang menantang dan mempercepat
terselesaikannya tugas.
a. Mendelegasikan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan kesiapan
junior auditor
b. Memaksimalkan kesiapan junior auditor untuk menggunakan kemampuan
verbal baik lisan maupun tulisan, berpikiran kritis dan menggunakan
teknik analitis serta membantu junior auditor untuk meningkatkan
kemampuan tersebut.
2.1.5 Pengalaman Kerja
Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertumbuhan
perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non
formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada
suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Suatu pembelajaran juga mencakup
perubahan yang relatif tepat dari perilaku yang diakibatkan pengalaman,
pemahaman dan praktek (Knoers & Haditono, 1999: 46).
Purnamasari (2005) memberikan kesimpulan bahwa seorang karyawan yang
memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memilik keunggulan dalam beberapa
20
hal diantaranya adalah mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan dan mencari
penyebab munculnya kesalahan. Keunggulan tersebut bermanfaat bagi
pengembangan keahlian. Berbagai macam pengalaman yang dimiliki individu
akan mempengaruhi pelaksanaan suatu tugas. Seseorang yang berpengalaman
memiliki cara berpikir yang lebih terperinci, dan lengkap dibandingkan seseorang
yang belum berpengalaman.
Pengalaman kerja seseorang menunjukkan jenis-jenis pekerjaan yang pernah
dilakukan seseorang dan memberikan peluang yang besar bagi seseorang untuk
melakukan pekerjaan yang lebih baik. Semakin luas pengalaman kerja seseorang,
semakin trampil melakukan pekerjaan dan semakin sempurna pola berpikir dan
sikap dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Puspaningsih, 2004).
Pengalaman kerja dapat memperdalam dan memperluas kemampuan kerja.
Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama, semakin trampil dan
semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semakin banyak macam
pekerjaan yang dilakukan seseorang, pengalaman kerjanya semakin kaya dan luas,
dan memungkinkan peningkatan kinerja (Simanjuntak, 2005: 45).
Peningkatan pengetahuan yang muncul dari penambahan pelatihan formal
sama bagusnya dengan yang didapat dari pengalaman khusus dalam rangka
memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional. Auditor harus menjalani
pelatihan yang cukup. Pelatihan disini dapat berupa kegiatan kegiatan seperti
seminar, simposium, lokakarya, dan kegiatan penunjan ketrampilan lainnya, selain
kegiatan-kegiatan tersebut, pengarahan yang diberikan oleh auditor senior kepada
21
auditor pemula (yunior) juga bisa dianggap sebagai salah satu bentuk pelatihan
karena kegiatan ini dapat meningkatkan kerja auditor, melalui program pelatihan
dan praktek-praktek audit yang dilakukan para auditor juga mengalami proses
sosialisasi agar dapat menyelesaikan diri dengan perubahan situasi yang akan
ditemui, struktur pengetahuan auditor yang berkenaan dengan kekeliruan mungkin
akan berkembang dengan adanya program pelatihan auditor ataupun dengan
bertambahnya pengalaman auditor.
Dari uraian di atas diketahui bahwa pengalaman kerja merupakan suatu
proses pembelajaran dan pertumbuhan perkembangan potensi bertingkah laku
baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu
proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yan lebih tinggi.
Beberapa pendapat mengenai definisi pengalaman kerja adalah proses
pembentukan pengetahuan atau keterampilan tentang metode suatu pekerjaan
karena keterlibatan karyawan tersebut dalam pelaksanaan tugas pekerjaan
(Manulang, 1984). Pendapat lain mengenai pengalaman kerja adalah pengetahuan
atau keterampilan yang telah diketahui dan dikuasai seseorang yang akibat dari
perbuatan atau pekerjaan yang telah dilakukan selama beberapa waktu tertentu
(Trijoko, 1980). Menurut Ranupandojo, (1984) mengemukakan pengalaman kerja
adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang
dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksana-kan dengan
baik
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengalaman kerja
adalah tingkat penguasaan pengetahuan serta keterampilan seseorang dalam
22
pekerjaannya yang dapat diukur dari masa kerja dan dari tingkat pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Pengalaman kerja seseorang sangat ditentukan
oleh rentan waktu lamanya seseorang menjalani pekerjaan tertentu. Lamanya
pekerja tersebut dapat dilihat dari banyaknya tahun, yaitu sejak pertama kali
diangkat menjadi karyawan atau staf pada suatu lapangan kerja tertentu.
Terlepas dari adanya perbedaan tentang pengalaman kerja seseorang
sebelum diangkat menjadi seorang pimpinan, Hall & Louck (1977) melaporkan
hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa pengalaman mengajar berpengaruh
terhadap penerapan pembaharuan pendidikan. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Michigan university (1985) menunjukkan adanya hubungan yang
positif antara pendidikan dan pengalaman kerja (masa kerja) dengan perilaku
kepemimpinan demikian pula penelitian Aruwono (1994) yang juga menemukan
adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan formal, pendidikan in
service, dan pengalaman kerja dengan kualitas mengajar seorang dosen.
Pengalaman kerja bagi seorang dosen dianggap perlu, karena pengalaman
tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan tugas
atau profesi mereka setelah dikemudian hari dipromosikan untuk menduduki
jabatan yang lebih tinggi (Trimo, 1986). Pendapat tersebut diperkuat lagi dengan
hasil penelitian Harahap (1979) yang menyatakan bahwa pengalaman mengajar
mempunyai pengaruh positif terhadap prestasi kerja pimpinan pendidikan.
Pengalaman mengajar menurut Harahap, memuat lamanya seseorang itu mengajar
dan banyaknya la merasakan, mendiskusikan, menerima kritik dan saran orang
23
lain, termasuk rekan kerja atau mahasiswa, yang kesemuanya itu merupakan
pengalaman berharga setelah diangkat menjadi dosen yang profesional.
Pengalaman kerja seseorang akan ikut mematangkan yang bersangkutan
untuk menghadapi tugas-tugas manajerial yang akan diembannya sebagaimana
juga dikemukakan oleh Oliva (1985), Wiles & Bondi (1986) yang menyatakan
bahwa sebelum seseorang diangkat sebagai manajer pendidikan maka yang
bersangkutan sangat perlu memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup
dalam bidangnya. Untuk mengukur pengalaman kerja digunakan indikator sebagai
berikut (Purnamasari, 2005):
1) Semakin banyak jumlah klien yang diaudit menjadikan auditor lakukan
semakin lebih baik
2) Saya telah memiliki banyak pengalaman dalam bidang audit dengan
berbagai macam klien sehingga audit yang saya lakukan menjadi lebih baik
3) Walaupun sekarang jumlah klien saya banyak, audit yang saya lakukan
belum tentu lebih baik dari sebelumnya
4) Organisasi selalu memberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang
telah diperbuat, karena menurut saya itu menjadi pelajaran yang berharga
2.1.6 Komitmen Organisasi
Komitmen anggota organisasi menjadi hal penting bagi sebuah organisasi
dalam menciptakan kelangsungan hidup sebuah organisasi apapun bentuk
organisasinya. Komitmen menunjukkan hasrat karyawan sebuah perusahaan untuk
tetap tinggal dan bekerja serta mengabdikan diri bagi perusahaan (Amilin dan
Rosita Dewi, 2008).
24
Robbins (2001: 213) mendefinisikan komitmen pada organisasi yaitu sampai
tingkat mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan
tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi
tersebut. Sedangkan menurut Hatmoko (2006), komitmen organisasional adalah
loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan sasaran-sasaran, nilai-
nilai organisasi, kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari
organisasi, serta keinginan untuk bertahan di dalam organisasi.
Menurut Anik dan Arifuddin (2003), komitmen dapat didefinisikan sebagai
berikut:
1) Sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan
nilai- nilai dari organisasi dan atau profesi.
2) Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh gun
kepentingan organisasi dan atau profesi.
3) Sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi dan ata
profesi.
Dari ketiga definisi di atas diketahui bahwa komitmen merupakan
kepercayaan, kemauan, dan keinginan untuk kepentingan organisasi dan atau
profesi. Menurut Anik dan Arifuddin (2003) mengemukakan komitmen organisasi
terbangun bila masing-masing individu mengembangkan tiga sikap yang saling
berhubungan terhadap organisasi dan atau profesi antara lain:
1) Identification yaitu pemahaman atau penghayatan dari tujuan organisasi.
2) Involment yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan
bahwa pekerjaannya adalah menyenangkan.
25
3) Loyality yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempat bekerja dan
tempat tinggal.
Berdasarkan beberapa definisi dan pemaparan di atas, peneliti
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sikap kerja seseorang yang
merupakan hasil dari identifikasi diri dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi yang
mempengaruhi keputusan pekerja untuk tetap mempertahankan keanggotaannya
dalam organisasi.
Komitmen Organisasi didefisinikan sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari
individu dalam mengidentifikasi keterlibatan dirinya ke dalam organisasi. Hal ini
merefleksikan sikap individu akan tetap sebagai anggota organisasi yang ditunjukkan
dengan kerja kerasnya. Skala Komitmen Organisasional dari Meyer dan Allen
(1984) ) dalam (Sopiah, 2008:165) adalah sebagai berikut:
1) Affective commitment:
a) Saya akan senang sekali menghabiskan sisa karir saya di organisasi ini
b) Saya benar-benar merasakan bahwa seakan-akan masalah di organisasi
ini adalah masalah saya.
2) Continuance commitment:
a) Sekarang ini tetap bertahan menjadi anggota organisasi adalah sebuah
hal yang perlu, sesuai dengan keinginan saya.
b) Sangat berat bagi saya untuk meninggalkan organisasi ini.
3) Normative commitment:
a) Saya merasa tidak memiliki kewajiban untuk meninggalkan atasan
saya saat ini.
26
b) Saya merasa tidak tepat untuk meninggalkan organisasi saya saat ini,
bahkan bila hal itu menguntungkan.
2.1.7 Komitmen Profesional
Komitmen profesional adalah tingkat loyalitas individu pada Profesinya
seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut (Larkin, 1990) dalam (Ujianto
dan Alwi, 2005). Tidak ada hubungan antara pengalaman interna dengan
komitmen profesionalisme, lama bekerja hanya mempengaruh pandangan
profesionalisme, hubungan dengan sesama profesi, keyakinan terhadap peraturan
profesi dan pengabdian pada profesi. Hal ini disebabkan bahwa semenjak awal
tenaga profesi telah dididik untuk menjalankan tugas-tugas yang komplek secara
independen dan memecahkan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan
tugas-tugas dengan menggunakan keahlian dan dedikasi mereka secara
profesional.
Komitmen Profesional dapat didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan dan
penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari profesi, sebuah kemauan
untuk menggunakan usaha yang sungguh- sungguh guna kepentingan profesi, dan
sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi.
Dari uraian di atas diketahui bahwa komitmen profesional merupakan
tingkat loyalitas individu pada profesinya untuk menjalankan tugas-tugas yang
komplek secara independen dan memecahkan permasalahan yang timbul dalam
pelaksanaan tugas-tugasnya dengan menggunakan keahlian dan dedikasi mereka
27
secara profesional. Untuk indikator komitmen organisasi dalam penelitian ini
menggunakan instrumen sebagai berikut (Ujianto & Alwi, 2005) :
1) Saya berlangganan dan membaca secara sistematis jurnal auditing dan
publikasi lainnya
2) Saya sering menghadiri dan berpartisipasi dalam setiap pertemuan auditor
3) Saya sering melakukan tukar-menukar ide dengan auditor dari organisasi
lain
4) Saya percaya auditor harus mendukung adanya Ikatan Akuntan Indonesia
5) Ikatan akuntan mempunyai kekuatan melaksanakan standar yang harus
dilakukan auditor
6) Pertimbangan auditor harus diikuti dalam pembuatan keputusan yang
signifikan
7) Saya akan tetap bekerja sebagai auditor, walaupun sebagian gaji saya
disisihkan untuk keperluan tugas auditor
8) Standar profesi perilaku auditor tidak dapat diterapkan sama pada setiap
organisasi
9) Auditor seharusnya lebih baik dinilai prestasinya oleh rekan seprofesi
daripada oleh supervisor
10) Saya mudah untuk berantusias dengan jenis pekerjaan yang saya lakukan
2.1.8 Kepuasan Kerja Auditor
Kepuasan kerja adalah tingkat perasaan menyenangkan yang diperoleh dari
penilaian pekerjaan seseorang atau pengalaman kerja. Dengan kata lain, kepuasan
28
kerja mencerminkan bagaimana kita merasakan tentang pekerjaan kita dan apa
yang kita pikirkan tentang pekerjaan kita (Wibowo, 2013 : 131).
Robbins dan Judge (2011:114) memberikan definisi kepuasan kerja sebagai
perasaan positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi dari karakteristiknya.
Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti
aturan dan kebijakan organisasional, memenuhi standar kinerja, hidup dengan
kondisi kerja kurang ideal, dan semacamnya, sedangkan McShane dan Von
Gilnow (2010:108) memandang kepuasan kerja sebagai evaluasi seseorang atas
pekerjaannya dan konteks pekerjaan. Merupakan penilaian terhadap karakteristik
pekerjaan, linkgungan kerja, dan pengalaman emosional di pekerjaan yang
dirasakan. Dari berbagai pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya kepuasan kerja adalah tingkat perasaan senang seseorang sebagai
penilaian positif terhadap pekerjaannya dan lingkungan tempat pekerjaannya.
Menurut Spector (1997: 132) faktor-faktor penyebab kepuasan kerja dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori umum, yaitu faktor-faktor lingkungan
pekerjaan dan faktor-faktor individu. Enam faktor penyebab kepuasan kerja yang
termasuk ke dalam faktor lingkungan pekerjaan antar lain:
1) Karakteristik pekerjaan
Individu yang merasakan kepuasan intrinsik ketika melakukan tugas- tugas
dalam pekerjaannya akan menyukai pekerjaan mereka dan memiliki motivasi
untuk memberikan performa yang lebih baik.
2) Batasan dari organisasi (organizational constraints)
Batasan dari organisasi adalah kondisi lingkungan pekerjaan yang
29
menghambat performa kerja karyawan. Karyawan yang mempersepsikan
adanya tingkat batasan yang tinggi cenderung untuk tidak puas dengan
pekerjaannya.
3) Peran dalam pekerjaan
Ambiguitas peran dan konflik peran memiliki hubungan dengan kepuasan
kerja. Karyawan mengalami ambiguitas peran ketika ia tidak memiliki
kepastian mengenai fungsi dan tanggung jawabnya dalam pekerjaan.
Sedangkan konflik peran terjadi ketika individu mengalami tuntutan yang
bertentangan terhadap fungsi dan tanggung jawabnya.
4) Konflik antara pekerjaan dan keluarga
Konflik antara pekerjaan dan keluarga terjadi ketika tuntutan dalam pekerjaan
dan tuntutan keluarga saling bertentangan satu sama lain. Konflik tersebut
memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan kerja. Karyawan yang
mengalami tingkat konflik yang tinggi cenderung untuk memiliki tingkat
kepuasan kerja yang rendah.
5) Gaji
Hubungan antara tingkat gaji dan kepuasan kerja cenderung lemah. Hubungan
tersebut menunjukkan bahwa gaji bukan merupakan faktor yang sangat kuat
pengaruhnya terhadap kepuasan kerja. Walaupun tingkat gaji bukan
merupakan hal yang penting, keadilan dalam pembayaran gaji dapat menjadi
sangat penting karena karyawan membandingkan dirinya dengan orang lain
dan menjadi tidak puas jika memperoleh gaji yang lebih rendah dari orang lain
dan menjadi tidak puas jika memperoleh gaji yang lebih rendah dari orang
30
pada pekerjaan yang sama. Hal yang dapat menjadi lebih penting daripada
perbedaan gaji adalah bagaimana karyawan menyadari bahwa pembagian gaji
sudah diatur oleh kebijakan dan prosedur yang adil. Oleh karena itu, proses
pembagian gaji memiliki dampak yang lebih besar terhadap kepuasan kerja
daripada tingkat gaji yang sesungguhnya.
6) Stres kerja
Dalam setiap pekerjaan, setiap karyawan akan menghadapi kondisi dan situasi
yang dapat membuat mereka merasa tertekan (stres). Kondisi dan situasi
tersebut tidak hanya mempengaruhi keadaan emosional pada waktu yang
singkat, tetapi juga kepuasan kerja dalam jangka waktu yan lebih lama.
Adapun situasi dan kondisi dalam pekerjaan yang dapat membuat karyawan
merasa tertekan adalah:
a. Beban kerja: tuntutan pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan
b. Kontrol: kebebasan yan diberikan pada karyawan untuk membuat
keputusan tentang pekerjaan mereka
c. Jadwal kerja: jadwal kerja yang fleksibel, waktu kerja yang panjang,
waktu kerja malam, dan kerja paruh waktu.
Ketiga kondisi tersebut memiliki hubungan dengan kepuasan kerja.
Sedangkan dua faktor penyebab kepuasan kerja yang termasuk ke dalam
faktor individu (Spector, 1997: 168) antara lain:
a. Karakteristik kepribadian
Locus of control dan negative affectivity merupakan karakteristik
kepribadian yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan
31
kerja. Locus of control merupakan variabel kognitif yang
merepresentasikan keyakinan individu terhadap kemampuan mereka
untuk mengontrol penguatan positif dan negatif dalam kehidupan.
Karyawan yang memiliki locus of control internal (yakin bahwa dirinya
mampu mempengaruhi penguatan) akan memiliki kepuasan kerja yang
lebih tinggi. Sedangkan negative affectivity merupakan variabel
kepribadian yang merefleksikan kecenderungan seseorang untuk
mengalami emosi negatif, seperti kecemasan atau depresi, dalam
menghadapi berbaga macam situasi. Karyawan yang memiliki negative
affectivity yang tinggi cenderung untuk memiliki kepuasan kerja yang
rendah.
b. Kesesuaian antara individu dengan pekerjaan
Pendekatan kesesuaian antara individu dengan pekerjaan menyatakan
bahwa kepuasan kerja akan timbul ketika karakteristik pekerjaan sesuai
atau cocok dengan karakteristik individu. Penelitian lain menyatakan
bahwa kesesuaian antara individu dengan pekerjaannya dilihat
berdasarkan perbedaan antara kemampuan yang dimiliki seseorang dan
kemampuan yang dituntut dalam sebuah pekerjaan. Semakin kecil
perbedaan tersebut semakin besar pula kepuasan kerja individu.
Selain anteseden di atas, Spector (1997:187) juga menyatakan bahwa
gender, usia, serta perbedaan budaya dan etnis dapat mempengaruhi
kepuasan kerja. Tujuh tingkah laku yang merupakan hasil dari kepuasan
kerja seseorang antara lain:
32
a. Performa kerja
Seseorang yang menyukai pekerjaannya akan lebih termotivasi, bekerja
lebih keras, dan memiliki performa yang lebih baik. Selain itu, terdapat
bukti yang kuat bahwa seseorang yang memiliki performa yang lebih
baik, lebih menyukai pekerjaan mereka karena penghargaan yang sering
diasosiasikan dengan performa yang baik. Performa kerja dan kepuasan
kerja memiliki hubungan yang lebih kuat ketika organisasi mengkaitkan
penghargaan dengan performa kerja yang baik.
b. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
OCB merupakan tingkah laku yang melebihi prasyarat formal dalam
pekerjaan seperti hal-hal yang dilakukan secara sukarela untuk
membantu rekan kerja dan organisasi. Seseorang yang menyukai
pekerjaannya akan melakukan hal-hal yang lebih dari apa yang
diperlukan oleh pekerjaannya. Penelitian-penelitian sebelumnya
menemukan bahwa kepuasan kerja dan OCB saling berhubungan satu
sama lain.
c. Withdrawal behavior
Banyak teori membuat hipotesis bahwa orang yang tidak menyukai
pekerjaannya akan menghindari pekerjaan mereka, baik secara permanen
dengan keluar dari pekerjaan maupun secara temporer dengan absen atau
datang terlambat. Banyak peneliti juga menganggap perilaku absen dan
turnover sebagai fenomena yang berhubungan dan dilandasi oleh motivasi
yang sama untuk melarikan diri dari pekerjaan yang tidak memuaskan.
33
Namun, korelasi yang ditemukan antara kepuasan kerja dan perilaku absen
cenderung lemah. Sedangkan penelitian menunjukkan adanya hubungan
yang konsisten antara kepuasan kerja dengan turnover.
d. Burnout
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang tidak puas dengan
pekerjaannya memiliki tingkat burnout yang tinggi. Selain itu, tingkat
kontrol dan kepuasan hidup yang rendah serta timbulnya gejala
gangguan kesehatan dan inten yang tinggi untuk berhenti dari
pekerjaan.
e. Kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis
Beberapa peneliti menyatakan adanya hubungan signifikan antar
kepuasan kerja dengan gejala fisik atau psikosomatik, seperti sakit
kepala dan sakit perut. Selain itu, situasi kerja yang tidak memuaskan
juga memiliki potensi untuk mempengaruhi kesehatan fisik dan
psikologis.
f. Counterproductive behavior
Agresi terhadap rekan kerja dan atasan, sabotase, dan pencurian
merupakan bentuk dari Counterproductive behavior. Tingkah laku
tersebut sering diasosiasikan dengan ketidakpuasan dan frustasi dalam
bekerja. Kepuasan kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan
Counterproductive behavior.
Persoalan yang sering dihadapi adalah bagaimana cara yag dapat dilakukan
untuk mengukur kepuasan kerja. Komponen atau unsur apa saja yang dapat
34
dipergunakan untuk mengukur kepuasan kerja. Apa yang dapat dijadikan
indikator untuk mengatakan bahwa seseorang pekerja mendapat kepuasan kerja.
Apabila kita ingin mengetahui kepuasan kerja seseorang, kita harus mengukur
atau menanyakan sikap orang tersebut terhadap berbagai aspek pekerjaan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dan sekaligus dapat dipakai
untuk mengukur kepuasan kerja adalah (Badeni, 2013 : 43):
1) Pekerjaan itu sendiri, yaitu isi pekerjaan yang dilakukan seseorang yang
mungkin terdapat kesesuaian dengan kemampuan, minat, dan lain-lain.
2) Gaji, yaitu jumlah bayaran yang didapat seseorang sebagai akibat dari
pelaksanaan kerja. Gaji dapat dirasakan seseorang dengan sangat memuaskan
atau sebaliknya tidak memuaskan.
3) Rekan sekerja, yaitu teman-teman kepada siapa seseorang senantiasa
berinteraksi di dalam pelaksanaan pekerjaan. Seseorang dapat merasakan
rekan sekerjanya sangat menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan.
Rekan kerja yang menyenangkan dapat berupa rekan kerja yang memberikan
dorongan, membantu, dan lain-lain.
4) Atasan, yaitu atasan seseorang yang senantiasa memberi petunjuk dalam
pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dapat tidak menyenangkan atau
menyenangkan bagi seseorang. Hal ini dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
5) Promosi, yaitu kemungkinan seseorang dapat berkembang melalui kenaikan
jabatan. Seseorang dapat merasakan terdapat kemungkinan yang besar untuk
naik jabatan atau tidak, proses kenaikan jabatan kurang terbuka atau terbuka.
35
6) Lingkungan kerja, yaitu kenyamanan tempat kerja dan ketersediaan berbagai
sarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan. Kenyamanan dapat
berkaitan dengan penerangan yang cukup, ventilasi yang memberikan
kesegaran, kebersihan tempat kerja, dan mudah melihat bahwa aspek-aspek di
atas juga merupakan penghargaan yang bersifat non-materi bagi seseorang.
2.1.9 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian Hugh P. Gunz (2010) tentang Professional/Organizational
Commitment and Job Satisfaction for Employed Lawyers bertujuan untuk
mengetahui isu-isu konflik organisasi-profesional konsultan (penasihat
perusahaan). Hasil penelitiannya menunjukkan pekerjaan konsultan adalah fungsi
dari sifat profesi. Dengan menggunakan analisis multivariat, faktor karir
berdampak kuat pada komitmen organisasi, menunjukkan bahwa ide-ide
sebelumnya pada sifat hubungan antara profesional dan majikan mereka
merupakan penyederhanaan. Hasil penelitiannya juga menemukan terdapat
pengaruh yang signifikan antara komitmen organisasi dan komitmen professional
terhadap kepuasan kerja. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut
adalah sama-sama menganalisis kepuasan kerja konsultan dalam hal ini auditor,
sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian
ini menggunakan empat variabel bebas, sedangkan penelitian terdahulu
menggunakan dua variabel bebas.
Aranya (2005) meneliti tentang An Examination of Professional
Commitment in Public Accounting. Studi ini menganalisis komitmen profesional
Chartered Accountant (CA) Kanada yang merupakan mitra, manajer (supervisor)
36
dan staf lainnya dalam praktek umum. Komitmen ini diperiksa dalam kaitannya
dengan komitmen organisasional, konflik profesional-organisasional, kepuasan
dengan pendapatan dan tingkat organisasi. Komitmen organisasi terbukti menjadi
prediktor yang paling kuat dari komitmen profesional CA di semua tingkat
organisasi. Pada saat yang sama, konflik profesional-organisasi memiliki dampak
negatif pada komitmen profesional, dan kepuasan dengan pendapatan memiliki
pengaruh positif terhadap komitmen tersebut. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian tersebut adalah sama-sama menganalisis kepuasan kerja auditor,
sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian
terdahulu menganalisis komitmen kerja auditor internal. Sedangkan penelitian ini
menganalisis auditor yang ada di beberapa kantor akuntan publik di Denpasar.
Pranoto (2010) yang meneliti tentang Pengaruh Komitmen, Keyakinan
Profesional, Konflik Peran, dan Tindakan Supervisi Terhadap Kepuasan Kerja
Auditor: Pengalaman Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris Pada Kantor
Akuntan Publik di Semarang). Penelitian ini menguji pengaruh komitmen
organisasi, komitmen profesional, keyakinan profesional, konflik peran, dan
tindakan supervisi terhadap kepuasan kerja auditor, dengan menggunakan
pengalaman kerja sebagai variabel moderating; dan menguji pengaruh langsung
komitmen organisasi, komitmen profesional, keyakinan profesional, dan konflik
peran tanpa menggunakan pengalaman kerja sebagai variabel moderating.
Penelitian ini dilakukan pada auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik di
Semarang. Kuesioner yang kembali dan dapat diolah sebanyak 36 kuesioner.
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil dari
37
penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman bukanlah variabel moderating
yang mempengaruhi hubungan antara komitmen organisasi, komitmen
profesional, keyakinan profesional, konflik peran, dan tindakan supervisi terhadap
kepuasan kerja; komitmen organisasi, komitmen profesional, keyakinan
profesional tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja; dan konflik
peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian tersebut adalah sama-sama menganalisis kepuasan kerja auditor,
sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian
terdahulu menggunakan pengalaman sebagai varibael moderating, sedangkan
penelitian sekarang tanpa menggunakan variabel moderating.
Tethool dan Rustiana (2003) dalam penelitiannya Dampak Interaksi
Tindakan Supervisi dan Pengalaman Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Auditor:
Studi EMpiris di KAP Yogyakarta, Semarang dan Solo. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa interaksi supervisi dengan pengalaman kerja berdampak
negative terhadap kepuasan kerja auditor. Ini berarti bahwa semakin banyaknya
pengalaman auditor dengan tindakan supervise yang semakin tinggi dirasakan
auditor malah menurunkan kepuasan kerja auditor. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian tersebut adalah sama-sama menganalisis kepuasan kerja auditor,
sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian
terdahulu menggunakan variabel bebas tindakan supervisi dan pengalaman kerja,
sedangkan penelitian sekarang menggunakan variabel bebas tindakan supervise,
pengalaman kerja, komitmen organisasi dan komitmen profesional.
38
Octaviano (2010) yang meneliti tentang Pengaruh Tindakan Supervisi,
Pengalaman Kerja, Komitmen Organisasi, dan Komitmen Profesional, Terhadap
Kepuasan Kerja Auditor (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik di DKI
Jakarta). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidakan supervisi, pengalaman
kerja, komitmen organisasi dan komitmen profesional berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja auditor. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian tersebut adalah sama-sama menganalisis pengaruh tindakan supervisi,
pengalaman kerja, komitmen organisasi dan komitmen profesional terhadap
kepuasan kerja auditor,sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian
tersebut adalah penelitian terdahulu meneliti pada Kantor Akuntan Publik di DKI
Jakarta, sedangkan penelitian sekarang meneliti pada Kantor Akuntan Publik
(KAP) yang ada di Kota Denpasar.
2.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan pembahasan hasil penelitian sebelumnya,
maka dapat dirumuskan suatu hipotesis yang merupakan dugaan sementara dalam
menguji suatu penelitian yaitu:
1) Tindakan supervisi, pengalaman kerja, komitmen organisasi, dan
komitmen profesional berpengaruh positif dan signifikan secara simultan
terhadap kepuasan kerja auditor.
2) Tindakan supervisi, pengalaman kerja, komitmen organisasi, dan
komitmen profesional berpengaruh positif dan signifikan secara parsial
terhadap kepuasan kerja auditor.