BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tujuan ...eprints.umm.ac.id/39209/3/BAB II.pdf ·...

31
17 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tujuan Negara dan Negara Kesejahteraan Dalam garis besar, negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam pembangunan warganya. Pendapat Spicker, terkait negara kesejahteraan adalah“…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards. 9 Dari pendapat tersebut dapat penulis simpulkan bahwa tugas negara kesejahteraan adalah memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin. Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, negara kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), di pihak lain. Negara kesejahteraan ditujukan untuk menyediakan pelayanan- pelayanan sosial bagi seluruh penduduk orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well- being) warga negara secara adil dan berkelanjutan. 10 9 Dalam Edi Suharto, Negara Kesejahteraan Dan Reinventing Depsos, diakses dari http://www.policy.hu/hal. 6. 10 Ibid.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tujuan ...eprints.umm.ac.id/39209/3/BAB II.pdf ·...

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Tujuan Negara dan Negara Kesejahteraan

Dalam garis besar, negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah

model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan

kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara

dalam pembangunan warganya.

Pendapat Spicker, terkait negara kesejahteraan adalah“…stands for a

developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state

to the best possible standards”.9 Dari pendapat tersebut dapat penulis

simpulkan bahwa tugas negara kesejahteraan adalah memberikan

pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.

Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap

the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan

untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin. Berbeda dengan sistem

dalam the Poor Law, negara kesejahteraan difokuskan pada

penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap

orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of

citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), di

pihak lain. Negara kesejahteraan ditujukan untuk menyediakan pelayanan-

pelayanan sosial bagi seluruh penduduk – orang tua dan anak-anak, pria

dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya

untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan

pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-

being) warga negara secara adil dan berkelanjutan.10

9 Dalam Edi Suharto, Negara Kesejahteraan Dan Reinventing Depsos, diakses dari

http://www.policy.hu/hal. 6. 10

Ibid.

18

Berdasarkan uraian di atas dapat di ketahui bahwa dalam negara

kesejahteraan, negara bukan hanya saja bertugas untuk memberikan

pelayanan sosial pada orang miskin atau kelompok tertentu, tapi lebih dari

tiu, negara ikut campur dan “turun tangan” dalam upaya peningkatan

kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Hal tersebut dilakukan melalui

sejumlah program dan kebijakan pemerintah.

Dalam Negara kesejahteraan, fungsi dan peran utama pembangunan

kesejahteraan adalah:11

a. Mendorong investasi sosial (social investment) melalui

penyiapan dan penyediaan SDM atau angkatan kerja yang

berkualitas.

b. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui

kebijakan dan pelayanan sosial yang berdampak langsung pada

peningkatan keberdayaan rakyat dalam mengakses sumber dan

pelayanan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

c. Mempertegas peran dan mandat „kewajiban negara‟ (state

obligation) dalam mewujudkan kemerataan kehidupan secara

nyata melalui sistem perlindungan sosial.

Hemat penulis, ketiga hal sebagaimana tersebut di atas merupakan

tugas utama yang harus dicapai oleh setiap negara “penganut” negara

kesejahteraan, yang hampir meliputi segala aspek bidang kehidupan

masayakat yakni ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan.

Sementara itu, dalam konteks Indonesia, Hamid S. Atamimi,

menjelasakan bahwa:

Negara Indonesia sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya

sebagai negara yang berdasar atas hukum (Reechtstaat). Bahkan

Reechtstaat Indonesia itu ialah Reechtstaat yang “memajukan

kesejahteraan umum“, “mencerdaskan kehidupan bangsa “, dan

mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

11

Ibid, hal. 5.

19

Reechtstaat itu ialah Reechtstaat yang materil, yang sosialnya, yang

oleh bung Hatta disebut negara pengurus, suatu terjemahan

Verzorgingsstaat.12

Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam alinea ke-4 pembukaan

UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu:

“... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan

keadilan sosial …”.

Jadi, hemat penulis, perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia memerlukan keterlibatan aktif dari

seluruh bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintah sebagai pemegang

amanat wajib melakukan perlindungan semaksimal mungkin terhadap

segenap bangsa Indonesia. Perlindungan terhadap rakyat Indonesia tidak

boleh mengalami diskriminasi, tidak boleh dibedakan atas dasar ras, warna

kulit dan atau pun alasan kaya dan miskin.

Tujuan atau cita-cita untuk memajukan kesejahteraan umum adalah

alasan dasar serta arah bagi upaya pembangunan bangsa Indonesia. Dalam

konsep kesejahteraan umum kedudukan rakyat Indonesia bukanlah objek

semata untuk mendapatkan keuntungan bagi pemerintah dan akhirnya pada

negara (sudut pandang APBN) tetapi rakyat sesungguhnya disamping

objek hendaknya juga sekaligus sebagai subjek pembangunan (sasaran

pembangunan). Rezim yang berkuasa idealnya mengutamakan

kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia.

12

Prajudi Atmosudirjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal.

18.

20

Adapun dimensi sosial ekonomi dari negara berdasar atas hukum

adalah berupa kewajiban negara atau pemerintah untuk mewujudkan dan

menjamin kesejahteraan sosial (kesejahteraan umum) dalam suasana

sebesar besarnya kemakmuran menurut asas keadilan social bagi seluruh

rakyat. Dimensi ini secara spesifik melahirkan paham negara

kesejahteraan. Jika adanya kewajiban pemerintah untuk memajukan

kesejahteraan umum itu merupakan ciri konsep negara kesejahteraan,

Indonesia tergolong sebagai negara kesejahteraan, karena tugas pemerintah

tidaklah hanya dibidang pemerintahan saja, melainkan harus juga

melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan Negara,

yang dijalankan melalui pembangunan nasional.

Hal ini sejalan dengan salah satu karakteristik konsep negara

kesejahteraan adalah kewajiban pemerintahan untuk mengupayakan

kesejahteraan umum. Terkait dengan negara kesejahteraan Asa Briggs juga

berpendapat, bahwa:

Negara Kesejahteraan adalah sebuah negara yang dengan kekuasaan

terorganisir (melalui politik dan pemerintahan) memodifikasi

kekuatan pasar dalam tiga arahan: pertama, menjamin pendapatan

minimum individu dan keluarga terlepas dari nilai pasar atas

pekerjaan dan properti mereka; kedua, mengurangi atau menghapus

resiko sosial yang berhubungan dengan kontingensi sosial, seperti

sakit, tua, dan pengangguran; ketiga, memberikan pelayanan sosial

dengan standar terbaik kepada semua warga tanpa memandang

perbedaan status dan kelas.13

Menurut Penulis pendapat Asa Briggs di atas merupakan beberapa

program atau kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam

13

Dalam, Asep Mulyana, 2015, Studi tentang Negara Kesejahteraan, Artikel, diakses dari

referensi.elsam.or.id, pada tanggal 18 April 2017.

21

rangka mencapai tujuan negara kesejahteraan. Kebijakan-kebijakan

tersebut diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa memandang

perbedaan kelas sosial.

B. Tanggungjawab Pemerintah dalam Menanggulangi Pengemis,

Gelandangan, dan Anak Jalanan

Konstitusi bangsa yang disusun founding father telah memiliki jiwa

pemberantasan kemiskinan yang tinggi. Hal ini sebagaimana tercantum

dalam pasal 34 (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi: “Fakir

Miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Menurut penulis makna yang terkandung dari Pasal tersebut adalah

bahwa masyarakat fakir, miskin, dan anak-anak yang terlantar dianggap

sebagai kondisi ekstrim keterbelakangan kondisi perekonomian seseorang

mendapatkan perhatian khusus dari negara, dalam hal ini adalah dilindungi

dan diberdayakan. Salah satu langkah pemerintah yang dilakukan adalah

dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang

Penanganan Fakir Miskin.

Selain itu, dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan dan

perlindungan sosial, pemerintah juga telah mengeluarkan UU No.11

Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam Pasal 1 angka 9

UU ini ditegaskan bahwa perlindungan Sosial adalah semua upaya

yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari

guncangan dan kerentanan sosial.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa arah atau

tujuan pemberian perlindungan sosial adalah sebagai tindakan preventif

ataupun bentuk penanganan terhadap resiko guncangan dan kerentanan

22

sosial. Salah satu bentuk resiko guncangan dan kerentanan tersebut adalah

kemiskinan, gelandangan, dan pengemis.

Selnjutnya dalam Pasal 3 UU No.11 Tahun 2009 disebutkan bahwa

penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan:

a. Meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan

hidup;

b. Memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian;

c. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan

menangani masalah kesejahteraan sosial;

d. Meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial

dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara

melembaga dan berkelanjutan;

e. Meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam

penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan

berkelanjutan; dan

f. Meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan

kesejahteraan sosial.

Menurut Penulis, salah satu bentuk peningkatan taraf kesejahteraan,

kualitas dan kelangsungan hidup sebagaimana tujuan penyelenggaraan

kesejahteraan sosial adalah upaya pengentasan gelandangan, pengemis dan

anak jalanan.

Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-

usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi

pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh

akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan

memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota

masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan

pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali

23

kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang

layak sesuai dengan harkat martabat manusia.

Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya

gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik

kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan

menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis. Usaha

sebagaimana dimaksud antara lain dengan:

a) penyuluhan dan bimbingan sosial;

b) pembinaan sosial;

c) bantuan sosial;

d) perluasan kesempatan kerja;

e) pemukiman lokal;

f) peningkatan derajat kesehatan.

Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau

meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada

seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan

pergelandangan dan pengemisan. Usaha represif sebagaimana dimaksud

meliputi: razia, penampungan sementara untuk diseleksi, pelimpahan.

Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis

yang telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan

dan pengemis dengan meningkatkan kesadaran berswadaya, memelihara,

memantapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi,

dan menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

24

Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi

usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak

lanjut, bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai

warga masyarakat. Usaha rehabilitatif sebagaimana dilaksanakan melalui

Panti Sosial.

C. Tinjauan Umum Tentang Anak Jalanan, Pengemis, dan Gelandangan

a. Pengertian Anak Jalanan

Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karenanya

keberadaan seorang anak harus dijaga dan dilindungi. Dalam diri

seorang anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia

yang harus dijunjung tinggi. Selain itu, Anak merupakan masa depan

dan penerus cita-cita bangsa. Sehingga setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta

berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

Adapun pengertian anak dalam beberapa peraturan perundang-

undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang anak

“adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan

belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang

masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi

kepentingannya”

b. Pasal 1 Convention on the Right of the Child, Anak

diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 (delapan

belas) tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku

terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya.

c. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

25

Anak: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”.

d. Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak: “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang

selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur

12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”

e. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang

berusia 0 sampai dengan 18 tahun.

f. Pasal 330 KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa

adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua

puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

g. Pasal 1 (1) Undang-undang pokok perburuhan (Undang-

undang No.12 Tahun 1948) mendefinisikan, anak adalah

orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun ke

bawah.

h. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Pokok Perkawinan

(Undang-undang No. 1 Tahun 1974) mengataan, seorang

pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai

umur 16 (enam belas) tahu. Penyimpangan atas hal

tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada

Pengadilan Negeri.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat Penulis simpulkan

bahwa adalah setiap orang yang oleh hukum dianggap masih belum

belum dewasa yaitu dilihat dari usia dan mental, untuk usia undang-

undang memberikan limitasi yang berbeda, namun dalam hal ini

Penulis mengacu pada di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.

Fenomena yang bikin miris mengenai anak adalah masih

maraknya anak jalanan. Keberadaan anak jalanan sudah lazim kelihatan

pada kota-kota besar di Indonesia. Kepekaan masyarakat kepada

mereka nampaknya tidak begitu tajam. Padahal Anak merupakan

karunia Ilahi dan amanah yang dalam dirinya melekat harkat dan

26

martabat sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak

merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum

dalam UUD Negara RI Tahun 1945, UU No.39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36

tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the right of the child

(Konvensi tentang Hak-hak Anak).

Istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika

selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas

untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan

tidak memiliki ikatan dengan keluarga. Istilah anak jalanan

berbeda-beda untuk setiap tempat, misalnya di Columbia mereka

disebut “gamin” (urchin atau melarat) dan “chinces” (kutu kasur),

“marginais” (criminal atau marjinal) di Rio, “pa‟jaros frutero”

(perampok kecil) di Peru, “polillas” (ngrengat) di Bolivia,

“resistoleros” (perampok kecil) di Honduras, “Bui Doi” (anak

dekil) di Vietnam, “saligoman” (anak menjijikkan) di Rwanda.

Istilah-istilah itu sebenarnya menggambarkan bagaimana posisi

anak-anak jalanan ini dalam masyarakat. 14

Berdasarkan beberapa istilah yang digunakan di berbagai negara

sebagaimana tersebut di atas dapat diketahui bahwa anak jalanan

dilekatkan dengan istilah yang tidak baik, seperti kutu kasur, krimina,

anak menjijikkan dan sebagainya. Hal ini tentunya memiliki dampak

besar terhadap pertumbuhan mental seorang anak.

14

B.S. Bambang dalam Khalil Gibran Daulay, 2013, Hubungan Ketiadaan Orang Tua

Terhadap Pilihan Anak Hidup Di Jalanan (Studi Deskriptif Anak Jalanan di Kelurahan Padang

Bulan, Medan), diakses dari urnal.usu.ac.id/index.php/persos/article/view/2916/1400 pada tanggal

18 April 2017.

27

Terkait dengan definisi anak jalanan dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Kementerian Sosial RI mendefinisikan anak jalanan sebagai anak

yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar waktunya

untuk melakukan kegiatan sehari-hari di jalanan termasuk di

lingkungan pasar, pertokoan dan pusat-pusat keramaian lainnya.15

2. UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu anak

berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari

keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut

dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya.16

Berdasarkan kedua definisi di atas dapat Penulis tarik kesimpulan

bahwa anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan sebgaian

waktunya di jalanan, kebanyakan di atanara mereka melepaskan diri

dari keluarga dan masyarakat terdekatnya.

Terkait hubungan mereka dengan keluarganya, anak jalanan dapat

dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu:

a. Children on the street: Pengertian untuk children on the

street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan

ekonomi di jalanan yang masih memilikihubungan keluarga.

Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu

anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa

pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan

kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih

mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara

pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

b. Children of the street: Yaitu adalah anak-anak yang

menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di

15

Kementerian Sosial, Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, diakses dari

http://www.kemsos.go.id, pada tanggal 18 April 2017.

16 Tjutjup Purwoko, 2013, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan Di

Kota Balikpapan, eJournal Sosiologi Volume 1, Nomor 4, 2013, diakses dari ejournal.sos.fisip-

unmul.ac.id, pada tanggal 18 April 2017.

28

jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan

hubungan dengan orang tua atau keluarganya.17

Sementara menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, anak

jalanan dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu:18

a. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya

(children of the street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan

menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang

hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus.

Kelompok anak ini disebabkan oleh factor social psikologis

keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan,

penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak

mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas

sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.

b. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua.

Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the

street). Mereka seringkali diindentikan sebagai pekerja

migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di

kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingg

sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen,

tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal

mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau

teman- teman senasibnya.

c. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya.

Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan

sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan

karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua

dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling

menyolok adalah berjualan Koran.

d. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka

berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu

pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang

SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang

dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan

mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa

barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen,

pengemis dan pemulung.

17

Kementerian Soaial RI, 2012, Mengapa Terminasi Anak Jalanan di Jakarta Tahun 2011

Tak Tercapai?, diakses dari http://www.kemsos.go.id pada tanggal 18 April 2017.

18Rizki Rahadian Ramadhan, 2014, Implementasi Peraturan Pemerintah Daerah No. 16

Tahun 2002 Tentang anak Jalanan Di Kota Samarinda, eJournal Ilmu Pemerintahan, 2014,

diakses dari ejournal.ip.fisip.unmul, pada tanggal 18 April 2017.

29

Hemat penulis, Pengelompokan sebagaimana tersebut di atas

dilihat dari seberapa lama seorang anak jalanan itu bersama dan

berhubungan dengan orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa orang

tua memiliki peranana penting dan menjadi faktor utama seorang anak

yang hidup di jalanan. Aktivitas anak jalanan bekerja tanpa ada batasan

waktu yang tetap, tetapi waktu yang dihabiskan untuk bekerja rata-rata

5-12 jam/hari. Anak jalanan yang bekerja sebagai pedagang, memiliki

waktu bekerja relatif teratur dan menyelesaikan pekerjaannya ketika

barang dagangan yang dibawa habis. Sedangkan anak jalanan yang

bekerja sebagai pengamen tidak memiliki keteraturan waktu bekerja.

Anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen memulai dan mengakhiri

pekerjaannya bergantung pada keinginan diri sendiri. Namun demikian

terdapat kesamaan pada setiap anak jalanan dalam bekerja, yaitu anak

jalanan dapat bekerja dan bermain dalam aktivitasnya.

Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan

bahwa karakteristik anak jalanan secara umum antara lain adalah

sebagai berikut:

1. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-

tempat hiburan) selama 24 jam.

2. Berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan anak-anak jalanan,

berada pada pendidikan rendah yaitu tidak tamat SD sampai

dengan tamat SMP. Hal ini sangatlah rawan terutama untuk

30

masa depan mereka. Tidak mungkin mereka untuk terus-

menerus menjadi anak jalanan.

3. Berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (kebanyakan

kaum urban dan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya).

4. Melakukan aktifitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada

sektor informal).

b. Gelandangan dan Pengemis

Kata gelandangan dan pengemis sering disingkat dengan

“gepeng”, istilah lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan

keberadaan gelandangan dan pengemis di masyarakat Indonesia adalah

tunawisma. Gepeng merupakan istilah yang umum digunakan untuk

menyingkat gelandangan dan pengemis dalam percakapan sehari-hari

dan topik pemberitaan media massa, bahkan juga sudah menjadi istilah

dalam kebijakan pemerintah merujuk pada sekelompok orang tertentu

yang lazim ditemui di kota-kota besar.

Adapun beberapa pengertian terkait dengan gelandagan dan

pengemis adalah sebagai berikut:

a. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa

pengertian gelandangan adalah: “orang yang tidak punya

tempat tinggal tetap, tidak tentu pekerjaannya, berkeliaran,

mondar-mandir kesana-sini tidak tentu tujuannya,

bertualang”.19

Sementara pengemis adalah “orang yang

meminta-minta”.20

19 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 281.

20 Ibid, hal. 532.

31

b. Sementara menurut ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 31

Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan

Pengemis yang dimaksud dengan gelandangan dan pengemis

tersebut adalah sebagai berikut:

- Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam

keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak

dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai

tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah

tertentu dan hidup mengembara di tempat umum;

- Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan

penghasilan dengan meminta-minta di muka umum

dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan

belas kasihan dari orang lain.

c. Kementerian Sosial Republik Indonesia memberikan rumusan

yang tidak jauh beda sebagaimana berikut: Gelandangan

adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak

sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat

setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat

tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.

Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan

meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dengan

alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.21

d. Menurut Parsudi Suparlan, gelandangan berasal dari kata

gelandang dan mendapat akhiran “an”, yang berarti selalu

bergerak, tidak tetap dan berpindah- pindah. Beliau juga

mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud

dengan masyarakat gelandangan adalah sejumlah orang yang

bersama-sama mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak

tetap dan mata pencaharian yang relatif tidak tetap serta

dianggap rendah dan hina oleh orang-orang diluar masyarakat

kecil itu yang merupakan suatu masyarakat yang lebih luas.

Tindakan- tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya

serta norma-norma yang ada pada masyarakat gelandangan

tersebut dianggap tidak pantas dan tidak dibenarkan oleh

golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang

lebih luas yang mencakup masyarakat kecil itu.22

Berdasarkan pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa

gelandangan merupakan setiap orang yang tidak punya mata

21

Kementerian Sosial RI, Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial - PMKS Tahun

2008, diakses dari http://www.kemsos.go.id, pada tanggal 18 April 2017.

22 Parsudi Suparlan, 1978, Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang

Sudah Menetap, Depok: FSUI, hal. 1

32

pencaharian dan tempat tinggal serta hidup di jalanan. Sementara

pengemis adalah orang yang bekerja untuk mendpatkan belas kasih

orang dengan cara meminta-minta.

Berikutnya, khusus untuk kata pengemis lazim digunakan untuk

sebutan bagi orang yang membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal,

atau hal lainnya dari orang yang ditemuinya dengan cara meminta.

Berbagai atribut mereka gunakan, seperti pakaian compang-camping

dan lusuh, topi, gelas plastik atau bungkus permen, atau kotak kecil

untuk menempatkan uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta.

Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan

berbagai macam alasan, seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan

mereka karena lapangan kerja yang sempit.

Terkait dengan pengemis, Gorris Keeraf mencatat bahwa secara

historis asal usul kata pengemis sebagai berikut: 23

Asal usul pengemis tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan

Surakarta Hadiningrat dan kebiasaan orang jawa yang memiliki

kecenderungan menamakan sesuatu berdasarkan kejadian atau

waktu-waktu tertentu. Cerita yang berkembang di daerah

Kesunanan Surakarta Hadiningrat tersebut mengisahkan bahwa

dahulu pada suatu hari, penguasa Kerajaan Surakarta

Hadiningrat yang dipimpin oleh seorang raja bernama

Pakubuwono X yang pada masa itu memang dikenal sangat

dermawan serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum

tak mampu terutama dilakukan menjelang hari Jumat khususnya

pada hari Kamis sore.

Pada hari Kamis tersebut diatas, Raja Pakubuwono keluar dari

istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana

menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju

23

Dalam Dimas Dwi Irawan, 2013, Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan

Pengemis, Jakarta: Titik Media Publisher, hal. 4.

33

Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki dari istana menuju

Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid

Agung ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati

alun-alun lor (alun-alun utara), rupanya di sepanjang jalan

rakyatnya berjejer rapi di kanan dan kiri jalan. Mereka

memberikan salam dan menundukkan kepala sebagai tanda

penghormatan kepada pemimpinnya. Pada saat itu sang raja

tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersedekah dan

langsung diberikan kepada rakyatnya. Kegiatan yang dilakukan

sang raja merupakan warisan yang dilakukan oleh pendahulunya

yang juga seorang penguasa. Ternyata kebiasaan tersebut yang

dilakukan setiap kamis tersebut berlangsung terus menerus, dan

dalam bahasa Jawa Kamis dibaca kemis, maka lahirlah sebutan

untuk orang yang mengharapkan berkah di hari Kemis. Istilah

ngemis (kata ganti untuk sebutan pengharap berkah di hari

Kemis)dan orang yang melakukannya disebut dengan nama

pengemis (pengharap berkah pada hari Kemis).

Jadi berdasarkan uraian di atas dapoat diketahui bahwa kata dasar

pengemis rupanya Kemis (Kamis) bukan emis. Sebutan pengemis pun

lebih sering digunakan daripada kata peminta-minta. Padahal jika

diuraikan dan diambil kata dasarnya kata kemis atau emis tidak dikenal

dalam kosakata bahasa Indonesia kecuali jika ada tambahan awalan pe-

sehingga membentuk kata pengemis. Lain halnya dengan kata peminta-

minta yang memiliki kata dasar minta yang artinya sudah jelas bahkan

bisa berdiri sendiri. Hemat penulis, penulis simpulkan bahwa pengemis

merupakan setiap orang yang melakukan pekerjaan dengan cara

meminta-minta dilakukan dengan motif-motif tertentu agar mendapat

belas kasih dari orang lain.

Lucy. D. Indrawati membedakan pengemis menjadi tiga jenis, yaitu

sebagai berikut:

1) Pengemis yang biasanya beroperasi di berbagai perempatan jalan

atau di sekitar kawasan lampu merah.

34

2) Pengemis yang mangkal di tempat-tempat umum tertentu, seperti

plaza, terminal, pasar, sekitar masjid, pelabuhan, atau stasiun

kereta api. 3) Pengemis yang biasa berkeliling dari rumah ke rumah, keluar-

masuk kampung.

Dapat penulis simpulkan bahwa penggolongan pengemis

sebagaimana tersebut di atas berdasar atas tempat para pengemis

menjalankan “profesinya”, dalam hal ini adalah jalanan, tempat

tertuntentu, atau rumah-kerumah.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk

megemban profesi sebagai pengemis. Pertama, faktor ekonomi. Keadaan

ekonomi yang kurang dari kata cukup bahkan minus dihadapkan dengan

biaya hidup yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga

membuat seseorang berpikir untuk mengambil jalan pintas dalam

menghasilkan uang.

Kedua, pendidikan. Kekayaan akan pengetahuan menjadi faktor

penting dalam persaingan global. Kebanyakan pengemis berpendidikan

rendah sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk berperan dalam

masyarakat. Selain itu, seseorang dengan pengetahuan rendah serta hanya

ingin berpikir secara simple membuatnya terhindar dari kata usaha dan

mengambil jalan mudah untuk menghasilkan uang, yaitu mengemis.

Ketiga, ketergantungan. Hal ini murni berasal dari individu masing-

masing dimana sifat malas mendominasi dalam pribadinya sehingga ia

hanya mampu bergantung pada orang lain.

35

Keempat, lingkungan. Ketiga faktor tersebut ditambah dengan faktor

lingkungan menjadi penyebab kuat yang menginspirasi seseorang

memutuskan untuk menjadi pengemis.

D. Tinjauan Umum tentang Faktor-faktor Penyebab Pelanggaran

Hukum

Sampai saat ini, belum ada pengertian hukum yang pasti untuk

dijadikan standar dalam memahami makna dan konsep hukum seutuhnya.

Sebagiaman pendapat Van Apeldorn, bahwa:

Definisi tentang hukum adalah sangat sulit untuk dibuat karena tidak

mungkin untuk mengadakannya sesuai kenyataan. Para ahli

memberikan arti yang berlainan sesuai dengan sudut pandang

masing-masing yang akan menonjolkan segi-segi tertentu dari

hukum. 24

Meskipun demikian para sarjana kemudian merumuskan pengerian

hukum berdasarkan perspektif dan sudut pandang masing-masing. Berikut

beberapa rumusan terkait dengan pengertian hukum menurut para ahli:

1. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah

dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu

masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat

itu.25

2. Menurut Affandi hukum adalah kumpulan peraturan yang harus

ditaati dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, apabila

mengabaikan peraturan tersebut maka kepada si pelanggar harus

dijatuhi hukuman”.26

3. Menurut S.M. Amin, bahwa hukum adalah kumpulan-kumpulan

peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut

hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketata-tertiban

24

Dalam Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, hal. 36.

25 Dalam Satjipto Raharjo, 2005, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adtya Bakti, hal. 38.

26 Affandi, 1998, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Merpati Group, hal. 4.

36

dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban

terpelihara. pengertian tersebut .27

4. Hans Kelsen, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshidiqie dan

Ali Safa‟at mengartikan hukum sebagai tata aturan (rule)

sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku

manusia. Dengan demikian hukum tidak menumpuk pada satu

aturan tunggal (rule) tetapi separangkat aturan (rules) yeng

memiliki satu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu

sistem, konsekuwensinya adalah tidak mungkin memahami

hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.28

5. Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai kumpulan

peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan

bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang

berlaku dalam kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan

pelaksaannya dengan suatu sanksi. Hukum sebagai kumpulan

peraturan atau kaidah mempunyai isi yang bersifat umum dan

normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif

karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang

tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta bagaimana cara

melaksanakan kepatuhan kepada kaedah-kaedah.29

Dari beberapa rumusan pengertian hukum di atas, dapat disimpulkan

bahwa pada dasarnya pengertian hukum meliputi beberapa unsur,

diantaranya:

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan

masyarakat.

b. Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang

berwajib.

c. Peraturan itu bersifat memaksa.

d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

27

Dalam Kansil, Op. Cit, hal. 38

28 Jimly Asshidiqie dan Ali Safa‟at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta:

Sekjen dan Kepaniteraan MK-RI, hal. 13.

29 Satjipto Raharjo, 2005, Op. Cit, hal. 45.

37

Adanya aturan-aturan yang bersifat masyarakat mengatur dan

memaksa anggota terjadinya untuk patuh dan mentaatinya, akan

menyebabkan keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupan mereka.

Perdamaian berarti menunjukkan adanya keserasian tertentu antara

ketertiban dan ketentraman. Ketertiban diperlukan untuk melindungi

kepentingan umum, sedangkan ketentraman diperlukan untuk melindungi

kepentingan pribadi dalam kehidupan bersama. Kedua nilai tersebut

berpasangan dan harus diserasikan supaya tidak mengganggu masyarakat

atau individu-individu yang menjadi bagiannya.

Adapun seseorang dan/atau sekelompok orang tidak patuh terhadap

aturan-aturan tersebut maka disebut “melanggar hukum”. Ketidakpatuhan

terhadap hukum dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu:30

1) Pelanggaran hukum oleh si pelanggar sudah dianggap sebagai

kebiasaan bahkan kebutuhan;

2) Hukum yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan

kehidupan.

Alasan terjadinya pelanggaran hukum tersebut dapat dilihat dari

beberapa faktor berikut:

a. Faktor Ekonomi

Faktor inilah yang paling sering disebut sebagaifaktor penyebab

timbulnya kejahatan. Misalnya kondisi masyarakat yang berada

di bawah kemiskinan ditambah lagi meningkatnya meningkatnya

harga kebutuhan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup

tersebut, seringkalai masyarakat menempuh jalan pintas dengan

30

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 152.

38

melanggar hukum, seperti mencuri, merampok, atau kejahatan

lainnya.

b. Dampak Urbanisasi

Yaitu tingginya perpindahan penduduk dari desa ke kota yang

membuat persaingan hidup di kota semakin ketat

sehinggaberbagai upaya dilakukan demi bertahan hidup. Dapat

dilihat bahwaperampokan-perampokan besar selalu terjadi di

perkotaan bukan di daerah-daerah kecamatan atau kabupaten.

c. Pengaruh teknologi

Perkembangan teknologi yang begitu cepat serta munculnya

berbagai produk elektronik canggih membuatbanyak orang

menginginkan segala sesuatu secara mudah meskipun

dengancara yang tidak benar.

E. Tinjauan Umum tentang Penegakan Hukum

Para ahli berpendapat bahwa hukum setidaknya memiliki empat

fungsi, yaitu:31

1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban;

2. Hukum sebagai sarana pembangunan;

3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan; dan

4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

Untuk mencapai keempat fungsi tersebut, maka salah satu upaya

yang perlu dilakukan adalah upaya penegakan hukum. Penegakan hukum

(law enforcement) sebagai bagian dari rangkaian untuk merubah tatanan

31

Sumantoro, 1986, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI–Press, hal. 4.

39

masyarakat. Upaya penegakan hukum sejalan dengan Pasal 1 ayat (3)

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Dengan demikian pembangunan nasional dibidang hukum ditujukan agar

masyarakat memperoleh kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum

yang berintikan kebenaran dan keadilan serta memberikan rasa aman dan

tentram.

Penegakan hukum dalam bahasa belanda disebut dengan

rechtstoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa inggris law

enforcement.

Terkait dengan penegakan hukum Andi Hamzah mengemukakan

bahwa:

Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris Law Enforcement,

bahasa Belanda rechtshandhaving. Beliau mengutip Handhaving

Milieurecht, 1981, Handhaving adalah pengawasan dan penerapan

(atau dengan ancaman) penggunaan instrumen administratif,

kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum

dan peraturan yang berlaku umum dan individual. Handhaving

meliputi fase law enforcement yang berarti penegakan hukum secara

represif dan fase compliance yang berarti preventif.32

Jika dihubungkan dengan hukum pidana penegakan hukum

mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai

dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai

pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas

legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah

32

Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, hal 48-49.

40

diatur dalam undangundang, maka bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut dan larangan tersebut sudah di atur dalam undang-

undang, maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman,

sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan

kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.

Sementara itu menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum (law

enforcement) dapat didefinisikan sebagai berikut:

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan

nilai, ide, cita yang cukup abstrak menjadi tujuan yang sangat

konkrit. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral,

seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut mampu

diwujudkan dalam realitas nyata.33

Dalam hal penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam

pemberantasan korupsi, Satjipto Raharjo berpandangan bahwa pada

umumnya kita masih terpaku cara penegakan hukum yang konvensional,

termasuk kultur. Hukum yang dijalankan berwatak liberal dan memiliki

kultur liberal yang hanya menguntungkan sejumlah kecil orang (privileged

few) di atas “penderitaan” banyak orang. Untuk mengatasi

ketidakseimbangan dan ketidakadilan itu, kita bisa melakukan langkah

tegas (affirmative action). Langkah tegas itu dengan menciptakan suatu

kultur penegakan hukum yang beda, sebutlah kultur kolektif. Mengubah

kultur individual menjadi kolektif dalam penegakan hukum memang

bukan hal yang mudah.

33

Sajipto Rahardjo, 2009, Penegakan hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, ctk. Kedua,

Yogyakarta: Genta Publishing, hal.vii.

41

Selain pengertian di atas, berikut beberapa pengertian penegakan

hukum:

3. Penegakan hukum menurut pendapat Soerjono Soekanto adalah

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan

dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan

mengejawantahkan-nya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian

pergaulan hidup.34

4. Menurut A. Hamid S. Attamimi Penegakan hukum pada

hakikatnya adalah penegakan norma-norma hukum, baik yang

berfungsi suruhan (gebot, command) atau berfungsi lain seperti

memberi kuasa (ermachtigen, to empower), membolehkan

(erlauben, to permit), dan menyimpangi (derogieren, to

derogate).35

5. Jimly Asshiddiqie memberikan definisi bahwa Penegakan hukum

adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman

perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.36

Jimly menambahkan

bahwa ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat

dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai

upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau

sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan

semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja

yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau

tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma

aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau

menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya

itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur

penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa

suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam

memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur

penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya

paksa.37

34

Soerjono Soekanto 1983. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Surabaya: Ghalia

Indonesia, hal. 3.

35 A. Hamid S. Attamimi dalam Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di

Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 42.

36 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, diakses dari www.jimly.com pada 19

April 2017

37 Ibid

42

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan

penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan

untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun

dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap

perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan

maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan

kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-

norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.

Mardjono Reksodipuro mengartikan penegakan hukum dalam

kerangka tiga konsep, yaitu sebagai berikut:

a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement

concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang

norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.

b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement

concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan

hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan

individual.

c. Konsep penegakan hukum actual (actual enforcement concept) yang

muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum

karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan

saranaprasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas

perundangundangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Jadi, penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakikatnya

merupakan penerapan atas norma-norma yang sudah dilembagakan oleh

seperangkat alat-alat hukum yang berwenang dalam rangka mencapai

tujuan daripada hukum. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan

hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai

43

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, melahirkan

dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Jadi, penegakan hukum

merupakan suatu upaya pemerintah untuk menciptakan keadilan dalam

kehidupan masyarakat.

Menurut Mastra Liba ada 14 faktor yang mempengaruhi kinerja

penegakan hukum yaitu:38

1) Sistem ketatanegaraan yang menempatkan “jaksa agung” sejajar

menteri;

2) Sistem perundangan yang belum memadai;

3) Faktor sumber daya alam (SDM);

4) aktor kepentingan yang melekat pada aparat pelaksana:

a. Kepentingan pribadi.

b. Kepentingan golongan.

c. Kepentingan politik kenegaraan.

5) Corspgeits dalam institusi;

6) Tekanan yang kuat pada aparat penegak hukum;

7) Faktor budaya;

8) Faktor agama;

9) Legislatif sebagai “lembaga legislasi” perlu secara maksimal

mendorong dan memberi contoh tauladan yang baik dalam

penegakan hukum;

10) Kemauan politik pemerintah;

11) Faktor kepemimpinan;

12) Kuatnya jaringan kerja sama pelaku kejahatan (organize crime);

13) Kuatnya pengaruh kolusi “dalam jiwa pensiunan aparat penegak

hukum”;

14) Pemanfaatan kelemahan peraturan perundang-undangan.

Sementara menurut Soerjono Soekanto Faktor-faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum tersebut adalah:39

1. Faktor hukumnya sendiri;

2. Faktor penegak hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

38

Rena Yulia, 2010. Viktimologi (Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan),

Yogyakarta: Graha Ilmu, hal. 85.

39 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 7-8.

44

4. Faktor masyarakat yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku

dan diterapkan;

5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada rasa kemanusiaan di dalam pergaulan hidup.

Berdasarkan uraian d atas dapat diketahui bahwa tujuan penegakan

hukum sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, adalah untuk mencapai

hasil-hasil tertentu yang diinginkan dan tujuan hukum merupakan upaya

mewujudkan tercapainya ketertiban dan keadilan. Suatu ketertiban

mustahil akan dapat diwujudkan, jika hukum diabaikan. Kesadaran dan

kepatuhan masyarakat terhadap hukum, tidak saja berpengaruh terhadap

ketertiban dan keadilan, tetapi berperan membentuk kultur (budaya)

hukum suatu masyarakat karena mengatur perilaku.40

F. Gambaran Umum tentang Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9

Tahun 2013

Peraturan Daerah (Selanjutnya disebut Perda) adalah sebagaimana

didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

adalah:

Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (Provinsi)

atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Kab./Kota) dengan

persetujuan bersama Gubernur (Povinsi) atau Walikota/Bupati

(Kab./Kota).41

40

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, 2008, Op. Cit, hal. 88.

41 Lihat pasal 1 angka 7 dan 8 Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

45

Adanya Perda dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

merupakan salah satu wujud dari prinsip desentralisasi yang dilakukan

oleh Pemerintah Pusat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 18

ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang berbunyi “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah

dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan”. Selain itu, kewenangan pembuatan Perda juga terdapat

dalam Pasal 136 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, sebagai berikut:

(1) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, Pemerintahan daerah

diberikan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Dalam rangka

melaksanakan otonomi luas di daerah, maka pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Salah satu Perda yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Malang

dalam melaksanakan otonomi daerah adalah Peraturan Daerah Kota

Malang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penanganan Anak Jalanan.

Berdasarkan dasar pertimbangan yang terdapat dalam perda ini, setidaknya

terdapat dua alasan yang menjadi latar belakang adanya Perda ini, yaitu:

46

a. Gelandangan, dan Pengemis adalah salah satu bentuk. keberadaan

anak jalanan, gelandangan dan pengemis cenderung

membahayakan dirinya sendiri dan/atau orang lain dan

ketentraman ditempat umum serta memungkinkan mereka

menjadi sasaran eksploitasi dan tindak kekerasan, sehingga perlu

segera dilakukan penanganan secara komprehensif, terpadu dan

berkesinambungan;

b. bahwa terhadap pengaturan pembinaan anak jalanan,

gelandangan, dan pengemis yang ada dipandang sudah tidak

memadai lagi

Perda yang diundangkan di Malang pada tanggal 12 Pebruari 2014 ini

terdiri atas 18 Pasal yang terbagi ke dalam VII Bab, sebagai berikut:

BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II ASAS DAN TUJUAN (Berisi asas dan tujuan Pembinaan

dan penanganan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis

di Kota Malang)

BAB III PENANGANAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN

DAN PENGEMIS (Berisi mengenai upaya-upaya yang

dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Malang dalam

pengenanganan terhadap anak jalanan, gelandangan dan

pengemis di Kota Malang)

BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN (Berisi kewajiban

Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan dan

47

pengawasan terhadap anak jalanan, gelandangan dan

pengemis di Kota Malang)

BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT (Berisi bagaimana peran

serta masyarakat dalam upaya penanganan anak jalanan,

gelandangan dan pengemis di Kota Malang)

BAB VI SUMBER DANA (Berisi tentang sumber pendanaan atas

beban biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota

Malang dalam upaya penanganan anak jalanan,

gelandangan dan pengemis di Kota Malang)

BAB VII KETENTUAN PENUTUP