BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Kesejahteraan 2.1.1 Ekonomi … · 2018. 11. 12. · n = Tingkat...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Kesejahteraan 2.1.1 Ekonomi … · 2018. 11. 12. · n = Tingkat...
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Kesejahteraan
2.1.1 Ekonomi Kesejahteraan
Kesejahteraan dapat dilihat melalui banyak dimensi, namun dapat dimulai
dari cara pengukuran yang dipakai yakni kesejahteraan material atau standar
hidup manusia (Stiglitz dkk., 2009). Misalnya dalam mengukur pendapatan riil
dan juga konsumsi riil, ini adalah sebagian dari determinan pokok kesejahteraan
material yang dinikmati manusia. Untuk mengukur standar hidup maka yang
penting diperhatikan adalah dalam pengukuran output dari hasil pembangunan
(diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto = PDRB untuk tingkatan
regional/daerah dan Produk Domestik Produk = PDB untuk tingkatan
nasional/negara).
Kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai perwujudan dari pemenuhan
kepuasan seseorang dalam kehidupannya di masyarakat, di mana besar kecilnya
tingkat kepuasan tersebut tergantung dari kesejahteraan yang dinilai oleh masing-
masing anggota masyarakat (Saen, 1982). Kesejahteraan secara fungsional dapat
dikatakan sebagai fungsi dari utilitas (kepuasan) dari seluruh individu sebagai
anggota masyarakat dalam suatu perekonomian. Di mana utilitas yang diterima
masing-masing individu merupakan fungsi dari berbagai kombinasi dari barang
dan jasa yang dikonsumsinya dalam waktu tertentu dan jumlah tertentu.
Kemudian untuk kesejahteraan sosial dianggap mengalami peningkatan jika
16
paling tidak, ada satu individu yang mengalami peningkatan kesejahteraan
sedangkan yang lainnya dapat tidak mengalami penurunan tingkat
kesejahteraannya. Berdasarkan pernyataan itu dapat dikupas sebagai awal penilai
kesejahteraan individu di masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat banyak dibicarakan melalui teori kesejahteraan
Pareto. Di dalam prinsip pemikiran Pareto dikatakan bahwa suatu perubahan
kebijakan akan meningkatkan kesejahteraan sosial masyatakat, hanya jika
kebijakan yang dimaksud menyebabkan paling tidak ada satu orang yang
kesejahteraannya meningkat atau dalam kondisi yang lebih baik, sedangkan
individu lain kondisi kesejahteraannya berada pada kondisi yang tidak berubah
(tetap) kesejahteraannya (Mankiw, 2000).
2.1.2 Pengukuran Kesejahteraan Masyarakat
Menurut Mayer dan Sullivan (2002), secara konsep ekonomi konsumsi lebih
tepat digunakan dibandingkan dengan pendapatan, karena konsumsi merupakan
pengukuran yang langsung menyentuh kesejahteraan masyarakat. Kemudian
kesejahteraan dari non dimensi ekonomi dapat berupa pendidikan, kesehatan.
Pengukuran dari sisi kesehatan dapat dilakukan melalui item pengukuran
kesehatan secara umum, seperti pelaporan medis, rawat nginap atau rawat jalan,
kesehatan psikologi, mental, emosional dan sebagainya bahkan terkait dengan
masalah kebahagian (Easterlin, 2001).
BPS (2008) menggunakan kriteria yang didasarkan pada pengeluaran
konsumsi rumah tangga baik berupa pangan dan non pangan. BKKBN
menggunakan pendekatan kesejahteraan keluarga dalam mengukur kesejahteraan
17
ini, dengan membagi kriteria keluarga menjadi lima tahapan, yaitu keluarga pra
sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan
keluarga sejahtera plus.
Cahyat dkk. (2007) dari lembaga CIFOR (Center for International Forestry
Researh) melakukan pemantauan kesejahteraan dengan mengambil kasus di Kutai
Barat Kalimantan Timur, dan menemukan bahwa kesejahteraan itu dapat diukur
dengan beberapa kriteria, sebagai berikut a) kesejahteraan subjektif, b)
kesejahteraan dasar yang dibagi lagi menjadi tiga indeks yaitu kesehatan dan gizi,
kekayaan materi dan pengetahuan, c) lingkungan pendukung antara lain alam,
ekonomi, sosial, politik, infrastruktur serta pelayanan publik.
Stiglitz (2011) mengukur kesejahteraan masyarakat melalui dimensi berikut;
standar hidup material (terdiri dari pendapatan, konsumsi, dan kekayaan),
kesehatan, pendidikan, aktivitas penduduk termasuk jenis pekerjaan, politik dan
pemerintahan, modal sosial yakni hubungan kekerabatan dan lain-lain, lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hidup saat ini dan masa depan, masalah keamanan
dari sisi berusaha/ekonomi dan non ekonomi lainnya.
Kesejahteraan masyarakat yang diukur dari persoalan ekonomi yakni
melalui pertumbuhan ekonomi yang ujung-ujungnya merupakan indikator dari
dampak kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan khususnya dalam bidang
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan kontribusi dari pertumbuhan
berbagai macam sektor ekonomi, yang secara tidak langsung menggambarkan
tingkat perubahan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk
18
mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk
menentukan arah pembangunannya di masa yang akan datang.
Khusus untuk nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara nyata
mampu memberikan gambaran mengenai nilai tambah bruto yang dihasilkan unit-
unit produksi pada suatu daerah dalam periode tertentu. Lebih jauh,
perkembangan besaran nilai PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat
dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu daerah, atau
dengan kata lain pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat tercermin melalui
pertumbuhan nilai PDRB. Sehingga selain PDRB ada indikator lain untuk
mengukur tingkat kesejahteraan umum dan PDRB menjadi bagian dari ukuran ini.
Ukuran ini menjelaskan pelbagai indikator yang ada, ukuran itu adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) paling tepat dipakai untuk mengukur profil
kesejahteraan umum. Indeks pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks yang
digunakan untuk menggambarkan capaian di sektor kesejahteraan masyarakat
secara agregat, karena indeks ini menangkap perkembangan di sektor ekonomi
dan sektor sosial sekaligus.
Di dalam indeks tersebut, kesejahteraan tidak hanya ditilik melalui
perspektif ekonomi semata sebagaimana lazim terekam dalam Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) per kapita, tetapi juga diteropong via capaian di sektor
sosial, yakni pendidikan dan kesehatan. Dalam hal yang terakhir, Tingkat Melek
Huruf (TMH) dan Tingkat Harapan Hidup (THH) adalah dua indikator yang lazim
termaktub dalam konstruksi IPM.
19
Pertama, fokus kesejahteraan dan pemerataan ekonomi yang memiliki
indikator pertumbuhan ekonomi, pengendalian inflasi, PDRB perkapita, indeks
gini yang rendah, pemerataan pendapatan, penurunan penduduk miskin, dan
kriminalitas yang semakin menurun. Kesemua indikator ini memiliki ukurannya
masing masing dan bisa dijadikan sarana evaluasi apakah pemerintah sukses atau
gagal dalam mengurus rakyatnya.
Kedua, fokus kesejahteraan masyarakat. Fokus yang kedua ini juga
memiliki indikator, yaitu angka melek huruf, angka rata-rata lama sekolah, angka
partisipasi kasar, angka pendidikan yang ditamatkan dan angka partisipasi murni.
Indikator ini tergabung dalam fokus kesejahteraan masyarakat di bidang
pendidikan. Selanjutnya fokus kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan
memiliki indikator, yaitu angka kelangsungan hidup bayi, angka usia harapan
hidup, persentase balita gizi buruk.
2.2 Pertumbuhan Ekonomi
2.2.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan
kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan
jasa-jasa. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting
dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu
negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekomian
akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu.
Karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan
20
faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada
gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi
yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi maka
diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan
meningkat.
Dengan perkataan lain bahwa pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk kepada
perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur
dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) atau pendapatan atau
nilai akhir pasar (total market value) dari barang-barang akhir dan jasa-jasa (final
goods and services) yang dihasilkan dari suatu perekonomian selama kurun waktu
tertentu (biasanya satu tahun).
Pendapatan perkapita merupakan personal income di mana pendapatan yang
diterima rumah tangga dan bisnis non perusahaan. Nilainya diperoleh dengan
membagi nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu tahun tertentu
dengan jumlah penduduk pada tahun tersebut (Mankiw, 2003:10). Dengan adanya
pendapatan perkapita suatu negara mengharap pembangunan ekonomi mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun, karena pendapatan perkapita suatu negara
dapat membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta dapat
membandingkan laju perkembangan ekonomi yang telah dicapai oleh negara dari
masa ke masa.
Definisi Produk Domestik Regional Bruto adalah total nilai produksi barang
dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu
biasanya dalam satu tahun (Badan Pusat Statistik, 2013).
21
Menurut Anwar (1992), Produk Domestik Regional Bruto adalah sejumlah
nilai tambah produksi yang ditimbulkan oleh berbagai sector atau lapangan usaha
yang melakukan kegiatan usahanya di suatu daerah atau regional tanpa memilih
atas faktor produksi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan
jumlah nilai tambah atau jumlah nilai barang atau jasa akhir yang dihasilkan oleh
seluruh unit usaha dalam suatu daerah pada satu tahun. Seperti yang telah kita
ketahui bahwa pertumbuhan penduduk justru mendorong usaha pertumbuhan
ekonomi, sebab kalau tidak ada pertumbuhan ekonomi niscaya standar hidup
manusia pasti semakin merosot.
Perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi berbeda dengan pembangunan
ekonomi, kedua istilah ini mempunyai arti yang sedikit berbeda. Kedua-duanya
memang menerangkan mengenai perkembangan ekonomi yang berlaku. Tetapi
biasanya, istilah ini digunakan dalam konteks yang berbeda. Pertumbuhan selalu
digunakan sebagai suatu ungkapan umum yang menggambarkan tingkat
perkembangan sesuatu negara, yang diukur melalui persentasi pertambahan
pendapatan nasional riil. Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan
perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Dengan perkataan lain,
dalam mengartikan istilah pembangunan ekonomi, ahli ekonomi bukan saja
tertarik kepada masalah perkembangan pendapatan nasional riil, tetapi juga
kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha merombak sektor
pertanian yang tradisional, masalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan
masalah perataan pembagian pendapatan (Sukirno, 2006).
22
2.2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang, antara lain sebagai
berikut (Sukirno, 2006).
2.2.2.1 Teori Pertumbuhan Klasik
Teori ini dipelopori oleh Adam Smith, David Ricardo, Malthus, dan John
Stuart Mill. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh empat
faktor, yaitu jumlah penduduk, jumlah barang modal, luas tanah dan kekayaan
alam serta teknologi yang digunakan. Mereka lebih menaruh perhatiannya pada
pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka
asumsikan luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi tidak mengalami
perubahan. Teori yang menjelaskan keterkaitan antara pendapatan perkapita
dengan jumlah penduduk disebut dengan teori penduduk optimal.
Menurut teori ini, pada mulanya pertambahan penduduk akan menyebabkan
kenaikan pendapatan perkapita. Namun jika jumlah penduduk terus bertambah
maka hukum hasil lebih yang semakin berkurang akan mempengaruhi fungsi
produksi yaitu produksi marginal akan mengalami penurunan, dan akan membawa
pada keadaan pendapatan perkapita sama dengan produksi marginal. Pada
keadaan ini pendapatan perkapita mencapai nilai yang maksimal. Jumlah
penduduk pada waktu itu dinamakan penduduk optimal. Apabila jumlah
penduduk terus meningkat melebihi titik optimal maka pertumbuhan penduduk
akan menyebabkan penurunan nilai pertumbuhan ekonomi.
23
2.2.2.2 Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Teori ini dikembangkan hampir pada waktu yang bersamaan oleh Roy F.
Harrod (1984) di Inggris dan Evsey D. Domar (1957) di Amerika Serikat. Mereka
menggunakan proses perhitungan yang berbeda tetapi memberikan hasil yang
sama, sehingga keduanya dianggap mengemukakan ide yang sama dan disebut
teori Harrod-Domar. Teori ini melengkapi teori Keynes, dimana Keynes
melihatnya dalam jangka pendek (kondisi statis), sedangkan Harrod-Domar
melihatnya dalam jangka panjang (kondisi dinamis). Teori Harrod-Domar
didasarkan pada asumsi, sebagai berikut.
1) Perkonomian bersifat tertutup
2) Hasrat menabung (MPS = s) adalah konstan
3) Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constant return to scale).
4) Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan sama dengan tingkat
pertumbuhan penduduk.
Model ini menerangkan dengan asumsi supaya perekonomian dapat
mencapai pertumbuhan yang kuat (steady growth) dalam jangka panjang. Asumsi
yang dimaksud di sini adalah kondisi dimana barang modal telah mencapai
kapasitas penuh, tabungan memiliki proposional yang ideal dengan tingkat
pendapatan nasional, rasio antara modal dengan produksi (Capital Output
Ratio/COR) tetap perekonomian terdiri dari dua sektor (Y = C + I). Atas dasar
asumsi-asumsi khusus tersebut, Harrod-Domar membuat analisis dan
menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap (seluruh
24
kenaikan produksi dapat diserap oleh pasar) hanya bisa tercapai apabila terpenuhi
syarat-syarat keseimbangan, sebagai berikut.
g = K = n.............................................................. (2.1)
Dimana:
g = Growth (tingkat pertumbuhan output)
K = Capital (tingkat pertumbuhan modal)
n = Tingkat pertumbuhan angkatan kerja
Harrod-Domar mendasarkan teorinya berdasarkan mekanisme pasar tanpa
campur tangan pemerintah. Akan tetapi kesimpulannya menunjukkan bahwa
pemerintah perlu merencanakan besarnya investasi agar terdapat keseimbangan
dalam sisi penawaran dan permintaan barang.
2.2.2.3 Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
Teori pertumbuhan neo-klasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970)
dan T.W. Swan (1956). Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan
penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan besarnya output yang
saling berinteraksi.
Perbedaan utama dengan model Harrod-Domar adalah dimasukkannya
unsur kemajuan teknologi dalam modelnya. Selain itu, Solow-Swan menggunakan
model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara kapital (K)
dan tenaga kerja (L). Dengan demikian, syarat-syarat adanya pertumbuhan
ekonomi yang baik dalam model Solow-Swan kurang restriktif disebabkan
kemungkinan substitusi antara tenaga kerja dan modal. Hal ini berarti ada
fleksibilitas dalam rasio modal-output dan rasio modal-tenaga kerja.
25
Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat
menciptakan keseimbangan, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak
mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga
sumber yaitu, akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan
peningkatan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan
teknik, sehingga produktivitas kapital meningkat. Dalam model tersebut, masalah
teknologi dianggap sebagai fungsi dari waktu.
Teori neo-klasik sebagai penerus dari teori klasik menganjurkan agar
kondisi selalu diarahkan untuk menuju pasar sempurna. Dalam keadaan pasar
sempurna, perekonomian bisa tumbuh maksimal. Sama seperti dalam ekonomi
model klasik, kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan hambatan dalam
perdagangan, termasuk perpindahan orang, barang, dan modal. Harus dijamin
kelancaran arus barang, modal, dan tenaga kerja, dan perlunya penyebarluasan
informasi pasar. Harus diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik
dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan stabilitas politik. Analisis lanjutan dari
paham neoklasik menunjukkan bahwa untuk terciptanya suatu pertumbuhan yang
mantap (steady growth), diperlukan suatu tingkat saving yang tinggi dan seluruh
keuntungan pengusaha diinvestasikan kembali.
2.2.2.4 Teori Schumpeter
Teori ini menekankan pada inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha dan
mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha
(enterpreneurship) dalam masyarakat yang mampu melihat peluang dan berani
26
mengambil risiko membuka usaha baru, maupun memperluas usaha yang telah
ada. Dengan pembukaan usaha baru dan perluasan usaha, tersedia lapangan kerja.
tambahan untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.
Didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan dari
inovasi tersebut, maka para pengusaha akan meminjam modal dan mengadakan
investasi. Investasi ini akan mempertinggi kegiatan ekonomi suatu negara.
Kenaikan tersebut selanjutnya juga akan mendorong pengusaha-pengusaha lain
untuk menghasilkan lebih banyak lagi sehingga produksi agregat akan bertambah.
Selanjutnya Schumpeter menyatakan bahwa jika tingkat kemajuan suatu
perekonomian semakin tinggi maka keinginan untuk melakukan inovasi semakin
berkurang, hal ini disebabkan oleh karena masyarakat telah merasa mencukupi
kebutuhannya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi akan semakin lambat
jalannya dan pada akhirnya tercapai tingkat keadaan tidak berkembang (stationary
state). Namun keadaan tidak berkembang yang dimaksud di sini berbeda dengan
pandangan klasik. Dalam pandangan Schumpeter keadaan tidak berkembang itu
dicapai pada tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi. Sedangkan dalam pandangan
klasik, keadaan tidak berkembang terjadi pada waktu perekonomian berada pada
kondisi tingkat pendapatan masyarakat sangat rendah.
2.3 Teori Ekonomi Pembangunan
Pembangunan ekonomi mencakup pengertian yang sangat luas, tidak hanya
sekedar menaikkan pendapatan perkapita pertahun bahkan indikator PNB (Produk
Nasional Bersih). Sebagai indikator utama tidak selalu dapat menggambarkan
suksesnya suatu pembangunan. Indikator-indikator yang lain seperti pendidikan,
27
distribusi pendapatan, jumlah penduduk miskin, juga menunjukkan keberhasilan
pembangunan. Pengalaman pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an telah
membuktikan hal ini. Negara-negara di dunia ketiga telah mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai dengan target namun gagal dalam
meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakatnya. Masalah-masalah sosial
seperti pengangguran, kesenjangan pendapatan dan sebagainya tidak mengalami
perbaikan. Dan selama tahun 1970-an mulai muncul pandangan bahwa tujuan
utama dari usaha-usaha pembangunan bukan menciptakan tingkat pertumbuhan
yang tinggi melainkan penghapusan dan pengurangan tingkat kemiskinan.
Penanggulangan ketimpangan pendapatan, penyediaan lapangan kerja dalam
konteks perekonomian yang terus berkembang.
Berdasarkan pengamatannya pada pemerintahan di Eropa Timur, struktur
dan ukuran pemerintah yang lebih kecil ternyata mampu mendorong masyarakat
untuk ikut berpartisipasi dalam upaya mencapai kesejahteraan. Di samping itu
pemerintahan yang lebih kecil memiliki tingkat birokrasi yang rendah sehingga
fungsi administratif berjalan dengan baik dan masyarakat mampu mendapatkan
pelayanan publik yang sesuai dengan harapan mereka.
Teori-teori pertumbuhan ekonomi melihat hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dengan faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Beberapa teori
mengenai pertumbuhan ekonomi, yaitu sebagai berikut.
1) Teori Klasik
Adam Smith adalah ahli ekonomi klasik pertama, yang mengemukakan
pentingnya kebijaksanaan lisezfaire atas sistem mekanisme untuk
28
memaksimalkan tingkat perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Menurut
Smith sistem ekonomi pasar bebas menciptakan efisiensi, membawa ekonomi
kepada full employment, dan menjamin pertumbuhan ekonomi sampai
tercapai posisi stationer (stationery state) yang terjadi apabila sumber daya
alam telah seluruhnya dimanfaatkan, dan kalaupun ada pengangguran itu
bersifat sementara.
2) Teori Schumpeter
Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan
oleh kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship). Sebab, para
pengusahalah yang mempunyai kemampuan dan keberanian mengaplikasi
penemuan-penemuan baru dalam dunia usaha merupakan langkah inovasi.
Termasuk dalam langkah-langkah inovasi adalah penyusunan teknik dalam
tahap produksi serta masalah organisasi manajemen, agar produk yang
dihasilkan dapat diterima pasar.
2.4 Teori Perubahan Struktur Ekonomi
2.4.1 Teori Perubahan Struktural
Teori-teori perubahan struktural (struktural change theory) memusatkan
perhatiannya pada mekanisme yang akan memungkinkan negara-negara
terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri
mereka dari perekonomian pertanian subsisten tradisional yang hanya mampu
mencukupi keperluan sendiri ke perekonomian yang lebih modern, lebih
29
berorientasi ke kehidupan perkotaan, dan lebih bervariasi, serta memiliki sektor
industri manufaktur dan jasa-jasa yang tangguh (Todaro, 2000).
2.4.2 Teori Hollis B. Chenery
Teori Chenery mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik yang
sekiranya berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembangunan. Faktor-
faktor yang didapatinya penting, antara lain adalah kelancaran transisi dari
perekonomian agraris ke perekonomian industri; kesinambungan akumulasi modal
fisik dan manusia; perubahan jenis permintaan konsumen dari produk kebutuhan
pokok ke berbagai macam barang dan jasa; perkembangan daerah perkotaan
terutama pusat-pusat industri berkat migrasi para pencari kerja dari daerah-daerah
pertanian di pedesaan dan kota-kota kecil; serta pengurangan jumlah anggota
dalam setiap keluarga dan kenaikan populasi pada umumnya (Todaro, 2000).
2.4.3 Teori Isard
Isard (1956) dalam Sirojuzilam dan Mahalli (2010) memberikan suatu pola
pergeseran struktur ekonomi dearah dalam penyerapan tenaga kerja. Pola yang
dikembangkannya adalah perbandingan perubahan tenaga kerja daerah dengan
perubahan tenaga kerja daerah yang lebih luas. Pola tersebut disesuaikan menjadi
suatu grafik, sebagai berikut.
30
Gambar 2.1
Pertumbuhan Relatif Sektor-sektor
Sumber: Sirojuzilam dan Mahalli (2010)
2.5 Konsep Keuangan Inklusif
Financial inclusion adalah program yang dimaksudkan untuk membuat
masyarakat khususnya kelas menengah bawah mengerti dan menggunakan jasa
layanan institusi keuangan utamanya perbankan (Kumar, 2013). Sedangkan
financial exclusion adalah kondisi dimana masyarakat belum memiliki akses ke
perbankan atau belum berhubungan dengan bank, sehingga mereka tidak punya
rekening di bank (Sinclair, 2013).
Konsep inklusi keuangan muncul setelah adanya konsep eklusi keuangan.
Berbagai peneliti mendefinisikan inklusi keuangan sebagai kebalikan dari eklusi
keuangan. Sarma (2012) mendefinisikan inklusi keuangan sebagai sebuah proses
yang menjamin kemudahan dalam akses, ketersediaan, dan manfaat dari system
keuangan formal bagi seluruh pelaku ekonomi.
Bank Indonesia (2013) mendefinisikan keuangan inklusi (financial
inclucion) sebagai seluruh upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk
31
hambatan yang bersifat harga maupun non harga, terhadap akses masyarakat
dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Indikator yang dapat dijadikan
ukuran dari keuangan yang inklusif sebuah Negara adalah ketersediaan/akses
untuk mengukur kemampuan penggunaan jasa keuangan formal dalam hal
keterjangkauan fisik dan harga, penggunaan untuk mengukur kemampuan
penggunaan actual produk dan jasa keuangan (antara lain keteraturan, frekuensi
dan lama penggunaan), kualitas untuk mengukur apakah atribut produk dan jasa
keuangantelah memenuhi kebutuhan pelanggan, dan kesejahteraan untuk
mengukur dampak layanan keuangan terhadap tingkat kehidupan masyarakat.
Beck et al. (2007) menyatakan bahwa konsep akses jasa keuangan dengan
penggunaan jasa keuangan adalah konsep yang berbeda. Pelaku ekonomi mungkin
memiliki akses terhadap jasa keuangan tetapi tidak ingin menggunakannya. Hal
ini dapat disebabkan alasan sosial budaya ataupun biaya imbangan yang terlalu
tinggi untuk menggunakan jasa keuangan. Oleh karena itu, Beck et al.
membedakan kedua konsep terkait jangkauan sector keuangan, yakni (1) adanya
akses dan kemungkinan dalam menggunakan jasa keuangan, dan (2) penggunaan
jasa keuangan actual artinya yang benar-benar menggunakan jasa keuangan.
Adanya akses dan kemungkinan dalam menggunakan jasa keuangan di suatu
daerah diukur dengan jumlah outlet/kantor cabang perbankan dan ATM yang ada
di daerah tersebut. Semakin tinggi intensitas outlet/kantor cabang bank dan ATM
maka semakin tinggi pula kemungkinan dalam mengakses deposit serta rata-rata
kreditdan deposit per GDP per kapita. Tingginya dan kesempatan dalam
menggunakan jasa keuangan. Sedangkan konsep kedua diukur dengan jumlah
32
rekening kredit dan deposit serta rata-rata kredit dan deposit per GDP per kapita.
Tingginya kepemilikan rekening kredit dan deposit menunjukkan tingginya
penggunaan jasa keuangan.
Demirguc-Kunt A. et al. (2008) menjelaskan lebih terperinci terkait
perbedaan akses terhadap jasa keuangan dengan penggunaan jasa keuangan.
Akses ditujukan untuk penawaran sedangkan penggunaan jasa keuangan
ditentukan baik oleh penawaran maupun permintaan. Walaupun seseorang
berpendapatan tinggi memiliki akses terhadap jasa keuangan, ada kemungkinan
saja ia tidak tertarik untuk menggunakan jasa tersbut. Begitu pula dengan nasabah,
baik individu maupun perusahaan, belum tentu mau meminjam uang meskipun
ditawari dengan suku bunga yang rendah.
Adapun studi Van der Werff (2013) dalam studinya di 31 negara OECD
tahun 2011, menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi proporsi populasi
yang mengakses perbankan adalah ketimpangan pendapatan, jumlah ATM dan
bank per 100.000 populasi, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi
yang diproksikan dengan corruption index dan GNI per kapita. Inklusi keuangan
juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.
Beck et al. (2007) di 99 negara pada tahun 2003-2004 menunjukkan bahwa
factor yang menentukan jangkauan sektor keuangan sama dengan faktor yang
menentukan kedalaman sektor keuangan. Faktor-faktor tersbut adalah tingkat dari
pembangunan yang diproksikan dengan GDP per kapita, kualitas institusi yang
diproksikan dengan governance index, serta informasi kredit yang diprosikan
yang diproksikan dengan credit information index.
33
Index of Financial Inclusion (IFI). Beberapa peneliti mengukur inklusi
keuangan dengan menghitung proporsi dari populasi dewasa atau rumah tangga
yang memiliki akses terhadap jasa keuangan formal. Studi yang lain membedakan
konsep akses jasa keuangan dengan penggunaan jasa keuangan. Akses jasa
keuangan dapat diukur dengan jumlah kantor perbankan dan jumlah ATM yang
tersebar pada suatu wilayah, penggunaan jasa keuangan diukur dengan jumlah
deposit serta kredit yang dilemparkan/disalurkan (World Bank, 2008). Sarma et
al. (2011) merangkum itu semua dalam satu konsep yaitu Indeks Inklusi
Keuangan (Index of Financial Inclusion). Indeks ini sendiri digunakan untuk
mengukur keinklusifan sistem keuangan di suatu negara. Perhitungan IFI yang
dikembangkan oleh Sarma terbagi atas tiga dimensi, yaitu sebagai berikut.
1) Penetrasi Perbankan. Penetrasi perbankan adalah indikator utama dalam
inklusif keuangan. Semakin banyak penggunanya maka semakin baik, karena
itu sistem keuangan diharapkan dapat menjangkau secara luas di antara
penggunanya. Salah satu indikator penetrasi perbankan adalah proporsi
populasi yang memiliki rekening di bank.
2) Ketersediaan jasa keuangan. Jasa keuangan harus tersedia bagi semua
pengguna, dalam suatu sistem keuangan yang inklusif. Ukuran ketersediaan
ini adalah jumlah outlet (kantor cabang, ATM, dan lain lain). Ketersediaan
jasa dapat dilihat dari jumlah cabang lembaga keuangan atau jumlah ATM
(Automatic Telle Machine). Tidak bisa dipungkiri ATM memiliki peranan
yang sangat penting bagi jasa perbankan dalam melayani kebutuhan
masyarakat. Kemudahan dalam mengambil tunai, penyetoran tunai serta
34
digunakan untuk pembayaran membuat ATM menjadi kebutuhan mutlak bagi
masyarakat. Dengan adanya kantor cabang dan ATM, masyarakat akan
semakin mudah menjangkau jasa keuangan.
3) Penggunaan jasa perbankan. Banyak alasan mengapa sekelompok orang
masih belum memanfaatkan keberadaan jasa keuangan meskipun mereka
memiliki akses terhadap jasa keuangan. Di antaranya, jauhnya outlet bank
dari tempat kediaman atau aktivitas sehari-hari, pengalaman buruk yang
melibatkan penyedia jasa. Oleh sebab itu, memiliki rekening tidak cukup
untuk menunjukkan sistem keuangan yang inklusif, namun masyarakat juga
bisa menggunakannya. Kegunaan tersebut di antaranya dapat dalam bentuk
kredit, deposit, pembayaran, remitansi, dan transfer. Berbagai studi tentang
literasi keuangan telah dilakukan di beberapa negara. Wachira dan Kihiu
(2012) telah melakukan studi tentang pengaruh literasi keuangan terhadap
akses jasa keuangan di Kenya pada tahun 2009, ternyata akses terhadap jasa
keuangan tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat literasi keuangan tetapi lebih
besar dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jarak dari bank, usia, status
perkawinan, jenis kelamin, ukuran rumah tangga, dan tingkat pendidikan.
Berbagai studi tentang literasi keuangan telah dilakukan di beberapa
negara. Wachira dan Kihiu (2012) telah melakukan studi tentang pengaruh literasi
keuangan terhadap akses jasa keuangan di Kenya pada tahun 2009, ternyata akses
terhadap jasa keuangan tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat literasi keuangan
tetapi lebih besar dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jarak dari bank, usia, status
perkawinan, jenis kelamin, ukuran rumah tangga, dan tingkat pendidikan.
35
Andrianaivo dan Kpodar (2012) menganalisis 44 negara di benua Afrika
dengan menggunakan data tahun 1988-2007 terkait hubungan telepon seluler,
inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Hasil studi tersebut menjelaskan
bahwa pengembangan telepon seluler berkontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi di Afrika. Selain itu, inklusi keuangan yang diukur dengan jumlah
tabungan dan pinjaman per kapita menjadi salah satu jalur transmisi dari
perkembangan telepon seluler terhadap pertumbuhan. Peranan perbankan nasional
perlu ditingkatkan sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat dengan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor
perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan
menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan
memperkuat struktur perekonomian nasional (Kasmir, 2004:417).
Menurut Susilo (2002), bank dalam sistem keuangan mempunyai peranan
penting, sebagai berikut 1) Pengalihan Asset (Assets Transmutation), 2) Transaksi
(Transaction), Likuiditas (Liquidity), 3) Efisiensi (Eficiency). Selain peran dari
perbankan diperlukan juga peran dari pemerintah yang dalam hal ini bertindak
mengatur pemerataan pendapatan, stabilitas ekonomi serta mengeluarkan
deregulasi di segala bidang, terutama yang berhubungan dengan perbankan dan
perekonomian. Peran pemerintah dalam pemerataan pendapatan masyarakat
sangat penting, karena dengan peningkatan pendapatan ini akan mendorong
meningkatnya pola konsumsi masyarakat dan juga tabungan masyarakat.
Strategi inklusi keuangan bukanlah sebuah inisiatif yang terisolasi, sehingga
keterlibatan dalam inklusi keuangan tidak hanya terkait dengan tugas Bank
36
Indonesia, namun juga regulator, kementrian dan lembaga lainnya dalam upaya
pelayanan keuangan kepada masyarakat luas. Melalui strategi inklusi keuangan
diharapkan kolaborasi antar lembaga pemerintah dan pemangku kepentingan
tercipta secara baik dan terstruktur (www.bi.go.id).
Bank Indonesia telah membuat Skema Keterlibatan dalam Inklusi
Keuangan seperti yang disajikan Gambar 2.2.
Gambar 2.2
Skema Keterlibatan dalam Inklusi Keuangan
Bank Dunia (2010) mengungkapkan setidaknya tedapat empat jenis layanan
jasa keuangan yang dianggap vital bagi kehidupan masyarakat yakni layanan
penyimpanan data, layanan kredit, layanan sistem pembayaran dan asuransi
37
termasuk di dalamnya dana pensiun. Berikut kerangka kinerja umum inklusi
keuangan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.3
Kerangka Kinerja Umum Inklusi Keuangan
2.6 Konsep Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia, karena
kegiatan kredit sudah sangat biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia dalam
setiap sendi kehidupan masyarakat. Definisi secara umum dari lembaga keuangan
tersebut adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan,
menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-duanya (Kasmir, 2002).
Bank berasal dari bahasa Italia yaitu banco yang artinya meja untuk
penitipan atau penukaran uang di pasar. Bank adalah lembaga keuangan, pencipta
38
uang, pengumpul dana dan pemberi kredit, mempermudah pembayaran dan
penagihan, stabilisator moneter dan dinamisator pertumbuhan ekonomi (Hasibuan
1994). Bank adalah suatu industri yang bergerak dibidang kepercayaan, yang
dalam hal ini adalah sebagai media perantara keuangan (financial intermediary)
antara debitur dan kreditur dana (Santoso, 1996). Bank berfungsi sebagai berikut
(Triandaru dan Budisantoso, 2006).
1) Agent of Trust, yaitu lembaga yang landasannya adalah kepercayaan.
2) Agent of Development, yaitu lembaga yang memobilisasi dana untuk
pembangunan ekonomi.
3) Agent of Services, yaitu lembaga yang memobilisasi jasa untuk pembangunan
ekonomi. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan
barang berharga, pemberian jaminan Bank, dan penyelesaian tagihan.
2.7 Hubungan Antar Variabel Penelitian
Keterkaitan sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi dapat diulas
melalui fokus pembicaraan tentang terjadinya stabilitas makroekonomi,
ketidakseimbangan, pendapatan dan kekayaan, perkembangan institusional, dan
ketidaksempurnaan pasar keuangan. Para ekonom pada awalnya memberikan
opini yang berbeda-beda mengenai pentingnya peranan sistem keuangan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hicks (1969) menyatakan bahwa ada peranan penting dari
sistem keuangan dalam proses industrialisasi di Inggris melalui mobilisasi modal.
Ahli lain seperti Yoseph Schumpeter (1911) juga berpendapat sama seperti ahli
sebelumnya, dengan mengatakan bahwa bank yang berfungsi dengan baik dapat
memicu inovasi pada teknologi melalui identifikasi dan pemberian dana kepada
39
parawirausahawan. Sedangkan sedikit berbeda pandangan dari John Robinson
(1952) yang menyatakan bahwa justru usahawanlah yang menjadi pemicu
perkembangan sektor keuangan.
Beberapa pendapat lain yang juga sejalan dengan para ahli di atas, dengan
menyatakan bahwa hubungan antara financial superstruxture suatu negara dengan
infrastruktur di sektor riil, menjadi landasan yang kuat terjadinya hubungan sektor
keuangan dengan pembangunan ekonomi (Goldsmith, 1969). Dikatakan pula oleh
ahli tersebut bahwa financial superstructure pada suatu perekonomian akan
mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan performan ekonomi
karena hal itu memfasilitasi pergerakan dana kepada pihak terbaik, yaitu yang
memberikan hasil pada social return paling besar. Ahli tersebut juga mengungkap
perbandingan rasio financial institution terhadap PDB dari negara berkembang
dan negara maju sepanjang periode tahun 1860-1963, bahwa di banyak negara
perkembangan sektor keuangan berdampak terhadap percepatan pertumbuhan
ekonominya.
Selanjutnya juga pendapat dari Cameron (1967) menyatakan bahwa peran
penting dari sektor keuangan terhadap pembangunan ekonomi nampak di
beberapa negara Eropa. Beck dkk juga berpendapat sama dengan penelitian
sebelumnya dengan menyatakan bahwa pembangunan sektor keuangan telah
mendorong pertumbuhan ekonomi yang pro-poor, karena mengurangi
ketidakmerataan pendapatan melalui peningkatan pendapatan masyarakat miskin.
Dalam kenyataannya banyak fenomena yang timbul berkaitan dengan
pembangunan ekonomi, yaitu kesenjangan wilayah dan pemerataan
40
pembangunan. Dimana para ahli berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi
wilayah tidak akan bermanfaat dalam hal pemecahan masalah kemiskinan
(Sirojuzilam, 2005). Hal ini dikarenakan banyak wilayah yang pertumbuhan
ekonominya tidak sejalan dengan pemerataannya, dimana kesenjangan semakin
tinggi disaat pertumbuhan ekonominya juga meningkat. Hal inilah yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi bukanlah pemecahan masalah dalam
pengentasan kemiskinan.
Yilmaz (2002) meneliti bagaimana pola dan struktur perekonomian
cenderung konvergen dan divergen. Hasilnya menjelaskan bahwa perbedaan
wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian nasional mempunyai efek
terhadap kecepatan kondisi konvergensi. Ardani (1966) telah menganalisis
kesenjangan pendapatan dan konsumsi antar daerah dengan menggunakan indeks
Williamson selama 1098-1993 dan 1983-1993. Kesimpulannya mendukung
hipotesis Williamson (1965) bahwa pada tahap pembangunan ekonomi terdapat
kesenjangan kemakmuran antar daerah. Namun semakin majunya pembangunan
ekonomi kesenjangan tersebut semakin menyempit (Waluyo, 2007).
Branchless Bangking diyakini dapat dijangkau masyarakat bawah (Antara
News, 2008) - Layanan lembaga keuangan formal seperti perbankan di negara-
negara berkembang hanya dapat menjangkau sebagian kecil warga negara
sehingga berbagai otoritas keuangan menggalakkan program inklusi finansial.
Masyarakat bawah enggan berhubungan dengan bank misalnya karena mereka
sudah membayangkan mahalnya berurusan dengan bank. Sementara bank juga
menilai melayani masyarakat bawah membutuhkan biaya yang lebih besar.
41
Namun lembaga keuangan memegang peran penting dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sehingga upaya menjangkau
masyarakat bawah tetap harus dilakukan. Bahkan lembaga konsultan Economic
Develoment Service (EDS) menilai lembaga keuangan berperan dalam upaya
pengurangan kemiskinan di Indonesia. “Sekitar 80 persen dari jumlah penduduk
miskin Indonesia tidak mempunyai akses kepada lembaga keuangan formal,” kata
Direktur Pelaksana EDS, Peter Van Dierman. Menurut dia, pembiayaan dari
lembaga keuangan yaitu bank hanya mencakup 17 persen dari total penduduk
Indonesia sementara jumlah penduduk yang memiliki akses kepada lembaga
keuangan mikro hanya mencakup 10 persen. “Dengan kondisi seperti ini maka
upaya perluasan akses terhadap lembaga keuangan oleh masyarakat lapisan bawah
(inklusi finansial) menjadi sangat penting,” kata Peter yang juga Ketua Penasihat
Tim Nasional Percepatan Pengurangan Kemiskinan (TNP2K). Ia menyebutkan
untuk dapat meningkatkan inklusi keuangan, produk lembaga keuangan untuk
tabungan harus yang berbasis biaya rendah, pembiayaan harus diarahkan untu
usaha kecil dan menengah, produk asuransi yang mengurangi risiko dan
mengurangi kerentanan warga miskin dan perlunya pendidikan serta sosialisasi
kepada masyarakat. Peter menilai inisiatif yang dilakukan Bank Indonesia (BI)
dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan sudah sesuai dengan upaya
mengurangi kemiskinan. Inisiatif itu antara lain program pendidikan keuangan
(Ayo ke Bank), promosi produk tabungan dengan biaya rendah (Tabunganku),
peningkatan kapasitas bank pembiayaan/perkreditan rakyat, program kemitraan,
42
penyusunan database UKM, proyek percontohan dan panduan pelaksanaan
branchless banking (bank tanpa kantor cabang.
Pradita (2010) dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa fungsi
intermediasi perbakan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia
tetapi tingkat pengaruhnya tidak cukup besar. Saat ini fungsi intermediasi
perbankan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, itu terlihat pada saat
penyaluran kredit menurun karena perbankan berhati-hati dalam penyaluran kredit
pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan
Salim (2012) mengungkap pembangunan sektor keuangan khususnya
perubahan struktur perbankan Indonesia diharapkan mampu meningkatkan
perekonomian, sebab lembaga keuangan khususnya lembaga perbankan
mempunyai peranan yang amat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian
suatu negara. Pada masa pemulihan ekonomi bank masih belum secara optimal
melakukan fungsi utamanya sebagai intermediasi keuangan yang digambarkan
oleh angka perbandingan jumlah kredit yang disalurkan dengan dana pihak ketiga
yang dihimpun perbankan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan kredit sangat terkait dengan stabilitas ekonomi negara. Kinerja
variabel makro ekonomi yang terdiri dari PDB, suku bunga SBI, tingkat inflasi,
jumlah uang beredar, nilai tukar rupah terhadap dollar, dan harga minyak relatif
cukup baik menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. Namun demikian,
keadaan tersebut dianggap belum maksimal mendorong pertumbuhan kredit
perbankan nasional yang diharapkan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai pengaruh variabel
43
makro terhadap pertumbuhan kredit perlu dipahami dan diketahui untuk antisipasi
kebijakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan kredit di masa yang akan
datang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara simultan variabel
ekonomi tersebut di atas ternyata memberi pengaruh terhadap pertumbuhan kredit
perbankan. Namun secara parsial hanya pertumbuhan PDB dan harga minyak
yang signifikan yang mempengaruhi pertumbuhan kredit. Tidak berpengaruhnya
empat variabel makro yang lain ternyata menyebabkan pengaruh pertumbuhan
PDB terhadap permintaan kredit menjadi kurang maksimal. Pertumbuhan
ekonomi berkualitas dapat dilakukan dengan melalui pemerataan pembangunan
khususnya di luar Jawa dengan memberikan fokus pada sektor riil tradable yang
mengalami penurunan ekonomi pada saat krisis finansial global 2008-2009
sehingga kredit dapat dimaksimalkan pertumbuhannya di sektor tersebut (Susanti,
2010).
Pertumbuhan kredit sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Kredit sebagai produk industri perbankan juga sangat tergantung dengan
pertumbuhan ekonomi. Menganalisis hubungan timbal-balik antara pertumbuhan
kredit dan pertumbuhan ekonomi serta pengaruh variabel-variabel makro ekonomi
lain terhadap kedua variabel tersebut adalah tujuan utama dari penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan data kredit bank umum, Produk Domestik Bruto
(PDB), inflasi, dan tingkat suku bunga. Melalui penelitian ini disimpulkan
beberapa hal, sebagai berikut (a) Pertumbuhan kredit berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan kredit; (b) Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan kredit
44
dan pertumbuhan kredit; (c) Suku bunga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
kredit maupun terhadap pertumbuhan ekonomi; (d) Berdasarkan pengujian
kausalitas granger yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa terdapat
hubungan bidirectional causality antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
kredit (Muharam dan Darmawan, 2013).
Perkembangan perekonomian yang dicapai saat ini, Indonesia masih harus
menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya
negara sedang berkembang, yang sedang melaksanakan pembangunan.
Pembangunan tersebut tentunya memerlukan dana dalam jumlah yang besar.
Salah satu sumber pendanaan tersebut adalah kredit bank. Pertumbuhan ekonomi
merupakan masalah perekonomian dalam jangka panjang dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kredit
perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, dan jumlah tenaga kerja
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan
semakin meningkat secara signifikan dengan meningkatnya kredit perbankan,
pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja (Yunan, 2009).
Kebijakan perkreditan Bank di Nigeria sangat penting untuk beberapa
alasan. Pertama, kredit perbankan adalah pelicin roda pertumbuhan ekonomi.
Kedua, bahwa ada bukti empiris yang kuat yakni perkembangan pasar keuangan
yang sehat dan lembaga memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang. Lebih penting lagi, penelitian terbaru memberikan bukti
bahwa kebijakan sektor keuangan yang tidak tepat dan buruk berpotensi fatal dan
berbahaya dalam ekonomi berkembang seperti yang dibuktikan oleh distress
45
sektor keuangan di Nigeria, terutama di tahun 1990-an, sampai dengan tahun
2011. Penelitian ini dirancang untuk mengeksplorasi kekuatan kredit perbankan
terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan desain penelitian survei. Data
yang dihasilkan dianalisis melalui tabel, frekuensi, persentase dan statistik X2.
Ditemukan bahwa kredit perbankan memiliki hubungan yang signifikan dengan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial-infrastruktur (Ugoani, 2013).
Akinlo dan Egbetunde (2010) dalam makalahnya mengkaji hubungan
kausal jangka panjang antara pembangunan keuangan dan pertumbuhan ekonomi
dari sebanyak sepuluh negara di sub-Sahara Afrika. Menggunakan model koreksi
kesalahan vektor (VECM), studi ini menemukan bahwa pengembangan keuangan
berkointegrasi dengan pertumbuhan ekonomi di sepuluh negara di sub-Sahara
Afrika yang dipilih itu. Temuan itu ada sepanjang hubungan jangka antara
pembangunan keuangan dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Afrika sub-
Sahara yang dipilih. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa
pengembangan keuangan Granger menyebabkan pertumbuhan ekonomi di
Republik Afrika Tengah, Republik Kongo, Gabon, dan Nigeria, sementara
pertumbuhan ekonomi Granger menyebabkan perkembangan keuangan di
Zambia. Namun, dua arah hubungan antara pembangunan keuangan dan
pertumbuhan ekonomi ditemukan di Kenya, Chad, Afrika Selatan, Sierra Leone,
dan Swaziland.
Dalam makalah berikut ini peneliti mengevaluasi hubungan antara
intermediasi keuangan dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang
menganut berbagai sistem ekonomi. Pertama, menggunakan data set dari 28
46
negara, antara 2001 dan 2010 dan di sini indikator intermediasi keuangan
didefinisikan dengan menerapkan metode EFA. Dalam makalah ini peneliti
menggunakan beberapa dimensi intermediasi keuangan, yakni: kredit dalam
negeri yang diberikan oleh sektor perbankan (% dari PDB); kredit domestik untuk
sektor swasta (% dari PDB); jumlah uang beredar (% dari PDB); pasar modal
perusahaan yang terdaftar (% dari PDB). Sebagai langkah awal analisis, di sini
peneliti menggunakan Spearman rank-order analisis covariance dan juga menguji
korelasi antara variabel dan hasilnya agar dapat diketahui secara umum tinggi
tingkat korelasi antara indikator. Kedua, peneliti juga membandingkan indikator
intermediasi keuangan ini dengan beberapa dimensi pertumbuhan ekonomi
dengan menggunakan tiga metode yang berbeda, yakni metode OLS (Ordinary
Least Square), GLM (Generalized Linear Model) dan QR (Quantil Regression),
untuk memeriksa ketepatan model. Hasilnya menunjukkan bahwa intermediasi
keuangan sebagai bagian dari pengembangan keuangan yang secara positif
terkait dengan pertumbuhan ekonomi (Dima dan Opriş, 2013).
Tujuan dari makalah berikut ini adalah untuk menguji secara empiris
hubungan dinamis secara mendalam antara finansial, kegiatan investasi dan
pertumbuhan ekonomi untuk kasus Negara Tunisia selama periode 1961-2010.
Dan estimasi jangka pendek menunjukkan bahwa keuangan tidak menyebabkan
pertumbuhan ekonomi di Tunisia sementara hasil jangka panjang menunjukkan
kesimpulan yang berlawanan. Selanjutnya, hal itu menunjukkan bahwa investasi
merupakan mesin utama pertumbuhan dalam jangka pendek dan juga jangka
panjang. Temuan yang ada dalam makalah ini bisa menjadi perhatian besar bagi
47
pemerintah baru Tunisia untuk menarik respon kebijakan yang tepat untuk
mempromosikan peran sektor keuangan dalam perekonomian (Abdelaziz dan
Hakimi, 2013).
Suselo dkk. (2008) melihat hubungan pertumbuhan ekonomi dan perubahan
struktur ekonomi dan pengaruhnya terhadap kemiskinan. Hasil penelitiannya
menemukan pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi berpengaruh
terhadap tingkat kemiskinan melalui beberapa jalur, yakni: a) Pertumbuhan
ekonomi secara langsung berpengaruh terhadap tingkat pendapatan per kapita
sektoral, b) Perubahan struktur perekonomian secara langsung akan berdampak
pada adanya perubahan distribusi pendapatan sektoral yang diterima oleh para
pemilik faktor produksi. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di
sektor yang bersangkutan, c) Pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya
perubahan struktur ekonomi, mengingat adanya perbedaan insentif seiring dengan
adanya perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi antar sektor usaha, yang pada
akhirnya akan berdampak pula pada tingkat kemiskinan.