BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review II.pdf · didapatkan hasil Penerangan Jalan Umum...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review II.pdf · didapatkan hasil Penerangan Jalan Umum...
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 State of The Art Review
Pada tugas akhir ini dicantumkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan
dilaksanakan terlebih dahulu tentang penerapan penerangan jalan umum
menggunakan solar cell sebagai berikut : Ega Kusumayogo, yakni pada penelitian
yang berjudul “Analisis Teknis dan Ekonomis Penerapan Penerangan Jalan
Umum Solar Cell Untuk Kebutuhan Penerangan Di Jalan Tol Darmo Surabaya”
yang diterbitkan pada jurnal Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya tahun 2013, Pada penelitian ini dilakukan analisa mengenai
perencanaan lampu penerangan jalan umum solar cell dari segi teknis meliputi
penentuan jenis tiang, jumlah titik lampu, jenis lampu, dasar penerangan, dan
pengaturan penerangan. Dari segi ekonomis meliputi perhitungan biaya
penggantian PJU dan biaya oprasional selama menyala satu bulan. Selain itu
penelitian telah pula dilakukan oleh Donny T B Sihombing, yakni pada penelitian
yang berjudul “Perencanaan Sistem Penerangan Jalan Umum dan Taman di Areal
Kampus Usu dengan Menggunakan Teknologi Tenaga Surya (Aplikasi di Areal
Pendopo dan Lapangan Parkir)” yang diterbitkan pada jurnal Departemen Teknik
Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara tahun 2013, Pada penelitian
ini dilakukan perencanaan sistem penerangan jalan umum dan taman di areal
kampus Universitas Sumatra Utara menggunakan solar cell, dari perencanaan ini
didapatkan hasil Penerangan Jalan Umum dengan menggunakan tenaga surya
(solar cell) dapat mengurangi konsumsi akan tenaga listrik dari PLN. Setiap hari
dalam 12 jam, daya yang dikeluarkan PLN untuk penerangan umum adalah
sebesar 76,66% sedangkan dengan menggunakan baterai accu 12 Ah adalah
sebesar 23,3% . selain dari Ega Kusumayogo dan Donny T B Sihombing
penelitian ini telah dilakukan oleh Sardono Sarwito, tahun 2010 dengan judul
penelitian “Analisa Teknis dan Ekonomis Penerapan Sel Surya untuk Kebutuhan
Penerangan Jembatan Suramadu” yang diterbitkan pada jurnal Jurusan Teknik
Sistem Perkapalan Institut Teknologi Surabaya, Pada penelitian ini dilakukan
7
analisa dari segi teknis mengenai pencahayaan yang diperlukan pada Jembatan
Suramadu, serta dari segi ekonomis dianalisis tentang biaya investasi peralatan
lampu penerangan jalan solar cell.
2.2 Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel.
2.2.1 Klasifikasi jalan
Jalan di Indonesia menurut Bina Marga (1997) dapat diklasifikasikan
berdasarkan fungsi jalan, kelas beban dan tipe medan yang disusun pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Fungsi, Kelas Beban Dan Tipe Medan
Fungsi Jalan Arteri
Kolektor Lokal
Kelas Jalan I II IIIA IIIB IIIC
Muatan Sumbu
Terberat (ton)
> 10 10 8
Tidak ditentukan
Tipe Medan D B G D B G D B G
Kemiringan
Medan (%) < 3 3-25 >25 < 3 3-25 >25 < 3 3-25 >25
Sumber : Ditjen Bina Marga, 1997
Keterangan :
D :Datar B : Bukit G : Gunung
Fasilitas jalan yang selama ini kita gunakan dibedakan atas beberapa
klasifikas kelas jalan. Berikut ini adalah klasifikasi kelas jalan tersebut: (Hamzah,
2008)
1. Jalan arteri primer: jalur jalan penampung kegiatan lokal dan regional, lalu
lintas padat pada jalan ini adalah lampu dengan 50 lux, menurut SNI 2000.
2. Arteri sekunder: merupakan arteri penampung kegiatan lokal dan regional
sebagai pendukung jalan arteri primer. Dimana kondisi lalu lintas pada jalur
8
ini padat, sehingga memerlukan jenis lampu yang sama dengan arteri primer.
Lux penerangan jalan ini menurut SNI 2000 adalah 50 lux.
3. Kolektor primer: jalur pengumpul dari jalan-jalan lingkungan di sekitarnya
yang bermuara pada jalur kolektor primer, jalan arteri primer maupun
sekunder pada jalan ini diperlukan lampu setingkat dibawah lampu untuk
kolektor primer. Lux penerangan dari kelas jalan ini, menurut SNI 2000
adalah 30 lux.
4. Jalan lingkungan: jalur jalan di lingkungan perumahan, pedesaan atau
perkampungan jalan ini membutuhkan penerangan, yang menurut SNI 2000
adalah 15 lux.
2.2.2 Volume Lalu Lintas
Menurut Sukirman (1999), volume lalu lintas menunjukkan jumlah
kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari,
jam, menit). Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan
yang lebih lebar sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Volume lalu lintas
harian rata-rata (VLHR) yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang
(smp/hari) merupakan salah satu volume lalu lintas yang umum dipergunakan
untuk menentukan jumlah dan lebar jalur. Berikut ini merupakan penentuan lebar
jalur dan bahu jalan berdasarkan VLHR (Ditjen Bina Marga, 1997).
Tabel 2.2 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan
VLHR Arteri Kolektor Lokal
Smp
/hari Ideal Minimum Ideal
Minimum Ideal Minimum
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
<3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3000-
10000 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10001-
25000 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 Mengacu Pada
Persyaratan Lokal
Tidak ditentukan
>25000 2n x
3,5
2,5 2n x 7,0 2,0 2n x
3,5
2,5
Sumber : Ditjen Bina Marga, 1997
9
2.2.3 Kecepatan rencana
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti : ruas jalan, tikungan, kemiringan
jalan, jarak pandang dan lainnya. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah
kecepatan tertinggi menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman
(Sukirman, 1999). Berikut ini merupakan VR untuk masing-masing fungsi jalan
dan tipe medan (Ditjen Bina Marga, 1997).
Tabel 2.3 Kecepatan Rencana Sesuai Klasifikasi Fungsi Jalan dan Medan Jalan
Fungsi Jalan Kecepatan Rencana (VR) km/jam
Datar Bukit Gunung
Arteri 70-120 60-80 40-70
Kolektor 60-90 50-60 30-50
Lokal 40-70 30-50 20-30
Sumber : Ditjen Bina Marga, 1997
2.3 Kuat Penerangan
Berdasarkan fungsi dan kondisi jalan maka SNI (2008),
merekomendasikan tingkat intensitas penerangan (iluminansi) yang dibutuhkan
oleh masing-masing jalan sebagai berikut :
Tabel 2.4 Klasifikasi Jalan
Spesifikasi Jalan Kondisi Jalan Klasifikasi
Berkecepatan tinggi, 1 arah dan
mempunyai pemisah jalan :
Jalan Bebas Hambatan
Jalan Utama
Tingkat kepadatan dan kompleksitas
jalan :
Tinggi
Sedang
Rendah
M1
M2
M3
Berkecepatan tinggi, 2 arah : Jalan
Utama
Pengkontrolan, pemisahan, dan
pencampuran lalu lintas :
Kurang Baik
Baik
M1
M2
Jalur-jalur penting distribusi :
Jalan Penghubung
Pengkontrolan, pemisahan, dan
pencampuran lalu lintas :
Kurang Baik
Baik
M2
M3
Jalan-jalan lingkungan / lokal Pengkontrolan, pemisahan, dan
pencampuran lalu lintas :
Kurang Baik
Baik
M4
M5
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
10
Tabel 2.5 Rekomendasi Intensitas Penerangan Jalan
Klasifikasi Semua Jalan
E ave (Lux)
M 1
M 2
M 3
M 4
M 5
30
20
15
10
7.5
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
2.4 Lampu Penerangan Jalan Umum
Lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan
yang dapat dipasang di kiri atau kanan jalan serta di tengah (di bagian median
jalan). Fungsi lampu penerangan jalan pada umumnya adalah menerangi jalan
maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan
jalan (intersection), jalan layang (interchange, overpass, fly over), jembatan dan
jalan di bawah tanah (underpass, terowongan).
Lampu penerangan yang dimaksud adalah suatu unit lengkap yang terdiri
dari sumber cahaya (lampu /luminer), elemen – elemen optic (pemantul /reflector,
pembias / refractor, penyebar / diffuser). Elemen – elemen elektrik (konektor ke
sumber tenaga / power supply dan lain - lain), struktur penopang yang terdiri dari
lengan penopang, tiang penopang vertikal dan pondasi tiang lampu.
Muhaimin (2001) menguraikan bahwa konsep mendasar dari merancang
sebuah sistem penerangan adalah menentukan jarak tiang penerangan. Dalam
menentukan jarak tiang faktor pemakaian dan faktor kehilangan sangat
berpengaruh. Faktor kehilangan cahaya adalah faktor – faktor yang menyebabkan
menurunnya kualitas pencahayaan pada suatu bidang sehingga mempengaruhi
kualitas dari penerangan itu sendiri. Muhaimin dalam bukunya yang berjudul
teknologi pencahayaan menyatakan bahwa dalam mencari interval lampu
penerangan jalan harus mempertimbangkan faktor kehilangan cahaya dan
menyimpulkan bahwa :
11
Jarak = faktor pemakaian∙faktor kehilangan cahaya∙fluks cahaya
lebar jalan∙kuat penerangan (2.1)
Dari rumus 2.1 di atas faktor pemakaian hanya terdiri atas lama penggunaan
lampu penerangan yaitu selama 12 jam , faktor kehilangan atau lebih dikenal
dengan cahaya light-loss factor (LLF) dipengaruhi 2 faktor yaitu :
1. Penurunan kemampuan sumber penerangan (lampu dan armatur) karena umur
pemakaian.
2. Pengotoran terhadap armaturnya, disebabkan pengotoran atau perubahan sifat
penutup armatur.
Pada tabel 2.1 menunjukkan bagaimana hubungan antara waktu pemakaian lampu
penerangan serta lingkungan tempat dari lampu penerangan jalan tersebut akan
dipasang
Tabel 2.6 Faktor Kehilangan Cahaya Lampu Penerangan Jalan Raya
No.
Lingkungan
Waktu pemakaian (tahun)
1 2 3
1 Sangat bersih 0,98 0,94 0,93
2 Bersih 0,95 0,92 0,90
3 Sedang 0,92 0,87 0,84
4 Kotor 0,87 0,81 0,75
5 Sangat kotor 0,72 0,63 0,57 Sumber : Muhaimin, 2001
Selain 2 faktor yang telah disebutkan dari rumus di atas terdapat faktor formulasi
penerangan yang terdiri atas arus cahaya, intensitas cahaya, iluminasi, efikasi
cahaya, serta steradian.
2.5 Fungsi Lampu Penerangan Jalan
Penerangan jalan di kawasan perkotaan mempunyai fungsi antara lain
(SNI 7391 : 2008) :
1) Menghasilkan kekontrasan antara obyek dan permukaan jalan;
2) Sebagai alat bantu navigasi pengguna jalan;
3) Meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan, khususnya pada
malam hari;
12
4) Mendukung keamanan lingkungan;
5) Memberikan keindahan lingkungan jalan.
Faktor pemeliharaan menyatakan bahwa pada semua lampu atau sumber
cahaya akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh kumpulan debu atau
kotoran yang menghitam pada bagian lampu seperti reflector.
Faktor perawatan lampu sangat berkaitan dengan faktor luminair. Menurut
Philips Lighting, faktor perawatan suatu lampu berhubungan dengan periode
pembersihan, indeks proteksi luminair dan kondisi lingkungan dimana lampu
tersebut ditempatkan. Berikut ini merupakan data faktor perawatan suatu armature
lampu sesuai dengan indeks proteksi pada kategori pengotoran tinggi, sedang dan
rendah.
Tabel 2.7 Faktor Perawatan Lampu
Periode
Pembersihan
(Bulan)
Indeks Proteksi Luminair
Min. IP2…
Polusi Kategori
Min. IP5…
Polusi Kategori
Min. IP6…
Polusi Kategori
H M L H M L H M L
12 0.53 0.62 0.82 0.89 0.90 0.92 0.91 0.92 0.93
18 0.48 0.58 0.80 0.87 0.88 0.91 0.90 0.91 0.92
24 0.45 0.56 0.79 0.84 0.86 0.90 0.88 0.89 0.91
36 0.42 0.53 0.78 0.76 0.82 0.88 0.83 0.87 0.90
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
2.6 Instalasi Penerangan Jalan Umum
2.6.1 Pemasangan PJU dengan cara under ground kabel (kabel bawah
tanah)
Syarat penghantar yang bisa digunakan pada pemasanngan PJU dengan
cara under ground cabel (kabel bawah tanah) antara lain :
1. Pemasangan penghantar sistem under ground harus mengikuti ketentuan
pemasangan kabel tanah sesuai PUIL 2000.
2. NYY bisa ditanam dengan cara diberi pelindung (pipa, pasir + bata,dan lain-
lain ). tetapi sangat dihindari apa bila dipasang di daerah yang rawan tekanan
mekanis (Contoh penyebrangan jalan atau perempatan jalan ).
3. NYFGBY bisa ditanam langsung ditanah karena kabel jenis ini sudah
dilengkapi prisai baja yang bisa melindungi terhadap gangguan mekanis.
13
4. Kabel instalasi jenis NYM bukanlah jenis kabel tanah, karena itu dalam
keadaan bagaimanapun tidak boleh ditanam di dalam tanah.
2.6.2 Penyambungan kabel atau penghantar pada PJU
1. Sambungan Penghantar dengan sistem Under ground cabel (kabel bawah
tanah ) bisa dengan cara disolder,diterminal , dipres atau cara lain yang
sederajat dan dimasukan dalam kotak sambung ( mof )
2. Sambungan penghantar dengan sistem kabel udara bisa dengan cara kotak box
terminal dan konektor.
3. Dua penghantar logam yang tidak sejenis (seperti tembaga dan aluminium
atau tembaga berlapis aluminium) tidak boleh disatukan dalam terminal atau
penyambung punter kecuali jika alat penyambung itu cocok untuk maksud dan
keadaan penggunaannya.
4. Penghantar aluminium tidak boleh dihubungkan dengan terminal dari
kuningan atau logam lain berkadar tembaga tinggi, kecuali bila terminal itu
telah diberi lapisan yang tepat atau telah diambil tindakan lain untuk
mencegah korosi.
5. Sambungan kabel almunium dan tembaga bisa dilakukan dengan konektor,
sekun, terminal dari bahan bimetal
2.6.3 PHB pada instalasi penerangan jalan umum
Perangkat Hubung Bagi (PHB) dalam penerangan jalan umum memiliki
beberapa kriteria yaitu :
1. Pemasangan PHB untuk PJU harus mengikuti ketentuan Pemasangan PHB
tutup pasang diluar pada PUIL 2000.
2. Ketinggian PHB tidak boleh kurang 1.2 meter.
3. Inti pokok komponen PHB, Pada sisi penghantar masuk dari PHB yang berdiri
sendiri harus dipasang setidak-tidaknya satu saklar, sedangkan pada setiap
penghantar keluar setidak-tidak dipasang satu proteksi arus .
4. Pada komponen PHB seperti saklar utama dan MCB (Pengaman ),dan lain-
lain harus bertanda SNI.
14
2.6.4 Arde dan Penghantar Proteksi
Arde (jalur langsung dari arus listrik menuju bumi atau koneksi fisik
langsung ke bumi) dan penghantar proteksi dalam instalasi penerangan jalan raya
memiliki fungsi yaitu :
1. Arde dan penghantar proteksi mempunyai peranan yang sangat penting pada
suatu instalasi, karena semua BKT seperti PHB, armatur, tiang, dll harus di
groundingkan untuk menghindari teganan sentuh terlalu tinggi.
2. Pada sistem TN-C-S semua BKT dihubungkan dengan Pembumian di PHB
dengan mengunakan penghantar proteksi ( PE ).
3. Pada sistem TT semua BKT dibumikan terpisah dengan Pembumian pada
PHB ( Dengan kata lain semua BKT dibumikan / digrounding sendiri ).
2.7 Satuan Penerangan Sistem Internasional
Satuan penerangan sistem internasional yang digunakan adalah sebagai
berikut :
1. Tingkat/kuat penerangan (Iluminasi - Lux), didefinisikan sebagai sejumlah
arus cahaya yang jatuh pada suatu permukaan seluas 1 (satu) meter persegi
sejauh 1 (satu) meter dari sumber cahaya 1 (satu) lumen.
2. Intensitas Cahaya adalah arus cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya
dalam satu kerucut ("cone") cahaya, dinyatakan dengan satuan unit Candela.
3. Luminasi adalah permukaan benda yang mengeluarkan/memantulkan
intensitas cahaya yang tampak pada satuan luas permukaan benda tersebut,
dinyatakan dalam Candela per meter persegi (Cd/m2)
4. Lumen adalah unit pengukuran dari besarnya cahaya (arus cahaya).
2.8 Spesifikasi Lampu Penerangan Jalan
Ada beberapa jenis lampu penerangan jalan. Jenis lampu penerangan jalan
ditinjau dari karakteristik dan penggunaannya sesuai dengan BSN (2008) dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
15
Tabel 2.8 Jenis Lampu Penerangan Jalan Ditinjau dari Karakteristik dan Penggunaannya.
Jenis
Lampu
Efikasi
rata-rata
(lumen /
watt)
Umur
rencana
rata-rata
(jam)
Daya
(watt)
Pengaruh
terhad
warna
obyek
Keterangan
Lampu
tabung
fluoresen
tekanan
rendah
60 – 70 8.000 –
10.000
18 - 20 Sedang - untuk jalan kolektor dan
lokal
- efisiensi cukup tinggi tetapi
berumur pendek
- jenis lampu ini masih
dapat digunakan untuk
hal-hal yang terbatas
Lampu gas
merkuri
tekanan
tinggi
(MBF/U)
50 – 55 16.000–
24.000
125;
250;
400;
700
Sedang - Untuk jalan kolektor, lokal,
dan persimpangan
- Efisiensi rendah, umur
panjang, dan ukuran lampu
kecil
- Jenis lampu ini masih dapat
digunakan secara terbatas
Lampu gas
sodium
tekanan
rendah
(SOX)
100-200 8.000 -
10.000
90 -180 Sangat
buruk
- untuk jalan kolektor,
lokal,persimpangan,
penyeberangan, terowongan,
tempat peristirahatan (rest
area), efisiensi sangat tinggi,
umur cukup panjang, ukuran
lampu besar. sehingga sulit
untuk mengontrol cahayanya
dan cahaya lampu sangat
buruk karena warna kuning.
- Jenis lampu ini dianjurkan
digunakan karena faktor
efisiensinya yang sangat
tinggi.
Lampu gas
sodium
tekanan
tinggi
(SON)
110 12.000-
20.000
150,
250,
400
Buruk - Untuk jalan tol, arteri,
kolektor, persimpangan
besar/luas dan interchange;
efisiensi tinggi, umur sangat
panjang, ukuran lampu kecil,
sehingga mudah pengontrolan
cahayanya;
- Jenis lampu ini sangat baik dan
sangat dianjurkan untuk
digunakan.
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008 hlm. 5
Rumah lampu penerangan ( lantern ) dapat diklasifikasikan menurut tingkat
perlindungan terhadap debu / benda dan air. Hal ini dapat diindikasikan dengan
istilah IP ( Index of Protection ) atau indek perlindungan, yang memiliki 2 ( dua )
16
angka, angka pertama menyatakan indek perlindungan terhadap debu / benda, dan
angka kedua menyatakan indek perlindungan terhadap air. Sistem IP merupakan
penggolongan yang lebih awal terhadap penggunaan peralatan yang tahan hujan
dan sebagainya, dan ditandai dengan lambang. Semakin tinggi indek perlindungan
( IP ), semakin baik standar perlindungannya. Ringkasan pengkodean IP
mengikuti Tabel 2.9 ( A Manual of Road Lighting in Developing Countries ).
Pada umumnya, indek perlindungan ( IP ) yang sering dipakai untuk
klasifikasi lampu penerangan adalah : IP 23, IP 24, IP 25, IP 54, IP 55, IP 64, IP
65, dan IP 66.
Tabel 2.9 Kode Indek Perlindungan IP ( Index of Protection )
Angka pertama Angka kedua
(a) Perlindungan terhadap manusia/benda jika
bersentuhan dengan komponen dalam rumah
lampu
(b) Perlindungan terhadap rumah lampu jika
bersentuhan dengan benda
(a) Perlindungan rumah lampu jika
kontak atau bersentuhan dengan
benda cair
No.
/Simbol
Tingkat perlindungan No.
/Simbol
Tingkat perlindungan
0 (a) Tanpa perlindungan. 0 Tanpa perlindungan
(b) Tanpa perlindungan.
1 (a) Perlindungan terhadap sentuhan yang
tidak disengaja oleh bagian tubuh,
seperti tangan.
1
Perlindungan terhadap
tetesan air, tetapi tidak
menimbulkan efek yang
bahaya dan merusak. (b) Perlindungan terhadap masuknya
benda padat, berdiameter < 50 mm
2 (a) Perlindungan terhadap sentuhan
seukuran jari tangan.
2
- Tahan tetesan air ;
- Perlindungan terhadap
tetesan air : Tetesan air
yang jatuh ke rumah
lampu tidak
menimbulkan efek
bahaya ketika rumah
lampu dimiringkan
(b) Perlindungan terhadap masuknya
benda, yang berdiameter < 12 mm dan
panjang < 80 mm.
17
dengan membentuk
sudut sampai 150.
3 (a) Perlindungan tersentuh peralatan,
kawat atau sejenisnya yang tebalnya
lebih dari 2,5 mm
3
- Tahan hujan ;
- Perlindungan pada air
hujan dalam berbagai
sudut s/d 600. (b) Perlindungan terhadap masuknya
benda yang sangat kecil tapi padat
Sumber : Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008 hlm. 6 – 7
4 (a) Seperti pada No. 3 tetapi tebalnya
lebih dari 1,00 mm
4
- Tahan percikan air’
- Percikan air yang
terkena dari arah
manapun tidak akan
menimbulkan efek
bahaya.
(b) Perlindungan terhadap masuknya
benda asing
5
(a) Perlindungan sempurna terhadap
sentuhan.
5
- Tahan semburan air;
- Tahan terhadap
semburan air yang
keluar dari keran.
Misalnya keran taman.
(b) Tahan debu:
Perlindungan terhadap debu, tetapi
debu masih dapat masuk walau tidak
dalam jumlah banyak yang dapat
mengganggu operasionalisasi.
6
(a) Perlindungan sempurna terhadap
sentuhan.
6 - Tahan derasan air;
- Tahan terhadap air
deras misalnya
gelombang air laut.
(b) Tahan debu:
Perlindungan yang sempurna dan
debu tidak dapat masuk ke rumah
lampu
Keterangan :
- Tingkat perlindungan dinyatakan dengan IP XX;
- Perlindungan terhadap sentuhan atau empat masuk
air yang mana terlebih dahulu merubah X angka
pertama atau kedua yang ada pada tabel diatas.
Contohnya : IP 2X diartikan bahwa pagar member
perlindungan terhadap sentuhan jari, tetapi tanpa
perlindungan spesifik terhadap tempat masuk air
atau cairan lainnya.
7 - Tahan dan kedap air;
- Air tidak mungkin
masuk pada kondisi
waktu dan tekanan
yang tetap.
8 - Tahan dan kedap air;
- Air tidak mungkin
masuk pada kondisi
waktu dan tekanan
yang tinggi/khusus.
18
2.9 Penempatan Lampu Penerangan
1. Penempatan lampu penerangan jalan harus direncanakan sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan :
a) Kemerataan pencahayaan;
b) Keselamatan dan keamanan bagi pengguna jalan;
c) Pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan,
dibanding pada bagian jalan yang lurus;
d) Arah dan petunjuk (guide) yang jelas bagi pengguna jalan dan pejalan
kaki.
2. Sistem penempatan lampu penerangan jalan yang disarankan seperti pada
Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Sistem Penempatan Lampu Penerangan Jalan
Jenis jalan / jembatan Sistem penempatan lampu
yang digunakan
- Jalan arteri
- Jalan kolektor
- Jalan lokal
- Persimpangan, simpang susun, ramp
- Jembatan
- Terowongan
sistem menerus dan parsial.
sistem menerus dan parsial.
sistem menerus dan parsial.
sistem menerus.
sistem menerus.
sistem menerus bergradasi pada
ujung-ujung terowongan
3. Pada sistem penempatan parsial, lampu penerangan jalan harus memberikan
adaptasi yang baik bagi penglihatan pengendara, sehingga efek kesilauan dan
ketidaknyamanan penglihatan dapat dikurangi.
4. Perencanaan dan penempatan lampu penerangan jalan dapat dilihat pada
Gambar 2.1
19
Gambar 2.1 Penempatan Lampu Penerangan
Sumber : SNI 7391: 2008
Dimana :
H = tinggi tiang lampu
L = lebar badan jalan, termasuk median jika ada
E = jarak interval antar tiang lampu
S1+S2 = proyeksi kerucut cahaya lampu
S1 = jarak tiang lampu ke tepi perkerasan
S2 = jarak dari tepi perkerasan ke titik penyinaran terjauh,
i = sudut inklinasi pencahayaan/penerangan
5. Batasan penempatan lampu penerangan jalan tergantung dari tipe lampu,
tinggi lampu, lebar jalan dan tingkat kemerataan pencahayaan dari lampu yang
akan digunakan. Jarak antar lampu penerangan secara umum dapat mengikuti
batasan seperti pada Tabel 2.11 (A Manual of Road Lighting in Developing
Countries). Dalam tabel tersebut dipisahkan antara dua tipe rumah lampu.
Rumah lampu (lantern) tipe A mempunyai penyebaran sorotan cahaya/sinar
lebih luas, tipe ini adalah jenis lampu gas sodium bertekanan rendah,
sedangkan tipe B mempunyai sorotan cahaya lebih ringan/kecil, terutama yang
H
S2
S1
i
20
langsung ke jalan, yaitu jenis lampu gas merkuri atau sodium bertekanan
tinggi.
Tabel 2.12 Jarak Antar Tiang Lampu Penerangan Berdasarkan Tipikal Distribusi Pencahayaan
Dan Klasifikasi Lampu Pada Lampu Tipe A
Jenis
lampu
Tinggi
lampu
(m)
Lebar jalan (m) Tingkat
pencahayaa
n
4 5 6 7 8 9 10 11
35W SOX 4 32 32 32 - - - - -
3,5 LUX 5 35 35 35 35 35 34 32 -
6 42 40 38 36 33 31 30 29
55W SOX 6 42 40 38 36 33 32 30 28
6,0 LUX 90W SOX 8 60 60 59 55 52 50 48 46
90W SOX 8 36 35 35 33 31 30 29 28
10,0 LUX 135W SOX 10 46 45 45 44 43 41 40 39
135W SOX 10 - - 25 24 23 22 21 20
20,0 LUX 180W SOX 10 - - 37 36 35 33 32 31
180W SOX 10 - - - - 22 21 20 20 30,0 LUX
Tabel 2.13 Jarak Antar Tiang Lampu Penerangan Berdasarkan Tipikal Distribusi Pencahayaan
Dan Klasifikasi Lampu Pada Lampu Tipe B
Jenis
lampu
Tinggi
Lampu
(m)
Lebar jalan (m) Tingkat
pencahayaan 4 5 6 7 8 9 10 11
60W SON
atau 80W
MBF/U
4 31 30 29 28 26 - - -
3,5 LUX 5 33 32 32 31 30 29 28 27
70W SON
atau 125W
MBF/U
6 48 47 47 44 43 41 39 37
70W SON
atau 125W
MBF/U
6 34 33 32 31 30 28 26 24
6,0 LUX
100W SON 6 48 47 45 42 40 38 36 34
150W SON
atau 250W
MBF/U
8 - - 48 47 45 43 41 39
10 LUX
100W SON 6 - - 28 26 23 - - -
21
(Sumber : SNI 7391:2008)
Keterangan : - Jarak antar tiang lampu dalam meter.
- Rumah lampu (lantern) tipe A mempunyai penyebaran sorotan
cahaya/sinar lebih luas.
- Rumah lampu (lantern) tipe B mempunyai penyebaran sorotan
cahaya lebih ringan/kecil, terutama yang langsung ke jalan.
2.10 Tiang Lampu Penerangan jalan
Pemasangan lampu dengan tiangnya terdiri dari tiang lampu lengan
tunggal, tiang lampu lengan ganda serta tiang lampu tegak tanpa lengan.
a. Tiang lampu dengan lengan tunggal
Tiang lampu ini pada umumnya diletakkan pada sisi kiri atau kanan jalan.
Tipikal bentuk dan struktur tiang lampu dengan lengan tunggal seperti
diilustrasikan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tipikal Tiang Lampu Dengan Lengan Tunggal
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
Jenis
lampu
Tinggi
Lampu
(m)
Lebar jalan (m) Tingkat
pencahayaan
4 5 6 7 8 9 10 11
250W SON
atau 400W
MBF/U
10 - - - - 55 53 50 47 10 LUX
250W SON
atau 400W
MBF/U
10 36 35 33 32 30 28 20 LUX
400W SON 12 - - - - 39 38 37 36 30 LUX
22
b. Tiang lampu dengan lengan ganda
Tiang lampu ini khusus diletakkan di bagian tengah / median jalan, dengan
syarat jika kondisi jalan yang akan diterangi masih mampu dilayani oleh satu
tiang. Tipikal bentuk dan struktur tiang lampu dengan lengan ganda seperti
diilustrasikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Tipikal Tiang Lampu Dengan Lengan Ganda
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
c. Tiang lampu tegak tanpa lengan
Tiang lampu ini terutama diperlukan untuk menopang lampu menara, yang
pada umumnya ditempatkan di persimpangan – persimpangan jalan ataupun
tempat – tempat yang luas seperti interchange, tempat parkir, dan lain – lain. Jenis
tiang lampu ini sangat tinggi, sehingga sistem penggantian / perbaikan lampu
dilakukan di bawah dengan menurunkan dan menaikkan kembali lampu tersebut
menggunakan suspension cable. Detail konstruksi tiang lampu tegak tanpa lengan
ini diilustrasikan pada Gambar 2.4.
23
Gambar 2.4 Tipikal Tiang Lampu Tegak Tanpa Lengan
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
Untuk menentukan sudut kemiringan stang ornamen, agar titik penerangan
mengarah ke tengah tengah jalan, maka :
T = √𝒉𝟐 + 𝑪𝟐 (2.2)
Sehingga :
𝐶𝑜𝑠 𝜑 = ℎ
𝑡 (2.3)
24
Gambar 2.5 Penentuan sudut kemiringan stang ornamen terhadap lebar jalan
Sumber : SNI 7391, 2008
Keterangan :
h :tinggi tiang
t :jarak lampu ke tengah-tengah jalan
c :jarak horizontal lampu-tengah jalan
W1 :tiang ke ujung lampu
W2 :jarak horizontal lampu ke ujung jalan
2.11 Jenis Lampu Penerangan Jalan Umum
Berdasarkan jenis sumber cahaya, lampu penerangan jalan umum dapat
dibedakan 5 jenis yaitu :
1. Lampu LVD (Low Voltage Discharge)
Lampu LVD memiliki tiga bagian utama, yaitu sebuah ballast dengan
frekuensi tinggi, sebuah kumparan induksi, sebuah lampu. Cahaya dihasilkan dari
benturan elektron dari pelepasan dua elektroda yang mengenai lapisan / dinding
25
fluor pada tabung lampu. Pada lampu induksi Elektroda yaitu anoda dan katoda
dihilangkan. Pengganti untuk menggerakkan elektron digunakan medan magnet
yang dihasilkan dari lilitan yang diinduksi listrik. Kalau listrik tidak mengaliri
lilitan maka tidak ada induksi dan tidak ada medan magnet maka lampu tidak
menyala.Tetapi apabila listrik mengalirinya lampu secara serta merta dengan
instan menyala. Itulah prinsipnya yang dipakai pada lampu induksi. Itulah
makanya jenis lampu ini disebut lampu electrode – less, atau lampu induksi. LVD
Induction sangat cocok digunakan untuk penghematan energy dan tempat yang
tinggi yang susah dijangkau, seperti: lampu tinggi untuk pabrik, lampu sorot,
lampu penerangan jalan / PJU, terowongan, maupun lemari pendingin. (Pringatun,
dkk. 2011)
2. Lampu HPM (High Pressure Mercury)
Pada jenis lampu merkuri tekanan tinggi, pembatas arus pelepasan
menggunakan ballast, karena itu factor dayanya relatif rendah yaitu 0,5. Tabung
dalam terbuat dari gelas keras sehingga mampu digunakan pada temperature
relatif tinggi(Muhaimin,2001). Cara kerja lampu merkuri terdiri dari 3 tahapan
yaitu pengapian, proses pencapaian stabil dan stabil. Pada saat suplai tegangan
diberikan terjadi medan listrik antara elektroda kerja awal dengan salah satu
elektroda utama. Hal ini menyebabkan pelepasan muatan kedua elektroda dan
memanaskan merkuri yang ada disekelilingnya. Untuk menguapkan merkuri
tersebut diperlukan waktu 4 hingga 8 menit. Setelah semua merkuri menjadi gas,
resistansi elektroda kerja awal naik karena panas dan arus mengalir antar
elektroda utama melalui gas. Warna kerja awal kemerahan dan setelah kerja
normal sinar yang dihasilkan berwarna putih. (Pringatun, dkk. 2011)
Kelemahan lampu HPM adalah semakin sering pensaklaran (switching)
akan memperpendek umur lampu karena pada awal penyalaan terjadi panas yang
melebihi normal. Contoh lampu HPL – N. (Pringatun, dkk. 2011)
3. Lampu HPS (High Pressure Sodium)
26
Lampu HPS lebih kecil dan mengandung unsur tambahan seperti raksa,
dan menghasilkan cahaya oranye kemerahjambuan. Beberapa bola lampu juga
menghasilkan cahaya putih kebiruan. Ini mungkin dari cahaya raksa sebelum
natrium menguap sempurna. Jalur-D natrium adalah sumber cahaya utama dari
lampu HPS, dan spectrum sempit ini dilebarkan oleh natrium tekanan tinggi
dalam lampu, karena pelebaran ini dan pancaran dari raksa, warna benda yang
diterangi dapat dibedakan. Ini membuatnya digunakan di tempat yang diinginkan
pembedaan warna yang baik.Lampu HPS disukai untuk penyinaran tumbuhan
dalam ruang karena lebarnya spektrum suhu warna yang dihasilkan dan
efisiensinya yang relatif tinggi. (Pringatun, dkk. 2011)
4. Lampu Metal Halide
Lampu discharge dimana sebagian besar dari cahaya dihasilkan oleh
radiasi dari campuran uap logam (misalnya: air raksa) dan penguraian (dissosiasi)
halide (halide thallium, indium atau natrium). (Pringatun dkk. 2011)
5. Lampu LED (Light Emiting Diode)
LED didefinisikan sebagai salah satu semikonduktor yang mengubah
energi listrik menjadi cahaya. Sebagaimana dioda lainnya LED terdiri dari bahan
semikonduktor P dan N. Bila sumber diberikan pada LED kutub negatif
dihubungkan dengan N dan kutub positif dengan P maka lubang ( hole ) akan
mengalir kearah N dan elektron mengalir kearah P. (Pringatun, dkk. 2011)
LED merupakan perangkat keras dan padat ( solid-state component )
sehingga unggul dalam hal ketahanan ( durability ). Umur Lampu LED dapat
mencapai 50.000 jam, hal ini dikarenakan tegangan kerja arus searah ( VDC )
konstan, meskipun di suplai dari arus AC, namun di dalam LED terdapat
stabiliser yang menstabilkan suplai arus AC tersebut. (Pringatun, dkk. 2011)
27
2.12 Penataan penempatan lampu jalan
Penyusunan armature dengan ornament cabang dua pada median
digunakan untuk jalan-jalan yang lebar dan dipisahkan oleh median. Biasanya
adalah untuk jalan dua arah yang mana masing-masing arah terdiri lebih dari satu
jalur. Penataan tipe ini dapat disamakan dengan pemasangan single side bagi
masing-masing jalur jalan. Berikut ini merupakan rumus yang digunakan untuk
penyusunan armature dengan ornament cabang dua pada median (Muhaimin,
2001).
Erata-rata = 𝜑.𝜂.𝑀𝐹
𝑊.𝑠 (2.4)
Dimana :
Erata-rata : Tingkat pencahayaan rata-rata (Lux).
Ф : Fluk cahaya (Lumen).
η : Faktor Utilitas.
MF : Faktor perawatan
W : Lebar jalan (m)
S : Jarak antar tiang (m).
2.13 Dasar Pencahayaan
2.13.1 Arus Cahaya / Fluks Cahaya
Arus cahaya adalah jumlah cahaya yang dipancarkan setiap detik oleh
sebuah sumber cahaya satuannya lumen (lm), simbolnya (phi). Menurut Abdul
Kadir (1995) fluks cahaya adalah sebagai jumlah total cahaya yang dipancarkan
oleh sumber cahaya setiap detik. Dari pengertian di atas kemudian dirumuskan
pada rumus :
𝜙 = 𝑄
𝑡 (2.5)
Dimana : 𝜙 = fluks cahaya dalam lumen (lm)
Q = Energi cahaya dalam lumen detik (lm.dt)
t = waktu dalam detik (dt)
28
2.13.2 Intensitas Cahaya
Intensitas berasal dari bahasa latin yaitu intentio yang berarti ukuran
kekuatan, keadaan tingkatan atau ukuran intensnya.Sedangkan cahaya adalah
sebuah gelombang elektromagnetik yang dapat kita lihat apabila mengenai suatu
bidang tertentu.
Sedangkan menurut Hermawan,2008 intensitas cahaya adalah Arus cahaya
dalam lumen yang diemisikan setiap sudut ruang (pada arah tertentu) oleh sebuah
sumber cahaya mempunyai rumus seperti di bawah ini :
I = ϕ
𝜔 (2.6)
Dimana:
𝜙 = fluks cahaya dalam lumen (lm)
I = intensitas cahaya dalam candela (cd) = lm sr⁄
𝜔 = sudut ruang dalam steradian (sr)
2.13.3 Iluminasi
Kuat penerangan ialah kuantitas/jumlah cahaya pada level pencahayaan /
permukaan tertentu dengan satuan = lux (lumen/m2). Iluminasi menurut
Stevenson (1983) adalah kepadatan arus gaya bercahaya yang jatuh pada
permukaan seluas satu satuan luas, kalau permukaan diterangi secara seragam.
Iluminasi dirumuskan dengan :
E = Φ
𝐴 (2.7)
Dimana:
E = iluminasi dalam lux (lx) = lm m2⁄
Φ = fluks cahaya dalam lumen (lm)
A = luas bidang (m²)
Karena arus cahaya Φ = 𝜔 ∙ 𝐼 dan 𝐴 = 𝜔 ∙ 𝑅2 (2.8)
maka
E = 𝐼
𝑅² (2.9)
29
Luminasi (L) Adalah pernyataan kuantitatif jumlah cahaya yang dipantulkan oleh
permukaan pada suatu arah (Muhaimin, 2001).
L = Φ
ω∙R (2.10)
Maka
L = 𝐼
R (2.11)
Dimana:
L = luminasi dalam nit (nt) = 𝑐𝑑𝑚2⁄
I = intensitas cahaya dalam candela (cd) = lm sr⁄
R = titik jarak / luas (𝑚2)
2.13.4 Efikasi Cahaya
Efikasi cahaya adalah perbandingan fluks cahaya dengan daya. Suryatmo
(1996) pada buku pencahayaan arsitektur menjelaskan bahwa efikasi cahaya
adalah perbandingan antara kekuatan arus cahaya (fluks) dengan daya yang
dipergunakan untuk menerangi suatu luas bidang tertentu.Efikasi cahaya
dirumuskan dengan :
η = Φ
𝑝 (2.11)
Dimana:
η = efikasi cahaya dalam (𝑙𝑚 𝑤⁄ ) = 𝑙𝑢𝑚𝑒𝑛𝑤𝑎𝑡𝑡⁄
P = daya listrik dalam watt (w)
Φ = fluks cahaya dalam lumen (lm)
2.14 Konsumsi energi
2.14.1 Daya Lampu Total
Menurut Kusumayogo, dkk (2013), daya lampu total dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Ptotal = P x n x cos 𝜑 (2.12)
30
Dimana :
Ptotal = Daya lampu total (W)
P = Daya lampu (W)
n = Jumlah lampu per APP
2.14.2 Daya Lampu Tiap Bulan
Menurut Kusumayogo, dkk (2013), daya lampu total dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Pbulan = Ptotal x t (2.13)
Dimana :
P bulan = Daya lampu total tiap bulan (kWh/bulan)
P total = Daya lampu total
t = waktu nyala (jam/bulan)
2.14.3 Biaya Pemakaian Energi
Mengenai biaya pemakaian energi menurut Kusumayogo, dkk (2013) ,
dapat dirumuskan sebagai berikut :
M = U x P bulan (2.14)
Dimana :
M = biaya pemakaian tiap bulan (Rp/bulan)
U = Tarif biaya pemakaian tiap bulan (Rp/kWh)
Pbulan = Daya total lampu tiap bulan (W)
2.15 Potensi Matahari
Indonesia merupakan daerah sekitar khatulistiwa dan daerah tropis dengan
luas daratan 2 juta Km2; dikaruniai penyinaran matahari lebih dari 6 jam sehari
31
atau sekitar 2.400 jam dalam setahun. Pada keadaan cuaca cerah, permukaan bumi
menerima energi matahari sekitar 1000Wh/m2
Berdasarkan letak astronomis, Indonesia termasuk ke dalam daerah tropis.
Dimana daerah tropis adalah suatu daerah yang terletak di antara 0° lintang utara
(LU) – 23,5° LU dan 0° lintang selatan (LS) – 23,5° LS. Daerah tropis ini
merupakan daerah peredaran matahari semu tahunan . Karena Indonesia terletak
pada garis lintang 6° LU dan 11° LS, maka Indonesia termasuk daerah tropis.
Dilihat dari letak astronomisnya pulau Bali berada di antara 7⁰ – 9⁰ LS
Daerah tropis adalah daerah yang memiliki dua musim, yakni musim
kemarau dan musim hujan yang bergantian setiap enam bulan sekali. Musim
kemarau berlangsung antara bulan April sampai Oktober dan musim hujan
berlangsung antara bulan Oktober sampai April. Terjadinya perubahan musim ini
disebabkan oleh terjadinya peredaran matahari semu setiap tahun. Gambar 2.6
merupakan garis peredaran matahari semu tahunan. (Setiawan, 2013)
Gambar 2.6 Garis peredaran matahari semu tahunan
Sumber : Agus Setiawan, 2013
Tabel 2.14 Waktu kedudukan matahari
NO Tanggal dan Bulan Kedudukan Matahari
1 21 Maret – 21 Juni Antara 0° - 23,5° LU
2 21 juni – 23 September Antara 23,5° - 0° LU
3 23 September – 22 Desember Antara 0° - 23,5° LS
4 22 Desember – 21 Maret Antara 23,5° - 0° LS
Sumber : Agus Setiawan, 2013
32
Berdasarkan waktu kedudukan matahari (tabel 2.14), dapat dilihat bahwa
peredaran matahari dalam satu tahun dapat dibedakan menjadi empat kedudukan.
Yang mana untuk kuartal I berada antara 21 Maret – 21 Juni, kuartal II berada
antara 21 juni – 23 September, kuartal III berada antara 23 September – 22
Desember, dan kuartal IV berada antara 22 Desember – 21 Maret. Dari keempat
kuartal waktu kedudukan matahari itu, untuk daerah Bali memiliki peak hour per
day (insonasi matahari) seperti tabel dibawah ini :
Tabel 2.15 Peak hour per day rata-rata daerah Bali
Kuartal Energi Matahari (
MJ/m2)
Peak Hour per day (h)
Kuartal I 20 5,55
Kuartal II 15 4,16
Kuartal III 20 5,55
Kuartal IV 15 4,16
Rata-rata peak hour per day 4,85h
Sumber : BAPPEDA, 2004
2.16 Solar Cell
Energi listrik dapat dibangkitkan dengan mengubah sinar matahari melalui
sebuah proses yang dinamakan photovoltaic (PV). Photo merujuk kepada cahaya
dan voltaic merujuk kepada tegangan. Terminologi ini digunakan untuk
menjelaskan sel elektronik yang memproduksi energi listrik arus searah dari
energi radian matahari . Photovoltaic cell dibuat dari material semikonduktor
terutama silikon yang dilapisi oleh bahan tambahan khusus. Jika cahaya matahari
mencapai cell maka elektron akan terlepas dari atom silikon dan mengalir
membentuk sirkuit listrik sehinnga energi listrik dapat dibangkitkan. Sel surya
selalu didesain untuk mengubah cahaya menjadi energi listrik sebanyak-
banyaknya dan dapat digabung secara seri atau paralel untuk menghasilkan
tegangan dan arus yang diinginkan seperti yang dinyatakan oleh (Chenni dkk,
2007).
33
Unjuk kerja dari photovoltaic cell sangat tergantung kepada sinar matahari
yang diterimanya. Kondisi iklim (misal awan dan kabut) mempunyai efek yang
signifikan terhadap jumlah energi matahari yang diterima sel sehingga akan
mempengaruhi pula unjuk kerjanya seperti dibuktikan dalam penelitian (Youness
dkk, 2005)
2.17 Jenis-Jenis Panel Surya
Panel sel surya mengubah intensitas sinar matahari menjadi energi listrik.
Panel sel surya menghasilkan arus yang digunakan untuk mengisi batere. Panel sel
surya terdiri dari photovoltaic, yang menghasilkan listrik dari intensitas cahaya,
saat intensitas cahaya berkurang (berawan, hujan, mendung) arus listrik yang
dihasilkan juga akan berkurang. Dengan menambah panel sel surya (memperluas)
berarti menambah konversi tenaga surya. Umumnya panel sel surya dengan
ukuran tertentu memberikan hasil tertentu pula. Contohnya ukuran a cm x b cm
menghasilkan listrik DC (Direct Current) sebesar x Watt per hour/ jam.
Sel surya terbuat dari teknologi irisan silikon (silicon wafers),
pembuatannya dengan cara memotong/mengiris tipis silikon dan balok batang
silikon. Sel surya juga bisa terbuat dan teknologi film tipis biasa disebut thin filrn
technologies, dimana lapisan tipis dan bahan semikonduktor diendapkan pada
low-cost substrates. Sel surya digolongkan sesuai dengan batasan struktur dari
bahan semikonduktornya seperti, mono-crystalline, multi crystalline (poly-
crystalline) atau amorphous material. (Setiawan, 2013)
Gambar 2.7 Kelas Teknologi Sel Surya
Sumber: Setiawan,2013
34
a. Polikristal (Poly-crystalline)
Merupakan panel surya yang memiliki susunan kristal acak. Type
Polikristal memerlukan luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan
jenis monokristal untuk menghasilkan daya listrik yang sama, akan tetapi dapat
menghasilkan listrik pada saat mendung. Memiliki efisiensi sampai dengan 12 –
14 %.
Gambar 2.8 Modul Surya Polycrystalline
Sumber : Setiawan, 2013
b. Monokristal (Mono-crystalline)
Merupakan panel yang paling efisien, menghasilkan daya listrik persatuan
luas yang paling tinggi. Memiliki efisiensi sampai dengan 14 – 17 % serta tahan
lebih lama dibandingkan dengan polycrystalline yaitu efektif hingga 20 tahun
penggunaan. Kelemahan dari panel jenis ini adalah tidak akan berfungsi baik
ditempat yang cahaya mataharinya kurang (teduh), efisiensinya akan turun drastis
dalam cuaca berawan.
Gambar 2.9 Modul Surya Monocrystalline
Sumber : Setiawan, 2013
35
c. Thin film
Crystalline wafers menghasilkan sel surya dengan efisiensi tinggi tetapi
relatif mahal dalam pabrikasinya, dibanding dengan sel thin film yang lebih murah
baik dan segi pemakaian bahan yang terbuat dan substrat yang murah, dan proses
pabrikasi yang lebih sederhana, akan tetapi sel thin film kurang efisien. Sel surya
jenis thin film disusun oleh bahan semikonduktor dan bebarapa bahan campuran
lainnya seperti, campuran gas, bahan pendukung dan kaca, polirner, aluminium,
yang bertujuan untuk menghasilkan konsistensi atau kemantapan campuran. Jenis
sel surya ini memiliki ketebalan yang sangat tipis, dan lebih fleksibel sehingga
meningkatkan pengaplikasian dilapangan.
Kelas thin film semikonduktornya terbuat dan campuran bahan seperti:
a) Amorphous silicon (a-Si)
b) Cadmium telluride (CdTe), cadmium sulfide (CdS)
c) Gallum arsenide (GaAs)
d) Copper indium selenide (CIS)
e) Copper indium di-seleiiide (CIGS)
Gambar 2.10 Modul Surya Thin Film
Sumber : Setiawan, 2013
2.18 Solar change controller
Solar change controller adalah peralatan elektronik yang digunakan untuk
mengatur arus searah yang diisi ke baterai dan diambil dari baterai ke beban.
Solar charge controller mengatur overcharging (kelebihan pengisian – karena
baterai sudah ‘penuh’) dan kelebihan voltase dari panel surya/solar cell.
Kelebihan voltase dan pengisian akan mengurangi umur baterai. Solar charge
controller menerapkan teknologi Pulse width modulotion (PWM) untuk mengatur
fungsi pengisian baterai dan pembebasan arus dari baterai ke beban. Panel
36
surya/solar cell 12 Volt umumnya memiliki tegangan output 16 – 21 Volt. Jadi
tanpa solar charge controller, baterai akan rusak oleh overcharging dan
ketidakstabilan tegangan. Baterai umumnya charging pada tegangan 14 – 14.7
Volt. Beberapa fungsi detail dari solar charge controller adalah sebagai berikut
(Agus Setiawan, 2014):
a) Mengatur arus untuk pengisian ke baterai, menghindari overcharging, dan
overvoltage.
b) Mengatur arus yang dibebaskan/ diambil dari baterai agar baterai tidak ‘full
discharge’, dan overloading.
c) Monitoring temperatur baterai
Gambar 2.11 Solar change controller
Sumber : DISHUBKOMINFO, 2013
2.19 Baterai
Baterai merupakan salah satu komponen yang digunakan pada sistem
solar cell yang dilengkapi dengan penyimpanan cadangan energi listrik. Baterai
memiliki fungsi untuk menyimpan energi listrik yang dihasilkan oleh panel surya
dalam bentuk energi arus searah. Energi yang disimpan pada baterai berfungsi
sebagai cadangan (back up), yang biasanya dipergunakan pada saat panel surya
tidak menghasillcan energi listrik, contohnya pada saat malarn hari atau pada saat
cuaca mendung, selain itu tegangan keluaran ke sistem cenderung lebih stabil.
Satuan kapasitas energi yang disimpan pada baterai adalah ampere hour (Ah),
yang diartikan arus maksimum yang dapat dikeluarkan oleh baterai selarna satu
37
jam. Namun dalam proses pengosongan (discharger), baterai tidak boleh
dikosongkan hingga titik maksimumnya, hal ini dikarenakan agar baterai dapat
bertahan lebih lama usia pakainya (life time), atau minimal tidak mengurangi usia
pakai yang ditentukan dan pabrikan. Batas pengosongan dan baterai sering disebut
dengan istilah depth of discharge (DOD), yang dinyatakan dalam satuan persen,
biasanya ditentukan sebesar 80%. Banyak tipe dan kiasifikasi baterai yang
diproduksi saat ini, yang masing-masing memiliki desain yang spesifik dan
karakteristik performa berbeda sesuai dengan aplikasi khusus yang dikehendaki.
Pada sistem solar cell jenis baterai lead-acid lebih banyak digunakan, hal ini
dikarenakan ketersediaan ukuran (Ah) yang ada lebih banyak, lebih murah, dan
karateristik performanya yang cocok. Pada beberapa kondisi kritis, seperti kondisi
temperatur rendah digunakan baterai jenis nickel-cadmium, namun lebih mahal
dan segi pernbiayaannya ( Setiawan, 2013 ) .
2.20 Sistem Solar Cell LPJU
Gambar 2.12 Lampu Penerangan Jalan Umum Mengguankan Solar Cell
Sumber : Kusumayogo, 2013
Prinsip dasar Lampu Jalan Tenaga Surya hampir sama dengan lampu jalan
konvensional. Bedanya hanya sumber listriknya yang diperoleh dari energi
Lampu LED
Box Controler dan Baterai
Solar Cell
Tiang Lampu
38
matahari yang telah disimpan di Battery. Komponen dari LPJU solar cell terdiri
dari , Lampu LED, Tiang Lampu, solar cell / photovoltaic module , serta box
controller yang di dalamnya terdapat solar change controller dan baterai
Gambar 2.13 Konfigurasi Dasar System Lampu Penerangan Jalan Solar Cell
Sumber : Kusumayogo, 2013
Diagram diatas merupakan konfigurasi dasar dari Sistem Lampu Jalan
Tenaga Surya. Modul Surya berfungsi untuk mengubah sinar matahari menjadi
energi listrik DC (arus searah). Energi listrik DC ini kemudian disimpan di
Battery. Tetapi penyimpanan energi ini harus diatur, tidak boleh diisi berlebihan
(over-charged) juga tidak boleh dipakai dibebani secara berlebihan (over-load).
Karena itu harus dipasang alat yang disebut solar charge control yang bertugas
sebagai pengatur lalu-lintas arus pada battery dan sebagai pengamankan sistem
dari kerusakan akibat hubungan pendek, over charged dan over load.
Listrik yang disimpan dalam battery adalah arus searah (DC) yang
kemudian akan langsung disalurkan ke lampu LED, namun ada juga sistem yang
mengubah arus searah (DC) menjadi arus bolak-balik (AC) dengan menggunakan
inverter untuk menyalurkan energi listrik ke lampu, dikarenakan lampu yang
digunakan memerlukan sumber arus bolak-balik (AC) . Sementara untuk
mengontrol hidup dan matinya lampu dapat dipakai Timer, Sensor Tegangan
ataupun Sensor Cahaya Matahari (Photo Switch)
39
2.21 Inklinasi dan Orientasi Panel Surya
Efisiensi maksimum dari panel surya akan meningkat jika sudutnya saat
terjadi sinar matahari selalu berada pada 90°. Namun kenyataannya peristiwa dan
radiasi matahari bervariasi berdasarkan pada keduanya yaitu garis lintang
(lattitude), dan seperti halnya dekilnasi matahari selama setahun. Faktanya poros
rotasi bumi adalah dengan kemiringan sekitar 23,45° terhadap bidang dan orbit
bumi oleh matahari, pada garis lintang tertentu tinggi dari matahari pada langit
bervariasi setiap harinya. Untuk mengetahui ketinggian maksimum (dalarn
derajat) ketika matahari mencapai langit (𝛼), secara mudah dengan menggunakan
rumus berikut:
𝛼 = 90° − lat + δ(N ℎ𝑒𝑚𝑖𝑠𝑝ℎ𝑒𝑟𝑒); 90° + lat − δ(S ℎ𝑒𝑚𝑖𝑠𝑝ℎ𝑒𝑟𝑒) (2.15)
Dimana :
Lat = garis lintang (latitude) lokasi instalasi panel surya terpasang
(dalam satuan derajat)
𝛿 = sudut dari deklinasi matahari (23,45°)
Apabila sudut dan ketinggian maksimum matahari (𝛼) diketahui, maka
sudut kemiringan dan panel surya (𝛽) juga dapat diketahui. Namun tidak cukup
hanya rnengetahui 𝛼 saja untuk menentukan orientasi yang optimal dan panel
surya. Orientasi dari panel surya dapat diindikasikan dengan sudut asimut
(azimuth angle) dalam notasi 𝛾, pada deviasi terhadap arah optimum dan selatan
(untuk lokasi di belahan bumi utara), atau dari utara (untuk lokasi di belahan bumi
selatan). Nilai positif dari sudut asimut menunjukan orientasi ke barat, sebaliknya
nilai negatif menunjukan orientasi ke timur.
Gambar 2.14 Kombinasi inklinasi dan orientasi menentukan eksposisi panel surya
Sumber : Setiawan, 2013