BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada...

45
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru Pengobatan Tuberkulosis ditujukan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap antituberkulosis (OAT) (Aditama et al., 2008). Tujuan pengobatan tersebut sesungguhnya tidak berbeda dengan tujuan pengobatan infeksi umumnya, meskipun untuk mewujudkannya diperlukan pengelolaan terapi yang sangat berbeda. Perbedaan mendasar dalam pengelolaan terapi Tuberkulosis di antaranya mencakup: penggunaan antibiotika kombinasi, penetapan jangka waktu terapi yang relatif panjang, yang dibagi dalam 2 tahapan terapi sekalipun pada Mikobakteri yang sensitif terhadap OAT. Penggunaan antituberkulosis diatur dengan standar yang dikomunikasikan secara global dan dikelola dengan melibatkan berbagai komponen secara institusional lintas negara (WHO, 2016). Rekomendasi penanganan penderita Tuberkulosis paru baru dengan sediaan oral lini pertama sesuai ketentuan WHO, mengikuti tahapan, yaitu: 1) Tahap inisiasi (intensif), berlangsung dalam periode 2 bulan awal terapi dengan kombinasi dosis tetap rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol. Terapi tahap awal ini ditujukan untuk mengoptimumkan aktifitas bakterisid terhadap Mikobakteri yang aktif membelah secara cepat dan banyak. 2) Tahap sterilisasi/lanjutan/intermiten, dengan menggunakan kombinasi obat rifampisin,

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Pengobatan Tuberkulosis ditujukan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap antituberkulosis (OAT) (Aditama et al.,

2008). Tujuan pengobatan tersebut sesungguhnya tidak berbeda dengan tujuan

pengobatan infeksi umumnya, meskipun untuk mewujudkannya diperlukan

pengelolaan terapi yang sangat berbeda. Perbedaan mendasar dalam pengelolaan

terapi Tuberkulosis di antaranya mencakup: penggunaan antibiotika kombinasi,

penetapan jangka waktu terapi yang relatif panjang, yang dibagi dalam 2 tahapan

terapi sekalipun pada Mikobakteri yang sensitif terhadap OAT. Penggunaan

antituberkulosis diatur dengan standar yang dikomunikasikan secara global dan

dikelola dengan melibatkan berbagai komponen secara institusional lintas negara

(WHO, 2016).

Rekomendasi penanganan penderita Tuberkulosis paru baru dengan

sediaan oral lini pertama sesuai ketentuan WHO, mengikuti tahapan, yaitu: 1)

Tahap inisiasi (intensif), berlangsung dalam periode 2 bulan awal terapi dengan

kombinasi dosis tetap rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol. Terapi

tahap awal ini ditujukan untuk mengoptimumkan aktifitas bakterisid terhadap

Mikobakteri yang aktif membelah secara cepat dan banyak. 2) Tahap

sterilisasi/lanjutan/intermiten, dengan menggunakan kombinasi obat rifampisin,

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

14

14

isoniazid tiga kali seminggu dalam jangka waktu empat bulan dengan rentang

dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1.

Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter

farmakokinetik farmakodinamik rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid yang

tergantung kadar (concentration dependent killing) dan etambutol yang tergantung

waktu (time dependent killing) (Gumbo et al. 2007). Aktifitas antiMikobakteri

memerlukan kadar OAT yang besarnya ada diatas kadar hambat minimum, yang

harus dipertahankan melalui pemberian obat secara rutin selama tahapan terapi

inisiasi pada 2 bulan awal. Terapi pada tahap lanjutan didasarkan pada post

antibiotic effect, yaitu periode adanya hambatan pertumbuhan bakteri selama

beberapa hari setelah kontak dengan obat antituberkulosis dihentikan. Tahap

pengobatan lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persisten yang dianggap

sebagai penyebab terjadinya kekambuhan (Gumbo et al. 2007).

Tuberkulosis paru baru merupakan infeksi yang bisa diobati dengan

penggunaan regimen standar OAT lini pertama. OAT tersebut terdiri dari

kombinasi rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan ethambutol yang saat ini

direkomendasikan sebagai sediaan kombinasi dosis tetap. Pemberian regimen

OAT kombinasi ini dapat mencapai keberhasilan terapi mencapai 95%, bahkan

terhadap Mikobakteri strain Beijing (Mourik et al., 2017). Semua antituberkulosis

tersebut dinyatakan sebagai kombinasi ideal yang merupakan ujung tombak terapi

untuk membasmi infeksi Tuberkulosis. Namun, membasmi Tuberkulosis dengan

capaian target keberhasilan terapi tersebut tidaklah mudah. Keberhasilan

pengobatan Tuberkulosis untuk Indonesia berkisar pada angka 85% dan kondisi

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

15

15

ini tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tahun 2000-2016 meskipun

telah didukung oleh dengan penerapan program pengawas menelan obat (Directly

observed treatment shortcourse/ DOTS) (Aditama, 2003; WHO, 2017).

Permasalahan dalam mewujudkan keberhasilan terapi Tuberkulosis juga tidak bisa

dilepaskan dengan masalah kepatuhan terapi. OAT memiliki efek samping obat

yang mengganggu kenyamanan penderita selama tahapan terapi yang panjang.

Dukungan program DOTs bermanfaat positif untuk memotivasi penderita agar

menjalani terapi dan mengkomunikasikan permasalahannya sedini mungkin tanpa

menghentikan pengobatan tanpa dikomunikasikan dengan baik dengan petugas

kesehatan.

Perkembangan terapi OAT yang belakangan ini banyak dibahas terkait

dengan pendekatan terapi individual. Individualisasi dikaitkan dengan terjadinya

kadar OAT subterapetik yang banyak dipublikasikan termasuk untuk Indonesia

(Ruslami et al. 2010; Burhan et al. 2013; Nijland et al. 2006). Banyaknya kadar

suboptimal memerlukan tindak lanjut yang lebih saintifik karena dinyatakan

berperan terhadap kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi OAT (Choi et al.

2017). Dinyatakan bahwa munculnya resistensi akibat kadar suboptimal

dinyatakan terkait dengan adanya variabilitas farmakokinetik individu penderita

Tuberkulosis (Dartois, 2011; Wilkins et al., 2011; Egelund and Peloquin, 2012;

Pasipanodya et al., 2012; Turner et al., 2015). Untuk menangani masalah

variabilitas farmakokinetik dalam pengelolaan terapinya dibutuhkan tidak hanya

peningkatan dosis saja tetapi memerlukan pendekatan farmakokinetik yang

selanjutnya diimplementasikan sebagai individualisasi regimen dosis OAT.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

16

16

Individualisasi terapi OAT dapat dipertimbangkan agar terapi OAT dapat berjalan

aman dan efektif sebagaimana yang telah dipublikasikan oleh peneliti lain (Wilby

et al., 2014; Sotgiu et al., 2015; Heysell et al., 2015) dan direkomendasikan untuk

pengelolaan Tuberkulosis yang lebih baik (Peloquin, 2002, 2004; McIlleron et al.,

2006; Kayhan and Akgunes, 2011; Van Tongeren et al., 2013; Heysell et al.,

2013, 2015; Wilby, et al., 2014; G. Sotgiu, et al, 2015; Sotgiu et al., 2015;

Chawla et al., 2016; Van Der Burgt et al., 2016; Sturkenboom et al., 2016; Cox et

al., 2018).

Pengelolaan terapi Tuberkulosis yang lebih baik menjadi suatu hal penting

ditengah perkembangan kasus resistensi Tuberkulosis dan upaya eradikasi

Tuberkulosis “End TB” di tahun 2035. Pengelolaan terapi yang tidak tepat dapat

berakibat fatal terhadap pencapaian keberhasilan terapi untuk penuntasan

Tuberkulosis secara individual, lokal, nasional maupun global.

Tabel 2.1

Rentang Dosis Antituberkulosis Rekomendasi WHO Berdasarkan Perhitungan

Berat Badan

Obat Antituberkulosis Cara kerja Dosis (mg/KgBB)

Fase

Inisiasi

Harian

Fase lanjutan

3 kali/minggu

Rifampisin Bakterisidal 10(8-12) 10(8-12)

Isoniazid Bakterisidal 5(4-6) 10(8-12)

Pirazinamid Bakterisidal 25(20-30) 35(30-40)

Ethambutol Bakterisostatik 15(15-20) 30(25-35)

Streptomisin Bakterisidal 15(12-18) 15(12-18)

Dikutip dari:Blomberg et al., 2001

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

17

17

2.1.1 Upaya menjamin efektivitas pengobatan Tuberkulosis

2.1.1.1 Directly observed treatment shortcourse (DOTs)

Penerapan strategi pengawas minum obat (directly observed treatment short

course/DOTs) telah menjawab kekhawatiran atas peningkatan populasi

Tuberkulosis. Strategi ini telah menjadi solusi untuk meningkatkan kepatuhan

pasien dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis selama bertahun-tahun.

Program DOTs telah berlangsung baik dan beberapa negara dengan resiko tinggi

menunjukkan keberhasilan dalam penanggulangan tuberkulosis termasuk

Indonesia. Namun, program ini tentunya tidak dapat dianggap sebagai program

yang paling ideal pada keadaan peningkatan jumlah kasus resistensi. Bagaimana

pun resistensi dapat terjadi sebagai akibat adanya pasien yang mengalami putus

obat karena efek samping, toksisitas, kesalahan regimen dosis akibat penggunaan

OAT. Kesuksesan penerapan strategi DOTs dalam menekan penularan, mencegah

perkembangan resistensi Mikobakteri terhadap OAT memerlukan dukungan

sumber daya yang memadai dan dukungan program terkait upaya pengelolaan

terapi Tuberkulosis yang lebih baik.

2.1.1.2 Penggunaan kombinasi dosis tetap/ fixed dose combination (KDT/FDC)

WHO telah merekomendasikan penggunaan antituberkulosis dalam bentuk

kombinasi dosis tetap (KDT/ fixed dose combination/FDC) yang berisi 2 dan 4

obat yang terintegrasi dalam strategi DOTS sejak 1999 dan ditegaskan dengan

dimasukkannya dalam daftar obat esensial WHO (2016, 2017b). Penggunaan

OAT per oral dengan formulasi kombinasi dosis tetap/FDC merupakan strategi

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

18

18

terapi yang ditempuh untuk merespon permasalahan munculnya resistesi OAT

akibat peggunaan monoterapi dengan sediaan tunggal/lepasan. Formula sediaan

FDC mampu mengendalikan kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi

antituberkulosis. Penderita menjadi lebih nyaman karena tidak menggunakan

variasi dan jumlah obat yang terlalu banyak yang seringkali membingungkan.

Penggunaan sediaan FDC juga memudahkan peresepannya oleh dokter, demikian

pula dalam hal logistiknya. Penyediaan sediaan FDC tentunya lebih mudah dan

mengurangi pembiayaan dalam program untuk menekan peluang terjadinya

resistensi (Aditama, 2000; Blomberg et al., 2001; WHO, 2018).

Sediaan kombinasi dosis tetap terdiri dari kombinasi rifampisin, isoniazid,

pirazinamid, dan etambutol (RHZE 4FDC) yang direkomendasikan untuk

pengggunaan pada fase inisiasi 2 bulan pertama (56 hari) yang dilanjutkan dengan

kombinasi 2 obat rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan (48 hari berselang) yang

dosisnya diperhitungkan berdasarkan berat badan penderita sesuai Tabel 2.2.

Jaminan kualitas, keamanan dan efektivitas sediaan FDC telah ditetapkan

WHO dengan menentukan standar sediaan FDC secara farmasi yang harus

dipenuhi oleh pengelola program tuberkulosis nasional (WHO, 2018).

2.1.1.3 Pemantauan kadar terapetik/Indivivualisasi

Rentang terapetik obat sebagimana halnya antituberkulosis adalah

perkiraan dari rata-rata kadar plasma obat yang aman dan efektif bagi hampir

sebagian besar penderita (Shargel et al., 2005). Rentang terapetik yang ada

tersebut tidak bisa dianggap sebagai nilai absolut, namun harus disadari sebagai

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

19

19

nilai yang diperoleh dari penerapan konsep peluang dari beberapa rentang nilai

yang diperoleh dari suatu kajian. Hal ini dapat diterima, misalnya pada rentang

kadar rifampisin target (8-24 µg/ml), beberapa penderita telah menunjukkan

adanya efek obat mual, muntah, atau bahkan gangguan fungsi lever yang tidak

bisa ditoleransi pada kadar di bawah 24 µg/ml dan disisi lain beberapa penderita

bahkan telah menunjukkan respon terapi yang baik pada kadar dibawah 8 µg/ml

setelah pemberian rifampisin kombinasi (Burhan et al. 2013).

Pemantauan kadar terapetik banyak dibahas dalam penanganan masalah

terapi OAT dan dinyatakan sebagai salah satu cara untuk mengamankan dan

menjamin efektifitas terapinya terkait dengan variabilitas farmakokinetik

interindividu (Peloquin, 2002, 2004; McIlleron et al., 2006; Kayhan and Akgunes,

2011; Van Tongeren et al., 2013; Heysell et al., 2013, 2015; Wilby, et al., 2014;

G. Sotgiu, et al, 2015; Sotgiu et al., 2015; Zuur et al., 2016; Chawla et al., 2016;

Van Der Burgt et al., 2016; Sturkenboom et al., 2016; Cox et al., 2018).

Keberhasilan terapi OAT dapat diupayakan dengan pemahaman

farmakokinetiknya secara lebih baik. Penggunaan obatnya harus menjamin

tercapainya rentang kadar terapetik yang harus dipertahankan selama terapi yang

panjang. Pendekatan farmakokinetik membantu dalam merancang regimen dosis

yang lebih rasional (Reynold and Heysell, 2014). Penggunaan dosis awal dapat

dihitung sesuai data berat badan dan dipertimbangkan berdasarkan pada informasi

farmakokinetik menggunakan kadar obat, kondisi patofisiologis klinik, dan

riwayat penggunaan obatnya (Shargel et al., 2005).

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

20

20

Pemantauan kadar terapetik obat (therapeutic drug monitoring/TDM)

merupakan upaya individualisasi obat menggunakan pemantauan kadar terapetik

dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat secara individu. Penerapan TDM

dalam terapi tuberkulosis dipertimbangkan untuk menjawab tantangan terhadap

lambatnya respon terapi serta munculnya resistensi terhadap pengobatan anti

tuberkulosis. Manfaat TDM secara umum dapat dinyatakan antara lain: pemilihan

obat, merancang regimen dosis, mengevaluasi respon enderita selama penggunaan

obat, menentukan kebutuhan pengukuran kadar obat, menguji kadar obat dalam

cairan biologis, menerapkan evaluasi farmakokinetik terhadap kadar obat,

melakukan penyesuaian dosis jika diperlukan, memantau kadar obat, bahkan

merekomendasikan sesuatu terkait kepatuhan atau cara pemberian obat (Shargel,

et al., 2005).

Penerapan TDM secara teori dan praktek pada terapi antituberkulosis

sangatlah ideal. TDM memudahkan penentuan dosis yang tepat meyakinkan

tercapainya kadar efektif dalam jangka panjang serta mencegah terjadinya efek

samping yang berat, dan dapat untuk mengevaluasi kepatuhan obat. TDM juga

sesuai untuk penanganan kasus tuberkulosis terkait adanya penggunaan obat

kombinasi, resiko interaksi penggunaan obat, adanya variabilitas farmakokinetik

interindividu yang diperberat dengan adanya penyakit lain dan jangka waktu

terapi yang cukup panjang serta resistensi.

Pengembangan TDM di Indonesia perlu mendapat perhatian mengingat

tingginya kasus tuberkulosis dan tingkat resistensi global terhadap anti

tuberkulosis lini pertama: rifampisin, isoniazid, pirazinamid serta munculnya

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

21

21

resistensi terhadap antituberkulosis lini ke dua. Penelitian Sotgiu et al., 2015;

Heysell et al., 2015 dan beberapa lainnya dengan tegas merekomendasikan

perlunya upaya TDM secara formal dalam penanganan terapi Tuberkulosis untuk

memperbaiki regimen dosis untuk keamanan dan efektifitas pengobatan

tuberkulosis. Keberhasilan penanganan tuberkulosis menjadi kewajiban setiap

negara, terkait dengan upaya pemberantasan tuberkulosis WHO “End TB

Strategy” di tahun 2035 yang menargetkan penurunan 95% kematian akibat Tb

dan penurunan 90% insiden TB dibandingkan dengan di tahun 2015(WHO,

2017a).

Tabel 2.2

Perhitungan Dosis OAT FDC Untuk Orang Dewasa Berdasarkan Berat Badan

Berat Badan

(Kg)

Tahap Intensif

Tiap Hari selama 56 hari

RZHE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16

minggu RZ(150/150)

30-37 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC

38-54 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC

55-70 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC

≥ 71 5 tablet 4 FDC 5 tablet 2FDC

Dikutip dari: Aditama, 2003,2008; Blomberg et al., 2001, 2002

2.1.2 Antituberkulosis rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid

Rifampisin (R), isoniazid (H), dan pirazinamid (Z) digunakan sebagai

antituberkulosis lini pertama kombinasi bersama dengan ethambutol. RHZ secara

farmakokinetik farmakodinamik merupakan kelompok antibiotika yang kerjanya

tergantung pada kadar obat (“concentration dependent”) dan aksi kerjanya bersifat

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

22

22

bakterisidal. Sifat ini yang kemudian banyak dibahas dan mendasari perlunya

peningkatan dosis untuk meningkatkan target capaian kadar obat sehingga dapat

meningkatkan aktifitasnya sebagai antimikobakteri dan akhirnya respon terapinya

sebagai antituberkulosis.

Farmakokinetik rifampisin setelah pemberian oral menunjukkan kadar

plasma puncak mencapai 2-4 jam (Rana 2013). Pada prakteknya pencapaian

respon terapi antituberkulosis ini sebagaimana halnya obat lain sangat dipengaruhi

oleh farmakokinetiknya. Farmakokinetik antituberkulosis, rifampisin dapat

bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor antar lain: ras (Weiner et al. 2010;

Sloan et al. 2017), jenis kelamin, usia, merokok (McIlleron et al. 2006),

penggunaan kombinasi obat (Arbex et al., 2010), kondisi patofisiologis (Rafiq et

al., 2010; George and Saranya, 2018), makanan (Tostmann et al., 2013; Lin et

al., 2014; Saktiawati et al., 2016), adanya penyakit lain (Requena-Mendez et al.

2012, 2014; Nijland et al. 2006; van Oosterhout et al. 2015; Denti et al. 2015;

Fahimi et al. 2013; Medellín-Garibay et al. 2015), malnutrisi (Sturkenboom et al.

2016; Ramachandran et al. 2013; Jeremiah et al. 2014).

Penggunaan sediaan kombinasi RHZE 4FDC ataupun RH2FDC yang

disarankan adalah dalam keadaan lambung kosong, 30 menit sebelum makan pagi,

1 jam sebelum makan dan atau 2 jam sesudah makan, sebelum tidur malam hari

(Aditama et al., 2008). Keamanan dan efektifitas OAT dapat dijamin jika capaian

rentang terapetik target yang direkomendasikan untuk rifampisin mencapai 8-24

µg/ml, isoniazid 3-6 µg/ml, sedangkan pirazinamid 20-60 µg/ml. Perkiraan waktu

puncak umumnya berturut-turut untuk rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid,

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

23

23

yaitu: 2 jam, 0,5-2 jam, 1-2 jam setelah pemberian obat dengan waktu paruh (t1/2),

yaitu: 3 jam, 1,5 jam pada asetilator cepat dan 4 jam pada kelompok asetilator

lambat, 9 jam ( Peloquin, 2002; Park et al. 2016) .

Rifampisin merupakan derifat hidrazone rifamisin B dengan N-amino-N’

methylpiperazine yang menunjukkan absorpsi peroral dan efek bakterisidal yang

baik (Ingen et al., 2011). Bioavailabilitasnya pada orang dewasa mencapai 90-

95%. Pemberian dosis tunggal 1 tablet RHZE 4FDC terdiri dari rifampisin

250mg/isoniazid 75mg/pirazinamid 400mg/etambutol hidroklorida 275mg pada

subjek normal menghasilkan kadar puncak rata-rata 2,21 (±1,34) µg/ml dengan

luas area dibawah kurva (AUC) 8,90(±4,94)µg jam/ml, dengan nilai tmaks median

1,83(±0,64) jam. Konsumsi obat sediaan rifampisin kombinasi dosis tetap

bersamaan dengan makanan dapat menunda absorpsi rifampisin dan menurunkan

kadar puncak meskipun bioavailabilitasnya tidak menurun (Ramachandran et al.

2013; Jeremiah et al. 2014). Ikatan obat protein plasma rifampisin mencapai 60-

90% dengan nilai volume distribusi mendekati 0,9 liter/kg. Rifampisin

dimetabolisme di hepar melalui mekanisme hidrolisis dan deasetilasi menjadi des-

asetilrifampisin liver (Brennan et al., 2008).

Rifampisin merupakan penginduksi enzim mikrosom hepar yang potensial,

termasuk terhadap dirinya sendiri sehingga terjadi penurunan bioavailabilitasnya

sampai 70% pada pemberian berulang dan peningkatan klirens (Clapp). Pemberian

rifampisin dosis tunggal menunjukkan waktu paruh (t1/2) 3 jam dan menjadi lebih

cepat ketika pemberian berulang 1-2 jam. Rifampisin dan metabolitnya diekskresi

di empedu dan mengalami sirkulasi enterohepatik. Risiko peningkatan kadar

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

24

24

transaminase dapat terjadi pada minggu awal terapi, tetapi sifatnya reversibel dan

kondisi ini dapat kembali normal sampai 3 bulan terapi. Rifampisin aktif terhadap

Mikobakteri ekstraseluler maupun intraseluler dan bekerja menghambat

transkripsi RNA polymerase pada DNA Mikobakteri. Dosis harian dewasa 18-12

mg/KgBB. Pemberian dosis tunggal dengan dosis 10-15 mg/kg menghasilkan

kadar rifampisin maksimum (Cp) berkisar 14,91 μg/mL, dengan AUC 17,93

μg.jam/ml, dan waktu paruh 2,46 jam (Brennan, et al., 2008). Rifampisin

berdstribusi menuju seluruh tubuh berlangsung baik dan dapat menembus sawar

darah otak yang mengalami inflamasi. Kemampuan ini menyebabkan perubahan

warna cairan tubuh, urin, saliva, sputum, air mata, menjadi oranye kemerahan,

selama mengkonsumsi rifampisin. Rifampisin diekskresi terutama melalui

empedu dan sirkulasi enterohepatik, 30-40% ekskresinya terjadi melalui ginjal.

Efek samping berupa gangguan saluran cerna, mual, muntah, kembung, nyeri

lambung, kemerahan seringkali menjadi keluhan pasien, lainnya adalah anemia

hemolitik, trombositopenia, imunosupresi. Pada penggunaan jangka lama

terutama pada penderita kelainan hati kronis, alkoholisme, dan orang tua dapat

meningkatkan risiko hepatitis (Ingen et al., 2011). Interaksi dapat terjadi pada

berbagai macam obat seperti digoksin, metadon, kontrasepsi oral, klaritromisin,

obat HIV penghambat protease dan mononukleosida reverse traskriptase dan

kinidin. Pemberian pada pasien dengan gangguan ginjal dapat dilakukan seperti

pasien biasa.

Isoniazid merupakan anti tuberkulosis yang terbaik sesudah rifampisin.

Isoniazid merupakan pro-drug yang diaktifasi oeh enzim katalase-peroksidase

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

25

25

hemoproteion, KatG. Isoniazid menghambat INhA, suatu nicotinamid adenine

dinukleotide (NADH) specific enoyl-acyl (ACP) reductase carrier protein yang

terlibat dalam sintesis asam lemak (Brenan et al, 2008). Isoniazid memiliki

aktifitas bakterisidal terhadap Mikobakteri yang pertumbuhannya aktif dan

menyebabkan penurunan jumlah bakteri sputum dengan cepat pada 2 minggu

awal terapi naumn menurun kemapuannya terhadap bakteri yang inaktif/ persisten

(Zhang, 2003). Isoniazid bersifat hidrofilik, dengan bioavailabilitas per oral

mencapai ≥80% dan tmaks 1,08 (±0,45) jam dengan Cpmaks pada pemberian

dosis tunggal 1,59 (±0,52) µg/ml dan AUC 5,33 (±2,54) µg jam/ml. Isoniazid

memiliki penetrasi yang baik ke intraseluler, memiliki ikatan obat protein yang

sangat rendah (0-10%), dan Vdapp 0,57-0,76 liter/kg. Metabolisme isoniazid

terjadi secara asetilasi oleh enzim N-asetil transferase dalam mukosa intestinum

dan liver, menghasilkan metabolit asetil isoniazid yang selanjutnya dihidrolisis

dan dikeluarkan hampir 95% dalam urin sebagai metabolit inaktif N-

asetilisoniazid dan asam isonikotinat dan 1<10% diekskresi dalam feses.

Perbedaan kadar enzim pemetabolisme berbeda secara genetik dan

mengelompokkan populasi menjadi pemetabolisme cepat dan lambat. Isoniazid

bersifat bakteristatik untuk bakteri yang sedang beristirahat dan bersifat

bakterisidal terhadap bakteri yang sedang aktif bereplikasi baik ekstraseluler

maupun intraseluler. Pemberian isoniazid per oral menunjukkan

bioavailabilitasnya mencapai ≥80% Dosis yang digunakan adalah 300 mg, dengan

kadar Cp 3-5μg/mL. Metabolismenya terjadi di hepar melalui asetilasi dan

hirolisis, dan metabolitnya diekskresikan dalam urin. Secara farmakodinamik

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

26

26

isoniazid bekerja dengan menghambat sintesis asam mikolat rantai panjang yang

dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel Mikobakteri (Brennan et al. 2008).

Pirazinamid merupakan pro-drug yang dimetabolisme oleh enzim

pirazinamidase (PZAase/nikotinamidase) menghasilkan zat aktif asam pirazinoat,

suatu zat yang menghambat aktivitas Mikobakteri pada kondisi asam. Pirazinamid

diabsorpsi sempurna dari saluran cerna. Pemberian dosis tunggal dengan dosis

400 mg sediaan RHZE 4 FDC menghasilkan kadar rata-rata Cmaks 18,7 (±3,0)

μg/ml, AUC 145 (±25 μgjam/ml). Nilai median tmaks 1,98 (±0,63)jam.

Pirazinamid terdistribusi baik pada jaringan dan cairan tubuh, dengan ikatan obat

protein relatif rendah (10-20%), Vd 0,57-0,84 L/kg. Pirazinamid dihidrolisis

menjadi metabolit aktif asam pirazinoat oleh enzim mikrosom deaminase liver

dan juga oleh enzim pirazinamidase pada Mikobakteri. Metabolit aktif tersebut

dihidrolisis kembali oleh enzim xanthin oksidase menjadi asam hidroksi

pirazinoat. Eliminasi pirazinamid utuh (3%) dan sebagian besar bentuk metabolit

terjadi melalui ginjal. Waktu paruh t1/2 pirazinamid dapat mencapai 10 jam dan

metabolit asama pirazinoat mendekati 10-20 jam, oleh karena itu perlu

pertimbangan untuk penurunan dosis jika diberikan pada penderita dengan

kegagalan ginjal maupun dengan kegagalan liver (Brennan et al., 2008).

2.2 Pendekatan Farmakokinetik dalam Terapi Klinik

Keberhasilan terapi obat sangat dipengaruhi oleh pilihan obat dan produk obat

serta pada rancangan regimen dosis (Shargel, 2005). Pilihan obat dan produk obat

dipertimbangkan berdasarkan karakteristik penderita, penyakit, dan pengetahuan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

27

27

mengenai farmakokinetik obat. Farmakokinetik membantu klinisi dalam

merancang suatu regimen dosis yang tepat sehingga efikasi obat dalam

penanganan penyakit dapat tercapai secara optimal.

Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari karakter kinetika

(absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME)) obat dalam tubuh

dikaitkan dengan respon farmakologi, terapi, atau toksik. Farmakokinetik

mengkuantifikasi dan menginterpretasi kinetika ADME, yang secara biologis

sangat kompleks menggunakan model matematik yang selanjutnya disebut

sebagai model farmakokinetik. Karakter farmakokinetik obat dapat dijelaskan

sebagai suatu fungsi input, distribusi, dan ouput sebagaimana disampaikan pada

Gambar 2.1. Kecukupan kadar obat dalam darah dapat diperhitungkan dengan

menyeimbangkan input dan ouput obat dalam tubuh. Suatu obat yang mengalami

proses metabolisme dan ekskresi (output) yang cepat harus diimbangi dengan

proses absorpsi (input) yang cepat sehingga kadar obat dapat dipertahankan pada

periode waktu tertentu. Kadar obat pada tempat kerja ditentukan oleh kadar obat

pada sirkulasi umum. Efek farmakologis yang dihasilkan obat pada tempat kerja

sangat tergantung pada kadar obat yang tersedia di tempat kerja obat. Efek obat

dapat merupakan efek klinik yang diinginkan, efek toksik, atau efek lain yang

tidak terkait dengan efikasi dan toksisitas obat (Benet, L.Z., 1982). Manfaat obat

akan diperoleh dari keseimbangan antara efek toksik potensial yang terjadi pada

kadar tertentu dengan efikasi obat yang ada. Farmakokinetik berperan

mengkuantifikasi suatu hubungan dosis dan efikasi dengan menggunakan kadar

obat dalam berbagai cairan biologis. Peran farmakokinetik dalam terapi klinik

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

28

28

menjadi sangat penting dalam memutuskan suatu regimen dosis obat

menggunakan data pemantauan kadar terapetik obat (TDM) disamping

pemantauan klinik penderita individual (Shargel et al., 1985, Reynold et al.,

2012). Individualisasi dosis memungkinkan seorang klinisi untuk

memperhitungkan perubahan kondisi patologis dan fisiologis individu dalam

merancang regimen dosis untuk menghasilkan efikasi obat yang sesuai. Efikasi

obat tertentu hanya dapat tercapai setelah penggunaan dosis yang diprediksi

menggunakan data kadar obat yang diperoleh dari sirkulasi umum dibandingkan

dengan prediksi efikasi obat yang hanya didasarkan pada dosis obat.

Gambar 2.1

Bagan Hubungan Efikasi – Dosis Obat

(Dimodifikasi dari: Benet, L.Z. 1982)

D

I

S

T

R

I

B

U

S

I

I

N

P

U

T

Obat pada

Tempat

Absorpsi

Obat dalam

Sirkulasi Umum

Obat pada Tempat

Kerja

Efek Farmakologis

Efek Klinik

Efikasi Toksisitas

Manfaat

Dosis

O

U

T

P

U

T

Obat dalam

Tempat

Metabolisme

dan Ekskresi

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

29

29

Modifikasi dosis individual memerlukan kajian farmakokinetik populasi obat

pada sekelompok penderita dimana individu tersebut menjadi bagiannya.

Penerapan farmakokinetik klinik untuk individualisasi terapi obat dimulai dengan

penggunaan data farmakokinetik populasi penderita yang ada. Ketiadaan

informasi disposisi suatu obat mengimplikasikan suatu hal baru terkait

penggunaan obat awal pada seorang penderita. Informasi yang diperoleh

merupakan suatu “percobaan baru” yang hasilnya tidak dapat diprediksi, yang

jika digunakan untuk estimasi dosis dapat mengakibatkan kesalahan interpretasi

kadar dan kesalahan penyesuaian dosis (Peck et al., 1991). Data farmakokinetik

yang akurat untuk individu adalah data yang ditentukan dari populasi dimana

individu menjadi bagiannya.

Konsep matematik dasar yang diterapkan dalam farmakokinetik terkait

dengan istilah variabel dan konstanta. Variabel merupakan suatu nilai yang

mengalami perubahan pada satuan waktu sedangkan suatu konstanta merupakan

satu nilai yang tidak berubah. Suatu istilah konstanta dalam farmakokinetik juga

diberlakukan terhadap parameter farmakokinetik. Namun konstanta dalam

parameter farmakokinetik nilainya dapat berbeda (variabel) di antara individu

bahkan intra individu. Hal ini dapat terjadi pada pengunaan obat jangka panjang,

perubahan kondisi patofisiologis, dan penggunaan obat lain secara bersamaan.

2. 3 Model dan Pemodelan Famakokinetik

Penyederhanaan pemahaman farmakokinetik suatu obat pada populasi

penderita memerlukan alat yang dapat mengintegrasikan data, pengetahuan, dan

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

30

30

mekanisme sekaligus menjelaskan keputusan penggunaan obat yang rasional. Alat

bantu tersebut salah satunya adalah model (FDA, 1999; Mould and Upton, 2014).

Model merupakan representasi dari suatu ‘sistem’ yang dirancang untuk

memberikan pengetahuan atau pemahaman sistem itu sendiri secara lebih

sederhana. Penyederhanaan model sangat tergantung pada tujuan penggunaannya

dan penilaian model cenderung dilakukan untuk menemukan kecocokan dengan

tujuan pemodelannya bukan untuk menemukan kebenaran model (Mould and

Upton, 2012). Model farmakokinetik memberikan pengetahuan dasar dalam

mendeskripsikan dan memahami hubungan antara kadar obat terhadap waktu

dengan respon obat setelah pemberian suatu dosis atau formulasi obat pada

penderita klinik. Model juga berperan sebagai alat untuk mengkorelasikan

parameter farmakokinetik obat misalnya, klirens (Cl) atau volume distribusi (Vd)

suatu obat.

Pemodelan menjelaskan kadar obat dari waktu ke waktu, menghubungkan

kadar obat terhadap efek obat yang ditimbulkan, memahami dan menjelaskan

pengaruh faktor variasi fungsi fisiologis organ atau parameter klinik terhadap pola

kurva kadar obat vs waktu. Model farmakokinetik obat bersifat spesifik,

tergantung pada proses kinetik absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi

obat yang terjadi dalam tubuh.

Model farmakokinetik yang banyak diterapkan adalah menggunakan

pendekatan kompartemen termasuk di antaranya untuk pemantauan kadar

terapetik dan penyesuaian dosis adalah model kompartemen (Peck & Rodman,

1991; Shargel et al., 2005). Istilah kompartemen pada model kompartemen

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

31

31

merupakan suatu penyederhanaan untuk menyatakan area (kelompok jaringan)

dalam tubuh yang menggambarkan kemiripan karakter kinetika dan distribusi obat

yang homogen/memiliki pada setiap waktu. Model kompartemen menganggap

bahwa tubuh tersusun dari organ dan jaringan yang secara sistematik, serial dari

kompartemen yang berhubungan secara reversibel diantaranya. Model

kompartemen terdiri dari beberapa tipe, yakni: model kompartemen 1, model

kompartemen 2, model kompartemen 3 atau lebih yang digambarkan pada

Gambar 2.2. Pemodelan dengan kompartemen dibedakan oleh cara kompartemen

tersebut dihubungkan.

Model kompartemen dapat menjelaskan kadar obat dalam plasma terhadap

waktu dan mengestimasi parameter farmakokinetik yaitu volume distribusi (Vd),

waktu paruh eliminasi (t1/2), dan tetapan laju tetapan eliminasi obat (Ke) dengan

baik. Pemahaman yang baik mengenai parameter dan pemilihan persamaan

menentukan hasil perhitungan regimen dosis (dosis dan interval) yang

menghasilkan kadar plasma dan durasi kerja obat yang diinginkan setelah

pemberian obat.

Pemilihan model farmakokinetik ditentukan oleh karakteristik distribusi

setelah pemberian obat. Distribusi tersebut mencerminkan waktu yang dibutuhkan

untuk mencapai keseimbangan distribusi obat dalam tubuh baik dari tempat

absorpsi menuju sirkulasi ke berbagai organ dan jaringan maupun sebaliknya.

Obat yang memiliki distribusi lebih lambat ke jaringan, tanpa memperhatikan rute

pemberian obatnya, memerlukan jumlah kompartemen yang lebih banyak dan

persamaan matematika yang lebih kompleks. Kompartemen satu digunakan untuk

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

32

32

mengkarakterisasi data kadar plasma terhadap waktu untuk obat lain yang

distribusinya cepat setelah pemberian, dan rute pemberiannya diabaikan. Sistem

dengan perfusi tinggi seperti liver, ginjal, dan darah dapat digabungkan dalam satu

kompartemen sebagai kompartemen 1 (kompartemen sentral), sedangkan sistem

dengan perfusi yang lebih rendah dapat digabungkan bersama dalam

kompartemen lain sebagai kompartemen perifer/jaringan atau kompartemen 2.

Laju transfer obat dari kompartemen 1 ke kompartemen 2 dan sebaliknya dapat

mengalami keseimbangan dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam.

Keterangan: 1: kompartemen 1 (sentral), 2: kompartemen 2 (perifer);Ka: tetapan laju absorpsi, Ke: tetapan

laju eliminasi, K12: tetapan laju distribusi dari kompartemen 1 menuju kompartemen 2, K21: tetapan laju

distribusi dari kompartemen perifer ke kompartemen sentral

Gambar 2.2

Tipe Model Kompartemen (dimodifikasi dari: Shargel et al., 2005)

1

1 Ka Ke

K12

K21

1 2

1 2 Ka K12

Ke

Ke

Model Kompartemen Satu Terbuka, Pemberian Injeksi Intra Vena

Model Kompartemen Satu Terbuka dengan Absorpsi Order Satu

Model Kompartemen Dua Terbuka, Pemberian Injeksi Intra Vena

Model Kompartemen Dua Terbuka dengan Absorpsi Order Satu

pemberian injeksi intra vena

K21

Ke

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

33

33

2. 3.1 Model kompartemen satu terbuka, pemberian oral dan model kompartemen

dua terbuka, pemberian oral

Pada Gambar 2.3 dijelaskan profil kadar obat terhadap waktu obat dengan

distribusi tubuh yang lambat dilengkapi dengan persamaan yang tepat untuk

mengkarakterisasi kadar obat plasma terhadap waktu setelah pemberian oral.

Suatu model kompartemen satu terbuka setelah pemberian per oral dapat

digambarkan sebagai fungsi kadar obat plasma terhadap waktu sebagaimana

disampaikan pada Gambar 2.3. Pada gambar dinyatakan ada dua fase absorpsi dan

eliminasi, dan setelah absorpsi didominasi oleh proses eliminasi obat.

Gambar 2.3

Profil Kadar Plasma (Cp) vs Waktu Sediaan Obat Oral yang Distribusinya Cepat

dalam Tubuh (Dikutip dari: Jhambekar, S.S. & Breen, P.J., 2009)

Pada kondisi demikian diperlukan persamaan bieksponensial untuk

mengakarakterisasi kadar vs waktu secara akurat, yang dinyatakan sebagai

berikut:

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

34

34

(1)

(2)

Keterangan: Ka: tetapan laju absorsi order ke satu, Ke: tetapan laju eliminasi

order ke satu, Xa: jumlah obat yang diabsorpsi pada tempat absorpsi pada jam ke

nol, F: Fraksi terabsorpsi, Do: dosis yang diberikan, Vd: volume distribusi, t=

waktu (dikutip dari: Jhambekar & Breen, 2009).

Gambar 2.4

Profil Kadar Plasma (Cp) vs Waktu Sediaan Obat Oral yang Distribusinya Lambat

dalam Tubuh (dikutip dari: Jhambekar & Breen, 2009)

Pada Gambar 2.4 digambarkan profil kadar obat plasma (Cp) yang

mengalami distribusi obat dalam tubuh secara lambat yang dimodelkan sebagai

model kompartemen 2 per oral (ekstravaskuler). Gambar hubungan kadar obat

plasma (Cp) terhadap waktu menyatakan adanya tiga fase, yakni fase absorpsi,

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

35

35

fase distribusi (fase α), dan fase post-distribusi (fase β). Data kadar terhadap

waktu pada Gambar 2.4 lebih tepat diinterpretasikan dengan kompartemen 2, yang

membutuhkan persamaan 3 eksponensial untuk menyatakan masing-masing fase

yang ada. Model kompartemen dapat diganti jika tidak dapat menjelaskan

hubungan kadar plasma terhadap waktu suatu obat dengan baik. Pemilihan model

sedapat mungkin dilakukan dari model yang paling sederhana, yang dapat

menjelaskan kadar plasma terhadap waktu.

2.3.2 Tetapan laju eliminasi (Ke), volume distribusi (Vd), dan klirens (Cl)

Laju eliminasi pada sebagian obat merupakan suatu proses order ke satu yang

tergantung jumlah/konsentrasi obat yang ada. Tetapan laju eliminasi, K/Ke

merupakan tetapan laju eliminasi order satu dengan satuan waktu-1 (jam-1 / 1/jam).

Pada umumnya obat yang diukur dari dari kompartemen vaskular obat induk atau

obat aktif. Eliminasi obat induk secara total dari kompartemen ditentukan oleh

proses metabolisme dan ekskresi obatnya. Tetapan laju eliminasi menyatakan

penjumlahan dari kedua proses metabolisme dan ekskresi obat.

Volume distribusi (Vd) merupakan parameter farmakokinetik yang

tergantung pada model farmakokinetik yang dipilih untuk mendeskripsikan

hubungan kadar obat setiap waktu. Nilai Vd bukanlah nilai absolut untuk

menyatakan atau mengestimasi jumlah obat yang berada dalam tubuh atau jumlah

obat yang dieliminasi keluar tubuh pada waktu tertentu setelah pemberian suatu

dosis. Volume distribusi tidak memiliki arti fisiologis sesungguhnya. Vd

digunakan untuk mengkarakterisasi distribusi obat dalam tubuh. Vd juga dapat

dianggap sebagai volume tempat obat terlarut. JIka jumlah obat dibagi dengan

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

36

36

volume distribusi maka akan didapatkan kadar obat. Sebagian obat memiliki

volume distribusi yang lebih kecil atau sama dengan masa tubuh. Sebaliknya obat

lain memiliki volume distribusi dengan nilai beberapa kali masa tubuh, yang

artinya obat terpusat pada jaringan ekstravaskular, hanya sedikit dalam

intravaskular. Suatu obat yang memiliki ikatan obat protein besar, memiliki Vd

yang rendah karena ada kemungkinan obat akan berada dalam vaskuler dalam

jumlah besar sehingga pada pengukuran kadar obatnya dalam vaskuler menjadi

tinggi. Ikatan obat protein plasma atau dengan jaringan perifer mempengaruhi Vd

secara bermakna. Estimasi volume distribusi dinyatakan sebagai prosentase berat

badan (Vd=%bb). (Shargel et al., 2005). Suatu nilai parameter farmakokinetik

diestimasi menggunakan sampel kadar dari cairan biologis baik dari jaringan

maupun plasma darah dalam jumlah terbatas.

Klirens (Cl) merupakan ukuran efisiensi proses eliminasi obat keluar tubuh.

Klirens obat menyatakan volume cairan plasma yang dibersihkan dari obat per

satuan waktu (L/jam atau ml/menit) (Shargel et al., 2005). Klirens

merepresentasikan volume distribusi dan tetapan laju eliminasi obat (Ke) dan

0,693/t1/2. Perubahan klirens dan volume distribusi dipengaruhi oleh kondisi

fisiologis dan patofisiologis dan bersifat saling tergantung (Benet, 1982)

2.4 Pendekatan Farmakokinetik Klasik dan Populasi

Penentuan farmakokinetik populasi dapat dilakukan dengan pendekatan

klasik/konvensional atau pendekatan populasi. Pendekatan ini dibedakan oleh titik

pandang dalam analisis. Farmakokinetik klasik, yang dikenal sebagai

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

37

37

farmakokinetik eksperimental, mengkaji suatu obat dari sejumlah kecil populasi

yang diatur dengan protokol, diet, kriteria inklusi/eksklusi yang ketat dengan

menggunakan sampel darah yang diambil secara intensif sebagaimana

pelaksanaan suatu penelitian eksperimental. Pendekatan klasik/konvensional

hanya mungkin dilakukan pada sukarelawan sehat/normal. Pendekatan klasik

fokus pada penilaian respon (farmakokinetik) individu secara intensif, yang

selanjutnya digunakan untuk mendapatkan data farmakokinetik populasi.

Penelitian farmakokinetik klasik dilakukan pada sukarelawan sehat yang memiliki

kondisi klinik berbeda dengan penderita sesungguhnya dan dilakukan dengan

jumlah subjek yang terbatas dengan kriteria yang ketat tentunya memiliki

kelemahan jika diterapkan untuk penderita klinik. Data tersebut tidak bisa

langsung diterapkan pada populasi penderita karena keterbatasan informasi

mengenai variabilitas farmakokinetik terkait adanya perbedaan kondisi patologis

selama terapi (Sheiner and Beal, 1984; Rosenbaum et al., 1995). Demikian juga

penerapan farmakokinetik klasik untuk keadaan klinik tentunya terbentur dengan

pertimbangan etik terkait tindakan invasif dengan beberapa kali pengambilan

sampel. Kajian farmakokinetik dengan pendekatan populasi memungkinkan

pemanfaatan data sampel penderita klinik dalam jumlah terbatas (1-3 sampel)

untuk mempelajari farmakokinetik obat pada penderita klinik yang sesungguhnya.

Analisis farmakokinetik populasi dengan pendekatan populasi tidak

mengkarakterisasi individu selengkap pendekatan klasik, sehingga tidak

memerlukan data yang lengkap untuk setiap individu. Sampel yang sedikit dari

setiap individu digabungkan untuk pemodelan dan untuk mengkarakterisasi suatu

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

38

38

ukuran pemusatan respon (farmakokinetik) populasi penderita serta variabilitas

respon (farmakokinetik) antar individu bukan pada individunya (Colburn and

Olson, 1988; Rosenbaum et al., 1995; FDA, 1999). Pendekatan populasi,

mengkarakterisasi data individu dari penggabungan/pooled data individu yang

jumlahnya terbatas untuk mengkarakterisasi ukuran pemusatan populasi.

Perbedaan respon farmakokinetik individual dari respon rata-rata populasi

ditunjukkan oleh karakter varian interindividual. Farmakokinetik populasi

mengidentifikasi variabilitas dan hubungan kadar dengan variabilitas kadar obat

antar individu tersebut, dan mengaitkannya dengan respon target yang diharapkan

setelah menerima regimen dosis yang sesuai (Aarons, 1991; FDA, 1999, Jelliffe,

2000, 2012; Mould and Upton, 2014; Charles, 2014). Kontribusi individual pada

varian ditentukan dengan sampel yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang

diperlukan untuk ukuran pemusatan individual. Pendekatan populasi

memungkinkan penerapan farmakokinetik pada penderita klinik yang sedang

menjalani terapi sekali pun dengan memanfaatkan data klinik yang rutin dan

jarang dengan pengambilan serum yang tidak intensif dan tidak tersusun. Data

individu pada pendekatan populasi digunakan untuk menyusun model awal untuk

penentuan parameter farmakokinetik individu lain dari populasinya (Upton and

Mould, 2014).

2.5 Model Farmakokinetik Populasi

Pemodelan farmakokinetik populasi dapat dipandang sebagai suatu cara

dalam memecahkan masalah spesifik pada suatu populasi penderita klinik, dengan

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

39

39

mengkuantifikasi profil kadar obat dari sekelompok penderita klinik sebagai suatu

kelompok/populasi target penggunaan obat dan menggunakannya untuk

optimalisasi regimen dosis. Regimen dosis awal untuk seorang penderita biasanya

dihitung berdasarkan nilai parameter model farmakokinetik populasi rata-rata

mean. Namun, penggunaan nilai mean untuk mengestimasi kadar obat pada

penderita klinik dapat memberikan prediksi yang akurasinya sangat terbatas

karena adanya variabilitas inter dan intra individu. Nilai parameter farmakokinetik

penderita individu seringkali tidak sama dengan nilai parameter farmakokinetik

populasi rata-rata/ mean. Diperlukan informasi mengenai gambaran distribusi nilai

dan kecenderungan ukuran pemusatan nilai parameter farmakokinetik yang

sesungguhnya. Selanjutnya setelah pemberian dosis awal berdasarkan nilai

populasi yang ditetapkan, perlu dilakukan evaluasi kecukupan dosis pada

penderita tersebut sebagai informasi untuk penyesuaian dosis (Peck et al., 1991;

Shargel et.al., 2005). Kecukupan dosis didasarkan pada data kadar obat

serum/plasma penderita individual setelah pemberian obat. Penerapan

penyesuaian dosis menggunakan data populasi untuk individu memerlukan suatu

data mendasar farmakokinetik populasi yang relevan, yaitu data dari populasi

individu yang bersangkutan dan kerangka (model) untuk mengaitkan penderita

individu ke populasi (Peck et al., 1991; Upton and Mould, 2014).

Model farmakokinetik populasi merupakan satu tipe model yang

mendeskripsikan hubungan kadar obat dan waktu. Tujuan pemodelan

farmakokinetik populasi adalah mengkuantifikasi kecenderungan pemusatan dan

variabilitas interindividu parameter farmakokinetik suatu obat pada sekelompok

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

40

40

penderita dari populasi tertentu. Pemodelan farmakokinetik populasi suatu obat

pada sekelompok penderita klinik dapat memberi informasi mengenai ‘perilaku

tubuh’, yaitu ADME terhadap obat dan menghubungkan dengan kondisi klinik

penderita, membantu penanganan masalah terapi terutama untuk penderita yang

memiliki perbedaan fungsi patofisiologis ektrem: neonatus, anak-anak, penderita

lanjut usia, penderita bedah, penderita kanker (Rosenbaum et al., 1995), bahkan

pada penderita infeksi. Pemodelan farmakokinetik populasi dimanfaatkan untuk

memprediksi konsentrasi obat dalam cairan biologis/ jaringan, mengestimasi

kebutuhan dosis optimum obat dan mengkorelasikannya dengan kemungkinana

akumulasi dan produk metabolit, efek toksiksitas dan farmakologisnya.

2.5.1 Komponen model farmakokinetik populasi

Pemodelan farmakokinetik populasi memerlukan informasi yang akurat

terkait regimen dosis (besaran dosis, jam waktu pemberian, cara pemberian, lama

pemberian), pengukuran (penetapan waktu sampling kadar, penetapan kadar,

informasi kesalahan pengukuran laboratorik), dan kovariat (informasi demografi

dan patofisiologis terkait) yang disusun sebagai satu kerangka model (Mould &

Upton 2014; Neely et al. 2012; Goutelle et al. 2009; Bustad et al. 2006). Model

farmakokinetik populasi merupakan perwatakan farmakokinetik suatu obat yang

didapat dari populasi penderita dengan kriteria tertentu (Peck et al., 1991; Jelliffe

et al., 1993; Rosenbaum, 1995). Model farmakokinetik populasi mengandung

ukuran pemusatan parameter farmakokinetik populasi dan variabilitasnya serta

kaitan parameter tersebut dengan karakteristik individu (kovariat) seperti fungsi

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

41

41

ginjal, berat badan, jenis kelamin, usia dan memperhitungkan faktor kesalahan

pengukuran laboratorik yang terjadi saat pengukuran kadar obat cuplikan

plasma/serum (Peck et al., 1991; Jelliffe et al., 1993; Rosenbaum, 1995; Jelliffe

et al., 2000; Mehvar, 2006; Chigutsa et al., 2010; Neely et al., 2012; Tatarinova et

al., 2013). Model populasi terdiri dari beberapa komponen yang memerlukan

pengelolaan data base yang baik (Mould and Upton 2014). Komponen itu antara

lain: model struktural, model stokastik dan model kovariat. Model struktural

merupakan fungsi yang dirumuskan menggunakan persamaan matematis baik

aljabar maupun diferensial untuk mengambarkan hubungan kadar dan waktu

pemaparan obat. Model stokastik menggambarkan variabilitas atau efek acak

dalam pengukuran data kadar dan model kovariat yang pengaruh faktor demografi

atau patologis individu dikaitkan dengan waktu dan respon obat yang diamati.

Model struktural dapat dijelaskan secara detil menggunakan persamaan

aljabar yang paling sederhana untuk menyatakan model kompartemen satu, yang

menggunakan obat dengan pemberian intra vena bolus tunggal pada persamaan

satu. Model tersebut menyatakan hubungan antara variabel bebas waktu (t) dan

variabel tergantung kadar (Cp). Kadar obat dapat berubah sesuai dengan waktu/

fase pengambilan sampel, sedangkan dosis, volume distribusi (Vd) dan klirens

(Cl) adalah tetapan/parameter yang tidak berubah pada waktu yang sama dengan

pengambilan sampel, dinyatakan Mould (2012) sebagai berikut:

(3)

Model struktural lain dapat digunakan pada kondisi biologis yang kompleks

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

42

42

dengan persamaan differensial. Untuk kondisi yang sama dinyatakan bahwa laju

perubahan variabel tergantung (kadar/Cp) pada setiap waktu tertentu (t)

dituliskan dengan persamaan diferensial:

, Cp0 (4)

Persamaan diferensial (4) memerlukan nilai awal variabel tergantung yaitu Cp0

yang dinyatakan sebagai Dosis/Vd. Jika kadar obat pada waktu tertentu t2 ingin

diketahui maka dapat disampaikan secara numerik setelah kadar jam ke satu

dengan persamaan sebagai berikut:

(5)

Linearitas dan superposisi menjelaskan prinsip liniearitas pada persamaan model

dengan data dikenal sebagai regresi nonlinier dan adanya tumpang tindih dan adisi

kurva data kadar vs waktu dengan data kadar lain yang lain dengan hasil yang

merupakan penjumlahan dua kadar. Prinsip superposisi ini pun dapat berlaku jika

ada jeda waktu pemberian obat dan dimanfaatkan untuk regimen dosis yang

kompleks.

Model Stokastik untuk efek acak pada model populasi mengkarakterisasi

perbedaan diantara subjek satu dengan lain (inter-individu) dan perbedaan di

dalam subjek itu sendiri selama pemberian dosis satu dengan lainnya sehingga

dapat saja regimen dosis bersifat individual. Estimasi variabilitas merupakan hal

penting untuk menjelaskan keamanan dan efikasi obat terutama pada obat yang

memiliki indeks terapi sempit dan variabilitas inter individu nya sangat luas. Pada

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

43

43

kondisi demikian pemaparan kadar subterapetik dan toksik menjadi sangat tinggi

dan pemodelan adalah upaya tepat untuk menjelaskan hal tersebut.

Data yang diperoleh dari pemantauan kadar obat individu dapat digunakan

untuk pengembangan model farmakokinetik populasi. Model tersebut selanjutnya

dimanfaatkan untuk melakukan penentuan dosis awal pada individu yang

merupakan bagian dari populasi. Hal ini dimungkinkan karena didasarkan pada

estimasi nilai parameter farmakokinetik rata-rata yang diperoleh dari

mengkorelasikan data individu dengan parameter farmakokinetik populasi dan

memungkinkan estimasi target terapi individual (Jelliffe et.al., 1993, Watling and

Kisor, 1993). Model memerlukan pemantauan kadar terapetik dalam proses

adaptive control, untuk mengestimasi dosis obat untuk penyesuaian dosis bahkan

konstruksi ulang regimen penderita individual yang merupakan bagian dari

populasi dengan ketepatan maksimum menggunakan pencocokan maximum a-

posteriori probability (MAP) Bayesian (Sheiner et al., 1979; Jelliffe et al., 1993;

Shargel, 2005). Perubahan regimen dosis secara in-silico sebelum diterapkan pada

penderita sesungguhnya sangat dimungkinkan ketika model populasi tersedia.

Kondisi ini sangat mungkin dilakukan mengingat seringnya keluhan efek obat

yang tidak diinginkan pada penderita sensitif atau pun kemungkinan adanya

perubahan pola sensitivitas obat pada kelompok populasi tertentu. Penerapan

rekomendasi suatu regimen dosis yang baru pada penderita klinik harus

didasarkan pada pertimbangan farmakokinetik selain farmakodinamik.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

44

44

2.5.2. Metode Pemodelan Farmakokinetik Populasi dengan Non-parametric

Adaptive Grid (NPAG)

Pemodelan farmakokinetik populasi dapat dilakukan dengan pendekatan

parametrik dan non parametrik. Pendekatan parametrik menetapkan bahwa

distribusi nilai parameter farmakokinetik berasal dari distribusi normal. Berbeda

dengan pendekatan non parametrik yang tidak membatasi estimasi distribusi

parameter farmakokinetik populasi. Pendekatan non parametrik menyatakan

bahwa parameter farmakokinetik populasi diestimasi berdasarkan harga parameter

yang diperoleh dari korelasi data individu dengan parameter farmakokinetik

populasi secara apa adanya.

Beberapa metode pemodelan farmakokinetik populasi yang dikenal antara lain

Standard Two Stage (STS), non-mixed effect model (NON MEM), Iterative Two

Stage (ITS), non-parametric expectation maximization (NPEM), non-parametric

adaptive grid (NPAG), non-parametrik Bayesian (Yamada et al., 2013; Neely et

al., 2012; Tatarinova et al., 2013).

Pemodelan farmakokinetik populasi dengan pemodelan non parametrik,

dengan algoritma non parametric adaptive grid (NPAG) dan non parametrik

Bayesian dikembangkan oleh USC Laboratory of Applied Pharmacokinetics and

Bioinformatics. Metode algoritma NPAG adalah algoritma adaptive grid untuk

menemukan estimasi maximum likelihood non-parametrik distribusi populasi.

NPAG menghitung maximum likelihood estimasi distribusi populasi yang tidak

diketahui sebagai populasi diskrit. Publikasi Tatarinova et al. (2013) menyatakan

keunggulan NPAG dibandingkan metode likelihood lain dan dapat menemukan

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

45

45

sub-populasi yang tidak diduga dan outlier (Tatarinova et al. 2013; Neely et al.

2012)

Metode NPAG mempunyai 2 fase yaitu pencarian likelihood dan

maksimalkan likelihood yang diintegrasikan dengan metode Newton untuk

mendapatkan distribusi prior populasi untuk perhitungan dosis secara lebih efisien

(Gunawan, 2009). Penerapan metode NPAG didasari pada pemodelan matematis

proses absorpsi obat dalam tubuh manusia. Tubuh manusia dinyatakan sebagai

satu kompartemen tunggal dimana obat bisa masuk dan keluar tubuh secara

seragam dan homogen dan obat terdistribusi secara merata, maka konsentrasi obat

dalam darah yang teramati (Cp) untuk berbagai waktu (t) pengambilan sampel

setelah pemberian obat dengan dosis D, dan volume distribusi Vd, dengan klirens

Cl dan error perhitungan statistik (ε) dapat dinyatakan dengan persamaan:

(6)

Dengan sebaran data berdsitribusi normal, sehingga mempunyai likelihood

dengan persamaan:

(7)

Dimana Yobs (tk) adalah konsentrasi obat hasil pengamatan, Ypred (tk) adalah

konsentrasi hasil pemodelan statistik (persamaan 6), dan σ adalah error.

(8)

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

46

46

Dengan menstubtitusikan (8) ke dalam (7) maka ditemukanlah likelihood yang

harus dimaksimalkan menggunakan Newton raphson (9). Likelihood hasil

substitusi (10) ini mempunyai variabel Vd, Cl, dan σ, sehingga akan mempunyai 3

turunan Vd, turunan Cl dan turunan σ (Gunawan, 2009).

(9)

Pada (10) akan disajikan rumus lengkap Newton Raphson untuk Vd, Cl, dan σ.

(6-10) dikutip dari: Gunawan, 2009; Yamada et al., 2013)

(10)

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

47

47

2. 5.3 Pengumpulan data untuk pemodelan farmakokinetik populasi dengan

metode Non-Parametric Adaptive Grid (NPAG) menggunakan Program

Pmetrics®

Pengumpulan data untuk pemodelan farmakokinetik populasi menjadi

penentu keberhasilan kajian farmakokinetik populasi. Ada dua jenis data untuk

pemodelan farmakokinetik populasi yaitu data demografi, yang merupakan data

karakteristik fisiologis individu dan data kinetik, yang merupakan data regimen

dosis dan profil kadar obat vs waktu pada penderita.

Data karakteristik individu yang dikumpulkan dikelompokkan menjadi dua

jenis yaitu pertama, data yang diperoleh pada awal penelitian, merupakan data

yang menjelaskan status patofisiologis penderita saat itu. Data tersebut antara lain:

usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, penggunaan obat secara bersamaan,

sifat dan kegawatan penyakit, kondisi biokimia dan hematologic. Semua data

yang diperoleh selama satu interval dosis digunakan untuk memperhitungkan

perubahan yang terjadi selama terapi yang mencerminkan fungsi ginjal/liver

(Whiting et al., 1986), misalnya serum kreatinin, albumin, SGPT, SGOT.

Data kinetik yang dikumpulkan antara lain: 1) data yang menjelaskan

regimentasi dosis yang dikaitkan dengan pengukuran kadar obat cuplikan serum,

yaitu dosis, rute dan lama pemberian, interval dosis, riwayat penggunaan obat; 2)

data kadar obat cuplikan sejak dosis sebelumnya (Whiting, et al., 1986; Jelliffe et

al., 1991). Penetapan waktu pengambilan sampel darah dapat ditentukan

berdasarkan pertimbangan farmakokinetik obat setelah pemberian dosis

rekomendasi. Waktu pengambilan sampel darah merupakan suatu hal yang

penting dalam analisis data farmakokinetika, karena faktor tersebut

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

48

48

mempengaruhi: presisi dan bias estimasi parameter populasi, kemampuan

mengidentifikasi model estimasi parameter farmakokinetika obat, kemampuan

mengestimasi parameter farmakokinetika individu. Dua alasan prinsip

farmakokinetik klinik dalam pengambilan sampel darah pada penderita, antara

lain: (1) untuk mengetahui kadar obat dikaitkan dengan rentang terapi, korelasi

klinik terhadap efikasi dan toksisitas (tujuan farmakodinamik); (2) untuk

perhitungan dalam farmakokinetik dalam rangka memperbaiki prediksi kadar

selanjutnya dan modifikasi regimen dosis (tujuan farmakokinetik) (Jelliffe, 1991:

Peck, 1991). Pengambilan sampel darah untuk rifampisin dilakukan dengan

pertimbangan adanya malabsorbsi dan respon terapi lambat.

Sebagai contoh pengambilan sampel dalam terapi rifampisin yang

diasumsikan mengikuti model kompartemen satu dengan pemberian oral harian

sediaan RHZE 4FDC. Kadar obat ditentukan pada saat kadar “puncak” yaitu jam

ke 2 dan dilanjutkan pada jam ke-6 setelah mengkonsumsi tablet, jika ada dugaan

penundaan kadar puncak terkait gangguan absorpsi (Chawla et al., 2016; Sloan et

al., 2017). Kadar puncak rifampisin dipertimbangkan untuk mengevaluasi efikasi

dan toksisitas yang sesuai untuk menjelaskan farmakodinamiknya. Pengambilan

sampel pada kadar puncak saja secara farmakokinetik kurang memuaskan. Waktu

terbaik untuk pengambilan sampel untuk pemantauan kadar terapi secara

farmakokinetik adalah waktu dimana kadar serum tersebut paling sensitif

mengalami perubahan dengan adanya perubahan harga parameter farmakokinetika

(Jelliffe, 1991). Waktu kadar puncak memberikan informasi optimal mengenai

volume distribusi, karena perubahan volume distribusi menyebabkan perubahan

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

49

49

kadar serum terbesar saat kadar puncak tercapai sedangkan waktu eliminasi dapat

menjelaskan eliminasi obat. Kadar awal sebelum mengkonsumsi obat tidak dapat

memberikan informasi eliminasi obat secara optimal (Van Der Burgt et al. 2016).

2.5.4 Validasi model farmakokinetik populasi

Validasi model farmakokinetik populasi dilakukan untuk

mempertanggungjawabkan ketika model digunakan untuk tujuan prediktif. Suatu

model yang dinyatakan valid jika dapat memberi pernyataan yang jelas dari

permasalahan dan konsisten dengan maksud penggunaan model (Bonate, 2006).

Evaluasi model deskriptif mengenai variabilitas farmakokinetik dan

variabel populasi yang dipelajari memerlukan evaluasi dengan menetapkan

goodness of fit, reliabilitas, dan stabilitas model. Sedangkan untuk evaluasi model

prediktif maka evaluasi dilakukan berdasarkan asumsi yang dibuat berdasarkan

kriteria tujuan/maksud penggunaan model. Ada 2 macam validasi, yaitu validasi

internal dan eksternal. Validasi internal dilakukan dengan cara mencocokkan

model dengan menghilangkan data subjek dari keseluruhan data dan

mencocokkanya dengan data yang masih ada. Pengulangan prediksi dilakukan

dengan memasukkan kembali data yang dihilangkan. Penentuan ukuran

pemusatan dari ke dua model yang dihilangkankan subjeknya dengan model yang

dimasukkan kembali subjeknya dilakukan pada tahap selanjutnya. Validasi model

eksternal digunakan untuk memprediksi variabel kadar obat yang dihasilkan dari

individu lain yang tidak masuk dalam perhitungan model awal .

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

50

50

2. 6. Metode Adaptive Control Untuk Individualisasi Regimen Dosis

Individualisasi merupakan pendekatan dalam regimentasi dosis yang

memperhitungkan respon terapi dan kondisi klinik penderita secara individu

selama terapi berlangsung. Individualisasi dilakukan dengan didasarkan pada

fakta bahwa respon terapi individu dapat berbeda sama sekali dengan individu lain

dan respon terapi tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi terapi individu itu

sendiri. Perbedaan yang berbeda tersebut tidak dapat diterima secara klinik

apabila menyebabkan berkurangnya efikasi akibat kadar subterapetik atau

toksisitas akibat kadar yang melebihi batas aman maksimal, yang mengancam

kehidupan. Penyakit yang tidak terdiagnosa, pengunaan obat lain secara

bersamaan yang dapat mempengaruhi distribusi dan eliminasi obat, menyebabkan

regimen dosis awal yang didasarkan pada harga rata-rata parameterfarmakokinetik

populasi seringkali menjadi tidak akurat (Peck and Rodman, 1991).

Individualisasi dosis yang sebenarnya diperoleh bila dihitung berdasarkan

farmakokinetik individu itu sendiri (Shargel et al., 2005). Individualisasi dapat

dilakukan melalui proses adaptive control setelah penderita menerima

pengobatan. Estimasi farmakokinetik individu diperoleh dengan menganalisis

respon terapi yang diperoleh dari pemantauan kadar obat pada penderita secara

langsung. Penyesuaian dosis kembali dilakukan menggunakan data

farmakokinetika individu yang didapat dan hasil evaluasi klinik pada penderita.

Peck and Rodman (1991) mendeskripsikan 5 penerapan farmakokinetik pada

proses adaptive control secara skematik seperti pada Gambar 2.5. Proses adaptive

control dimulai dengan pemilihan regimen dosis awal yang didasarkan pada i)

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

51

51

target terapi yang diketahui dari hubungan kadar obat-respon klinis dan kondisi

klinis penderita dan ii) model farmakokinetik yang menghubungkan karakteristik

penderita dengan parameter farmakokinetik. Revisi regimen dosis merupakan

penyesuaian model farmakokinetik berdasarkan pada kadar obat observasi dan

target terapi sesuai dengan respon penderita.

Gambar 2.5.

Proses adaptive control (dimodifikasi dari: Peck and Rodman, 1991)

Adaptive control dalam individualisasi dosis ditujukan untuk

mengendalikan sistem farmakokinetik yang mungkin berubah selama penderita

menjalani terapi. Dengan menetapkan suatu target terapi nyata bagi individu,

maka setiap individu mendapat pengaturan dosis untuk mencapai respon klinis

yang efektif sesuai kondisinya tanpa mengalami reaksi yang tidak diinginkan atau

dapat menghasilkan kadar plasma yang aman, yang tidak melampaui kadar toksik

Target

Terapi

Model

Farmakokinetik

Respon observasi

Regimen dosis

Kadar

prediksi

Cpred Kadar

Observasi

Cobs

Respon

target

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

52

52

minimum obat atau tidak berada dibawah kadar kritis minimum, yang

menyebabkan obat tidak aktif. Adaptive control berperan dalam merancang

regimen dosis untuk mendapat target terapi individu yang diinginkan secara tepat

(Jelliffe et al., 1993). Pendekatan adaptive control terutama diperlukan untuk

obat-obat yang memiliki rentang terapi sempit dan variabilitas respon terapi

interindividu luas, seperti: digoksin, teofilin, fenitoin, termasuk antibiotika

aminoglikosida bahkan OAT untuk menghindari fluktuasi kadar akibat variasi

interindividu terhadap proses farmakokinetika (Jelliffe RW, 1989; Shargel et al.,

2005)

2.7 Prosedur Pencocokan Least Squares

Secara konvensional “pencocokan' model farmakokinetik dengan data kadar

dapat dilakukan menggunakan metode least squares dengan ‘pencocokan’ model

farmakokinetik terhadap data sebelumnya yang diperoleh secara eksperimen

maupun data yang diperoleh dari penderita yang sedang menjalani terapi.

Dalam prosedur pencocokan least squares, fungsi obyektif (OBJ) yang

diminimumkan adalah:

OBJ = (11)

Cobsi dan Cpredi menyatakan kadar obat yang diobservasi dan yang

diprediksi oleh model farmakokinetik individu. Simbol σ merupakan simpangan

baku (SD) dari kesalahan random model (SD penetapan kadar tiap pengamatan).

Fungsi obyektif akan menemukan nilai parameter farmakokinetik yang

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

53

53

menghasilkan kadar prediksi yang paling dekat dengan kadar yang diobservasi.

Untuk menghasilkan estimasi parameter yang akurat dan tepat, diperlukan

sejumlah cuplikan yang terjadwal dengan baik setidaknya satu data kadar serum

untuk tiap parameter yang dicocokkan terhadap data. Sebagai contoh model

kompartemen satu untuk pemberian aminoglikosida atau teofilin i.v. memiliki dua

parameter volume distribusi (Vd) dan laju eliminasi atau klirens (Cl) sehingga

memerlukan dua observasi kadar (Jelliffe, 1986, 1991). Untuk mendapatkan

presisi yang cukup diperlukan observasi tambahan tiga/empat data kadar dikaitkan

dengan adanya kesalahan pengujian, kesalahan pemberian. Untuk keadaan klinis

pengambilan cuplikan dalam jumlah besar sering tidak memungkinkan sehingga

penggunaan data observasi kadar yang sedikit akan mempengaruhi hasil

pencocokan.

Prosedur least squares dapat menghasilkan nilai parameter farmakokinetik

individu secara langsung dan relatif mudah. Prosedur ini dimulai dengan estimasi

awal parameter, yang biasanya diambil dari harga mean populasi, disebut ‘priori’

model. Apabila telah didapat harga parameter yang paling cocok dengan data,

maka prosedur least squares akan membuang semua informasi harga populasi

sebelumnya. Kondisi ini tentunya tidak tepat karena model farmakokinetika yang

lebih kompleks (model kompartemen 2) memungkinkan ditemukannya kombinasi

nilai yang tidak lazim yang dihasilkan dari pencocokan terbaik. Tidak ada jaminan

bahwa “pencocokan” (curve fitting) terbaik telah ditemukan dengan prosedur ini

(Jelliffe, 1991).

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

54

54

2.8. Prosedur Pencocokan Maximum A-Posteriori Probability (MAP) Bayesian

Teorema Bayes dalam farmakokinetika dikenalkan dalam pemantauan kadar

obat oleh Sheiner dan Beal di tahun 1970-an, untuk menjelaskan hubungan

kuantitatifantara peluang awal/prior probability memiliki parameter

farmakokinetik tertentu setelah hasil pengukuran kadar serum tersedia (Sheiner et

al., 1979). Pencocokan MAP Bayesian pada kondisi klinik berperan untuk

menghasilkan model farmakokinetik obat penderita individu secara spesifik

menggunakan kombinasi harga parameter farmakokinetik populasivariabilitas

inter dan intraindividu serta karakteristik individu itu sendiri, yaitu informasi

regimen dosis, data kadar obar serum, dan deskriptor klinik lainnya (Sheiner

et.al., 1979; Jelliffe, 1986;Jelliffe et.al., 1993).

Regimentasi dosis awal suatu obat yang memiliki rentang terapetik

sempitdihitung berdasarkan pada parameter farmakokinetik populasi rata-rata.

Setelahpemberian dosis awal, kemudian dilakukan penentuan kecukupan kadar

obat serumpenderita. Semakin banyak data kadar yang didapat untuk

menggambarkan profilkinetik obat semakin baik hasil estimasi parameter

farmakokinetik individu. Namundemikian pengambilan data darah dalam jumlah

banyak untuk penderita klinik tidaketis dilakukan sehingga parameter

farmakokinetik individu harus diestimasi darisekelompok data kadar yang

memiliki berbagai sumber kesalahan dan varian berbedayang dapat diminimalkan

untuk menghasilkan suatu estimasi parameter secara efisien melalui pencocokan

MAP Bayesian persamaan 2.12. (Sheiner et al., 1979, Jelliffe, 1986; Jelliffe et al.,

1993; Shargel et al, 2005).

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

55

55

Pada pencocokan MAP Bayesian, nilai parameter populasi dan standar

deviasi diperhitungkan bersama dengan kadar serum yang diamati dan simpangan

baku pengukuran kadar (SD subyek). Varian kuadrat terkecil yang diukur

menghasilkan harga MAP dari fungsi densitas peluang posterior Bayes tiap

parameter. Simpangan baku (SD) nilai parameter populasi dan tiap kadar serum

terukur memberikan ukuran kredibilitas yang menentukan seberapa jauh

kecocokan data serum terhadap populasi.

Harga parameter posterior dihasilkan dengan meminimalkan fungsi obyektif

Bayes OBJ Bayes:

(12)

dimana Ppop: nilai parameter model farmakokinetika populasi, Pind: nilai parameter

model penderita farmakokinetika individu, Cobs :kadar obat serum penderita

terukur, Cpred kadar obat serum prediksi, σpj : standar deviasi berbagai nilai

parameter populasi, dan σ: standar deviasi berbagai kadar serum.

Persamaan tersebut terdiri dari dua bagian dimana bagian pertama

adalahpersamaan fungsi obyektif pada least square dan bagian kedua adalah

perbedaan harga parameter populasi yang dihasilkan model dengan parameter

individu. Kombinasi bagian pertama dan kedua tesebut dihitung keseluruhan

melalui pencocokan secara berulang, iteratif (prosedur maximum likelihood) untuk

mendapatkan harga parameter farmakokinetik individu optimal, yang ditunjukkan

oleh harga fungsi obyektif Bayesian. Minimisasi fungsi obyektif Bayes

menghasilkan estimasi parameter farmakokinetik yang spesifik bagi penderita,

O

B

J

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

56

56

yang diperhitungkan dalam kadar obat terukur dan kadar obat prediksi bersama

informasi kesalahan pengukuran dan harga variabilitas parameter farmakokinetik

populasi.

MAP Bayesian mencakup semua metode estimasi parameter farmakokinetik

individu yang lazim digunakan (least square). Berlawanan dengan pencocokan

least square, MAP Bayesian selalu melakukan pencocokan dengan

memperhitungkan rata-rata harga parameter populasi, sehingga data dan informasi

sebelumnya (priori) tidak pernah terbuang. Jika kadar obat terukur tidak ada,

maka harga parameter populasidiasumsikan sebagai harga parameter penderita,

sehingga sesuai teori Bayes: peluang posterior, maximum likelihood estimation

yang merupakan nilai parameter populasirata-rata menjadi berkurang, dan

persamaan yang digunakan hanya bagian kedua. Jikakadar terukur ada, tetapi

tidak ada data prior populasi maka peluang posteriorparameter farmakokinetik

penderita menjadi berkurang karena hanya meminimalkanfungsi obyektif least-

square. Jika kedua data tersedia baik data populasi maupun data kadar, maka

persamaan dapat dinyatakan dengan lengkap, dan estimasi menjadi optimal.

Metode Bayes dapat menggunakan hanya satu data kadar serum meskipun

adabanyak parameter farmakokinetik yang harus dicocokkan. Setelah satu atau

dua kadartersedia proses pencocokan ini menghasilkan suatu harga parameter

individu secaraspesifik. Semakin banyak data maka kontribusi data populasi akan

makin sedikit, karena minimisasi fungsi obyektif Bayes merupakan gabungan dari

apa yangdiketahui mengenai penderita itu sendiri dan apa yang diketahui

mengenai populasisehingga kecil kemungkinan menghasilkan kombinasi nilai

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1. Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter farmakokinetik

57

57

parameter yang tidak lazim (Sheiner et al, 1979; Jelliffe et al, 1991; Peck and

Rodman, 1991). Pencocokan Bayes untuk individualisasi model farmakokinetik

obat pada penderita dapat memprediksi kadar serum berikutnya dengan lebih baik.

Suatu hasil penelitian mengenai kemampuan prediksi kadar teofilin berikutnya

pada penggunaan dosis berikutnya terhadap metode nomogram, least squares, dan

MAP Bayesian dinyatakan bahwa MAP Bayesian yang memperhitungkan suatu

‘priori’ data populasi, dapat memprediksi kadar teofilin dengan kesalahan yang

paling kecil (Peck and Rodman, 1991). Hal ini menegaskan adanya efek protektif

dari penggunaan ‘prior' data yang merupakan model farmakokinetik populasi

dalam prosedur pencocokan Bayes. Dengan kata lain bahwa untuk estimasi dosis

optimal diperlukan model farmakokinetik populasi dan untuk menghasilkan

model farmakokinetik individu yang akurat diperlukan model farmakokinetik

individu yang diperoleh dengan MAP Bayesian dalam proses adaptive control

(Peck and Rodman, 1991).