BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Osteomielitis Kronik 2.1.1 ... II.pdf · sebagai tulang mati yang...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Osteomielitis Kronik 2.1.1 ... II.pdf · sebagai tulang mati yang...
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Osteomielitis Kronik
2.1.1. Definisi
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang. Berasal dari kata osteon
(tulang) dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi dengan itis (inflamasi)
untuk menggambarkan kondisi klinis dimana tulang terinfeksi oleh
mikroorganisme (Madder dkk, 1997, Lazzarini dkk, 2004). Osteomielitis
kronis didefinisikan sebagai osteomielitis dengan gejala lebih dari 1 bulan
(Dormans & Drummond, 1994). Osteomielitis kronis dapat juga didefinisikan
sebagai tulang mati yang terinfeksi didalam jaringan lunak yang tidak sehat
(Cierny & Madder, 2003).
Gambaran patologi dari osteomielitis kronis adalah adanya tulang
mati, pembentukan tulang baru, dan eksudat dari leukosit polymorphonuclear
bersama dengan jumlah besar dari limfosit, histiosit, dan juga sel plasma
(Lazzarini dkk, 2004). Pada osteomielitis kronis dapat terjadi episode infeksi
klinis yang berulang (Spiegel & Penny, 2005).
Tulang tibia merupakan tempat paling sering terjadinya infected
nonunion dan osteomielitis kronis setelah trauma (Patzakis dkk, 2005)
2
2.1.2. Etiologi
Penyebab osteomielitis kronis multifaktor. Adanya kondisi avaskuler
dan iskemik pada daerah infeksi dan pembentukan sequestrum pada daerah
dengan tekanan oksigen rendah sehingga tidak bisa dicapai oleh antibiotik.
Rendahnya tekanan oksigen mengurangi efektivitas bakterisidal dari
polymorpholeukocytes dan juga merubah infeksi aerobik menjadi anaerob
(Wirganowicz, 1999). Penyebab tersering osteomielitis termasuk patah tulang
terbuka, penyebaran bakteri secara hematogen, dan prosedur pembedahan
orthopaedi yang mengalami komplikasi infeksi (DeCoster dkk, 2008).
Organisme utama penyebab infeksi adalah Staphylococcus aureus,
organisme ini ditemukan baik sendiri maupun kombinasi dengan patogen
yang lain pada 65% hingga 70% pasien. Pseudomonas aeruginosa, penyebab
tersering kedua, ditemukan pada 20% hingga 37% pasien. Osteomielitis
biasanya terdapat lebih dari satu organisme pada 32% hingga 70% pasien.
Atypical mycobacteria atau jamur dapat menjadi patogen pada pasien dengan
immunocompromised. Adanya implant dapat mendukung terjadinya
perlengketan mikroba dan pembentukan biofilm, dan dapat mengganggu
proses fagositosis sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Menghilangkan
biofilm dengan cara mengeluarkan implant dan debridemen jaringan mati
diperlukan dalam pengobatan infeksi yang sukses (Patzakis dkk, 2005,
Salomon dkk, 2010).
3
Zat-zat yang diproduksi oleh biofilm Staphylococcus aureus dapat
memberikan konstribusi terhadap kehilangan tulang selama osteomielitis
kronis dengan cara menurunkan viabilitas osteoblas dan potensi osteogenik
sehingga membatasi pertumbuhan tulang baru dan meningkatkan resorpsi
tulang dengan cara peningkatan ekspresi RANK-L oleh osteoblas (Sanchez
dkk, 2013).
2.1.3. Patofisiologi
Terdapat tiga mekanisme dasar terjadinya osteomielitis. Osteomielitis
hematogen biasanya terjadi pada tulang panjang anak-anak, jarang pada orang
dewasa, kecuali bila melibatkan tulang belakang. Osteomielitis dari
insufisiensi vaskuler sering terjadi pada diabetes melitus. Contiguous
osteomielitis paling sering terjadi setelah terjadi cedera pada ekstremitas.
Berbeda dari osteomielitis hematogen, kedua yang terakhir biasanya dengan
infeksi polimikroba, sering Staphylococcus aureus bercampur dengan patogen
lain (Swiontkowski dkk, 1999).
Infected nonunion dan osteomielitis post trauma disebabkan oleh
karena kontaminasi mikroba setelah suatu patah tulang terbuka atau
pembedahan pada patah tulang tertutup. Pembentukan biofilm merupakan
kunci dari perkembangan infeksi. Biofilm merupakan suatu kumpulan koloni
4
mikroba yang ditutupi matriks polisakarida ekstraseluler (glycocalyx) yang
melekat pada permukaan implan atau tulang mati (Patzakis dkk, 2005).
Fokus primer dari osteomielitis akut pada anak-anak terdapat pada
metafise. Bila tidak ditangani, terjadi peningkatan tekanan intramedula dan
eksudat menyebar melalui korteks metafise yang tipis menjadi abses
subperiosteal. Abses subperiosteal dapat menyebar dan mengangkat
periosteum sepanjang diafise. Nekrosis tulang terjadi karena kehilangan aliran
darah akibat dari peningkatan tekanan intramedulari dan kehilangan suplai
darah dari periosteal. Bagian yang avaskular dari tulang yang dikenal sebagai
sequestrum, dan seluruh panjang dari tulang dapat menjadi sequestrum.
Fragmen ini menjadi tempat berkumpulnya mikroorganisme dan dapat terjadi
episode infeksi klinis yang berulang. Abses dapat keluar melalui kulit,
membentuk sinus. Respon pasien dibentuk oleh periosteum sebagai usaha
memagari atau menyerap fragmen ini dan mengembalikan stabilitas, disebut
involucrum (Song dkk, 2001, Spiegel & Penny, 2005, Salomon dkk, 2010).
Infeksi bakteri ke tulang dapat terjadi karena inokulasi langsung,
penyebaran hematogen atau invasi lokal dari tempat infeksi lain. Fisis yang
avaskuler membatasi penyebaran infeksi ke epifise kecuali pada neonatus dan
bayi. Pembuluh darah menyebrang fisis hingga umur 15 hingga 18 bulan,
berpotensi terjadinya septic arthritis. Hal ini dapat terjadi sekitar 75% dari
kasus osteomielitis neonatus (Song dkk, 2001).
5
Bakteri dapat muncul dalam bentuk biofilm atau planktonik. Biofilm
memberikan proteksi, kerangka, yang dapat memfasilitasi aktivitas metabolik
dan bahkan komunikasi antara anggotanya. Pada bentuk planktonik, tidak
terdapat struktur organisasi antara sel-sel, demikian juga tidak terbentuk
lapisan kimia. Bakteri dalam bentuk planktonik memudahkan penyebaran
infeksi ke tempat lain (bacteremia atau sepsis); namun lebih rentan diserang
oleh sistem imun atau antibiotik (Arnold, 2013).
Setelah terinfeksi, osteomielitis melunakan tulang secara progresif dan
terjadi nekrosis tulang sehingga terbentuknya sequestrum. Pada stadium ini,
debridemen dengan pembedahan menjadi pilihan terapi. Adanya implant pada
lokasi infeksi dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat
pengobatan yang sukses (Eid & Berbari, 2012).
2.1.4. Klasifikasi
Klasifikasi oleh Cierny-Mader berdasarkan pada karakteristik anatomi
dari tulang dan fisiologi dari inang. Debridemen osteomielitis ditentukan dari
evaluasi karakteristik anatomi. Dengan memperhatikan karakteristik fisiologi
baik lokal maupun sistemik, dapat membantu mengidentifikasi potensi
masalah. Optimalisasi kondisi pasien sebelum operasi dan hindari prosedur
rekonstruksi kompleks pada pasien yang bermasalah (Cierny dkk, 2003).
Terdapat empat tipe anatomi dari osteomielitis: medula, superfisial,
lokal dan difus (Tabel 2.1). Osteomielitis medula (type I) melibatkan
6
permukaan intramedula. Osteomielitis superfisial (type II) melibatkan
permukaan tulang. Ini disebabkan oleh infeksi langsung ketika permukaan
tulang berdekatan dengan luka jaringan lunak. Osteomielitis lokal (type III)
melibatkan seluruh tebal korteks dan menyebar ke kanal intramedula, namun
pengeluaran sequestrum dengan pembedahan tidak mempengaruhi stabilitas
tulang. Osteomielitis difus (type IV) melibatkan tulang secara melingkar,
membutuhkan reseksi tulang dan stabilisasi. Instabilitas pada osteomielitis
difus, dapat terjadi baik sebelum maupun sesudah debridemen. Infected
nonunions, yang melibatkan osteomielitis difus, memberikan tantangan paling
besar (Cierny dkk, 2003).
Status fisiologi dari pasien dibagi menjadi tipe A, B, atau C
berdasarkan adanya faktor lokal dan sistemik, yang memberikan peran besar
pada hasil akibat dari interaksi mikroorganisme dan inang. Tipe A
mempunyai sistem pertahanan yang baik, vaskularisasi lokal yang baik dan
respon fisiologi yang normal terhadap infeksi dan pembedahan. Tipe B dibagi
menjadi masalah sistemik, lokal dan kombinasi dalam penyembuhan luka dan
respon terhadap infeksi. Faktor sistemik, seperti penyakit ginjal stadium akhir,
keganasan, diabetes mellitus, penggunaan alkohol, malnutrisi, penyakit
reumatologi atau status immunocompromised (infeksi HIV, terapi
imunosupresif), dapat mengurangi kemampuan sistem imun. Defisiensi lokal
dapat disebabkan oleh penyakit arteri, stasis vena, radiasi, bekas luka, atau
7
merokok yang dapat mengurangi vaskularisasi (Tabel 2.2). Cedera awal dan
pembedahan yang menyertai sering berakhir dengan fragmen tulang yang
avaskuler dan bekas luka pada jaringan diatasnya. Pada inang tipe C, faktor
lokal dan sistemik begitu beratnya sehingga bahaya dari terapi melebihi
penyakit itu sendiri (Cierny dkk, 2003).
8
Tabel 2.1. Klasifikasi Osteomielitis Kronis Menurut Cierny-Mader
(Cierny III dkk, 2003)
Tipe Anatomi
Tipe I Osteomielitis Medula
Tipe II Osteomielitis Superfisial
Tipe III Osteomielitis Lokal
Tipe IV Osteomielitis Difus
Kelas Fisiologi
Host – A Sistem imun baik
Host – B Sistem imum terganggu baik lokal (BL)
atau sistemik (BS)
Host – C Membutuhkan supresif atau tidak ada
terapi, terapi lebih buruk dari
penyakitnya, bukan kandidat
pembedahan.
9
Gambar 2.1. Klasifikasi anatomi dari osteomielitis kronis menurut Cierny-Mader
(Cierny III dkk, 2003)
Tabel 2.2. Faktor sistemik atau lokal yang mempengaruhi imun,
metabolisme dan vaskularisasi lokal (Cierny III dkk, 2003)
Sistemik Lokal
Malnutrisi Limfedema kronik
Gagal hati, gagal ginjal Stasis vena
Penyalahgunaan alkohol Gangguan pembuluh darah
utama
Defisiensi imun Arteritis
Hipoksia kronis Bekas luka yang luas
Keganasan Fibrosis akibat radiasi
Diabetes mellitus
10
Umur tua
Terapi steroid
Penyalahgunaan tembakau
2.1.5. Manifestasi Klinis
Pasien dapat menderita nyeri pada daerah yang terkena, eritema,
bengkak dan terdapat sinus. Demam biasanya tidak ditemukan pada
osteomielitis kronis (Patzakis dkk, 2005, Salomon dkk, 2010). Oleh karena
infeksi biasanya tenang, diperlukan kecurigaan yang tinggi dalam diagnosis,
terutama pada pasien dengan atrophic nonunion setelah patah tulang terbuka
atau fiksasi internal dari patah tulang tertutup. Pada sekitar 0.2% hingga 1.6%
pasien, sinus yang kronik dapat berakhir pada metaplasia pada epitel traktus
sinus, tranformasi ganas dan pembentukan squamous cell carcinoma
(Marjolin’s ulcer) (Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk, 2005, Steinrücken dkk,
2012).
Osteomielitis multifokal kronis merupakan kondisi yang jarang
dengan penyebab yang belum diketahui. Gambaran klinis berupa lemas yang
memberat, nyeri lokal dan nyeri tekan pada tempat infeksi. Lesi tulang dapat
muncul berurutan dengan lokasi predominan pada metafise tulang panjang,
dapat juga melibatkan bagian medial clavicula, korpus vertebra atau sendi
sacroiliakus. Lesi tulang sering berulang dan dapat simetris (Carr, 1993).
11
2.1.6. Pemeriksaan Penunjang
Laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) merupakan tanda dari
proses inflamasi, baik disebabkan oleh infeksi maupun tidak. Keduanya dapat
meningkat sekitar 64% pada pasien osteomielitis kronis. Hitung sel darah
putih (WBC) sering normal pada sebagian besar pasien dengan osteomielitis
kronik atau infected nonunion. Pemeriksaan x-ray dapat menunjukan daerah
yang mencurigakan terhadap infeksi, berupa resorpsi tulang, sequestrum,
pembentukan tulang baru pada periosteal atau endosteal dan iregularitas
korteks. Gambaran sequestrum pada x-ray dapat dilihat pada gambar 2.2.(A).
CT scan menjelaskan tulang lebih detail, adanya sequestrum dan perubahan
kecil seperti erosi atau kerusakan korteks, reaksi periosteal atau endosteal, dan
fistula intraoseus. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dipercaya untuk
mendeteksi perubahan pada sum-sum tulang akibat dari infeksi. Ini
merupakan modalitas dengan sensitivitas tinggi untuk menilai pasien dengan
osteomielitis. Peningkatan cairan sekunder karena edema atau hyperemia
menunjukan penurunan sinyal sum-sum tulang pada T1, dan peningkatan
sinyal pada T2. Erdman dkk menggunakan MRI untuk mengevaluasi 110
pasien yang dicurigai menderita osteomielitis dan mendapatkan sensitivitas
sebesar 98% dan spesifisitas sebesar 75% (Patzakis dkk, 2005).
12
Gambar 2.2. Osteomielitis kronis tulang tibia. (A). Tampak pada x-ray sdh terbentuk
involucrum. (B). Bagian tulang sudah avaskuler. (C). Bagian tulang sangat mudah di
angkat (Spiegel & Penny, 2005)
Standar baku untuk diagnosis infeksi yaitu mengisolasi patogen dari
kultur. Pengecatan Gram dapat juga membantu. Pemberian antibiotik
sebelumnya atau penanganan yang salah saat mengambil spesimen dapat
mengganggu pertumbuhan kuman. Kultur yang diambil dari swab luka dan
biopsi dengan jarum pada tempat infeksi tidak cukup untuk menentukan
patogen. Perry dkk melaporkan bahwa swab luka dan biopsi jarum
mengidentifikasi patogen yang sama dengan pada spesimen saat debridemen
sebesar 62% dan 55% dari pasien, secara berurutan (Patzakis dkk, 2005).
2.1.7. Terapi
Tahap pertama penanganan osteomielitis kronis adalah membuat
diagnosis. Karena diferensial diagnosis pada pemeriksaan radiologi termasuk
neoplasma, sering diperlukan biopsi. Setelah menegakkan diagnosis,
13
penanganan osteomielitis kronis adalah pembedahan. Sangat penting untuk
memperbaiki status fisiologi inang melalui nutrisi yang baik, koreksi anemia,
dan terapi infeksi lain yang ada (Spiegel & Penny, 2005).
Manajemen osteomielitis dan infected nonunions termasuk kontrol
infeksi dengan debridemen dan antibiotik, stabilisasi fraktur, penanganan
defek dengan tujuan memperoleh union tulang yang aseptik. Penyelamatan
ekstremitas pada osteomielitis kronis yang difus terdiri dari debridemen,
stabilisasi tulang, pemberian antibiotik sistemik dan lokal, penutupan jaringan
lunak, dan manajemen patah tulang yang belum union serta defek tulang
(Patzakis dkk, 2005, DeCoster dkk, 2008).
Tahap pertama: Debridemen, stabilisasi tulang dan terapi antibiotik.
Debridemen
Ahli bedah Perancis yang mempopulerkan istilah “débridement,” yang
artinya memotong jaringan yang kontraktur disekitar luka. Saat ini istilah
tersebut digunakan untuk prosedur yang lebih ekstensif dari insisi dan eksisi
jaringan yang rusak. Untuk menentukan jaringan mana yang akan di eksisi,
ahli bedah mengidentifikasi otot yang masih hidup dengan bantuan 4 C:
contraction (kontraksi saat dijepit), consistency (tidak lunak), capillary
bleeding saat dipotong, dan color (warna merah, bukan pucat atau gelap)
(Bowyer, 2006).
14
Tahap pertama dimulai dengan debridemen radikal terhadap semua
jaringan mati dan terinfeksi, termasuk kulit, jaringan lunak dan tulang. Untuk
memastikan semua fokus infeksi sudah dibuang, debridemen dilakukan
hingga berdarah, jaringan yang hidup harus terdapat pada batas reseksi.
Tulang yang hidup ditandai dengan titik-titik perdarahan (paprika sign).
Debridemen harus radikal dan tidak dibatasi oleh kekhawatiran membuat
defek tulang atau jaringan lunak seperti yang terlihat pada Gambar 2.2
(Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk, 2005).
Tidak ada perbedaan bermakna dari angka kejadian infeksi pada patah
tulang terbuka yang dilakukan debridemen awal dan terlambat berdasarkan
waktu (Schenker, 2012).
Bila terdapat jaringan lunak yang sehat untuk menutup luka dan
pembentukan involucrum yang cukup, sequesterektomi, drainase, debridemen
jaringan nekrotik dan irigasi yang banyak harus dikerjakan. Perhatian harus
diberikan untuk tidak merusak jaringan lunak diatas periosteum dan merusak
involucrum. Periosteum sebaiknya diinsisi secara longitudinal untuk
membuang sequestrum. Meninggalkan sequestrum di dalam involucrum tidak
dianjurkan karena dapat membentuk tempat pertumbuhan bakteri. Periosteum
harus dipertahankan dan dijahit membentuk struktur tubuler. Imobilisasi
sangat penting setelah operasi. Pemasangan gips dapat membantu.
Debridemen dengan pembedahan merupakan hal penting dalam penanganan
15
osteomielitis kronis selain antibiotik dan imobilisasi pada anak-anak (Unal
dkk, 2006).
Debridemen agresif menggunakan high-speed, saline-cooled burr
diperlukan untuk membuang jaringan tulang yang nekrotik. Osseous laser
Doppler flowmetry dengan nilai lebih dari 100 mV digunakan untuk
meyakinkan tulang yang tersisa masih viabel, level normal pada tulang
kortikal adalah 100 mV (Swiontkowski dkk, 1999).
Infeksi kronik sulit ditangani dengan cara tanpa pembedahan. Untuk
mencegah kekambuhan, biofilm harus dieksisi dan luka harus di revitalisasi.
Luka yang hidup, bersih dan dapat dikendalikan sangat diperlukan untuk
keberhasilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil termasuk kesehatan
inang, ekstensi dari jaringan nekrotik, lokasi dari infeksi, dan keterbatasan
karena penyakit. Pemilihan pasien untuk penyelamatan ekstremitas, amputasi
ataupun paliatif diperlukan pada faktor tersebut (Cierny III & DiPasquale,
2006).
16
Gambar 2.3. Debridemen radikal terhadap semua jaringan mati dan terinfeksi (A).
Debridemen yang kurang baik. (B). Debridemen yang baik. (C). Pemberian bone
graft untuk menutup defek (Song & Sloboda, 2001)
Prosedur dari Lautenbach melibatkan debridemen, intramedullary
reaming dan pemasangan double-lumen tubes untuk membuat sistem
antibiotik lokal dan analisis ruangan untuk volume dan kultur. Hasil akhir dari
terapi saat irigasi menghasilkan kultur yang bersih tiga kali berturut-turut
disertai perbaikan pada darah dan hilangnya ruangan kosong (Hashmi dkk,
2004).
Irigasi pada patah tulang terbuka tetap menjadi komponen yang sangat
penting dalam penanganan luka, dengan tujuan mengurangi jumlah benda
asing dan jaringan nekrotik serta jumlah bakteri, sehingga dapat mengurangi
angka kejadian infeksi. Penelitian pada hewan menunjukan bahwa irigasi
dengan tekanan yang tinggi dan jumlah yang banyak lebih efektif untuk
mengurangi bakteri dan debris dibandingkan dengan tekanan yang rendah dan
17
jumlah yang sedikit (dengan syringe). Walaupun jumlah volume yang pasti
tidak diketahui, kebanyakan setuju cairan irigasi sebanyak 6 sampai 10 liter
diperlukan untuk irigasi patah tulang terbuka grade 2 atau 3 (Anglen, 2001).
Stabilisasi tulang
Stabilisasi tulang pada fraktur nonunion diperlukan untuk kontrol
infeksi. Namun, dengan adanya fiksasi interna, mikroorganisme dilindungi
oleh biofilm yang melekat pada permukaan implan. Oleh karena itu,
keputusan untuk mempertahankan atau mengeluarkan implant yang terinfeksi
berbeda-beda untuk setiap pasien, bergantung pada beberapa faktor yaitu
status penyambungan tulang, stabilitas yang disediakan oleh implant, lokasi
fraktur, dan waktu sejak dilakukan fiksasi fraktur (Patzakis dkk, 2005).
Antibiotik lokal.
Ruangan kosong yang terjadi akibat debridemen dapat diisi oleh
polymethylmethacrylate (PMMA) beads yang dikombinasi dengan antibiotik,
seperti tobramycin, vancomycin, atau antibiotik spesifik lainnnya yang tahan
panas dan tersedia dalam bentuk serbuk (Patzakis dkk, 2005). Penggunaan
PMMA beads dengan antibiotik lokal dapat mengurangi insiden infeksi pada
patah tulang terbuka yang berat. Bila perlu, debridemen ulang dapat dilakukan
setelah 24 hingga 48 jam berdasarkan tingkat kontaminasi dan kerusakan
jaringan lunak (Ostermann, 1995).
18
Konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi dan rendahnya level sistemik
meningkatkan kerja terhadap patogen dan mengurangi efek sistemik. Jumlah
yang direkomendasikan per 40 g PMMA adalah 2.4 hingga 4.8 g tobramycin,
dan vancomycin. Antibiotic-impregnated beads digunakan bila terdapat
ruangan kosong dan revisi akan dikerjakan, seperti debridemen ulang,
penutupan jaringan lunak dan bone graft. Bila memungkinkan, defek dapat
diisi dengan flap otot. Selain itu, beads dapat digunakan sebagai pengisi
dibawah flap hingga digantikan oleh bone graft pada prosedur berikutnya
(Patzakis dkk, 2005, DeCoster dkk, 2008).
Banyak antibiotik mempunyai penetrasi yang buruk ke dalam tulang.
Antibiotic beads, sebaliknya menyediakan konsentrasi antibiotik lokal yang
tinggi, tidak bergantung pada aliran darah ke dalam tulang (Spiegel & Penny,
2005, DeCoster dkk, 2008).
Pada patah tulang tertutup, konsentrasi tinggi antibiotik dari antibiotic-
impregnated polymethylmethacrylate (PMMA) beads dapat menghilangkan
koloni biofilm. Lebih lanjut, antibiotic-impregnated polymethylmethacrylate
(PMMA) beads dapat mengisi ruangan kosong (spacer effect). Setelah
penyembuhan luka, depot dapat dibuang dan dapat dilakukan rekonstruksi
sebagai pembedahan yang bersih (Forsberg dkk, 2011).
Beads menutupi ruangan kosong sehingga mencegah akumulasi
hematom yang dapat berpotensi sebagai tempat infeksi. Beads antibiotik juga
19
dapat mengurangi pembentukan jaringan parut pada defek tulang. Bila infeksi
menetap, debridemen ulang, kultur dan pergantian beads antibiotik dapat
dikerjakan beberapa hari atau minggu kemudian. Setelah infeksi telah
terkontrol, beads dikeluarkan. Untuk kasus non union, bone graft dapat
ditempatkan pada daerah beads (DeCoster dkk, 2008).
Antibiotik sistemik
Pemberian secara intravena biasanya diberikan selama 4 sampai 6
minggu dan dapat dikerjakan pada pasien rawat jalan. Manajemen dengan
periode yang lebih singkat dari terapi intravena (hingga 1 minggu), diiikuti
oleh antibiotik oral selama 6 minggu, sukses dicatat pada 91% pasien
(Swiontkowski, 1999, Mader dkk, 1999).
Tahap dua : manajemen luka
Bergantung pada ekstensi dari infeksi, penundaan atau penutupan luka
primer dapat dikerjakan pada pasien dengan jaringan lunak yang cukup.
Debridemen ulang sering diperlukan. Dengan adanya jaringan yang rusak,
penutupan dapat dicapai dengan flap lokal atau free flap, tergantung pada
lokasi dan ekstensi defek jaringan lunak (Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk,
2005).
Penutupan luka primer setelah debridemen yang cermat tidak
berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi, dapat mencegah kontaminasi
sekunder dan dapat mengurangi morbiditas, lama dirawat dan biaya. Akan
20
tetapi dapat berpotensi terjadinya clostridial myonecrosis, yang dapat berakhir
bukan hanya hilangnya ekstremitas tetapi juga kehilangan nyawa (Zalavras,
2003).
Negative pressure wound therapy (NPWT) telah menjadi terapi
tambahan yang penting pada manajemen luka trauma dan insisi pembedahan
yang berhubungan dengan trauma musculoskeletal. Mekanisme kerja NPWT
termasuk stabilisasi lingkungan luka, mengurangi edema, meningkatkan
perfusi jaringan, dan stimulasi sel-sel pada permukaan luka. NPWT
menstimulasi jaringan granulasi dan angiogenesis dapat mendukung
penutupan primer dan mengurangi kebutuhan untuk transfer jaringan. Sebagai
tambahan, NPWT mengurangi kontaminasi bakteri gram negatif (Streubel
dkk, 2012).
Tahap Tiga : Manajemen defek tulang dan fraktur nonunion
Bone Graft
Bone graft dari iliac crest dapat digunakan untuk penanganan defek
tulang hingga 6 cm. Bone graft dikerjakan bila jaringan lunak penutup sudah
sembuh, adanya flap yang viabel dan infeksi telah terkontrol, biasanya dalam
6 hingga 8 minggu setelah transfer otot (Patzakis dkk, 2005).
Tulang cancellous mempunyai daya tahan yang lebih dibandingkan
dengan tulang kortikal, mungkin karena paling terakhir terjadi gangguan
21
vaskularisasi. Untuk vaskularisasi graft diperlukan dasar graft yang baik
vaskularisasinya (DeOliveira, 1971).
Prosedur rekonstruksi khusus
Defek tulang >6 cm membutuhkan prosedur rekonstruksi khusus,
seperti vascularized bone grafts atau distraction osteogenesis. Distraction
osteogenesis berguna untuk rekonstruksi defek tibia yang terinfeksi (Patzakis
dkk, 2005).
Alasan terjadinya angka kekambuhan yang tinggi adalah (1) tidak
adekuatnya debridemen dalam membuang semua sequestrum, (2) penurunan
aliran darah secara primer atau sekunder karena operasi menurunkan kapasitas
penyembuhan dan resistensi terhadap infeksi berulang, (3) jaringan parut atau
sisa ruangan mati sebagai tempat berkembangnya infeksi, dan (4) adanya
kombinasi infeksi bakteri aerobik dan anaerobik (Wirganowicz, 1999).
Waktu dilakukan intervensi pembedahan masih kontroversi. Ada yang
merekomendasikan sequesterektomi dini untuk eradikasi infeksi dan
memberikan lingkungan yang lebih baik untuk periosteum, yang lain
merekomendasikan untuk menunggu hingga sudah terbentuk involucrum
sebelum mengerjakan sequesterektomi untuk mengurangi resiko komplikasi
seperti fraktur, nonunion, deformitas, dan kehilangan tulang. Untuk
kehilangan tulang, dapat dikerjakan bone graft atau bone transport (Ilizarov
atau implan yang lain) (Spiegel & Penny, 2005).
22
Profesor Simpson dkk. di Edinburgh telah menghasilkan informasi
yang berguna untuk menilai efek eksisi terhadap tulang. Mereka secara
prospektif mempelajari, 50 pasien yang menderita osteomielitis kronis. Pasien
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok pertama: reseksi luas, dengan
batas bersih 5 mm atau lebih, kelompok ke dua yaitu reseksi marginal dengan
batas bersih kurang dari 5 mm dan kelompok ke tiga yaitu intralesi, dengan
cara debulking daerah yang bermasalah. Semua pasien mendapatkan antibiotik
intravena selama enam minggu, diikuti antibiotik oral selama enam minggu
berikutnya. Tidak ada pasien di kelompok satu yang mengalami kekambuhan.
Pada pasien dengan reseksi marginal, delapan dari 29 (28%) mengalami
kekambuhan. Semua pasien yang dikerjakan debulking mengalami
kekambuhan dalam waktu setahun setelah operasi. Eksisi yang cermat sangat
diperlukan (Simpson dkk, 2001).
2.2. Debridemen dengan High speed burr
Tulang yang mengalami osteomielitis harus secara ekstensif dibersihkan
dengan kuretase atau dengan high speed burr untuk memastikan semua
jaringan yang mati dan terinfeksi dibuang (Wirganowicz, 1999). Penggunaan
high speed burr memudahkan kita untuk membuang jaringan mati dengan
lebih merata hingga mencapai jaringan yang sehat.
Panas yang diakibatkan oleh pengeboran tulang merupakan fenomena
kompleks. Jika panas yang diakibatkan sangat tinggi, thermonecrosis dapat
23
mengganggu fiksasi dan mengancam tulang. Semakin besar ukuran diameter,
semakin besar temperatur tulang. Untuk menghindari nekrosis tulang, tekanan
mata bor yang tinggi dan feed rates yang tinggi secara efektif dapat
mengurangi temperature karena pengeboran. Temperature mata bor
meningkat hingga diameter mata bor 4,5 mm dan kemudian menurun lagi
pada diameter bor 6 mm (Karaca dkk., 2013).
Eriksson dan kawan-kawan (1982) mendapatkan batasan temperatur
untuk panas yang bisa menginduksi kerusakan jaringan tulang adalah pada
suhu 47oC selama 1 menit. Banyak faktor yang mempengaruhi efek
pengeboran terhadap panas yang ditimbulkan diantaranya adalah diameter
mata bor, bahan mata bor, dan kecepatan mata bor (Nam dkk., 2006; Karaca
dkk., 2011, Fincham & Jaeblon, 2011).
Banyak penelitian tentang efek kecepatan bor terhadap suhu panas
yang ditimbulkan pada tulang. Thompson (1958) berkonsentrasi pada low
speed drilling berkisar 0-3000 rpm dan menyimpulkan bahwa peningkatan
kecepatan bor juga akan meningkatkan suhu tulang yang dibor. Akan tetapi
peningkatan suhu ini hanya terjadi sampai batasan kecepatan bor dikisaran
10.000 rpm dan suhu tulang tidak akan meningkat signifikan pada kecepatan
bor diatas 10.000 rpm (Nam dkk, 2006; Augustin dkk., 2007).
Agak sulit dalam menentukan batasan kecepatan untuk high speed
drilling karena berbeda-beda sesuai obyek yang diperuntukkan. Bor yang
24
biasa digunakan oleh kedokteran gigi berkisar 3600-7500 rpm sedangkan
dalam bidang orthopaedi biasa menggunakan bor dengan kecepatan 60-800
rpm (Karmani, 2006). Sedangkan pada bagian bedah saraf menggunakan bor
dengan kecepatan tinggi 70.000 rpm dan kecepatan rendahnya adalah 20.000
rpm (Roitberg dkk., 1997).
Panas dapat menyebabkan denaturasi protein enzim dan membran,
menurunkan aktivitas osteoklas dan osteoblas, dehidrasi, kekeringan, yang
berkontribusi kepada kematian sel. Thermal osteonecrosis dapat terjadi bukan
hanya karena peningkatan temperatur, tapi juga penurunan temperatur
dibawah suhu fisiologis seperti pada cryosurgery yang disebabkan oleh
nitrogen cair. Suhu obtimal maksimal saat memasang implant adalah 47 °C,
dengan waktu pengeboran kurang dari 1 menit (Augustin dkk, 2012, Pandey
& Panda, 2013).
Mata bor yang tumpul dapat menimbulkan temperatur yang lebih
tinggi dan bahkan asap, sementara peningkatan tekanan saat mendorong mata
bor menyebabkan kontrol mata bor yang buruk sehingga bisa patah (Natali,
1996).
Tulang merupakan konduktor panas yang jelek, dengan konduksi
panas pada tulang kortikal segar beriksar antara 0.38- 2.3 J/msK. Mortiz and
Henrique menemukan bahwa sel epitel yang terkena suhu 70 oC dapat terjadi
kerusakan seketika, bila terkena suhu 55 oC selama 30 detik memberikan hasil
25
yang sama. Pada umumnya, di literatur menunjukan bila temperatur
meningkat diatas 55oC selama lebih dari setengah menit, kerusakan yang
serius akan terjadi, yang membutuhkan waktu beberapa minggu untuk sembuh
(Hillery, 1999).
2.3. Kultur dan Hitung Koloni Kuman
Perhitungan secara kuantitatif koloni Staphylococcus aureus per gram
tulang tibia dapat dihitung pada sampel penelitian. Setelah kelinci di
korbankan, tulang tibia dibersihkan dari semua jaringan lunak. Implan
didalam sum-sum tulang dikeluarkan, kemudian diambil metafise tulang tibia
proximal (Shirtliff dkk, 2002).
Fragment tulang metafise kemudian di gerus dan dibuat bubuk. Hasil
akhirnya kemudian ditimbang. Kemudian dilakukan penambahan cairan NaCl
0,9 % ke bubuk tulang dengan perbandingan 3:1 (3 mL NaCl/g tulang) dan
kemudian suspense diaduk selama 5 menit (Shirtliff dkk, 2002).
Dibuat 5 suspensi, dengan pengenceran kelipatan 10 dengan campuran
cairan salin-tulang. Dua puluh mikroliter sampel dari setiap 5 pengenceran
ditanamkan pada plat agar darah dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24
jam. Kemudian dihitung colony forming units (CFU) per gram tulang. CFU
kemudian dihitung pada setiap sampel tulang tibia. Log rata-rata dari CFU
26
pada kelima plat dan rata-rata konsentrasi Staphylococcus aureus pada setiap
grup perlakuan dihitung (Shirtliff dkk, 2002).
Berikut cara menghitung dan melaporkan hasil kultur secara
kuantitatif::
Tabel 2.3. Konversi perhitungan kuantitatif koloni kuman (Shirtliff dkk, 2002)
Derajat pertumbuhan Jumlah koloni
(CFU/gram)
Jumlah yang
dilaporkan
Tabung I (10-1
) N N x 101
Tabung II (10-2
) N N x 102
Tabung III (10-3
) N N x 103
Tabung IV (10-4
) N N x 104
Tabung V (10-5
) N N x 105