BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Merek (Brandlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00415-MN BAB...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Merek (Brandlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00415-MN BAB...
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Merek (Brand)
2.1.1 Pengertian Merek (Brand)
Keahlian yang sangat unik dari pemasar profesional adalah
kemampuannya untuk menciptakan, memelihara, melindungi, dan
meningkatkan merek. Para pemasar mengatakan bahwa pemberian merek
adalah seni dan bagian paling penting dalam pemasaran.
Brand dapat diartikan sebagai asal atau sumber dari suatu produk atau
pembeda sebuah produk dari produk lainnya. Karenanya pengertian brand
berbeda dengan produk. “Produk meliputi benda-benda fisik, jasa layanan, toko
eceran, bisnis online, orang, organisasi, tempat, maupun ide. Sedangkan brand,
ada untuk sebuah produk, namun pada brand dapat ditambahkan dimensi yang
menjadi pembeda dari produk-produk lain yang didesain untuk memenuhi
kebutuhan yang sama”. (Keller, 2003, p.32-33).
Menurut Wheeler (2006:5) pengertian brand adalah “A brand is the
nucleus of sales and markerting activities, generating increased awareness and
loyalty, when managed strategically”. (Sebuah merek adalah inti dari
penjualan dan kegiatan pemasaran, menghasilkan peningkatan kesadaran dan
loyalitas, bila dikelola secara strategis.)
Definisi merek menurut Keller (2007:5) adalah: Sebuah merek
merupakan lebih dari sekedar produk, karena mempunyai sebuah dimensi yang
8
9
menjadi diferensiasi dengan produk lain yang sejenis. Diferensiasi tersebut
harus rasional dan terlihat secara nyata dengan performa suatu produk dari
sebuah merek atau lebih simbolis, emosional, dan tidak kasat mata yang
mewakili sebuah merek. Berdasarkan definisi di atas, satu merek berfungsi
untuk mengidentifikasikan penjual atau perusahaan yang menghasilkan produk
tertentu yang membedakannya dengan penjual atau perusahaan lain yang
memiliki nilai yang berbeda pada setiap merek-nya. Merek (brand) dapat
berbentuk logo, nama, trademark atau gabungan dari keseluruhannya.
Aaker (2004) juga mengatakan merek dapat dikatakan sebagai sebuah
janji seorang penjual atau perusahaan untuk konsisten memberikan nilai,
manfaat, fitur dan kinerja tertentu bagi pembelinya. Janji tersebut harus janji
yang benar dan harus ditepati kepada pembelinya sehingga merek yang
menjanjikan tersebut dapat memberikan semua hal yang dijanjikan, dan juga
memberikan nilai lebih dari janji tersebut. Hal ini sangat penting untuk
menjaga kepercayaan dan juga menjaga image dari suatu merek.
Definisi Brand menurut Bennett (2005, p256) adalah “a name, term,
sign, symbol, or any other feature that identifies one seller’s good or service as
distinct from those of the sellers”. (sebuah nama, istilah, tanda, simbol atau
ciri-ciri lain yang memperkenalkan barang atau jasa milik suatu penjual
sebagai pembeda dari milik penjual-penjual lainnya.)
Menurut Lamb (2001, p421) merek adalah suatu nama, istilah, tanda,
simbol, atau desain, atau kombinasi semuanya, yang mengidentifikasikan
produk para penjual dan membedakannya dari produk pesaing.
10
Menurut Simamora (2003, p504) “Brand (merek) adalah segala sesuatu
yang mengidentifikasi barang atau jasa penjual dan membedakannya dari
barang dan jasa lainnya. Merek dapat berupa sebuah kata, huruf-huruf,
sekelompok kata, simbol, desain, atau beberapa kombinasi di atas.”
Menurut Asosiasi Pemasaran Amerika mendefinisikan merek sebagai
sebuah nama, tanda, istilah, simbol, desain, atau kombinasi dari semuanya,
dengan tujuan untuk mengidentifikasi sebuah produk atau jasa dari seorang
penjual ataupun sekelompok penjual untuk membedakannya dari produk atau
jasa kompetitor lainnya (Kotler, 2003, p418).
Sedangkan dalam kamus kosakata interbrand - Charles Brymer (CEO of
Interbrand Schecter), mendefinisikan Brand secara lebih spesifik, yakni :
A mixture of attribute, tangible and intangible, symbolized in a trade
mark, which if managed properly, creates values and influence. (Interbrand
Group, 2003, Par 5). (suatu perpaduan dari atribut, nyata dan abstrak, yang
disimbolkan melalui sebuah nama dagang, yang apabila dikelola dengan tepat,
dapat menghasilkan nilai dan pengaruh.)
Shimp (2003:298) menyebutkan bahwa merek merupakan rancangan
unik perusahaan atau merek dagang (trademark) yang membedakan
penawarannya dari kategori produk pendatang lain.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa merek
adalah sesuatu hal yang membedakan produk atau jasa sebuah perusahaan
menjadi berbeda dengan produk atau jasa yang ditawarkan oleh pesaing. Yang
11
membedakan adalah dikarenakan nama, simbol, tanda, dan rancangan dari
setiap merek.
2.1.2 Tingkatan Pengertian Merek
Menurut Kotler (2005, p82) ada enam tingkatan arti dari sebuah merek,
yaitu:
1) Atribut (attributes): suatu merek mengingatkan atribut-atribut tertentu.
2) Manfaat (benefit): atribut-atribut harus diterjemahkan menjadi manfaat
fungsional dan emosional.
3) Nilai (value): merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
4) Budaya (culture): merek dapat mewakili atau melambangkan suatu budaya
tertentu.
5) Personal (personality): sebuah merek dapat mencerminkan kepribadian
tertentu.
6) Pemakai (user): merek tersebut menyiratkan jenis konsumen yang
membeli atau menggunakan produk tersebut.
Merek harus memiliki kualitas yang lebih sehingga suatu merek dapat
dikenal dan memiliki keunikan sendiri. Menurut Kotler (2003, p413), suatu
perusahaan dapat menentukan kebijakan mereknya perlu memperhatikan
kualitas dari merek itu sendiri. Adapun kualitas dari suatu merek sebagai
berikut :
1) Nama merek harus menunjukan manfaat produk tersebut
2) Nama merek harus menunjukan mutu suatu produk
12
3) Nama merek mudah diucapkan, dikenal dan diingat
4) Nama merek harus menjadi ciri khas yang dapat dibedakan
5) Nama merek tidak membawa arti yang kurang baik di lain negara atau
bahasa
2.1.3 Peranan dan Kegunaan Merek
Menurut Keller (2003, p20), merek bermanfaat bagi produsen dan
konsumen. Bagi produsen merek berperan penting sebagai :
1) Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan
produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian persediaan dan
pencatatan akuntansi.
2) Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik. Merek
bisa mendapat perlindungan seperti intelektual.
3) Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa
dengan mudah memilih dan membelinya lagi dilain waktu.
4) Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk
dari para pesaing.
5) Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum,
loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen.
6) Sumber financial return, terutama menyangkut pendapatan masa datang.
Bagi konsumen, merek bisa memberikan beraneka ragam nilai melalui
sejumlah fungsi dan manfaat potensial. Keller (2003, p21) mengemukakan 7
manfaat pokok merek bagi konsumen, yaitu sebagai:
13
1) Identifikasi sumber produk
2) Penetapan tanggung jawab pada pemanufaktur atau distributor tertentu
3) Pengurang resiko
4) Penekan biaya pencarian internal dan eksternal
5) Janji atau ikatan khusus dengan produsen
6) Alat simbolis yang memproyeksikan citra diri
7) Signal kualitas
Menurut Durianto, et.al. (2004, p2), peranan dan kegunaan merek
diantaranya adalah:
1) Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar
Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia
dan budaya.
2) Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen
Semakin kuat suatu merek, semakin kuat pula interaksinya dengan
konsumen dan semakin tampak asosiasi merek yang terbentuk dalam merek
tersebut. Jika asosiasi merek telah terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas
yang kuat, potensi ini meningkatkan citra merek (brand image).
3) Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen
Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen.
4) Merek memudahkan proses pengambilan keputusan konsumen
Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan
produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan
14
kualitas, keputusan, kebanggaan ataupun atribut lain yang merekat pada
merek tersebut.
2) Merek berkembang menjadi sebuah sumber aset terbesar bagi perusahaan
2.2 Ekuitas Merek (Brand Equity)
2.2.1 Pengertian Ekuitas Merek (Brand Equity)
Kotler dan Amstrong (2004) mendefinisikan ekuitas merek sebagai efek
pembeda positif dari respon konsumen atas suatu barang dan jasa sebagai
akibat dari pengetahuan konsumen atas nama merek dari barang dan jasa
tersebut.
Dalam perspektif pemasaran, salah satu definisi brand equity yang paling
banyak dikutip adalah definisi versi David A. Aaker yang menyatakan bahwa
brand equity adalah serangkaian aset dan kewajiban merek yang terkait dengan
sebuah merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai
yang diberikan sebuah produk atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan
perusahaan tersebut. Aset ekuitas merek pada umumnya menambah atau
mengurangi nilai bagi para konsumen. Aset-aset ini membentu mereka
menafsirkan, berproses dan menyimpan informasi dalam jumlah besar
mengenai produk dan merek. Ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa
percaya diri konsumen dalam mengambil kepastian pembelian, yang lebih
penting adalah kenyataan bahwa kesan kualitas dan asosiasi merek bisa
menguatkan keputusan konsumen dengan pengalaman menggunakannya.
15
Aaker menyiratkan bahwa brand equity bisa bernilai bagi perusahaan dan
bagi konsumen. Peran ekuitas merek dalam memberikan nilai atau manfaat
bagi konsumen antara lain:
1) Merek membantu konsumen dalam menafsirkan, memproses dan
menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut
2) Ekuitas merek dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam
pengambilan keputusan atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan
atau kedekatan, dan asosiasi dengan berbagai karakteristik merek.
3) Perceived quality dan brand association dapat mempertinggi tingkat
kepuasan konsumen.
Bagi perusahaan brand equity berperan sebagai :
1) Dapat menguatkan program, memikat konsumen baru atau merangkul
kembali konsumen lama
2) Memungkinkan margin yang lebih tinggi dan memungkinkan harga
optimum dan mengurangi ketergantungan pada promosi
3) Dapat memberikan landasan untuk pertumbuhan melalui perluasan merek
4) Ekuitas merek yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu
menciptakan loyalitas saluran distribusi
5) Dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan dengan
memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing
16
2.2.2 Lima Kategori Ekuitas Merek
Dalam model Aaker, brand equity diformulasikan dari sudut pandang
manajerial dan strategi korporat, meskipun landasan utamanya adalah prilaku
konsumen. Aaker menjabarkan aset merek yang berkontribusi pada penciptaan
brand equity kedalam lima dimensi, yaitu brand awareness, percieved quality,
brand associations, brand loyalty, dan other proprietary brand assets
(Tjiptono, 2005, p40-41)
Konsep ekuitas merek ini dapat ditampilkan pada gambar 2.1, yang
memperlihatkan kemampuan ekuitas merek dalam menciptakan nilai bagi
perusahaan atau pelanggan atas dasar lima kategori aset yang telah disebutkan.
Sumber : Aaker dalam Durianto, et.al. (2001)
Gambar 2.1 Konsep Brand Equity
brand awareness percieved quality
brand loyality
brand associations
other proprietary brand assets
BRAND EQUITY
Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat: • Interpretasi/proses informasi • Rasa percaya diri dalam
pembelian • Pencapaian kepuasan dari
pelanggan
Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat : • Efisiensi dan efektivitas program
pemasaran • Brand loyalty • Harga/laba • Perluasan merek • Peningkatan perdagangan • Keuntungan kompetitif
17
Menurut Aaker (dalam Durianto, et al, 2004, pp3-4) ekuitas merek dapat
dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu:
1) Kesadaran merek (brand awareness)
Kesanggupan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali
bahwa merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu.
Peran brand awareness dalam keseluruhan brand equity tergantung dari
sejauh mana tingkatan kesadaran yang dicapai oleh suatu merek. Tingkatan
kesadaran merek secara berurutan, dapat digambarkan sebagai piramida
seperti di bawah ini :
Puncak pikiran
(top of mind)
Pengingatan kembali merek (brand recall)
Pengenalan merek (brand recognition)
Tidak meyadari merek (brand unware)
Sumber : Aaker dalam Durianto, et. al. (2001)
Gambar 2.2 Piramida Brand Awareness
Penjelasan Mengenai Piramida Brand Awareness dari tingkat terendah
sampai tingkat tertinggi adalah :
(1) Tidak meyadari merek (brand unware)
Merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida kesadaran
merek, di mana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.
(2) Pengenalan merek (brand recognition)
18
Tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting pada saat
seseorang pembeli memilih suatu merek pada saat melakukan
pembelian.
(3) Brand recall (Pengingatan kembali terhadap merek)
Pengingatan kembali pada merek didasarkan terhadap permintaan
seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk.
Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena
berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk
memunculkan merek tersebut.
(4) Top of Mind ( Puncak Pikiran)
Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan
pengingatan dan ia dapat ,menyebutkan satu nama merek, maka merek
yang paling banyak disebutkan pertama sekali merupakan puncak
pikiran. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari
berbagai merek yang ada di dalam benak konsumen.
2) Asosiasi merek (brand association)
Segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi
ini merupakan atribut yang ada di dalam merek itu dan memiliki suatu
tingkat kekuatan. Asosiasi merek menjadi salah satu komponen yang
membentuk ekuitas merek. Hal ini disebabkan karena asosiasi merek dapat
membentuk image positif terhadap merek yang muncul, yang pada akhirnya
akan menciptakan perilaku positif konsumen.
19
Di sisi lain menurut Keller (2003 :52) bahwa asosiasi merek didorong pula
oleh identitas dari merek tersebut yang ingin dibangun oleh perusahaan.
Lebih lanjut disebutkan, asosiasi merek memiliki berbagai tipe sebagai
berikut :
(1) Atributes (Atribut), asosiasi yang dikaitkan terhadap atribut-atribut dari
merek tersebut, baik yang berhubungan langsung terhadap produknya
maupun yang tidak berhubungan langsung terhadap produknya. Seperti
harga (price), perasaan (feeling), pengalaman (experiences) dan
personalitas merek (brand Personality).
(2) Benefit (manfaat), asosiasi suatu merek dikaitkan dengan manfaat
fungsional (functional benefit), manfaat simbolik (symbolic benefit),
dari pemakaian dan pengalaman yang dirasakan oleh pengguna
(experiental benefit).
(3) Attitudes (sikap), asosiasi yang muncul dikarenakan motivasi diri
sendiri yang merupan sikap dari berbagi sumber, seperti punishment,
reward dan ilmu pengetahuan (knowledge). patents, trade mark, dan
lain sebagainya.
3) Persepsi kualitas (perceived quality)
Persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu
produk atau jasa layanan yang berkaitan dengan apa yang diharapkan
pelanggan.
4) Loyalitas merek (brand loyalty)
20
Loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada
sebuah merek. Loyalitas merek merupakan inti dari Brand Equity yang
menjadi gagasan sentral dalam pemasaran, karena hal ini merupakan suatu
ukuran keterkaitan seseorang pelanggan pada sebuah merek.
5) Aset-aset merek lainnya (other proprietary brand assets)
Ekuitas merek dapat memberikan nilai, baik bagi perusahaan maupun bagi
konsumen.
2.2.3 Peran Ekuitas Merek
Menurut Durianto, et.al. (2004, p6), ekuitas merek mempunyai peranan
kepada konsumen dan perusahaan. Peran ekuitas merek bagi konsumen
diantaranya adalah:
1) Aset (nama, simbol) yang dikandungnya dapat membantu dalam
menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait dengan
produk dan merek tersebut.
2) Ekuitas merek dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam
pengambilan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam
penggunaan atau kedekatan, asosiasi dengan berbagai karakteristik merek.
3) Dalam kenyataannya, persepsi kualitas dan asosiasi merek dapat
mempertinggi tingkat kepuasan konsumen.
Peran ekuitas merek bagi perusahaan, antara lain sebagai berikut:
1) Ekuitas merek yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan program dalam
memikat konsumen baru atau mempertahankan konsumen lama. Promosi
21
yang dilakukan akan lebih efektif jika merek dikenal. Ekuitas merek yang
kuat dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek.
2) Ekuitas merek yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan
dan perluasan merek kepada produk lainnya atau menciptakan bidang bisnis
baru yang terkait yang biayanya akan jauh lebih mahal untuk dimasuki
tanpa merek yang memiliki ekuitas merek tersebut.
3) Ekuitas merek yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu
menciptakan loyalitas saluran distribusi.
2.2.4 Pengertian Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Menurut (Giddens, 2002) ”Brand loyalty adalah pilihan yang dilakukan
konsumen untuk membeli merek tertentu dibandingkan merek yang lain dalam
satu kategori produk.”
Schiffman & Kanuk (2004) mendefinisikan ”Brand loyalty sebagai
preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian pada merek
yang sama pada produk yang spesifik atau kategori pelayanan tertentu.”
Menurut Aaker dalam Durianto, et.al. (2004, p126) “Brand loyalty adalah
suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada suatu merek.” Ukuran ini mampu
memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke
merek produk lain. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek
tidak akan dengan mudah memindahkan suatu pembeliannya ke merek lain,
apa pun yang terjadi dengan merek tersebut. Bila persepsi konsumen terhadap
22
merek meningkat, kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan
serangan merek produk pesaing dapat dikurangi.
2.2.5 Tingkatan-Tingkatan Brand Loyalty
Menurut Aaker dalam Durianto, et.al. (2004, p128), tingkatan-tingkatan
yang terdapat dalam loyalitas merek adalah sebagai berikut:
1) Berpindah-pindah (switcher)
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai
pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin sering
pembelian konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain
mengindikasikan bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap
memadai. Dalam hal ini, merek memegang peranan kecil dalam keputusan
pembelian. Ciri yang jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu
merek karena harganya murah.
2) Pembeli yang bersifat kebiasaan (habitual buyer)
Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan
merek produk yang dikonsumsinya. Tidak ada alasan yang kuat baginya
untuk membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika
peralihan itu membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Dapat
disimpulkan bahwa pembeli ini membeli suatu merek karena kebiasaan.
3) Pembeli yang puas karena biaya peralihan (satisfied buyer)
Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk ke dalam kategori puas bila
mereka mengonsumsi merek tersebut.
23
4) Menyukai merek (liking the brand)
Pembeli dalam kategori ini adalah pembeli yang benar-benar menyukai
merek tersebut. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait
dengan merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh asosiasi yang
terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan
sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang
disebabkan oleh karena persepsi kualitas yang tinggi.
5) Pembeli yang komit (comitted buyer)
Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki
suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut
menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun
sebagai suatu ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Pada tingkatan
ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditujukan oleh tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.
Comitted buyer
Liking the brand
Satisfied buyer
Habitual buyer
Switcher
Sumber : Aaker dalam Durianto, et.al. (2004:130)
Gambar 2.3 Piramida Brand Loyalty
24
Dari piramida loyalitas diatas terlihat bahwa bagi merek yang belum
memiliki brand equity yang kuat, porsi tersebut dari konsumennya berada
pada tingkatan switcher hingga porsi terbesar, di tempati oleh commited buyer.
Meskipun demikian bagi merek yang memiliki brand equity yang kuat,
tingkatan dalam brand loyalty-nya diharapkan membentuk segitiga terbalik,
maksudnya makin ke atas makin melebar sehingga diperoleh jumlah commited
buyer yang lebih besar dari pada switcher.
Menurut Giddens (2002) konsumen yang loyal terhadap suatu merek
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memiliki komitmen pada merek tersebut
2) Berani membayar lebih pada merek tersebut bila dibandingkan dengan
merek yang lain
3) Akan merekomendasikan merek tersebut pada orang lain
4) Dalam melakukan pembelian kembali produk tersebut tidak melakukan
pertimbangan
5) Selalu mengikuti informasi yang berkaitan dengan merek tersebut
6) Mereka dapat menjadi semacam juru bicara dari merek tersebut dan mereka
selalu mengembangkan hubungan dengan merek tersebut
2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Brand Loyalty
Schiffman & Kanuk (2004) menyebutkan faktor-faktor yang
memengaruhi terbentuk atau terciptanya brand loyalty adalah:
25
1) Penerimaan keunggulan produk (perceived product superiority)
2) Keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap merek tersebut (personal
fortitude)
3) Keterikatan dengan produk atau perusahaan (bonding with the product or
company)
4) Kepuasan yang diperoleh konsumen
Serta, menurut Subroto dalam majalah SWA 02/XXI/19 Januari–2
Februari 2005 menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan pelanggan
loyal pada merek yang digunakannya, yaitu:
1) Nilai merek (brand value)
Yaitu dimana pelanggan menilai merek secara relatif dibanding kompetitor
dari tiga hal, yakni harga (economic price), kualitas, dan citra merek itu
dibandingkan merek lain. Faktor itu sangat penting karena akan menghitung
nilai ekonomi yang dikorbankan konsumen dalam mengakuisisi merek
tertentu dibanding kualitas yang diterima, serta persepsi mereka terhadap
citra merek itu dibanding merek lain.
2) Karakteristik pelanggan
Faktor ini berhubungan dengan karakter konsumen dalam menggunakan
merek. Jika konsumennya memiliki karakter yang setia terhadap suatu
merek maka konsumen tersebut tidak akan beralih ke merek lain.
3) Switching barrier
26
Yakni hambatan yang muncul ketika konsumen akan pindah dari satu merek
ke merek lain. Hambatan ini tidak selalu economic value, tetapi bisa juga
berkaitan dengan fungsi, psikologis, sosial, bahkan ritual.
4) Pengalaman pelanggan.
Pengalaman pelanggan ketika melakukan kontak dengan merek yang
digunakannya. Peran kepuasan pelanggan (customer satisfaction), dengan
harapan bahwa semakin puas pelanggan, semakin tinggi kemungkinan
mereka tidak pindah ke merek lain.
5) Lingkungan yang kompetitif (competitive environment).
Faktor ini menyangkut sejauh mana kompetisi yang terjadi antar merek
dalam satu kategori produk.
2.2.7 Fungsi Brand Loyalty
Menurut Durianto, et.al. (2004, p21), beberapa potensi yang dapat
diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan adalah:
1) Mengurangi biaya pemasaran
Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih mudah
mempertahankan pelanggan dibanding dengan upaya mendapatkan
pelanggan baru. Jadi, biaya pemasaran akan mengecil jika loyalitas merek
meningkat. Ciri yang paling terlihat dari jenis pelanggan ini adalah mereka
membeli suatu produk karena harganya murah.
2) Meningkatkan perdagangan
27
Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan meningkatkan perdagangan
dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Dapat disimpulkan bahwa
pembeli dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka
selama ini.
3) Menarik minat pelanggan baru
Dengan banyaknya pelanggan baru yang merasa puas dan suka pada merek
tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon pelanggan untuk
mengkonsumsi merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka
lakukan mengandung resiko tinggi. Di samping itu, pelanggan yang puas
umumnya akan merekomendasikan merek tersebut kepada orang yang dekat
dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru.
4) Memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan
Jika salah satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelanggan
yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersebut untuk
memperbaharui produknya dengan cara menyesuaikan atau
menetralisasikannya.
2.2.8 Keuntungan Brand Loyalty
Menurut Reichfield (dalam Gommans, et.al., 2001) keuntungan yang
diperoleh oleh suatu merek yang memiliki pelanggan yang loyal adalah:
1) Dapat mempertahankan harga secara optimal
2) Memiliki posisi tawar menawar yang kuat dalam saluran distribusi
3) Mengurangi biaya penjualan
28
4) Memiliki penghalang yang kuat terhadap produk-produk baru yang memiliki
potensi yang besar untuk masuk dalam kategori produk atau layanan yang
dimiliki oleh merek tersebut
5) Keuntungan sinergis yang diperoleh dari brand extension yang berhubungan
dengan kategori produk atau pelayanan dari merek tersebut
Giddens (2002) juga menambahkan dengan adanya loyalitas merek maka
dapat meningkatkan:
1) Volume penjualan
Dengan adanya loyalitas merek, maka kehilangan konsumen dapat
dikurangi. Dengan adanya pengurangan kehilangan konsumen, maka akan
meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan penjualan.
2) Kemampuan perusahaan untuk menetapkan harga yang optimal
Karena konsumen yang memiliki loyalitas merek kurang sensitif pada
perubahan harga.
3) Konsumen dengan loyalitas merek akan selalu mencari merek favoritnya
dan kurang sensitif pada promosi yang kompetitif
4) Dengan adanya loyalitas merek di kalangan pelanggan, maka perusahaan
dapat mengurangi biaya promosi produknya karena konsumen tetap akan
mencari merek yang disukainya.
2.3 Ekuitas Merek Berbasis Pelanggan (Customer-Based Brand Equity)
Sementara itu model Keller lebih berfokus pada perspektif perilaku
konsumen. Ia mengembangkan model ekuitas merek berbasis pelanggan (CBBE :
29
Customer-Based Brand Equity). Asumsi pokok model ini menekankan bahwa
kekuatan sebuah merek terletak apa yang dipelajari, dirasakan, dilihat dan
didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai hasil pengalamannya
sepanjang waktu (Keller, 2007).
Berdasarkan model ini, sebuah merek dikatakan memiliki customer-based
brand equity positif apabila pelanggan bereaksi lebih positif terhadap sebuah
produk dan cara produk tersebut dipasarkan manakala mereknya diidentifikasi,
dibandingkan bila nama mereknya tidak teridentifikasi. Brand equity baru
terbentuk jika pelanggan mempunyai tingkat awareness dan familiaritas yang
tinggi terhadap sebuah merek dan memiliki asosiasi merek yang kuat, positif dan
unik dalam memorinya. Jika suatu brand memiliki CBBE yang tinggi dapat
memberikan banyak keuntungan dan manfaat seperti meningkatkan loyalitas
konsumen terhadap kenaikan harga, lebih sensitifnya mereka terhadap penurunan
harga, dan sebagainya.
Keller mengajukan proses empat langkah dalam membangun merek, yakni :
menyusun identitas merek yang tepat, menciptakan makna merek yang sesuai,
menstimulasi respon merek yang diharapkan, dan menjalin relasi merek yang
tepat bagi pelanggan. Dengan kata lain, keempat langkah ini mencerminkan empat
pertanyaan fundamental :
1) Who are you ? (identitas merek)
2) What are you ? (makna merek)
3) What about you, what do I think or feel about you ? (respon merek)
30
4) What about you and me ? what kind association and how much of a connection
would I like to have with you ? (relasi merek)
Proses implementasi keempat tahap ini membutuhkan enam brand building
blocks utama, yaitu brand salience, brand performance, brand imagery, brand
judgments, brand feelings dan brand resonance.
1) Brand salience, berkenaan dengan aspek-aspek awareness sebuah merek,
seperti seberapa sering dan mudahkah merek diingat dan dikenali dalam
berbagai situasi. Faktor ini menyangkut seberapa bagus elemen merek
menjalankan fungsinya sebagai pengidentifikasi produk. Brand awareness
bukan sekadar menyangkut apakah konsumen mengetahui nama merek dan
pernah melihatnya, namun berkaitan pula dengan mengkaitkan merek (nama
merek, logo, simbol, dan seterusnya) dengan asosiasi-asosiasi tertentu.
2) Brand performance, berkenaan dengan kemampuan produk dan jasa dalam
memenuhi kebutuhan fungsional konsumen. Secara garis besar ada lima atribut
dan manfaat pokok yang mendasari kinerja merek, yaitu : (1) Unsur primer dan
fitur suplemen, (2) Reliabilitas, durabilitas, dan serviceability produk, (3)
Efektivitas, efisiensi, dan empati layanan, (4) Model dan desain, dan (5) Harga.
Pada hakikatnya, kinerja merek mencerminkan intrinsic properties merek
dalam hal karakteristik inheren (bawaan) sebuah produk atau jasa.
3) Brand imagery, menyangkut extrinsic properties produk atau jasa, yaitu
kemampuan merek dalam memenuhi kebutuhan psikologis atau sosial
pelanggan. Brand imagery bisa terbentuk secara langsung dan tak langsung.
Empat kategori brand imagery meliputi :
31
1) Profil pemakai, baik berdasarkan faktor demografi deskriptif (seperti usia,
gender, ras, pendapatan) maupun psikografis abstrak (seperti sikap
terhadap hidup, karir, kepemilikan, isu sosial atau institusi politik)
(2) Situasi pembelian (berdasarkan tipe saluran distribusi, toko spesifik,
kemudahan pembelian, dan sejenisnya) dan situasi pemakaian (kapan dan
dimana merek digunakan)
(3) Kepribadian dan nilai-nilai
(4) Sejarah, warisan (heritage), dan pengalaman
4) Brand judgments, berfokus pada pendapat dan evaluasi personal konsumen
terhadap merek dan asosiasi citra yang dipersepsikannya. Aspek brand
judgments meliputi :
1. Brand quality, yakni persepsi konsumen terhadap nilai dan kepuasan yang
dirasakannya.
2. Brand credibility, yaitu seberapa jauh sebuah merek dinilai kredibel dalam
hal expertise (kompeten, inovatif, pemimpin pasar), trustworthiness (bisa
diandalkan, selalu mengutamakan kepentingan pelanggan), dan likeability
(menarik, memang layak untuk dipilih dan digunakan).
3. Brand consideration, yaitu sejauh mana sebuah merek dipertimbangkan
untuk dibeli atau digunakan oleh konsumen.
4. Brand superiority, yakni sejauh mana konsumen menilai merek
bersangkutan unik dan lebih baik dibanding dengan merek-merek lain.
32
5) Brand feelings, yaitu respon dan reaksi emosional konsumen terhadap merek.
Reaksi semacam ini bisa berupa perasaan warmth, fun, excitement, security,
social approval, dan self-respect.
6) Brand resonance, mengacu pada karakteristik relasi yang dirasakan pelanggan
terhadap merek spesifik. Resonansi tercermin pada intensitas atau kekuatan
ikatan psikologis antara pelanggan dan merek, serta tingkat aktivitas yang
ditimbulkan loyalitas tersebut (misalnya, tingkat pembelian ulang, usaha dan
waktu yang dicurahkan untuk mencari informasi merek, dan seterusnya).
Secara khusus, resonansi meliputi loyalitas behavioral (share of category
requirements), loyalitas attitudinal, sense of community (identifikasi dengan
brand community), dan keterlibatan aktif (berperan sebagai brand evangelists
dan brand ambassadors).
Resonance
Judgments Feelings
Performance Imagery
Salience
Sumber : Keller (2001, p17)
Gambar 2.4 Customer-Based Brand Equity Pyramid
4. Relationship What about you and me?
3. Response What about you?
2. Meaning What are you?
1. Identity Who are you
33
Model Aaker dan Keller memiliki kesamaan prinsip, yaitu bahwa brand
equity mencerminkan nilai tambah yang didapatkan sebuah produk sebagai hasil
investasi pemasaran sebelumnya pada merek bersangkutan.
2.4 Keputusan Pembelian
2.4.1 Pengertian Keputusan Pembelian
Setiap konsumen melakukan berbagai macam keputusan tentang
pencarian, pembelian, penggunaan beragam bentuk, dan merek pada setiap
periode tertentu. Menurut Schiffman & Kanuk (2004, p347), “Keputusan
adalah pilihan diantara alternatif tindakan yang ada.” Menurut Schermerchon
(2002, p72), “Keputusan adalah penyeleksian dari pilihan-pilihan dua atau
lebih alternatif.”
Maka dapat disimpulkan oleh Schiffman & Kanuk (2004, p289)
mendefinisikan suatu keputusan adalah sebagai pemilihan suatu tindakan dari
dua atau lebih pilihan alternatif. Seorang konsumen yang hendak melakukan
pilihan, maka ia harus memilih pilihan alternatif. Jika konsumen tidak memilih
pilihan alternatif, maka hal tersebut merupakan bukan situasi konsumen
melakukan keputusan. Suatu keputusan tanpa pilihan tersebut, maka disebut
sebagai sebuah hobson’s choice.
Sedangkan menurut Kotler & Amstrong (2004:227) mengemukakan
bahwa “keputusan pembelian adalah tahap proses keputusan dimana konsumen
secara aktual melakukan pembelian produk”.
34
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
keputusan pembelian merupakan tindakan atau keputusan dari beberapa
alternatif yang kemudian dipilih salah satu atau lebih untuk dibeli.
Proses kunci di dalam pembuatan keputusan konsumen ialah proses
integrasi dengan mana pengetahuan dikombinasikan untuk mengevaluasi dua
atau lebih alternatif perilaku, kemudian pilih salah satu. Hasil dari proses
integrasi adalah suatu pilihan, secara kognitif terwakili sebagai intensi perilaku.
Intensi perilaku disebut rencana keputusan (Supranto dan Limakrisna, 2007,
p211).
Berdasarkan faktor yang dipertimbangkan, menurut Hawkins et al. dalam
Simamora (2003, p8), pengambilan keputusan pembelian dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
1) Pengambilan keputusan berdasarkan atribut produk (atribute based
choice). Pengambilan keputusan ini memerlukan pengetahuan tentang
apa atribut suatu produk dan bagaimana kualitas atribut tersebut.
Asumsinya, keputusan diambil secara rasional dengan mengevaluasi
atribut-atribut yang dipertimbangkan.
2) Pengambilan keputusan berdasarkan sikap (attitude based choice).
Pengambilan keputusan ini diambil berdasarkan kesan umum, intuisi,
maupun perasaan. Pengambilan keputusan seperti ini bisa terjadi pada
produk yang belum dikenal atau tidak sempat dievaluasi oleh
konsumen.
35
Peter & Donnely (2007, p41) mengemukakan bahwa pengambilan
keputusan konsumen itu disebabkan oleh beberapa pengaruh yaitu :
1) Pengaruh sosial (Social influences)
Dalam perilaku konsumen, budaya, kelas sosial, dan grup referensi dapat
mempengaruhi keputusan pembelian dan konsumsi. Yang dapat
mempengaruhi proses pembelian baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Secara langsung, melalui komunikasi langsung antara individu
dan anggota sosial lain tentang keputusan tertentu. Secara tidak langsung,
melalui pengaruh sosial pada nilai dasar individu dan sikap yang berperan
penting bahwa grup bermain dalam struktur personal individu.
2) Pengaruh pemasaran (Marketing influences)
Strategi-strategi pemasaran yang sering didesain untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan konsumen dan menentukan pertukaran keuntungan.
Setiap elemen dari bauran pemasaran (produk, harga, promosi, dan
distribusi) dapat mempengaruhi konsumen dalam berbagai cara.
3) Pengaruh situasional (Situational influences)
Pengaruh situasional dapat didefinisikan sebagai semua faktor tertentu pada
suatu waktu dan tempat dari pengamatan yang mampu dibuktikan dan
sistematik mempengaruhi perilaku saat ini. Dalam situasi pembelian, ada
lima kelompok pengaruh situasional yang teridentifikasi, yakni fitur fisik,
fitur sosial, waktu, fitur tugas, dan kondisi saat ini. Pengaruh ini
dipersepsikan secara sadar dan mungkin telah cukup berefek pada pemilihan
merek dan produk.
36
4) Pengaruh psikologis (Psychological influences)
Informasi dari pengaruh sosial, pemasaran, dan situational mempengaruhi
apa yang konsumen pikirkan dan raskan tentang produk dan merek tertentu.
Bahwa, terdapat faktor psikologis yang mempengaruhi bagaimana informasi
diinterpretasikan dan digunakan dan bagaimana itu berdampak pada proses
pengambilan keputusan konsumen. Ada dua hal penting dalam faktor
psikologis yaitu pengetahuan produk (product knowledge) dan keterlibatan
produk (product involvement). Pengetahuan produk yang mengacu pada
seberapa banyak informasi yang ada dalam ingatan seorang konsumen
tentang kelas-kelas produk tertentu, bentuk produk, merek, model, dan cara
membeli produk tersebut. Sedangkan, keterlibatan produk mengacu pada
persepsi seorang konsumen pentingnya atau relevansi personal dari sebuah
produk.
Gambaran pengaruh pada proses pengambilan keputusan konsumen
dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut:
Sumber : Peter & Donnely (2007, p41)
Gambar 2.5 Gambaran Proses Pembelian
Social influences Marketing influences
Psychological influences
Consumer decision making
Situational influences
37
2.4.2 Peran dalam Keputusan Pembelian
Peran keputusan pembelian merupakan hal yang penting bagi pembeli
dan penjual (perusahaan) itu sendiri. Bagi perusahaan adalah penting untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian, namun
terdapat hal lain yang harus juga diperhatikan perusahaan, yaitu pemegang
peranan dalam pembelian dan keputusan untuk membeli. Terdapat lima peran
yang terjadi dalam keputusan pembelian yang dijelaskan oleh Simamora (2004,
p15) yakni:
1) Pemrakarsa (initiator): orang yang pertama kali menyarankan membeli
suatu produk atau jasa tertentu.
2) Pemberi pengaruh (influencer): orang yang pandangan/nasehatnya memberi
bobot dalam pengambilan keputusan terakhir.
3) Pengambil keputusan (decider): orang yang sangat menentukan sebagian
atau keseluruhan keputusan pembelian, apakah membeli, apa yang dibeli,
kapan hendak membeli, dengan bagaimana cara membeli, dan dimana akan
membeli.
4) Pembeli (buyer): orang yang melakukan pembelian nyata.
5) Pemakai (user): orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau
jasa.
2.4.3 Perilaku Pembelian
Menurut Asosiasi pemasaran Amerika (Peter, J. Paul & Olson, Jerry C.,
2005) menyatakan bahwa definisi perilaku konsumen sebagai interaksi yang
38
dinamis antara rasa ingin tahu dan rasa suka, tingkah laku, dan lingkungan
yang akan mempengaruhi perubahan aspek-aspek dalam kehidupan seseorang.
Dengan kata lain, perilaku konsumen meliputi pengalaman yang dirasakan
maupun pemikiran seseorang dan tingkah laku yang ditunjukkan dalam proses
konsumsi.
Perilaku Konsumen menurut Schiffman & Kanuk (2004, p8) adalah
perilaku yang ditunjukkan konsumen dalam pencarian akan pembelian,
penggunaan, pengevaluasian, dan penggantian produk dan jasa yang
diharapkan dapat memuaskan kebutuhan konsumen.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah :
1) Faktor Sosial
a) Group
Sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak grup kecil.
Kelompok dimana orang tersebut berada yang mempunyai pengaruh
langsung disebut membership group. Membership group terdiri dari dua,
meliputi primary groups (keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja) dan
secondary group yang lebih formal dan memiliki interaksi rutin yang
sedikit (kelompok keagamaan, perkumpulan profesional dan serikat
dagang). (Kotler, Bowen, Makens, 2003, pp. 203-204).
b) Family Influence
Keluarga memberikan pengaruh yang besar dalam perilaku pembelian.
Para pelaku pasar telah memeriksa peran dan pengaruh suami, istri, dan
anak dalam pembelian produk dan servis yang berbeda. Anak-anak
39
sebagai contoh, memberikan pengaruh yang besar dalam keputusan yang
melibatkan pemilihan restoran fast food. (Kotler, Bowen, Makens, 2003,
p.204).
c) Roles and Status
Seseorang memiliki beberapa kelompok seperti keluarga, perkumpulan-
perkumpulan, organisasi. Sebuah role terdiri dari aktivitas yang
diharapkan pada seseorang untuk dilakukan sesuai dengan orang-orang di
sekitarnya. Tiap peran membawa sebuah status yang merefleksikan
penghargaan umum yang diberikan oleh masyarakat (Kotler &
Amstrong, 2006, p.135).
2) Faktor Personal
a) Economic Situation
Keadaan ekonomi seseorang akan mempengaruhi pilihan produk,
contohnya rolex diposisikan konsumen kelas atas sedangkan timex
dimaksudkan untuk konsumen menengah. Situasi ekonomi seseorang
amat sangat mempengaruhi pemilihan produk dan keputusan pembelian
pada suatu produk tertentu (Kotler & Amstrong, 2006, p.137).
b) Lifestyle
Pola kehidupan seseorang yang diekspresikan dalam aktivitas,
ketertarikan, dan opini orang tersebut. Orang-orang yang datang dari
kebudayaan, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama mungkin saja
mempunyai gaya hidup yang berbeda (Kotler & Amstrong, 2006, p.138)
c) Personality and Self Concept
40
Personality adalah karakteristik unik dari psikologi yang memimpin
kepada kestabilan dan respon terus menerus terhadap lingkungan orang
itu sendiri, contohnya orang yang percaya diri, dominan, suka
bersosialisasi, otonomi, defensif, mudah beradaptasi, agresif (Kotler &
Amstrong, 2006, p.140). Tiap orang memiliki gambaran diri yang
kompleks, dan perilaku seseorang cenderung konsisten dengan konsep
diri tersebut (Kotler, Bowen, Makens, 2003, p.212).
d) Age and Life Cycle Stage
Orang-orang merubah barang dan jasa yang dibeli seiring dengan siklus
kehidupannya. Rasa makanan, baju-baju, perabot, dan rekreasi seringkali
berhubungan dengan umur, membeli juga dibentuk oleh family life cycle.
Faktor-faktor penting yang berhubungan dengan umur sering
diperhatikan oleh para pelaku pasar. Ini mungkin dikarenakan oleh
perbedaan yang besar dalam umur antara orang-orang yang menentukan
strategi marketing dan orang-orang yang membeli produk atau servis.
(Kotler, Bowen, Makens, 2003, pp.205-206)
e) Occupation
Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibeli.
Contohnya, pekerja konstruksi sering membeli makan siang dari catering
yang datang ke tempat kerja. Bisnis eksekutif, membeli makan siang dari
full service restoran, sedangkan pekerja kantor membawa makan
siangnya dari rumah atau membeli dari restoran cepat saji terdekat
(Kotler, Bowen, Makens, 2003, p. 207).
41
3) Faktor Psychological
a) Motivation
Kebutuhan yang mendesak untuk mengarahkan seseorang untuk mencari
kepuasan dari kebutuhan. Berdasarkan teori Maslow, seseorang
dikendalikan oleh suatu kebutuhan pada suatu waktu. Kebutuhan
manusia diatur menurut sebuah hierarki, dari yang paling mendesak
sampai paling tidak mendesak (kebutuhan psikologikal, keamanan,
sosial, harga diri, pengaktualisasian diri). Ketika kebutuhan yang paling
mendesak itu sudah terpuaskan, kebutuhan tersebut berhenti menjadi
motivator, dan orang tersebut akan kemudian mencoba untuk memuaskan
kebutuhan paling penting berikutnya (Kotler, Bowen, Makens, 2003,
p.214).
b) Perception
Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengorganisasi, dan
menerjemahkan informasi untuk membentuk sebuah gambaran yang
berarti dari dunia. Orang dapat membentuk berbagai macam persepsi
yang berbeda dari rangsangan yang sama (Kotler, Bowen, Makens, 2003,
p.215).
c) Learning
Pembelajaran adalah suatu proses, yang selalu berkembang dan berubah
sebagai hasil dari informasi terbaru yang diterima (mungkin didapatkan
dari membaca, diskusi, observasi, berpikir) atau dari pengalaman
sesungguhnya, baik informasi terbaru yang diterima maupun pengalaman
42
pribadi bertindak sebagai feedback bagi individu dan menyediakan dasar
bagi perilaku masa depan dalam situasi yang sama (Schiffman, Kanuk,
2004, p.207).
d) Beliefs and Attitude
Beliefs adalah pemikiran deskriptif bahwa seseorang mempercayai
sesuatu. Beliefs dapat didasarkan pada pengetahuan asli, opini, dan iman
(Kotler, Amstrong, 2006, p.144). Sedangkan attitudes adalah evaluasi,
perasaan suka atau tidak suka, dan kecenderungan yang relatif konsisten
dari seseorang pada sebuah obyek atau ide (Kotler & Amstrong, 2006,
p.145).
4) Faktor Cultural
Nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang dipelajari seseorang
melalui keluarga dan lembaga penting lainnya (Kotler & Amstrong, 2006,
p.129). Penentu paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Culture,
mengkompromikan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang
dipelajari seseorang secara terus-menerus dalam sebuah lingkungan.
(Kotler, Bowen, Makens, 2003, pp.201-202).
a) Subculture
Sekelompok orang yang berbagi sistem nilai berdasarkan persamaan
pengalaman hidup dan keadaan, seperti kebangsaan, agama, dan daerah
(Kotler & Amstrong, 2006, p.130). Meskipun konsumen pada negara
yang berbeda mempunyai suatu kesamaan, nilai, sikap, dan perilakunya
43
seringkali berbeda secara dramatis. (Kotler, Bowen, Makens, 2003,
p.202).
b) Social Class
Pengelompokkan individu berdasarkan kesamaan nilai, minat, dan
perilaku. Kelompok sosial tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja
misalnya pendapatan, tetapi ditentukan juga oleh pekerjaan, pendidikan,
kekayaan, dan lainnya (Kotler & Amstrong, 2006, p.132).
Pengambilan keputusan konsumen berbeda-beda, tergantung pada jenis
keputusan pembelian. Ahli pemasaran Henry Assael, membedakan empat jenis
perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembelian dan
tingkat perbedaan antar merek yang dikutip dari Kotler & Amstrong (2010,
p176) sebagai berikut:
1) Perilaku pembelian yang rumit
Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang rumit bila mereka sangat
terlibat dalam pembelian dan sadar akan adanya perbedaan besar antar
merek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi bila produknya
mahal, jarang dibeli, berisiko, dan sangat mengekspresikan diri, seperti
mobil.
2) Perilaku pembelian pengurang ketidaknyamanan
Dalam kasus ini konsumen akan berbelanja dengan berkeliling untuk
mempelajari merek yang tersedia. Jika konsumen menemukan perbedaan
mutu antar merek, mungkin mereka akan memilih harga yang lebih tinggi.
Jika konsumen menemukan perbedaan kecil, mereka mungkin akan
44
membeli, semata-mata berdasarkan harga dan kenyamanan. Setelah
pembelian tersebut, konsumen mungkin mengalami ketidaknyamanan yang
muncul karena adanya fitur yang tidak mengenakkan atau mendengar kabar
yang menyenangkan tentang merek lain. Disini fungsi pemasar sangat
diperlukan untuk meyakinkan konsumen agar konsumen merasa yakin dan
benar dengan pilihannya.
3) Perilaku pembelian karena kebiasaan
Banyak produk yang dibeli pada kondisi rendahnya keterlibatan konsumen
dan tidak adanya perbedaan antar merek yang signifikan.
4) Perilaku pembelian yang mencari variasi
Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang
rendah tetapi perbedaan antar merek yang signifikan. Dalam situasi ini,
konsumen sering melakukan peralihan merek. Peran pemasar sangat
diperlukan, untuk mencari tahu sesuatu yang berbeda dari produk lain yang
diinginkan oleh para konsumen.
Empat jenis perilaku pembelian ini dapat di lihat dalam tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Empat Jenis Perilaku Pembeli
Keterlibatan Tinggi Keterlibatan Rendah
Perbedaan Besar antar
Merek
Perilaku pembelian yang rumit Perilaku pembelian yang
mencari variasi
Perbedaan Kecil Antar
Merek
Perilaku pembelian yang
mengurangi ketidaknyamanan
Perilaku pembelian yang
rutin/biasa
Sumber : Kotler & Amstrong (2010, p176)
45
2.4.4 Tahap-Tahap Proses Pengambilan Keputusan
Menurut Schiffman & Kanuk (2004, p.547), keputusan untuk membeli
dapat mengarah kepada bagaimana proses dalam pengambilan keputusan
tersebut itu dilakukan. Bentuk proses pengambilan keputusan tersebut dapat
digolongkan sebagai berikut:
1) Fully Planned Purchase, baik produk dan merek sudah dipilih
sebelumnya. Biasanya terjadi ketika keterlibatan dengan produk tinggi
(barang otomotif) namun bisa juga terjadi dengan keterlibatan pembelian
yang rendah (kebutuhan rumah tangga). Planned purchase dapat dialihkan
dengan taktik marketing misalnya pengurangan harga, kupon, atau
aktivitas promosi lainnya.
2) Partially Planned Purchase, bermaksud untuk membeli produk yang
sudah ada tetapi pemilihan merek ditunda sampai saat pembelajaran.
Keputusan akhir dapat dipengaruhi oleh harga diskon, atau display produk.
3) Unplanned Purchase, baik produk dan merek dipilih di tempat pembelian.
Konsumen sering memanfaatkan katalog dan produk pajangan sebagai
pengganti daftar belanja. Dengan kata lain, sebuah pajangan dapat
mengingatkan sesorang akan kebutuhan dan memicu pembelian.
Menurut Kotler & Amstrong (2010, p178) ada lima tahap dalam proses
pembelian konsumen yaitu:
1) Pengenalan masalah
46
Proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali sebuah masalah atau
kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal
atau eksternal.
2) Pencarian informasi
Konsumen yang tergugah kebutuhannya, akan terdorong untuk mencari
informasi yang lebih banyak. Tantangan bagi marketer adalah mengenali
sumber informasi yang paling berpengaruh.
3) Evaluasi alternatif
Mengevaluasi berbagai alternatif yang ada dalam konteks kepercayaan
utama tentang konsekuensi yang relevan dan mengkombinasikan
pengetahuan tersebut untuk membuat keputusan.
4) Keputusan pembelian
Calon pembeli menentukan apa dan dimana produk pilihan mereka akan
dibeli. Marketer harus menyediakan jalan paling mudah bagi calon pembeli
untuk mendapatkan produk yang mereka inginkan. Misalnya, produk sudah
disalurkan hingga ke pengecer-pengecer kecil sekalipun sehingga dapat
menjangkau para calon pelanggan.
5) Perilaku pasca pembelian
Dalam perilaku pasca pembelian, hanya ada tiga kemungkinan, yaitu:
- Performa produk/jasa sama dengan ekspektasi.
- Performa produk/jasa lebih rendah dari ekspektasi.
- Performa produk/jasa lebih tinggi dari ekspektasi.
47
Proses pembelian dimulai jauh sebelum pembelian aktual dilakukan dan
memiliki dampak yang lama setelah itu. Proses tersebut dapat dipahami
melalui gambar 2.6 berikut :
Sumber : Kotler & Amstrong (2010, p177)
Gambar 2.6 Tahap Proses Pengambilan Keputusan
Menurut Comegys, et.al. (2006, p337) mengemukakan bahwa model
lima tahapan proses keputusan pembelian adalah sebuah alat yang berguna bagi
para pemasar untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
pelanggan dan perilaku pelanggan tersebut. Ide dari model adalah ketika
seorang pelanggan membeli sebuah item, peristiwa pembelian adalah sebuah
proses pergerakan ke depan, yang mana jauh dimulai sebelum pembelian
aktual dan kelanjutannya bahkan setelah pembelian dilakukan.
Menurut Ma’ruf (2006, pp61-62), dalam membeli barang atau jasa,
seorang konsumen akan melalui tiga proses keputusan pembelian, yaitu:
1) Proses keputusan yang panjang (extended decision making)
Pencarian Informasi
Pengenalan Masalah
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Perilaku Pasca Pembelian
48
Proses keputusan yang panjang ini biasanya terjadi untuk barang durable
seperti (rumah, lahan, mobil). Proses tersebut adalah stimulus kebutuhan
mencari informasi evaluasi transaksi perilaku pasca pembelian.
Dimana pengertian stimulus adalah situasi yang menyebabkan munculnya
kebutuhan dalam diri konsumen.
2) Proses keputusan terbatas (limited decision making)
Proses keputusan terbatas sebenarnya hampir sama dengan proses diatas,
tetapi terjadi secara lebih cepat dan kadang meloncati tahapan-tahapan.
Proses keputusan terbatas ini biasanya untuk barang seperti pakaian, hadiah,
mobil kedua, dan tempat wisata.
3) Proses keputusan pembelian rutin (routine decision making)
Keputusan pembelian ini terjadi secara kebiasaan sehingga proses
pembelian sangat singkat. Begitu dirasa ada kebutuhan, langsung dilakukan
pembelian.
2.5 Hubungan Antar Variabel Customer-Based Brand Equity, Variabel
Keputusan Pembelian, dan Variabel Loyalitas Merek
• Customer-Based Brand Equity dan Keputusan Pembelian
Kekuatan sebuah merek terletak pada apa yang dipelajari, dirasakan,
dilihat dan didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai hasil
pengalamannya dari sepanjang waktu (Keller, 2001). Dengan adanya
ekuitas merek berbasis konsumen (customer-based brand equity) mampu
meningkatkan pengambilan keputusan pembelian konsumen pada merek
49
tersebut. Proses pengambilan keputusan pembelian menurut Kotler (2005,
p224), yakni dimulai dari pengenalan masalah atau kebutuhan yang paling
dasar sampai dengan perilaku pasca pembelian sebagai proses yang dilalui
oleh seorang konsumen dalam pembuatan keputusan membeli. Melalui
customer-based brand equity, intensitas atau kekuatan ikatan psikologis
antara pelanggan dan merek menjadi lebih baik. Bila ekuitas merek
perusahaan dikembangkan sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen
maka dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen tersebut. Leon
Schiffman dan Leslie Lazar Kanuk (2004:6) mengemukan bahwa: “studi
perilaku konsumen terpusat pada cara individu mengambil keputusan
untuk memanfaatkan sumber daya mereka yang tersedia (waktu, uang,
usaha) guna membeli barang-barang yang berhubungan dengan
konsumsi”.
Oleh karena itu, perusahaan harus lebih cekatan dalam menanggapi
apa yang menjadi perhatian konsumen dengan menciptakan ekuitas merek
berbasis pelanggan (customer-based brand equity) yang dibutuhkan.
Beberapa hal di atas ingin mengatakan bahwa adanya hubungan kausalitas
antara customer-based brand equity dengan keputusan pembelian.
• Customer-Based Brand Equity dan Loyalitas Merek
Seperti yang sudah diulas sebelumnya pada sub-bab 2.3, tingkat
elemen-elemen ekuitas merek berbasis pelanggan (customer-based brand
equity) sangat erat kaitannya dengan persepsi konsumen terhadap brand.
Hal senada juga diyakini oleh Durianto, et.al. (2004, p2), yang menyatakan
50
bahwa salah satu peranan dan kegunaan merek ialah sebuah merek mampu
menciptakan interaksi dengan konsumen. Dengan kata lain, semakin
kokoh ikon itu berdiri, semakin kokoh pula interaksi antara ikon dengan
konsumen sehingga terbentuklah asosiasi merek yang memiliki kualitas
dan kuantitas yang kuat di benak konsumen. Lanjut Beliau, brand loyalty
termasuk kategori ekuitas merek yang berperan meningkatkan penjualan
karena bisa menciptakan loyalitas konsumen.
Sedangkan menurut Giddens (2002), para konsumen yang loyal akan
proaktif mengikuti informasi-informasi terbaru yang berkaitan dengan
merek tersebut. Yang dapat mengembangkan hubungan interaksi dengan
merek yang bersangkutan sehingga perusahaan dapat meningkatkan
loyalitas merek dan menguasai pangsa pasar. Situasi saat ini, permintaan
pasar telah mendorong perusahaan untuk menyediakan produk yang sesuai
dengan harapan konsumen. Hal ini berarti bahwa terjadi kausalitas antara
customer-based brand equity dengan brand loyalty.
• Keputusan Pembelian dan Loyalitas Merek
Menurut Tjiptono (2005, p387) mengemukakan bahwa loyalitas
merek adalah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau
berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara konsisten
dimasa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian merek yang sama
secara berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran
berpotensi menyebabkan perilaku beralih merek. Dengan demikian berarti
bahwa brand loyalty mengakibatkan keputusan pembelian bila dijelaskan
51
dalam teori Lau dan Lee (2001, p46) pada jurnalnya yang berjudul
"Consumers Trust in a Brand and the Link in Brand Loyalty" dan teori
yang dikemukakan Tjiptono (2005, p387). Berarti bahwa terjadi kausalitas
antara brand loyalty dengan keputusan pembelian.
2.6 Kerangka Pemikiran
Sumber : Penulis
Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran
2.6 Hipotesis
Berdasarkan pada latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian
serta uraian diatas, maka didapatkan suatu hipotesis sebagai berikut :
1) Ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel customer-based brand
equity terhadap keputusan pembelian produk Joy Green Tea.
2) Ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel customer-based brand
equity terhadap loyalitas merek pada produk Joy Green Tea.
Customer-Based Brand
Equity (X)
Keputusan Membeli
(Y)
Loyalitas Merek
(Z)
Salience
Performance
Imagery
Judgement
Feelings
Resonance
Pengenalan Kebutuhan
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Pasca Pembelian
Switcher
Habitual Buyer
Satisfied Buyer
Liking the Brand
Comitted Buyer
52
3) Ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel keputusan pembelian
terhadap loyalitas merek pada produk Joy Green Tea.
4) Ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel customer-based brand
equity dan keputusan pembelian secara simultan terhadap loyalitas merek
pada produk Joy Green Tea.