BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Guru SD · 2017. 12. 14. · pengertian kompetensi guru,...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Guru SD · 2017. 12. 14. · pengertian kompetensi guru,...
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kompetensi Guru SD
2.1.1 Hakikat Kompetensi Guru SD
Sebagai pengantar, sebelum penulis memaparkan
pengertian kompetensi guru, dikemukakan terlebih
dahulu pengertian kompetensi secara umum. Sagala
(2011: 23) mengemukakan bahwa kompetensi
merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan
dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai
oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugas
profesionalnya. Sejalan dengan pendapat Sagala (2011),
Daryanto dan Tarsrial (2015: 1) mengatakan bahwa
kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan
tugas profesionalannya. Berbeda dengan pendapat
Sagala (2011), Daryanto dan Tarsrial (2015), Musfah
(2011: 29) menjelaskan bahwa kompetensi merupakan
kemampuan seseorang yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang diwujudkan dalam hasil
kerja nyata yang bermanfaat bagi diri dan
lingkungannya.
Dari tiga pendapat di atas dapat ditarik benang
merah bahwa kompetensi merupakan seperangkat
pengetahuan, keterampilan dan perilaku atau sikap
18
bagi guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya sehingga menghasilkan hasil kerja
yang dapat bermanfaat bagi diri dan lingkungannya.
Berkaitan dengan kompetensi yang berhubungan
dengan pekerjaan guru, menurut Syah (2000: 35)
kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru
dalam melaksanakan kewajibannya secara bertanggung
jawab dan layak. Sejalan dengan pendapat Syah (2000),
Rusman (2012: 36) mendefiniskan kompetensi guru
sebagai kemampuan guru dalam melaksanakan
tugasnya dengan tanggung jawab. Berbeda dengan
pendapat Syah (2000) dan Rusman (2012), Mulyasa
(2003: 21) mengatakan kompetensi guru sebagai
penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap,
dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang
keberhasilan. Selanjutnya, Depdiknas (2004: 4)
merumuskan kompetensi guru sebagai pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan
dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Berdasarkan empat pendapat di atas, nampak ada
kesamaan pendapat antara Syah, Rusman, Mulyasa
dan Depdiknas yaitu kompetensi guru merupakan
kemampuan atau penguasaan guru dalam
melaksanakan tugasnya sedangkan dimensi kedua
adalah keterampilan, sikap atau nilai dan apresiasi
yang direfleksikan dalam melaksanakan tugasnya.
Walaupun terdapat perbedaan namun tetap
19
mempunyai kegunaan yang sama yaitu kemampuan
atau penguasaan guru yang meliputi keterampilan,
sikap atau nilai dan aprseiasi yang direfleksikan dalam
melaksanakan tugasnya.
Menurut Peraturan Pemerintah No 19 Tahun
2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan
menyebutkan bahwa guru dituntut memiliki 4 standar
kompetensi meliputi: 1) kompetensi pedagogik, yakni
kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi
pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya;
2) kompetensi kepribadian, yakni kemampuan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa, mampu menjadi teladan bagi peserta didik,
serta berakhlak mulia; 3) kompetensi profesional, ialah
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara
luas dan mendalam untuk membimbing peserta didik
dan 4) kompetensi sosial, yakni kemampuan pendidik
sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi
dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta
didik, dan masyarakat sekitar.
Dari keempat kompetensi guru di atas,
kompetensi yang menjadi substansi materi pelatihan
adalah kompetensi pedagogik dan profesional.
20
Selanjutnya, kompetensi kepribadian dan sosial
menjadi dampak pengiring dalam setiap pelatihan, oleh
karena itu dalam pembahasan ini lebih menekankan
kompetensi pedagogik dan profesional. Permendiknas
No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi guru, menjelaskan isi
standar kompetensi pedagogik dan profesional guru
kelas. Secara visual, tabel 2.1 dan 2.2 menunjukkan isi
standar kompetensi pedagogik dan profesional guru
kelas tersebut.
Tabel 2.1
Kompetensi Pedagogik Guru SD
No Kompetensi Pedagogik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik,
moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik.
Mengembangkan kurikulum terkait dengan mata
pelajaran
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
untuk kepentingan pembelajaran.
Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun
dengan peserta didik.
Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan
hasil belajar.
Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk
kepentingan pembelajaran.
Melakukan tindakan reflektif (PTK) untuk peningkatan
kualitas pembelajaran
21
Tabel 2.2
Kompetensi Profesional Guru SD
No Kompetensi Profesional
1
2
3
4
5
Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir
keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang
diampu
Menguasai SK dan KD mata pelajaran yang diampu.
Mengembangkan materi pelajaran yang diampu
secara kreatif.
Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanju-
tan dengan melakukan tindakan reflektif.
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Berdasarkan tabel 2.1 dan 2.2 tentang
kompetensi pedagogik dan kompetensi professional
ialah kemampuan guru dalam melakukan tindakan
reflektif (PTK) untuk peningkatan kualitas
pembelajaran dan pengembangan keprofesionalan
secara berkelanjutan melalui tindakan reflektif.
Upaya untuk meningkatkan kompetensi tersebut
dilakukan melalui PKB. Kegiatan PKB merupakan
implementasi dari komponen pedagogik dan profesional
guru yang dilakukan secara bertahap dan
berkelanjutan untuk meningkatkan keprofesionalan
guru.
22
2.1.2 Karya Tulis Ilmiah Hasi PTK sebagai
Komponen Pengembangan Keprofesian
Berelanjutan (PKB)
Penulisan karya tulis ilmiah merupakan kegiatan
yang sangat penting bagi seorang guru yang
profesional. Kegiatan ini tidak saja dilakukan dalam
rangka memperoleh angka kredit untuk kenaikan
jabatan namun dalam rangka peningkatan kualitas
pengelolaan kelas, kualitas layanan kepada anak didik,
dan juga peningkatan profesionalisme guru itu sendiri.
Guru yang profesional tidak hanya melakukan
fungsinya terkait kompetensi pedagogik tetapi juga
terkait dengan kompetensi kepribadian, sosial, serta
keprofesionalan, yang ditandai dengan peningkatan diri
melalui menulis karya tulis ilmiah. Oleh karena itu,
setiap Guru sudah semestinya mau, mampu, dan biasa
melakukan kegiatan penulisan karya ilmiah.
Salah satu wadah peningkatan kompetensi guru
adalah PKB. PKB merupakan pengembangan
kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan bertahap, berkelanjutan untuk
meningkatkan profesionalitasnya (Permenneg PAN dan
RB, 2009: 16). Kebutuhan disini dimaksudkan sebagai
kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi guru yang
berpijak pada standar kompetensi.
Selanjutnya, Kementerian Pendidikan (2010: 9)
menjelaskan bahwa PKB adalah bentuk pembelajaran
23
berkelanjutan bagi guru yang merupakan kendaraan
utama dalam upaya membawa perubahan yang
diinginkan berkaitan dengan keberhasilan pembelajar.
Hal inilah yang mendorong guru untuk memelihara,
meningkatkan dan memperluas pengetahuan dan
keterampilannya serta membangun kualitas pribadi
yang dibutuhkan di dalam kehidupan profesionalnya.
Rohmah Wafrotur (2016: 11) menyebutkan bahwa
ruang lingkup PKB meliputi kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi yang didesain
untuk meningkatkan karakter, pengetahuan,
pemahaman, dan keterampilan. Disini jelas bahwa
melalui perencanaan dan refleksi akan mempercepat
pengembangan pengetahuan dan keterampilan serta
untuk kemajuan karir guru secara optimal dalam
pencapaian jabatan fungsional guru khususnya pada
perolehan angka kredit untuk kenaikan
pangkat/jabatan.
Dari penjelasan mengenai definisi PKB dan
prinsip kegiatan PKB diatas, dapat diinventarisasi
komponen PKB berikut: 1) perencanaan, 2)
pelaksanaan, 3) evaluasi, dan 4) refleksi dimana
kegiatan ini dilakukan secara berkesinambungan
untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
serta untuk kemajuan karir guru secara optimal.
Rumusan legal formal tentang komponen PKB
dapat ditemukan dalam Bab V Pasal 11 Permen Pan
24
dan RB No. 16 Tahun 2009 menyatakan bahwa
komponen PKB terdiri dari tiga macam kegiatan, yakni
(1) pengembangan diri, (2) publikasi ilmiah, dan (3)
karya inovatif. Pertama, kegiatan pengembangan diri
dilakukan untuk meningkatkan kompetensi dan
keprofesian guru melalui pendidikan dan pelatihan
(diklat) fungsional dan/atau melalui kegiatan kolektif
guru.
Kedua, publikasi ilmiah yang terdiri dari: (1)
presentasi pada forum ilmiah sebagai pembahas
maupun pemrasaran pada pertemuan ilmiah berupa
makalah yang berisi ringkasan laporan hasil penelitian,
gagasan, atau tinjauan ilmiah; (2) publikasi hasil
penelitian atau gagasan inovatif pada pendidikan
formal berdasarkan karya tulis ilmiah guru yang
berupa; laporan hasil penelitian, tinjauan ilmiah,
tulisan ilmiah popular, dan artikel ilmiah dan (3)
publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan
dan/atau pedoman guru yang meliputi; buku pelajaran,
modul atau diktat pelajaran, buku dalam bidang
pendidikan, karya terjemahaan dan buku pedoman
guru.
Ketiga, karya inovatif yaitu karya yang bersifat
pengembangan, modifikasi atau penemuan baru
sebagai bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan
kualitas proses pembelajaran di sekolah dan
25
pengembangan dunia pendidikan, sains/teknologi, dan
seni.
Mengacu pada komponen PKB seperti telah
diuraikan di atas, maka dalam komponen PKB yang
akan dikembangkan adalah publikasi ilmiah berupa
hasil penelitian (PTK) dan artikel ilmiah.
Pertimbangannya karena komponen ini merupakan
akar permasalahan yang dihadapi oleh guru dalam
PKB. Sedangkan PTK merupakan pendekatan
penelitian ilmiah yang dilakukan oleh guru dengan
fokus pada masalah dikelas dengan tujuan mengambil
tindakan perbaikan dan membangun pengetahuan atau
teori tentang tindakan yang dilakukan secara bersiklus
melalui perencanaan, pengambilan tindakan dan
evaluasi atas tindakan (John Elliot seperti dikutip oleh
Panitia Sertifikasi Guru Rayon XI, 2011: B3.7;
Daryanto, 2011: 3 dan Sugiyono, 2014: 697).
Berdasarkan pengertian PTK yang dikemukakan
oleh (John Elliot seperti dikutip oleh Panitia Sertifikasi
Guru Rayon XI; Daryanto, Sugiyono,) di atas, dapat
diinventarisasi komponen-komponen PTK berikut; a)
fokus pada masalah, b) tindakan untuk perbaikan, c)
dilakukan secara bersiklus melalui perencanaan
(planning), pelaksanaan (acting), pengamatan
(observing), dan refleksi (reflecting).
26
2.2 Modul Pelatihan Berbasis Andragogi Berbantuan
CMS Moodle
2.2.1 Hakikat Modul Pelatihan Berbasis Andragogi
Secara konseptual modul pelatihan hakikatnya
sama seperti modul pembelajaran oleh karena itu
dalam tulisan ini tidak membedakan keduanya. Modul
merupakan materi pelajaran yang disusun dan
disajikan secara tertulis sehingga peserta dapat
menyerap sendiri materi yang diberikan (Permen Neg
PAN RB, 2009: 16). Dengan demikian pembaca dapat
melakukan kegiatan belajar secara mandiri, tanpa
ditentukan oleh ruang, waktu dan tanpa kehadiran
pengajar.
Sugiharsono (2009: 8) menjelaskan pengertian
modul pembelajaran sebagai materi yang disusun dan
disajikan secara tertulis sehingga pembaca diharapkan
dapat menyerap sendiri materi tersebut sebagai bahan
pembelajaran mandiri sehingga mampu meningkatkan
kemampuan pembelajar dalam menguasai satu unit
pelajaran sebelum pindah ke unit yang lainnya.
Selanjutnya, Rohman Sofan Amri (2013: 93)
mendefinisikan modul pelatihan sebagai: 1) bahan yang
dirancang secara khusus sehingga dapat dipelajari
secara mandiri; 2) program pembelajaran yang utuh,
disusun secara sistematis mengacu pada tujuan
pembelajaran yang jelas dan terukur; 3) memuat tujuan
pembelajaran, bahan dan kegiatan untuk mencapai
27
tujuan serta evaluasi terhadap capaian tujuan
pembelajaran; dan 4) digunakan untuk belajar mandiri.
Berdasarkan hakikat modul pelatihan seperti
telah dipaparkan oleh Permenpan Neg dan RB Nomor
16 Tahun 2009; Sugiharjo dan Rohman Sofan Amri
diatas, maka dapat diinventarisasi bahwa komponen
modul pelatihan ialah: 1) berisi materi pembelajaran, 2)
disusun secara tertulis dan sistematis mengacu pada
tujuan pembelajaran, 3) dapat dipelajari sendiri, 4)
dapat meningkatkan kemampuan pembelajar dalam
menguasai satu unit pelajaran, 5) dilengkapi aktivitas
kegiatan dan alat evaluasi.
Berkaitan dengan konsep andragogi, Bryson,
Reeves, Fransler, dan Houlen seperti dikutip oleh
Suprijanto (2007: 12) menjelaskan bahwa pendidikan
orang dewasa merupakan semua aktivitas pendidikan
yang dilakukan oleh orang dewasa dalam kehidupan
sehari-hari untuk mendapatkan tambahan intelektual
menggunakan sebagian waktu dan tenaganya. Berbeda
dengan Bryson, Reeves, Fransler, dan Houlen, Knowles
(1980) seperti dikutip oleh Marzuki Saleh (2012: 166)
mendefinisikan andragogi sebagai seni dan
pengetahuan yang membantu orang tua belajar.
Dari definisi andragogi yang dikemukakan oleh
Bryson, Reeves, Fransler, dan Houlen, Knowles (1980)
tersebut di atas, ada benang merah tentang hakikat
andragogi, yaitu sebagai aktivitas pendidikan untuk
28
membantu orang dewasa untuk mendapatkan
pengetahuan menggunakan sebagian waktu dan
tenaganya.
Berpijak pada pengertian modul pelatihan dan
hakikat andragogi seperti telah dikemukakan di atas,
maka modul pelatihan berbasis andragogi hakikatnya
adalah materi pelatihan orang dewasa yang disusun
secara sistematis mengacu pada tujuan pelatihan,
terdiri dari unit-unit pelatihan secara utuh, dilengkapi
aktivitas kegiatan dan alat evaluasi mandiri, serta
dapat digunakan untuk pelatihan mandiri sehingga
mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
tanpa terikat oleh waktu dan pengajarnya.
Hernawan Asep Herry, Permasih, Laksmi Dewi
(2012: 7) menyebutkan bahwa tujuan penulisan modul
ialah: (1) mengatasi kelemahan pada sistem pengajaran
tradisional, (2) meningkatkan motivasi belajar, (3)
meningkatkan kreativitas pelatih dalam
mempersiapkan pembelajaran individu, (4)
mewujudkan prinsip maju berkelanjutan, (5)
mewujudkan konsentrasi belajar.
Selanjutnya, Indriyanti Nurma Yunita dan
Endang Susilowati (2010:3), mengatakan bahwa
keuntungan dari penerapan modul dapat: (a)
meningkatkan motivasi pembelajar, (b) mengetahui
bagian modul yang telah berhasil dan bagian modul
yang belum berhasil, (c) pembelajar dapat mencapai
29
hasil sesuai dengan kemampuannya. (d) bahan
pelajaran terbagi merata dalam satu semester, (e)
pendidikan lebih berdaya guna, karena bahan pelajaran
disusun menurut jenjang akademik.
Memperhatikan tujuan penulisan modul dan
keuntungan modul maka modul sama efektifnya
dengan pembelajaran tatap muka. Namun hal ini
tergantung pada proses penulisan modul. Modul
hendaknya disajikan secara interaktif seolah-olah
penulis mengajar kepada peserta mengenai suatu topik
melalui tulisan.
2.2.2 Karakteristik Modul Pelatihan Berbasis
Andragogi
Ditjen PMPTK (2008: 3) menyatakan bahwa
sebuah modul bisa dikatakan baik dan menarik apabila
terdapat karakteristik sebagai berikut.
a. Self Instructional; artinya melalui modul seseorang
mampu membelajarkan diri sendiri tanpa tergantung
pada pihak lain. Karakteristik modul ini relevan
dengan hakikat pembelajaran orang dewasa yang
dapat mengarahkan belajarnya tanpa tergantung
guru atau pelatihnya. Untuk memenuhi karakter self
instructional, maka dalam modul harus berisi; (1)
tujuan dirumuskan dengan jelas; (2) materi
pembelajaran yang dikemas ke dalam unit-unit; (3)
menyediakan contoh dan ilustrasi; (4) menampilkan
soal-soal latihan dan tugas; (5) kontekstual artinya
30
materi yang disajikan terkait dengan konteks tugas
penggunanya; (6) menggunakan bahasa yang
sederhana dan komunikatif; (7) rangkuman materi;
(8) instrumen penilaian agar dapat melakukan self
assessment; (9) instrumen untuk mengevaluasi
tingkat penguasaan materi; (10) umpan balik atas
penilaian; dan (11) referensi yang mendukung materi
pembelajaran.
b. Self Contained; artinya seluruh materi pembelajaran
dari satu unit kompetensi terdapat dalam satu modul
secara utuh. Hal ini memungkinkan pembelajar
dapat mempelajari materi pembelajaran dengan
tuntas.
c. Stand Alone (berdiri sendiri); artinya modul yang
dikembangkan tidak tergantung pada media lain
sehingga pembelajar dapat langsung mempelajari
atau mengerjakan tugas pada modul tersebut.
d. Adaptive; artinya isi materi harus disesuaikan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga
modul dapat digunakan dalam kurun waktu
tertentu.
e. User Friendly; modul hendaknya bersahabat dengan
pemakainya artinya dapat memberikan kemudahan
pemakai dalam merespon, mengakses sesuai dengan
keinginan, menggunaan bahasa yang sederhana,
mudah dimengerti serta menggunakan istilah yang
umum digunakan.
31
Karakteristik ini sesuai dengan prinsip-prinsip
andragogi seperti dikemukakan Sudjana (2007: 2) dan
Haris Mudjiman (2011: 163) yaitu;
a. Konsep diri, artinya orang dewasa mampu
mengarahkan diri dan mandiri oleh karena itu
pembelajaran bagi orang dewasa harus berorientasi
pada masa depan, berpikir dan bertindak sesuai
kehidupan nyata.
b. Akumulasi pengalaman, artinya orang dewasa
mempunyai pengalaman yang berbeda oleh karena
itu dalam pembelajarannya diperlukan pemilihan
dan penggunaan metode serta teknik kepelatihan
yang melibatkan peran serta peserta pelatihan.
c. Kesiapan belajar, yaitu materi pelajaran harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan pekerjaan
peserta pelatihan.
d. Ingin segera memanfaatkan hasil belajar, artinya
pembelajaran haruslah berorientasi pada
penguasaan keterampilan (skill) dan pemecahan
masalah yang dihadapi sehingga hasil belajar dapat
segera dimanfaatkan setelah pembelajaran selesai.
e. Memiliki kemampuan belajar, yaitu pembelajaran
disesuaikan dengan kemampuan belajar masing-
masing oleh karena itu pelatih perlu mendorong
peserta dalam menentukan cara belajar yang sesuai
dengan kebutuhannya.
32
f. Mampu belajar efektif dengan melibatkan aktivitas
mental dan fisik, artinya orang dewasa sudah
mampu melibatkan fungsi otak kiri dan otak kanan
menggunakan intelek dan emosi serta memanfaatkan
berbagai media, metode, teknik dan pengalaman
belajar.
Melihat karakteristik modul dan prinsip-prinsip
andragogi seperti dipaparkan diatas maka modul
berbasis andragogi ini selalu dikaitkan dengan kegiatan
belajar mandiri yang menekankan pada prinsip-prinsip
belajar orang dewasa sehingga melalui modul pelatihan
ini orang bisa belajar kapan saja dan di mana saja
secara mandiri tanpa terikat oleh waktu dan pengajar.
2.2.3 Komponen Modul Pelatihan Berbasis
Andragogi
Komponen-komponen modul pada umumnya
mencakup (1) bagian pendahuluan, (2) bagian Kegiatan
Belajar, dan (3) daftar pustaka. Bagian pendahuluan
mengandung (1) penjelasan umum mengenai modul, (2)
indikator pembelajaran. Bagian Kegiatan Belajar
mengandung (1) uraian isi pembelajaran, (2)
rangkuman, (3) tes, (4) kunci jawaban, dan (5) umpan
balik.
Mustaji (2008: 30), mengemukakan unsur-unsur
modul secara rinci sebagai berikut :
a. Rumusan tujuan instruksional yang eksplisit dan
spesifik
33
Tujuan tersebut dirumuskan dalam bentuk tingkah
laku yang diharapkan dari siswa setelah mereka
mempelajari modul.
b. Petunjuk guru
Memuat penjelasan bagi guru tentang pengajaran
agar dapat terlaksana dengan efisien, serta
memberikan penjelasan tentang macam-macam
kegiatan yang dilaksanakan dalam proses belajar,
waktu untuk menyelesaikan modul, alat-alat dan
sumber pelajaran, serta petunjuk evaluasi.
c. Lembar kegiatan siswa
Lembaran ini berisi materi-materi pelajaran yang
harus dikuasai oleh siswa serta dicantumkan buku
sumber yang harus dipelajari siswa untuk
melengkapi materi.
d. Lembar kerja siswa
Lembar kerja ini merupakan pertanyaan-pertanyaan
yang ada pada lembar kegiatan yang harus
dikerjakan siswa setelah mereka selesai menguasai
materi.
e. Kunci lembar kerja
Siswa dapat mengoreksi sendiri jawabannya dengan
menggunakan kunci lembar kerja setelah mereka
berhasil mengerjakan lembar kerja.
f. Lembar evaluasi
Lembar evaluasi ini berupa post test dan rating scale,
hasil dari post test inilah yang dijadikan guru untuk
34
mengukur tercapai tidaknya tujuan modul oleh
siswa.
g. Kunci lembar evaluasi
Tes dan rating scale beserta kunci jawaban yang
tercantum pada lembaran evaluasi disusun dan
dijabarkan dari rumusan-rumusan tujuan pada
modul.
Selanjutnya, Daryanto (2013: 25) menyebutkan
komponen modul ialah:
1) Bagian awal, terdiri atas; (a) halaman sampul, berisi
label kode modul, judul modul, gambar ilustrasi,
tahun modul disusun; (b) kata pengantar, memuat
peran modul dalam proses pembelajaran; (c) daftar
isi, memuat kerangka (outline) modul dan dilengkapi
dengan nomor halaman; (d) peta kedudukan modul,
diagram yang menunjukkan kedudukan modul
dalam keseluruhan program pembelajaran; (e)
glosarium, memuat penjelasan tentang arti dari
istilah, kata-kata sulit dan asing yang digunakan dan
disusun menurut urutan abjad.
2) Pendahuluan, terdiri atas, (a) standar kompetensi
yang akan dipelajari pada modul; (b) deskripsi
tentang nama dan ruang lingkup isi modul, kaitan
modul dengan modul lainnya, hasil belajar yang akan
dicapai, serta manfaat kompetensi tersebut; (c) waktu
yang dipersyaratkan untuk memelajari modul
tersebut; (d) prasyarat atau kemampuan awal yang
35
dipersyaratkan untuk memelajari modul; (e) petunjuk
penggunaan modul yang memuat tatacara
menggunakan modul yaitu langkah-langkah
mempelajari modul dan perlengkapan yang
dipersiapkan sesuai kebutuhan; (f) tujuan akhir yang
hendak dicapai peserta setelah menyelesaikan suatu
modul; (g) cek penugasan standar kompetensi, untuk
mengukur penguasaan awal kompetensi peserta
didik, terhadap kompetensi yang akan dipelajari.
3) Pembelajaran
Terdiri dari komponen; (a) tujuan yang harus
dikuasai untuk satu kesatuan kegiatan belajar; (b)
uraian materi yang berisi uraian pengetahuan
tentang kompetensi yang sedang dipelajari; (c)
rangkuman tentang kegiatan pengetahuan yang
terdapat pada uraian materi; (d) tugas yang berisi
instruksi untuk penguatan pemahaman terhadap
konsep yang dipelajari; (e) tes untuk mengetahui
sejauh mana penguasaan hasil belajar yang telah
dicapai dan sebagai dasar untuk melaksanakan
kegiatan berikutnya; (f) lembar kerja praktik berisi
prosedur kerja praktik yang harus dilakukan peserta
didik dalam rangka penguasaan kemampuan
psikomotorik.
4) Evaluasi, teknik atau metode evaluasi harus
disesuaikan dengan ranah (domain) yang dinilai,
serta indikator keberhasilan.
36
5) Kunci jawaban yang dilengkapi dengan kriteria
penilaian pada setiap item tes.
6) Daftar pustaka, semua referensi/pustaka yang
digunakan sebagai acuan pada saat penyusunan
modul.
Memperhatikan pendapat Mustaji (2008:30-32)
dan Daryanto (2013: 25) mengenai komponen modul
maka komponen modul pelatihan berbasis andragogi
ini terdiri atas; bagian awal yaitu halaman sampul, kata
pengantar, daftar isi, peta kedudukan modul; (1) bagian
pendahuluan yaitu standar kompetensi dan kompetensi
dasar, deskripsi, waktu, prasyarat, petunjuk
penggunaan modul, tujuan akhir dan cek penguasaan
standar kompetensi; (2) pembelajaran yaitu tujuan,
uraian materi, tugas, tes dan lembar kerja praktik; 3)
evaluasi; kunci jawaban; daftar pustaka.
2.2.4 CMS Moodle sebagai Media Penyampaian
Modul Pelatihan Berbasis Andragogi
Course Management System (CMS) ialah sistem
yang mengatur pembelajaran secara elektronik. CMS ini
memiliki fitur sebagai berikut: 1) Fitur Kelengkapan
Belajar Mengajar: Daftar pelatihan dan kategorinya,
Silabus pelatihan, Materi pelatihan (Berbasis Teks atau
Multimedia), Daftar Referensi atau Bahan Bacaan, 2)
Fitur Diskusi dan Komunikasi: Forum Diskusi atau
Mailing List, Instant Messenger untuk Komunikasi
Realtime, Papan Pengumuman, Porfil dan Kontak
37
Instruktur, File and Directory Sharing, 3) Fitur Ujian
dan Penugasan, meliputi Ujian Online (Exam), Tugas
Mandiri (Assignment), Rapor dan Penilaian.
a. Pemilihan Course Management System (CMS)
Berbagai tools teknologi pelatihan online yang telah
dikembangkan baik gratis atau open source maupun
berbayar (commercial). Tabel 2.4 berikut macam-macam
CMS yang sudah digunakan dalam dunia pendidikan.
Tabel 2.3
Jenis CMS yang sudah banyak digunakan dalam
dunia pendidikan
Pemilihan CMS sebagai software pelatihan harus
disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan. Dabbagh
& Bannan-Ritland (2005: 300) mengatakan bahwa
NO LMS komersial LMS open source
1 ANGEL Learning Atutor
2 ApexLearning Claroline
3 Blackboard Dokeos
4 Desire2Learn dotLRN
5 eCollege, eFront
6 IntraLearn Fle3
7 Learn.com Freestyle Learning
8 Meridian KSI KEWL.nextgen
9 NetDimensions LONCAPA
10 Open Learning
Environment (OLE)
MOODLE
11 Saba Software OLAT
12 SAP Enterprise Learning Spaghetti Learning
38
sebaiknya pemilihan CMS didasarkan pada teknologi
CMS yang telah familier dengan lingkungan institusi
pendidikan penyelenggara, bukan berdasarkan pada
fitur-fitur yang tersedia.
Pujiriyanto (2012: 129) mengatakan bahwa
pemilihan software pelatihan merupakan keputusan
pedagogis yang penting, bukan sekedar preferensi atau
menurut intuisi pelatih. Pemilihan software pelatihan
harus disesuaikan dengan kurikulum dan model
pedagogis yang dikembangkan dan direncanakan oleh
pelatih.
Dalam rangka memilih CMS ini, hasil penelitian
dari Nurkhalik dan Syaichudin (2014: 5) mengatakan
bahwa ada beberapa kelebihan yang dimiliki moodle,
yaitu: (1) Open source atau gratisan, artinya semua
orang dapat mengunduh software moodle di internet
secara gratis melalui situs resminya http://www.
moodle.org; (2) Cocok untuk media ajar online, hal ini
dikarenakan Moodle merupakan salah satu aplikasi
dari konsep dan mekanisme belajar mengajar yang
memanfaatkan teknologi informasi berbasis web; (3)
mudah digunakan karena Moodle dirancang sesuai
kebutuhan kegiatan belajar mengajar; (4) proses
instalasi yang mudah karena berada di menu instalasi
web; (5) struktur materi pengajaran yang rapi dan
dapat dibuat dalam beberapa kategori; (6) mendukung
beberapa type file yang digunakan dalam proses belajar
39
mengajar. (7) adanya fasilitas kuis, tugas dan
pemberian nilai yang dapat diatur sesuai kebutuhan;
(8) daya tampung peserta pelatihan yang banyak: (9)
adanya fasilitas untuk menentukan pelatih pada setiap
kategori; (10) sistem keamanan dilengkapi fasilitas-
fasilitas dan berbagai teknik keamanan situs; (11)
tersedianya paket bahasa yang dapat dipilih sesuai
dengan kebutuhan; (12) kemudahan dalam mengganti
tampilan situs karena dilengkapi dengan menu ganti
themes.
Mengacu pandangan Dabbagh dan Bannan, Puji
riyanto serta Nurkhalik dan Syaichudin, yang telah
diuraikan di atas, maka pilihan CMS yang digunakan
dalam penelitian dan pengembangan modul pelatihan
karya tulis ilmiah berbasis andragogi ini adalah CMS
Moodle. Pertimbangannya adalah: 1) CMS Moodle sudah
familier di kalangan institusi pendidikan di Indonesia,
2) tersedia dalam bahasa Indonesia, sehingga
memudahkan pelatih, peserta pelatihan dan staff
admin untuk mengakses dan mengelolanya, 3) proses
customization yang relatif tidak merepotkan, bahkan
meskipun kita tidak memahami skil pemrograman
dengan baik, 4) Template dan theme yang disediakan
memadai, 5) pertimbangan praktis, terutama biayanya
lebih ringan (kecuali biaya internet) karena bersifat
open source, dan 6) secara empirik berdasarkan hasil
penelitian terbukti sebagai CMS yang handal.
40
Setelah menentukan pilihan CMS, langkah
selanjutnya ialah bagaimana mendesain e-modul
tersebut. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mendesain e-modul adalah tampilan, akses, interaksi,
desain pembelajaran, dan kontrol atau navigasi.
Empy Effendi dan Hartono Zhuang (2005: 94)
menyebutkan beberapa komponen dalam e-modul yaitu;
(a) Komponen tampilan, berkaitan dengan background
laman portal, tampilan gambar, foto, audio, video
ataupun animasi. Tampilan harus diupayakan menarik
secara visual, namun tidak boleh mengganggu
konsentrasi pembelajar. Untuk background, pilih
gambar, foto atau animasi yang halus dan warna yang
tidak terlalu kuat atau mencolok agar tidak
mengganggu tulisan materi pembelajaran. Warna yang
kuat akan membuat silau dan melelahkan mata.
Apabila background laman materi dilengkapi dengan
grafik, perlu dibuat berwarna yang menarik.
Selanjutnya untuk menambah kesan dekat dengan
dunia nyata, dapat ditambahkan foto sehingga akan
memberikan kesan pengalaman otentik. Untuk
memberikan kesan mendalam terhadap materi perlu
diberi suara baik musik, suara narator atau original
sound serta dapat menggunakan video karena video
akan memberikan gambar hidup yang menampilkan
kondisi nyata materi yang dipelajari, menampilkan
animasi, suara, musik dan original sound sekaligus; (b)
41
komponen akses berkaitan dengan kemudahan dalam
mengakses pelatihan, kemudahan pengoperasian
program pelatihan dan penggunaan bahasa yang
mudah dipahami; (c) Komponen interaksi atau
hubungan timbal balik diperlukan dalam proses
pelatihan, baik interaksi antara fasilitator dengan
peserta maupun peserta dengan peserta. Interaksi ini
akan memudahkan penguasaan materi yang dipelajari
serta tidak membosankan karena diberi kegiatan yang
bervariasi. Interaksi dalam e-modul dapat dibuat
dengan berbagai variasi tampilan dan kegiatan bagi
pembelajar sehingga pembelajar dapat melakukan
respon, inisiatif, bertanya, bahkan sharing pengalaman
dengan peserta lain. Misalnya chatting, message, forum
diskusi dan fitur-fitur untuk memberikan balikan pada
peserta pelatihan berkaitan dengan skor (grade)
terhadap kuis, tugas (assignment) dan lain-lain; (d)
Komponen desain pembelajaran berkaitan dengan
penataan materi pembelajaran. Materi harus ditata
semenarik mungkin dengan memperhatikan kaidah-
kaidah pengembangan materi. Misalnya kesesuaianya
dengan tujuan pembelajaran, metode, media, alokasi
waktu dan karakteristik peserta pelatihan. Materi
diupayakan dapat memancing motivasi dan keaktifan
belajar peserta pelatihan dan dirancang agar dapat
meminimalisir ketidakjujuran peserta pelatihan dalam
42
pembelajaran (bila memungkinkan perlu diinstal fitur
plagiarism checking).
Pelatihan berbasis e-learning menuntut
kemandirian belajar sehingga pembelajar harus dapat
mengontrol kecepatan belajarnya sendiri. Oleh karena
itu perlu diperhatikan penataan menu utama, sub
menu dan direktori yang sistematis. Demikian juga
panel navigasi atau user interface, dalam menyajikan
suatu topik atau pokok bahasan, harus ada panel
untuk mengontrol maju mundurnya halaman. Materi
juga harus dilengkapi dengan tombol panel dimana
peserta akan berhenti sementara dan keluar dari
pembelajaran kapanpun. Tombol Help, akan menolong
peserta pelatihan apabila tidak mengetahui tombol
yang harus ditekan dengan melihat menu help atau
pertolongan dengan menekan tombol help atau tanda
tanya.
b. Course Management System (CMS) Moodle
1. Pengertian CMS Moodle
CMS (Course Management System) Moodle
(Modular Object Oriented Dynamic Learning
Environment) merupakan salah satu software
pembelajaran berbasis web (web based instruction)
dalam sistem e-learning. Karena Moodle merupakan
subsistem dari sistem e-learning, maka sebelum
pembahasan tentang Moodle akan dijelaskan terlebih
dahulu tentang e-learning.
43
Moodle merupakan nama sebuah aplikasi
komputer yang dapat merubah sebuah media pelatihan
kedalam bentuk web. Software Moodle dikembangkan
pertama kali oleh Dougiamas seperti dikutip oleh
Limongelli, Sciarrone & Vaste (2011: 2) yaitu software
CMS yang didesain menggunakan prinsip pedagogik,
untuk membantu pengajar menciptakan komunitas
pembelajaran online yang efektif dan menyenangkan.
Surjono (2013: 6) mengatakan bahwa Moodle
adalah perangkat lunak untuk membuat materi
pelatihan secara online, mengelola kegiatan pelatihan,
memfasilitasi interaksi, komunikasi, kerjasama antar
pelatih dan peserta pelatihan. Moodle ini mendukung
berbagai aktivitas administrasi pelatihan, peyampaian
materi, penilaian (tugas, quiz), pelacakan/tracking &
monitoring, kolaborasi, dan komunikasi/interaksi.
2. Prinsip-prinsip Implementasi Pelatihan CMS Moodle
Clark & Mayer (2008: 53–183) mengemukakan
prinsip-prinsip pengembangan pelatihan dengan Moodle
e-learning berikut ini: 1) Prinsip multimedia,
menambahkan teks dan grafik atau gambar pada
materi pelatihan, hal ini berfungsinya sebagai edukasi,
bukan dekorasi. Oleh karenanya gambar yang disajikan
harus berhubungan dengan pesan yang ingin
disampaikan. 2) Prinsip contiguity, letakkan teks dan
gambar yang saling berhubungan berdekatan satu
sama lain. 3) Prinsip modality, menggunakan suara
44
ataupun teks yang dinarasikan ketimbang hanya
menampilkan teks. 4) Prinsip redundancy, grafik
dengan suara dan teks yang berlebihan dapat
mengganggu pelatihan. 5) Prinsip coherence,
menggunakan visualisasi, teks, dan suara yang tidak
sesuai dengan tujaun pelatihan akan merusak kegiatan
pelatihan. 6) Prinsip personalization, menggunakan
percakapan untuk berkomunikasi dengan peserta
pelatihan.
3. Tipe materi pembelajaran dengan menggunakan
CMS Moodle
Ada lima tipe materi pelatihan menggunakan
CMS Moodle, yaitu fakta, konsep, prosedur dan prinsip.
Fakta artinya sesuatu yang unik dan spesifik (Clark &
Mayer, 2008: 15). Konsep artinya satu kategori yang
terdiri dari banyak contoh seperti rumus-rumus dalam
program MS Excel. Proses adalah urutan kejadian atau
aktivitas, misalnya bagaimana sistem kerja spread-
sheets dalam program MS Excel; prosedur ialah suatu
tugas yang dilakukan langkah demi langkah, contohnya
bagaimana menuliskan rumus dalam spreadsheets
program MS Excel. Sedangkan prinsip yaitu suatu tugas
yang dilakukan sesuai dengan panduan yang dibuat,
misalnya bagaimana membuat proyeksi keuangan
menggunakan spreadsheets program MS Excel. Jenis-
jenis materi ini menjadi bahan utama dalam
penyusunan LOM dan skenario pelatihan.
45
4. Persyaratan kompetensi awal bagi peserta pelatihan
dan pelatih dalam implementasi CMS Moodle
Dabbagh & Bannan-Ritland (2005: 39)
menyebutkan prasyarat kompetensi bagi peserta
pelatihan menggunakan teknologi belajar online,
memiliki kebutuhan berafiliasi, memahami dan
menganggap penting pembelajaran kolaboratif, mampu
mengontrol belajarnya sendiri, memiliki akademik self
concept yang tinggi dan memiliki pengalaman belajar
mandiri. Selanjutnya, Dabbagh & Bannan-Ritland
(2005:47) mengatakan bahwa seorang pelatih harus
memiliki kemampuan dalam mengembangkan
kemampuan peserta pelatihan, mampu menyesuaikan
gaya mengajarnya dengan berbagai karakteristik,
mampu mengembangkan teknonogi pembelajaran
online dan dapat menjadi fasilitator dalam menyediakan
konten pelatihan.
5. Komponen CMS Moodle
Moodle terdiri dari tiga komponen yaitu (1)
administrator yaitu pengelola atau orang yang
mengelola CMS, (2) pengajar atau pelatih, ialah orang
yang memberikan pelatihan, (3) student yaitu peserta
pelatihan yang terdaftar dan tamu.
Selanjutnya, Darmawan Deni (2014: 63)
menyebutkan komponen-komponen untuk menyusun
CMS Moodle e-learning yaitu; (1) sistem, artinya
merupakan perangkat lunak yang memvitualisasi
46
proses belajar mengajar konvensional. Sistem ini
memuat bagaimana manajemen kelas dibuat,
pembuatan materi, forum diskusi, sistem penilaian,
sistem ujian online dan fitur yang berhubungan dengan
manajemen proses belajar mengajar; (2) content atau
isi, konten dan bahan ajar berbentuk multimedia based
content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau
text based content.
2.2.5 Model Pengembangan Modul Pelatihan
Berbasis Andragogi
Menulis modul dapat samakan dengan kegiatan
pengembangan sistem pembelajaran. Terdapat banyak
model pengembangan sistem pembelajaran yaitu: Four
D Model, dari Thiagarajan Semmel and Semmel (1974),
model umum pemecahan masalah kependidikan dari
Plomp (1982), Model Pengembangan Sistem
Pembelajaran dari Dick, Dick & Carey (1990) dan
ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation
dan Evaluation) (dalam Atwi Sparman, 2012: 104- 109).
Dari sekian banyak model pengembangan, dalam
penelitian pengembangan ini model ADDIE digunakan
mengembangan modul pelatihan karya tulis ilmiah
berbasis andragogi hal ini dikarenakan ADDIE
merupakan model berorientasi sistem, sudah familier di
kalangan para praktisi pendidikan, langkah-
langkahnya lebih sederhana sehingga karena prosedur
kerjanya sistematik, yakni pada setiap langkah selalu
47
mengacu pada langkah sebelumnya yang sudah
diperbaiki, sehingga diperoleh produk yang efektif
(Branch, 2009:1). Pemilihan model ADDIE sebagai
model pengembangan ini juga didasarkan pada
pendapat Molenda (2008: 108) dan Atwi Suparman
(2012: 108). Secara skematik, model pengembangan
ADDIE dapat dilihat dalam gambar 2.1.
Branch (2009: 2) menjelaskan bahwa model
ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation
dan Evaluation (ADDIE) merupakan sebuah model
pengembangan produk melalui tahap Analysis, Design,
Development, Implementation dan Evaluation.
1) Tahap Analisis (Analysis).
Tahap analisis merupakan tahap yang sangat
penting, karena tahap ini dibuat sebelum membuat
rencana pengembangan dan pelaksanaan
Gambar 2.1 Model Pengembangan ADDIE
48
pengembangan. Pada tahap ini ada tiga jenis kegiatan
yang harus dilakukan oleh penulis yaitu:
a) Analisis kompetensi atau kinerja, yaitu mencoba
memahami dan mengukur tingkat kedalaman
kompetensi atau kinerja yang dituntut oleh
kurikulum.
b) Analisis kebutuhan, dilakukan dengan membuat
peta kompetensi yang dituangkan dalam bentuk
bagan melalui penjabaran kompetensi yang ada
dalam kurikulum menjadi kompetensi-kompetensi
khusus dan kemudian menentukan urutannya.
Bagan tersebut kemudian dapat ditentukan topik-
topik atau pokok bahasan yang menjadi judul bab
dari buku pelajaran yang akan ditulis.
2) Tahap Perancangan (Design).
Tahap ini dikenal dengan istilah membuat
rancangan (blue print), ibarat bangunan maka sebelum
dibangun harus ada rancang bangun diatas kertas
terlebih dahulu. Kegiatan perancangan, yang mencakup
tiga kegiatan yaitu (a) menyusun outline, (b)
menentukan sistematika dan (c) merancang evaluasi.
a) Penyusunan Kerangka Struktur Modul (Outline).
Berdasarkan peta kompetensi disusunlah
kerangka isi modul, yang menggambarkan keseluruhan
isi materi yang tercakup dalam modul pelatihan
tersebut serta urutan penyajiannya. Outline modul
pelatihan sebaiknya memuat (1) judul bab/bagian
49
modul, bila perlu sampai sub babnya, (2) komponen
modul secara lengkap seperti pendahuluan, uraian dan
penutup; (3) aspek-aspek pembelajaran yaitu: tujuan,
materi, metode dan evaluasi yang ada dalam buku
pelajaran tersebut.
b) Penentuan Sistematika.
Penulis menentukan sistematika modul yang
akan ditulis serta menentukan urutan strategi
penyajian materi dan jenis ilustrasi atau visualisasi
yang akan digunakan.
c) Perancangan Alat Evaluasi.
Penulis menentukan jenis dan alat evaluasi yang
digunakan. Dalam tahap ini penulis menentukan
berbagai jenis tugas dan latihan yang akan ada dalam
modul. Selain itu ditentukan pula uji kompetensi yang
akan digunakan dalam modul.
3) Tahap Pengembangan (Development).
Tahap ini terdiri atas empat langkah yaitu (a) pra
penulisan, (b) penulisan draft, (c) review-edit, dan (d)
revisi.
a) Pra-penulisan.
Langkah awal dalam tahap pengembangan yaitu
melalui kajian referensi dan bahan-bahan pustaka
lainnya. selain itu penulis juga perlu menyiapkan
segala keperluan menulis.
50
b) Penulisan draft.
Penulisan draf modul dilakukan apabila
penelusuran referensi sudah dirasa cukup dan segala
keperluan yang diperlukan sudah tersedia. Penulisan
dilakukan bagian demi bagian sesuai kerangka yang
telah disusun.
c) Penyuntingan atau review-edit.
Penulis melakukan penyuntingan sendiri sebelum
tulisannya disunting pihak ahli. Draft modul pelatihan
yang telah di lay-out selanjutnya dikaji oleh tim ahli
yang terdiri atas ahli kurikulum, ahli bidang studi,
pengembangan pembelajaran, ahli evaluasi pendidikan,
ahli perbukuan dan tenaga pengajar yang
berpengalaman. Mereka akan melakukan evaluasi
formatif dalam rangka memberikan saran dan masukan
bagi penyempurnaan draft modul pelatihan. Evaluasi
dan pengkajian terutama diarahkan pada aspek isi,
penyajian, ilustrasi dan kualitas fisik. Melalui
penyuntingan ini maka buku akan terhindar dari
adanya kesalahan baik kesalahan konsep maupun
kesalahan kebahasaaan.
d) Revisi
Revisi dilakukan sesuai dengan masukan dari
penyunting terhadap semua aspek modul pelatihan
baik isi, metode penyajian, ilustrasi, kelengkapan dan
kualitas fisiknya. Setelah revisi selesai dilakukan, maka
selanjutnya dilakukan proses pengolahan naskah yaitu
51
pengaturan teks, judul dan sub judul dan ilustrasi
dalam satu proses produksi.
4) Tahap Implementasi (Implementation)
Setelah kegiatan penulisan naskah modul
menghasilkan suatu naskah final langkah selanjutnya
dilakukan uji coba dan/atau langsung digunakan
untuk memperoleh masukan dari pihak-pihak yang
berkepentingan dengan modul pelatihan langkah yang
dilakukan adalah uji coba terbatas. Pihak yang
diharapkan berpartisipasi dalam uji coba adalah
pembelajar calon pengguna, tenaga pengajar, dan
teman sejawat. Uji coba kepada pembelajar dibedakan
dalam dua cara, yaitu dengan one to one dan dengan
cara terintegrasi dalam kelas (klasikal).
a) Cara one to one dilakukan dengan cara dipilih
sejumlah pembelajar dari kelas yang sesuai dengan
modul pelatihan yang di uji coba, yang secara sukarela
mau membantu. Selanjutnya pembelajar diminta untuk
menggunakan mempelajari modul pelatihan dan
menjawab pertanyaan yang ada. Setelah diberikan
waktu yang cukup pembelajar kemudian diminta
mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan
tentang lamanya waktu yang diperlukan untuk
mempelajarinya, tingkat kesulitan bahasa, kata-kata
yang tidak mereka pahami, ilustrasi, formatnya, dan
sebagainya.
52
b) Cara klasikal dilakukan menggunakan beberapa
kelas, dari beberapa sekolah. Selanjutnya tenaga
pengajar dan pembelajar diminta untuk
mempergunakan buku pelajaran yang diujicobakan.
Mereka boleh mempelajarinya di sekolah atau di
rumah. Pada akhir kegiatan, pembelajar diminta
menjawab kuesioner tentang modul tersebut. Jawaban
digunakan sebagai dasar untuk menganalisis. Selain
itu diperlukan pula informasi dari tenaga pengajar
tentang kinerja siswa, serta informasi balikan dari
tenaga pengajar tentang isi, metode penyajian, ilustrasi,
kelengkapan, dan kualitas fisik modul tersebut.
5. Tahap Evaluasi (Evaluation)
Setelah di uji coba dan digunakan, modul perlu
dievaluasi menyangkut efektivitasnya. Evaluasi ini
biasanya dilakukan oleh pihak ketiga yang independen.
Hasil evaluasi digunakan oleh pengguna untuk
kepentingan pembuatan keputusan. Evaluasi mengenai
kualitas modul ini sebaiknya mengundang partisipasi
pihak-pihak yang terkait secara luas. Pihak-pihak yang
perlu diperhatikan pendapatnya dalam evaluasi buku
ini adalah pembelajar calon pengguna modul, tenaga
pengajar, dan penulis modul, serta para pakar.
2.2.6 Modul Pelatihan Karya Tulis Ilmiah Berbasis
Andragogi Berbantuan CMS Moodle
Pengembangan modul pelatihan karya tulis
ilmiah berbasis andragogi berbantuan CMS Moodle
53
dalam penelitian ini adalah konkretisasi teori yang
dibangun berdasarkan karakteristik modul pelatihan
Ditjen PMPTK (2008: 3), prinsip-prinsip andragogi
Sudjana (2007: 2) dan Haris Mudjiman (2011: 163),
Moodle (Limongelli, Sciarrone, & Vaste, 2011: 2) sebagai
delivery system dalam web-based instruction (Branch,
2009: 2) serta materi karya tulis ilmiah sebagai
komponen pengembangan keprofesian berkelanjutan
(PKB) yang berisi konstruk, tujuan serta langkah-
langkah pengembangan modul. Lima langkah
pengembangan modul menurut Branch, 2009 seperti
telah diuraikan pada bagian model pengembangan
modul pelatihan berbasis andragogi adalah: a)
menganalisis, b) merancang, c) mengembangkan dan
memproduksi, d) mengimplementasi, e) mengevaluasi.
Pada langkah mengembangkan modul dalam model
ADDIE kemudian dipadukan dengan andragogi sebagai
sebuah modul pelatihan dalam sistem pelatihan online
(Bryson, Reeves, Fransler, dan Houlen, Knowles,1980).
Berdasarkan orientasi ketiga teori tersebut di
atas, yaitu teori model pengembangan (Branch, 2009:
2), prinsip-prinsip andragogi Sudjana (2007: 2) dan
Haris Mudjiman (2011: 163), Moodle (Limongelli,
Sciarrone, & Vaste, 2011: 2) sebagai delivery system
dalam web-based instruction (Branch, 2009: 2), maka
konstruk modul pelatihan karya tulis hasil PTK
berbasis andragogi berbantuan CMS Moodle adalah
54
rancangan sistematis kegiatan pelatihan guru secara
aktif mengeksplorasi dan mengolah informasi yang
terdapat dalam portal Moodle, yang didorong oleh
motivasi untuk mengatasi defisit kompetensi guru
dalam menulis karya tulis ilmiah.
Langkah-langkah pengembangan modul pelatihan
karya tulis hasil PTK berbasis andragogi berbantuan
CMS Moodle yaitu :
1. Menganalisa
Langkah pertama yang dilakukan dalam
mengembangkan modul pelatihan ini, adalah
memahami dan mengukur tingkat kedalaman
kompetensi yang dituntut oleh kurikulum. Identifikasi
tujuan ini berangkat dari kebutuhan pembelajar
selanjutnya penulis melakukan analisis pembelajaran
dengan membuat peta kompetensi disertai dengan
topik-topik atau pokok bahasan yang menjadi judul
bab dari buku pelajaran yang akan ditulis.
2. Perancangan (Design)
Dalam langkah ini penulis membuat rancangan
(blue print) berdasarkan peta kompetensi yang
menggambarkan keseluruhan isi materi serta urutan
penyajian, menentukan sistematika modul dan urutan
strategi penyajian materi serta visualisasi yang
digunakan, merancang media, merancang evaluasi
yang meliputi tugas dan latihan serta uji kompetensi
yang akan digunakan dalam modul.
55
3. Pengembangan (Development)
Setelah membuat rancangan langkah selanjutnya
mengembangkan dan memproduksi modul yang
dimulai dengan membuat (a) pra penulisan, (b)
penulisan draft, (c) review-edit, dan (d) revisi. Dalam
konteks pengembangan modul ini, pelatihan karya tulis
ilmiah hasil PTK berbentuk multimedia (teks, gambar
dan hypertext) yang diupload di portal CMS Moodle.
Bahan pelatihan yang digunakan disiapkan oleh pelatih
namun peserta pelatihan bebas mengakses bahan-
bahan pendukung secara mandiri.
4. Implementasi (Implementation)
Sesudah naskah modul final langkah selanjutnya
dilakukan ujicoba untuk memperoleh masukan melalui
ujicoba terbatas. Uji coba dilakukan dengan memilih
sejumlah guru yang bisa menguasai IT, Selanjutnya
trainer dan pembelajar diminta untuk mempergunakan
modul pelatihan yang diujicobakan dengan mengakses
di portal CMS Moodle. Di akhir pelatihan, pembelajar
diminta menjawab kuesioner tentang kinerja
pembelajar, serta informasi balikan dari pembelajar
tentang isi, metode penyajian, ilustrasi, kelengkapan,
dan kualitas fisik modul tersebut.
5. Tahap Evaluasi (Evaluation)
Setelah dilakukan uji coba selanjutnya dilakukan
evaluasi menyangkut efektivitas modul pelatihan oleh
pembelajar calon pengguna modul, tenaga pengajar,
56
dan penulis modul, serta para pakar untuk
kepentingan pembuatan keputusan mengenai kualitas
modul.
2.3 Hasil Penelitian Yang Relevan
Dalam rangka membangun kerangka berpikir
dan mengembangkan model hipotetik dalam penelitian
dan pengembangan ini, penulis melakukan kajian
terhadap hasil-hasil penelitian yang relevan. Baik
penelitian yang berkaitan dengan adragogi, penelitian
tentang pembelajaran berbasis e-learning, maupun
penelitian tentang modul pelatihan. Berikut paparan
tentang hasil-hasil penelitian-penelitian relevan
tersebut.
Penelitian relevan berkaitan dengan andragogi
diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Laurie C.
Blondy (2007:116-130) penelitiannnya yang berjudul
Evaluation and Application of Andragogical Assumptions
to the Adult Online Learning Environment, menemukan
bahwa penerapan andragogi dapat menciptakan
pembelajaran yang berpusat pada pendekatan
pendidikan online.
Wenny Hulukati (2010) melakukan penelitian dan
pengembangan tentang Pengembangan Model Bahan
Belajar Mandiri Berbasis Andragogi Untuk
Meningkatkan Kompetensi Pendidik Anak Usia Dini.
Temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini yang
menyebutkan bahwa: (1) model bahan belajar mandiri
57
berbasis andragogi lebih efektif dalam meningkatkan
kompetensi pedagogik dan profesional pendidik PAUD;
(2) model bahan belajar mandiri berbasis andragogi
efektif untuk meningkatkan kompetensi pedagogik dan
profesional pendidik PAUD dengan rincian: (1) Fresidu
> Ftabel atau 64,1 >7,68, (b) peningkatkan kompetensi
profesional menunjukkan Fresidu > Ftabel atau 38,7 >
7,68, (2) peningkatkan kompetensi pedagogik dan
profesional menunjukkan Fresidu > Ftabel atau 86,6 >
7,68.
Ayu Nurchinta, Danang Tandyonomanu (2015: 1)
menulis laporan kuantitatif berjudul Penerapan Model
Pembelajaran Andragogi untuk Meningkatkan Hasil
Mata Diklat Pemetaan Keluarga Sejahtera Di Bidang
Pelatihan Dan Pengembangan BKKBN Provinsi Jawa
Timur. Penelitian ini menemukan bahwa penerapan
model pembelajaran andragogi di Bidang Pelatihan dan
Pengembangan BKKBN Provinsi Jawa Timur dapat
meningkatkan hasil mata diklat Pemetaan Keluarga
Sejahtera dengan t hitung lebih besar dari t tabel atau
thitung 5,482 > ttabel 2,074. Artinya bahwa kelas A
sebagai kelas eksperimen yang diberi perlakuan
menggunakan model pembelajaran andragogi terdapat
kenaikan hasil belajar yang signifikan, dibandingkan
kelas B sebagai kelas kontrol yang menggunakan model
pembelajaran konvensional. Temuan penelitian ini
mendukung penelitian pengembangan pembelajaran
58
berbasis andragogi yang akan dilakukan oleh penulis,
khususnya tentang variabel andragogi. Perbedaannya
terletak pada perlakukan yang dilakukan, yaitu
menggunakan CMS Moodle sebagai medianya.
Temuan penelitian dari Laurie C. Blondy (2007),
Wenny Hulukati (2010), Ayu Nurchinta, Danang
Tandyonomanu (2015) merupakan temuan utama dan
sangat mendukung penelitian Pengembangan Modul
Pelatihan Karya Tulis Ilmiah Berbasis Andragogi
Berbantuan CMS Moodle yang dikembangkan.
Utamanya pada variabel andragogi yang berbeda secara
signifikan dengan pembelajaran tatap muka. Namun
pada penelitin pengembangan ini variabel andragogi
dikaitkan dengan variabel dampak (variabel Y) yaitu
kompetensi guru SD.
Berkaitan dengan e-Learning dan CMS Moodle,
Ramayah (2010: 96) melakukan penelitian quantitative
survey tentang the role of voluntariness in distance
education students’ usage of a course website. Temuan
yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah: 1) bahwa
gambaran (persepsi) kemudahan penggunaan sistem
perkuliahan berdampak signifikan terhadap
penggunaan perkuliahan berbasis website (β =0.488, p<
0.01). 2) bahwa gambaran tersebut berdampak
signifikan terhadap penggunaaan perkuliahan berbasis
website (β = 0.356, p< 0.01). Berarti bahwa hipotesis
diterima. Berikutnya, Burhanuddin (2011: 70)
59
melakukan penelitian tentang pengembangan e-learning
dengan moodle sebagai alternatif media pembelajaran
berbasis internet menemukan hasil: 1) e-learning
sekolah dengan CMS Moodle yang telah dikembangkan
dapat dikatakan sudah baik, 2) Hasilnya diolah secara
deskriptif persentase. Hasil checklist yang dilihat dari 2
aspek yaitu desain pembelajaran dan komunikasi
visual, menunjukan e-learning ini termasuk dalam
kategori baik dengan persentase dalam desain
pembelajaran, guru 89% dan siswa 82,13%. sedangkan
dalam komunikasi visual, guru 87,35% dan siswa
80,3%, 3) Guru harus proaktif untuk menggunakan
media ini secara keseluruhan.
Girard & Pinar (2011: 27) melakukan penelitian
survei kuantitatif dengan sampel 98 mahasiswa dari
Northeastern part of the United States. Temuan yang
dihasilkan dalam penelitian ini adalah: 1) Keseluruhan
nilai rata-rata yang menjadi parameter penelitian
menunjukkan angka lebih tinggi secara signifikan
dengan tingkat kepercayaan 99% ( p < 0,01). 2) Analisis
korelasi Pearson menggambarkan bahwa jumlah modul
yang telah diselesaikan berkorelasi secara signifikan
dengan prestasi belajar mahasiswa (r = 0,63) dan nilai
tugas setiap modul (r = 0,66) pada tingkat kepercayaan
99 % ( p < 0,01), 3) Tingkat kehadiran mahasiswa
berkorelasi positif dan signifikan dengan nilai tugas
setiap modul (r = 0,30) dan nilai mata kuliah (r = 0,62 ;
60
p< 0,01). Selanjutnya, Chao, Hwu & Chang (2011: 311)
melakukan penelitian eksperimen dengan sampel
sebesar 128 mahasiswa, terdiri dari 3 kelompok/team.
Kelompok A (n=40 mahasiswa), B (n=46 mahasiswa)
dan C (n=42 mahasiswa). Temuan yang dihasilkan
dalam penelitian ini adalah: 1) Secara umum Kelompok
A dalam mengikuti ujian akhir pembelajaran lebih
sukses dibandingkan Kelompok B dan C. 2) Pengujian
dengan menggunakan teknik ANCOVA pada taraf
signifikansi α=0.05, diperoleh hasil F = 21.85,p ≤ 0.05.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa efektivtas pembelajaran
Kelompok A lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan Kelompok C, 3) Mahasiswa Kelompok A lebih
efektif dalam belajar. Penyimpulan utama ini
berdasarkan temuan bahwa mereka memiliki
kesempatan lebih untuk sharing pengetahuan dan
interaksi belajar. Poppy Yaniawati (2012: 381)
melakukan penelitian pengembangan dengan tujuan
menghasilkan suatu model e-learning. Hasil Penelitian
berupa (1) gambaran kondisi pedesaan untuk
mengembangkan model pembelajaran berbasis e-
learning; pada umumnya menggunakan jaringan
modem internet, (2) prasyarat berjalannya e-learning
optimal, (3) model pembelajaran dengan sistem e-
learning menggunakan aplikasi Moodle berjalan secara
efektif.
61
Temuan penelitian Ramayah (2010);
Burhanuddin (2011), Chao, Lin Hwu & Cheng Chang
(2011) dan Poppy Yaniawati (2012) mendukung
pengembangan model pelatihan menggunakan e-
leraning CMS Moodle yang dilakukan penulis.
Berikutnya, penelitian relevan berkaitan dengan
modul pelatihan antara lain; Sukisman, P. (2013: 1)
dengan judul Pengembangan Modul Pelatihan Berbasis
Blended Learning untuk meningkatkan Keterampilan
Inkuiri dan Scaffolding Guru Kimia, menunjukkan
bahwa hasil analisis kualitatif dari need assessment
dan telaah pustaka menetapkan karakteristik modul
berdasarkan tiga kriteria utama, yaitu desain
instruksional, desain teknis, dan konten (kelayakan isi).
Hasil penilaian modul menunjukkan bahwa modul yang
disusun termasuk dalam kategori sangat baik (Nilai
akhir = .275,2, Mi = 204, SDi = 45,33). Hal ini berarti
modul, setelah dilakukan revisi dapat digunakan
sebagai modul pelatihan untuk meningkatkan
keterampilan inkuiri dan scaffolding guru-guru kimia.
Budiyono Herman, Rubiati, Agus Setyonegoro
(2014: 7) meneliti tentang Pengembangan Bahan
Pelatihan Desain Sistem Pembelajaran Bagi Guru
Bahasa Indonesia SMA. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: 1) secara keseluruhan, berdasarkan validasi
AMP, Bahan Pelatihan DSPBI-SMA memiliki kelayakan
materi sebesar 90,91% (sangat baik/layak). Dengan
62
demikian, modul Bahan Pelatihan DSPBI-SMA tersebut
layak untuk dipergunakan. 2) melalui fasilitas modul
dapat meningkatkan kompetensi pedagogik guru dan
akhirnya kompetensi profesionalismenya juga
meningkat.
Sedangkan, Fitzgerald & Adams (2016: 627)
meneliti tentang Design and Formative Evaluation of an
e-Learning Modul for Training Teachers to Integrate
Technology into Teaching. Menunjukkan bahwa modul
pelatihan e-learning dapat mengembangkan
pengetahuan guru tentang teknologi, pedagogi, dan
pengetahuan materi (TPACK). Modul dievaluasi dengan
76 guru dari dua sekolah menengah di Southern
California untuk menggunakan modul pelatihan, dan
20 menyelesaikan kuesioner (dengan 33 pertanyaan)
tentang pengalaman mereka. Hasil penelitian
menujukkan peserta memperoleh pengetahuan dan
keterampilan untuk menggunakan lab komputer,
mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran
dikelas.
Penelitian tentang andragogi telah banyak
dilakukan seperti telah dikemukakan pada review
setiap jurnal, Laurie C. Blondy (2007), Wenny Hulukati
(2010), Ayu Nurchinta dan Danang Tandyonomanu
(2015). Demikian juga penelitian tentang pembelajaran
berbasis e-learning juga telah banyak dilakukan, yaitu
penelitian yang dilakukan Ramayah (2010);
63
Burhanuddin (2011), Chao, Lin Hwu & Cheng Chang
(2011) dan Poppy Yaniawati (2012). Penelitian tentang
modul pelatihan juga telah banyak dilakukan,
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sukisman,
P (2013), Budiyono Herman, Rubiati, Agus Setyonegoro
(2014) dan Fitzgerald, A., & Adams, S. (2016). Namun
penelitian-penelitian dengan variabel andragogi untuk
meningkatkan kompetensi guru dalam jurnal yang
telah direview oleh penulis lebih dominan sebagai
penelitian korelasional dan eksperimental saja.
Kalaupun ada penelitian model andragogi itupun model
konseptual yang hakikatnya berbeda dengan model
prosedural yang akan dikembangkan dalam
Pengembangan modul pelatihan karya tulis ilmiah
berbasis andragogi berbantuan CMS Moodle. Demikian
juga belum dilakukan penelitian yang secara spesifik
mengembangkan modul berbasis andragogi untuk
mengembangkan kompetensi guru.
2.4 Kerangka Berpikir
Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 4
orang yaitu 1 Pengawas SD, 1 Kepala Sekolah dan 2
Guru SD yang berada dijajaran UPTD Dikdas dan LS
Kecamatan Wonosegoro Kabupaten Boyolali
menemukan: 1) guru mengalami keterbatasan buku/
sumber belajar, (2) guru kurang waktu untuk
mengikuti pelatihan dikarenakan sibuk dengan
tugasnya sebagai guru serta urusan keluarga, (3) guru
64
memiliki kompetensi rendah dalam menulis karya tulis
ilmiah, (4) metode pelatihan yang diadakan belum
efektif.
Temuan tentang defisit kompetensi guru dalam
menulis karya tulis ilmiah menjadi entry point dalam
mengembangkan modul pelatihan yang mampu
meningkatkan kompetensi guru SD.
Dalam rangka memperbaiki kompetensi guru SD
dalam menulis karya tulis ilmiah, sesungguhnya secara
normatif komponen modul seperti telah dijabarkan di
atas, dapat dijadikan panduan dalam mengembangkan
modul pelatihan. Modul pelatihan dirancang dan
dilakukan berbasis andragogi. Sebagaimana halnya
hakikat andragogi, maka pelatihan dilakukan secara
mandiri.
Sedangkan media pelaksanaan pelatihan yang
selaras dengan karakteristik guru SD yang notabene
adalah guru SD dalam jabatan, dibutuhkan teknologi
media pembelajaran yang memungkinkan para guru
melaksanakan kegiatan pelatihan tanpa mengganggu
tugas mengajar mereka. Teknologi media pembelajaran
mutakhir yang secara potensial memberikan
kesempatan kepada guru SD salah satunya adalah
CMS Moodle. CMS Moodle merupakan software untuk
membuat materi pelatihan online (berbasis web),
mengelola kegiatan pembelajaran dan hasil-hasilnya,
65
memfasilitasi interaksi, komunikasi, kerjasama antar
pelatih dan peserta.
Pelatihan berbasis andragogi berbantuan CMS
Moodle memungkinkan peserta pelatihan (guru) secara
aktif didorong oleh niat menguasai kompetensi,
mengakses materi-materi perkuliahan, mengerjakan
tugas dan melakukan evaluasi secara mandiri. Software
ini sudah familier dikalangan praktisi pendidikan,
bersifat open source, mudah digunakan oleh pelatih dan
peserta pelatihan karena tidak menuntut ICT literacy
yang tinggi. Secara empirik berbagai hasil penenlitian
menunjukkan bahwa CMS Moodlee mampu
meningkatkan efektivitas belajar guru SD. Secara
skematik, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat
dicermati melalui Gambar 2.2.
Model kerangka pikir seperti tersebut dalam
gambar 2.2 di atas, menggambarkan alur logis
pemecahan permasalahan dalam penelitian dan
pengembangan ini.
66
Seperti telah dikemukakan pada bagian
identifikasi masalah, bahwa permasalahan utama
dalam penelitian ini adalah: 1) guru mengalami
keterbatasan buku/sumber belajar, (2) guru kurang
waktu untuk mengikuti pelatihan dikarenakan sibuk
dengan tugasnya sebagai guru serta urusan keluarga,
(3) guru memiliki kompetensi rendah dalam menulis
karya tulis ilmiah, (4) metode pelatihan yang diadakan
belum efektif.
Bagan 2.2 Skema kerangka berpikir penelitian pengembangan modul pelatihan
berbasis andragogi menggunakan CMS Moodle
Defisit
kompetensi
guru SD
dalam menulis
karya ilmiah
Tujuan pengembangan Modul
Pelatihan Berbasis Andragogi:
mengantarkan guru-guru SD memiliki
keterampilan menulis karya tulis
ilmiah
LMS Moodle
1. Panduan pelatih dan peserta
pelatihan
2. Learning Object Materials (LOM)
3. Program mapping
4. Pelatihan On-line dan assignment
5. Tes online
Kompetensi
guru SD
dalam
menulis
karya tulis
Ilmiah
meningkat
Desain komponen
pelatihan
1. Tujuan Umum Pelatihan
2. Materi Pelatihan
3. Metode Pelatihan\
4. Media Pelatihan
5. Evaluasi Pelatihan
67
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, perlu
diupayakan pemecahan permasalannya. Berbagai
kajian teoretik telah dilakukan, utamanya kajian
tentang desain model-model penelitian dan
pengembangan, kajian tentang pengembangan modul
pelatihan berbasis andragogi dan berbagai kajian
penelitian yang telah dilakukan. Baik dalam jurnal
nasional maupun internasional. Berbagai kajian
tersebut mengarah kepada upaya pemecahan masalah
menggunakan komponen modul pelatihan
menggunakan teknologi penyampaian materi CMS
Moodle.
Berbekal kajian teoretik yang telah ada, temuan-
temuan penelitian dalam jurnal ilmiah, maka
dikembangkan model hipotetik pengembangan modul
pelatihan karya tulis ilmiah berbasis andragogi
menggunakan LMS Moodle, seperti dipaparkan pada
bagian 2.5.
1.5 Produk Hipotetik
Seperti juga telah dipaparkan pada bagian model
pengembangan modul pelatihan, orientasi teoretik yang
utama dalam pengembangan pada penelitian dan
pengembangan modul pelatihan karya tulis ilmiah
berbasis andragogi berbantuan CMS Moodle ini adalah
model ADDIE dan teori komponen modul pelatihan
berbasis andragogi dari Daryanto (2013: 25) .
68
Kemudian CMS Moodle digunakan sebagai media
penyampaian pelatihan.
Kelima langkah model pengembangan menurut
ADDIE ini dipadukan dengan komponen-komponen
modul. Dari temuan kesenjangan kompetensi guru SD
dalam menulis karya tulis ilmiah, bagan alur model
ADDIE dan komponen modul pelatihan dari Daryanto
yang diintegrasikan dalam CMS Moodle, maka dapat
dikemukakan pengembangan produk hipotetik modul
modul pelatihan karya tulis ilmiah berbasis andragogi
menggunakan CMS Moodle berikut:
Assignment Teori 2
Kompetensi 2 Assignment Praktik
2
BAGIAN AWAL
(Judul Bahan
Ajar)
BAGIAN PENDAHULUAN
BAGIAN PEMBELAJARAN
Materi untuk Indikator 2
Materi untuk Indikator 1 Materi untuk Indikator
….
Assignment Teori 1 Assignment Teori
…..
Kompetensi … Assignment Praktik 1
Assignment Praktik
…
KUNCI JAWABAN
BAGIAN EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA
Bagan 2.3 Skema pengembangan produk hipotetik
PRODUK HIPOTETIK
Pengembangan Modul Pelatihan Karya Tulis Ilmiah Berbasis Andragogi
menggunaakan CMS Moodle