BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro ...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Usaha Mikro ...
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
2.1.1.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kegiatan usaha
yang mampu memperluas lapangan kerja, memberikan pelayanan ekonomi secara
luas kepada masyarakat, berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan
pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam
mewujudkan stabilitas nasional (Iman dan Adi, 2009).
Usaha Mikro Kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha, yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau
usaha besar, yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah.
Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM, Usaha Kecil
dan Menengah (UKM) merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam
pembangunan ekonomi. Gerak sektor UKM amat vital untuk menciptakan
pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel serta dapat dengan
13
mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Mereka juga
menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan dengan sektor usaha
lainnya, dan mereka cukup terdiversifikasi serta memberikan kontribusi penting
dalam ekspor dan perdagangan. Secara keseluruhan.
Sedangkan kriteria UMKM menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang
UMKM adalah
Tabel 2.1
Kriteria UMKM menurut UU No.20 Tahun 2008 No. URAIAN KRITERIA
ASSET OMZET
1 USAHA MIKRO Maks. 50 Juta Maks. 300 Juta
2 USAHA KECIL > 50 Juta - 500 Juta > 300 Juta - 2,5 Miliar
3 USAHA MENENGAH > 500 Juta - 10 Miliar > 2,5 Miliar - 50 Miliar
Sumber : www.depkop.go.id
Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah. Kriteria usaha mikro adalah sebagai berikut :
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
14
Kementerian Koperasi dan UKM mengelompokkan usaha mikro kecil dan
menengah menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan total asset, total penjualan tahunan,
dan status usaha dengan kriteria sebagai berikut:
1. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat
tradisional dan informal, dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan
belum
2. berbadan hukum. Hasil penjualan bisnis tersebut paling banyak Rp. 100
juta. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memenuhi kriteria
antara lain:
1. Usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.
2. Usaha yang memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp. 1
miliyar.
3. Usaha yang berdiri sendiri, bukan perusahaan atau cabang
perusahaan Yang dimiliki, dikuasai atau terafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau skala besar.
15
4. Berbentuk usaha yang dimiliki orang perorangan, badan usaha
yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan
hukum, termasuk koperasi.
2.1.1.2. Komponen Laporan Kriteria Usaha Kecil dan Menengah.
Menurut World Bank,2009 dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
1. Small Enterprise, dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 30 orang,
pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta, jumlah aset tidak melebihi $ 3
juta.
2. Micro Enterprise, dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 10 orang,
pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu, jumlah aset tidak melebihi
$ 100 ribu.
2.1.1.3. Tujuan dan Peranan Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
Tujuan usaha mikro menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yaitu bertujuan menumbuhkan
danmengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional
berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Usaha mikro mempunyai peran
yang penting dalam pembangunan ekonomi, karena intensitas tenaga kerja yang
relatif lebih tinggi dan investasi yang lebih kecil, sehingga usaha mikro lebih
fleksibel dalam menghadapi danberadaptasi dengan perubahan pasar. Hal ini
menyebabkan usaha mikro tidakterlalu terpengaruh oleh tekanan eksternal, karena
dapat mengurang impor dan memiliki kandungan lokal yang tinggi. Oleh karena itu
16
pengembangan usahamikro dapat memberikan kontribusi pada diversifikasi ekonomi
dan perubahanstruktur sebagai prakondisi pertumbuhan ekonomi jangka panjang
yang stabil dan berkesinambungan.
Disamping itu UKM memiliki tingkat penciptaan lapangan kerja lebih
tinggi pada usaha mikro dari pada yang terjadi di perusahaan besar (Sutrisno
dan Sri,2006).Peran usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam
perekonomianIndonesia paling tidak dapat dilihat dari (Kementerian Koperasi
dan UKM, 2005 dalam Neddy, 2006 ):
1. Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di
berbagai sektor penyedia lapangan kerja yang terbesar
2. Pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan
pemberdayaan masyarakat
3. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi
4. Sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan
ekspor.
Peran UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) selama ini diakui berbagai
pihak cukup besar dalam perekonomian nasional. Beberapa peran strategis UMKM
menurut Bank Indonesia antara lain: jumlahnya yang besar dan terdapat dalam setiap
sektor ekonomi; menyerap banyak tenaga kerja dan setiap investasi menciptakan
lebih banyak kesempatan kerja; memiliki kemampuan untuk memanfaatkan bahan
baku lokal dan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat luas
dengan harga terjangkau.
17
2.1.1.4. Karakteristik Usaha Kecil dan Menengah
Penelitian yang dilakukan LM-FEUI (Lembaga Manajemen Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia) pada tahun 1994 menemukan karakteristik usaha
kecil (mikro) di Indonesia sebagai berikut (Ahmad, n.d dalam afifah 2012):
1. Hampir setengah perusahaan mikro kecil dan menengah hanya
menggunakan kapasitas terpasang60% atau kurang. Hal ini disebabkan
karena kesalahan dalam perencanaan dan ketidak mampuan memperbesar
pasar, dan lebih dari setengahperusahaan kecil didirikan sebagai
pengembangan usaha kecil kecilan.
2. Masalah utama yang dihadapi berbeda menurut tahap pengembangan
usaha.Pada masa pengembangan (sebelum investasi) terdapat dua
masalah yaitu, permodalan dan kemudahan berusaha (lokasi dan
perijinan). Pada tahap selanjutnya sektor usaha UMKM menghadapi
kendala permodalan dan pengadaan bahan baku. Selain hal itu juga
karena kurangnya keterampilan teknis dan administrasi.
3. Tingkat ketergantungan terhadap bantuan pemerintah berupa permodalan,
pemasaran dan pengadaan bahan baku relatif masih tinggi.
4. Hampir 60% masih menggunakan teknologi tradisional.
5. Hampir 70% usaha kecil melakukan pemasaran langsung terhadap
konsumen.
18
6. Sebagian besar pengusaha UMKM dalam memperoleh bantuan
perbankanmerasa rumit dan dokumen yang harus disiapkan sukar
dipenuhi.
2.1.1.5. Tantangan dan Permasalahan Usaha Mikro
Sebagaimana diketahui dari berbagai studi, bahwa dalam mengembangkan
usahanya, UMKM menghadapi berbagai kendala baik yang bersifat internal maupun
eksternal, permasalahan-permasalahan tersebut antara lain: aksesbilitas, manajemen,
permodalan, teknologi, bahan baku, informasi dan pemasaran, infrastruktur, birokrasi
dan pungutan, kemitraan. Dari beragamnya permasalahan yang dihadapi UMKM,
nampaknya permodalan tetap menjadi salah satu kebutuhan penting guna
menjalankan usahanya, baik kebutuhan modal kerja maupun investasi (Sri, n.d dalam
afifah 2012).
Menurut Haryadi ( 2010), ada beberapa faktor penghambat berkembangnya
UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) antara lain kurangnya modal dan
kemampuan manajerial yang rendah. Meskipun permintaan atas usaha mereka
meningkat karena terkendala dana maka sering kali tidak bisa untuk memenuhi
permintaan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mendapatkan
informasi tentang tata cara mendapatkan dana dan keterbasan kemampuan dalam
membuat usulan untuk mendapatkan dana.
Kebanyakan UMKM dalam menjalankan usaha tanpa adanya perencanaan,
pengendalian maupun juga evalusi kegiatan usaha. Menurut Afifah (2012),
permasalahan UMKM dapat dikategorikan sebagai berikut:
19
Permasalahan yang bersifat klasik dan mendasar pada UMKM
(basicproblems), antara lain berupa permasalahan modal, bentuk badan hukumyang
umumnya non formal, sumber daya manusia (SDM), pengembangan produk dan
akses pemasaran;
1. Permasalahan lanjutan (advanced problems), antara lain pengenalan dan
penetrasi pasar ekspor yang belum optimal, kurangnya pemahaman
terhadap desain produk yang sesuai dengan karakter pasar, permasalahan
hukum yang menyangkut hak paten, prosedur kontrak penjualan serta
peraturan yang berlaku di negara tujuan ekspor;
2. Permasalahan antara (intermediate problems), yaitu permasalahan dari
instansi terkait untuk menyelesaikan masalah dasar agar mampu
menghadapi persoalan lanjutan secara lebih baik. Permasalahan tersebut
antara lain dalam
3. hal manajemen keuangan, agunan dan keterbatasan dalam
kewirausahaan.
4. Dengan pemahaman atas permasalahan di atas, akan dapat ditengarai
berbagai problem dalam UMKM dalam tingkatan yang berbeda, sehingga
solusi dan penanganannyapun seharusnya berbeda pula. Menurut I Gusti
(2011) dalam afifah (2012) tantangan yang dihadapi UMKM dan
Koperasi,antara lain :
20
1. Teknologi
Penelusuran studi mengatakan bahwa komoditi yang dihasilkan
pengusaha mikro, kecil dan menengah & koperasi masih
mempergunakan teknologi relatif rendah. Sementara negara maju
lainnya pengembangannya berorientasi kepada teknologi maju.
Berangkat darisituasi tersebut daya saing produknya didaerah relatif
kalah bersaing dibanding produk-produk dari negara-negara yang
sudah berorientasi pada teknologi maju. Kendala Universitas Sumatera
Utara penggunaan teknologi terbesar adalah biayanya yang cukup
besar (mahal). Sering terjadi peluang pasar meningkat tetapi tak
mampu memanfaatkannya karena tidak tersedianya teknologi yang
memungkinkan peningkatan produktivitas.
2. Sumber Daya Manusia (SDM)
Selama ini sebagian besar tenaga kerja yang bergerak dalam usaha
mikro, kecil dan menengah & koperasi bukan merupakan tenaga kerja
yang profesional, yang mampu mengelola usaha dengan baik.
3. Manajemen
Manajemen Pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah & Koperasi
merupakan salah satu faktor daya saing yang sangat penting. Banyak
perusahaan yang punya teknologi, sumber daya manusia dengan skill
yang memadai dan modal yang cukup, namun kinerja masih belum
memenuhi harapan.
21
4. Permodalan
Perkembangan permodalan para pengusaha mikro, kecil dan
menengah hingga kini masih relatif lambat, dan karenanya masih
sering memerlukan bantuan baik dari pemerintah maupun dari
pengusaha besar. Modal adalah bagian yang tak terpisahkan dalam
usaha pengembangan suatu bisnis, karena itu akses modal baik yang
berwujud kredit, barang produksi merupakan sarana yang sangat
diperlukan dalam meningkatkan daya saing pengusaha mikro, kecil
dan menengah dan koperasi. Kalangan perbankan masih sering menilai
para pengusaha mikro, kecil dan menengah & koperasi belum
Bankable.
5. Organisasi dan Kelembagaan
Masih banyak terjadi bahwa perusahaan-perusahaan yang termasuk
UMKM & Koperasi belum menunjukkan kejelasan prinsip-prinsip
organisasi seperti kejelasan tujuan, kejelasan misi, kejelasan aktivitas,
kejelasan rentang kendali. Adalah kenyataan pada umumnya para
Pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah & Koperasi sering
menggunakan tipe organisasi yang sangat sederhana yang akibatnya
berpengaruh terhadap perkembangan dan peningkatan daya saing.
22
2.1.2. Usaha Kecil Menengah Kota Bandung
2.1.2.1. Gambaran Umum Usaha Kecil Menengah Kota Bandung
Usaha Kecil Menengah (UKM) di Kota Bandung berkembang semenjak tahun
2000an, hal ini disebabkan oleh perkembangan perekonomian di Kota Bandung yang
terus menunjukan perkembangan setiap tahunnya sehingga, menjadi sebuah sektor
industry yang meningkatkan perekonomian.
Tabel 2.2
UKM Kota Bandung Tahun 2013 s/d 2014
SEKTOR/KEGIATAN
KRITERIA
2013 2014
USAHA KECIL 10.861 11.219
USAHA MENENGAH 2.265 2.374
TOTAL UKM 13.126 13.593
Sumber : Diskoperindag Kota Bandung Tahun 2014 bidang UKM
Kota Bandung memiliki potensi yang besar bagi pelaku Usaha Kecil
Menengah yang baru. Potensi pariwisata belanja merupakan peluang terbesar bagi
pelaku UKM bandung untuk mengembangkan potensi tersebut. Walaupun ribuan
Usaha Kecil dan Menengah di Kota Bandung terhitung banyak, tetapi UKM di Kota
Bandung masih terbilang memiliki kekurangan dalam menerapkan standar – standar
yang sudah ditetapkan.
23
2.1.3. Pendapatan
2.1.3.1.Pengertian Pendapatan
Pendapatan menurut Theodurus M.Tuanakotta dalam buku “Teori Akuntansi”
menyatakan bahwa :
“Pendapatan (Revenue) dapat didefinisikan secara umum sebagai hasil dari
suatu perusahaan. Pendapatan adalah darah kehidupan dari suatu perusahaan.
Mengingat pentingnya sangat sulit mendefinisikan pendapatan sebagai unsur
akuntansi pada dirinya sendiri. Pada dasarnya pendapatan adalah kenaikan
laba. Seperti laba pendapatan adalah proses arus penciptaan barang atau jasa
oleh suatu perusahaan selama suatu kurun waktu tertentu. Umumnya,
pendapatan dinyatakan dalam satuan moneter (uang)”. (2000;152)
Pengertian pendapatan adalah salah satu aktiva lancar yang penting, karena
menyangkut kegiatan operasi perusahaan. Pendapatan merupakan bagian yang
penting baik untuk perusahaan jasa maupun perusahaan perdagangan.
Pengertian pendapatan menurut Ikatan Akuntansi Indonesia dalam buku
“Standar Akuntansi Keuangan” adalah sebagai berikut :
“Pendapatan adalah Arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari
aktivitas normal perusahaan selama satu periode bila arus masuk itu
mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi
penanaman modal”. (2002;23.2)
Sedangkan pendapatan menurut Kusnadi dalam buku “Akuntansi Keuangan
Menengah (Intermediate):Prinsip, Prosedur, dan Metode“ menyatakan bahwa :
“Pendapatan adalah suatu penambahan aktiva (harta) yang
mengakibatkan bertambahnya modal tetapi bukan karena penambahan
24
modal dari pemilik atau bukan hutang melainkan melalui penjualan
barang atau jasa kepada pihak lain, karena pendapatan ini dapat
dikatakan sebagai kontra prestasi yang diterima atas jasa-jasa yang telah
diberikan kepada pihak lain“. (2000;9)
Pendapatan menurut Theodorus. M. Tuanakotta dalam buku “Teori
Akuntansi” adalah sebagai berikut :
“Pendapatan adalah inflow of assets ke dalam perusahaan sebagai akibat
penjualan barang dan jasa”. (2000;153)
Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa pendapatan adalah suatu
jumlah yang diperoleh dari hasil penjualan barang atau jasa yang dilakukan oleh
suatu perusahaan.
2.1.3.2. Pengukuran dan Pengakuan Pendapatan
Menurut SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Entitas harus mengukur
pendapatan berdasarkan nilai wajar atas pembayaran yang diterima atau
masih harus diterima. Nilai wajar tersebut tidak termasuk jumlah diskon
penjualan dan potongan volume.
Entitas harus memasukkan dalam pendapatan manfaat ekonomi yang
diterima atau masih harus diterima secara bruto. Entitas harus mengeluarkan
dari pendapatan sejumlah nilai yang menjadi bagian pihak ketiga seperti
pajak penjualan, pajak atas barang dan jasa, dan pajak pertambahan nilai.
Dalam hubungan keagenan, entitas memasukkan dalam pendapatan hanya
25
sebesar jumlah komisi. Jumlah yang diperoleh atas nama pihak prinsipal
bukan merupakan pendapatan entitas tersebut.
Seusai dengan Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas Akuntan Publik
(SAK ETAP 2009:20) dalam akuntansi untuk pendapatan yang muncul sebagai akibat
dari transaksi atau kejadian berikut:
1. Penjualan barang (baik diproduksi oleh entitas untuk tujuan produksi atau
dibeli untuk dijual kembali);
2. Pemberian jasa;
3. Kontrak konstruksi;
4. Penggunaan aset entitas oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti
atau dividen.
Jika hasil transaksi yang melibatkan penyediaan jasa dapat diestimasi secara
andal, maka entitas harus mengakui pendapatan yang berhubungan dengan transaksi
sesuai dengan tahap penyelesaian dari transaksi pada akhir periode pelaporan
(terkadang dimaksudkan sebagai metode persentase penyelesaian). Hasil suatu
transaksi dapat diestimasi secara andal jika memenuhi semua kondisi berikut:
1. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;
2. Ada kemungkinan besar bahwa manfaat ekonomis yang berhubungan
dengan transaksi akan mengalir kepada entitas;
3. Tingkat penyelesaian transaksi pada akhir periode pelaporan dapat diukur
secara andal; dan
4. Biaya yang terjadi dalam transaksi dan biaya penyelesaian transaksi dapat
diukur secara andal.
26
2.1.3.3. Pendapatan dari Penjualan Barang
Berdasarkan (SAK ETAP 2009:20.3-20.4) Entitas harus mengakui
pendapatan dari suatu penjualan barang jika semua kondisi berikut terpenuhi:
1. Entitas telah mengalihkan risiko dan manfaat yang signifikan dari
kepemilikan barang kepada pembeli;
2. Entitas tidak mempertahankan atau meneruskan baik keterlibatan
manajerial sampai kepada tingkat dimanabiasanya diasosiasikan
dengan kepemilikan maupun kontrol efektif atas barang yang terjual;
3. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;
4. Ada kemungkinan besar manfaat ekonomi yang berhubungan dengan
transaksi akan mengalir masuk ke dalam entitas; dan
5. Biaya yang telah atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi dapat
diukur secara andal.
Entitas tidak boleh mengakui pendapatan jika entitas mempertahankan risiko
kepemilikan yang signifikan. Contoh dari situasi dimana entitas diperbolehkan
mempertahankan risiko dan manfaat yang signifikan dari kepemilikan adalah sebagai
berikut:
1. Ketika entitas mempertahankan kewajiban atas kinerja yang tidak
memuaskan yang tidak tercakup dalam kewajiban diestimasi untuk
garansi normal;
27
2. Ketika penerimaan pendapatan dari penjualan tertentu adalah
kontinjen pada pembeli yang menjual barang;
3. Ketika barang yang dikirimkan memerlukan instalasi daninstalasi
tersebut adalah bagian signifikan dari kontrak danbelum dikerjakan;
4. Ketika pembeli memiliki hak untuk membatalkan pembelian dengan
alasan yang dicantumkan dalam kontrak penjualan dan entitas tidak
yakin dengan kemungkinan pengembalian.
2.1.3.4. Pendapatan dari Penyediaan Jasa
Berdasarkan SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Jika hasil transaksi yang
melibatkan penyediaan jasa dapat diestimasi secara andal, maka entitas harus
mengakui pendapatan yang berhubungan dengan transaksi sesuai dengan tahap
penyelesaian dari transaksi pada akhir periode pelaporan (terkadang dimaksudkan
sebagai metode persentase penyelesaian). Hasil suatu transaksi dapat diestimasi
secara andal jika memenuhi semua kondisi berikut:
1. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;
2. Ada kemungkinan besar bahwa manfaat ekonomis yang berhubungan
dengan transaksi akan mengalir kepada entitas;
3. Tingkat penyelesaian transaksi pada akhir periode pelaporan dapat
diukur secara andal; dan
4. Biaya yang terjadi dalam transaksi dan biaya penyelesaian transaksi
dapat diukur secara andal.
28
Jika dalam periode waktu tertentu jasa diberikan melalui beberapa pekerjaan
yang tidak ditentukan jumlahnya, maka entitas mengakui pendapatan secara garis
lurus selama periode tersebut, kecuali terdapat bukti bahwa metode lain dapat lebih
baik untuk menunjukkan tingkat penyelesaian. Jika suatu pekerjaan tertentu menjadi
lebih signifikan dibandingkan dengan pekerjaan lainnya, maka entitas menunda
pengakuan pendapatan sampai pekerjaan signifikan tersebut dilaksanakan.
Jika hasil transaksi melibatkan penyediaan jasa tidak dapat diestimasikan
secara andal, maka entitas harus mengakui pendapatan hanya sampai dengan beban
yang dapat diperoleh kembali.
2.1.3.5. Pendapatan dari Kontrak Kontruksi
Menurut SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Jika hasil kontrak konstruksi dapat
diestimasi secara andal, maka entitas harus mengakui pendapatan kontrak dan biaya
kontrak yang berhubungan dengan kontrak konstruksi masing-masing sebagai
pendapatan dan beban yang disesuaikan dengan tingkat penyelesaian aktivitas
kontrak pada akhir periode pelaporan (seringkali dimaksudkan sebagai metode
persentase penyelesaian). Estimasi hasil yang andal membutuhkan estimasi tingkat
penyelesaian, biaya masa depan dan kolektabilitas tagihan yang andal.
Persyaratan dalam Bab ini biasanya diberlakukan secara terpisah pada setiap
kontrak konstruksi. Namun, dalam beberapa hal adalah penting untuk menerapkan
bagian ini terhadap komponen yang dapat diidentifikasikan secara terpisah dalam
suatu kontrak tunggal atau terhadap suatu kelompok
29
kontrak dalam rangka merefleksikan substansi dari suatu kontrak atau suatu
kelompok kontrak. Ketika suatu kontrak meliputi sejumlah aset, konstruksi dari setiap
aset harus diperlakukan sebagai suatu kontrak konstruksi yang terpisah jika:
1. proposal yang terpisah telah diserahkan untuk setiap aset;
2. setiap aset telah dinegosiasikan secara terpisah dan kontraktor dan
pelanggan telah menerima atau menolak bagian kontrak tersebut yang
berhubungan dengan setiap aset; dan
3. biaya dan pendapatan setiap aset dapat diidentifikasi.
Suatu kontrak gabungan, baik dengan pelanggan tunggal maupun dengan beberapa
pelanggan, harus diperlakukan sebagai suatu kontrak konstruksi tunggal ketika:
1. kelompok kontrak tersebut dinegosiasikan sebagai paket tunggal;
2. kontrak-kontrak tersebut saling berhubungan erat sehingga mereka,
sebagai akibatnya, menjadi bagian dari suatu proyek tunggal dengan
suatu margin laba keseluruhan; dan
3. kontrak-kontrak tersebut dikerjakan bersama-sama atau
30
2.1.3.6. Pendapatan dari Bunga, Royalti, dan Deviden
Berdasarkan SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Entitas harus mengakui
pendapatan yang muncul dari penggunaan aset oleh entitas yang lain yang
menghasilkan bunga, royalti, dan dividen atas dasar yang ditetapkan ketika:
a. ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomis yang berhubungan dengan
transaksi akan mengalir kepada entitas; dan
b. jumlah pendapatan tersebut dapat diukur secara andal.
Entitas harus mengakui pendapatan atas dasar berikut:
1. bunga harus diakui secara akrual;
2. royalti harus diakui dengan menggunakan dasar akrual sesuai
dengan substansi dari perjanjian yang relevan; dan
3. dividen harus diakui ketika hak pemegang saham untuk
menerima pembayaran telah terjadi.
31
2.1.4. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik
2.1.4.1. Pengertian SAK ETAP
Pada tanggal 19 Mei 2009, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK)
mengesahkan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas tanpa Akuntabilitas Publik
(SAK ETAP).
SAK ETAP ini nampak seide dengan International Financial Reporting
Standard for Small and Medium-sized Entities (IFRS for SMEs). Meskipun memiliki
judul yang berbeda, namun baik SAK ETAP maupun IFRS for SMEs sama-sama
diperuntukkan bagi entitas tanpa akuntabilitas publik, hanya saja istilah yang
digunakan sebagai judul pada IFRS adalah small and medium-sized entities (SMEs).
Jadi, apabila kita membandingkan judul pada IFRS for SMEs dan SAK
ETAP, maka istilah entitas tanpa akuntabilitas publik) sama pengertiannya dengan
small and medium-sized entities. Apabila SAK ETAP telah disahkan pada bulan Mei
2009, IFRS for SMEs sendiri baru disahkan pada bulan Juli 2009.
Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik
(SAK ETAP) adalah standar akuntansi yang disusun sebagai acuan dan dimaksudkan
untuk digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik.
2.1.4.2. Manfaat SAK ETAP
Berdasarkan SAK ETAP (2009:20.3-20.4) SAK ETAP dimaksudkan agar
semua unit usaha menyusun laporan keuangan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Setiap perusahaan memiliki prinsip going concern yakni menginginkan
32
usahanya terus berkembang. Untuk mengembangkan usaha perlu banyak upaya yang
harus dilakukan. Salah satu upaya itu adalah perlunya meyakinkan publik bahwa
usaha yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam akuntansi wujud
pertanggungjawaban tersebut dilakukan dengan menyusun dan menyajikan laporan
keuangan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Penyajian laporan keuangan
yang sesuai dengan standar, akan membantu manajemen perusahaan untuk
memperoleh berbagai kemudahan, misalnya: untuk menentukan kebijakan
perusahaan di masa yang datang; dapat memperoleh pinjaman dana dari pihak ketiga,
dan sebagainya.
Standar ETAP ini disusun cukup sederhana sehingga tidak akan menyulitkan
bagi penggunanya yang merupakan entitas tanpa akuntabilitas public (ETAP) yang
mayoritas adalah perusahaan yang tergolong usaha kecil dan menengah. ETAP
sebagaimana kepanjangan yang telah diuraikan di atas merupakan unit kegiatan yang
melakukan aktifitas tetapi sahamnya tidak dimiliki oleh masyarakat atau dengan kata
lain unit usaha yang dimiliki oleh orang perorang atau sekelompok orang, dimana
kegiatan dan modalnya masih terbatas. Jenis kegiatan seperti ini di Indonesia
menempati angka sekitar 80 %. Oleh sebab itu perlu adanya perhatian khusus dari
semua pihak yang berkepentingan dalam hal penyajian laporan keuangan.
2.1.4.3. Karakteristik SAK ETAP
Menurut SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Standar Akuntansi Keuangan Entitas
Tanpa Akuntabilitas Publik memiliki karakteristik sebagai berikut
33
1. Stand alone accounting standard (tidakmengacukeSAK Umum)
2. Mayoritas menggunakan historical cost concepts
3. Hanya mengatur transaksi yang umum dilakukan Usaha Kecil dan
Menengah
4. Pengaturan lebih sederhana dibandingkan SAK Umum
a. Alternatif yang dipilih adalah alternatif yang paling sederhana
b. Penyerdehanaan pengakuan dan pengukuran
c. Pengurangan pengungkapan
5. Tidak akan berubah selama beberapa tahun
2.1.4.4. Karakteristik Pengguna SAK ETAP
Berdasarkan SAK ETAP (2009:20.3-20.4) Standar Akuntansi Keuangan
untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) dimaksudkan untuk
digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik. Entitas tanpa akuntabilitas publik adalah
entitas yang:
1. tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan; dan
2. menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose
financial statement) bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna
eksternal adalah pemilik yang tidak terlibat langsung dalam
pengelolaan usaha, kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.
Entitas memiliki akuntabilitas publik signifikan jika:
34
1. entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses
pengajuan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau
regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau
2. entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk
sekelompok besar masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang
dan atau pedagang efek, dana pensiun, reksa dana dan bank investasi.
Entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan dapat menggunakan
SAK ETAP jika otoritas berwenang membuat regulasi mengizinkan penggunaan
SAK ETAP.
2.1.4.5. Implementasi SAK ETAP
Menurut SAK ETAP (2009) SAK ETAP mulai diberlakukan pada akhir
tahun 2011. Penggunaan PSAK ini harus konsisten untuk tahun-tahun berikutnya.
Apalagi yang sudah memutuskan untuk menggunakan PSAK umum dalam penyajian
laporan keuangan, maka untuk selanjutnya tidak boleh merevisi kebijakannya ke
PSAK ETAP.
Entitas dapat menerapkan SAK ETAP secara retrospektif, namun jika tidak
praktis, maka entitas diperkenankan untuk menerapkan SAK ETAP secara prospektif.
Entitas yang menerapkan secara prospektif dan sebelumnya telah menyusun laporan
keuangan maka:
1. Mengakui semua aset dan kewajiban yang pengakuannya
dipersyaratkan dalam SAK ETAP;
35
2. Tidak mengakui pos-pos sebagai aset atau kewajiban jika SAK ETAP
tidak mengijinkan pengakuan tersebut;
3. Mereklasifikasikan pos-pos yang diakui sebagai suatu jenis aset,
kewajiban atau komponen ekuitas berdasarkan kerangka pelaporan
sebelumnya, tetapi merupakan jenis aset, kewajiban, atau komponen
ekuitas yang berbeda berdasarkan SAK ETAP;
4. Menerapkan SAK ETAP dalam pengukuran seluruh aset dan
kewajiban yang diakui.
Penerapan secara retrospektif artinya bahwa kebijakan akuntansi yang baru
diterapkan seolah-olah kebijakan akuntansi tersebut telah digunakan sebelumnya.
Oleh karena itu, kebijakan akuntansi yang baru, diterapkan pada kejadian atau
transaksi sejak tanggal terjadinya kejadian atau transaksi tersebut. Sedangkan
penerapan secara prospektif artinya kebijakan akuntansi yang baru, diterapkan pada
kejadian atau transaksi yang terjadi setelah tanggal perubahan. Tidak ada penyesuaian
yang dilakukan terhadap periode sebelumnya.
Kebijakan akuntansi yang digunakan oleh entitas pada saldo awal neracanya
berdasarkan SAK ETAP mungkin berbeda dari yang digunakan untuk tanggal yang
sama dengan menggunakan kerangka pelaporan keuangan sebelumnya. Hasil
penyesuaian yang muncul dari transaksi, kejadian atau kondisi lainnyasebelum
tanggal efektif SAK ETAP diakui secara langsung pada saldo laba pada tanggal
penerapan SAK ETAP.
36
Pada tahun awal penerapan SAK ETAP, entitas yang memenuhi persyaratan
untuk menerapkan SAK ETAP dapat menyusun laporan keuangan tidak berdasarkan
SAK ETAP, tetapi berdasarkan PSAK non-ETAP sepanjang diterapkan secara
konsisten. Entitas tersebut tidak diperkenankan untuk kemudian menerapkan SAK
ETAP ini untuk penyusunan laporan keuangan berikutnya. Entitas yang menyusun
laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP kemudian tidak memenuhi persyaratan
entitas yang boleh menggunakan SAK ETAP, maka entitas tersebut tidak
diperkenankan untuk menyusun laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP. Entitas
tersebut wajib menyusun laporan keuangan berdasarkan PSAK non- ETAP dan tidak
diperkenankan untuk menerapkan SAK ETAP
Entitas yang sebelumnya menggunakan SAK non-ETAP dalam menyusun
laporan keuangannya dan kemudian memenuhi persyaratan entitas yang dapat
menggunakan SAK ETAP, maka entitas tersebut dapat menggunakan SAK ETAP ini
dalam menyusun laporan keuangan.
2.2. Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian-penelitian yang dijadikan referensi pada penelitian ini
ditampilkan dalam tabel berikut:
37
Tabel 2.3
Penelitian Terdahulu
No. Peneliti Jurnal Judul Hasil
1. Arri Alfitri,
Ngadiman,
Sohidin (2014)
Jurnal UNS,
Vol 2, NO 2,
Hal 135 s/d
147
Penerapan Standar
Akuntansi Keuangan
Entitas Tanpa
Akuntabilitas Publik
(SAK ETAP Pda
Usaha Mikro Kecil
Menengah Perajin
Mebel DEsa
Gondangsari
Kecamatan Juwiring
Kabupaten Klaten
Kurangnya pengetahuan
perajin mebel tentang
SAK-ETAP.
Belum adanya tenaga
akuntansi yang
profesional pada UMKM
perajin mebel
Sebagian besar perajin
mebel mengaku tidak
menganggap penting
pencatatan atau
pembukuan dan
penyusunan laporan
keuangan.
Kurang efektifnya
sosialisasi dari pihak
yang berwenang tentang
SAK-ETAP
2. Lilya Andriani,
Anantawikrama
Tungga Atmadja,
Ni Kadek
Sinarwati (2014)
e-Journal S1
Ak Universitas
Pendidikan
Ganesha
Jurusan
Akuntansi
Program S1
(Vol: 2 No: 1
Tahun 2014)
Analisis Penerapan
Pencatatan Keuangan
Berbasis SAK ETAP
pada usaha mikro
kecil menengah
(UMKM) (Sebuah
Studi Intrepetatif
Pada Peggy Salon)
kurangnya pengetahuaan
pemilik
Peggy Salon mengenai
standar akuntansi
dalam penyusunan laporan
keuangan.
tidak melakukan
pencatatan
akuntansi berbasis SAK
ETAP disebabkan
pula karena tidak adanya
pengawasan
dari pihak-pihak yang
berkepentingan
terhadap laporan keuangan
UMKM
38
No. Peneliti Jurnal Judul Hasil
3. Adetula(formerly
Oyerinde),
Dorcas Titilayo
(Ph.D, ACA)
(2014)
European
Journal of
Accounting
Auditing and
Finance
Research
Vol.2, No.4,
pp.33-38, June
2014
International
Financial Reporting
Standards (IFRS) for
SMES Adoption
Process in Nigeria
Findings show that a
major factor why IFRSs
would be adopted by
Nigeria is because other
countries have adopted
them
The preparers of financial
reports of small firms
perceive IFRS for SMEs
promulgated by the IASB
to be very relevant to
small firms in Nigeria.
The study shows that the
level of preparation by
SMEs in Lagos is not yet
satisfactory.
4. Edi Siswono.
(2014)
Indonesian
Article
Research
Network: Vol.
2 No. 2, Juli-
Desember 2014
Penerapan
Penyusunan Laporan
Keuangan Pada
Usaha Kecil
Menengah Berbasis
Standar Akuntansi
Keuangan Entitas
Tanpa Akuntablitas
Publik (Studi Kasus
UKM Brebes Fried
Chicken)
Dalam pembuatan laporan
keuangan kendala-
kendalanya antara lain
kurangnya sumber daya
manusia yang memiliki
kemampuan dalam
menyusun laporan
keuangan serta kurangnya
waktu yang difokuskan
untuk membuat laporan
keuangan karena waktu
yang ada lebih
dimaksimalkan pada
kegiatan operasi usaha.
5. David H.M
Hasibuan,
Annria
Magdakena, dan
Yosep Gunawan
(2011)
Jurnal Ilmiah
Rangga
Gading Vol.
11 No.2, Hal
142 s/d 149,
Oktober 2011
Evaluasi Atas
Pengakuan
Pendaapatan Pada
Perusahaan Jasa
Kontruksi Kaitannya
terhadap Laba Rugi
Perusahaan (Studi
Kasus pada PT Nusa
Sukses Jaya)
PT Nusa Sukses Jaya
hanya mengakui
pendapatan saja. Ini
menimbulkan pencatatan
yang tidak sewajarnya
karena tidak diketahui
laba/rugi proyek tersebut
dalam laporan keuangan
Sumber: Data Diolah Sendiri
39
2.3. Kerangka Pemikiran
Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas Akuntan Publik (SAK ETAP)
digunakan oleh entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik (ETAP) dan dapat
digunakan oleh entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan jika otoritas
yang berwenang mengizinkan. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.
11/37/DKBU tanggal 31 Desember 2009 BPR diperkenankan untuk menggunakan
ETAP. (SAK ETAP 1:2011) Dari pernyataan di atas peneliti menyimpulkan bahwa
SAK ETAP diperkenankan untuk dipergunakan oleh pelaku usaha tanpa entitas
publik, dalam hal ini disebut Usaha Kecil Menengah.
Kesadaran Usaha Kecil Menengah terhadap penggunaan standar akuntansi
yang dalam hal ini adalah SAK ETAP masih rendah, hal ini disebabkan karena
kurangnya informasi, advokasi, dan pelatihan terhadap UKM mengenai SAK ETAP
itu sendiri (Dr. Sony Warsono:2010). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Kesadaran UKM terhadap SAK ETAP masih rendah.
Menurut (Rias Tuiti, 7:2014) Meskipun pelaku UMKM tidak berasal dari latar
belakang pendidikan Ekonomi/Akuntansi atau bahkan hanya menempuh jenjang
pendidikan yang rendah, tetapi mereka pernah mengikuti pelatihan atau sosialisasi
dan sejenisnya yang erhubungan dengan akuntansi. Pelatihan tersebut secara tidak
langsung mengajarkan proses penyusunan laporan keuangan berdasarkan SAK
40
ETAP. Kegiatan tersebut menyebabkan UMKM dapat memahami penyusunan
laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP.
Dari artikel (Suhairi, 2007) yang berjudul Overload Standar Akuntansi
Keuangan dan Analisis Teknik Serta Prosedur Akuntansi untuk Pengembangan
Penerapan Akuntansi pada UMKM di Indonesia memberikan salah satu kesimpulan
yaitu teknik dan proses akuntansi yang digunakan diterapkan UMKM di Indonesia
masih banyak terpengaruh dengan sistem tata buku sehingga banyak yang tidak
mampu menyiapkan laporan keuangan secara lengkap. Umumnya, UMKM
menggunakan buku kas harian yang kemudian dari buku tersebut disusun pada
laporan laba rugi. Sedangkan untuk menyusun laporan keuangan lainnya, ditemukan
berbagai kesulitan sehingga banyak yang tidak mampu menyiapkan laporan
keuangan.
Penerapan SAK ETAP membawa dampak yang luas terhadap pengembangan
akuntansi di Indonesia, baik secara praktik maupun akademik. Standar baru ini
memengaruhi pakem teori akuntansi di Indonesia, yang berdampak pada perubahan
dalam penyusunan laporan keuangan entitas. Dengan diadopsinya SAK Etap sebagai
standar akuntansi yang baru maka mahasiswa sebagai calon akuntan harusnya
menguasai ketentuan dan penggunaan SAK Etap. Apalagi sebagian kecil perusahaan
telah mensyaratkan “SAK ETAP capability” pada job vacancies yang mereka buka.
Ini membuktikan bahwa dunia bisnis menuntut lulusan akuntansi siap pakai untuk
mengaplikasi dan menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan SAK Etap. Dalam
41
hubungannya dengan kualitas lulusan akuntansi, maka akuntan pendidik merupakan
salah satu profesi akuntansi yang melaksanakan proses penciptaan profesi akuntan
yang wajib mengetahui regulasi akuntansi yang berkaitan dengan standar akuntansi
termasuk pengetahuan akan SAK Etap (Wiraharja dan Wahyuni, 2009).
Dari beberapa pernyataan diatas dapat dismpulkan bahwa SAK ETAP
diperlukan oleh UKM. Sehingga penerapan SAK ETAP di butuhkan oleh Usaha
Kecil Menengah. Dalam hal penerapan pengakuan pendapatan yang sesuai SAK
ETAP, oleh sebab itu maka peneliti menggambarkan hubungan variabel penelitian
sebagai berikut
Gambar 2.3
Hubungan Variabel X dengan Y
Dalam penelitian ini peneliti akan menganalisis bagaimana penerapan
Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas Akuntan Publik (SAK ETAP) di Kota
Bandung.
Pengakuan pendapatan
UKM Kota Bandung sesuai
SAK ETAP
(Y)
Penerapan SAK
ETAP
(X)
42
2.4. Hipotesis Pemikiran
Berdasarkan berbagai kajian asumsi dan kerangka pemikiran yang telah
dijabarkan, maka dibuat hipotesis sebagai berikut:
H1: Kesadaran UKM terhadap adanya Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas
Akuntan Publik (SAK ETAP) mempengaruhi tingkat penerapannya
H2: Pemahaman UKM Standar Akuntansi Keuangan Tanpa Entitas Akuntan
Publik (SAK ETAP) mempengaruhi tingkat penerapannya
H3: Terdapat kendala – kendala yang terjadi pada proses pengakuana pendapatan
UKM di Bandung dalam menerapkan SAK ETAP