BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Histologi Kulit Sapi Bali fileKomponen utama pada korium adalah berkas...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Histologi Kulit Sapi Bali fileKomponen utama pada korium adalah berkas...
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Histologi Kulit Sapi Bali
Kulit adalah organ pelindung khususnya dalam fungsinya sebagai
pengatur suhu tubuh, alat ekskresi serta melindungi tubuh dari gangguan fisik.
Pasca pemotongan (postmortem) ternak, semua fungsi kulit itu hilang dan kulit
hanya terlindungi oleh rambut, bulu, sisik atau oleh kerapatan serabut jaringan
kulit (Thorstensen, 1985). Secara histologi, umumnya stuktur kulit ternak itu sama
yakni terdiri dari epidermis, korium, dan subkutis. Perbedaannya hanya pada
ketebalan dari masing-masing bagian tersebut. (Arshad, 1989) menyebutkan
bahwa struktur kulit sapi khususnnya pada serabut jaringan kulitnya lebih rapat
dibandingkan dengan struktur kulit domba namun lebih terbuka dibandingkan
dengan kulit kambing. Gambaran histologi kulit ternak disajikan pada gambar 2.
Gambar 2.1
Struktur Histologi Kulit Ternak (Sarkar 1995)
2
Epidermis adalah bagian terluar dari struktur kulit dan lebih tipis dari
pada korium (Gambar 2.1) dengan ketebalan mencapai 1–2% dari total tebal
kulit. Epidermis tersusun oleh jaringan epitel yang berasal dari bagian ektoderm.
Sementara itu, korium terletak dibawah epidermis dengan ketebalan 98%
(Sarkar, 1995). Struktur korium berbeda dengan struktur epidermis yang mana
korium tersusun oleh jaringan ikat padat tidak beraturan yang berasal dari
mesoderm (Sarkar, 1995). Korium terdiri atas cairan jaringan, substansi dasar, sel,
dan serabut (Djojowidagdo, 1999). Korium adalah struktur kulit yang tersusun
protein dan menjadi bagian penting dalam pengolahannya melalui metode
ekstraksi menjadi gelatin. Komponen utama pada korium adalah berkas serabut
kolagen yang saling membentuk anyaman dan mempengaruhi kualitas kulit.
Kualitas kulit ditentukan oleh struktur jaringan dan komposisi kimia dalam kulit.
Struktur jaringan kulit meliputi diameter fibril, diameter serabut, tebal tipisnya
berkas serabut, sudut jalinan dan tebal tipisnya kulit. Swatland (1984)
menjelaskan bahwa serabut kolagen jaringan ikat mempunyai diameter 1-12 m,
sedangkan ikatan-ikatan paralel fibril penyusun serabut kolagen berdiameter 20-
100 nm. Lebih lanjut disebutkan bahwa kecepatan pertumbuhan berkas serabut
kolagen semakin menurun sampai pada umur tertentu sampai akhirnya mencapai
konstan. Djojowidagdo (1988) menyebutkan bahwa semakin tua umur ternak
komposisi kulitnya mengandung protein fibrous yang semakin tinggi, kadar lemak
semakin tinggi, namun persentase kadar abunya semakin rendah. Soeparno (2005)
menyatakan bahwa jumlah dan kekuatan fisik kolagen dapat meningkat sejalan
dengan meningkatnya umur hewan.
3
2.2 Protein Kulit dan Potensinya sebagai Gelatin
Kulit hewan segar memiliki komposisi kimia yang masih utuh meliputi air
± 65%, protein ± 33%, lemak ± 2 - 10% dan mineral ± 0,5%. Kolagen merupakan
protein utama kulit yang kandungannya cukup tinggi dan termasuk golongan
protein fibrus. Sarkar (1995) menyebutkan bahwa kolagen pada kulit hewan kecil
berkisar antara 30–33% (berat kering atau bk), sedangkan pada kulit anak sapi
(84% bk), sapi dewasa (87,2% bk) dan sapi jantan (95,1% bk). Protein kolagen
dihubungkan dengan ikatan hidrogen dan ikatan kovalen-silang. Model ikatan
antara hidrogen dengan kolagen, ditunjukkan seperti pada Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2
Model ikatan hidrogen pada kolagen (Covington dan Lampard, 1998)
Ikatan hidrogen berpengaruh terhadap sifat fisik kulit segar. Pada gambar 2.2
ditunjukkan bahwa degradasi molekul kolagen dapat terjadi karena pelepasan
molekul air dari ikatannya (Bienkiewicz, 1990).
4
Struktur protein kolagen ditandai dengan struktur triple helix pada
tropokolagen dengan panjang 280-300 nm dan tebal 1,5 nm serta mempunyai
berat molekul sekitar 300.000 Dalton dengan polimerisasinya membentuk fibril
kolagen (Highberger, 1993). Molekul kolagen tersusun dari kira-kira dua puluh
asam amino yang memiliki bentuk agak berbeda bergantung pada sumber bahan
bakunya. Asam amino glisin, prolin, dan hidroksiprolin merupakan asam amino
utama kolagen. Asam-asam amino aromatik dan sulfur terdapat dalam jumlah
yang sedikit. Hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino pembatas dalam
berbagai protein (Chaplin, 2005). Molekul dasar pembentuk kolagen disebut
tropokolagen yang mempunyai struktur batang dengan BM 300 kDa, dimana di
dalamnya terdapat tiga rantai polipeptida yang sama panjang bersama-sama
membentuk struktur heliks, seperti yang digambarkan pada gambar 2.3
Gambar 2.3
Struktur Triple Helix Penyusun Gelatin
Tiap tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur heliks
tersendiri, menahan bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara group NH dari
5
residu glisin pada rantai yang satu dengan grup CO pada rantai lainnya. Cincin
pirolidin, prolin, dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida
dan memperkuat triple heliks.
Pemurnian atau pemisahan berkas serabut kolagen dapat dilakukan dengan
mendegradasi ikatan hidrogennya (Bienkiewicz, 1990). Chen et al., (1991)
menggambarkan model molekuler struktur tiga dimensi triple helix (Gly-Pro-
Hyp) kolagen tipe I, seperti pada gambar 2.3 diatas yang disebutkan bahwa
Struktur triple helix dalam molekul dasar kolagen memiliki susunan asam amino
yang khas, yaitu Gly-X-Y, dengan posisi X adalah prolin dan posisi Y adalah
hidroksiprolin. Model struktur tersebut yang kemudian terisolasi dengan metode
ekstraksi tertentu menjadi gelatin dengan komposisi (-Ala-Gly-Pro-Arg-Gly-Glu-
4Hyp-Gly-Pro-) dan digambarkan seperti Gambar 2.4.
Gambar 2.4
Model struktur gelatin yang telah terekstrak (Chaplin 2005)
6
Menurut Fernandez-Diaz, et. al (2001), kolagen kulit ikan lebih mudah
hancur daripada kolagen kulit hewan, dimana kedua jenis kolagen ini akan
hancur oleh proses pemanasan dan aktivitas enzim. Sifat kolagen tidak larut
dalam larutan netral atau air, tetapi dapat larut dalam asam kuat dan basa kuat
(Sarkar, 1995).
NH3+ NH3
+ NH2
H C COOH HC COO - H C COO - H+ H+
R R R
kondisi asam kondisi netral kondisi basa
Gambar 2.5
Kolagen kulit pada kondisi asam, netral, dan basa (Sarkar, 1995)
Pada Gambar 2.5, kolagen dalam kondisi netral (pH isoelektrik) berada dalam
bentuk ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino dipolar, gugus
amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi.
Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH rendah
(asam) gugus karboksilnya tidak terdisosiasi, sedangkan gugus aminonya
menjadi ion. Pada pH tinggi (basa), karboksil terdisosiasi sedangkan gugus
aminonya tidak. Sifat lain kolagen, jika didihkan di dalam air, kolagen akan
mengalami transformasi dari sifat yang tidak larut menjadi mudah larut yang
disebut gelatin, yaitu merupakan campuran polipeptida yang larut, dengan proses
reaksinya melibatkan proses hidrolisis beberapa ikatan kovalen pada kolagen
(Go´mez-Guille´n et al. (2011).
7
Produk hasil hidrolisis protein kolagen menghasilkan gelatin dan kualitasnya
sangat dipengaruhi oleh proses pemisahannya. Kualitas gelatin dipengaruhi oleh
tahapan proses pembuatan gelatin antara lain swelling (pembengkakan), ekstraksi,
dan pengeringan (Taufik 2011). Swelling biasanya menggunakan larutan asam,
basa atau asam dan basa. Jenis dan konsentrasi larutan asam tersebut
mempengaruhi sifat gelatin yang dihasilkan. Konsentrasi larutan asam asetat juga
berpengaruh terhadap jumlah kolagen yang terlarut pada waktu proses ekstraksi
berlangsung (Wang et al. 2008). Proses pengembangan kulit pada proses
hidrolisis dengan perendaman menggunakan asam asetat menyebabkan terjadinya
penetrasi asam ke dalam struktur kulit. Penggunaan larutan asam asetat
menyebabkan terjadinya peningkatan ion H+ yang masuk ke dalam struktur kulit
melalui gaya elektrostatik antar gugus polar. Hal ini berpengaruh terhadap
pemisahan struktur serat kolagen dan juga mengganggu ikatan non kovalen
kolagen yang menyebabkan serat kolagen menjadi prokolagen (Jaswir et al.
2011). Kolodziejska et al. (2004) menyatakan bahwa bahan kimia yang digunakan
sebelum perlakuan maupun dalam kondisi ekstraksi (suhu dan waktu) dapat
berpengaruh terhadap panjang rantai polipeptida dan sifat fungsional gelatin.
Reaksi pemutusan ikatan kovalen pada struktur tropokolagen akan lebih
mudah dilakukan dalam suasana asam dan dengan kekuatan ionik yang lebih
besar. Namun demikian konsentasi asam yang terlalu besar akan menghasilkan
strukur gelatin dengan massa molekul relatif yang lebih rendah dan viskositasnya
semakin berkurang. Asam asetat merupakan asam lemah sehingga diharapkan
tidak akan mendenaturasi secara total kolagen yang akan dikonversi menjadi
8
gelatin. Ekstraksi dengan air hangat akan meneruskan pemutusan ikatan-ikatan
silang, serta untuk merusak ikatan hidrogen yang menjadi faktor penstabil struktur
kolagen. Proses kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen karena pemanasan >45°C
mengakibatkan terganggunya stabilitas struktur triple helix kolagen sehingga
terjadi perubahan bentuk menjadi gulungan dan akhirnya kolagen terdegradasi
menjadi gelatin (Gomez-Guillen et al. 2011).
Gelatin merupakan protein yang pada umumnya tersusun dari senyawa
karbon, hidrogen, gugus hiroksil (OH), gugus karbonil (C=O), dan gugus amina
(NH). Berdasarkan karakteristik gugus fungsinya, serapan khas gelatin dibagi
menjadi 4 bagian, yaitu daerah serapan amida A pada bilangan gelombang 3600-
2300 cm-1
, amida I pada bilangan gelombang 1636-1661 cm-1
, amida II pada
bilangan gelombang 1560-1335 cm-1
, dan amida III pada bilangan gelombang
1300-1200 cm-1
(Muyongga et al.2004). Menurut Scrieber & Gareis (2007), unsur
penting dalam gelatin adalah protein, yaitu mencapai 85 sampai 92%, sisanya
adalah garam-garam mineral dan air. Komposisi asam amino mempengaruhi sifat
mekanik dari produk gelatin. Bila kandungan asam aminonya (prolin dan hidroksi
prolin) rendah maka kekuatan gel dan titik lelehnya pun akan rendah sehingga
sifat mekaniknya pun kurang bagus. Kadar asam amino gelatin dari jenis bahan
baku yang sama bisa saja berbeda, disebabkan oleh metode ekstraksi yang
berbeda, konsentrasi bahan pengekstrak yang berbeda ataupun metode
pembuatannya yang berbeda. Miwada et al. (2017) menyebutkan bahwa
komposisi asam amino gelatin dari berbagai kulit kaki ternak dengan
menggunakan asam asetat pada konsentrasi 1,5% dengan lama curing 3 hari
9
menghasilkan komposisi asam amino gelatin yang tidak lengkap, seperti tidak
ditemukannya asam amino jenis triptopan (Tabel 2.1).
Tabel 2.1
Komposisi Asam Amino Gelatin dari Berbagai Kulit Kaki Ternak
Jenis Asam
Amino
Gelatin Kulit
Kaki Ayam
Broiler
Gelatin Kulit
Kaki Sapi
Gelatin Kulit
Kaki
Kambing
Referensi
Schreiber dan
Garies (2007)
Aspartic Acid 3,018 3,038 3,668 2,.900
Glutamic 10,169 10,796 11,782 4,800
Serine 9,470 9,604 9,903 3,500
Histidine 11,185 11,553 11,775 0,400
Glycine 2,754 3,019 3,205 33,000
Threonine 6,353 6,777 6,947 1,800
Arginine 6,094 6,508 6,815 4,900
Alanine 1,387 1,359 1,450 11,200
Tyrosine 1,486 1,682 1,801 0,260
Methionine 1,205 1,471 1,545 0,360
Valine 1,553 1,498 1,492 2,600
Phenylalanine 1,111 1,111 1,165 1,400
Isoleusine 3,114 3,156 2,871 1,00
Leucine 12,554 11,472 12,351 -
Lysine 7,516 7,336 7,117 2,700
Sumber : Miwada et al. (2017)
Menurut cara pembuatannya, gelatin digolongkan ke dalam 2 tipe, yakni
gelatin tipe A dan tipe B (Tabel 2.2). Gelatin tipe A umumnya terbuat dari kulit
hewan muda (terutama babi) sehingga proses pelunakannya dapat dilakukan
dengan cepat yaitu dengan sistim perendaman dalam larutan asam (A=acid).
Sedangkan, gelatin tipe B adalah gelatin yang diolah dari bahan baku yang keras
seperti dari hewan tua dan tulang sehingga proses perendamannya lebih lama dan
larutan yang digunakan adalah larutan basa (B=base).
Karakteritik gelatin, seperti nilai pH larutan gelatin (Tabel 2.2) dapat
dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang dilakukan (Alfaro et al.,2014). Saat terjadi
pembengkakan, struktur ikatan asam amino pada molekul kolagen mengalami
10
pembukaan dan bahan curing atau asam asetat “terperangkap” diantara ikatan
tersebut. Asam asetat yang terperangkap dalam struktur ikatan tersebut dan tidak
larut saat proses netralisasi, sehingga secara langsung akan mempengaruhi nilai
pH pada akhir produk gelatin (Agustin dan Sompie, 2015).
Tabel 2.2
Karakteristik gelatin tipe A dan B
Sifat Karakteristik Gelatin Tipe Gelatin
Tipe A Tipe B
Bahan mentah Kulit babi Tulang
Proses curing Asam Basa
Kekuatan Gel (gram bloom) 260-280 220-240
Viskositas (cP) 130-20 170-30
Nilai pH 5,2-0,4 6,1-0,4
Maksimum total bakteri/g 1000 1000
Bakteri Coliform/g Negatif Negatif
Bakteri E. Coli/10g Negatif Negatif
Kadar protein (%) 94-96 94-96
Kadar abu (%) 1-2 1-2
Kadar air (%) 1-4 1-4
Sumber : (Pearson dan Dutson, 1992)
Lebih lanjut Agustin dan Sompie (2015) menyebutkan bahwa nilai pH
berpengaruh terhadap gelatin. Gelatin dengan pH netral diaplikasikan untuk
produk daging, farmasi, kromatografi, cat dan lainnya. Gelatin dengan pH rendah
digunakan untuk produk juice, jelly, sirop dan lainnya. Tingginya nilai viskositas
atau kekentalan larutan gelatin sangat erat kaitannya dengan kadar air gelatin
kering. Semakin rendah kadar air gelatin kering maka kemampuannya untuk
11
mengikat air akan semakin tinggi. Semakin banyak air yang terikat oleh gelatin
maka gel akan semakin kental dan nilai viskositasnya akan semakin tinggi
(Idiawati et al., 2014). Selain itu, viskositas larutan gelatin dapat meningkat
seiring dengan peningkatan konsentrasi gelatin dan penurunan temperatur (Gelatin
Manufactures Institute of America/GMIA, 2012).
2.3. Tanaman Gaharu (Gyrinops versteegii) dan Potensi Antioksidannya
Tanaman gaharu (Gyrinops versteegii) ini dikenal di daerah Bali
sedangkan di Lombok disebut ketenun, Sumba di sebut ruhu warna dan di Flores
serta Sumbawa dikenal dengan sebutan seke (CITES, 2004). Menurut Gilg (1932)
dalam Sumarna (2002) bahwa secara taksonomi, tanaman gaharu ini dapat
dijabarkan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Devisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub Kelas : Archiclamydae
Ordo : Thymelaeles
Family : Thymeleaceae
Genus : Gyrynops
Spesies : Gyrinops versteegii (Gilg) Domke
Manfaat tanaman gaharu selama ini lebih banyak pada bagian batang
dan gumbalnya sebagai parfum, obat dan dupa serta anti serangga. Hal ini didasari
atas kandungan minyak atsiri daun dan batang yang cukup banyak dan berbau
khas. Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) merupakan salah satu tumbuhan
12
hutan yang bernilai ekonomi tinggi yang mampu menghasilkan gubal berupa kayu
yang mengalami pelapukan akibat serangan beberapa spesies jamur.Tanaman
gaharu (Gyrinops versteegii) selama ini dikenal sebagai penghasil minyak atsiri
pada serbuk batang dan gumbalnya yakni sebagai parfum, obat dan dupa serta anti
serangga. Gaharu merupakan salah satu tumbuhan hutan yang bernilai ekonomi
tinggi yang mampu menghasilkan gubal berupa kayu yang mengalami pelapukan
akibat serangan beberapa spesies jamur. Gubal gaharu mengandung damar wangi
(aromatic resin) yang beraroma harum dan telah lama diperdagangkan sebagai
komoditi mahal untuk keperluan industri parfum dan dupa (Zubaidi dan Farida,
2008). Gaharu juga dikenal memiliki beberapa khasiat pengobatan, seperti
penyembuhan luka yang membusuk (Snelder dan Lasco, 2008), sebagai obat
rematik, obat gosok, penyembuh perut kembung dan obat sakit jantung (Setyowati
dan Wardah, 2007).
Gambar 2.6.
Karakteristik Daun Gaharu
Potensi lainnya dari tanaman gaharu ini yakni ada pada daunnya. Selama
ini telah dikembangkan pula pemanfaatan daunnya (khususnya pada daun tua
segar, seperti pada Gambar 2.6) sebagai minuman teh daun gaharu yang memiliki
13
potensi sebagai sumber antioksidan (Mega dan Swastini, 2010). Lebih lanjut
disebutkan bahwa hasil screening fitokimia dan uji aktivitas anti radikal bebas
menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun gaharu mengandung senyawa
metabolit sekunder flavonoid, tanin dan senyawa fenol. Potensi ini merupakan
indikator bahwa ekstrak daun gaharu ini mengandung antioksidan.
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menyerap atau menetralisir
radikal bebas sehingga mampu mencegah penyakit-penyakit degeneratif seperti
kardiovaskuler, karsinogenesis, dan penuaan. Senyawa antioksidan merupakan
substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah
kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein dan
lemak. Senyawa ini memiliki struktur molekul yang dapat memberikan
elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya
dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Murray et al., 2009).
Selama ini antioksidan sintetis banyak digunakan di masyarakat baik
dalam makanan maupun dalam minuman, seperti BHA (Butil Hidroksi Anisol),
BHT (Butil Hidroksi Toluen), PG (Propil Galat) dan TBHQ (Tert-Butil Hidrosi
Quinon). Menurut hasil penelitian Amarowicz et al. (2000) menyebutkan bahwa
penggunaan antioksidan sintetis ini dapat meningkatkan resiko penyakit
karsinogenesis. Penggunaan antioksidan alami dari tumbuhan dapat digunakan
sebagai pengganti antioksidan sintetis. Hal ini dikarenakan antioksidan alami
dalam tumbuhan mengandung mikronutrien seperti vitamin A, C, E, asam folat,
karotenoid, antosianin dan polifenol yang memiliki kemampuan menangkap
radikal bebas (Gill et al., 2002). Zheng dan Wang (2009) menyebutkan bahwa
14
tanaman obat sebagai sumber antioksidan alami mempunyai aktivitas antioksidan
yang tinggi yakni adanya kandungan fenol dan termasuk flavonoid. Senyawa
fenol ini memiliki gugus aktif yang berfungsi sebagai penangkap dan penghambat
reaksi radikal bebas yakni dengan adanya gugus –OH dan ikatan rangkap dua
>C=C<. Gugus hidroksi ini tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap
gugus –OH dan –OR (Okawa et al., 2001). Wrasiati (2011) menyebutkan bahwa
ekstrak bunga kamboja cendana dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan
seperti SOD, CAT dan GPx. Lebih lanjut disebutkan bahwa ekstraksi bunga
kamboja dengan ekstrak air lebih berpotensi digunakan sebagai sumber
antioksidan alami.
Potensi tanaman gaharu khususnya daun gaharu sebagai sumber
antioksidan alami telah dilakukan oleh Parwata (2014). Hasil kajiannya
menunjukkan bahwa ekstrak air daun gaharu mengandung senyawa kimia jenis
fenol, terpenoid dan flavonoid. Senyawa ini diyakini aktif sebagai senyawa
antioksidan alami. Pembuktian secara invitro bahwa ekstrak air daun gaharu
menghasilkan fenol (14,98%) dan aktivitas antioksidan dengan IC50 = 3,44 ppm (5
menit). Hal ini membuktikan bahwa ekstrak air daun gaharu potensial sebagai
antioksidan alami karena dengan 3,44 mg/L sudah dapat mereduksi 50% radikal
bebas. Sementara pembuktian secara invivo bahwa ekstrak air daun gaharu juga
dapat meningkatkan aktivitas SOD dan GPx.
15
2.4. Enkapsulasi
Pengertian enkapsulasi sebagai teknik untuk melindungi bahan inti (core)
yang aslinya berbentuk cair menjadi bentuk padatan sehingga mudah dalam
penanganannya serta dapat melindungi bahan tersebut dari kehilangan flavour.
Enkapsulasi dapat menjadikan komponen bahan aktif dari suatu bahan dapat
terlindungi dari pengaruh lingkungan yang merugikan, seperti kerusakan-
kerusakan akibat oksidasi, hidrolisis, penguapan atau degradasi oleh panas. Bahan
aktif akan mempunyai masa simpan yang lebih panjang serta mempunyai
kestabilan proses yang lebih baik (Supriyadi dan Rujita, 2013). Dalam proses
enkapsulasi ada dua bahan utama yang terlibat yakni bahan inti dan bahan
penyalut. Bahan inti yang akan disalut berbentuk cair sedangkan penyalutnya
adalah bahan yang digunakan untuk menyalut bahan inti. Barbosa et al. (2005)
menyebutkan bahwa keuntungan dari teknik enkapsulasi adalah melindungi dan
mengontrol pelepasan bahan aktif. Teknik coacervation adalah teknik enkapsulasi
dengan prinsip pembentukan gelasi ionic. Coacervation merupakan teknik
enkapsulasi yang mudah karena bahan pengkapsul yang digunakan mudah
didapat, tidak membutuh peralatan yang mahal dan dapat digunakan pada suhu
ruang. Disamping itu, pemilihan teknik coacervation juga dikarenakan efisienasi
enkapsulasi yang tinggi (Chan et al., 2010). Bahan pengkapsul yang biasa
digunakan dalam teknik coacervation adalah alginate yang dikombinasikan
dengan protein. Alginat digunakan karena memiliki gugus karboksil sehingga
mampu membentuk gel dengan kation divalen, sedangkan protein berperan
sebagai pengelmusi. Bahan penyalut lainnya yang biasa digunakan diantaranya
16
gum arab, maltodekstrin, pati termodifikasi, CMC dan dekstrin. Namun demikin,
penambahan bahan penyalut perlu dibatasi karena jika jumlahnya terlalu banyak
akan menghasilkan produk dengan kadar antioksidan yang rendah dan jika
jumlahnya sedikit maka proses pengeringan ekstrak menjadi sulit.
2.5. Edible Film dan Karakteristiknya
Edible film merupakan salah satu kemasan aktif yang bersifat
biodegradable (layak dimakan). Teknologi kemasan aktif ini sebagai terobosan
alternatif pengganti plastik atau kemasan konvensional lainnya. Edible film
merupakan lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang bersifat hidrokoloid serta
lemak atau campurannya yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa serta
dapat digunakan sebagai pembawa senyawa antibakteri yang dapat melindungi
produk dari bakteri pathogen. Edible packaging adalah lapisan tipis yang dibuat
dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan (coating) atau
diletakan diantara komponen makanan (film) sehingga kita kenal dengan istilah
edible coating dan edible film (Bourtoom, 2008) Edible ini berfungsi sebagai
penghalangan terhadap perpindahan massa (kelembaban, oksigen, cahaya, lipid
dan zat terlarut) atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan
penanganan suatu produk pangan (Krochta dan Johnson, 1997), melindungi
makanan dan dari invasi uap air dan oksigen (Liu dan Han, 2005), mencegah
kehilangan air dalam makanan (Krochta et al., 1994) serta bersifat ramah
lingkungan (Kim dan Ustunol, 2001) dan (Simelane dan Ustunol, 2005).
Bahan tambahan (aditif) dalam pembuatan edible film berbasis gelatin
yakni perlunya ditambahkan bahan pemlastik (plasticizer). Penambahan pemlastis
17
pada pembuatan edible film diperlukan untuk meningkatkan elastisitas dan
fleksibilitas edible film (Krochta et al., 1994). Berbagai jenis pemlastik yang
digunakan sebagai aditif pada pembuatan edible film yakni gliserol, sorbitol, CMC
dan lain-lain. Penggunaan pemlastik gliserol lebih baik dibanding pemlastis yang
lainnya karena edible film yang dihasilkan lebih fleksibel dan tidak rapuh, serta
sifat mekanik dan kenampakannya tidak berubah selama penyimpanan. Plasticizer
ini berperan dalam memperbaiki sifat-sifat edible film dengan cara menginterupsi
interaksi antar rantai polimer (Brody, 2005), menghalangi terjadinya interaksi
antara molekul dan meningkatkan jumlah molekul yang bebas (Mali et al., 2004)
serta melemahkan kekuatan ikatan intermolekuler pada rantai polimer yang ada
diseberangnya (Gounga et al., 2007).
Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik
menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama
pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film
melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa
sifat film meliputi kekuatan tarik, ketebalan, kemuluran dan laju transmisi uap
air. Kemuluran (Elongation) didefinisikan sebagai prosentase perubahan panjang
film pada saat film ditarik sampai putus. Kemuluran dari edible film dikatakan
baik jika nilainya lebih dari 50% dan dikatakan buruk jika nilainya kurang dari
10% (Krochta dan De Muller-Johnson, 1997). Disamping kemuluran, juga ada
kekuatan tarik yakni merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai
film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekuatan
tarik berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai
18
tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau
memanjang. Arvanitoyannis et al. (1997) menyatakan bahwa besarnya kekuatan
tarik ditentukan oleh struktur jaringan yaitu bentuk anyaman dan kandungan
protein dalam kolagen pada gelatin edible film. Ketebalan film merupakan sifat
fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film dan
ukuran plat pencetak. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air,
gas dan senyawa volatile. Sementara indikator lainnya yakni laju transmisi uap air
menunjukkan kecepatan menembusnya uap air (per gram per detik) persatuan luas
edible film atau kemampuan film untuk menghambat transmisi air, maka
permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin (Gontard et al., 1993).
Edible film dapat dibuat dari bahan protein, polisakarida atau lemak (wax)
maupun penggabungan dari bahan-bahan tersebut (Caner et al., 1998). Selama
ini bahan baku edible film yang banyak digunakan adalah dari golongan pati,
sedangkan golongan protein dari ternak khususnya kulit ternak masih jarang
digunakan. Salah satu bahan baku edible film dari golongan protein asal ternak
yang memiliki sifat-sifat yang baik dan berpotensi untuk digunakan sebagai bahan
baku adalah gelatin (Klahorst, 1999).
2.6. Sosis Sapi
Sosis (dalam bahasa inggrisnya sausage) berasal dari bahas latin, salsus
yang artinya asin. Sosis dibuat dari daging segar, tidak diperam (tanpa curing),
dicacah dilumatkan atau digiling diberi garam dan bumu-bumbu serta dimasukkan
dan dipadatkan didalam selongsong (Soeparno, 2005). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa selongsong sosis biasanya digunakan dari usus hewan. Namun dengan
19
perkembangan teknologi, saat ini selongsong sosis bisa digunakan dari bahan
sintetis diantanya selulosa, kolagen yang dapat dimakan, maupun dari plastik.
Karakteristik negatif selongsong sosis dari usus hewan yakni mudah mengalami
kerusakan oleh mikroorganisme sehingga setelah dibersihkan perlu dikeringkan
ataupun digarami. Disamping itu karakteristik selongsong sosis alami ini yakni
dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap dan cairan namun kurang
permeabel karena pengeringan, cairan dan panas menyebabkan selongsong sosis
ini menjadi lunak dan porus sehingga dalam pengolahannya harus terkendali
(Soeparno, 2005). Sementara selongsong sosis buatan memiliki kekuatan yang
lebih besar dibandingkan dengan selongsong alami, seperti misalnya selongsong
plastic namun jenis selongsong ini tidak dapat ditembus oleh asap maupun cairan.
Tabel 2.3
Syarat Mutu Sosis Daging (SNI 01-3820-1995)
Jenis Analisis Syarat Mutu (%b/b)
Bau Normal
Rasa Normal
Warna Normal
Kadar air Maks 67,0
Kadar abu Maks 3,0
Kadar protein Min 13,0
Kadar lemak Maks 25
Kadar karbohidrat Maks 8
Menurut USDA (2001), produk sosis segar memiliki masa simpan 1 – 2
hari dalam suhu dingin (40C), sedangkan sosis asap memiliki masa simpan 7 hari.
Produk sosis semi kering memiliki masa simpan 3 minggu dalam suhu dingin.
20
Penyimpanan beku pada suhu -180C akan memperpanjang masa simpan produk-
produk sosis tersebut hingga 1– 2 bulan. Sosis merupakan produk olahan daging
yang mempunyai nilai gizi tinggi. Salah satu kriteria mutu sosis yang penting
dilihat dari kandungan gizinya, yaitu terdiri atas kadar air, abu, lemak, protein dan
karbohidrat. Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820- 1995 dapat dilihat
pada Tabel 2.3. Karakteristik sosis sapi ditentukan dari bahan utama penyusunnya
yakni daging sapi itu sendiri. Karakteristik warna merah daging sapi segar karena
adanya pigmen merah pada daging yaitu mioglobin teroksidasi dan terdenaturasi
selama pengolahan dan pemanasan. Pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi
oksimioglobin apabila terkena udara bebas, oksidasi lebih lanjut dari
oksimioglobin adalah metmioglobin yang menyebabkan daging berwarna coklat
(Soeparno, 2005).
Sosis sapi mengandung asam lemak tidak jenuh lebih tinggi dibanding
asam lemak jenuh, sehingga mudah teroksidasi. Kandungan lemak yang tinggi
pada sosis juga menyebabkan sosis mudah mengalami kebusukan/kerusakan.
Kerusakan sosis dapat terjadi akibat tumbuhnya mikroorganisme. Faktor-faktor
yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme antara lain disebabkan
kelembaban lingkungan, kadar air dan aktivitas air dalam produk, serta
tersedianya nutrisi yang cocok bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kandungan
lemak pada sosis daging sapi juga dapat menimbulkan bau tengik akibat proses
oksidasi. Sosis rentan terhadap oksidasi lipid yang menghasilkan komponen-
komponen seperti alkena, diena, dan aldehida, yang dapat menimbulkan rasa dan
bau tengik (Krkic et al., 2013). Menurut Muchtadi et al. (2011) oksidasi lemak
21
terjadi selama penyimpanan dan mengubah flavor menjadi tengik. Oksidasi lemak
menyebabkan karakteristik pangan tidak dapat diterima (Georgantelis et al.,
2007). Oksidasi menyebabkan hilangnya warna, aroma, rasa yang disukai, dan
memperpendek masa simpan (Coronado et al., 2001).
Pemanfaat edible film berbasis gelatin kulit sapi bali dan berpotensi
antioksidan dari ekstrak daun gaharu terenkapsulasi merupakan upaya untuk
melindungi produk selama penyimpanan dari dampak oksidasi lemak.