ENVELHECIMENTO BEM BEM SUCEDIDO CUIDADO BEM BEM SUCEDIDO CUIDADO.
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Gender 1. · 2018. 4. 11. · Bem Sex R. ole Inventory (BSRI) Bem...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Gender 1. · 2018. 4. 11. · Bem Sex R. ole Inventory (BSRI) Bem...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Orientasi Gender
2.1.1 Pengertian Orientasi Gender
Menurut Bem (1974) Orientasi gender merupakan karakteristik kepribadian laki-laki
dan perempuan yang dklasifikansikan kedalam 4 peran, yaitu :
1. Maskulin
Maskulin yaitu individu yang memiliki sifat kelaki-lakian diatas rata-rata
dan sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri yang berkaitan dengan
gender maskulin yang lebih umum ditemukan pada laki-laki atau suatu gender
maskulin yang dibentuk oleh budayanya. Dengan demikian gender maskulin
adalah sifat dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi
laki-laki.
2. Feminin
Feminine yaitu individu yang memiliki sifat keperempuanan diatas rata-rata
dan sifat kelaki-lakiannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri yang berkaitan dengan
gender feminine yang lebih umum ditemukan pada perempuan atau suatu gender
feminine yang dibentuk oleh budayanya.
3. Androgin
Androgin yaitu individu yang memiliki sifat kelaki-lakian dan
keperempuanan yang seimbang. Individu akan berperilaku fleksibel yang
memiliki mental yang sehat dibandingkan feminin dan maskulin.
8
4. Undifferentiated
Undifferentiated merupakan individu yang tidak terbedakan/ tidak
teridentifikasikan karena memiliki sifat kelaki-lakian dan keperempuanan
dibawah rata-rata.
2.1.2 Pengukuran Gender
Pengukuran gender dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur sebagai berikut :
1. The Personal Attributes Questionnaire (PAQ)
PAQ umumnya digunakan untuk membantu menggolongkan gender
seseorang dalam maskulinitas atau feminitas (Spence, Helmreich & Stapp, 1973).
Kuisioner ini berisi 24 pernyataan bertentangan yang dinilai dalam 5 skala poin.
Skala ini adalah nilai feminine, nilai maskulin dan sex specific. Total skor dari 3
skala (maskulin, feminine dan maskulin-feminin) ditentukan oleh penjumlahan
dari setiap item(Smith, 1983).
2. The Cecco-shively Social Sexrole Inventory (CSI)
The Cecco-shively Social Sexrole Inventory adalah inventori yang memiliki
empat kategori, yaitu : 1) personality/ kepribadian, 2) appearance/ penampilan, 3)
speech/ ucapan dan 4) mannerisms/ tingkah laku. Ciri-ciri dari setiap kategori
tersebut membantu menggolongkan gender femininitas dan maskulinitas
seseorang. Setiap karakteristik yang ada dalam skala maskulin dan skala feminine
disediakan 4 alternatif jawaban (1 sampai 4) yang dapat dipilih responden untuk
memilih satu jawaban yang sesuai dengan keadaan sebenarnya(Smith, 1983).
3. PRF-Andro Scale
9
PRF-Andro Scale adalah usaha untuk mengukur maskulinitas, feminitas,
dan androgini, memanfaatkan 63 item dari Jackson Personality Research Form
(PRF). Skala ini memiliki 29 item subskala maskulinitas dan 27 item subskala
feminitas. Skala ini menurunkan skor maskulinitas dan feminitas setiap individu
dan membandingkan skor tersebut dengan nilai median maskulinitas dan
feminitas dari skor total kelompok. Subyek yang memiliki skor diatas median
feminitas dan median maskulinitas dikategorikan sebagai "androgin", subjek
yang memiliki skor diatas median maskulinitas dan di bawah median feminitas
dikategorikan sebagai”maskulin”, subjek yang memiliki skor diatas median
femininitas dan di bawah median maskulinitas dikategorikan “feminine”, dan
subjek yang memiliki skor di bawah median maskulinitas dan median feminitas
dikategorikan sebagai ”undifferentiated” (Smith, 1983).
4. Bem Sex Role Inventory (BSRI)
Bem Sex Role Inventory (Bem, 1974, 1977,1979, 1985) adalah sebuah
instrument pengukuran yang akan mengidentifikasi individu dalam kelompok sex
typed (maskulin atau feminin). Bem Sex Role Inventory dalam pendistribusiannya
kepada responden tidak akan terlihat jelas tetapi sebenarnya dalam butir-butir ciri
kepribadian mengandung 20 ciri yang merefleksikan definisi budaya tentang
maskulinitas, 20 ciri yang merefleksikan definisi budaya tentang femininitas, dan
20 ciri yang merefleksikan sifat pribadi yang netral artinya ciri tersebut dimiliki
oleh keduanya sehingga total butir keseluruhan adalah 60 butir ciri kepribadian.
Konstruksi rancangan Bem Sex Role Inventory oleh Bem didasarkan pada
dua asumsi teoritis khusus yang sesuai dengan teori skema gender:
10
a) Sebagian besar sebagai hasil dari kecelakaan sejarah, budaya telah
mengelompokkan koleksi sifat-sifat kepribadian yang heterogen menjadi dua
kategori yang eksklusif satu sama lain, tiap kategori dianggap oleh budaya
lebih khas dan lebih diinginkan untuk satu atau yang lain dari dua jenis
kelamin. Harapan-harapan budaya ini sebenarnya telah dikenal baik oleh
semua anggota budaya tersebut.
b) Banyak individu akan berbeda satu sama lainnya dalam menggunakan
definisi-definisi budaya mengenai kepantasan gender sebagai standar yang
ideal dari maskulinitas dan femininitas untuk mengevaluasi kepribadian dan
perilaku mereka sendiri. Khususnya individu-individu sex typed, mereka akan
sangat sesuai dengan definisi budaya itu dan termotivasi untuk
mempertahankan perilaku, supaya tetap sesuai dengan standar peran jenis
kelamin yang berlaku. Dengan demikian Bem Sex Role Inventory dibuat untuk
memberikan individu koleksi sifat yang heterogen kemudian individu akan
menilai dan mengelompokkan sifat-sifat tersebut ke dalam kategori maskulin
atau feminin(Bem, 1974).
Dari 4 instrument yang mengukur gender, peneliti menggunakan Bem Sex Role
Inventory (BSRI) karena item karakteristik kepribadian dalam BSRI lebih banyak
dibandingkan The Personal Attributes Questionnaire (PAQ) dan PRF-Andro Scale sehingga
semakin lengkap karakteristik yang mendukung pengkategorian individu ke dalam orientasi
gender.
11
2.2 Perilaku Asertif
2.2.1 Pengertian Perilaku Asertif Menurut Para Ahli.
Rathus dan Nevid (1983) perilaku asertif adalah perilaku yang menampilkan
keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan, dan
pikiran-pikiran apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak
permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dari figur otoritas dan standar-standar
yang berlaku pada suatu kelompok.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Menurut Rathus dan Nevid (1983), terdapat enam hal yang mempengaruhi
perkembangan perilaku asertif, yaitu:
1) Jenis kelamin.
Jenis kelamin mempengaruhi perkembangan perilaku asertif. Wanita pada
umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran
dibandingkan dengan laki-laki. Rakos (1991: 13), jenis kelamin lebih dipengaruhi
oleh stereotype masyarakat dimana anak perempuan memiliki sifat yang
femininim, pasif, manis dan pasrah. Sedangkan laki-laki lebih bersifat maskulin,
aktif, dominan dan rasional. Oleh karena itu, laki-laki dianggap lebih asertif dari
pada perempuan. Albert & Emmons (2002: 16) laki-laki yang asertif dipandang
tinggi dalam kehidupannya. Keluarga dan teman-temanpun mendekat dan
memiliki rasa hormat lebih besar kepada laki-laki yang cukup nyaman dengan
dirinya dan tidak perlu merendahkan orang lain untuk menaikkan dirinya.
12
2) Self esteem.
Individu yang berhasil untuk berperilaku asertif adalah individu yang harus
memiliki keyakinan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki
kekuatiran sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan
perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.
3) Kebudayaan.
Kebudayaan juga mempengaruhi perilaku yang muncul. Kebudayaan dibuat
sebagai pedoman batas-batas perilaku setiap individu. Biasanya kebudayaan
berhubungan dengan norma-norma, di mana setiap kebudaayaan mempunyai
aturan atau norma yang berbeda dan perbedaan ini mempengaruhi perbedaan
pribadi individu. Senada dengan Townend, Alberti & Emmons (2002:17),
mengatakan bahwa perubahan-perubahan pribadi menuntun kesadaran yang lebih
dari latar belakang budaya yang berbeda.
4) Tingkat pendidikan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas wawasan
berpikir sehingga memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih
terbuka.
5) Tipe kepribadian.
Seseorang akan bertingkah laku berbeda dengan individu kepribadian lain.
6) Situasi tertentu di lingkungan sekitarnya.
Rathus & Nevid (1983), dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi
dan situasi dalam artian luas. Lingkungan sekitar yang mempengaruhi perilaku
asertif seperti sekolah dan tempat kerja.
13
7) Kemampuan komunikasi.
Rakos (1991: 18), komunikasi akan membuat kita dapat memahami apa
yang dimaksud orang lain melalui kata-kata, dengan begitu kita dapat
mengekspresikan perilaku asertif dengan bebas dan langsung.
8) RAS mempengaruhi perilaku asertif, di mana menurut Garrison dan Jenkins
(Rakos, 1991: 78) ras kulit putih lebih asertif dibandingkan dengan ras kulit
hitam.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
menunjukkan perilaku asertif dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
kebudayaan, gender, tipe kepribadian, kemampuan komunikasi, lingkungan sekitar,
dan ras.
2.2.3 Aspek-aspek Perilaku Asertif
Menurut Rathus dan Nevid (1983) ada 10 aspek perilaku asertif, yaitu :
1) Bicara Asertif.
2) Mampu mengungkapkan perasaan.
3) Memberikan salam kepada orang lain.
4) Mampu menampilkan cara yang efektif dan jujur dalam menyatakan rasa tidak
setuju.
5) Mampu menanyakan alasan bila diminta untuk melakukan sesuatu.
6) Membicarakan diri sendiri mengenai pengalaman-pengalaman dengan cara yang
menarik.
7) Menghargai pujian orang lain dengan cara yang sesuai.
14
8) Menolak untuk menerima begitu saja yaitu mengakhiri percakapan yang bertele-
tele dengan orang yang memaksakan pendapatnya.
9) Mampu menatap lawan bicara.
10) Respon melawan takut.
2.3 Penelitian Relevan Hubungan Antara Gender dengan Perilaku Asertif Mahasiswa
Penelitian Tolor, Kelly dan Stebbins (1976) tentang Assertiveness, Sex-role
Stereotyping, and Self-Concept. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
gender, konsep diri dengan sikap asertif. Hasil tanggapan dari 61 mahasiswa laki-laki dan 73
mahasiswa perempuan berdasarkan instrumen Rathus Assertivenees Schedule, College Self
Expression Scale, List of Stereotypic Items dan Tennessee Self Concept Scale menemukan
adanya hubungan yang positif antara gender maskulin dan feminine dengan perilaku asertif
dan konsep diri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan yang feminimnya
rendah secara signifikan lebih asertif daripada pria yang maskulinnya rendah dan perempuan
yang femininnya rendah memiliki konsep diri yang lebih tinggi daripada laki-laki yang
maskulinnya rendah.
Penelitian Currant, Dickson, Anderson, dan Faulkender (1978) tentang Sex Role
Stereotyping and Assertive Behavior. Penelitian ini menggunakan instrumen Bem Sex-Role
Inventory untuk mengklasifikasikan gender mahasiswa sebagai maskulin, feminin, atau
androgini dan menggunakan instrumen Rathus Assertiveness Schedule untuk mengetahui
perilaku asertif mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan. Subjek yang terlibat
sebanyak 80 mahasiswa laki-laki dan 80 mahasiswa perempuan. Berdasarkan hasil
penelitian, dapat diketahui bahwa stereotipe gender perempuan (feminin) dan laki-laki
(maskulin) memiliki hubungan yang signifikan untuk pernyataan ekspresif dan asertif
15
sedangkan androgini tidak memiliki hubungan yang signifikan. Stereotipe feminine secara
signifikan memiliki kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan asertif, sedangkan untuk
androginus tidak ada hubungan yang signifikan.
Hal yang berlawanan adalah stereotype maskulin memiliki kecamasan yang lebih
tinggi dengan asertif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan untuk respon ukuran probabilitas dari perempuan atau laki-laki androgini
(ts=<1). Ditemukan juga tidak ada perbedaan yang signifikan kecemasan antara ekspresif
dan oposisi asertif perempuan androgini (t=1,03, p<0.1) atau laki-laki (p<1). Stereotype
gender perempuan menunjukan signifikan kecemasan yang rendah (t=2,84, p<0.005) dan
lebih seperti hubungan dengan ketegasan ekspresive daripada ketegasan oposisional.
Stereotype gender laki-laki menunjukkan lebih memiliki hubungan dengan ketegasan
ekspresive daripada ketegasan oposisional(t=1,95, p<0.05). tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam pengukuran kecemasan(t<1).
Penelitian Rodriguez, Nietzel, and Juris. (1979) tentang Sex role orientation and
assertiveness among female college students dengan subjek sebanyak 80 mahasiswa
perempuan diklasifikasikan ke dalam empat orientasi gender (feminin, maskulin, androgini,
dan undifferentiated) oleh skala PRF-Andro, berpartisipasi dalam tugas perilaku role-
playing yang membutuhkan tanggapan “kebiasaan” mereka terhadap situasi dimana
tanggapan assertif yang tepat. Pada fase kedua dari percobaan, 1/2 perempuan dalam setiap
orientasi dituntut untuk meresponi lebih asertif. Wanita tidak menerima instruksi permintaan
tinggi tersebut, perempuan di semua empat kelompok bisa meningkatkan nilai asertif secara
signifikan, hal ini menunjukkan bahwa perbedaan dalam asertif yang ditunjukan pada fase
pertama dari penelitian dikolaborasikan oleh laporan data perseorangan ataupun kelompok
16
secara tepat dapat dimengerti pada bagian hasil dari pada bagian kompetensi. Pada hasil
penelitian ini juga ditemukan konstruk maskulinitas, skor skala maskulinitas secara
signifikan memiliki hubungan dengan ketegasan. Skor maskulin memiliki hubungan yang
signifikan dengan (p<0.5) jumlah respon asertif yang diberikan pada 35 CRI Assertion,
r(78)=0.04.
Penelitian Lohr, Nix dan Stauffer (1980) tentang Relationship Of Sex, Sex-Role
Orientation and A Lef-Report Measure Of Assertiveness In College Students. Penelitian ini
menggunakan instrument The College Self-Ekspression Scale untuk mengukur perilaku
asertif mahasiswa di Universitas Arkansas dan menggunakan Bem Sex-Role Inventory untuk
mengklasifikasikan mahasiswa Universitas Arkansas dalam gender maskulin, feminine dan
androgin. Mahasiswa yang menjadi subjek penelitian sebanyak 56 mahasiswa perempuan
dan 46 mahasiswa laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ada
hubungan yang signifikan antara gender dengan perilaku asertif, gender maskulin memiliki
hubungan yang signifikan dengan perilaku asertif sedangkan gender feminine tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan perilaku asertif. Artinya individu laki-laki maupun
perempuan yang memiliki gender maskulin lebih asertif dibandingkan dengan individu yang
memiliki gender feminine.
Penelitian yang dilakukan oleh Lohr dan Nix (1982) tentang Relationship Of
Assertiveness and The Short Form Of The Bem Sex-Role Inventory: A Replication.
Penelitian ini menggunakan instrument The College Self-Ekspression Scale untuk mengukur
perilaku asertif mahasiswa dan menggunakan Bem Sex-Role Inventory untuk
mengklasifikasikan mahasiswa dalam gender maskulin, feminine dan androgin. Mahasiswa
yang menjadi subjek penelitian sebanyak 278 mahasiswa yang terdiri dari 145 mahasiswa
17
perempuan dan 133 mahasiswa laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui
bahwa gender maskulin memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku asertif
sedangkan gender feminine tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku
asertif. Artinya individu laki-laki maupun perempuan yang memiliki gender maskulin lebih
asertif dibandingkan dengan individu yang memiliki gender feminine.
Penelitian yang dilakukan oleh Stevents K.R. (1983) tentang The Relation Of Locus
Control, Sex-Role Identity, and Assertiveness In Baccalaureate Nursing Student. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang keterkaitan antara aspek
kontrol personal, identitas gender, dan ketegasan mahasiswa keperawatan. Data yang
dilaporkan 125 mahasiswa perempuan yang lulus dalam program sarjana muda keperawatan
yang didukung negara yang berafiliasi dengan pusat-pusat ilmu kesehatan utama di Texas.
The Levenson (1972) locus of control scale mengukur Internal Control, Powerful Others,
and Chance. The Personal Attributes Questionnaire (Spence, Helmreich, & Stapp, 1974)
mengukur skala gender maskulin dan feminin. The Rathus (1973) The Rathus Assertiveness
Schedule mengukur ketegasan. Data demografi mendukung kesimpulan bahwa sampel
mencerminkan tren yang ada dalam populasi penelitian. profil yang dihasilkan dari locus of
control, identitas peran jenis kelamin, dan ketegasan melayani nilai-nilai sebagai rujukan
dalam studi masa depan. Teknik korelasi berganda digunakan untuk menentukan hubungan
antara ketegasan dan locus of control sub-skala bersama-sama dengan sub-skala identitas
gender. Pengendalian Internal dan Maskulinitas secara signifikan terkait dengan Ketegasan.
Sebuah teknik korelasi kanonik mengungkapkan bahwa locus of control dan identitas peran
jenis kelamin yang minimal terkait. Keduanya diperlukan untuk penjelasan yang
komprehensif dari Ketegasan.
18
Penelitian yang dilakukan oleh Frisch, Michael and McCord (1987) tentang Sex
Role Orientation And Social Skill: A Naturalistic Assessment Of Assertion And
Conversational Skill. Penelitian ini mengevaluasi hubungan antara orientasi gender dan
keterampilan sosial, dengan subjek sebanyak 59 mahasiswa psikologi perempuan
digolongkan sebagai maskulin, feminin, androgini, atau undifferentiated berdasarkan skala
PRF-Andro. Subjek ini berinteraksi dengan konfederasi yang melibatkan mereka dalam
percakapan standar termasuk permintaan untuk meminjam catatan kuliah psikologi.
Kelompok maskulin, feminin, dan androgini ditampilkan tingkat asertif yang sama dan
keterampilan percakapan, meskipun subyek maskulin menilai diri lebih terampil dan
memiliki pengalaman sedikit negatif yang terkait dengan bersikap tegas dari subjek feminin.
Analisis korelasi antara gender terus menerus dan tindakan perilaku mengungkapkan bahwa
kedua skor maskulinitas dan feminitas berkorelasi positif dengan keterampilan percakapan
secara keseluruhan. Hasil penelitian ini ditafsirkan mengalami kesulitan metodologis dalam
penelitian sebelumnya, dan bukti terbaru bahwa kedua kemampuan maskulin dan feminin
berkontribusi dalam kompetensi sosial dalam domain perilaku tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh McCartan and Owen (2004) tentang The Effect Of
Nurses’ Sex-Role Orientation On Positive and Negative Assertion subjek dari penelitian ini
sebanyak 50 perawat. Diketahui bahwa hubungan antara positive assertion dan orientasi
gender sebesar 14,809 gagal mencapai tingkat signifikansi 0,05 sehingga hasilnya tidak ada
hubungan yang signifikan antara gender dengan positive assertion dan diketahui juga bahwa
hubungan antara orientasi gender dengan negative assertion sebesar 10, 437 gagal mencapai
tingkat signifikansi 0,05 sehingga hasilnya tidak ada hubungan yang signifikan antara
19
orientasi gender dengan negative assertion. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara orientasi gender dengan perilaku asertif.
Hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian Swastinasari (2012) yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gender (feminin, maskulin, dan androgini) dan
self esteem dengan perilaku asertif istri korban KDRT. Subjek dalam penelitian ini sebanyak
108 istri korban KDRT yang dilakukan oleh suami. Pengumpulan data dalam penelitian ini
yaitu menggunakan RAS (Rathus Assertiveness Schedule) untuk mengukur perilaku asertif,
skala BSRI (Bem Sex Role Inventory) untuk mengukur gender, dan skala SEI (Self Esteem
Inventory) untuk mengukur self esteem. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis
regresi linier berganda dengan variabel dummy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan yang sangat siginifikan antara gender (feminin, maskulin, dan androgini) dan self
esteem secara bersama-sama dengan perilaku asertif pada istri korban KDRT (R= 0,781; R 2
= 0,609; F= 40,169; p= 0,000); gender feminin berhubungan negatif dengan perilaku asertif;
gender maskulin berhubungan positif dengan perilaku asertif; gender androgini berhubungan
positif dengan perilaku asertif; dan self esteem berhubungan positif dengan perilaku asertif.
Melalui hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa gender maskulin memiliki hubungan
positif terhadap perilaku asertif daripada gender feminin.
Penelitian yang dilakukan oleh Azmoude, Firoozi, Sahebzad, and Asgharipour (2016)
tentang Relationship Between Gender Roles and Sexual Assertiveness In Married Women.
Penelitian cross-sectional ini dilakukan pada 120 wanita yang disebut pusat kesehatan
Mashhad melalui pengambilan sampel nyaman di 2014-2015. Data dikumpulkan
menggunakan Bem Sex Role Inventory (BSRI) dan indeks Hulbert dari ketegasan seksual.
Data dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 dengan uji korelasi Pearson dan Spearman
20
dan linear Analisis Regresi. Nilai rata-rata dari ketegasan seksual adalah 54,93 ± 13,20.
Menurut temuan, ada hubungan yang tidak signifikan antara Feminitas dan skor
maskulinitas dengan ketegasan seksual (P = 0,069 dan P = 0,080 masing-masing). analisis
regresi linier menunjukkan bahwa di antara variabel prediktor, hanya fungsi kepuasan
seksual diidentifikasi sebagai variabel prediktor Ringkasan ketegasan seksual (P = 0,001).
Berdasarkan hasil, ketegasan seksual pada wanita yang sudah menikah tidak sesuai dengan
peran jenis kelamin, tetapi berhubungan dengan kepuasan fungsi seksual.
2.4 Hipotesis
Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan dan penelitian relavan, tersebut
penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1) Tidak ada hubungan yang signifikan antara feminine dengan perilaku asertif Mahasiswa
Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.
2) Ada hubungan yang signifikan antara maskulin dengan perilaku asertif Mahasiswa
Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.