BAB II KAJIAN DAN KERANGKA TEORI -...

13
1 BAB II KAJIAN DAN KERANGKA TEORI 1.1. Film sebagai Media Komunikasi Massa Komunikasi massa dapat dijelaskan sebagai komunikasi yang ditujukan kepada massa (masyarakat) atau komunikasi dengan menggunakan media massa. Dalam konteks ini massa merupakan kumpulan orang-orang yang hubungan sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai struktur tertentu (Rakhmat, 2003). Banyak studi telah dilakukan dalam bidang komunikasi massa seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Komunikasi tidak lagi dilihat dari sudut pandang kekuasaan tetapi lebih luas dan melibatkan banyak pihak. Teori komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi klasik tidak lagi melihat fenomena komunikasi secara fragmatis. Dengan kata lain, komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dan tidak sesederhana pada pemahaman dalam teori komunikasi klasik. Komunikasi kontemporer salah satunya terwakili oleh media film sebagai alat komunikasi massa. Komunikasi massa melalui film menggunakan unsur visual dan audio untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Kedua unsur tersebut dipadukan untuk memberikan gambaran realitas sebagai sumber stimulus afektif dan emosional. Severin (2005) menjelaskan bahwa dalam teori retorika visual, citra dan gambar dapat digunakan untuk menyusun argumentasi yang halus dan rumit sebagai penguat dimensi komunikasi media massa. Dengan kata lain, citra dan gambar yang ditampilkan dalam adegan sebuah film dapat merangsang respon kuat dari penonton tanpa disadari oleh penonton itu sendiri. Film dapat dirancang untuk mencitrakan suatu realitas sesuai yang diinginkan oleh pembuat film. Ini berarti bahwa film sebagai alat media massa memenuhi fungsi komunikasi to inform, to educate and to entertain sebagaimana dijelaskan oleh Laswell. Teori kultivasi menjelaskan bahwa media, khususnya televisi merupakan sarana utama yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk belajar tentang dunia, orang-orang didalamnya, nilai-nilai serta adat kebiasaannya

Transcript of BAB II KAJIAN DAN KERANGKA TEORI -...

1

BAB II

KAJIAN DAN KERANGKA TEORI

1.1. Film sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi massa dapat dijelaskan sebagai komunikasi yang ditujukan

kepada massa (masyarakat) atau komunikasi dengan menggunakan media massa.

Dalam konteks ini massa merupakan kumpulan orang-orang yang hubungan

sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai struktur tertentu (Rakhmat, 2003).

Banyak studi telah dilakukan dalam bidang komunikasi massa seiring dengan

perkembangan teknologi informasi. Komunikasi tidak lagi dilihat dari sudut

pandang kekuasaan tetapi lebih luas dan melibatkan banyak pihak. Teori

komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi

klasik tidak lagi melihat fenomena komunikasi secara fragmatis. Dengan kata lain,

komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dan tidak sesederhana pada

pemahaman dalam teori komunikasi klasik. Komunikasi kontemporer salah

satunya terwakili oleh media film sebagai alat komunikasi massa.

Komunikasi massa melalui film menggunakan unsur visual dan audio untuk

menyampaikan pesan kepada masyarakat. Kedua unsur tersebut dipadukan untuk

memberikan gambaran realitas sebagai sumber stimulus afektif dan emosional.

Severin (2005) menjelaskan bahwa dalam teori retorika visual, citra dan gambar

dapat digunakan untuk menyusun argumentasi yang halus dan rumit sebagai

penguat dimensi komunikasi media massa. Dengan kata lain, citra dan gambar

yang ditampilkan dalam adegan sebuah film dapat merangsang respon kuat dari

penonton tanpa disadari oleh penonton itu sendiri.

Film dapat dirancang untuk mencitrakan suatu realitas sesuai yang

diinginkan oleh pembuat film. Ini berarti bahwa film sebagai alat media massa

memenuhi fungsi komunikasi to inform, to educate and to entertain sebagaimana

dijelaskan oleh Laswell. Teori kultivasi menjelaskan bahwa media, khususnya

televisi merupakan sarana utama yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk

belajar tentang dunia, orang-orang didalamnya, nilai-nilai serta adat kebiasaannya

2

(Severin, 2005). Dengan demikian, film dapat diproduksi untuk menyampaikan

pesan kepada masyarakat. Pesan (message) terdiri dari dua aspek yaitu isi pesan

(the content of message) dan lambang (symbol) untuk mengekspresikannya.

Lambang utama dalam film adalah gambar, artinya realitas yang divisualisasikan

memegang peran penting dalam proses komunikasi massa melalui film. Scoot

(dalam Severin, 2005) menyebutkan bahwa ada tiga cara berpikir tentang gambar

di media massa, yaitu sebagai gambaran nyata dari realitas, sebagai alat pembawa

daya tarik afektif atau emosional dan sebagai kombinasi simbol-simbol yang

rumit untuk menyusun argumentasi.

Dengan melihat citra dan audio yang ditampilkan di dalam sebuah film,

makna dari pesan yang direpresentasikan dalam film dapat dipelajari oleh

audience. Realitas yang ditampilkan di televisi atau film dalam konteks penelitian

ini, merupakan produk atau konstruksi dari kode-kode budaya dan oleh karenanya

tidak pernah bersifat netral ataupun universal sebagaimana dijelaskan oleh Fiske

(2005) “What passes for reality in any culture is that culture‟s codes, so „reality‟

is always already encoded, it is never „raw‟” . Ini berarti bahwa realitas dapat

direkayasa untuk menyampaikan pesan tertentu pada masyarakat. Kehadiran film

dengan pesan tertentu akan membawa dampak bagi masyarakat sebagai penonton.

Film membawa berbagai informasi, pesan-pesan yang dalam kecepatan tinggi

menyebar ke seluruh pelosok dunia secara serempak. Film dapat memunculkan

efek sosial yang mengarah pada perubahan nilai sosial dan budaya dalam

masyarakat. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat masyarakat menonton film dan

meng‟iya‟kan setiap nilai baru yang ditawarkan didalam film. Hall (1997)

menyebut fenomena ini film as a new religion. Manusia cenderung menjadi

konsumen budaya massa yang aktif. Hal ini mengakibatkan pola-pola kehidupan

manusia sebelum muncul film menjadi berubah, bahkan secara total. Film

mempengaruhi rutinitas kehidupan manusia, nilai-nilai yang dianut hingga budaya

yang berlaku dalam masyarakat.

Penggunaan kelebihan dan kelemahan film memberikan pengaruh kepada

pemirsanya. Semakin banyak unsur kelebihan dimanfaatkan, semakin besar

kecenderungan pemirsa untuk menikmatinya. Demikian sebaliknya bila unsur

3

kelemahan yang lebih mendominasi maka hasilnya akan ditinggalkan

khalayaknya. Melihat perkembangan film yang demikian pesat, Wilbur Schramm

mengatakan film telah digunakan secara efektif untuk mengajarkan segala macam

subjek, baik teoritis maupun praktik. Film semakin meluas dampaknya hingga

menjadi bagian tak terpisahkan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Media

massa film secara teknis memiliki kemampuan mencapai khalayak dalam jumlah

tak terhingga pada waktu bersamaan. Untuk itu media massa film mempunyai

fungsi utama yang selalu harus diperhatikan yaitu fungsi informatif, edukatif,

rekreatif dan sebagai sarana mensosialisasikan nilai-nilai atau pemahaman-

pemahaman baik yang lama maupun yang baru.

1.2. Representasi dalam Sebuah Film

Representasi atau to represent didefinisikan tiga definisi yaitu to stand for,

to speak or act on behalf of dan to re-present (Giles and Middleton, 1999). To

represent dapat didefinisikan sebagai to stand for, tanda yang tidak sama dengan

realitas namun dihubungkan dan mendasarkan diri padanya, sebagai contoh:

bendera sebuah negara yang dikibarkan pada suatu acara nternasional

menunjukkan bahwa negara tersebut hadir sebagai peserta, maka bendera

menyimbolkan suat negara. To represent juga didefinisikan sebagai to act or

speak on behalf yang dapat dijelaskan dengan contoh Majelis Perwakilan Rakyat

(MPR). Para anggota MPR adalan orang-orang yang mewakili sekelompok massa

yang memilih mereka dan mendapat mandat untuk bertindak atas nama kelompok

rakyat pendukung mereka. Definisi terakhir, to represent dapat dijelaskan dengan

contoh sebuah foto atau poster yang digunakan untuk menghadirkan kembali

sebuah peristiwa yang telah terjadi. Foto merupakan representasi melalui gambar

yang bersifat iconic. Ketiga definisi tersebut mengacu pada representasi sebagai

proses pemaknaan yang berkaitan dengan bahasa. Naum, pada prakteknya makna

dari representasi ini dapat saling tumpang tindih. Hall (2003) memberikan

penjelasan lebih sederhana tentang representasi, ”representation is an essential

part of the process by which meaning is produced and exhanged between

members of culture. Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan

4

dipertukarkan antar anggota masyarakat. Dengan kata lain, representasi

merupakan suatu cara untuk memproduksi makna.

Representasi bekerja melalui suatu sistem yang terdiri dari dua komponen

penting, yaitu konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling

berelasi membentuk sebuah makna tunggal. Namun makna tidak dapat

dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh, masyarakat mengenal konsep

‟bunga‟ dan mengetahui maknanya. Namun makna dari bunga tersebut tidak dapat

dikomunikasikan, misalnya bagian dari tumbuhan yang berwarna-warni, jika

makna tersebut tidak diungkapkan dalam bahasa yang dimengerti oleh orang lain.

Hall (2003) mengungkapkan bawah hal yang terpenting dalam sistem representasi

adalah kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah

kelompok tertentu yang memiliki latar belakang pengetahuan yang sama sehingga

dapat menciptakan suatu pemahaman yang sama.

Makna merupakan suatu konstruksi. Manusia mengkonstruksi makna

dengan tegas shg suatu makna terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah.

Makna dikonstruksi melalui sistem representasi dan difiksasi melalui kode. Kode

inilah yang membuat masyarakat yang berada dalam satu kelompok budaya yang

sama mengerti dan menggunakan nama yang sama, yang telah melewati proses

konvensi secara sosial. Misalnya, ketika seseorang memikirkan orang tua, anak,

saudara yang tinggal bersama dalam satu rumah, ia menggunakan kata keluarga

untuk mengkomunikasikan yang ingin diungkapkan kepada orang lain. Ini terjadi

karena kata keluarga merupakan kode yang telah disepakati dalam masyarakat

untuk memaknai suatu konsep mengenai orang-orang yang tinggal dibawah satu

atap rumah. Dari analogi tersebut dapat dilihat bahwa kode membangun korelasi

antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran dengan sistem bahasa yang

digunakan oleh masyarakat.

Dari penjabaran di atas, dapat dijelaskan representasi merupakan suatu

proses untuk memproduksi makna dari konsep yang ada di pikiran melalui bahasa.

Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem

representasi. Namun proses pemaknaan tersebut tergantung apda latar belakang

pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu

5

kelompok harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai suatu ide

dengan cara yang sama.

Representasi muncul dalam berbagai bentuk, antara lain tulisan, ucapan,

isyarat yang maknanya sudah disepakati dengan konsensus, gambar serta lukisan,

ukiran serta bentuk tercetak, sinyal asap, lampu senter, rekaman suara, foto dan

film (Currie, 1995). Film merupakan jenis representasi yang memiliki karakter

spesial yang berhubungan dengan gambar. Film secara umum terdiri atas dua

unsur pembentuk yaitu unsur naratf dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut

tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus saling berinteraksi dan

berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Unsur naratif

adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematika merupakan

cara (gaya) untuk mengolah materi tersebut. Dalam film, cerita sebagai unsur

naratif merupakan perlakukan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik

merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.

Unsur sinematik terdiri atas empat elemen utama yaitu mise-en-scene,

sinematografi, editing dan suara. Masing-masing elemen tersebut saling

berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk gaya

sinematik secara utuh (Pratista, 2008). Mise-en-scene adalah segala hal yang

berada di depan kamera yang terdiri dari empat elemen pokok yaitu setting atau

latar; tata cahaya; kostum dan make up; serta akting dan gerakan pemain.

Sinematografi adalah perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan

kamera dengan obyek yang diambil. Editing adalah transisi sebuah gambar ke

gambar lainnya. Sedangkan suara merupakan segala hal di dalam film yang

mampu ditangkap melalui indra pendengaran.

Cerita film dapat direkayasa untuk menyampaikan pesan tertentu kepada

penontonnya. Hal inilah yang memudahkan film menjadi media representasi suatu

realitas yang akan ditanamkan pada masyarakat sebagai penonton. Menurut

Turner, makna yang dimuat dalam film sebagai representasi dari realitas

masyarakat, berbeda dengan film hanya sebagai refleksi dari realitas. Sebagai

representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas

6

berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya

(Sobur, 2006).

Film mempengaruhi dan membentuk respon masyarakat berdasarkan

muatan pesan (message) di baliknya. Dengan kata lain film tidak bisa dipisahkan

dari konteks masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsinya. Selain itu,

sebagai representasi dari realitas, film juga mengandung muatan ideologi

pembuatnya sehingga dapat digunakan sebagai alat propaganda. Representasi

adalah tindakan menghadirkan atau merepresentasikan sesuatu baik orang,

peristiwa, maupun objek melalui sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya

berupa tanda atau simbol. Representasi ini belum tentu bersifat nyata tetapi bisa

juga menunjukan dunia khayalan, fantasi, dan ide-ide abstrak (Hall, 1997: 28).

Pesan yang dimasukkan dalam suatu media bergantung pada kepentingan-

kepentingan di balik media tersebut. Begitu pula dengan film sebagai salah satu

produk media massa. Pembuat film telah membingkai realitas sesuai dengan

subjektivitasnya yang dipengaruhi oleh kultur dan masyarakatnya. Sebuah film

tentu dapat mewakili pula pandangan pembuatnya, dan seseorang membuat film

untuk mengkomunikasikan pandangan itu. Dengan kata lain film juga

mengandung ideologi pembuatnya yang dapat mempengaruhi pandangan

masyarakat terhadap suatu hal. Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun

terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Bagi kebanyakan orang, ideologi

mewakili suatu kecenderungan umum untuk menukarkan yang benar dengan apa

yang tidak baik bagi kepentingan sendiri. Sekalipun anggapan yang sangat luas

tersebar ini tidak harus berarti bahwa ideologi adalah suatu konsepsi palsu

mengenai kesadaran, namun anggapan itu mengakui bahwa hanya ada satu

ideologi saja yang dapat dikatakan benar, dan ada tanda-tanda bahwa kita dapat

menemukan ideologi mana yang benar dengan bersikap lebih objektif (Sobur,

2006).

7

1.3. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan kata yang diadaptasi dari bahasa Latin “corruption”

atau “corruptus” yang berarti: kerusakan atau kebobrokan. Pada awalnya,

masyarakat memahami korupsi berdasarkan kamus bahasa Yunani Latin

“corruption” yang berarti perbuatan tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak

bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan

hukum. Namun demikian, pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat

sederhana, yang tidak dapat dijadikan tolak ukur atau standar perbuatan korupsi

sebagai suatu tindak pidana (Prodjohamidjoyo, 2001).

Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Marpaung

(1992) adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah (haram).

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

korupsi diartikan sebagai: “…penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau

perusahaan atau sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata

“keuangan negara” biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang

mengelola “keuangan Negara” adalah aparat pemerintah. Sedangkan berdasarkan

Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang kemudian diamandemen melalui Undang-Undang No. 20 tahun

2001, dalam Pasal 2 ayat (1) merumuskan tindak pidana korupsi adalah :

“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Selanjutnya pada Pasal 3 dirumuskan :

“setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

8

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Dasar hukum tentang tindak pidana korupsi secara garis besar menjelaskan

tentang kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan seseorang

menyalahgunakan kekuasaan. Pada perkembagannya, pemahaman tersebut

membuat masyarakat hanya mengaci pada perilaku pejabat yang

menyalahgunakan uang negara sebagai tindak pidana korupsi. Lubis dan Scott

(1997) memberikan pandangan yang lebih luas, dalam arti hukum korupsi adalah

tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh

pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku

tersebut; sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi

apabila ada pelanggaran hukum atau tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut

adalah tercela.

Seiring dengan perkembangan hukum dan tindak pidana, pengertian korupsi

mengalami pergeseran yang semakin luas. Menurut Tansparency International,

World Bank, dan International Monetary Fund, korupsi di sektor publik umumnya

didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi.

United States Agency for International Development (USAID) (1999)

memberikan definisi bahwa korupsi adalah penyalahgunaan unilateral oleh

pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, serta pelanggaran yang

menghubungkan aktor publik dan privat seperti penyuapan, pemerasan, pengaruh

penjajakan, dan penipuan. Sedangkan dalam bidang politik, Gibbons (1999)

menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi: patronase politik atau menggunakan

sumberdaya publik sebagai pendukung dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai

pemerintah yang mendukung pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi

pegawai berdasarkan kriteria partisan; membeli suara (money politic); pork-

9

barreling atau menjanjikan pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu

bahwa pemilih tersebut tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau

warga negara yang membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka;

graft atau sogok-menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus

dihargai agar sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau

mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong

pejabat publik lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan

kampanye uang atau menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam

pemilihan.

1.4. Semiotika

Semiotika pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu

sistem apa pun yang memungkinkan masyarakat memandang entitas-entitas

tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Premis dasar

dari semiotika adalah semua aspek hubungan sosial (misalnya tata krama, cara

berpakaian, adat kebiasaan) ditunjukkan sebagai tanda yang dibaca atau

dimengerti dengan kode yang dimengerti bersama. Jika strukturalisme

menitikberatkan pada penemuan makna di bawa permukaan teks (the what),

semiotika menitikberatkan pada sistem yang membentuk maka tersebut (the how).

Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau seme,

yang berarti penafsir tanda. Semiotike berakar pada studi klasik dan skolastik atas

seni logika, retorika dan poetika (Sobur, 2004).

Analisis semiotika adalah metode penelitian untuk menafsirkan makna dari

suatu pesan komunikasi baik yang tersirat (tertulis) maupun yang tersurat (tidak

tertulis/teruap). Makna yang dimaksud mulai dari parsial hingga makna

komprehensif. Sehingga dapat diketahui motif komunikasi dari komunikatornya.

Metode semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol komunikasi sehingga

dapat diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi pesan untuk maksud-

maksud tertentu.Pemaknaan simbol dapat menggunakan denotatif dan konotatif

atau nilai-nilai ideologis (atau mitologi dalam istilah Roland Barthes) dan

cultural.

10

Melalui analisis semiotika dapat dikupas tanda dan makna yang

diterapkan pada sebuah naskah pidato, iklan, novel, film, dan naskah lainnya.

Hasil analisis rangkaian tanda itu akan dapat menggambarkan konsep pemikiran

yang hendak disampaikan oleh komunikator, dan rangkaian tanda yang

terinterpretasikan menjadi suatu jawaban atas pertanyaan nilai-nilai ideologi dan

kultural yang berada di balik sebuah naskah.

Tradisi semiotika tidak pernah mengandaikan terjadinya salah pemaknaan,

karena setiap „pembaca‟ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda,

sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah

kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi

ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka

makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya

pembacanya. Pada saat iklan telah tersaji ke ruang publik, maka iklan akan

memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda dalam iklan tidak lagi memiliki

otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki. Peran pemaknaan

pun berpindah ke tangan pembaca.

Terobosan penting pada semiotika adalah diterimanya penerapan konsep-

konsep linguistik ke dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa tertulis; yang

dalam pendekatan ini lantas diandaikan sebagai teks pula. Oleh karena itu, dalam

kaitannya dengan produk media, seluruh tampilan media baik dalam bentuk

tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks.

Maka, seorang penonton iklan televisi yang ingin menghadirkan konstruksi makna

tontonan televisi perlu memperlakukan keseluruhan unsur dalam iklan tersebut

sebagai teks sekaligus mempertautkannya dengan fenomena sosial yang

kontekstual. Teks dan konteks merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

Pendekatan semiotik mempercayai bahwa terlalu naif untuk mempertentangkan

teks dan konteks, bahkan konteks pun di dalam teorisasi semiotika lantas

diandaikan sebagai teks (Hodge dan Kress, 1988: 8). Sebuah jalinan makna

dibangun dengan penuh kesadaran atas hasil dari relasi antarteks alias

intertekstualitas.

11

Satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam pendekatan semiotika adalah

pentingnya peran bahasa. Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam

pikiran seorang pemberi makna (pembaca) melalui bahasa. Representasi

merupakan hubungan antara tanda konsep-konsep yang memungkinkan pembaca

menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada

dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang

seperti itu, Stuart Hall (1997) memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian

utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations bersifat

subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam

mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan

hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem

representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses

terhadap bahasa bersama. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de

Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan

gagasan-gagasan: “Language is a system of signs that express ideas, and is

therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf – mutes,

symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of

all these systems” (Berger, 1982).

Dalam semiotika, ada tiga bidang utama yang dipelajari yaitu (Fiske,

2004):

1. tanda, yang terdiri dari studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara

tanda menyampaikan makna dan cara tanda itu terkait dengan manusia

yang menggunakannya. Tanda merupakan konstruksi manusia dan hanya

bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara

berbagai kode dikembagkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat

atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia

untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Studi ini bergantung pada

penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk meberadaan dan

bentuknya sendiri.

12

John Fiske (1987) berpendapat bahwa realitas merupakan produk pokok

yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut dapat dikatakanbahwa Fiske

memadang apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah sebuah realitas

sosial. Pesan budaya akan selalu bersinggungan dengan penerima dan

memproduksi makna budaya. Dimana sebuah pesan yang dihasilkan dari

penurunan dan pertukaran tanda tersebut merupakan suatu struktur bangunan yang

juga diperkaya dengan elemen-elemen lain termasuk realitas eksternal yang

berfungsi memantapkan dan memelihara nila-nilai yang berlaku (Fiske, 1990) .

Dalam pandangan Fiske, analisis semiotik pada televisi atau film terbagi menjadi

beberapa level, yaitu:

1. Level Realitas ( Reality)

Kode yang tercakup dalam level ini adalah penampilan, kostum, riasan,

lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, bahasa atau gerak tubuh,

ekspresi, suara dan lain-lain.

2. Level Representasi

Kode yang termasuk pada level representasi adalah seputar kode-kode

teknik seperti kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara.

3. Level Ideologi

Level ideologi merupakan hasil dari level realitas dan representasi yang

terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan hubungan sosial

oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, ras, kelas,

materialisme, kapitalisme dan lain-lain.

Banyak teknik pengambilan gambar yang dapat digunakan untuk

merepresentasikan suatu realitas ke dalam film. Thompson & Bowen (2009)

menjabarkan sejumlah teknik shot kamera yang digunakan oleh media ini dalam

mengkonstruksi realitas virtual-nya. Masing-masing teknik shot kamera memiliki

arti yang berbeda dengan penekanan yang berbeda pula. Terdapat sembilan

teknik shot kamera, dimana setiap teknik memiliki fungsi dan makna yang

berbeda, yaitu :

13

Long shoot/Wide Shot (LS/WS): Dengan teknik ini bisa diketahui siapa,

dimana dan kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa

diketahui gendernya, kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.

Medium shots (MS): Dengan teknik ini bisa diketahui siapa, dimana dan

kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa diketahui gendernya,

kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.

Close-up (CU): Disebut juga intimate shot. Untuk menghasilkan

gambaran orang, objek, atau tindakan yang terlihat besar, sehingga bisa

mendapatkan informasi yang detail tentang objek, serta bisa

menunjukkan ekspresi seseorang.

Extreme Long Shot (XLS): Digunakan untuk menunjukkan lingkungan

urban, suburban, rural, pegunungan, gurun, laut, dan lain-lain. Juga

digunakan untuk menunjukkan siang, malam,musim dingin, musim

panas, dll.

Very Long Shot (VSL): Memperlihatkan lebih jelas lagi tentang siapa dan

dimana subjek berada.

Medium Close Up (MCU: Memberi informasi tentang cara bicara, cara

mendengarkan atau tindakan dari karakter Ekspresi wajah, arah pandang,

emosi, warna rambut, make-up tampak jelas.

Big Close Up (BCU): Lebih untuk memperlihatkan bagian wajah,

terutama hidung, mata dan mulut. Untuk memperlihatkan siapa subjek

itu, dan bagaimana ekspresinya (marah, sedih, terharu, dll).

Extreme Close Up (ECU): Gambar ini biasanya digunakan untuk film

dokumenter, berkaitan dengan medis atau ilmu alam, bisa juga digunakan

untuk film naratif fiksi, atau film art.