Bab II Film, Kreativitas, dan Industri › bitstream › 123456789...nickelodeon di Amerika. Sejak...
Transcript of Bab II Film, Kreativitas, dan Industri › bitstream › 123456789...nickelodeon di Amerika. Sejak...
-
41
Bab II
Film, Kreativitas, dan Industri
―Cinema is something between art and life‖
Film adalah salah satu industri kreatif berupa tontonan yang
punya peran menghibur, itu adalah fungsi yang paling konkret dan
mudah. Sebenarnya, film bukan hanya berfungsi sebagai tontonan atau
hiburan, ia memiliki banyak fungsi yang lain. Film sebagai teknologi
layar kini bisa digunakan untuk komunikasi sosial, iklan, kampanye
politik, seminar akademis, dan aktifitas pendidikan. Sekarang film
sudah menjadi bahasa komunikasi yang umum. Film secara efektif
mampu membentuk, mengarahkan, menggugat atau pun merusakkan
gambaran dan pengertian kita tentang realitas. Ini bisa terjadi karena
film dapat memainkan persepsi, emosi, imajinasi, pengetahuan dan
perasaan penontonnya.
Tak ada karya seni yang sekuat film, efeknya langsung ke
dalam, masuk ke ruang-ruang batin pemirsanya. Penonton bisa
menangis atau tertawa, ikut merasakan kegembiraan dan kesedihan
yang ditunjukkan dalam adegan. Menurut seorang sutradara, Peter
Greenaway, kekuatan sebuah film tidak terletak pada story-telling- nya, namun pada produk imaji putik-simboliknya. Padahal, film yang
biasa kita tonton adalah film cerita, bagaimana ceritanya atau sinopsis
film tertentu, itu yang biasanya penonton ingin tahu. Namun ternyata,
adegan menurut sutradara lebih penting. Sebuah adegan memasuki
ruangan misalnya, hanya menjadi satu adegan tertentu yang dinikmati
pemirsa tanpa banyak alternatif adegan lain di kepala. Berbeda halnya
jika yang dilihat adalah tulisan dalam novel yang sedang dibaca.
Perkembangan teknologi dari sistem analog ke digital turut
mempengaruhi proses pembuatan film. Kemajuan teknologi
menambah kemampuan film dalam menciptakan ilusi yang semakin
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
42
riil, makin sulit membedakan antara yang fiksi dengan kenyataan. Film
seperti berada di antara seni dan kehidupan. Apakah film yang meniru
kehidupan –film adalah yang fiksi sedangkan kehidupan itu nyata--
atau sebaliknya, kehidupan menjadi hal yang fiksi sedangkan gambaran
di film menjadi lebih ―nyata‖ (Sugiharto, I.B., et.al., 2013).
Sejarah Film
Teknologi film berkembang melalui banyak penemuan. Dalam
buku ―Untuk Apa Seni‖ (Sugiharto, I.B., et.al., 2013) sejarah tentang
film diceritakan. Film awalnya dibuat dengan kamera obscura (sekitar
tahun 1021) yang memungkinkan gambar bergerak namun tidak bisa
direkam. Tahun 1830-an ditemukan stroboscope, phenakistoscope dan zaetrope oleh Simon von Stampfer, Joseph Plateau, dan William Horner, sehingga gambar bergerak bisa dibuat. Alat tersebut
disempurnakan dengan kamera stereoskopik seri 24 pada tahun 1878
oleh Edweard Muybridge di California, yang berhasil memotret seekor
kuda yang bergerak cepat. Alat chronophotographic gun (oleh Etienne-Jules Murey) dan kinetoscope (oleh Thomas Alva Edison) menjadi penyempurnaan berikutnya. Dengan alat-alat tersebut bisa dilakukan
12 frame per detik, bahkan kinestocope memungkinkan gambar bergerak. Sejak itu film 35 mm dari Thomas Edison dan proyeksi 16
frame per detik dari Lumiere bersaudara dijadikan standar umum.
Adalah Dickson dan Edison yang menemukan pita seluloid
tahun 1893 untuk menyimpan sekuensi imaji, juga kamera yang lebih
praktis –kinetograph—beserta kabinet untuk menontonnya. Presentasi
publik gambar hidup baru ditemukan sekitar tahun 1895 oleh Max dan
Emil Skladanowsky di Berlin. Mereka menggunakan konstruksi
dupleks yang disebut ―bioscop‖ yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Di New York tahun 1894, Jean Aime juga
menemukan alat serupa yang disebut ―Marvelous Cinematograph‖. Era tersebut memunculkan sinema sebagai bentuk seni visual yang sangat
populer.
-
Film, Kreativitas, dan Industri
43
Industri film yang paling awal berkembang adalah ―American Mutoscope‖ di Amerika, alat mutoscope yang ditemukan Dickson digunakan dalam industri ini. Di Perancis, perusahaan keluarga
Lumiere semakin gencar menayangkan produk mereka. Pada masa itu
yang khas adalah film dokumenter, yaitu peristiwa aktual di berbagai
tempat. Produser film terbesar di Perancis adalah Georges Melies, salah
satu adegan yang terkenal ada di film ―A Trip To The Moon‖ (Hayward, S., 2000). Tahun 1900-an, produser terkenal di Inggris
adalah Cecil Hepworth yang memproduksi 100 film per tahun. Gedung
bioskop ―Nickelodeon‖ di Pitsburgh adalah bioskop permanen pertama
yang sukses kala itu. Amerika mulai mengikuti, dan tumbuhlah ribuan
nickelodeon di Amerika. Sejak saat itu, Amerika menjadi tempat untuk industri film terbesar di dunia. Negara-negara lain kemudian
mengikuti. Italia dengan film-film epiknya yang kolosal maupun jenis
komedi slapstick di Turin dan Roma, serta Jerman, Swedia, Denmark, dan Rusia.
Bahasa dan genre film kian beragam. Istilah-istilah seperti
teknik animasi, dissolve, konstruksi naratif, intertitles (tulisan dialog), soft focus dan berbagai strategi shooting mulai digunakan. Genre film dokumenter, fiksi, komedi, kartun, musikal, hingga film seni (d‘art, atau, art-film) dan sinema puitik (poetic cinema) mulai berkembang di Perancis, Italia, Inggris, dan Amerika. ―Style‖ film berbeda dari genre film. Style merupakan cara membuat film yang dilandasi paham atau mazhab tertentu. Beberapa style film yang menonjol adalah:
1. Avant-garde
Istilah garda depan (avant-garde) merupakan istilah yang digunakan di bidang seni pasca perang dunia I. Intinya adalah
melawan kemapanan dan reaksi atas bencana traumatik akibat
perang. Di dalamnya ada gerakan kubisme, futurisme,
dadaisme, konstruktivisme, surealisme, dan lain-lain. Di
Perancis sekitar tahun 1920, sekelompok pemikir yaitu Louis
Delluce, Germaine Dulac, dan Jean Epstein membuat film
penuh eksperimen, mereka mencampur aduk beberapa genre
sekaligus secara sengaja untuk membuat film. Dalam perspektif
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
44
ini, penonton memproduksi sendiri ―teks‖ film yang dibacanya.
Mereka bereksperimen mengeksplorasi gramatika film baru
dan mendefinisikan ulang subyektifitas pada film. Mereka
bermaksud, dengan cara itu, memperluas wacana film yang
dominan. Di Amerika gerakan ini tampak pada karya Maya
Deren (1943), distansiasi Bertolt Brecht, dan montase
Eisenstein. Ada tiga fase dalam sinema avant-garde, yaitu : (i) sinema subyektif, yang menampilkan kehidupan batin karakter
dalam film, (ii) sinema murni, yang merenungkan
kemungkinan-kemungkinannya sendiri seperti ketika
mengeksplorasi plastisitas dan ritmanya, dan (iii) sinema
surrealis, yakni upaya memberi representasi filmis pada
rasionalitas maupun irrasionalitas dari dunia bawah sadar kita
(Andrew, D., 1984).
2. Cinema-verite
Adalah ―Kino Pravda‖ yaitu edisi filmis pada koran ―Pravda‖ di
Soviet, yang telah menginspirasi aliran ini. Ini adalah jenis film
dokumenter tanpa aktor, tanpa dekor, tanpa skrip, juga akting.
Jean Rouch, seorang etnograph Perancis, menyebutnya ―cinema direct‖ dan menganggap penting aliran ini yang disebut sebagai sisi obyektif film. Fokusnya adalah realitas
nyata. Para pembuat film biasanya mewawancarai orang-orang
biasa atau membiarkan mereka membagikan kesaksian atau
pengalaman. Cara ini dimaksudkan sebagai tandingan yang
plural dan non-elitis atas film-film bernuansa ―hegemonik‖
atau sejarah yang telah diinstitusionalkan. Aliran ini memberi
pengaruh terhadap revolusi kultural kaum muda di Perancis
tahun 1968.
3. Neo-realisme Italia
Terinspirasi dari film karya Lucino Visconti yaitu ―Ossessione‖
(1942) mazhab ini mulai berkembang. Konteksnya adalah
situasi fasis di Italia era Mussolini ketika film tidak
menampilkan realitas yang sesungguhnya. Film ketika itu
-
Film, Kreativitas, dan Industri
45
digunakan untuk merepresentasikan imaji bagus tentang Italia
untuk kepentingan politik. Bentuknya adalah melodrama-
melodrama kelas menengah, yang juga disebut dengan film
borjuis palsu ala fasis. Inilah yang dibuat kaum neo-realisme –
sering juga disebut realisme sosial—kala itu, kenyataan sosial
setelah rezim Mussolini runtuh, harus dibuka. Kondisi melarat
dan getir kaum urban, terutama kaum buruhnya, harus
diperlihatkan. Caranya adalah: (i) film harus menampilkan
sepotong kehidupan nyata, (ii) ia harus memotret keadaan yang
sebenarnya, sekalipun itu buruk dan pahit, (iii) untuk itu dialog
dan bahasa harus senatural mungkin, kalau perlu gunakan
aktor non-profesional (iv) gaya shooting sebaiknya ala film dokumenter, namun disertai observasi dan analisis yang baik.
Film yang berhasil menampilkan aliran neo-realisme saat itu
adalah film ―Ladri di Cicicletti (Pencuri Sepeda)‖ tahun 1948.
4. Cinema Novo
Aliran ini muncul di Brazil sekitar tahun 1950-an yang
dipengaruhi mazhab neo-realisme Italia. Situasi Brazil waktu
itu memang mirip seperti di Italia, diwarnai kemiskinan,
kelaparan, dan kekerasan. Movie-maker seperti Glauber Roucha, Nelson Pereira dos Santos, dan Rui Guerra, melahir-
kan film-film bercorak populis dan revolusioner. Cinema novo mendahului terjadinya gelombang baru (new wave) yang bermunculan kemudian di Eropa. Cinema novo tidak hanya menentang sinema mainstream kala itu, namun juga menca-nangkan slogan ―Estetika Kelaparan‖ (aesthetics of hunger). Gaya ini dikenal juga dengan istilah /gaya ―Tropikalis‖ yaitu
bagaimana film-film di masa itu menunjukkan bahwa dunia
ketiga sesungguhnya makan dan hidup dari remah-remah dan
sampah kapitalisme Dunia Pertama (Chanan, M., 1983).
5. Nouvelle Vaque (New Wave Perancis)
Ini merupakan gelombang baru di Perancis tahun 1950-an.
Istilah nouvelle vaque dalam sinema dikenakan pada generasi
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
46
muda kala itu seperti Gerard Philipe, Roger Vadim, dan
Brigitte Bardot namun kemudian istilah ini digunakan lebih
luas kepada para pembuat film juga. Ada dua periode dalam
gelombang baru di Perancis ini, (i) periode 1958-1962 yang
menekankan pada pentingnya mis-en-scene, yaitu sutradara sebagai pengarang. Aliran ini bersinggungan dengan paham
cinema-verite, terasa agak ekstrim karena generasi baru ingin melepaskan diri dari kerangka cinema-de-papa, gaya film para senior sebelumnya (Hayward, S., 2000), (ii) periode 1966-1968
yang menekankan tema-tema konsumerisme, isu nuklir,
mahasiswa dan politik. Terasa ada sinisme terhadap dunia
borjuis-kapitalis. Gerakan atau aliran ini menentang sinema
Hollywood dan memposisikan diri sebagai counter-cinema.
6. British New Wave
Aliran new wave di Inggris terjadi tahun 1958-1964. Munculnya generasi 1950-an yaitu ―swinging sixties‖ dan era realisme baru seperti ―Kitchen-sink drama‖ di teater John Osborne, 1956. Fokus film diletakkan pada isu-isu sosial
pertumbuhan kaum muda dalam budaya komunikasi massa.
Gaya realisme dokumenter banyak digunakan untuk
membahas masalah pelacuran, aborsi, homoseksualitas,
alienasi, dan hubungan-hubungan yang gagal. Tokoh-tokohnya
adalah Lindsay Anderson, Karel Reisz, dan Tony Richardson,
mereka ini yang membidani lahirnya Free British Cinema. Bedanya dengan gelombang baru, Free British Cinema lebih fokus pada kaum muda pekerja. Aktor-aktor amatir yang
digunakan seperti Alan Bates, Richard Burton, dan Michael
Caine, akhirnya menjadi bintang-bintang juga. Film-film
tentang orangtua tunggal, dan kaum homoseksual yang
kesepian, menguasai hampir sepertiga pasaran. Namun
akhirnya, rumah produksi film British New Wave sendiri bangkrut –British Lion—menjual perusahaannya di tahun 1964
(Hill, J., 1986).
-
Film, Kreativitas, dan Industri
47
7. Ekspressionisme Jerman
Muncul tahun 1919-1924 di era Jerman Weimar, istilah
ekspressionisme diambil dari seni rupa di abad keduapuluh, yaitu gaya melukis yang menekankan gelegak emosi dan
seksualitas manusia. Apa yang tersembunyi di dalam batin
manusia berusaha ditampilkan melalui film, ada upaya untuk
mengeluarkan impuls-impuls yang tersembunyi (Coates, P.,
1991). Topik populer yang kerap dibahas adalah analisis diri,
kegilaan, pemberontakan, keliaran seksual, keprimitifan, dan
sebagainya. Ekspressionisme Jerman cenderung melihat efek-efek dehumanisasi akibat modernitas. Situasi Jerman kala itu
memang depresif akibat kalah perang, ekonomi buruk,
kelaparan dan kurang gizi. Film-film semacam ―Dr. Mabuse‖, ―The Gambler‖, dan ―Metropolis‖ (1922) karya Lang adalah contoh film yang mengekspos situasi chaotic itu.
8. New German Cinema
Gerakan baru ini muncul di Jerman sekitar tahun 1970, yang
terinspirasi dari New Wave Perancis dan Free British Cinema. Dalam ―Manifesto Oberhausen‖ 1962, sineas muda menyerukan
matinya industri film sebelumnya, matinya cinema de papa (Papas Kino). Gerakan baru yang dipelopori oleh Rainer di tahun 1962 ini bermaksud mengembalikan sinema Jerman yang
telah cacat akibat telah dimanipulasi di era Nazi utnuk
propaganda ideologi. Gaya sinema baru ini juga dokumenter-
realis. Film-film seperti ―Fear Eats The Soul‖ karya Fassbinder, ―Strongman Ferdinand‖ oleh Kluge, dan ―Germany in Autumn‖ yang disutradarai kolektif, adalah contoh film yang berupaya
melihat kembali rasisme, fasisme, dan kontrol negara Jerman
(Nowell, S.G., 1996). Yang menarik kala itu adalah, munculnya
kelompok pembuat film perempuan yang kurang terekspos, ada
56 perempuan yang membuat berbagai jenis film. Topik-topik
yang biasa disoroti para pembuat film perempuan ini adalah
topik aborsi, kekerasan domestik, kondisi kerja, dan
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
48
sebagainya. Tahun 1982, Fassbinder, tokoh sinema baru
Jerman, bunuh diri. Gerakan ini pun kemudian memudar.
9. Sinema Soviet
Diinisiasi oleh para pembuat film pasca revolusi Bolshevik
(1917), lahirlah stye tersendiri di Soviet melalui eksperimen berbagai teknik dalam kerangka Marxistik. Terinspirasi oleh
Futurisme Russia, kaum konstruktivist melihat bahwa
teknologi film akan menyatukan seni dan produksi, sekaligus
sarana pendidikan ideologis massa. Intinya adalah, film yang
diproduksi adalah film ideologis bagi kaum proletar, yaitu film
yang men-deindividualisasi aktornya dan penyutradaraan yang
kolektif.Gaya montase digunakan–seperti ―Montase Eisenstein‖
untuk menimbukan konflik bagi penontonnya, baik secara
visual, emosinal, dan juga (semoga) intelektual. Dengan
demikian, aliran ini dimaksudkan supaya penonton menjadi
produser makna atas film yang ia tonton dan menjadi pembuat
film itu sendiri. Sayangnya, usaha ini ternyata menjadikan
sinema Soviet sangat formalistik, akhirnya tahun 1928 era
sinema montase berakhir, dan bergeser ke realisme sosial
(Taylor, R., et.al., 1993).
Secara genre, film Indonesia mengalami cukup banyak perkembangan pada era reformasi tahun 1998. Namun perkembangan style dalam perfilman Indonesia, tidak sedahsyat di negara lain. Penjelasan lebih
lengkap tentang sejarah film di Indonesia dapat dilihat di Bab empat.
Kreativitas
Kreativitas menjadi basis ekonomi dan industri masa kini. Ia
merupakan aset tidak terwujud yang terbukti dapat menghasilkan
produk dan jasa yang unik, bernilai dan bermakna. Kreativitas sudah
dikenal sejak Plato sampai Freud dan Popper sebagai ―divergent, impulsive, and messy‖ (De Bono, 1992, dalam De Fillipi, R., et.al, 2007). Kreativitas melekat dan dimiliki individu-individu yang
-
Film, Kreativitas, dan Industri
49
membuatnya menjadi seorang ―jenius‖ (Bilton and Leary, 2002, Boden,
1994, dalam De Fillipi, R, et.al., 2007). Definisi kreativitas kemudian
diperluas bukan hanya pada individu, namun juga pada proses dalam
organisasi atau institusi.
Kreativitas dipandang esensial bagi pertumbuhan sosial dan
ekonomi (Florida, R., and Goodnight, J., 2005). Pada level individu,
tim, maupun organisasi, kreativitas dipandang sebagai pemampu inti
dan kontributor bagi kinerja kewirausahaan, pertumbuhan dan daya
saing. Kreativitas menjadi sebuah area riset yang telah berkembang
selama bertahun-tahun. Secara historis, kreativitas berakar di dalam
bidang psikologi yang menjadi fondasi konseptual dan empiris, yang
berfokus pada faktor-faktor yang meningkatkan atau menghambat
kreativitas di bidang-bidang yang berbeda.
Amabile (1996) memberi pandangan historis tentang kreativitas
dari segi sosio-psikologi, dan menjadi salah satu teori utama kreativitas.
Henessey dan Amabile (2010) memberi pandangan lebih lanjut tentang
kreativitas dalam psikologi yang saling berkaitan dengan ilmu-ilmu
lain, multi-level, dan antar-disiplin. George (2007) menggarisbawahi tentang motivasi tersembunyi yang memediasi hubungan faktor-faktor
kontekstual dan kreativitas. Mumford dan Gustafson (1988)
mendiskusikan bagaimana pencapaian kreativitas minor atau mayor
membutuhkan struktur pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
yang berbeda. Shalley dkk. (2004) melakukan riset empiris tentang
faktor-faktor kontekstual dan personal yang berbeda yang
mempengaruhi kreativitas individu dan tim. Runco (2004)
mendiskusikan produk, orang, proses, dan pers dalam kreativitas.
Runco juga menjelaskan pendekatan ilmu yang berbeda untuk
mempelajari kreativitas (sebagai contoh, ilmu perilaku dan
pembangunan). Zhou dan Shelly (2011) mengelompokkan penelitian-
penelitian dan teori tentang kreativitas sebelumnya ke dalam 3
kategori atau aspek psikologi yaitu: motivasi, kognitif (proses berpikir),
dan proses afektif. Sedangkan Anderson (2014) melakukan penelitian
terkini yang berfokus pada hasil penelitian tahun 2002-2013, ia
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
50
memberikan kerangka panduan untuk riset-riset kreativitas
berikutnya pada level individu, tim, dan organisasi.
Ada juga sejumlah penelitian kreativitas organisasi dalam ilmu
manajemen. Dalam manajemen, kreativitas didefinisikan dalam dua
cara, yang pertama sebagai sebuah proses, dan yang kedua sebagai
sebuah hasil. Dipercayai bahwa jika ingin menghasilkan outcome yang kreatif, penting sekali terlibat dalam proses-proses kognitif dan
perilaku, misalnya mengaitkan ide-ide berbagai sumber dan pencarian
yang luas, yang dapat menolong, memampukan seseorang untuk lebih
kreatif dalam pekerjaannya.
Proses kreatif adalah sebuah proses berulang dan melibatkan
penemuan dan pencarian, penyelesaian persoalan-persoalan baru
dalam berbagai cara. Kreativitas sebagai sebuah outcome atau hasil, didefinisikan terutama dalam manajemen sebagai penggalian ide,
solusi, maupun proses, yang novel (utama) dan berguna. Ke-novel-an dan kebergunaan keduanya dipandang sebagai kondisi penting agar
sesuatu dipandang sebagai kreatif. Jadi sekalipun suatu ide sangat
novel, jika tidak berguna atau layak, tidak bisa dipandang sebagai kreatif. Definisi ini berbeda dari beberapa pekerjaan dalam psikologi
terutama yang berfokus pada brainstorming, di mana hasil kreatif sering didefinisikan dalam istilah orisinalitas, kelancaran/kefasihan
(jumlah ide), dan kelenturan atau fleksibilitas (jumlah kategori).
Ada perbedaan-perbedaan yang dapat mendorong seseorang
untuk lebih kreatif dan ada faktor-faktor yang berbeda dalam konteks
pekerjaan tersebut, yang memfasilitasi atau menghambat kreativitas:
faktor-faktor personal dan kontekstual. Hal ini dapat mempengaruhi
atau memfasilitasi atau menghambat kreativitas. Kreativitas dapat hadir
di berbagai jenis pekerjaan dan level organisasi, ide-ide maupun proses
kreatif juga dapat bervariasi di sepanjang garis kontinum dari kebaruan
tapi bersifat inkremental sampai ke yang benar-benar baru (radikal)
dan berbeda.
Dalam literatur organisasi, kreativitas dipandang sebagai
kondisi penting namun tidak cukup bagi munculnya inovasi.
-
Film, Kreativitas, dan Industri
51
Perbedaan penting dan mendasar antara kreatifitas dan inovasi adalah,
fokus kreativitas ditekankan pada sesuatu yang baru dan bermanfaat,
sementara inovasi menekankan implementasi dari ide-ide dan prosedur
yang baru. Proses kreatif adalah sebuah proses yang menanggalkan
cara-cara lama dan menggunakan cara-cara baru yang berbeda dari
sebelumnya, termasuk cara memecahkan masalah dan menemukan
solusi. Ada perbedaan dalam setiap individu untuk menjadi lebih
kreatif selama proses tersebut berjalan, dan konteks organisasi dengan
faktor-faktor yang berbeda yang dapat mendorong atau menghambat
kreatifitas, akan mempengaruhi kreativitas. Kreativitas dapat terjadi di
segala jenis pekerjaan dalam setiap tingkatan organisasi.
Florida (2002) bahkan menyebut kelas atau kelompok kreatif –
yang terdiri dari individu-individu kreatif, sebagai motor penggerak
ekonomi. Dalam bukunya ―The Rise of the Creative Class.. and How Its Transforming Work, Leisure, Community, and Everyday Life‖, Florida menguraikan gagasan tentang tiga komponen utama yang harus ada di
sebuah kelas kreatif, yaitu adanya 3T: (i) Talent, (ii) Tolerance, dan(iii) Technology. Florida menjelaskan bahwa keberadaan talenta-talenta yang berpendidikan di suatu wilayah akan menjadi faktor kekuatan
pertama karena interelasi antara mereka dalam proses penciptaan nilai,
faktor kedua adalah kultur keterbukaan, diversity, dan inklusifitas yang memungkinkan setiap talenta tadi bersosialisasi satu dengan yang
lainnya, dan faktor ketiga adalah tingkat penggunaan dan keberadaan
teknologi di suatu wilayah turut menentukan penciptaan creative class.
Alfred Gell (1998) juga melakukan studi atas pekerjaan seni
(artwork) dalam hubungannya dengan pemirsa (audience) atau penikmatnya. Menurut Gell, ada sebuah kekuatan tak terlihat dari
sebuah karya kreatif misalnya musik atau lukisan yang bisa menggugah
pemirsa. Kekuatan tak terlihat ini dapat mengubah emosi, perasaan dan
pikiran seseorang sehingga orang tersebut memberikan tanggapannya
terhadap karya kreatif yang ia nikmati selayaknya kepada mahluk
hidup. Karya-karya kreatif dapat membuat seseorang bergembira,
sedih, menangis atau tertawa.
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
52
Henry dkk. (2004) mendefiniskan kreatifitas dalam
menghasilkan sebuah karya yang mengagumkan --dalam bentuk film
atau lainnya, sebagai ―art-entrepreneurship‖. Definisinya adalah sebagai berikut:
―. . . individuals who use creative mindsets in response to triggers for their entrepreneurial acts: extrinsic, that which is contextual and business-driven; and intrinsic, that which involves the internal desire to create something and a personal sense of challenge‖.
Kreativitas yang terwujud dalam ide-ide baru berbentuk
produk, proses, dan pengalaman dalam pembuatan sebuah karya seni
telah menjadi basis inovasi sosial dan teknologi melalui penggunaan
modal/properti intelektual.
Seseorang tidak perlu pengalaman puluhan tahun untuk
menjadi kreatif, namun ada kemungkinan pekerjaan yang sangat
kompleks akan membuat seseorang kreatif. Orang-orang kreatif
biasanya memiliki pola pikir divergen, meskipun pada praktiknya
kondisi dapat mengharuskan pola pikir konvergen dan beberapa situasi
mengharuskan hadirnya kedua pola berpikir, divergen sekaligus
konvergen (Eysenck, 2003; Runco, 2007). Individu-individu kreatif
terbiasa untuk mencari informasi, melakukan komunikasi intensif,
serta membutuhkan kebebasan berkreasi, untuk mendapatkan solusi
dalam proses pekerjaan yang kompleks. Sebagai tambahan, kreatifitas
dalam proses bisnis juga mengarahkan pada resiko-resiko tertentu yang
membutuhkan sistem insentif tertentu dan menuntut pengetahuan
yang cukup untuk mengerjakan tugas-tugas kreatif, serta pemahaman
akan konsekuensi mengikuti keinginan pemilik (owner) dan mengalokasikan sumber-sumber daya tanpa mengabaikan sisi
kreatifitasnya. Orang-orang kreatif memainkan peran penting dalam
proses bisnis untuk mencapai hasil terbaik, bukan sekedar melakukan
transaksi dalam bisnis (Seidel, S. and Rosemann, M., 2008).
Gambar 2.1. menunjukkan proses bisnis yang berorientasi pada
kreativitas yang dilakukan oleh individu-individu dalam organisasi
tersebut, yang disebut ―Orientasi Kreativitas BPM‖.
-
Film, Kreativitas, dan Industri
53
Sumber diadaptasi dari: Seidel, S., and Rosemann, M, 2008
Gambar 2.1. Tahapan Orientasi Kreativitas BPM
Gambar di atas menjelaskan bahwa individu-individu yang
mengemban tugas kreatif dalam sebuah proses bisnis, harus didukung
oleh alokasi sumber daya yang fleksibel. Meskipun di sepanjang proses
bisnis tetap dilakukan pengendalian dan monitoring, kebebasan kreatif
harus tetap dipertahankan untuk mencapai hasil yang maksimal dan
memuaskan, tanpa mengorbankan kreatifitas. Namun, model di atas
belum sepenuhnya menjelaskan tentang resiko kreatif dan bagaimana
mengelola resiko menjadi kreatif tersebut.
Film Sebagai Industri Kreatif
Gelombang ekonomi kreatif dimulai di millenium ketiga
dengan industri kreatif sebagai basis ekonominya. Istilah industri
kreatif sendiri telah mengalami banyak perubahan dan perdebatan
selama enampuluh tahun terakhir. Mulai dari konsep ―industri budaya‖
(culture industry) kemudian menjadi ―cultural industry‖ lalu berubah lagi menjadi ―industri kreatif‖ (creative industries). Kata industri dan
Orientasi Kreativitas Pada
Bisnis
Meningkatkan Kinerja Tanpa
Mengorbankan Kreativitas
Mengelola Resiko Menjadi
Kreatif
Mendukung Alokasi Sumber Daya yang
Fleksibel
Menjaga dan Meningkatkan
Kreativitas
Menjaga Proses Kreatif, Melakukan
Kontrol
Kebebasan Kreativitas
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
54
kata kreatif sendiri masih dipertentangkan padanannya, karena
kreatifitas dalam konotasi budaya menurut pakar kebudayaan tidak
cocok disandingkan dengan industri yang terkesan komersial.
Pada kenyataannya, terdapat perbedaan mendasar antara
―produk budaya‖ dengan ―kapitalisasi budaya‖ atau ―culture capitalization‖. Istilah kapitalisasi ini muncul belakangan. Connor berpendapat, kapitalisme telah menghapuskan critical culture yaitu budaya otentik. Pada tahun 1970-an perilaku manusia mulai berubah,
kini manusia lebih suka belanja sesuatu yang ‗appealed‘ sesuatu yang menarik dan menggugah. Komoditas budaya mulai lebih komersial,
manusia tidak segan membayar mahal untuk sebuah pengalaman tak
terlupakan ketika menikmati komoditas budaya tersebut (Connor, J.
O., 2010).
Industri kreatif yang biasa disebut industri konten, merupakan
industri yang mendorong kreativitas individu-individu, keterampilan
dan talenta, dan mengeksploitasi kekayaan intelektual yang
dimilikinya. Industri kreatif muncul karena ada hubungan antara seni
dan komersialisasi. Saat ini, banyak negara mulai mengidentifikasi
sektor-sektor industri kreatif yang mereka miliki namun masing-
masing masih berbeda dalam mendefinisikan dan mengkategorisasi
sektor-sektor tersebut. Negara-negara berkembang seperti Tiongkok,
Korea, dan Filipina telah mulai mendiskusikannya. Definisi pertama
tentang industri kreatif diinisiasi oleh DCMS, Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga di Inggris Raya (2010), yaitu industri
yang meliputi: periklanan, arsitektur, kerajinan dan barang seni,
disain, fashion, film, video, dan permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan percetakan, layanan komputer dan piranti
lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan.
Industri kreatif diakui telah memberi kontribusi secara
signifikan pada pendapatan negara. Di Amerika Serikat, tahun 1999
sektor R&D telah menghasilkan pendapatan senilai lebih dari USD 2,2
miliar, sedangkan di Jepang, tahun 1996 industri kreatif justru makin
berkembang sekalipun ekonomi negara mengalami resesi (Cave, 2000;
Howkins, 2001; Wong, C. Y., dan Gao, R., 2008).
-
Film, Kreativitas, dan Industri
55
Di Indonesia, industri kreatif mulai mengemuka sejak tahun
2011 ketika Kementrian Ekonomi Kreatif dan Pariwisata dibentuk
berdasarkan Perpres No.92/2011. Departemen Perdagangan Republik
Indonesia (2007) mendefinisikan industri kreatif, sebagai :
―industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut‖
Pada bulan Januari tahun 2015, berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 6 Tahun 2015, ekonomi kreatif dihilangkan dari
Kementrian Pariwisata dan berdiri sendiri dalam satu lembaga di
bawah Presiden, yaitu Badan Ekonomi Kreatif (BEK). Berdasarkan
data, telah terjadi peningkatan ekspor produk kreatif dan
kontribusinya terhadap PDB menjadi 8% di tahun 2013 dari kisaran
6,9% di tahun 2012. Jumlah tersebut ingin ditingkatkan menjadi 10%
di tahun 2014, dan 12% di tahun 2019 (Renstra Badan Ekonomi
Kreatif, 2015-2019).
Ada enam kelompok industri kreatif di Indonesia menurut
Kementrian Perindustrian (2014) yang dikategorikan sebagai berikut :
1. Kelompok Industri Publikasi dan Presentasi: Penerbitan,
Percetakan, dan Periklanan
2. Kelompok Industri yang Mengandung Budaya dan
Disampaikan Melalui Media Elektronik: TV, Radio, Film, dan
Fotografi
3. Kelompok Industri yang Mengandung Budaya dan Ditampilkan
ke Publik: Musik dan Seni Pertunjukkan
4. Kelompok Industri yang Padat Kandungan Seni dan Budaya:
Kerajinan dan Barang Seni
5. Kelompok Industri Disain: Fashion dan Arsitektur
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
56
6. Kelompok Industri dengan Muatan Teknologi: Riset dan
Pengembangan, Teknologi Informasi, dan Jasa Perangkat
Lunak.
Pengelompokkan sektor-sektor kreatif ini dijelaskan pada Gambar 2.2.
Sumber: Kameo, D., D., 2015
Gambar 2.2. Pengelompokan Sub-sub Sektor Industri Kreatif di Indonesia
Industri film, video, dan fotografi adalah sektor industri kreatif
yang bergerak di bidang media, seni, dan budaya. Dibandingkan
dengan sektor industri kreatif yang lain, industri film, video, dan
fotografi memiliki modal kreatifitas dan pengetahuan yang paling
tinggi, sebagai bentuk aktiva tidak berwujud. Modal kreativitas dan
pengetahuan menjadi syarat utama yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Keunikan Industri Film
Industri film adalah salah satu industri kreatif yang memiliki
karakteristik tersendiri, sebuah karakter industri yang unik. Ekonomi
kreatif merupakan bagian yang integral dari keberhasilan ekonomi
berbasis pengetahuan. Kapasitas untuk membangun solusi-solusi
-
Film, Kreativitas, dan Industri
57
kreatif bagi disain produk dan pengembangan pasar di era globalisasi
menjadi faktor penentu kesuksesan bisnis. Ciri khas ekonomi kreatif
adalah kreatifitas, keterampilan, dan talenta individu (Bakhshi and
McVittie, 2009 dalam White, D.S., et.al., 2012; serta Wolfe and
Bramwell, 2008 dalam White, D.S., et.al., 2012).
Menurut Prat dan Gornostaeva (2005), industri film memiliki
dinamika yang khas dan bersifat unik. Jika dalam industri manufaktur
yang lain ada kemungkinan uji prototipe dulu sebelum dilepas di
pasaran, maka dalam industri film dinamikanya berbeda, hanya ada
dua kemungkinan dalam membuat film: film yang laku atau film yang
tidak laku, yang dinyatakan sebagai berikut :
―...in the film industry, every project is a prototype. There is no chance to redesign a bad movie. You either make a good film and sell it, or you make a stinker.‖
Film yang dibuat oleh movie-maker hanya memiliki dua kemungkinan, bisa diterima oleh masyarakat dan laku di pasaran, atau,
tidak bisa atau kurang dihargai oleh masyarakat (penonton).
Karenanya, tidak ada istilah film festival atau film komersil, di mata
penonton hanya ada dua film: film bagus, karenanya laku, dan film
tidak bagus.
Film ―The Lord of The Rings‖ menjadi contoh film box-office dengan tiket penjualan yang fantastis. Sekuelnya: ―The Lord of The Rings: The Return of King‘s‖ juga sukses di pasaran mendapatkan penghargaan Oscar. Peran pemerintah di Selandia Baru yang sangat mendukung dibuatnya film tersebut menjadi faktor kunci tercapainya
keunggulan kreatif dari film itu. Peter Jackson4 sebagai movie-maker
4Sir Peter Robert Jackson adalah seorang movie-maker dan screenwriter di New
Zealand. Karya-karyanya yang terkenal antara lain adalah film ―The Lord of The Rings Trilogy‖ (2001-2003), ―The Hobit Trilogy‖ (2012-2014), film ―King Kong‖ (2005), ―District 9‖ (2009), dan ―The Adventures of Tintin: The Secret of Unicorn‖ (2011). Di dalam film ―The Lord of The Rings‖ Peter Jackson menjalankan peran sebagai produser, merangkap penulis dan sutradara. Atas film tersebut Peter Jackson dianugerahi Academy Award sebagai Best Director di tahun 2003, juga menerima beberapa penghargaan lain di festival film internasional yang lain seperti Golden Globe Award, dan Saturn Awards (www.wikipedia.org).
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
58
(penulis skrip, sutradara)-nya telah melakukan usaha-usaha fund-raising dan dukungan kebijakan melalui komunikasi serta kerja sama dengan dewan pemerintah daerah dan pusat.
Selandia Baru telah berhasil mengembalikan peringkatnya
kembali ke jajaran atas dalam kerja sama antarnegara dalam ekonomi
dan pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development), melalui pertumbuhan inovasi oleh industri kreatif perfilman. Keberhasilan ini digambarkan dengan aktifitas-aktifitas
kreatif, kewirausahaan/kebaruan (entrepreneurial) di beberapa tingkatan. Negara Selandia Baru dengan jumlah penduduk sekitar
empat juta jiwa ini, telah berhasil membangun industri layar lebar
yaitu project-based, capital-intensive film industry, di tiga level entrepreneurship sekaligus.
Apa yang dilakukan Peter Jackson, sang produser ―The Lord of The Rings: The Return of The King‖ ini didefinisikan Anne de Bruin (2005) sebagai multi-level entrepreneurship dalam produksi film layar lebar. Jackson telah berhasil mengubah Selandia Baru yang semula ada
di peringkat bawah dalam hal indeks inovasi negara-negara organisasi
OECD, ke peringkat atas melalui industri kreatif perfilman. Industri film di Selandia Baru yang sebelumnya tidak atau belum terkenal,
mulai 2004 menjadi dikenal secara internasional (NZFC, 2004). Peter
Jackson telah menginisiasi kewirausahaan kreatif dan mengelola proses
inovasi di tingkat individual, tingkat nasional (melalui peran
pemerintah kota/daerah) dan tingkat regional (municipal-community entrepreneurship). Film yang mayoritas (70%) dikerjakan produksinya di laboratorium ini, menggunakan beberapa aktor yang sebelumnya
tidak terkenal, dan terbukti laris menembus box-office di berbagai negara.
―The Lord of The Rings: The Return of The King‖ (TLTR) telah mengubah industri perfilman di Selandia Baru menjadi industri
berbasis pengetahuan intensif yang memiliki prestise dan diakui oleh
dunia. Pemerintah mendukung industri film melalui pendanaan yang
diberikan pada New Zealand Film Commission (NZFC) dengan dana pertama sebesar USD 22 juta untuk biaya produksi film. Film ―TLTR‖
-
Film, Kreativitas, dan Industri
59
diikuti dengan film-film berikutnya yang juga laris seperti film ―King
Kong‖ dan ―Shrek II‖.
Apa yang dilakukan oleh Peter Jackson ketika memproduksi
TLTR, yaitu bekerja sama dengan pemerintah daerah-pusat dan komunitas/masyarakat setempat menjadi contoh yang meredefinisi
seniman (artist) menjadi wirausaha kreatif atau art-entrepreneurship (Caves, 2002; 2003). Seorang art-entrepreneur seperti movie-maker, musician, song-writer, story-writer, painter, yang awalnya didefinisikan sebagai seorang artist yang menekankan nilai-nilai
berseni tinggi (art) dalam karya-karyanya. Sebuah karya kreatif kini, bukan saja memiliki cita-rasa seni yang tinggi di dalamnya, namun juga
merupakan hasil/produk inovasi dan kewirausahaan. Apa yang
dilakukan Peter Jackson dalam TLTR menjadi contoh bagaimana sebuah proses inovasi dan kewirausahaan bekerja dalam produksi film,
dan mendatangkan hasil berupa apresiasi yang tinggi dari
penikmatnya, bukan hanya secara artistik (mendapat piala Oscar)
namun juga secara ekonomi, mendapatkan keuntungan material yang
sangat besar.
Film sebagai sebuah industri, memiliki kekhasan tersendiri.
Ada suatu kreativitas, totalitas yang unik, yang tidak mungkin untuk
didisain ulang. Sebuah film tidak bisa dibuat prototype-nya dulu untuk diuji di pasar terbatas sebelum dilempar ke pasar bebas. Hanya ada dua
kemungkinan: film yang dibuat bagus dan laku dipasarkan, atau film
itu buruk.
Beberapa perbedaan terlihat jelas antara industri film dengan
industri manufaktur yang lain :
Pertama, dalam industri manufaktur (IM) umumnya produk bertransformasi dari ide-konsep-disain-prototype-uji produk-uji pasar-finished goods. Jika produk yang akan dijual itu adalah mobil, maka mobil yang akan dijual ke pasaran harus
melalui uji produk terlebih dahulu, jika lolos, baru diuji pasar.
Jika ada keluhan-keluhan dan saran perbaikan, maka mobil
tersebut harus didisain ulang, demikian seterusnya sampai
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
60
mobil yang akan dijual benar-benar siap dan sesuai dengan
keinginan pembuatnya. Dalam industri film (IF) hal proses
transformasi ini tidak terjadi.
Kedua, model IM tidak bisa menjelaskan dinamika proses produksi dalam industri film (IF). IF memiliki dinamika yang
khas yang tidak dimiliki oleh IM yang lain. Negosiasi dan
penyesuaian terjadi di sepanjang proses produksi film, mulai
dari awal sampai akhir. Ketika ide cerita ditawarkan kepada
seorang produser, maka produser tersebut akan mencari dan
memilih penulis skrip yang sesuai dengan keinginannya.
Kemudian proses negosiasi berlanjut dengan pemilihan
sutradara (director), para pemain yang akan menjadi tokoh-tokoh di film tersebut, pengambilan gambar, penataan cahaya,
ilustrasi musik, dan sebagainya, yang terjadi di sepanjang proses
produksi sebuah film.
Ketiga, sulit untuk mendeteksi kelemahan dari awal pada IF. Jika proses transformasi pada IM mudah diamati dan bisa
diulang-ulang per bagiannya, maka tahap-tahap produksi
sebuah film akan sangat sulit dan melelahkan jika harus
diulang-ulang bagian demi bagiannya. Ditambah lagi, sumber
daya proses produksi film adalah manusia, bukan benda mati
yang mudah diatur dan dikoordinasikan.
Keempat, dalam IF, setiap film yang siap jual adalah prototype yang tidak mungkin untuk didisain ulang. Hanya ada dua
kemungkinan, laku atau tidak laku.
Perbedaan-perbedaan tersebut, menunjukkan karakteristik
industri film yang khas. Sebuah industri perfilman memiliki beberapa
karakteristik unik, antara lain:
Pertama, dinamika yang unik, karena terjadi negosiasi terus-
menerus di sepanjang prosesnya, dan karenanya sebuah film
selalu ―siap berubah‖ dari ide cerita awal karena melibatkan
banyak pemain dan banyak negosiasi;
-
Film, Kreativitas, dan Industri
61
Kedua, produk film bersifat seperti cair, lentur, belum
membeku sampai massa/penonton menyaksikan dan memberi
penilaian,
Ketiga, di sepanjang prosesnya sebuah film akan memobilisasi
banyak kepentingan sehingga hasil akhir sebuah film akan
sangat bergantung pada proses negosiasi di dalamnya –negosiasi
ini tidak terlihat ketika sebuah film ditonton, serta
Keempat, sebuah film melibatkan pendanaan yang sangat
besar, proses produksi yang kompleks, dan hasil yang
mengagetkan dan aneh.
Studi tentang Film Indonesia
Studi tentang film Indonesia sebagai produk budaya telah
banyak dilakukan. Namun, penelitian tentang paradoks kreatifitas atau
manajemen kreatifitas dalam industri film Indonesia belum ada.
Gagasan yang ada selama ini adalah, pemisahan atau dikotomi film
sebagai film idealis versus film komersil, atau ada yang menyebutnya
sebagai budaya tinggi (art) dan budaya populer; namun belum ada yang mengeksplorasi paradoks kreatifitas itu sendiri.
Berbagai studi tentang film Indonesia telah dilakukan,
khususnya yang berhubungan dengan peran film sebagai garda budaya
bangsa, nasionalisme, ideologi dan politik. Satu studi yang menarik
tentang perfilman di Indonesia pada masa Orde Baru telah dilakukan
oleh Krishna Sen5. Menurut Sen (1994), ada polarisasi politik dalam
5Prof. Krishna Sen sekarang menjabat sebagai Dekan di Fakultas Seni UWA (The
University of Western Australia). Krishna Sen telah lama dikenal sebagai peneliti yang banyak melakukan studi tentang media kontemporer di Indonesia. Sebelum menjabat posisi saat ini, Krishna Sen terlebih dulu mengajar dan menjadi peneliti di Universitas Murdoch dan Curtin serta Executive Director for Humanities and Creative Arts di Australian Research Council di Canberra. Beberapa jurnal dan bukunya antara lain: ―Indonesian Cinema: Framing The New Order‖ (1994), ―Media, Culture, and Politics in Indonesia‖ (2000), ―Politics and The Media in 21st Century Indonesia‖
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
62
film di era Orde Baru tersebut, film sebagai media pendidikan
‗ditumpangi‘ oleh kepentingan politik yaitu hegemoni kekuasaan.
Melalui tulisannya berjudul ―Indonesian Cinema: Framing The New Order‖ Sen menyoroti film Indonesia selama Orde Baru, bagaimana negara secara struktural turut menentukan film mana yang boleh/layak
diputar melalui institusi perfilman beserta persetujuan atas konten.
Negara telah berhasil mengendalikan perfilman secara langsung dan
memasukkan ideologinya pada narasi perfilman. Ini dimaksudkan
untuk menjaga tatanan yang stabil. Penelitian Krishna Sen
menunjukkan bahwa film Indonesia pada rezim Orde Baru berada di
bawah otoritas penguasa.
Lebih lanjut, dalam buku ―Media, Budaya, dan Politik
Penguasa‖ (2001) Krishna Sen dan David T. Hill kembali
mempertanyakan bagaimana media, kebudayaan dan politik memiliki
arti dan relasi pada saat Orde Baru dimulai sampai lengsernya Soeharto.
Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana interaksi antara media
dengan penguasa dan masyarakat membentuk kebudayaan dan politik
pada masa itu. Penguasa Orde Baru memperlakukan media sebagai alat
untuk mempertahankan kepentingan politis, dengan mengatas-
namakan ―persatuan dan kesatuan‖ dan upaya menghadirkan ―budaya
nasional‖ sebagai identitas bangsa. Ketidakseragaman atau
penyimpangan terhadap apa yang sudah ditentukan oleh penguasa –
keseragaman tindakan, ucapan, dan sikap yang cenderung membatasi
ruang gerak media—dianggap sebagai antitesis, disorder atau ketidaktertiban. Dalam genre film, penguasa berusaha menyensor dan
membatasi penyiaran film dengan cara menekankan isu SARA (suku,
agama, ras, dan antargolongan). Indonesia berada di bawah
Departemen Penerangan Republik Indonesia dengan ketentuan harus
mengikuti struktur naratif tertentu. Film ―Perawan Desa― (1978)
dilarang beredar oleh Badan Sensor Film selama satu tahun, karena
isinya menceritakan ketidakadilan dari pemerintah yang dirasakan
(2010), ―Chinese Indonesian in National Cinema‖ (2006) –(www.web.uwa.edu.au, diunduh tanggal 25 Januari 2016, pk.11.30).
http://www.web.uwa.edu.au/
-
Film, Kreativitas, dan Industri
63
oleh masyarakat kecil. Baru sesudah isi ceritanya diubah, film tersebut
boleh diputar.
Fenomena anti-mainstream pada masa itu adalah film-film karya Garin Nugroho. Beberapa filmnya dilarang untuk diputar di
dalam negeri, namun justru menang di berbagai festival film luar
negeri. Film-film Garin tersebut antara lain: film ―Surat Untuk
Bidadari‖, ―Bulan Tertusuk Ilalang‖, ―Daun di Atas Bantal‖, dan ―Puisi
Tak Terkuburkan‖. Film-film tersebut banyak menceritakan realitas
sosial yang muncul pada saat pemerintahan Orde Baru, seperti cerita
pembunuhan besar-besaran terhadap aktivis dari organisasi masyarakat
tertentu yang dianggap ekstrim kiri pada masa itu dan beberapa realitas
sosial dari daerah-daerah yang termarjinalkan dalam pembangunan
seperti Aceh, Papua, dan Sumba. Film Garin adalah film yang sulit
―dibaca‖ masyarakat awam (Cheah, P., et.al., 2002).
Studi-studi berikutnya tentang film Indonesia berada pada
topik yang kurang lebih sama, represi pemerintah dan kebebasan.
Selama kurang lebih seratus tahun usia perfilman Indonesia,
perkembangannya tidak sepesat yang diharapkan, industri perfilman
bergerak lambat dan kurang bertumbuh. Masalah dalam industri film
Indonesia bukan hanya masalah ekonomi, namun bersifat multi
dimensi. Di dalamnya terdapat dominasi konglomerasi para pengusaha
bioskop atas film-film impor, apresiasi penonton yang masih rendah,
pajak atas produksi film yang dikategorikan sebagai barang mewah,
dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak (Agustinus,
2002; Kurnia, N., 2008; Widagdo, M.B, 2011).
Studi terkini tentang film (kontemporer) Indonesia dilakukan
oleh Thomas Barker6. Dalam disertasinya yang berjudul ―A Cultural Economy of The Contemporary Indonesian Film Industry‖ (2011),
6Thomas Barker adalah Assistant Professor di Faculty of Arts and Social Science, The
University of Nottingham Malaysia. Sebelumnya, Thomas Barker menjadi asisten peneliti di Institute for Social Research Science, University of Queensland, dan ―pengunjung‖ (visiting-fellow) di Departemen Sosiologi NUS, Singapura. Thomas Barker juga pernah menjadi peneliti di Centre for The Study for Social Southeast Asian Nation di UGM, Yogyakarta (www.nottingham.edu.my, diunduh tanggal 25 Januari 2016).
http://www.nottingham.edu.my/
-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
64
Barker melakukan penelitian secara mendalam terhadap film Indonesia
populer sebagai studi sosiologi. Apa yang dilakukan Barker ini mulai
mengisi kekosongan dari gap penelitian-penelitian sebelumnya tentang film-film yang berkualitas (cita rasa seni yang tinggi) dengan film
komersil di Indonesia. Penelitian Barker menunjukkan analisis
terhadap aspek historis dalam hubungan-hubungan sosial yang terjadi
dalam proses produksi film. Barker yang menggunakan pendekatan
ekonomi budaya yang dipadukan dengan budaya populer,
mengungkapkan lebih lanjut perfilman Indonesia Pasca Reformasi
yang strukturnya dipengaruhi oleh industri film di masa lalu. Temuan
Barker ini melengkapi dan memberikan kontribusi terhadap apa yang
telah diteliti oleh Krishna Sen dan lain-lain.
Penelitian Barker juga melengkapi apa yang telah dilakukan
Ekky Imanjaya7 (2009) tentang perbedaan film idealis dan film
komersial. Dua pembuat film kontemporer, yakni Riri Riza dan Joko
Anwar disebut sebagai movie-maker yang sukses memadukan kedua unsur tadi dalam perfilman yaitu idealisme dan komersial. Barker
mengidentifikasikan hal ini sebagai paradigma baru dalam budaya
populer di Indonesia. Generasi baru para pembuat film telah
memperbaharui apa yang disebut sebagai ―film nasional‖ di era Orde
Baru dan membangun kembali unsur-unsur film sebagai budaya
populer. Generasi baru dan muda ini dapat leluasa membangun dan
membuat film-film mereka dengan cita rasa yang baru, bahkan sama
sekali baru, karena tidak ada lagi pembatasan-pembatasan yang
mengekang, mereka berada di iklim kebebasan.
Temuan Barker sekaligus melengkapi penelitian Ariel
Heryanto (2008) tentang budaya populer yang berkembang di
Indonesia berdasarkan ideologi yang berlaku saat itu. Ideologi-ideologi
tersebut dipahami sebagai basis sosiologi dari produk budaya yang
lebih kompleks. Disertasi lain tentang film Indonesia dari kajian
7Ekky Imanjaya adalah seorang akademisi yang sedang melanjutkan studi dan
penelitian di UEA (University of East Anglia, School of Film, Television and Media Studies). Beberapa topik penelitiannya antara lain: ―A Note From The Editor: An Introduction The Significance of Indonesian Cult, Exploitation, and B Movies‖ (2014), (www.eastanglia.academia.edu, diunduh tanggal 25 Januari 2016)
http://www.eastanglia.academia.edu/
-
Film, Kreativitas, dan Industri
65
budaya juga telah dilakukan oleh Dr. Ikwan Setiawan tahun 2013.
Kajian tersebut menghasilkan temuan dan pengayaan tentang budaya
post-kolonial di Indonesia melalui pembacaan struktur dunia naratif
film dan konteks sosio-historis di Indonesia pada tahun 2000-an
sesudah reformasi.
Apa yang sudah diteliti secara mendalam oleh Krishna Sen,
Ariel Heryanto, Thomas Barker, dan Dr. Ikwan Setiawan tentang film
Indonesia patut diapresiasi. Namun demikian, penelitian-penelitian
terdahulu tentang film Indonesia belum mengungkapkan secara
menyeluruh industri film nasional dari sisi jatuh-bangunnya dan
dilematis kurangnya apresiasi terhadap film Indonesia oleh pemirsa di
tanah air.
Jika Krishna Sen, Ariel Heryanto lebih banyak berfokus pada
aspek politik, media, serta budaya populer dari film Indonesia; maka
penelitian ini akan lebih fokus pada mencari dan menemukan mengapa
film Indonesia sebagai produk budaya sekaligus industri kreatif
senantiasa jatuh-bangun di sepanjang masa/rezim. Peneliti ingin
melihat bagaimana kreativitas membuat film terjadi dan berlangsung
dalam sebuah proses produksi, bagaimana reaksi dan apresiasi
penonton terhadap film Indonesia masa kini, dan bagaimana
pengelolaan bisnis dalam industri film di Indonesia.