Bab II Film, Kreativitas, dan Industri › bitstream › 123456789...nickelodeon di Amerika. Sejak...

25
41 Bab II Film, Kreativitas, dan Industri Cinema is something between art and lifeFilm adalah salah satu industri kreatif berupa tontonan yang punya peran menghibur, itu adalah fungsi yang paling konkret dan mudah. Sebenarnya, film bukan hanya berfungsi sebagai tontonan atau hiburan, ia memiliki banyak fungsi yang lain. Film sebagai teknologi layar kini bisa digunakan untuk komunikasi sosial, iklan, kampanye politik, seminar akademis, dan aktifitas pendidikan. Sekarang film sudah menjadi bahasa komunikasi yang umum. Film secara efektif mampu membentuk, mengarahkan, menggugat atau pun merusakkan gambaran dan pengertian kita tentang realitas. Ini bisa terjadi karena film dapat memainkan persepsi, emosi, imajinasi, pengetahuan dan perasaan penontonnya. Tak ada karya seni yang sekuat film, efeknya langsung ke dalam, masuk ke ruang-ruang batin pemirsanya. Penonton bisa menangis atau tertawa, ikut merasakan kegembiraan dan kesedihan yang ditunjukkan dalam adegan. Menurut seorang sutradara, Peter Greenaway, kekuatan sebuah film tidak terletak pada story-telling- nya, namun pada produk imaji putik-simboliknya. Padahal, film yang biasa kita tonton adalah film cerita, bagaimana ceritanya atau sinopsis film tertentu, itu yang biasanya penonton ingin tahu. Namun ternyata, adegan menurut sutradara lebih penting. Sebuah adegan memasuki ruangan misalnya, hanya menjadi satu adegan tertentu yang dinikmati pemirsa tanpa banyak alternatif adegan lain di kepala. Berbeda halnya jika yang dilihat adalah tulisan dalam novel yang sedang dibaca. Perkembangan teknologi dari sistem analog ke digital turut mempengaruhi proses pembuatan film. Kemajuan teknologi menambah kemampuan film dalam menciptakan ilusi yang semakin

Transcript of Bab II Film, Kreativitas, dan Industri › bitstream › 123456789...nickelodeon di Amerika. Sejak...

  • 41

    Bab II

    Film, Kreativitas, dan Industri

    ―Cinema is something between art and life‖

    Film adalah salah satu industri kreatif berupa tontonan yang

    punya peran menghibur, itu adalah fungsi yang paling konkret dan

    mudah. Sebenarnya, film bukan hanya berfungsi sebagai tontonan atau

    hiburan, ia memiliki banyak fungsi yang lain. Film sebagai teknologi

    layar kini bisa digunakan untuk komunikasi sosial, iklan, kampanye

    politik, seminar akademis, dan aktifitas pendidikan. Sekarang film

    sudah menjadi bahasa komunikasi yang umum. Film secara efektif

    mampu membentuk, mengarahkan, menggugat atau pun merusakkan

    gambaran dan pengertian kita tentang realitas. Ini bisa terjadi karena

    film dapat memainkan persepsi, emosi, imajinasi, pengetahuan dan

    perasaan penontonnya.

    Tak ada karya seni yang sekuat film, efeknya langsung ke

    dalam, masuk ke ruang-ruang batin pemirsanya. Penonton bisa

    menangis atau tertawa, ikut merasakan kegembiraan dan kesedihan

    yang ditunjukkan dalam adegan. Menurut seorang sutradara, Peter

    Greenaway, kekuatan sebuah film tidak terletak pada story-telling- nya, namun pada produk imaji putik-simboliknya. Padahal, film yang

    biasa kita tonton adalah film cerita, bagaimana ceritanya atau sinopsis

    film tertentu, itu yang biasanya penonton ingin tahu. Namun ternyata,

    adegan menurut sutradara lebih penting. Sebuah adegan memasuki

    ruangan misalnya, hanya menjadi satu adegan tertentu yang dinikmati

    pemirsa tanpa banyak alternatif adegan lain di kepala. Berbeda halnya

    jika yang dilihat adalah tulisan dalam novel yang sedang dibaca.

    Perkembangan teknologi dari sistem analog ke digital turut

    mempengaruhi proses pembuatan film. Kemajuan teknologi

    menambah kemampuan film dalam menciptakan ilusi yang semakin

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    42

    riil, makin sulit membedakan antara yang fiksi dengan kenyataan. Film

    seperti berada di antara seni dan kehidupan. Apakah film yang meniru

    kehidupan –film adalah yang fiksi sedangkan kehidupan itu nyata--

    atau sebaliknya, kehidupan menjadi hal yang fiksi sedangkan gambaran

    di film menjadi lebih ―nyata‖ (Sugiharto, I.B., et.al., 2013).

    Sejarah Film

    Teknologi film berkembang melalui banyak penemuan. Dalam

    buku ―Untuk Apa Seni‖ (Sugiharto, I.B., et.al., 2013) sejarah tentang

    film diceritakan. Film awalnya dibuat dengan kamera obscura (sekitar

    tahun 1021) yang memungkinkan gambar bergerak namun tidak bisa

    direkam. Tahun 1830-an ditemukan stroboscope, phenakistoscope dan zaetrope oleh Simon von Stampfer, Joseph Plateau, dan William Horner, sehingga gambar bergerak bisa dibuat. Alat tersebut

    disempurnakan dengan kamera stereoskopik seri 24 pada tahun 1878

    oleh Edweard Muybridge di California, yang berhasil memotret seekor

    kuda yang bergerak cepat. Alat chronophotographic gun (oleh Etienne-Jules Murey) dan kinetoscope (oleh Thomas Alva Edison) menjadi penyempurnaan berikutnya. Dengan alat-alat tersebut bisa dilakukan

    12 frame per detik, bahkan kinestocope memungkinkan gambar bergerak. Sejak itu film 35 mm dari Thomas Edison dan proyeksi 16

    frame per detik dari Lumiere bersaudara dijadikan standar umum.

    Adalah Dickson dan Edison yang menemukan pita seluloid

    tahun 1893 untuk menyimpan sekuensi imaji, juga kamera yang lebih

    praktis –kinetograph—beserta kabinet untuk menontonnya. Presentasi

    publik gambar hidup baru ditemukan sekitar tahun 1895 oleh Max dan

    Emil Skladanowsky di Berlin. Mereka menggunakan konstruksi

    dupleks yang disebut ―bioscop‖ yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Di New York tahun 1894, Jean Aime juga

    menemukan alat serupa yang disebut ―Marvelous Cinematograph‖. Era tersebut memunculkan sinema sebagai bentuk seni visual yang sangat

    populer.

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    43

    Industri film yang paling awal berkembang adalah ―American Mutoscope‖ di Amerika, alat mutoscope yang ditemukan Dickson digunakan dalam industri ini. Di Perancis, perusahaan keluarga

    Lumiere semakin gencar menayangkan produk mereka. Pada masa itu

    yang khas adalah film dokumenter, yaitu peristiwa aktual di berbagai

    tempat. Produser film terbesar di Perancis adalah Georges Melies, salah

    satu adegan yang terkenal ada di film ―A Trip To The Moon‖ (Hayward, S., 2000). Tahun 1900-an, produser terkenal di Inggris

    adalah Cecil Hepworth yang memproduksi 100 film per tahun. Gedung

    bioskop ―Nickelodeon‖ di Pitsburgh adalah bioskop permanen pertama

    yang sukses kala itu. Amerika mulai mengikuti, dan tumbuhlah ribuan

    nickelodeon di Amerika. Sejak saat itu, Amerika menjadi tempat untuk industri film terbesar di dunia. Negara-negara lain kemudian

    mengikuti. Italia dengan film-film epiknya yang kolosal maupun jenis

    komedi slapstick di Turin dan Roma, serta Jerman, Swedia, Denmark, dan Rusia.

    Bahasa dan genre film kian beragam. Istilah-istilah seperti

    teknik animasi, dissolve, konstruksi naratif, intertitles (tulisan dialog), soft focus dan berbagai strategi shooting mulai digunakan. Genre film dokumenter, fiksi, komedi, kartun, musikal, hingga film seni (d‘art, atau, art-film) dan sinema puitik (poetic cinema) mulai berkembang di Perancis, Italia, Inggris, dan Amerika. ―Style‖ film berbeda dari genre film. Style merupakan cara membuat film yang dilandasi paham atau mazhab tertentu. Beberapa style film yang menonjol adalah:

    1. Avant-garde

    Istilah garda depan (avant-garde) merupakan istilah yang digunakan di bidang seni pasca perang dunia I. Intinya adalah

    melawan kemapanan dan reaksi atas bencana traumatik akibat

    perang. Di dalamnya ada gerakan kubisme, futurisme,

    dadaisme, konstruktivisme, surealisme, dan lain-lain. Di

    Perancis sekitar tahun 1920, sekelompok pemikir yaitu Louis

    Delluce, Germaine Dulac, dan Jean Epstein membuat film

    penuh eksperimen, mereka mencampur aduk beberapa genre

    sekaligus secara sengaja untuk membuat film. Dalam perspektif

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    44

    ini, penonton memproduksi sendiri ―teks‖ film yang dibacanya.

    Mereka bereksperimen mengeksplorasi gramatika film baru

    dan mendefinisikan ulang subyektifitas pada film. Mereka

    bermaksud, dengan cara itu, memperluas wacana film yang

    dominan. Di Amerika gerakan ini tampak pada karya Maya

    Deren (1943), distansiasi Bertolt Brecht, dan montase

    Eisenstein. Ada tiga fase dalam sinema avant-garde, yaitu : (i) sinema subyektif, yang menampilkan kehidupan batin karakter

    dalam film, (ii) sinema murni, yang merenungkan

    kemungkinan-kemungkinannya sendiri seperti ketika

    mengeksplorasi plastisitas dan ritmanya, dan (iii) sinema

    surrealis, yakni upaya memberi representasi filmis pada

    rasionalitas maupun irrasionalitas dari dunia bawah sadar kita

    (Andrew, D., 1984).

    2. Cinema-verite

    Adalah ―Kino Pravda‖ yaitu edisi filmis pada koran ―Pravda‖ di

    Soviet, yang telah menginspirasi aliran ini. Ini adalah jenis film

    dokumenter tanpa aktor, tanpa dekor, tanpa skrip, juga akting.

    Jean Rouch, seorang etnograph Perancis, menyebutnya ―cinema direct‖ dan menganggap penting aliran ini yang disebut sebagai sisi obyektif film. Fokusnya adalah realitas

    nyata. Para pembuat film biasanya mewawancarai orang-orang

    biasa atau membiarkan mereka membagikan kesaksian atau

    pengalaman. Cara ini dimaksudkan sebagai tandingan yang

    plural dan non-elitis atas film-film bernuansa ―hegemonik‖

    atau sejarah yang telah diinstitusionalkan. Aliran ini memberi

    pengaruh terhadap revolusi kultural kaum muda di Perancis

    tahun 1968.

    3. Neo-realisme Italia

    Terinspirasi dari film karya Lucino Visconti yaitu ―Ossessione‖

    (1942) mazhab ini mulai berkembang. Konteksnya adalah

    situasi fasis di Italia era Mussolini ketika film tidak

    menampilkan realitas yang sesungguhnya. Film ketika itu

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    45

    digunakan untuk merepresentasikan imaji bagus tentang Italia

    untuk kepentingan politik. Bentuknya adalah melodrama-

    melodrama kelas menengah, yang juga disebut dengan film

    borjuis palsu ala fasis. Inilah yang dibuat kaum neo-realisme –

    sering juga disebut realisme sosial—kala itu, kenyataan sosial

    setelah rezim Mussolini runtuh, harus dibuka. Kondisi melarat

    dan getir kaum urban, terutama kaum buruhnya, harus

    diperlihatkan. Caranya adalah: (i) film harus menampilkan

    sepotong kehidupan nyata, (ii) ia harus memotret keadaan yang

    sebenarnya, sekalipun itu buruk dan pahit, (iii) untuk itu dialog

    dan bahasa harus senatural mungkin, kalau perlu gunakan

    aktor non-profesional (iv) gaya shooting sebaiknya ala film dokumenter, namun disertai observasi dan analisis yang baik.

    Film yang berhasil menampilkan aliran neo-realisme saat itu

    adalah film ―Ladri di Cicicletti (Pencuri Sepeda)‖ tahun 1948.

    4. Cinema Novo

    Aliran ini muncul di Brazil sekitar tahun 1950-an yang

    dipengaruhi mazhab neo-realisme Italia. Situasi Brazil waktu

    itu memang mirip seperti di Italia, diwarnai kemiskinan,

    kelaparan, dan kekerasan. Movie-maker seperti Glauber Roucha, Nelson Pereira dos Santos, dan Rui Guerra, melahir-

    kan film-film bercorak populis dan revolusioner. Cinema novo mendahului terjadinya gelombang baru (new wave) yang bermunculan kemudian di Eropa. Cinema novo tidak hanya menentang sinema mainstream kala itu, namun juga menca-nangkan slogan ―Estetika Kelaparan‖ (aesthetics of hunger). Gaya ini dikenal juga dengan istilah /gaya ―Tropikalis‖ yaitu

    bagaimana film-film di masa itu menunjukkan bahwa dunia

    ketiga sesungguhnya makan dan hidup dari remah-remah dan

    sampah kapitalisme Dunia Pertama (Chanan, M., 1983).

    5. Nouvelle Vaque (New Wave Perancis)

    Ini merupakan gelombang baru di Perancis tahun 1950-an.

    Istilah nouvelle vaque dalam sinema dikenakan pada generasi

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    46

    muda kala itu seperti Gerard Philipe, Roger Vadim, dan

    Brigitte Bardot namun kemudian istilah ini digunakan lebih

    luas kepada para pembuat film juga. Ada dua periode dalam

    gelombang baru di Perancis ini, (i) periode 1958-1962 yang

    menekankan pada pentingnya mis-en-scene, yaitu sutradara sebagai pengarang. Aliran ini bersinggungan dengan paham

    cinema-verite, terasa agak ekstrim karena generasi baru ingin melepaskan diri dari kerangka cinema-de-papa, gaya film para senior sebelumnya (Hayward, S., 2000), (ii) periode 1966-1968

    yang menekankan tema-tema konsumerisme, isu nuklir,

    mahasiswa dan politik. Terasa ada sinisme terhadap dunia

    borjuis-kapitalis. Gerakan atau aliran ini menentang sinema

    Hollywood dan memposisikan diri sebagai counter-cinema.

    6. British New Wave

    Aliran new wave di Inggris terjadi tahun 1958-1964. Munculnya generasi 1950-an yaitu ―swinging sixties‖ dan era realisme baru seperti ―Kitchen-sink drama‖ di teater John Osborne, 1956. Fokus film diletakkan pada isu-isu sosial

    pertumbuhan kaum muda dalam budaya komunikasi massa.

    Gaya realisme dokumenter banyak digunakan untuk

    membahas masalah pelacuran, aborsi, homoseksualitas,

    alienasi, dan hubungan-hubungan yang gagal. Tokoh-tokohnya

    adalah Lindsay Anderson, Karel Reisz, dan Tony Richardson,

    mereka ini yang membidani lahirnya Free British Cinema. Bedanya dengan gelombang baru, Free British Cinema lebih fokus pada kaum muda pekerja. Aktor-aktor amatir yang

    digunakan seperti Alan Bates, Richard Burton, dan Michael

    Caine, akhirnya menjadi bintang-bintang juga. Film-film

    tentang orangtua tunggal, dan kaum homoseksual yang

    kesepian, menguasai hampir sepertiga pasaran. Namun

    akhirnya, rumah produksi film British New Wave sendiri bangkrut –British Lion—menjual perusahaannya di tahun 1964

    (Hill, J., 1986).

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    47

    7. Ekspressionisme Jerman

    Muncul tahun 1919-1924 di era Jerman Weimar, istilah

    ekspressionisme diambil dari seni rupa di abad keduapuluh, yaitu gaya melukis yang menekankan gelegak emosi dan

    seksualitas manusia. Apa yang tersembunyi di dalam batin

    manusia berusaha ditampilkan melalui film, ada upaya untuk

    mengeluarkan impuls-impuls yang tersembunyi (Coates, P.,

    1991). Topik populer yang kerap dibahas adalah analisis diri,

    kegilaan, pemberontakan, keliaran seksual, keprimitifan, dan

    sebagainya. Ekspressionisme Jerman cenderung melihat efek-efek dehumanisasi akibat modernitas. Situasi Jerman kala itu

    memang depresif akibat kalah perang, ekonomi buruk,

    kelaparan dan kurang gizi. Film-film semacam ―Dr. Mabuse‖, ―The Gambler‖, dan ―Metropolis‖ (1922) karya Lang adalah contoh film yang mengekspos situasi chaotic itu.

    8. New German Cinema

    Gerakan baru ini muncul di Jerman sekitar tahun 1970, yang

    terinspirasi dari New Wave Perancis dan Free British Cinema. Dalam ―Manifesto Oberhausen‖ 1962, sineas muda menyerukan

    matinya industri film sebelumnya, matinya cinema de papa (Papas Kino). Gerakan baru yang dipelopori oleh Rainer di tahun 1962 ini bermaksud mengembalikan sinema Jerman yang

    telah cacat akibat telah dimanipulasi di era Nazi utnuk

    propaganda ideologi. Gaya sinema baru ini juga dokumenter-

    realis. Film-film seperti ―Fear Eats The Soul‖ karya Fassbinder, ―Strongman Ferdinand‖ oleh Kluge, dan ―Germany in Autumn‖ yang disutradarai kolektif, adalah contoh film yang berupaya

    melihat kembali rasisme, fasisme, dan kontrol negara Jerman

    (Nowell, S.G., 1996). Yang menarik kala itu adalah, munculnya

    kelompok pembuat film perempuan yang kurang terekspos, ada

    56 perempuan yang membuat berbagai jenis film. Topik-topik

    yang biasa disoroti para pembuat film perempuan ini adalah

    topik aborsi, kekerasan domestik, kondisi kerja, dan

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    48

    sebagainya. Tahun 1982, Fassbinder, tokoh sinema baru

    Jerman, bunuh diri. Gerakan ini pun kemudian memudar.

    9. Sinema Soviet

    Diinisiasi oleh para pembuat film pasca revolusi Bolshevik

    (1917), lahirlah stye tersendiri di Soviet melalui eksperimen berbagai teknik dalam kerangka Marxistik. Terinspirasi oleh

    Futurisme Russia, kaum konstruktivist melihat bahwa

    teknologi film akan menyatukan seni dan produksi, sekaligus

    sarana pendidikan ideologis massa. Intinya adalah, film yang

    diproduksi adalah film ideologis bagi kaum proletar, yaitu film

    yang men-deindividualisasi aktornya dan penyutradaraan yang

    kolektif.Gaya montase digunakan–seperti ―Montase Eisenstein‖

    untuk menimbukan konflik bagi penontonnya, baik secara

    visual, emosinal, dan juga (semoga) intelektual. Dengan

    demikian, aliran ini dimaksudkan supaya penonton menjadi

    produser makna atas film yang ia tonton dan menjadi pembuat

    film itu sendiri. Sayangnya, usaha ini ternyata menjadikan

    sinema Soviet sangat formalistik, akhirnya tahun 1928 era

    sinema montase berakhir, dan bergeser ke realisme sosial

    (Taylor, R., et.al., 1993).

    Secara genre, film Indonesia mengalami cukup banyak perkembangan pada era reformasi tahun 1998. Namun perkembangan style dalam perfilman Indonesia, tidak sedahsyat di negara lain. Penjelasan lebih

    lengkap tentang sejarah film di Indonesia dapat dilihat di Bab empat.

    Kreativitas

    Kreativitas menjadi basis ekonomi dan industri masa kini. Ia

    merupakan aset tidak terwujud yang terbukti dapat menghasilkan

    produk dan jasa yang unik, bernilai dan bermakna. Kreativitas sudah

    dikenal sejak Plato sampai Freud dan Popper sebagai ―divergent, impulsive, and messy‖ (De Bono, 1992, dalam De Fillipi, R., et.al, 2007). Kreativitas melekat dan dimiliki individu-individu yang

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    49

    membuatnya menjadi seorang ―jenius‖ (Bilton and Leary, 2002, Boden,

    1994, dalam De Fillipi, R, et.al., 2007). Definisi kreativitas kemudian

    diperluas bukan hanya pada individu, namun juga pada proses dalam

    organisasi atau institusi.

    Kreativitas dipandang esensial bagi pertumbuhan sosial dan

    ekonomi (Florida, R., and Goodnight, J., 2005). Pada level individu,

    tim, maupun organisasi, kreativitas dipandang sebagai pemampu inti

    dan kontributor bagi kinerja kewirausahaan, pertumbuhan dan daya

    saing. Kreativitas menjadi sebuah area riset yang telah berkembang

    selama bertahun-tahun. Secara historis, kreativitas berakar di dalam

    bidang psikologi yang menjadi fondasi konseptual dan empiris, yang

    berfokus pada faktor-faktor yang meningkatkan atau menghambat

    kreativitas di bidang-bidang yang berbeda.

    Amabile (1996) memberi pandangan historis tentang kreativitas

    dari segi sosio-psikologi, dan menjadi salah satu teori utama kreativitas.

    Henessey dan Amabile (2010) memberi pandangan lebih lanjut tentang

    kreativitas dalam psikologi yang saling berkaitan dengan ilmu-ilmu

    lain, multi-level, dan antar-disiplin. George (2007) menggarisbawahi tentang motivasi tersembunyi yang memediasi hubungan faktor-faktor

    kontekstual dan kreativitas. Mumford dan Gustafson (1988)

    mendiskusikan bagaimana pencapaian kreativitas minor atau mayor

    membutuhkan struktur pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan

    yang berbeda. Shalley dkk. (2004) melakukan riset empiris tentang

    faktor-faktor kontekstual dan personal yang berbeda yang

    mempengaruhi kreativitas individu dan tim. Runco (2004)

    mendiskusikan produk, orang, proses, dan pers dalam kreativitas.

    Runco juga menjelaskan pendekatan ilmu yang berbeda untuk

    mempelajari kreativitas (sebagai contoh, ilmu perilaku dan

    pembangunan). Zhou dan Shelly (2011) mengelompokkan penelitian-

    penelitian dan teori tentang kreativitas sebelumnya ke dalam 3

    kategori atau aspek psikologi yaitu: motivasi, kognitif (proses berpikir),

    dan proses afektif. Sedangkan Anderson (2014) melakukan penelitian

    terkini yang berfokus pada hasil penelitian tahun 2002-2013, ia

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    50

    memberikan kerangka panduan untuk riset-riset kreativitas

    berikutnya pada level individu, tim, dan organisasi.

    Ada juga sejumlah penelitian kreativitas organisasi dalam ilmu

    manajemen. Dalam manajemen, kreativitas didefinisikan dalam dua

    cara, yang pertama sebagai sebuah proses, dan yang kedua sebagai

    sebuah hasil. Dipercayai bahwa jika ingin menghasilkan outcome yang kreatif, penting sekali terlibat dalam proses-proses kognitif dan

    perilaku, misalnya mengaitkan ide-ide berbagai sumber dan pencarian

    yang luas, yang dapat menolong, memampukan seseorang untuk lebih

    kreatif dalam pekerjaannya.

    Proses kreatif adalah sebuah proses berulang dan melibatkan

    penemuan dan pencarian, penyelesaian persoalan-persoalan baru

    dalam berbagai cara. Kreativitas sebagai sebuah outcome atau hasil, didefinisikan terutama dalam manajemen sebagai penggalian ide,

    solusi, maupun proses, yang novel (utama) dan berguna. Ke-novel-an dan kebergunaan keduanya dipandang sebagai kondisi penting agar

    sesuatu dipandang sebagai kreatif. Jadi sekalipun suatu ide sangat

    novel, jika tidak berguna atau layak, tidak bisa dipandang sebagai kreatif. Definisi ini berbeda dari beberapa pekerjaan dalam psikologi

    terutama yang berfokus pada brainstorming, di mana hasil kreatif sering didefinisikan dalam istilah orisinalitas, kelancaran/kefasihan

    (jumlah ide), dan kelenturan atau fleksibilitas (jumlah kategori).

    Ada perbedaan-perbedaan yang dapat mendorong seseorang

    untuk lebih kreatif dan ada faktor-faktor yang berbeda dalam konteks

    pekerjaan tersebut, yang memfasilitasi atau menghambat kreativitas:

    faktor-faktor personal dan kontekstual. Hal ini dapat mempengaruhi

    atau memfasilitasi atau menghambat kreativitas. Kreativitas dapat hadir

    di berbagai jenis pekerjaan dan level organisasi, ide-ide maupun proses

    kreatif juga dapat bervariasi di sepanjang garis kontinum dari kebaruan

    tapi bersifat inkremental sampai ke yang benar-benar baru (radikal)

    dan berbeda.

    Dalam literatur organisasi, kreativitas dipandang sebagai

    kondisi penting namun tidak cukup bagi munculnya inovasi.

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    51

    Perbedaan penting dan mendasar antara kreatifitas dan inovasi adalah,

    fokus kreativitas ditekankan pada sesuatu yang baru dan bermanfaat,

    sementara inovasi menekankan implementasi dari ide-ide dan prosedur

    yang baru. Proses kreatif adalah sebuah proses yang menanggalkan

    cara-cara lama dan menggunakan cara-cara baru yang berbeda dari

    sebelumnya, termasuk cara memecahkan masalah dan menemukan

    solusi. Ada perbedaan dalam setiap individu untuk menjadi lebih

    kreatif selama proses tersebut berjalan, dan konteks organisasi dengan

    faktor-faktor yang berbeda yang dapat mendorong atau menghambat

    kreatifitas, akan mempengaruhi kreativitas. Kreativitas dapat terjadi di

    segala jenis pekerjaan dalam setiap tingkatan organisasi.

    Florida (2002) bahkan menyebut kelas atau kelompok kreatif –

    yang terdiri dari individu-individu kreatif, sebagai motor penggerak

    ekonomi. Dalam bukunya ―The Rise of the Creative Class.. and How Its Transforming Work, Leisure, Community, and Everyday Life‖, Florida menguraikan gagasan tentang tiga komponen utama yang harus ada di

    sebuah kelas kreatif, yaitu adanya 3T: (i) Talent, (ii) Tolerance, dan(iii) Technology. Florida menjelaskan bahwa keberadaan talenta-talenta yang berpendidikan di suatu wilayah akan menjadi faktor kekuatan

    pertama karena interelasi antara mereka dalam proses penciptaan nilai,

    faktor kedua adalah kultur keterbukaan, diversity, dan inklusifitas yang memungkinkan setiap talenta tadi bersosialisasi satu dengan yang

    lainnya, dan faktor ketiga adalah tingkat penggunaan dan keberadaan

    teknologi di suatu wilayah turut menentukan penciptaan creative class.

    Alfred Gell (1998) juga melakukan studi atas pekerjaan seni

    (artwork) dalam hubungannya dengan pemirsa (audience) atau penikmatnya. Menurut Gell, ada sebuah kekuatan tak terlihat dari

    sebuah karya kreatif misalnya musik atau lukisan yang bisa menggugah

    pemirsa. Kekuatan tak terlihat ini dapat mengubah emosi, perasaan dan

    pikiran seseorang sehingga orang tersebut memberikan tanggapannya

    terhadap karya kreatif yang ia nikmati selayaknya kepada mahluk

    hidup. Karya-karya kreatif dapat membuat seseorang bergembira,

    sedih, menangis atau tertawa.

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    52

    Henry dkk. (2004) mendefiniskan kreatifitas dalam

    menghasilkan sebuah karya yang mengagumkan --dalam bentuk film

    atau lainnya, sebagai ―art-entrepreneurship‖. Definisinya adalah sebagai berikut:

    ―. . . individuals who use creative mindsets in response to triggers for their entrepreneurial acts: extrinsic, that which is contextual and business-driven; and intrinsic, that which involves the internal desire to create something and a personal sense of challenge‖.

    Kreativitas yang terwujud dalam ide-ide baru berbentuk

    produk, proses, dan pengalaman dalam pembuatan sebuah karya seni

    telah menjadi basis inovasi sosial dan teknologi melalui penggunaan

    modal/properti intelektual.

    Seseorang tidak perlu pengalaman puluhan tahun untuk

    menjadi kreatif, namun ada kemungkinan pekerjaan yang sangat

    kompleks akan membuat seseorang kreatif. Orang-orang kreatif

    biasanya memiliki pola pikir divergen, meskipun pada praktiknya

    kondisi dapat mengharuskan pola pikir konvergen dan beberapa situasi

    mengharuskan hadirnya kedua pola berpikir, divergen sekaligus

    konvergen (Eysenck, 2003; Runco, 2007). Individu-individu kreatif

    terbiasa untuk mencari informasi, melakukan komunikasi intensif,

    serta membutuhkan kebebasan berkreasi, untuk mendapatkan solusi

    dalam proses pekerjaan yang kompleks. Sebagai tambahan, kreatifitas

    dalam proses bisnis juga mengarahkan pada resiko-resiko tertentu yang

    membutuhkan sistem insentif tertentu dan menuntut pengetahuan

    yang cukup untuk mengerjakan tugas-tugas kreatif, serta pemahaman

    akan konsekuensi mengikuti keinginan pemilik (owner) dan mengalokasikan sumber-sumber daya tanpa mengabaikan sisi

    kreatifitasnya. Orang-orang kreatif memainkan peran penting dalam

    proses bisnis untuk mencapai hasil terbaik, bukan sekedar melakukan

    transaksi dalam bisnis (Seidel, S. and Rosemann, M., 2008).

    Gambar 2.1. menunjukkan proses bisnis yang berorientasi pada

    kreativitas yang dilakukan oleh individu-individu dalam organisasi

    tersebut, yang disebut ―Orientasi Kreativitas BPM‖.

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    53

    Sumber diadaptasi dari: Seidel, S., and Rosemann, M, 2008

    Gambar 2.1. Tahapan Orientasi Kreativitas BPM

    Gambar di atas menjelaskan bahwa individu-individu yang

    mengemban tugas kreatif dalam sebuah proses bisnis, harus didukung

    oleh alokasi sumber daya yang fleksibel. Meskipun di sepanjang proses

    bisnis tetap dilakukan pengendalian dan monitoring, kebebasan kreatif

    harus tetap dipertahankan untuk mencapai hasil yang maksimal dan

    memuaskan, tanpa mengorbankan kreatifitas. Namun, model di atas

    belum sepenuhnya menjelaskan tentang resiko kreatif dan bagaimana

    mengelola resiko menjadi kreatif tersebut.

    Film Sebagai Industri Kreatif

    Gelombang ekonomi kreatif dimulai di millenium ketiga

    dengan industri kreatif sebagai basis ekonominya. Istilah industri

    kreatif sendiri telah mengalami banyak perubahan dan perdebatan

    selama enampuluh tahun terakhir. Mulai dari konsep ―industri budaya‖

    (culture industry) kemudian menjadi ―cultural industry‖ lalu berubah lagi menjadi ―industri kreatif‖ (creative industries). Kata industri dan

    Orientasi Kreativitas Pada

    Bisnis

    Meningkatkan Kinerja Tanpa

    Mengorbankan Kreativitas

    Mengelola Resiko Menjadi

    Kreatif

    Mendukung Alokasi Sumber Daya yang

    Fleksibel

    Menjaga dan Meningkatkan

    Kreativitas

    Menjaga Proses Kreatif, Melakukan

    Kontrol

    Kebebasan Kreativitas

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    54

    kata kreatif sendiri masih dipertentangkan padanannya, karena

    kreatifitas dalam konotasi budaya menurut pakar kebudayaan tidak

    cocok disandingkan dengan industri yang terkesan komersial.

    Pada kenyataannya, terdapat perbedaan mendasar antara

    ―produk budaya‖ dengan ―kapitalisasi budaya‖ atau ―culture capitalization‖. Istilah kapitalisasi ini muncul belakangan. Connor berpendapat, kapitalisme telah menghapuskan critical culture yaitu budaya otentik. Pada tahun 1970-an perilaku manusia mulai berubah,

    kini manusia lebih suka belanja sesuatu yang ‗appealed‘ sesuatu yang menarik dan menggugah. Komoditas budaya mulai lebih komersial,

    manusia tidak segan membayar mahal untuk sebuah pengalaman tak

    terlupakan ketika menikmati komoditas budaya tersebut (Connor, J.

    O., 2010).

    Industri kreatif yang biasa disebut industri konten, merupakan

    industri yang mendorong kreativitas individu-individu, keterampilan

    dan talenta, dan mengeksploitasi kekayaan intelektual yang

    dimilikinya. Industri kreatif muncul karena ada hubungan antara seni

    dan komersialisasi. Saat ini, banyak negara mulai mengidentifikasi

    sektor-sektor industri kreatif yang mereka miliki namun masing-

    masing masih berbeda dalam mendefinisikan dan mengkategorisasi

    sektor-sektor tersebut. Negara-negara berkembang seperti Tiongkok,

    Korea, dan Filipina telah mulai mendiskusikannya. Definisi pertama

    tentang industri kreatif diinisiasi oleh DCMS, Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga di Inggris Raya (2010), yaitu industri

    yang meliputi: periklanan, arsitektur, kerajinan dan barang seni,

    disain, fashion, film, video, dan permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan percetakan, layanan komputer dan piranti

    lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan.

    Industri kreatif diakui telah memberi kontribusi secara

    signifikan pada pendapatan negara. Di Amerika Serikat, tahun 1999

    sektor R&D telah menghasilkan pendapatan senilai lebih dari USD 2,2

    miliar, sedangkan di Jepang, tahun 1996 industri kreatif justru makin

    berkembang sekalipun ekonomi negara mengalami resesi (Cave, 2000;

    Howkins, 2001; Wong, C. Y., dan Gao, R., 2008).

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    55

    Di Indonesia, industri kreatif mulai mengemuka sejak tahun

    2011 ketika Kementrian Ekonomi Kreatif dan Pariwisata dibentuk

    berdasarkan Perpres No.92/2011. Departemen Perdagangan Republik

    Indonesia (2007) mendefinisikan industri kreatif, sebagai :

    ―industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut‖

    Pada bulan Januari tahun 2015, berdasarkan Peraturan

    Presiden Nomor 6 Tahun 2015, ekonomi kreatif dihilangkan dari

    Kementrian Pariwisata dan berdiri sendiri dalam satu lembaga di

    bawah Presiden, yaitu Badan Ekonomi Kreatif (BEK). Berdasarkan

    data, telah terjadi peningkatan ekspor produk kreatif dan

    kontribusinya terhadap PDB menjadi 8% di tahun 2013 dari kisaran

    6,9% di tahun 2012. Jumlah tersebut ingin ditingkatkan menjadi 10%

    di tahun 2014, dan 12% di tahun 2019 (Renstra Badan Ekonomi

    Kreatif, 2015-2019).

    Ada enam kelompok industri kreatif di Indonesia menurut

    Kementrian Perindustrian (2014) yang dikategorikan sebagai berikut :

    1. Kelompok Industri Publikasi dan Presentasi: Penerbitan,

    Percetakan, dan Periklanan

    2. Kelompok Industri yang Mengandung Budaya dan

    Disampaikan Melalui Media Elektronik: TV, Radio, Film, dan

    Fotografi

    3. Kelompok Industri yang Mengandung Budaya dan Ditampilkan

    ke Publik: Musik dan Seni Pertunjukkan

    4. Kelompok Industri yang Padat Kandungan Seni dan Budaya:

    Kerajinan dan Barang Seni

    5. Kelompok Industri Disain: Fashion dan Arsitektur

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    56

    6. Kelompok Industri dengan Muatan Teknologi: Riset dan

    Pengembangan, Teknologi Informasi, dan Jasa Perangkat

    Lunak.

    Pengelompokkan sektor-sektor kreatif ini dijelaskan pada Gambar 2.2.

    Sumber: Kameo, D., D., 2015

    Gambar 2.2. Pengelompokan Sub-sub Sektor Industri Kreatif di Indonesia

    Industri film, video, dan fotografi adalah sektor industri kreatif

    yang bergerak di bidang media, seni, dan budaya. Dibandingkan

    dengan sektor industri kreatif yang lain, industri film, video, dan

    fotografi memiliki modal kreatifitas dan pengetahuan yang paling

    tinggi, sebagai bentuk aktiva tidak berwujud. Modal kreativitas dan

    pengetahuan menjadi syarat utama yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

    Keunikan Industri Film

    Industri film adalah salah satu industri kreatif yang memiliki

    karakteristik tersendiri, sebuah karakter industri yang unik. Ekonomi

    kreatif merupakan bagian yang integral dari keberhasilan ekonomi

    berbasis pengetahuan. Kapasitas untuk membangun solusi-solusi

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    57

    kreatif bagi disain produk dan pengembangan pasar di era globalisasi

    menjadi faktor penentu kesuksesan bisnis. Ciri khas ekonomi kreatif

    adalah kreatifitas, keterampilan, dan talenta individu (Bakhshi and

    McVittie, 2009 dalam White, D.S., et.al., 2012; serta Wolfe and

    Bramwell, 2008 dalam White, D.S., et.al., 2012).

    Menurut Prat dan Gornostaeva (2005), industri film memiliki

    dinamika yang khas dan bersifat unik. Jika dalam industri manufaktur

    yang lain ada kemungkinan uji prototipe dulu sebelum dilepas di

    pasaran, maka dalam industri film dinamikanya berbeda, hanya ada

    dua kemungkinan dalam membuat film: film yang laku atau film yang

    tidak laku, yang dinyatakan sebagai berikut :

    ―...in the film industry, every project is a prototype. There is no chance to redesign a bad movie. You either make a good film and sell it, or you make a stinker.‖

    Film yang dibuat oleh movie-maker hanya memiliki dua kemungkinan, bisa diterima oleh masyarakat dan laku di pasaran, atau,

    tidak bisa atau kurang dihargai oleh masyarakat (penonton).

    Karenanya, tidak ada istilah film festival atau film komersil, di mata

    penonton hanya ada dua film: film bagus, karenanya laku, dan film

    tidak bagus.

    Film ―The Lord of The Rings‖ menjadi contoh film box-office dengan tiket penjualan yang fantastis. Sekuelnya: ―The Lord of The Rings: The Return of King‘s‖ juga sukses di pasaran mendapatkan penghargaan Oscar. Peran pemerintah di Selandia Baru yang sangat mendukung dibuatnya film tersebut menjadi faktor kunci tercapainya

    keunggulan kreatif dari film itu. Peter Jackson4 sebagai movie-maker

    4Sir Peter Robert Jackson adalah seorang movie-maker dan screenwriter di New

    Zealand. Karya-karyanya yang terkenal antara lain adalah film ―The Lord of The Rings Trilogy‖ (2001-2003), ―The Hobit Trilogy‖ (2012-2014), film ―King Kong‖ (2005), ―District 9‖ (2009), dan ―The Adventures of Tintin: The Secret of Unicorn‖ (2011). Di dalam film ―The Lord of The Rings‖ Peter Jackson menjalankan peran sebagai produser, merangkap penulis dan sutradara. Atas film tersebut Peter Jackson dianugerahi Academy Award sebagai Best Director di tahun 2003, juga menerima beberapa penghargaan lain di festival film internasional yang lain seperti Golden Globe Award, dan Saturn Awards (www.wikipedia.org).

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    58

    (penulis skrip, sutradara)-nya telah melakukan usaha-usaha fund-raising dan dukungan kebijakan melalui komunikasi serta kerja sama dengan dewan pemerintah daerah dan pusat.

    Selandia Baru telah berhasil mengembalikan peringkatnya

    kembali ke jajaran atas dalam kerja sama antarnegara dalam ekonomi

    dan pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development), melalui pertumbuhan inovasi oleh industri kreatif perfilman. Keberhasilan ini digambarkan dengan aktifitas-aktifitas

    kreatif, kewirausahaan/kebaruan (entrepreneurial) di beberapa tingkatan. Negara Selandia Baru dengan jumlah penduduk sekitar

    empat juta jiwa ini, telah berhasil membangun industri layar lebar

    yaitu project-based, capital-intensive film industry, di tiga level entrepreneurship sekaligus.

    Apa yang dilakukan Peter Jackson, sang produser ―The Lord of The Rings: The Return of The King‖ ini didefinisikan Anne de Bruin (2005) sebagai multi-level entrepreneurship dalam produksi film layar lebar. Jackson telah berhasil mengubah Selandia Baru yang semula ada

    di peringkat bawah dalam hal indeks inovasi negara-negara organisasi

    OECD, ke peringkat atas melalui industri kreatif perfilman. Industri film di Selandia Baru yang sebelumnya tidak atau belum terkenal,

    mulai 2004 menjadi dikenal secara internasional (NZFC, 2004). Peter

    Jackson telah menginisiasi kewirausahaan kreatif dan mengelola proses

    inovasi di tingkat individual, tingkat nasional (melalui peran

    pemerintah kota/daerah) dan tingkat regional (municipal-community entrepreneurship). Film yang mayoritas (70%) dikerjakan produksinya di laboratorium ini, menggunakan beberapa aktor yang sebelumnya

    tidak terkenal, dan terbukti laris menembus box-office di berbagai negara.

    ―The Lord of The Rings: The Return of The King‖ (TLTR) telah mengubah industri perfilman di Selandia Baru menjadi industri

    berbasis pengetahuan intensif yang memiliki prestise dan diakui oleh

    dunia. Pemerintah mendukung industri film melalui pendanaan yang

    diberikan pada New Zealand Film Commission (NZFC) dengan dana pertama sebesar USD 22 juta untuk biaya produksi film. Film ―TLTR‖

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    59

    diikuti dengan film-film berikutnya yang juga laris seperti film ―King

    Kong‖ dan ―Shrek II‖.

    Apa yang dilakukan oleh Peter Jackson ketika memproduksi

    TLTR, yaitu bekerja sama dengan pemerintah daerah-pusat dan komunitas/masyarakat setempat menjadi contoh yang meredefinisi

    seniman (artist) menjadi wirausaha kreatif atau art-entrepreneurship (Caves, 2002; 2003). Seorang art-entrepreneur seperti movie-maker, musician, song-writer, story-writer, painter, yang awalnya didefinisikan sebagai seorang artist yang menekankan nilai-nilai

    berseni tinggi (art) dalam karya-karyanya. Sebuah karya kreatif kini, bukan saja memiliki cita-rasa seni yang tinggi di dalamnya, namun juga

    merupakan hasil/produk inovasi dan kewirausahaan. Apa yang

    dilakukan Peter Jackson dalam TLTR menjadi contoh bagaimana sebuah proses inovasi dan kewirausahaan bekerja dalam produksi film,

    dan mendatangkan hasil berupa apresiasi yang tinggi dari

    penikmatnya, bukan hanya secara artistik (mendapat piala Oscar)

    namun juga secara ekonomi, mendapatkan keuntungan material yang

    sangat besar.

    Film sebagai sebuah industri, memiliki kekhasan tersendiri.

    Ada suatu kreativitas, totalitas yang unik, yang tidak mungkin untuk

    didisain ulang. Sebuah film tidak bisa dibuat prototype-nya dulu untuk diuji di pasar terbatas sebelum dilempar ke pasar bebas. Hanya ada dua

    kemungkinan: film yang dibuat bagus dan laku dipasarkan, atau film

    itu buruk.

    Beberapa perbedaan terlihat jelas antara industri film dengan

    industri manufaktur yang lain :

    Pertama, dalam industri manufaktur (IM) umumnya produk bertransformasi dari ide-konsep-disain-prototype-uji produk-uji pasar-finished goods. Jika produk yang akan dijual itu adalah mobil, maka mobil yang akan dijual ke pasaran harus

    melalui uji produk terlebih dahulu, jika lolos, baru diuji pasar.

    Jika ada keluhan-keluhan dan saran perbaikan, maka mobil

    tersebut harus didisain ulang, demikian seterusnya sampai

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    60

    mobil yang akan dijual benar-benar siap dan sesuai dengan

    keinginan pembuatnya. Dalam industri film (IF) hal proses

    transformasi ini tidak terjadi.

    Kedua, model IM tidak bisa menjelaskan dinamika proses produksi dalam industri film (IF). IF memiliki dinamika yang

    khas yang tidak dimiliki oleh IM yang lain. Negosiasi dan

    penyesuaian terjadi di sepanjang proses produksi film, mulai

    dari awal sampai akhir. Ketika ide cerita ditawarkan kepada

    seorang produser, maka produser tersebut akan mencari dan

    memilih penulis skrip yang sesuai dengan keinginannya.

    Kemudian proses negosiasi berlanjut dengan pemilihan

    sutradara (director), para pemain yang akan menjadi tokoh-tokoh di film tersebut, pengambilan gambar, penataan cahaya,

    ilustrasi musik, dan sebagainya, yang terjadi di sepanjang proses

    produksi sebuah film.

    Ketiga, sulit untuk mendeteksi kelemahan dari awal pada IF. Jika proses transformasi pada IM mudah diamati dan bisa

    diulang-ulang per bagiannya, maka tahap-tahap produksi

    sebuah film akan sangat sulit dan melelahkan jika harus

    diulang-ulang bagian demi bagiannya. Ditambah lagi, sumber

    daya proses produksi film adalah manusia, bukan benda mati

    yang mudah diatur dan dikoordinasikan.

    Keempat, dalam IF, setiap film yang siap jual adalah prototype yang tidak mungkin untuk didisain ulang. Hanya ada dua

    kemungkinan, laku atau tidak laku.

    Perbedaan-perbedaan tersebut, menunjukkan karakteristik

    industri film yang khas. Sebuah industri perfilman memiliki beberapa

    karakteristik unik, antara lain:

    Pertama, dinamika yang unik, karena terjadi negosiasi terus-

    menerus di sepanjang prosesnya, dan karenanya sebuah film

    selalu ―siap berubah‖ dari ide cerita awal karena melibatkan

    banyak pemain dan banyak negosiasi;

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    61

    Kedua, produk film bersifat seperti cair, lentur, belum

    membeku sampai massa/penonton menyaksikan dan memberi

    penilaian,

    Ketiga, di sepanjang prosesnya sebuah film akan memobilisasi

    banyak kepentingan sehingga hasil akhir sebuah film akan

    sangat bergantung pada proses negosiasi di dalamnya –negosiasi

    ini tidak terlihat ketika sebuah film ditonton, serta

    Keempat, sebuah film melibatkan pendanaan yang sangat

    besar, proses produksi yang kompleks, dan hasil yang

    mengagetkan dan aneh.

    Studi tentang Film Indonesia

    Studi tentang film Indonesia sebagai produk budaya telah

    banyak dilakukan. Namun, penelitian tentang paradoks kreatifitas atau

    manajemen kreatifitas dalam industri film Indonesia belum ada.

    Gagasan yang ada selama ini adalah, pemisahan atau dikotomi film

    sebagai film idealis versus film komersil, atau ada yang menyebutnya

    sebagai budaya tinggi (art) dan budaya populer; namun belum ada yang mengeksplorasi paradoks kreatifitas itu sendiri.

    Berbagai studi tentang film Indonesia telah dilakukan,

    khususnya yang berhubungan dengan peran film sebagai garda budaya

    bangsa, nasionalisme, ideologi dan politik. Satu studi yang menarik

    tentang perfilman di Indonesia pada masa Orde Baru telah dilakukan

    oleh Krishna Sen5. Menurut Sen (1994), ada polarisasi politik dalam

    5Prof. Krishna Sen sekarang menjabat sebagai Dekan di Fakultas Seni UWA (The

    University of Western Australia). Krishna Sen telah lama dikenal sebagai peneliti yang banyak melakukan studi tentang media kontemporer di Indonesia. Sebelum menjabat posisi saat ini, Krishna Sen terlebih dulu mengajar dan menjadi peneliti di Universitas Murdoch dan Curtin serta Executive Director for Humanities and Creative Arts di Australian Research Council di Canberra. Beberapa jurnal dan bukunya antara lain: ―Indonesian Cinema: Framing The New Order‖ (1994), ―Media, Culture, and Politics in Indonesia‖ (2000), ―Politics and The Media in 21st Century Indonesia‖

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    62

    film di era Orde Baru tersebut, film sebagai media pendidikan

    ‗ditumpangi‘ oleh kepentingan politik yaitu hegemoni kekuasaan.

    Melalui tulisannya berjudul ―Indonesian Cinema: Framing The New Order‖ Sen menyoroti film Indonesia selama Orde Baru, bagaimana negara secara struktural turut menentukan film mana yang boleh/layak

    diputar melalui institusi perfilman beserta persetujuan atas konten.

    Negara telah berhasil mengendalikan perfilman secara langsung dan

    memasukkan ideologinya pada narasi perfilman. Ini dimaksudkan

    untuk menjaga tatanan yang stabil. Penelitian Krishna Sen

    menunjukkan bahwa film Indonesia pada rezim Orde Baru berada di

    bawah otoritas penguasa.

    Lebih lanjut, dalam buku ―Media, Budaya, dan Politik

    Penguasa‖ (2001) Krishna Sen dan David T. Hill kembali

    mempertanyakan bagaimana media, kebudayaan dan politik memiliki

    arti dan relasi pada saat Orde Baru dimulai sampai lengsernya Soeharto.

    Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana interaksi antara media

    dengan penguasa dan masyarakat membentuk kebudayaan dan politik

    pada masa itu. Penguasa Orde Baru memperlakukan media sebagai alat

    untuk mempertahankan kepentingan politis, dengan mengatas-

    namakan ―persatuan dan kesatuan‖ dan upaya menghadirkan ―budaya

    nasional‖ sebagai identitas bangsa. Ketidakseragaman atau

    penyimpangan terhadap apa yang sudah ditentukan oleh penguasa –

    keseragaman tindakan, ucapan, dan sikap yang cenderung membatasi

    ruang gerak media—dianggap sebagai antitesis, disorder atau ketidaktertiban. Dalam genre film, penguasa berusaha menyensor dan

    membatasi penyiaran film dengan cara menekankan isu SARA (suku,

    agama, ras, dan antargolongan). Indonesia berada di bawah

    Departemen Penerangan Republik Indonesia dengan ketentuan harus

    mengikuti struktur naratif tertentu. Film ―Perawan Desa― (1978)

    dilarang beredar oleh Badan Sensor Film selama satu tahun, karena

    isinya menceritakan ketidakadilan dari pemerintah yang dirasakan

    (2010), ―Chinese Indonesian in National Cinema‖ (2006) –(www.web.uwa.edu.au, diunduh tanggal 25 Januari 2016, pk.11.30).

    http://www.web.uwa.edu.au/

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    63

    oleh masyarakat kecil. Baru sesudah isi ceritanya diubah, film tersebut

    boleh diputar.

    Fenomena anti-mainstream pada masa itu adalah film-film karya Garin Nugroho. Beberapa filmnya dilarang untuk diputar di

    dalam negeri, namun justru menang di berbagai festival film luar

    negeri. Film-film Garin tersebut antara lain: film ―Surat Untuk

    Bidadari‖, ―Bulan Tertusuk Ilalang‖, ―Daun di Atas Bantal‖, dan ―Puisi

    Tak Terkuburkan‖. Film-film tersebut banyak menceritakan realitas

    sosial yang muncul pada saat pemerintahan Orde Baru, seperti cerita

    pembunuhan besar-besaran terhadap aktivis dari organisasi masyarakat

    tertentu yang dianggap ekstrim kiri pada masa itu dan beberapa realitas

    sosial dari daerah-daerah yang termarjinalkan dalam pembangunan

    seperti Aceh, Papua, dan Sumba. Film Garin adalah film yang sulit

    ―dibaca‖ masyarakat awam (Cheah, P., et.al., 2002).

    Studi-studi berikutnya tentang film Indonesia berada pada

    topik yang kurang lebih sama, represi pemerintah dan kebebasan.

    Selama kurang lebih seratus tahun usia perfilman Indonesia,

    perkembangannya tidak sepesat yang diharapkan, industri perfilman

    bergerak lambat dan kurang bertumbuh. Masalah dalam industri film

    Indonesia bukan hanya masalah ekonomi, namun bersifat multi

    dimensi. Di dalamnya terdapat dominasi konglomerasi para pengusaha

    bioskop atas film-film impor, apresiasi penonton yang masih rendah,

    pajak atas produksi film yang dikategorikan sebagai barang mewah,

    dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak (Agustinus,

    2002; Kurnia, N., 2008; Widagdo, M.B, 2011).

    Studi terkini tentang film (kontemporer) Indonesia dilakukan

    oleh Thomas Barker6. Dalam disertasinya yang berjudul ―A Cultural Economy of The Contemporary Indonesian Film Industry‖ (2011),

    6Thomas Barker adalah Assistant Professor di Faculty of Arts and Social Science, The

    University of Nottingham Malaysia. Sebelumnya, Thomas Barker menjadi asisten peneliti di Institute for Social Research Science, University of Queensland, dan ―pengunjung‖ (visiting-fellow) di Departemen Sosiologi NUS, Singapura. Thomas Barker juga pernah menjadi peneliti di Centre for The Study for Social Southeast Asian Nation di UGM, Yogyakarta (www.nottingham.edu.my, diunduh tanggal 25 Januari 2016).

    http://www.nottingham.edu.my/

  • Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

    64

    Barker melakukan penelitian secara mendalam terhadap film Indonesia

    populer sebagai studi sosiologi. Apa yang dilakukan Barker ini mulai

    mengisi kekosongan dari gap penelitian-penelitian sebelumnya tentang film-film yang berkualitas (cita rasa seni yang tinggi) dengan film

    komersil di Indonesia. Penelitian Barker menunjukkan analisis

    terhadap aspek historis dalam hubungan-hubungan sosial yang terjadi

    dalam proses produksi film. Barker yang menggunakan pendekatan

    ekonomi budaya yang dipadukan dengan budaya populer,

    mengungkapkan lebih lanjut perfilman Indonesia Pasca Reformasi

    yang strukturnya dipengaruhi oleh industri film di masa lalu. Temuan

    Barker ini melengkapi dan memberikan kontribusi terhadap apa yang

    telah diteliti oleh Krishna Sen dan lain-lain.

    Penelitian Barker juga melengkapi apa yang telah dilakukan

    Ekky Imanjaya7 (2009) tentang perbedaan film idealis dan film

    komersial. Dua pembuat film kontemporer, yakni Riri Riza dan Joko

    Anwar disebut sebagai movie-maker yang sukses memadukan kedua unsur tadi dalam perfilman yaitu idealisme dan komersial. Barker

    mengidentifikasikan hal ini sebagai paradigma baru dalam budaya

    populer di Indonesia. Generasi baru para pembuat film telah

    memperbaharui apa yang disebut sebagai ―film nasional‖ di era Orde

    Baru dan membangun kembali unsur-unsur film sebagai budaya

    populer. Generasi baru dan muda ini dapat leluasa membangun dan

    membuat film-film mereka dengan cita rasa yang baru, bahkan sama

    sekali baru, karena tidak ada lagi pembatasan-pembatasan yang

    mengekang, mereka berada di iklim kebebasan.

    Temuan Barker sekaligus melengkapi penelitian Ariel

    Heryanto (2008) tentang budaya populer yang berkembang di

    Indonesia berdasarkan ideologi yang berlaku saat itu. Ideologi-ideologi

    tersebut dipahami sebagai basis sosiologi dari produk budaya yang

    lebih kompleks. Disertasi lain tentang film Indonesia dari kajian

    7Ekky Imanjaya adalah seorang akademisi yang sedang melanjutkan studi dan

    penelitian di UEA (University of East Anglia, School of Film, Television and Media Studies). Beberapa topik penelitiannya antara lain: ―A Note From The Editor: An Introduction The Significance of Indonesian Cult, Exploitation, and B Movies‖ (2014), (www.eastanglia.academia.edu, diunduh tanggal 25 Januari 2016)

    http://www.eastanglia.academia.edu/

  • Film, Kreativitas, dan Industri

    65

    budaya juga telah dilakukan oleh Dr. Ikwan Setiawan tahun 2013.

    Kajian tersebut menghasilkan temuan dan pengayaan tentang budaya

    post-kolonial di Indonesia melalui pembacaan struktur dunia naratif

    film dan konteks sosio-historis di Indonesia pada tahun 2000-an

    sesudah reformasi.

    Apa yang sudah diteliti secara mendalam oleh Krishna Sen,

    Ariel Heryanto, Thomas Barker, dan Dr. Ikwan Setiawan tentang film

    Indonesia patut diapresiasi. Namun demikian, penelitian-penelitian

    terdahulu tentang film Indonesia belum mengungkapkan secara

    menyeluruh industri film nasional dari sisi jatuh-bangunnya dan

    dilematis kurangnya apresiasi terhadap film Indonesia oleh pemirsa di

    tanah air.

    Jika Krishna Sen, Ariel Heryanto lebih banyak berfokus pada

    aspek politik, media, serta budaya populer dari film Indonesia; maka

    penelitian ini akan lebih fokus pada mencari dan menemukan mengapa

    film Indonesia sebagai produk budaya sekaligus industri kreatif

    senantiasa jatuh-bangun di sepanjang masa/rezim. Peneliti ingin

    melihat bagaimana kreativitas membuat film terjadi dan berlangsung

    dalam sebuah proses produksi, bagaimana reaksi dan apresiasi

    penonton terhadap film Indonesia masa kini, dan bagaimana

    pengelolaan bisnis dalam industri film di Indonesia.