BAB II - repository.unpas.ac.idrepository.unpas.ac.id/28449/4/G. BAB II.pdf · Ketujuh Pengertian...
Transcript of BAB II - repository.unpas.ac.idrepository.unpas.ac.id/28449/4/G. BAB II.pdf · Ketujuh Pengertian...
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PENEGAKAN HUKUM PIDANA
DALAM TINDAK PIDANA DIBIDANG MINYAK DAN GAS BUMI
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Belanda yaitu
Strafbar feit. Dalam Bahasa Belanda dipakai dua istilah yaitu Strafbar feit
atau terkadang dipakai istilah delik. Dalam Bahasa Indonesia terdapat
beberapa terjemahan Strafbar feit yaitu diantaranya diterjemahkan sebagai
peristiwa pidana, tindak pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan
pidana.
Tien S. Hulukati dan Gialdah Tapiansari B. dalam modul perkuliahan
memberikan pendapat bahwa:25
“Masing-masing penterjemahan istilah Strafbaarfeit ke
dalam bahasa Indonesia tentunya memberikan sandaran
masing-masing”.
Ada beberapa pendapat para ahli yang memaparkan dan mengemukakan
pengertian perbuatan pidana diantaranya adalah Van Hammel yang telah
merumuskan Strafbar feit itu sebagai:26
25 Tien S. Hulukati dan Gialdah Tapiansari B, Modul Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Pasundan, Bandung, 2017, hlm. 56. 26 Van Hammel dalam Bukunya E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana 1,
Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm.251.
24
“Suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain”.
Simons merumuskan Strafbar feit sebagai enne Strafbar gestelde,
onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een
toerkeningsvatbaar persoon:27
“Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana,
bertentagan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang
bersalah, dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas
perbuatannya”.
Berdasarkan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur dari
tindak pidana adalah perbuatan manusia, baik perbuatan positif maupun
perbuatan negatif yaitu serangan, tingkah laku, pelanggaran terhadap
ketertiban hukum yang diancam dengan pidana dan bersifat melawan hukum,
dilakukan dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Utrecht memberikan pendapat lain, dimana menganjurkan pemakaian
istilah:28
“Peristiwa pidana karena istilah itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen- positif) atau suatu melalaikan (verzuim atau natalen atau niet-doen-negatif) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan melalaikan itu).
Wirjono Projodikoro perkataan “tindakan pidana” untuk
menterjemahkan Strafbaar feit dengan pengertian:29
27 Simons dalam bukunya Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggung jawaban Korporasi
Dalam Hukum Pidana, Penerbit Sekolah Hukum, Bandung, 1991, hlm. 150. 28 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana 1, Reflika Aditama, Bandung, 2003,
hlm. 252. 29 Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Reflika Aditama,
Bandung, 2003, hlm. 45.
25
“Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum
pidana. Pelaku tersebut dapat dikatakan merupakan suatu
subjek “tindak pidana”.
Dalam istilah lain menurut S.R Sianturi dari tindak pidana, tindakan dari
tindak pidana adalah:30
“Singkatan dari “tindakan” atau “Petindak” artinya ada orang
yang melakukan suatu tindakan sedangkan orang yang
melakukan itu dinamakan “petindak”.
Ketujuh Pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli
tersebut di atas sesungguhnya memiliki kesamaan konsep. Hal itu terletak
pada kesamaan pandangan yang menyatakan bahwa tindak pidana merupakan
suatu perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya apabila dilakukan oleh
seseorang akan ada sanksi berupa hukuman yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hukum positif, tindak pidana itu digambarkan sebagai suatu
peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang
menyebabkan dijatuhkan hukuman. Selain itu, ditengah-tengah masyarakat
juga dikenal istilah “kejahatan”, yang menunjukan pengertian perbuatan
melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim
agar dijatuhi pidana.
30 S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Ahaem-
Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 205.
26
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku yang penting
tidak hanya bagian-bagian dari suatu perbuatan itu seperti yang diuraikan
dalam delik, akan tetapi juga harus diperhatikan syarat-syarat yang muncul
dari bagian umum kitab undang-undang atau asas-asas hukum yang
umumnya diterima. Syarat-syarat tersebut merupakan unsur-unsur tindak
pidana. Disaat dulu hingga sekarang ini ada beberapa sarjana hukum yang
mempergunakan istilah “unsur” untuk bagian-bagian dari tindak pidana.
Menurut Van Bemmelen agar lebih jelas sebaiknya diadakan perbedaan
antara bagian dan unsur:31
“Kata ‘bagian’ hanya dipergunakan jika kita berurusan dengan bagian-bagian perbuatan tertentu, seperti yang tercantum dalam uraian delik dan mempergunakan kata “unsur” untuk syarat yang diperlukan untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku dan yang muncul dari bagian umum kitab undang-undang dan asas hukum umum”.
Agar suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang dapat dihukum, maka
perbuatan tersebut haruslah memenuhi semua unsur dari delik sebagaimana
yang telah dirumuskan sebelumnya dalam undang-undang dan juga
merupakan suatu tindakan melawan hukum sebagai syarat-syrat pokok dari
suatu delik.
31 Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, Bina Cipta, Bandung, 1984, hlm. 99.
27
Syarat-syarat pokok dari suatu delik yang harus dipenuhi menurut PAF
Lamintang adalah:32
a. Dipenuhinya semua unsur delik seperti yang terdapat didalam rumusan delik;
b. Dapat dipertanggung jawabkan si pelaku atas perbuatannya;
c. Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja;
d. Pelaku tersebut dapat dihukum, sedangkan syarat-syarat penyerta seperti yang dimaksud diatas itu merupakan syarat yang harus terpenuhi setelah tindakan seseorang itu memenuhi semua unsur yang terdapat didalam rumusan delik.
Hal ini dapat diartikan bahwa sebagai syarat dapat dihukumnya
seseorang yaitu apabila perbuatannya itu melanggar peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pelaku yang melanggar tersebut benar-benar dapat
dipidana seperti yang sudah diancamkan, tergantung kepada keadaan
batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatan itu yaitu dengan
kesalahannya. Perbuatan pidana tidak dapat dipisahkan dari kesalahan dan
dari pertanggung jawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya
perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan atau
sikap batin yang dapat dicela.
Tindak pidana (delik) yang mempunyai sejumlah unsur, diantara para
ahli mempunyai sejumlah elemen (unsur), diantara para ahli mempunyai jalan
pikiran yang berlainan. Sebagian berpendapat membagi elemen perumusan
32 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997, hlm. 187.
28
delik secara mendasar saja dan ada pendapat lain membagi elemen perumusan
delik secara terperinci.
Setiap tindakan pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur-
unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni
unsur-unsur objektif dan unsur subjektif. Adapun yang dimaksud dengan
unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Kemudian yang dimaksud unsur
objektif itu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan diluar diri si
pelaku berupa perbuatan, keadaan dimana tindakan-tindakan dari si pelaku
itu harus dilakukan, yang bertentangan dengan ketentuan perundang-
undangan. Unsur-unsur subjektif terdiri dari:33
a. Kesengajaan dan ketidaksengajaan; b. Maksud dan voormemen pada suatu percobaan atau
poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk yang terdapat misalnya dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan pemalsuan dll;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voobedachte read seperti yang misalnya terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 306 KUHP;
33 Ibid, hlm. 193-194.
29
Unsur subjektif itu semua unsur mengenai keadaan batin atau gambaran
batin seseorang sebelum atau akan melakukan suatu perbuatan tertentu
(dalam hal ini perbuatan pidana).
Unsur-unsur objektif menurut P.A.F. Lamintang terdiri dari:34
a. Sifat melanggar hukum; b. Kualitas dari si pelaku; c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai berestandikut.
Unsur-unsur dari tindak pidana tersebut harus ada diluar diri si pelaku
dan dapat dibuktikan melekat kepada seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana, karena selain hal tersebut menentukan dapat dijatuhi atau
tidaknya hukuman kepada pelaku, juga menentukan berat ringannya
hukuman yang akan dijatuhkan.
Van Bemmelen telah menggunakan perkataan “unsur” sebagai nama
kumpulan bagi apa yang disebut ‘bestanddeel’ dan ‘elemen’ yang dimaksud
dengan ‘bestanddeel van het delict’ oleh Van Bemmelen adalah bagian-
bagian yang terdapat didalam rumusan delik. Sedangkan yang dimaksud
dengan elemen van het delict adalah ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat
didalam rumusan delik melainkan didalam Buku ke-1 KUHP atau dapat
dijumpai sebagai asas-asas yang juga harus diperhatikan oleh hakim, yang
terdiri dari berbagai elemen.
34 Ibid, hlm. 194.
30
Menurut Van Bemmelen Elemen yang disebut sebagai ketentuan-
ketentuan yang tidak terdapat didalam rumusan delik melainkan didalam
Buku ke-1 KUHP adalah:35
a. Hal dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atas tindakan yang telah ia lakukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan;
b. Hal yang dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau suatu akibat kepada seseorang. Oleh karena tindakan atau akibat tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur kesengajaan atau unsur ketidaksengajaan;
c. Sifatnya yang melanggar hukum.
Dapat dipertanggung jawabkan seseorang karena perbuatannya atau
tindakan karena kesengajaan atau ketidaksengajaan dapat dipersalahkan dan
sifatnya melanggar hukum.
Vos berpendapat bahwa didalam suatu strafbaar feit dimungkinkan
adanya beberapa elemen, yaitu:36
a. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat;
b. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akibat ini dapat dianggap telah nyata pada suatu perbuatan dan terkadang elemen akibat tidak dipentingkan dalam delik formil akan tetapi terkadang elemen dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti dalam delik materiil;
c. Elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja;
d. Elemen melawan hukum; e. Elemen lain menurut rumusan Undang-Undang, dan
dibedakan menjadi segi objektif misalnya didalam Pasal
35 Van Bemmelen, Op. Cit., hlm. 196. 36 Vos Dalam Bukunya Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1994, hlm. 104.
31
160 KUHP diperlukan elemen dimuka umum dan segi subjektif misalnya Pasal 340 KUHP diperlukan elemen direncanakan lebih dahulu.
Seseorang mendapatkan hukuman tergantung pada dua hal, harus ada
kelakuan yang bertentangn dengan hukum. Tetapi adanya suatu kelakuan
yang melawan hukum itu belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman.
Perlu juga kelakuan yang melawan hukum harus ada seseorang pembuat yang
bertanggung jawab atas kelakuannya.
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Berdasarkan sifatnya secara kuantitatif, Moeljatno menyebutkan didalam
KUHP dikenal adanya dua jenis perbuatan pidana (delik), yang terdiri dari:37
a. Kejahatan Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik,sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Secara yuridis, Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh Undang-Undang.Kejahatan, misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP) penggelapan (Pasal 378 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan sebagainya.
b. Pelanggaran Pelanggaran adalah “wetsdelikten”, yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Pelanggar, misalnya mengemas di tempat umum (Pasal 504 KUHP), mengadakan pesta atau keramaian umum tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 510 KUHP), dan sebagainya.
37 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 2.
32
Selain membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, Moeljatno masih
menyebutkan pembagian lain dari perbuatan pidana (delik) yang terdiri dari:38
a. Delik dolus dan delik culpa; b. Delik commissionis dan delik ommisionis; c. Delik biasa dan delik kualifisir (dikhususkan); d. Delik selesai dan delik berlanjut;
a.d. a. Delik dolus merupakan delik (perbuatan pidana)
yang dilakukan dengan sengaja, sesuai sebagi contoh
Pasal 338 KUHP yang merumuskan “dengan sengaja
menyebabkan matinya orang lain”. Sedangkan delik
culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak disengaja
atau merupakan kealpaan dan kelalaian, sebagaimana
disebutkan didalam Pasal 359 KUHP “barang siapa
karena kekhilafannya menyebabkan matinya
orang…”Selain membedakan antara kejahatan dan
pelanggaran, Moeljatno masih menyebutkan pembagian
lain dari perbuatan pidana (delik) yang terdiri dari:20 a.
Delik dolus dan delik culpa. Delik dolus merupakan
delik (perbuatan pidana) yang dilakukan dengan sengaja,
sesuai sebagi contoh Pasal 338 KUHP yang
merumuskan “dengan sengaja menyebabkan matinya
orang lain”. Sedangkan delik culpa merupakan
perbuatan pidana yang tidak disengaja atau merupakan
38 Ibid., hlm. 75
33
kealpaan dan kelalaian, sebagaimana disebutkan
didalam Pasal 359 KUHP “barang siapa karena
kekhilafannya menyebabkan matinya orang…”
a.d. b. Delik commissionis adalah perbuatan melakukan
sesuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana,
misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal
372), menipu (Pasal 378). Delik commisionis pada
umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader)
mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsure
pertanggung jawaban pidana. Delik ommisionis yaitu
tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tidak
melakukan sesuatu yang diperintahkan. Contoh delik
ommisionis terdapat dalam BAB V Pasal 164 KUHP
tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.
a.d. c. Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk
pokok yang disertai unsur memberatkan atau juga
mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang
meringankan. Contohnya Pasal 341 KUHP lebih ringan
daripada Pasal 342 KUHP, Pasal 338 KUHP lebih ringan
daripada Pasal 340 dan 339 KUHP, Pasal 308 KUHP
lebih ringan daripada Pasal 305 dan 306 KUHP. Delik
berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua
unsur bentuk pokok yang disertai satu atau lebih unsur
34
yang memberatkan. Misalnya pencurian dengan
membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan
kematian, pembunuhan berencana. Dalam Pasal 365
KUHP terhadap Pasal 362 KUHP, Pasal 374 KUHP
terhadap Pasal 372 KUHP.
a.d. d. Delik selesai yaitu delik yang terdiri atas kelakuan
untuk berbuat atau tidak berbuat dan delik telah selesai
ketika dilakukan, seperti kejahatan tentang
pengahasutan, pembunuhan, pembakaran ataupun Pasal
330 KUHP. Delik berlanjut yaitu delik yang terdiri atas
melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang
terlarang, walaupun keadaan itu pada mulanya
ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Contohnya, terdapat
dalam Pasal 221 KUHP tentang 63 menyembunyikan
orang jahat, Pasal 333 KUHP tentang meneruskan
kemerdekaan orang, Pasal 250 KUHP tentang
mempunyai persediaan bahan untuk memalsukan mata
uang.
B. Tinjauan Umum Tentang Minyak Dan Gas Bumi
1. Pengertian Minyak dan Gas Bumi
Menurut pasal 1 ayat 1 Undang- Undang No 22 tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa
hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa
35
fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen
yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau
endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan
yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Pengertian Gas Bumi dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 22
Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu hasil proses alami berupa
hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfir berupa fase
gas yang diperoleh dari hasil penambangan minyak dan gas bumi.
Sebagai penyusunan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 Minyak dan Gas Bumi bertujuan, yaitu:39
1. Terlaksana dan terkenadalinya minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan vital;
2. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing;
3. Meningkatnya pendapatan Negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;
4. Menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, Undang-Undang Minyak dan
Gas Bumi pun mengatur beberapa Pasal-Pasal ketentuan pidana. Adapun
perbuatan-pertbuatan yang diatur sebagai tindak pidana dalam Undang-
Undang Minyak dan Gas Bumi tersebut.
39 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Minyak dan Gas Bumi, hlm. 3.
36
Adanya Pasal-Pasal yang mengatur tentang penerapan sanksi pidana
dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, tidak terlepas dari tujuan
yang ingin dicapai oleh Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi.
Melihat pentingnya sektor industri Minyak dan Gas Bumi dalam
pembangunan nasional sehingga diharapkan pengelolaan dilakukan
seoptimal mungkin. Tentu saja pengelolaan yang optimal tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi digunakan sebagai
landasan hukum untuk menciptakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi
yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisiensi dan berwawasan
pelestarian fungsi lingkungan serta mendorong potensi dan peranan nasional.
Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, kegiatan usaha hilir Minyak dan Gas Bumi
bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan,
dan niaga dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang
wajar, sehat dan transparan. Dengan demikian sanksi pidana yang diatur
dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi tidak hanya bertujuan untuk
membalas perbuatan pidana yang dilakukan, namun terlebih untuk
mengarahkan agar tujuan kegiatan usaha dalam sektor minyak dan gas bumi
dapat dilakukan seoptimal mungkin sehingga mewujudkan kesejahteraan
umum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam melakukan kegiatan niaga, dibutuhkan beberapa persyaratan dan
berbagai proses perizinan yang harus ditempuh dari rangkaian proses
37
tersebut, salah satu syarat yang dibutuhkan adalah izin usaha badan niaga.
Badan usaha mengajukan permohonan izin usaha kepada Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi
dengan melampirkan persyaratan administrasi dan teknis yang telah
ditetapkan.
2. Jenis-Jenis Minyak dan Gas Bumi
Minyak bumi yang diolah di Indonesia, banyak digunakan sebagai Bahan
Bakar Minyak (BBM), yang merupakan salah satu jenis bahan bakar yang
digunakan secara luas diera industrialisasi.
Ada beberapa jenis BBM yang dikenal di Indonesia, diantaranya
adalah:40
1. Premium (RON88) 2. Pertamax (RON 92) 3. Pertamax Plus (RON 95)
a.d. 1. Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat
berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning
tersebut akibat adanya zat pewarna tambahan.
Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk
bahan bakar kendaraan bermesin bensin;
a.d. 2. Ditujukan untuk kendaraan yang
mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan 90
keatas;
40 Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 3674 k/24/DJM/2006
tentang standar dan mutu Bahan Bakar Minyak jens Bensin yang dipasarkan di Dalam Negeri.
38
a.d. 3. Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) ini telah
memenuhi standar performance internasional world
wide fuel charter. Ditujukan untuk kendaraan yang
berteknologi mutakhir yang mempersyaratkan
penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan ramah
lingkungan;
3. Perniagaan Kegiatan Usaha Hilir di Bidang Minyak dan Gas Bumi
Kegiatan usaha hilir diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 5, Pasal 7, Pasal
23 sampai dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi.
Kegiatan usaha hilir menurut H. Salim H.S. adalah kegiatan usaha yang
berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha:41
a. Pengolahan;
b. Pengangkutan;
c. Penyimpanan;
d. Niaga.
Kegiatan usaha hilir diselenggarakan melalui mekanisme persaingan
usaha yang wajar, sehat, dan transparansi. Kegiatan usaha hilir dilaksanakan
dengan izin usaha. Izin usaha adalah izin yang diberikan kepada badan usaha
untuk melaksanakan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga
41 Salim H.S, Hukum Pertambangan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2008, hlm. 289.
39
dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba. Badan usaha baru dapat
melaksanakan kegiatannya setelah mendapat izin usaha dari pemerintah.
Izin usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha minyak bumi atau
kegiatan usaha gas bumi dibedakan atas:42
a. Izin usaha pengolahan;
b. Izin usaha pengangkutan;
c. Izin usaha penyimpanan;
d. Izin usaha niaga.
Kegiatan usaha hilir sebagaimana dapat dilaksanakan oleh badan usaha
setelah mendapat izin usaha dari Pemerintah, izin usaha yang diperlukan
untuk kegiatan usaha minyak bumi dan/atau kegiatan gas bumi.
Niaga adalah kegiatan:43
a. Pembelian; b. Penjualan; c. Ekspor; d. Impor minyak bumi; e. Hasil olahannya; f. Niaga gas bumi melalui pipa.
a.d. a. Pembelian adalah memperoleh minyak bumi dengan cara
melakukan pembelian dari negara lain;
a.d. b. Penjualan adalah proses menjual minyak bumi kepada
negara lain;
42 Ibid, hlm. 291. 43 Ibid., hlm. 290.
40
a.d. c. Ekspor adalah proses pengangkutan minyak bumi untuk
dikirim keluar dari Indonesia;
a.d. d. Impor minyak bumi adalah proses pengiriman minyak
bumi dari luar negeri ke Indonesia;
a.d. e. Hasil olahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh
bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai
tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk
pengolahan lapangan;
a.d. f. Niaga gas bumi melalui pipa adalah proses penjualan,
pembelian, ekspor, impor, hasil olahan, niaga gas bumi;
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi memberikan kesempatan kepada pelaku usah dalam
kegiatan usaha niaga hanya dapat dilakukan yang telah mendapatkan izin
usaha dari pemerintah dengan tujuan memperoleh keuntungan.
4. Pengawasan Perniagaan Kegiatan Usaha Hilir di Bidang Minyak dan Gas
Bumi
a. Pengertian Pengawasan
Pengawasan mempunyai peranan penting yang bertujuan untuk
mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintah.
Pengawasan dapat dianggap sebagai aktifitas untuk menemukan,
memperbaiki penyimpanan-penyimpanan penting dari hasil yang didapat dari
aktifitas-aktifitas yang ditetapkan.
41
Prajudi Atmosudirjo, menilai pengawasan sebagai sarana terbaik
menurut beliau:44
“sarana terbaik untuk membuat segala sesuai berjalan dengan baik. Dalam administrasi negara pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan”.
Sejalan dengan yang dikemukakan Prajudi, menurut Sondang P.
Siagian, pengawasan adalah:45
“Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar semua yang tengah
berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan”.
Jadi berdasarkan kedua definisi diatas, dapat diketahui bahwa
pengawasan adalah upaya pemeriksaan apakah semua yang telah berjalan
telah sesuai rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan dan prinsip
yang dianut. Pengawasan juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan
dan kesalahan dapat dihindari kejadiannya dikemudian hari dan mematuhi
segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
b. Tujuan Pengawasan
Untuk mewujudkan suatu aktifitas pengawasan yang baik, efektif, dan
efisien, maka pelaksanaan pengawasan harus dilaksanakan secara sistematis.
Pengawasan yang sistematis akan memberikan hasil yang optimal, sehingga
44 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.
84. 45 Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, Hajimas Agung, Jakarta, 1990, hlm. 135.
42
semua aspek yang diawasi sudah dipertimbangkan seluruhnya. Umumnya
tujuan dari pengawasan menurut Kusnadi meliputi:46
1) Pengukuran kepatuhan terhadap kebijakan, rencana, prosedur, peraturan, dan hukum yang berlaku;
2) Menjaga sumber daya yang dimiliki; 3) Pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; 4) Dipercayainya informasi dan keterpaduan informasi
yang ada; 5) Kinerja yang sedang berlangsung dan kemudian
membandingkan aktual dengan standar serta menetapkan tingkat penyimpangan yang kemudian dicari solusinya.
a.d. 1. Pengukuran kepatuhan terhadap kebijakan,
rencana, prosedur, peraturan, dan hukum yang berlaku
yaitu agar menjadi tolak ukur sejauhmana cara penilaian
dalam hal pengawasan;
a.d. 2. Menjaga sumber daya yang dimiliki yaitu
menjaga sumber daya alam yang dimiliki negara agar
jangan terjadi eksploitasi besar-besaran;
a.d. 3. Pencapaian tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan yaitu dalam menjalankan suatu organisasi
harus memiliki tujuan dan sasaran sesuai visi-misinya;
a.d. 4. Dipercayainya informasi dan keterpaduan
informasi yang ada yaitu sumber informasi yang jelas
dalam hal pengawasan;
46 Kusnadi, Marwan, dkk, Pengantar Manajemen, Universitas Brawijaya, Malang, 2002,
hlm. 265.
43
a.d. 5. Kinerja yang sedang berlangsung dan kemudian
membandingkan aktual dengan standar serta
menetapkan tingkat penyimpangan yang kemudian
dicari solusinya yaitu pencarian solusi terbaik untuk
penyelesaian suatu masalah yang timbul;
Tidak berbeda dengan yang telah dikemukakan Kusnadi, menurut
Husnaini, tujuan pengawasan adalah sebagai berikut:47
1) Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, dan hambatan;
2) Mencegah terulang kembalinya kesalahan, pemborosan, dan hambatan;
3) Meningkatkan kelancaran operasi perusahaan melakukan tindakan koreksi terhadap kesalahan yang dilakukan dalam pencapaian kerja yang baik.
Sama seperti yang dikemukakan Kusnadi dan Husnaini, menurut
Maringan, tujuan pengawasan adalah sebagai berikut:48
1) Mencegah dan memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan;
2) Agar pelaksanaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tujuan perusahaan dapat tercapai jika fungsi pengawasan dilakukan
sebelum terjadinya penyimpangan-penyimpangan sehingga lebih bersifat
mencegah. Dibandingkan dengan tindakan pengawasan-pengawasan sesudah
47 Husnaini, Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 400. 48 Masry Maringin S, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2004, hlm. 61.
44
terjadinya penyimpangan, maka tujuan pengawasan adalah menjaga hasil
pelaksana kegiatan sesuai dengan rencana. Ketentuan-ketentuan dan
infrastruktur yang telah ditetapkan benar-benar diimplementasikan. Sebab
pengawasan yang baik akan tercipta tujuan perusahaan yang efektif dan
efisien.
c. Pengawasan Perniagaan Kegiatan Usaha Hilir di Bidang Minyak dan Gas
Bumi
Pengawasan terhadap kegiatan usaha hilir Minyak dan Gas Bumi diatur
dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Pengawasan merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan Minyak
dan Gas Bumi.
Tanggung jawab kegiatan pelaksanaan atas pekerjaan dan pelaksanaan
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terhadap ditaatinya ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berada pada departemen
yang bidang dan tugas wewenangnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi dan departemen yang terkait.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah (PP) No 30 Tahun 2009 Jo. PP No. 36 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi meliputi:
a. Jenis, standar, dan mutu bahan bakar minyak, gas bumi, bahan bakar gas, dan bahan bakar lain serta hasil olahan;
b. Keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup;
45
c. Penggunaan tenaga kerja asing dan pengembangan tenaga kerja Indonesia;
d. Pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
e. Pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat; f. Penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
Minyak dan Gas Bumi; g. Pelaksanaan izin usaha selain pengawasan yang
dilaksanakan oleh badan pengatur; h. Kaidah keteknikan yang baik; i. Penggunaan peralatan dan sistem alat ukur pada
kegiatann usaha hilir.
a.d. a. Jenis, standar, dan mutu bahan bakar minyak, gas
bumi, bahan bakar gas, dan bahan bakar lain serta hasil
olahan yaitu setiap bahan bakar memiliki jenis dan
standar yang terkandung dalam minyak atau gas bumi;
a.d. b. Keselamatan dan kesehatan kerja serta
pengelolaan lingkungan hidup yaitu perusahaan wajib
menjaga lingkungan terkait pertambangannya, dan
menetapkan standar keselamatan dalam kerja;
a.d. c. Penggunaan tenaga kerja asing dan
pengembangan tenaga kerja Indonesia yaitu perusahaan
migas dapat menggunakan tenaga kerja asing akan tetapi
wajib melakukan pengembangan keahlian kepada tenaga
kerja Indonesia;
a.d. d. Pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan
kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri
46
yaitu penggunakan teknologi yang mukhtahir menjadi
standar pertambangan;
a.d. e. Pengembangan lingkungan dan masyarakat
setempat yaitu perusahaan wajib melakukan
pemberdayaan kepada masyarakat sekitar perusahaan
agar dapat ikut merasakan pembangunan
masyarakatnya;
a.d. f. Penguasaan, pengembangan, dan penerapan
teknologi Minyak dan Gas Bumi yaitu perusahaan dalam
negeri wajib melakukan penerapan teknologi
pertambangan yang terbaru;
a.d. g. Pelaksanaan izin usaha selain pengawasan yang
dilaksanakan oleh badan pengatur yaitu didirikannya
badan pengatur sebagai badan pengawasan dari
pemerintah;
a.d. h. Kaidah keteknikan yang baik yaitu menggunakan
dasar-dasar keteknikan yang baik;
a.d. i. Penggunaan peralatan dan sistem alat ukur pada
kegiatan usaha hilir yaitu penggunaan peralatan yang
sesuai standar;
Pengaturan dan pengawasan kegiatan hilir di bidang Minyak dan Gas
Bumi di Indonesia diserahkan kepada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas
Bumi (BPH Migas).
47
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melakukan
pengawasan terhadap ditaatinya semua pengaturan dan penetapan oleh BPH
Migas termasuk pengawasan terhadap:
1. Pelaksanaan Penyedia dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM);
2. Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan Izin Usaha;
3. Pelaksanaan Pemanfaatan bersama atas fasilitas pengangkuta dan penyimpanan Bahan Bakar Minya (BBM);
4. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam rangka menjaga kestabilan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM).
a.d. 1. Pelaksanaan Penyedia dan Pendistribusian Bahan
Bakar Minyak (BBM) yaitu terjaminnya ketersediaan
BBM dimasyarakat;
a.d. 2. Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan
Izin Usaha yaitu pelaksanaan kegiatan niaga berkaitan
migas harus memiliki izin usaha yang berlaku;
a.d. 3. Pelaksanaan Pemanfaatan bersama atas fasilitas
pengangkuta dan penyimpanan Bahan Bakar Minya
(BBM) yaitu demi terciptanya kefektifan penyimpanan
BBM dilakukan dalam 1 tempat;
a.d. 4. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam rangka
menjaga kestabilan penyediaan dan pendistribusian
Bahan Bakar Minyak (BBM) yaitu pemerintah
melakukan standarisasi harga BBM, pendistribusian
demi terjaganya kestabilan;
48
d. Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses menjabarkan nilai, ide,
cita yang cukup, abstrak yang menjadi tujuan hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo, secara konsepsional inti arti dari penegakan
hukum terletak pada:49
“Kegiatan menserasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir utnuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”.
Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan bagian dari politik
kriminal yang menjadi bagian integral dari kebijakan sosial.
Kemudian kebijakan ini diimplementasikan kedalam peradilan pidana.
Menurut Muladi:50
“Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Disatu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, dilain pihak sistem peradilan pidan juga berfungsi untuk pencegahan sekunder yaitu mencoba mengurangi kriminalitas dikalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidan dan mereka yang bermaksud melakukan kejaahatan melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana”.
Sistem peradilan pidana tersebut didalam operasionalnya melibatkan sub-
sistem yang bekerja secara koheren, koordinatif, dan itegratif agar dapat
49 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. 7. 50 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
1995, hlm. 21-22.
49
mencapai efisiensi dan efektifitas yang maksimal. Oleh karena itu efisiensi
maupun efektifitasnya penegakan hukum sangat bergantung pada faktor-faktor
sebagai berikut:51
1. Infrastruktur pendukung sarana dan prasarana;
2. Profesional aparat penegak hukum;
3. Budaya hukum masyarakat.
Pemahaman diatas menegaskan bahwa proses bekerjaanya peradilan
pidana baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada
pemahaman yang sama diantara komponen-komponen peradilan pidana dengan
tujuan sistem peradilan pidan. Apabila tidak tercipta pemahaman yang sama
diantara komponen peradilan pidana berpotensi akan terfragmentasi dan berjalan
sendiri-sendiri, sehingga akan menyebabkan penegakan hukum dengan
menggunakan sistem ini tidak akan berhasil dengan baik.
Kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat
saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi kualitas materil substansial. Oleh
karena itu, strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum harus ditujukan
pada kualitas substansif seperti terungkap dalam beberapa isu yang muncul atau
dituntut masyarakat saat ini. Menurut Barda Nawawi Arief yaitu:52
1. Adanya perlindungan hak asasi manusia (HAM); 2. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan
kepercayaan antar sesama; 3. Tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan atau
kewenangan;
51 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm.25. 52 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 14-15.
50
4. Bersih dari praktek pilih kasih, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan mafia peradilan;
5. Terwujudnya kekuasaan kehakiman atau penegakan hukum yang merdeka dan tegaknya kode etik;
6. Adanya penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa.
a.d. 1. Adanya perlindungan hak asasi manusia (HAM)
yaitu terjaganya kesetaraan antara masyarat agar tidak
terjadi konflik internal dimasyarakat;
a.d. 2. Timbulnya rasa kebersamaan diantara masyarakat
yang menimbulkan rasa saling melindungi dan
menyayangi sesama;
a.d. 3. Terciptanya good governance dan timbulnya rasa
percaya masyarakat kepada pemerintah;
a.d. 4. Menjaga diri agar tidak tergoda dalam praktik
korupsi, kolusi dan nepotisma, karena merupakan
kejahatan yang keji;
a.d. 5. Disiplin nya para penegak hukum dan terhindar
dari pelanggaran kode etik yang berlaku, serta
terjaminnya independensi para penegak hukum agar
tidak terpengaruh pihak yang berkepentingan;
a.d. 6. Penyelenggraan good governance sumber dari
rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah;
51
Banyaknya faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas
pembangunan dan penegakan hukum. Faktor itu dapat berupa:53
“Kualitas individual sumber daya manusia (SDM), kualitas struktur hukum, kualitas sarana dan prasaran, kualitas perundang-undangan, dan kualitas kondisi lingkungan (sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat)”.
Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud didalam pasangan-
pasangan tertentu seperti nilai ketertiban dan nilai ketentraman. Nilai ketertiban
bertitik tolak pada kebebasan. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum
tersebut mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan merupakan posisi
tertentu didalam struktur kemasyarakatan. Seseorang yang mempunyai
kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan. Suatu hak
sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, kewajiban
adalah beban atau tugas suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan kedalam unsur-
unsur.
Dinyatakan oleh Soerjono Soekanto yaitu:54
1. Peranan yang ideal; 2. Peranan yang seharusnya; 3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri; 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan;
a.d. 1. Peranan yang ideal bahwa peranan-peranan
tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat
hendak dipertahankan kelangsungannya;
53 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm.16. 54 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm. 1-2.
52
a.d. 2. Peranan yang seharusnya yaitu peranan tersebut
seyogyanya dilekatkan pada individu-individu yang oleh
masyarakat dianggap mampu melaksanakan. Mereka
harus lebih dahulu terlatih dan menpunyai hasrat untuk
melaksanakannya;
a.d. 3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri yaitu
dalam masyarakat kadang kala di jumpai individu-
individu yang tak mampu melaksanakan peranannya
sebagaimana diharapkan oleh masyarakat, karena
mungkin pelaksanaannya memerlukan pengorbanan arti
kepentingan-kepentingan pribadi yang terlalu banyak;
a.d. 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan yaitu apabila
semua orang sanggup dan mampu melaksanakan
peranannya, belum tentu masyarakat akan memberikan
peluang-peluang yang seimbang, bahkan seringkali
terlihat betapa masyarakat membatasi peluang-peluang
tersebut.
Dalam proses penanggulangan kejahatan dengan penegakan hukum pidana
tidak selalu dapat berjalan dengan efektif. Penegakan hukum pidana itu sendiri
merupakan bagian itegral dari penegakan hukum pada umumnya. Gangguan
terhadap penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidakserasian antara
nilai, kaidah dan pola prilaku.
53
Penegakan hukum juga bukanlah semata pelaksanaan Undang-Undang
dan pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Masalah penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto ialah:55
1. Hukum (undang-undang); 2. Penegakan hukum; 3. Sarana atau fasilitas yang mendukung; 4. Masyarakat; 5. Kebudayaan.
a.d.1. Hukum (Undang-undang)
Dalam ilmu hukum dikenal asa berlakunya Undang-
Undang yaitu asa non-retroaktif (tidak berlaku surut),
asas lex superiori derogat legi inferiori (perundang-
undangan yang lebih tinggi mengesampingkan
perundang-undangan yang lebih rendah), serta asas
peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping hal
tersebut, perumusan suatu Undang-Undang juga harus
memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik. Oleh Soerjono
Soekanto, gangguanterhadap penegakan hukum yang
berasal dari Undang-Undang mungkin disebabkan tidak
diikutinya asas-asas berlakunya Undang-Undang, belum
adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan
55 Soerjono Soekanto, Ibid, hlm.7.
54
untuk menerapkan Undang-Undang dan ketidakjelasan
arti kata-kata didalam Undang-Undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran didalam penafsiran
dan penegakannya.
a.d. 2. Penegak Hukum
Penegak hukum yang dimaksud adalah mereka yang
berkecimpung secara langsung dibidang penegakan
hukum yaitu mereka yang bertugas di kehakiman,
kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan
permasyarakatan. Penegak hukum memiliki diskresi
(kebebasan dalam mengambil keputusan) yang sering
menimbulkan kesenjangan antara penegak hukum yang
seharusnya ideal dengan peranan penegak hukum yang
sebenarnya aktual. Selain diskresi, faktor penyebab
adanya kesenjangan tersebut adalah moral penegak
hukum itu sendiri. Halangan yang mungkin dijumpai
dalam penerapan peranan yang seharusnya dari aparat
penegak hukum berasal dari dirinya sendiri dan dari
lingkungan yaitu:
a. keterbatasan kemampuan menempatkan diri
dalam peranan pihak lain dengan siapa dia
berinteraksi;
b. tingkat aspirasi yang belum tinggi;
55
c. kegairahan yang terbatas untuk memikirkan
masa depan;
d. belum ada kemampuan untuk menunda
pemuasan suatu kebutuhan tertentu;
e. kurangnya daya inovatif.
a.d. 3. Sarana atau Fasilitas yang Mendukung
Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai, maka
penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan
baik. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan dan perlengkapan yang
memadai, keuangan yang mencukupi dan lain-lain.
a.d. 4. Masyarakat
Penegakan hukum berasal dan bertujuan untuk
masyarakat sehingg masyarakat dapat mempengaruhi
penegakan hukum tersebut. Masyarakat dapat menaati
hukum karena kepatuhan hukum (takut akan sanksi yang
terpaksa) maupun karena kesadaran hukum. Hal-hal
kemasyarakatan yang terkait dengan penegakan hukum
adalah kemajemukan masyarakat dan pengetahuan
maupun anggapan masyarakat tentang hukum itu
sendiri.
a.d. 5. Kebudayaan
56
Sebagai suatu sistem (subsistem dan sistem
kemasyarakatan) menurut Lawrence M. Friedman, maka
hukum mencakup sruktur, substansi dan kebudayaan
hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang
merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga diteladani) dan apa yang
dianggap buruk (sehingga dihindari).