BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah
Transcript of BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sadd adz-Dzari’ah
1. Pengertian Sadd adz-Dzari’ah
Secara lughawi Dzari’ah itu berarti: jalan yang membawa kepada
sesuatu baik ataupun buruk. Secara Etimologi, Dzari’ah berarti jalan
yang menuju kepada sesuatu, dalam pengertian lain Dzari`ah berarti
sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung
kemudaratan16.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dzari’ah adalah washilah
(jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik, halal ataupun haram.
Berarti apabila jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang haram
maka hukumnya juga haram, jalan yang menyampaikan kepada sesuatu
yang halal hukumnya juga halal, dan jalan yang menyampaikan kepada
sesuatu yang wajib maka hukumnya menjadi wajib.
Sebagian ulama mengkhusus kan pengertian Dzari’ah dengan
sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemudaratan, tetapi pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul
lainnya, di antaranya Ibnul Qayyim yang menyatakan bahwa Dzari’ah
tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang
dianjurkan17
16 Nasrun haroen, ushul fiqh hal 160 17 Syafe’I Rahman, Ilmu Ushul fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 132
15
Kalimat sadd al-Dzari’ah berasal dari dua kata (frasa/idhofah),
yaitu sadd dan dzari’ah. Kata sadd, berarti: menutup cela, dan menutup
kerusakan, dan juga berarti mencegah atau melarang18. Sedangkan kata
dzari’ah secara bahasa berarti Artinya jalan yang membawa kepada
sesuatu, secara hissi dan maknawi (baik atau buruk)19.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pengertian dzari’ah adalah apa
yang memberi perantara dan jalan kepada sesuatu. Oleh karena itu
menurut Ibnu Qayyim kata dzariah lebih baik dikemukakan yang
bersifat umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu
yang dilarang, disebut sadd al dzari’ah dan yang dituntut untuk
dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah20.
Imam al-Syathibi mendefinisikan Dzari’ah adalah melakukan
suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashalatan untuk menuju
kepada suatu kemafsadatan21. Maksudnya adalah perbuatan yang akan
dilakukan pada hakikatnya adalah boleh dilakukan karena mengandung
suatu kemaslahatan, namun dalam pencapaiannya berakhir pada suatu
kemafsadatan.
Dalam hukum takhlifi diuraikan tentang sesuatu yang
mendahului perbuatan wajib, yang disebut muqaddimah wajib. Karena
muqaddimah merupakan washilah (perantara) kepada suatu yang
18 Yusuf Abdurrahman Al farat, Al tat}biqat almu’as}irat lisaddi-l-dzari’at, qahirah, (Daru-l-fikri
al’arabi, 2003),9 19 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 398 20 Munawwaroh, H. (2018). Sadd al-Dzari’at dan Aplikasinya pada permasalahan Fiqih
Kontemporer. Ijtihad: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, 12(1), 63-84. 21 Nasrun haroen, ushul fiqh hal 161
16
dikenai hukum, maka ia juga disebut dzari’ah22. Maka karena hal
tersebut ulama ushul fiqh memasukkan muqaddimah wajib kedalam
pembahasan tentang dzari’ah, karena sama-sama sebagai perantara
untuk melakukan sesuatu.
Badran dan zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib
dengan dzari’ah, perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan
pokok yang dituju dengan perantara atau washilah. Pada dzari’ah,
hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Contohnya
adalah zina, khalwat adalah perantara dalam melakukan zina, tetapi zina
bisa terjadi tanpa adanya khalwat pun zina bisa terjadi, karena itu
khalwat sebagai perantara disini disebut Dzari’ah.
Muqaddimah adalah hukum perbuatan pokok tergantung pada
perantara, contohnya Shalat. Wudhu merupakan perantara shalat dan
kesahan shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu karenanya
wudhu disebut Muqaddimah bukan Dzari’ah menurut badran dan
Zuhaili. Ada juga yang membedakan antara Dzari’ah dan Muqaddimah
itu tergantung pada baik dan buruknya perbuatan pokok yang dituju.
Bila perbuatan pokok yang dituju merupakan perbuatan pokok
yang dianjurkan, maka washilahnya disebut Muqaddimah, sedangkan
bila perbuatan pokok yang dituju merupakan larangan maka wasilahnya
22 Muaidi, M. (2016). Saddu Al-Dzari’ah dalam Hukum Islam. TAFAQQUH: Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah Dan Ahwal Syahsiyah, 1(2), 34-42.
17
adalah Dzari’ah karena manusia harus menjauhi perbuatan yang
dilarang termasuk wasilahnya.
Imam al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus
dipenuhi sehingga suatu perbuatan itu dilarang yaitu23:
a. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada
kemafsadatan
b. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan dan
c. Dalam melakukan perbuatan yang di boleh kan unsur
kemafsadatannya lebih banyak.
2. Macam-macam Dzari’ah
Para ulama membagi dzariah menjadi dua macam:
a. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatan
Imam al-Syathibi menjelaskan bahwa dari segi kualitas
kemafsadatannya, dzariah terbagi menjadi kepada empat
macam:24
- Perbuatan yang dilakukan membawa kepada kemafsadatan
secara pasti. Misalnya seorang menggali sumur di depan pintu
rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak
mengetahui. Maka kemafsadatan yang timbul sudah jelas bahwa
pemilik rumah akan terjatuh kedalam sumur karena pemilik
23 Ibid hal 162 24 Ibid hal 162
18
rumah tidak tau kalau adanya sumur di depan rumah. Maka
penggali lubang dikenakan hukuman, karena perbuatan itu
dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain
- Perbuatan yang dilakukan boleh dilakukan, karena jarang
membawa kepada kemafsadatan, misalnya menjual jenis
makanan yang biasanya tidak memberi mudarat kepada orang
yang memakannya. Perbuatan seperti ini tetap pada hukum
asalnya, yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu adalah
apabila diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada
kemafsadatan. Sedangkan dalam kasus ini jarang sekali terjadi
kemafsadatan.
- Perbuatan yang dilakukan biasanya atau besar kemungkinan
membawa kepada kemafsadatan, menjual anggur kepada
produsen minuman keras, sangat mungkin anggur yang dijual
itu akan diproses menjadi minuman keras, perbuatan seperti ini
dilarang karena dugaan keras, bahwa perbuatan itu membawa
kepada kemafsadatan sehingga dijadikan patokan dalam
menetapkan larangan terhadap perbuatan itu
- Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena
mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga
perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, kasus
jual beli yang disebut bay’u al ajal. Jual beli seperti itu
cenderung berimplikasi kepada riba.
19
Untuk menentukan hukum yang keempat ini terdapat
perbedaan pendapat dari para ulama. Ulama Hanafiah dan
Syafi'iyah mengatakan bahwa dzariah dalam bentuk yang
keempat ini tidak dilarang, karena terjadinya kemafsadatan
masih bersifat kemungkinan. Oleh sebab itu dugaan seperti
ini tidak bisa membuat perbuatan yang pada dasarnya
diperbolehkan menjadi dilarang, kecuali kemafsadatan itu
diyakini atau diduga keras terjadi.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang
membawa kepada kemafsadatan. Oleh sebab itu dilarang,
karena bagi mereka yang dijadikan patokan boleh atau
tidaknya transaksi (akad) tidak hanya dilihat dari niatnya saja
melainkan juga dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan
tersebut.
Dilihat dari segi niat, jual beli tersebut memang sulit
diduga bertujuan menghalalkan riba. Akan Tetapi, dari segi
akibat yang ditimbulkan, maka secara umum diduga keras
membawa kepada kemafsadatan. Dari sisi inilah menurut
ulama Malikiyah dan Hanabilah, jual beli seperti itu
dilarang.
Jual beli jenis ini dipergunakan untuk memiliki barang
yang masih dimiliki orang lain. Kredit (Penundaan
20
pembayaran atau pengangsuran pembayaran) menjadi solusi
keterbatasan jumlah dana untuk memiliki barang yang
dibutuhkan. Penundaan harga tidak boleh digantungkan
dengan penundaan penyerahan barang. Penundaan
pembayaran diperbolehkan dalam rangka menolong orang
yang berhutang untuk memiliki barang. Persoalan menolong
orang yang berhutang menjadi terganggu ketika harga
dinaikkan oleh penjual, seiring tenggang waktu yang
diberikannya25
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik
dan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam mendukung
pendapatnya, yaitu:26
1) Dalam bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang
membawa kepada riba, sekalipun sifatnya ghilbah al-
zhann (dugaan berat), karena dalam kasus syari’ sering
mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar ghilbah al-
ahann. Bisa dijadikan dasar untuk melarang bay’u al-ajal
karena “Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih
didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”
2) Dalam bay’u al-ajal terdapat dua dasar yang
bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada dasarnya jual
25 Fatoni, N. (2014). Kearifan Islam atas jual beli kredit (studi pada tukang kredit di Kec. Cepiring
Kabupaten Kendal). 26 Ibid hal 164
21
beli diperbolehkan, selama rukun dan syaratnya
terpenuhi dan bahwa seseorang harus terhindar dari
segala bentuk kemudaratan.
Dalam hubungan ini imam Malik dan Imam Hanbal
menguatkan prinsip “pemeliharaan keselamatan orang lain dari
kemudhoratan” sedangkan bay’u al-ajal jelas-jelas membawa
kemafsadatan. Karenanya bay’u al-ajal dilarang sejalan dengan
prinsip sadd al-dzariah
3) Banyak nash yang menunjukkan dilarangnya
perbuatan-perbuatan yang membawa kepada
kemafsadatan, sekalipun perbuatan itu pada dasarnya
diperbolehkan.
b. Dzariah dilihat dari segi jenis kemafsadatannya
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dzari’ah segi ini terbagi
kepada27
1) Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti
meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk dan
mabuk merupakan suatu kemafsadatan
2) Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang diperbolehkan atau
dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu
perbuatan uang haram, baik dengan tujuan disengaja atau tidak
27 Ibid hal 166
22
disengaja. Misalnya seorang suami mentalak tiga istrinya
dengan tujuan istrinya dapat menikah kembali dengan mantan
suaminya
3. Kehujjahan Sadd adz-Dzari’ah
Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd al-
dzariah sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara. Ulama
Malikiyah dan ulama Hanabilah menyatakan bahwa sadd al-dzariah
dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
syara.28
Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah SWT dalam
surah al-An’am, 6:108:
“dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa
batas tanpa pengetahuan....
Dalam ayat ini Allah melarang untuk memaki sembahan kaum
musyrik, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan
makian yang sama, bahkan lebih29
Alasan lain yang dikemukakan ulama Malikiyah dan Hanabilah
adalah hadist Rasulullah SAW, di antaranya:
28 29 Ibid hal 167
23
“sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang
melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah ditanya orang, “wahai
Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknati ibu bapanya?
Rasulullah menjawab “seseorang mencaci-maki ayah orang lain, maka
ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan seseorang mencaci maki
ibu orang lain maka ibunya juga akan dicaci maki orang itu”
Hadist diatas menurut Ibn Taimiyyah, menunjukkan bahwa sadd
adz-dzari'ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum
syara’, karena sabda Rasulullah di atas, masih bersifat dugaan, namun
atas dasar dugaan itu Rasulullah SAW melarangnya.
Ulama Hanafiah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima sadd
adz-Dzariah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan
menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam syafi’i membolehkan
seseorang yang kerana uzur seperti sakit dan musafir untuk
meninggalkan sholat jumaat dan menggantinya dengan sholat dzuhur.
B. Uang Panai’
1. Sejarah Uang Panai`
Sejarah awal mulanya Uang Panai’ yaitu pada masa Kerajaan
Bone dan Gowa-Tallo, di mana jika seorang lelaki yang ingin
meminang keluarga dari kerajaan atau kata lain keturunan raja maka dia
harus membawa sesajian yang menunjukkan kemampuan mereka untuk
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi isteri dan anaknya
kelak.
24
Dengan kata lain bahwa lelaki tersebut diangkat derajatnya di
hadapan keluarga wanita dengan sesajian yang akan diberikan
kepada calon mempelai. Isi sesajian itu berupa Sompa / Sunrang,
Doe’ menre’ / doe Panai dan Leko’ atau alu’ / kalu’ atau erang-
erang/ tiwi’tiwi’ini menjadi syarat yang wajib dan mutlak untuk
mereka penuhi dan terkhusus Doe’ Menre’/ doe’Panai’ yang kita
kenal Uang Panai’ yaitu berupa uang yang telah ditetapkan
besarannya oleh pihak perempuan dalam hal ini pihak keluarga
kerajaan30
Seiring berjalannya waktu, uang panai’ digunakan oleh
seluruh masyarakat suku bugis, bukan hanya dari kalangan keluarga
kerajaan saja, melainkan dari suku lain yang ingin meminang wanita
suku bugis, hal ini dilakukan untuk mengangkat derajat wanita bugis
di hadapan lelaki yang ingin meminangnya
Hal itu dilakukan tidak lain untuk menghormati wanita yang
akan dinikahinya, uang panai’ sendiri merupakan simbol
penghargaan atau penghormatan, simbol pengikat, simbol strata
sosial, simbol keikhlasan dan ketulusan yang memiliki makna yang
merupakan bentuk penghargaan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan31.
30 Elvira, Rika. "Ingkar Janji atas Kesepakatan Uang Belanja (Uang Panai’) dalam Perkawinan
Suku Bugis Makassar." Skripsi, Universitas Hasanuddin (2014). 31 Alimuddin, Asriani. "MAKNA SIMBOLIK UANG PANAI’PADA PERKAWINAN ADAT
SUKU BUGIS MAKASSAR DI KOTA MAKASSAR." Al Qisthi: Jurnal Sosial dan Politik 10.2
(2020): 117-132.
25
Uang panai, juga konon diciptakan untuk melindungi
perempuan Bugis dari orang Belanda yang gemar menikahi
perempuan Bugis dengan mudah. Pada zaman penjajahan belanda,
para penjajah tersebut dengan sesuka hati mereka akan menikahi
wanita bugis pada saat itu, begitu pula apabila mereka ingin
mencampakkan wanita tersebut dan menikahi yang lain nya
lagi. Maka pada saat itu orang tua yang memiliki anak perempuan
berinisiatif bagi siapa saja yang akan menikahi putrinya maka harus
mengeluarkan uang belanja terlebih dahulu. Dengan kata lain uang
Panai akan mengangkat martabat dan perempuan Bugis-Makassar
pada saat itu32.
Dalam catatan lain disebutkan juga sejarah uang panai
bermula dari ada seorang anak bangsawan yang memiliki paras
rupawan dan ingin dinikahi oleh Seorang pemuda asal Belanda33,
namun sang bangsawan tidak rela jika anaknya disentuh oleh laki-
laki manapun. Yang akhirnya menerapkan syarat yang berat
dengan keharusan si lelaki membayar uang panai (belanja) secara
keseluruhan .
2. Prosesi Pernikahan Suku Bugis
Di Dalam suku Bugis sebelum prosesi pa’botingeng
(pernikahan), terdapat beberapa rentetan acara adat yang harus dilalui
oleh calon mempelai laki-laki. Di antaranya adalah assuro. Assuro
32 www.Etnis.id 33 www.paradase.id
26
adalah proses peminangan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki
kepada pihak calon mempelai wanita, sekaligus penentuan pemberian
uang panai yang akan diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada
pihak keluarga calon mempelai wanita apabila lamaran tersebut
diterima34.
Terdapat dua istilah dalam adat pernikahan suku bugis yaitu
sompa dan duik menre’. Sompa atau mahar adalah pemberian berupa
uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai
syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam35. Sedangkan dui’
menre’ atau uang panai/doik belanja adalah uang hantaran yang harus
diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada
keluarga calon mempelai wanita36
Uang Panai’ (Uang acara) adalah sejumlah uang yang akan
diserahkan oleh pihak laki-laki pada saat mappettu ada
(mappasienrekeng). Budaya Uang Panai’ dikeluarkan untuk menikahi
wanita Bugis Makassar. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa uang
panai’ diberikan pihak laki-laki kepada keluarga pihak wanita untuk
kelangsungan acara pernikahan.
34 BASRI, M., Ritonga, J., & Nur, M. (2017). MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI
DALAM PERNIKAHAN SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU KABUPATEN
TANJUNG JABUNG TIMUR) (Doctoral dissertation, UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI). 35 Rusman, Rusman, M. Thahir Maloko, and Muh Saleh Ridwan. "PEMAHAMAN
MASYARAKAT BUGIS BONE TERHADAP MAHAR TANAH DAN KEDUDUKANNYA
DALAM PERKAWINAN." Jurnal Diskursus Islam 5.2 (2017): 303-320. 36 Ibid
27
Jika jumlah uang naik yang diminta mampu dipenuhi oleh calon
mempelai pria, hal tersebut akan menjadi kehormatan bagi pihak
keluarga perempuan37. Kehormatan yang dimaksud di sini adalah rasa
penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada
wanita yang ingin dinikahinya dengan mengadakan pesta yang megah
untuk pernikahannya melalui Uang Panai’ tersebut
Jumlah uang panai ternyata ditentukan diluar dari sepengetahuan
calon mempelai laki-laki, dan itu semua ditentukan langsung oleh
keluarga calon mempelai wanita. Tidak jarang dengan tingginya uang
panai yang ditentukan dapat menghambat pernikahan antara keduanya.
Namun uang panai’ tidak selamanya berupa uang, dapat juga berupa
properti, namun pada hakikatnya, panai dipersiapkan untuk belanja
acara pernikahan, sampai penyewaan gedung38
Uang panai’ juga dijadikan ajang adu gengsi antar keluarga yang
ada di suku bugis, apabila suatu keluarga melangsungkan pernikahan
dengan mewah, maka akan menjadi perbandingan dalam strata sosial
mereka, dan keluarga tersebut akan mendapatkan citra yang bagus di
mata masyarakat. Maka akan menjadi aib apabila pernikahan di suku
bugis tidak dilangsungkan dengan mewah.
Maka melihat uang panai’ yang seperti itu menjadikan nilai luhur
dari uang panai’ luntur, bukan menjadi suatu persembahan karena
37 Daeng, R., Rumampuk, S., & Damis, M. (2019). TRADISI UANG PANAI’SEBAGAI
BUDAYA BUGIS (STUDI KASUS KOTA BITUNG PROPINSI SULAWESI
UTARA). HOLISTIK, Journal Of Social and Culture. 38 Hasil wawancara hakim pa kota Makassar
28
menghargai kehormatan wanita yang akan dinikahinya namun menjadi
suatu bahan untuk terlihat baik di mata masyarakat. Konteks terlihat
baik dimata masyarakat itu menjadi nilai yang menghilangkan nilai
sakral lain nya.
3. Pandangan Ahli Mengenai Uang Panai
Jumlah uang panai yang bergantung dari tingkat strata sosial dan
pendidikan calon mempelai wanita dilihat dari sisi peran keluarga calon
mempelai wanita.39
Dalam adat Bugis, pencapaian derajat tinggi dalam sistem
stratifikasi sosial sangat penting (Pelras 2006). Lapisan sosial dalam
masyarakat Bugis memiliki tingkatan. Tingkatan tersebut antara lain
a. Bangsawan Tinggi
b. Bangsawan Menengah
c. Arung Palili
d. Todeceng
e. To Maradeka, dan
f. Ata (Hamba).
39 BASRI, MHD, Jago Ritonga, and Muhammad Nur. MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG
PANAI DALAM PERNIKAHAN SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU
KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR). Diss. UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI, 2017.
29
Tingkatan ini yang akan mempengaruhi dalil perjodohan, uang
belanja dan mahar. Sedangkan jumlah atau besaran uang panai untuk
mereka yang berlaku dimasa lalu adalah40:
a. Bangsawan Tinggi 88 real + satu orang hamba (ata) senilai 40
real + satu ekor kerbau senilai 25 real
b. Bangsawan Menengah 44 real
c. Arung Palili 40 real
d. Todeceng (orang baik-baik) 28 real
e. To Maradeka (orang biasa-biasa) 20 real
f. Hamba (ata) 10 real
Peran yang dimiliki keluarga calon mempelai wanita yang
semakin tinggi, maka nilai uang panai yang juga semakin tinggi adalah
perilaku yang dianggap pantas untuk kedudukan tersebut. Strata sosial
ini akan mempengaruhi sudut pandang dan cara hidup masyarakat. 41
Wade, C. dan Travis, C. (2007) menjelaskan bahwa peran
merupakan kedudukan sosial yang diatur oleh seperangkat norma yang
kemudian menunjukkan perilaku yang pantas. hal ini menunjukkan
bahwa secara sadar atau tidak sadar, mau tidak mau, masyarakat yang
berada dimanapun memang dibagi berdasarkan beberapa tingkatan
sosial
40 www.paradase.id 41 Ibid
30
Parsons, seorang ahli sosiologi menyimpulkan adanya beberapa
sumber status seseorang yaitu42:
- Keanggotaan di dalam sebuah keluarga. Misalnya, seorang
anggota keluarga yang memperoleh status yang tinggi oleh
karena keluarga tersebut mempunyai status yang tinggi di
lingkungannya.
- Kualitas perseorangan yang termasuk dalam kualitas
perseorangan antara lain karakteristik fisik, usia, jenis kelamin,
kepribadian.
- Prestasi yang dicapai oleh seseorang dapat mempengaruhi
statusnya. Misalnya, pekerja yang berpendidikan,
berpengalaman, mempunyai gelar, dan sebagainya.
- Aspek materi dapat mempengaruhi status seseorang di dalam
lingkungannya. Misalnya, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh
seseorang.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, pernikahan bukan sekedar
mempertemukan hubungan dua insan dalam satu mahligai rumah
tangga, akan tetapi lebih daripada itu, pernikahan adalah momen
mempertemukan dua keluarga besar dengan segala identitas dan status
sosial serta cara melestarikan garis silsilah dan posisi di tengah
masyarakat. Hal ini adalah warisan sosial feodal masa silam yang jejak-
42 Ibid
31
jejaknya masih sangat biasa ditemukan pada masa kini, khususnya pada
momentum pernikahan43
C. Keharmonisan Rumah Tangga
1. Pengertian
Keharmonisan berasal dari kata harmonis yang memiliki arti
selaras, sepadan atau serasi.Keharmonisan lebih menitik beratkan pada
suatu keadaan tertentu, dimana keharmonisan adalah keadaan untuk
mencapai keselarasan atau keserasian dalam rumah tangga dengan
perlu dijaga untuk mendapatkan suatu rumah tangga yang bahagia
(KBBI, 1989)
Menurut Bouman keharmonisan adalah hal (keadaan) selaras
atau serasi antara anggota keluarga, antara lain: suami, istri, anak-anak,
dan cucu-cucu yang hidup bersama-sama pada suatu tempat yang
dikepalai oleh seorang kepala keluarga (ayah). Keharmonisan adalah
relasi personal dan kejiwaan yang selaras antara suami istri dan
menegaskan adanya suatu ikatan yang kuat serta janji yang kokoh antara
keduanya, yang membawa mereka untuk saling mengasihi dan
menyayangi serta melindungi mereka agar tidak saling bermusuhan.44
43 Kamal, R. (2016). Persepsi Masyarakat terhadap Uang Panai’di Kelurahan Pattalassang
Kecamatan Pattalassang Kabupaten Takalar (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar). 44 Ramadhan, R. A., & Nurhamlin, N. (2018). Pengaruh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
terhadap tingkat keharmonisan dalam keluarga di kelurahan Umban Sari Kecamatan Rumbai
Kota Pekanbaru (Doctoral dissertation, Riau University).
32
Keharmonisan rumah tangga akan terwujud apabila masing-
masing individu dalam keluarga dapat berfungsi dan berperan
sebagaimana mestinya. Selain daripada itu yang paling penting juga
tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, maka interaksi sosial yang
harmonis dalam keluarga itu akan dapat diciptakan.
Dalam kehidupan berkeluarga suami dan istri dituntut adanya
hubungan yang baik dalam arti diperlukan suasana yang harmonis
yaitu dengan menciptakan saling pengertian, saling terbuka, saling
menjaga, saling menghargai dan saling memenuhi kebutuhan.
Persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap
situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta
kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling
menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan
diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga
memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara
seimbang45
2. Aspek Keharmonisan Rumah Tangga
Lodro mengemukakan terdapat enam aspek hubungan perkawinan
menjadi bahagia46:
45 Hadori, M., & Minhaji, M. (2018). Makna kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga dalam
perspektif psikologi. Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran Dan Kebudayaan, 12(1), 5-
36. 46 Lodro, W. Keharmonisan Keluarga Dengan Perkawinan Bahagia.
http://www.kainsutera.com/info-remaja/keharmonisan-keluarga-dengan-perkawina-bahagia.html,
2010).
33
a. Menciptakan kehidupan yang beragama dalam keluarga.
Dalam sebuah keluarga apabila sudah ditanamkan nilai-nilai
agama maka akan menimbulkan keluarga yang harmonis. Karna dalam
agama terdapat nilai dan moral juga etika dalam kehidupan. Segalanya
sudah diatur dalam agama, dari bagaimana menggauli pasangan, berbuat
baik dengan pasangan sampai hal terkecil dalam keluarga juga diatur
dalam agama.
Bisa dikatakan siapa yang menanamkan kehidupan beragama
dalam keluarganya maka akan sangat berpotensi menjadikan
keluarganya menjadi keluarga yang harmonis.
Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga
yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa
nilai agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan konflik dan
percekcokan dalam keluarga
1. Mempunyai waktu bersama keluarga,
Dalam keadaan yang seperti ini waktu sangatlah berharga
dalam sebuah keluarga, hanya untuk meluangkan sedikit waktu
untuk makan bersama, atau sekedar bercengkrama dengan anak-
anak dan mendengarkan ocehan mereka, mendengarkan
keseharian istri atau suami akan menjadi sesuatu yang sangat
berharga untuk memupuk rasa cinta kasih antar anggota
keluarga dan akan sangat berpotensi menjadi keluarga yang
sangat harmonis.
34
Namun apabila tidak memiliki sedikit waktu bersama
keluarga maka akan menimbulkan permasalahan antar anggota
keluarga, suami, istri dan anak akan hidup di dunia nya masing-
masing tanpa memperdulikan anggota keluarga yang lain, karna
bermula dari tidak adanya waktu bersama keluarga, dan itu
menjadi suatu konflik yang menimbulkan ketidakharmonisan
keluarga
2. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Komunikasi merupakan salah satu dasar dari terbentuknya
keluarga yang harmonis, komunikasi yang baik dimulai dari
adanya waktu luang bersama keluarga, komunikasi yang
dimaksud adalah membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan
dengan anggota keluarga
Keluarga saat ini sudah tidak membutuhkan kata-kata
romantis saja melainkan tindakan kecil yang akan membuat
perubahan besar dalam keluarga, semua permasalahan keluarga
bermula dari komunikasi yang tidak baik antar anggota
keluarga. Apabila komunikasi antar keluarga sudah tidak baik
maka segala bentuk konflik akan muncul dalam keluarga
tersebut
3. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.
Menghargai disini maksudnya adalah menghadirkan mereka
sebagai orang yang penting di hidup kita, segala bentuk
perubahan dalam keluarga diterima dengan baik, bukan tanpa
35
alasan namun untuk menghargai kehadiran mereka dalam hidup
kita, setiap perubahan yang terjadi apabila tidak
dikomunikasikan dengan baik antar sesama keluarga maka akan
menimbulkan konflik antar keluarga.
Mengapresiasikan segala bentuk kejadian yang terjadi juga
merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap sesama
keluarga, misalnya anak mendapatkan nilai yang baik ataupun
jelek, dengan kita mengapresiasi apa yang mereka dapatkan
maka akan menimbulkan kesan keharmonisan dalam keluarga
tersebut.
4. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim
Faktor ini adalah faktor tidak sangat penting dalam
menciptakan keharmonisan keluarga, perselisihan dan
pertengkaran tidak dapat dibendung dalam suatu hubungan
keluarga, sesuatu yang tidak mengenakan hati pun sering terjadi.
Apabila dalam suatu keluarga sudah menerapkan bahwa
setiap permasalahan yang ada ataupun konflik yang terjadi harus
diselesaikan secara kepala dingin dan dibicarakan dengan baik-
baik tanpa emosi ataupun sampai adanya perlakuan yang tidak
baik kepada sesama anggota keluarga, setiap permasalahan
dapat diselesaikan dengan kepala dingin dan dengan baik-baik
5. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Hubungan erat antar anggota keluarga tercipta dari
penanaman rasa cinta kasih sedini mungkin, ana-anak akan
36
mengikuti pola hidup orangtuanya, apabila orang tuanya
memberi contoh saling cinta dan kasih sesama maka akan
memberi sinya baik juga ke anak-anak, rasa kebersamaan yang
tinggi, dan saling menghargai satu sama lain menimbulkan
adanya ikatan yang kuat antar keluarga
3. Faktor yang mempengaruhi keharmonisan rumah tangga
Pertama Komunikasi interpersonal47 Komunikasi interpersonal
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga,
karena dengan adanya komunikasi antar suami istri, atau orang tua anak
maka akan menjadikannya mampu untuk mengemukakan apa yang
dirasakan dan mengetahui pandangannya terhadap suatu hal, sehingga
akan memudahkan untuk memahami anggota keluarga dan dalam hal
sebaliknya tanpa adanya komunikasi dalam keluarga kemungkinan
besar akan terjadi kesalahpahaman dalam suatu keluarga dan
menyebabkan terjadinya konflik
Kedua, Tingkat ekonomi keluarga. Menurut beberapa penelitian,
tingkat ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan
keharmonisan keluarga. Semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan
mendukung tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga, tetapi bukan
berarti dengan rendahnya tingkat ekonom keluarga menjadikan faktor
47 Hadori, M., & Minhaji, M. (2018). Makna kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga dalam
perspektif psikologi. Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran Dan Kebudayaan, 12(1), 5-
36.
37
utama tidak keharmonisan keluarga. tingkat ekonomi keluarga hanya
mendukung salah satu faktor keharmonisan rumah tangga
Ketiga Sikap orangtua. Sikap orangtua juga berpengaruh
terhadap keharmonisan keluarga terutama hubungan antara orangtua
dengan anak-anak. Sikap orang tua menjadi salah satu faktor dari
keharmonisan rumah tangga karena orang tua menjadi contoh awal
kepada anak-anak nya bentuk dari keluarga yang harmonis, maka anak
akan mencontohkan sikap dan perilaku orang tuanya, jika orangtua
bersikap saling mengasihi satu sama lain, maka anak pun akan
mengikuti hal tersebut, maka apabila sudah menanamkan hal tersebut
sejak dini maka potensi untuk menjadi keluarga yang harmonis akan
sangat besar.
Keempat ukuran keluarga. Jumlah anak dalam satu keluarga
sangat menentukan cara orangtua mengontrol perilaku anak dalam
tumbuh kembang, menetapkan aturan dalam keluarga, mengasuh anak
dan perlakuan yang efektif orang tua terhadap anak. Namun bukan
berarti banyak anak maka potensi keharmonisan keluarga menjadi
berkurang, tergantung bagaimana orang tua mengontrol perilaku anak,
menetapkan aturan dalam keluarga cara mengasuh dan memberi
perlakuan yang efektif terhadap anak.