BAB II a. 1) ³hubungan kerj a adalah hubungan antara ... · 1 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum...
Transcript of BAB II a. 1) ³hubungan kerj a adalah hubungan antara ... · 1 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum...
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan tentang Hubungan Kerja
a. Pengertian Hubungan Kerja
Hubungan kerja yang terjadi antara pengusaha dan pekerja
memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1) Dalam Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah, dan perintah”.
2) Menurut Zainal Asikin adalah “Hubungan antara Buruh dan
Majikan setelah adanya Perjanjian Kerja, yaitu suatu perjanjian
dimana pihak kesatu, siburuh mengikatkan dirinya pada pihak lain,
si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan majikan
menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan si buruh
dengan membayar upah.1
3) Menurut Lalu Husni dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia” yang disebut dengan “hubungan kerja
1 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Grafindo Persada, 1993, Jakarta, hlm. 65.
14
adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi
setelah adanya perjanjian kerja.”2
Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Setiap
hubungan kerja diawali dengan kesepakatan perjanjian kerja.
Perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja dan pengusaha tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh
penguasa dengan serikat pekerja yang ada di perusahaannya.
b. Perjanjian Kerja
1) Pengertian Perjanjian Kerja
“Perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan
kerja. Perjanjian kerja adalah sah apabila memenuhi syarat sahnya
perjanjian dan asas-asas hukum perikatan”.3 Bukti bahwa
seseorang bekerja pada orang lain atau pada sebuah perusahaan
adalah adanya perjanjian kerja yang berisi tentang hak-hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Berikut ini pengertian tentang
perjanjian kerja :
a) Pengertian perjanjian adalah perjanjian yang diselenggarakan
oleh serikat-serikat buruh yang telah terdaftar pada
Kementerian Perburuhan (Sekarang departemen Tenaga Kerja)
dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan majikan yang
2 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Grafindo Persada, , 2003,
Jakarta, hlm. 39. 3 Asri Wijayanti,, Op. Cit, hlm. 41
15
berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata
memuat syarat-syarat yang diperhatikan perjanjian kerja.
b) Pengertian perjanjian kerja dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni:
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/ buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-
syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
c) Imam Soepomo dalam Lalu Husni
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu
buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah
pada pihak lain yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri
untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah4.
2) Unsur-Unsur dalam Perjanjian Kerja
a) Adanya unsur work atau pekerjaan
Dalam perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang
diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah
dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya seizin majikan dapat
menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata
Pasal 1603 huruf a yang berbunyi: “Buruh wajib melakukan
sendiri pekerjaannya, hanyalah dengan seizin majikan ia dapat
menyuruh seorang ketiga menggantikannya.”
4 Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 35.
16
“Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat
pribadi Karena bersangkutan dengan ketrampilan/keahliannya,
karena itu menurut hukum jika pekerja meninggal dunia, maka
perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.”
“Pekerjaan itu bebas sesuai dengan kesepakatan antara
buruh dan majikan, asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban
umum”5.
b) Adanya unsur perintah
“Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja
oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk
pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai
dengan yang diperjanjikan.”6
“Di dalam hubungan kerja kedudukan majikan adalah
pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban
untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan
pekerjaannya”7
c) Adanya waktu
“Adanya waktu yang dimaksudkan adalah dalam
melakukan pekerjaan harus disepakati jangka waktunya. Unsur
5 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 36
6 Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 37-38
7 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 37
17
jangka waktunya. Unsur jangka waktu dalam perjanjian kerja
diperbuat.”8
d) Adanya upah
“Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja,
bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seseorang pekerja
bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah.
Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan
tersebut bukan merupakan hubungan kerja.”9
3) Syarat Sah Perjanjian Kerja
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada Pasal 52 ayat (1) dijelaskan tentang syarat
sahnya perjanjian kerja adalah:
a) Kesepakatan kedua belah pihak;
Sepakat yang dimaksudkan adanya kesepakatan antara
pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Kesepakatan yang
terjadi antara buruh dan majikan secara yuridis haruslah
bersifat bebas.10
b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
“Hukum perburuan membagi usia kerja dari tenaga kerja
menjadi anak-anak (14 tahun ke bawah), orang muda (14-18
tahun), dan orang dewasa (18 tahun ke atas)”.11
8 Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 37-38
9 Ibid, hlm. 37-38
10 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 43
11 Ibid, hlm. 43
18
Ketentuan Pasal 1320 ayat (2) BW, yaitu adanya
kecakapan untuk membuat perikatan. Orang yang membuat
suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya
setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat
pikirannya adalah menurut hukum.
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari
perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat
hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
Sebab yang halal menunjuk pada obyek hubungan kerja
boleh melakukan pekerjaan apa saja, asalkan tidak betentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan
ketertiban umum.12
Keempat syarat tersebut bersifat komulatif artinya harus
dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian
tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dalam
membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai
syarat subyektif, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang
dijanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan
12
Ibid, hlm. 45
19
perundang-undangan yang berlaku disebut sebagai syarat
obyektif.13
Jika syarat obyektif tidak dipenuhi oleh syarat
subyektif, maka akibat dari perjanjian tersebut adalah dapat
dibatalkan.14
4) Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
a) Kewajiban Buruh/Pekerja
Dalam KUHP Perdata ketentuan mengenai kewajiban
buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603 huruf a, 1603
huruf b, dan 1603 huruf c KUHP Perdata yang pada intinya
sebagai berikut:
(1) Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan, melakukan
pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang
harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin
pengusaha dapat diwakilkan;
(2) Buruh/pekerja wajib mentaati aturan dan petunjuk
majikan/pengusaha, dalam melakukan pekerjaannya
buruh/pekerja wajib mentaati petunjuk yang diberikan oleh
pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja
sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan
sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk
tersebut; dan
13
Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 39-40 14
Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 45
20
(3) Membayar kewajiban ganti rugi dan denda, jika
buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan
perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka
sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar
ganti-rugi dan denda.
b) Kewajiban Majikan/Pengusaha
Kewajiban Pengusaha menurut Lalu Husni adalah:
“Kewajiban memberikan istirahat/cuti, pihak
majikan/pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat
tahunan kepada pekerja secara teratur.15”
Waktu istirahat atau cuti sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ayat (2)
meliputi:
(1) Memberikan istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus
menerus dan waktu istirahat tidak termasuk jam kerja;
(2) Memberikan istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari
untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
(3) Memberikan cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua
belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan
bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
15
Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 42-43
21
(4) Memberikan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua)
bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan
masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh
tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2
(dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap
kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.;
(5) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan,
majikan/pengusaha wajib mengurus perawatan/pengobatan
bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan
(Pasal 1602 KUHPerdata);
(6) Kewajiban memberikan surat keterangan, kewajiban ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 1602 huruf a KUHPerdata
yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib
memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan
dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut
dijelaskan mengenai sifat pekerjaam yang dilakukan,
lamanya hubungan kerja dan;
(7) Kewajiban membayar upah
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
22
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja”16.
5) Hak-hak Buruh Dalam Perjanjian Kerja
Hak adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang
sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang. Demikian
buruh juga mempunyai hak-hak karena statusnya itu. Adapun hak-
hak dari buruh itu dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:17
a) Hak mendapatkan upah;
b) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi
kemanusiaan;
c) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan
kemampuannya;
d) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta
menambah keahliandan ketrampilan;
e) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan,
serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan
moral agama;
f) Hak mendapatkan pembayaran penggantian istirahat tahunan,
bila ketika ia di PHK ia sudah mempunyai masa kerja
sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung dari saat ia berhak atas
istirahat tahunan yang terakhir;
g) Hak atas upah penuh saat istirahat tahunan;
h) Hak mendirikan dan menjadi anggota Serikat Pekerja Nasional.
c. Perjanjian Kerja Bersama
1) Pengertian Perjanjian Kerja Bersama
Perjanjian Kerja Bersama (Istilah sebelumnya Perjanjian
perburuan, kemudian Kesepakatan Kerja Bersama) memiliki
beberapa pengertian sebagai berikut:
16
Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 107 17
Nurwati, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja,
Vol. 1, No. 2
23
a) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1601 ayat
(1) disebutkan bahwa perjanjian perburuhan adalah “Peraturan
yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang perkumpulan
majikan yang berbadan hukum, mengenai syarat-syarat kerja
yang harus di indahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.”
b) Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan
Perjanjian Kerja Bersama adalah Perjanjian yang merupakan
hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
2) Masa Berlakunya PKB
Masa berlakunya PKB paling lama 2 tahun dan hanya dapat
diperpanjang satu kali untuk paling lama 1 tahun dan
pelaksanaannya harus disetujui secara tertulis oleh pengusaha dan
serikat pekerja. Menurut Lalu Husni18
, PKB sekurang-kurangnya
menurut :
a) Hak dan kewajiban pengusaha;
b) Hak dan Kewajiban serikat pekerja serta pekerja;
c) Tata tertib perusahaan;
d) Jangka waktu berlakunya PKB
18
Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 46-47
24
e) Tanggal mulai berlakunya PKB; dan
f) Tanda tangan para pihak pembuat PKB.
3) Hubungan Antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian
Perburuhan/PKB
Hubungan perjanjian kerja dengan PKB menurut Husni
adalah:19
a) Perjanjian perburuan/PKB merupakan perjanjian induk dari
perjanjian kerja;
b) Perjanjian kerja tidak dapat mengenyampingkan perjanjian
perburuan, bahkan sebaliknya perjanjian kerja dapat
dikesampingkan oleh perjanjian perburuhan/PKB jika isinya
bertentangan;
c) Ketentuan yang ada dalam perjanjian perburuhan/PKB secara
otomatis beralih dalam isi perjanjian yang dibuat; dan
d) Perjanjian perburuan/PKB merupakan jembatan untuk menuju
perjanjian kerja yang baik.
B. Tinjauan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
a. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Adalah:
1) Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Pasal 1
ayat (25) yang dimaksud dengan Pemutusan hubungan kerja
adalah:
“Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha.”
19
Ibid, hlm. 49
25
2) Menurut Asri Wijayanti dalam Bukunya yang berjudul “Hukum
Ketenagakerjaan Pasca Reformasi” yang dimaksud dengan
Pemutusan Hubungan Kerja adalah:
“Suatu keadaan dimana si buruh berhenti bekerja dari
majikannya.”20
3) Menurut Keputusan Menteri dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor: Kep/78/Men/2001 yang dimaksud dengan Pemutusan
hubungan kerja adalah:
“Pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan ijin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.”
4) Lalu Husni menyebutkan bahwa “Pemutusan Hubungan Kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja
karena berbagai sebab.”21
b. Dasar Hukum Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga
kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan.
Untuk itulah sangat diperlukan adanya perlindungan terhadap
tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan
20
Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 159 21
Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 170.
26
tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha.22
Hukum Pemutusan Hubungan Kerja adalah bagian yang paling
rumit dari Hukum Perburuhan karena mengatur hubungan yang rawan
atau mengatur masalah-masalah to be or not to be. Oleh karena itu
ketentuan tentang PHK bersifat bivalent, yaitu perdata dan publik.
Bersifat perdata berarti cenderung njimet, mengatur secara mendetail,
karenanya sulit memahaminya.23
“Sumber hukum ketenagakerjaan Indonesia yang tertulis tersebar
ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan belum
terkondifikasi dengan baik, sehingga kita harus mencari sendiri
berbagai peraturan yang tersebar apabila akan dipergunakan untuk
dasar hukum dalam memecahkan suatu masalah.”24
Agar efektifnya penegakan hukum bidang perburuhan dalam
penyelesaian PHK, perlu didukung dengan peraturan perundangan
yang lengkap dan perubahan, perbaikan Undang-Undang No. 12
Tahun 1984 menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, sehingga tenaga kerja mendapat perlindungan. Di
samping itu perlu memper-timbangkan korporasi sebagai subyek
hukum pidana. Di sisi lain perlu adanya pengalaman etika, moral dan
tanggung jawab sosial perusahaan (korporasi) terhadap tenaga kerja
22
Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 6 23
Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Alumni, 2000, Bandung, hlm. 169 24
Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 28
27
dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula peningkatan Sumber
Daya Manusia (SDM) penegak hukum sebagai petugas yang handal
dan tangguh khususnya dalam praktik penyelesaian PHK mutlak
diperlukan.25
Adapun beberapa dasar hukum pengaturan PHK adalah:
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/MEN/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang
Pesangon, Uang penghargaan Masa Kerja, dan ganti Kerugian dari
Perusahaan, tertanggal 20 Juni 2000; dan
4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/MEN/2001 ini merupakan
revisi dari Kepmenakertrans Nomor Kep-150/MEN/2001.
c. Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
1) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Majikan/ Pengusaha
“PHK oleh majikan dapat terjadi karena alasan apabila buruh
tidak lulus masa percobaan, apabila majikan mengalami kerugian
25
[email protected],6/01/16
28
sehingga menutup usaha, atau apabila buruh melakukan
kesalahan”.26
Pemberhentian di anggap tidak layak menurut Lalu Husni
apabila:27
a) Tidak menyebut alasan;
b) Alasannya dicari-cari/alasan yang palsu; dan
c) Bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang atau
kebiasaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Pasal
154 pengusaha tidak perlu melakukan PHK dalam hal:
a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana
telah dipersyaratan secara tertulis sebelumnya;
b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,
secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama
kali;
c) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d) Pekerja/buruh meninggal dunia
Menurut Djumialdji28
pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
26
Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 162 27
Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 131-132 28
Djumialdji, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika Offset , 2006, Jakarta, hlm. 49-50.
29
a) Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua
belas) bulan secara terus-menerus;
b) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
d) Pekerja/buruh menikah;
e) Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur
kandungan, atau menyusui bayinya;
f) Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur didalam peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama;
g) Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan
kegiatan serikat pekerja/buruh diluar jam kerja, atau di dalam
jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
h) Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang
berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan
tindak pidana kejahatan;
i) Karena perbedaan paham, agama, politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
dan
j) Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat
kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Menurut Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003, Pengusaha/Majikan dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan
berat sebagai berikut:
a) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan/atau milik perusahaan;
30
b) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
c) Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,
memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d) Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan
kerja;
e) Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi
teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yangmenimbulkan
kerugian bagi perusahaan;
h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara;
atau
j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
31
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan
alasan sebagaimana dimaksud di atas dapat memperoleh uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Kesalahan berat di atas berdasarkan ketentuan dalam Pasal 158
ayat (2) harus didukung dengan bukti :
a) Pekerja/buruh tertangkap tangan;
b) Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c) Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung
sekurang-kurangnya dua orang saksi.
2) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perubahan Status,
Penggabungan, Peleburan, atau Perubahan Kepemilikan
Perusahaan.
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status,
penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan
dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja,
maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan,
32
atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam
Pasal 156 ayat (4).
3) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Tutup
Disebabkan Perusahaan Mengalami Kerugian Secara Terus
Menerus.
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2
(dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang npesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
“Uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja perhitungan
didasarkan pada upah sebulan terakhir sebelum terkena PHK.
Upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan yang bersifat tetap
(Pasal 157 ayat (1)). Sedang uang penggantian hak antara lain
33
berupa cuti tahunan yang belum diambil, biaya ongkos pulang,
penggantian perumahan dan kesehatan.”29
4) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Tutup
Bukan Karena Mengalami Kerugian
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
5) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Pailit
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
29
Annisrul Nur, Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Oleh Tutupnya
Perusahaan Karena Mengalami Kerugian (Kajian pada Perusahaan yang berbentuk Badan
Hukum Perseroan Terbatas)”, Vol. 8, No. 1.
34
6) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Buruh/ Pekerja
PHK oleh buruh dapat terjadi apabila buruh mengundurkan diri
atau terdapat alasan yang mendesak yang mengakibatkan buruh
minta di PHK. Pengunduran diri buruh dapat dianggap terjadi
apabila buruh mangkir paling sedikit dalam waktu 5 hari kerja
berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara
tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan keterangan tertulis
dengan alat bukti yang sah.30
Seorang buruh yang akan mengakhiri hubungan kerja harus
mengemukakan alasan-alasannya kepada pihak majikan. Alasan
mendesak adalah suatu keadaan sedemikian rupa sehingga
mengakibatkan bahwa buruh tersebut tidak sanggup untuk
meneruskan hubungan kerja. Alasan-alasan mendesak dimaksud di
antaranya:31
a) Apabila majikan menganiaya, menghina secara kasar atau
melakukan ancaman yang membahayakan si buruh atau
anggota keluarganya;
b) Apabila majikan membujuk buruh atau anggota keluarganya
untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
Undang-Undang atau tata susila; dan
c) Majikan tidak membayar upah sebagaimana mestinya/ tidak
tepat waktu.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
30
Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 55 31
Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 133
35
hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut :
a) Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
b) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
c) Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh;
e) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan
di luar yang diperjanjikan; atau
f) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
7) Hubungan Kerja Putus demi Hukum
Selain diputuskan oleh majikan atau buruh, hubungan kerja
juga dapat putus/ berakhir demi hukum, artinya hubungan
kerja tersebut harus putus dengan sendirinya. Hubungan kerja
putus demi hukum apabila:32
32
Ibid, hlm. 133-134.
36
a) Buruh/ pekerja mengundurkan diri tanpa syarat atau karena
memasuki usia pensiun;
b) Buruh/ pekerja mengundurkan diri tanpa syarat atau karena
memasuki usia pensiun;
c) Buruh/ pekerja meninggal dunia;
d) Hubungan kerja/ perjanjian kerja yang diadakan untuk
waktu tertentu dan waktu yang ditentukan itu telah
berakhir/ lampau, jadi dengan selesainya suatu kontrak
kerja, maka hubungan kerja putus dengan sendirinya.
8) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh
pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
perdata biasa atau permintaan yang bersangkutan berdasarkan
alasan penting. Alasan penting adalah disamping alasan mendesak
juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon
atau perubahan keadaan dimana pekerjaan yang dilakukan
sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk
memutuskan hubungan kerja.33
d. Prosedur PHK oleh Pengusaha
Menurut Lalu Husni, tata cara PHK yang dilakukan oleh
pengusaha adalah:34
1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi oleh
pemutusan hubungan kerja;
2) Setelah dilakukan segala usaha dimana pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindarkan, maka pengusaha harus merundingkan
maksudnya untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja dengan
organisasi pekerja yang bersangkutan yang ada diperusahaan atau
dengan karyawan/tenaga kerja/pekerja sendiri dalam hal tenaga
kerja tersebut tidak menjadi anggota salah satu organisasi pekerja;
33
Ibid, hlm. 131-135 34
Ibid, hlm. 127-130
37
3) Bila perundingan tersebut nyata-nyata tidak menghasilkan
persetujuan paham, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan tenaga kerja setelah mendapat izin dari
Panitia Perselisihan Perburuan Daerah (P4D) bagi pemutusan
hubungan kerja perseorangan dan Panitia Perselisihan Perburuhan
Pusat (P4P) bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-
besaran;
4) P4D dan P4P menyelesaian permohonan izin pemutusan
hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya menurut tata
cara yang berlaku untuk dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Dalam hal P4D atau P4P memberikan izin,
maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk pesangon,
uang jasa, dan ganti kerugian lainnya;
5) Hal-hal yang harus dimuat dalam permohanan izin pemutusan
hubungan kerja oleh pengusaha adalah:
a) Nama dan kedudukan perusahaan;
b) Nama orang yang bertanggung jawab di perusahaan
c) Nama dari karyawan/tenaga kerja yang dimintakan
pemutusaan hubungan kerja;
d) Umur jumlah keluarga si pekerja;
e) Jumlah masa kerja dari setiap tenaga kerja yang dimintakan
pemutusan hubungan kerja;
f) Penghasilan terakhir berupa uang dan catu tiap bulannya;
g) Alasan-alasan pengusulan pemutusan hubungan kerja secara
terperinci.
6) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja tidak dapat
diberikan apabila pemutusan hubungan kerja tersebut didasarkan
atas :
a) Hal-hal yang berhubungan dengan keanggotaan serikat pekerja
atau dalam rangka pembentukan serikat pekerja dan
melaksanakan tugas-tugas atau fungsi serikat pekerja diluar
jam kerja;
b) Pengaduan pekerja/tenaga kerja kepada yang berwajib
mengenai tingkah laku pengusaha yang terbukti melanggar
peraturan Negara , dan
c) Paham agama, aliran, suku, golongan atau jenis kelamin.
7) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja dapat diberikan dalam
hal tenaga kerja/pekerja melakukan kesalahan berat.
38
e. Kompensasi PHK
1) Hak-hak tenaga kerja yang terkena PHK
Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dijelaskan bahwa bila terjadi PHK, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Menurut Lalu Husni Hak-hak yang diterima oleh pekerja/ buruh
yang mengalami PHK adalah: 35
a) Uang pesangon
“Uang pesangon adalah pembayaran dalam bentuk uang
dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya PHK
yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja.36
Menurut Asri wijayanti, besarnya uang pesangon
ditetapkan paling sedikit sebagai berikut:37
(1) Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan
upah; masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
(2) Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari
3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
(3) Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari
4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
(4) Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5
(lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
(5) Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6
(enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
(6) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
(7) Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8
(delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; dan
35
Ibid, hlm. 142 36
Ibid, hlm. 135 37
Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm. 173
39
(8) Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (Sembilan)
bulan upah.
b) Uang Penghargaan Masa Kerja
“Uang penghargaan masa kerja atau dalam peraturan
sebelumnnya disebut dengan uang jasa adalah uang
penghargaan pengusaha kepada pekerja yang besarnya
dikaitkan dengan lamanya masa kerja”.38
Menurut Asri Wijayanti, besarnya uang penghargaan
masa kerja ditetapkan paling sedikit sebagai berikut:39
(1) Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari
6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
(2) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 9 (Sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah
(3) Masa kerja 9 (Sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
(4) Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan
upah;
(5) Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
(6) Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah;
(7) Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan)
bulan upah; dan
(8) Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10
(sepuluh) bulan upah.
38
Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 135 39
Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm. 173
40
c) Uang Ganti Rugi
“Uang ganti kerugian adalah pemberian berupa uang
dari pengusaha kepada pekerja sebagai pengganti dari hak-
hak yang belum diambil seperti istirahat tahunan, istirahat
panjang, biaya perjalanan pulang ketempat dimana pekerja
diterima bekerja dll.”40
Dalam Pasal 24 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No,
150 tahun 2000 disebutkan bahwa ganti rugi meliputi :
(1) Istirahat tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
(2) Ganti kerugian atas istirahat panjang bilamana
perusahaan yang bersangkutan berlaku peraturan
istirahat panjang dan pekerja belum mengambil istirahat
itu menurut perbandingan antara masa kerja pekerja
dengan masa kerja yang ditentukan untuk dapat
mengambil istirahat panjang;
(3) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya
ketempat dimana pekerja diterima bekerja;
(4) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen) dari uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja/jasa,
apabila masa kerjanya memenuhi syarat untuk
mendapatkan uang penghargaan masa kerja/jasa; dan
40
Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 135
41
(5) Hal-hal lain yang ditetapkan oleh panitia daerah atau
panitia pusat.
Tabel I :
Hak-hak Pekerja yang di PHK dikaitkan dengan alasan PHK41
Alasan Pesangon Penghargaan
Masa Kerja
Ganti Rugi
Perumahan,
Perawatan
dan
Pengobatan
Keterangan
PHK Demi Hukum
Masa Kontrak
Kerja Habis
Tidak Lulus Masa
percobaan
Meninggal Dunia 2x 1x 1x Pasal 166
PHK Oleh Buruh
Mengundurkan Diri 1x Pasal 162 ayat
(1) dan (2)
(ditambah uang
pisah)
Alasan Mendesak 1x 1x 1x Pasal 169 ayat
(2) (apabila
tuduhan pekerja
tidak terbukti
dinyatakan oleh
lembaga PPHI
maka tidak
berhak uang
pesangon dan
UPMK)
Pensiun 2x 1x 1x Pasal 167 ayat(2)
( pekerja
diikutkan
program pensiun
tidak mendapat
uang pesangon,
tetapi jumlahnya
lebih kecil
selisihnya
41
Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm. 174
42
Dibayarkan
pengusaha Psl
167 ayat (1)
PHK Oleh Majikan
Kesalahan Buruh
Ringan
1x 1x 1x Pasal 162/3
Kesalahan Buruh
Berat
1x 1x Pasal 160/7
Perusahaan Tutup
Pailit
1x 1x 1x Pasal 65
Force mejeur 1x 1x 1x Pasal 164/1
Ada efisiensi 2x 1x 1x Pasal 164/3
Perubahan status,
milik, lokasi, buruh
menolak
1x 1x 1x Pasal 163/1
Perubahan status
milik, lokasi,
majikan menolak
2x
1x 1x Pasal 163/2
Pekerja sakit
berkepanjangan
mengalami cacat
akibat kecelakaan
kerja
2x 2x 1x Pasal 172
Keterangan :
1 x : Hak yang diperoleh dikalikan 1x
2x : Hak yang diperoleh dikalikan 2x
Jika semua hak diperoleh, maka I komponen dikalikan
terlebih dahulu, kemudian dijumlahkan dengan komponen hak
lain yang sudah dikalikan, dan hasilnya adalah seluruh hak
yang diterima.
43
2) Komponen Upah sebagai Dasar Perhitungan Kompensasi PHK
a) Pengertian Upah
(1) Menurut Darwan Prints yang dimaksud dengan upah
adalah:
“Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan
dari pengusaha kepada buruh atas prestasi berupa
pekerjaan atau jasa yang telah atau akan diakukan oleh
Tenaga Kerja dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk
uang.”42
(2) Menurut Asri Wijayanti, yang dimaksud dengan upah
adalah :
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan atau peraturan perundang-undangan
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilaksanakan.43
Upah pada prinsipnya hanya diberikan apabila pekerja
masuk kerja. Prinsip ini dikenal dengan no work no pay.44
42
Darwan Print, Op. Cit. hlm. 147 43
Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 102 44
Ibid, hlm. 115
44
Upah sebagai dasar pemberian uang pesangon,uang jasa
dan uang kerugian terdiri dari:45
(1) Upah pokok;
(2) Segala macam tunjangan yang bersifat tetap yang
diberikan kepada pekerja keluarganya; dan
(3) Harga pembelian dari catu yang diberikan kepada
pekerja secara Cuma-Cuma harus dibayar kepada
pekerja sebagai subsidi maka sebagai upah dianggap
selisih antara harga pembelian dengan yang harus
dibayar oleh pekerja.
C. Tinjauan Tentang Hukum Ketenagakerjaan
a. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Batasan Pengertian hukum ketenagakerjaan, yang dulu disebut
hukum perburuhan atau arbeidrechts juga sama dengan pengertian
hukum itu sendiri, yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang
masing-masing ahli hukum. Tidak satu pun batasan pengertian itu
dapat memuaskan karena masing-masing ahli hukum memiliki alasan
sendiri mereka melihat hukum ketenagakerjaan dari berbagai sudut
pandang yang berbeda antara pendapat yang satu dengan pendapat
yang lainya.
45
Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 138
45
Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian dari hukum
yang mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh
dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.46
Soetikno,
menyebutkan hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan-
peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan
seorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah)
orang lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang langsung
bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut.47
Mengingat istilah tenaga kerja mengandung pengertian amat luas
dan untuk menghindarkan adanya kesalahan persepsi terhadap
penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan
perkembangan hubungan industrial, bahwa istilah hukum
ketenagakerjaan lebih tepat di banding dengan istilah hukum
perburuhan.
Berdasarkan uraian tersebut bila dicermati, hukum ketenagakerjaan
memiliki unsur-unsur berikut :
1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.
2. mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja
pengusaha atau majikan
3. adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain dengan
mendapat upah sebagai balas jasa
46
Imam, Soepomo, Hukum Perburuhan, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan, Jakarta,
Djambatan, 1972, hlm. 1 47
Soetikno, Hukum Perburuhan, Jakarta, 1977, hlm. 5
46
4. mengatur perlindungan pekerja atau buruh, meliputi masalah
keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi
pekerja atau buruh,dan sebagainya
Dengan demikian, hukum ketenagakerjaaan adalah peraturan
hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja atau buruh dn
pengusaha atau majikan dengan segala konsekuensinya. Hal ini jelas
bahwa hukum ketenagakerjaan tidak mencakup pengaturan :
1. Swapekerja (kerja dengan tanggung jawab atau risiko sendiri
2. Kerja yang dilakukan untuk orang lain atas dasar kesukarelaan
3. Kerja seorang pengurus atau wakil suatu organisasi atau
perkumpulan.
Hendaknya perlu di ingat pula bahwa ruang lingkup
ketenagakerjaan tidak sempit dan sederhana kenyataan dalam praktik
sangat kompleks dan multidimensi. Oleh sebab itu, ada benarnya jika
hukum ketenagakerjaan tidak hanya mengatur hubungan kerja, tetapi
meliputi juga pengaturan di luar hubungan kerja, serta perlu di
indahkan oleh semua pihak dan perlu adanya perlindungan pihak
ketiga, yaitu penguasa (pemerintah) bila ada pihak pihak yang
dirugikan.
b. Asas, Tujuan dan Sifat Hukum Ketenagakerjaan
1) Asas Hukum Ketenagakerjaan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pembangunan
47
ketenagakerjaan diselenggarakan atas keterpaduan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas
pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil, dan
merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan
menyangkut multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak yaitu
antara pemerintah, pengusaha dan pekerja, atau buruh. Oleh
Karena itu pembangunan ketenagakerjaan di lakukan secara
terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. Jadi,
asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah .
2) Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
Menurut Manulang, tujuan hukum ketenagakerjaan ialah48
:
a. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam
bidang ketenagakerjaan;
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak
terbatas dari pengusaha;
Butir (a) lebih menunjukan bahwa hukum ketenagakerjaan
harus menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan bagi pihak-
pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk dapat mencapai
ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha. Adapun butir (b)
dilatar belakangi adanya pengalaman selama ini yang sering kali
48
Eko Wahyudi, Wiwin Yulianingsih, Moh. Firdaus Sholihin, Hukum Ketenagakerjaan, Sinar
Grafika, 2016, Jakarta, hlm. 7.
48
terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja atau
buruh. Untuk itu di perlukan suatu perlindungan hukum secara
komprehensif dan konkret dari pemerintah.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan
bertujuan :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
3) Sifat Hukum Ketenagakerjaan
Telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum ketenagakerjaan
mengatur hubungan kerja antara tenaga kerja dan pengusaha,yang
berarti mengatur kepentingan orang perorangan .atas dasar itulah,
maka hukum ketenagakerjaan bersifat privat (perdata). Di samping
itu, dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah maslah
tertentu diperlukan campur tangan pemerintah ,antara lain sebagai
berikut:
(a) Dalam bentuk :
(1) Perizinan yang menyangkut bidang ketenagakerjaan;
49
(2) Penetapan upah minimum;
(3) Masalah penyelesaian perselisihan hubungan kerja dan
sebagainya.
(b) Adanya penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau tindak
pidana bidang ketenagakerjaan.
Lebih lanjut Budiono49
membagi sifat hukum ketenagakerjaan
menjadi 2 (dua) yaitu bersifat impreatif dan bersifat fakultatif.
Hukum bersifat imperatif atau dwingenrecht (hukum memaksa)
artinya hukum yang harus di taati secara mutlak dan tidak boleh di
langgar, contoh:
a) Pasal 42 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan mengenai perlunya izin penggunaan tenaga
kerja asing
b) Pasal 59 ayat (1) UU No.13 Tahun 2013 tentang
ketenagakerjaan mengenai kerentuan pembuatan perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT)
c) Pasal 153 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, mengenai larangan melakukan PHK terhadap
kasus-kasus tertentu .
Adapun hukuman ketenagakerjaan bersifat fakultatif atau
hukum yang mengatur atau melengkapi (regelend recht atau
49
Ibid, hlm. 8
50
aanvulled recht) artinya hukum yang dapat dikesampingkan
pelaksanaannya, contoh;
a) Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaantentang ketenagakerjaan, mengenai
perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan
adanya masa percobaan kerja .
b) Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaantentang ketenagakerjaan, mengenai
perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan 3 (tiga) bulan.
c) Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981 mengenai
kebebasan pengusaha untuk membayar gaji di tempat yang
lazim.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 mengenai
kewajiban ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja
(jamsostek), dimana program jaminan pemeliharaan kesehatan
(JPK) dpat diabaikan sepanjang pengusaha telah memberikan
pelayanan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari standar
dasar jamsostek
51
D. Tinjauan tentang Kebijakan
a. Teori Kebijakan
Teori yang akan dipergunakan dalam rangka penelitian tentang
Implemetasi Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga
Kerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Gorontalo) sebagai
landasan pemikiran adalah teori kebijakan dari Thomas R. DYE.
Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan
perhatian kita untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy
making process) oleh pemerintah (government) atau pemegang
kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat luas (public). Thomas
R.Dye mengidentifiksikan kebijakan publik sebagai “is whatever
government choose to do is on not to do“. Secara sederhana
pengertian kebijakan public dirumuskan dalam kalimat sebagai
berikut:50
a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?)
b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)
c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat
dengan kenyataan (what defference it makes?)
Kebijakan publik (public policies) sebagai rangkaian pilihan yang
kurang lebih satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan
termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat
50
Thomas R Dye, Understanding Public Policy, State Universityt, 1981, Florida, hlm. 77
52
oleh badan-badan pejabat pemerintah yang diformulaikan ke dalam
isu-isu publik dari masalah pertahanan, energi, kesehatan sampai
permasalahan pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan.
Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subjektif
yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku
kebijakan sekaligus realitas objektif yang diwujudkan dalam tindakan-
tindakan yang dapat diamati akibat-akibat yang ditimbulkannya,
setidak-tidaknya menyangkut 3 (tiga) unsur penting yaitu:51
(1) Pelaku Kebijakan;
(2) Kebijakan publik;
(3) Lingkungan kebijakan.
Ketertiban antara hukum dan kebijakan publik akan semakin
relevan pada saat hukum diimplementasikan. Proses implementasi
selalu melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda di tiap
tempat, karena memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama.
Demikian pula keterlibatan lembaga di dalam proses implementasi
selalu akan bekerja di dalam konteks sosial tertentu sehingga
terjadi hubungan timbal balik yang dapat saling mempengaruhi.
Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga
pemerintah dalam berbagai jenjang/tingkat, baik propinsi maupun
tingkat kabupaten. Setiap jenjang pelaksanaan pun masih
membutuhkan pembentukan kebijaksanaan lebih lanjut dalam
51
Ibid, hlm. 89
53
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan untuk memberikan
penjabaran lebih lanjut.
Apabila sarana yang dipilih adalah hukum sebagai proses
pembentukan kebijaksanaan publik, maka faktor-faktor non hukum
akan selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya.
Untuk mengantisipasi hal ini diperlukan langkah-langkah
kebijaksanaan meliputi :
(1) Menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan
menetapkan tujuan, standart pelaksana, biaya dan waktu yang
jelas;
(2) Melaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staf,
biaya, resources, prosedur, dan metode, dan
(3) Membuat jadwal pelaksanaan (time schedule) dan monitoring
untuk menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai
rencana.
Dengan demikian, jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan
program tersebut akan segera diambilkan tindakan yang sesuai.
Secara singkat, pelaksanaan suatu program melibatkan unsur
penetapan waktu, perencanaan dan monitoring.
Berangkat dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya disertai
dengan action plan. Di Indonesia, untuk dapat melakukan
program-program pemerintah, maka perlu dijabarkan lebih konkrit
54
dalam bentuk peraturan perundangan. Gladden mengklasifikasikan
kebijaksanaan itu menurut tinggi rendahnya tingkatan/level,
yaitu:52
(1) Kebijakan politis (political policy);
(2) Kebijakan eksekutif (executive policy);
(3) Kebijakan administratif (administrative policy); dan
(4) Kebijakan teknis atau operasional (technical or operasional
policy). Mengenai tingkatan kebijaksanaan ini telah tampak di
dalam perundang-undangan di Indonesia.
b. Proses Kebijakan Publik
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas
intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.
Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang
mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, danpenilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas
perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring,
dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih versifat
intelektual.
Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu
dilakukan yakni:53
(1) Membangun persepsi di kalangan stakeholder bahwa sebuah
fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi
gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah,
tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan
dianggap sebagai masalah;
(2) Membuat batasan masalah; dan
(3) Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk
dalam agenda pemerintah. Memobilisasi dukungan ini dapat
52
Tjokroamidjojo, Kebijakan-Kebijakan Pemerintah, Alumni, 1974, Bandung, hlm. 115 53
A.G. Subarsonoi, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, 205, Yogyakarta, hlm. 11
55
dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang
ada dalam masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik,
publikasi melalui media massa dan sebagainya.
Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, analisis
kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang
berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian
berusaha mengembangkan alternative-alternatif kebijakan,
membangun dukungan dan melakukan negosiasi, sehingga sampai
pada sebuah kebijakan yang dipilih.
Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Pada tahap ini
perl dukungan sumber daya dan penyusunan organisasi pelaksanaan
kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme intensif
dan sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan dengan baik.
Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak
kebijakan, dan proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap
implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan Hasil evaluasi ini
bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru di masa yang akan datang,
agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan lebih berhasil.
c. Lingkungan kebijakan
Lingkungan kebijakan, seperti adanya penggangguran,
kriminalitas, krisis ekonomi, gejolak politik yang ada pada suatu
Negara akan mempengaruhi atau memaksa pelaku atau faktor
kebijakan untuk meresponsnya, yakni memasukkannya ke dalam
agenda pemerintah dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk
56
memecahkan masalah-masalah yang bersangkutan. Misalnya kebijakan
pengembangan investasi yang dapat menyerap tenaga kerja, kebijakan
penegakan hukum untuk mengatasi kriminalitas, kebijakan
pengurangan pajak untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan
kebijakan keamanan untuk mengatasi gejolak politik.
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Tuntutan terhadap
kebijakan dapat dilahirkan karena pengaruh lingkungan, dan kemudian
ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu yang
bersamaan ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan
mempengaruhi policy makers. Faktor lingkungan tersebut antara
lain: karakteristik geografi, sespefrti sumber daya alam, iklim, dan
topografi; variable demografi seperti: banyaknya penduduk, distribusi
umur penduduk, lokasi spasial, kebudayaan politik; struktur sosial; dan
sistem ekonomi. Dalam kasus tertentu, lingkungan internasional dan
kebijakan internasional menjadi penting untuk dipertimbangkan.54
Prinsipnya ada dua variable lingkungan, yakni variable
kebudayaan politik (political culture variable) dan variable sosial
ekonomi (socio economic variable)
(1) Kebudayaan politik. Setiap masyarakat memiliki budaya yang
berbeda, dan ini berarti nilai dan kebiasaan hidup berbeda dari
satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kebudayaan oleh
54
ibid, hlm. 15
57
seseorang pakar Antropologi Clyde Kluckhohn didefinisikan
sebagai the total life way of people, the sosial legacy the
individual acquires from his group (keseluruhan cara hidup
masyarakatan dan warisan sosial yang diperoleh dari
kelompoknya). Sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa
kebudayaan masyarakat dapat membentuk atau mempengaruhi
tindakan sosial, tetapi bukan satu-satunya penentu. Kebudayaan
hanya salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku
masyarakat. Kebudayaan politik adalah bagian dari kebudayaan
masyarakat, yang mencakup nilai, kepercayaan dan sikap tentang
apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana
melakukannya serta bagaimana menjalin hubunga dengan warga
negaranya.
(2) Kondisi sosial ekonomi. Kebijakan publik sering dipandangi
sebagai instrument untuk menyelesaikan konflik antara berbagai
kelompok dalam masyarakat, dan antara pemerintah dengan
privat. Salah satu sumber konflik, khususnya dalam masyarakat
yang maju, adalah aktivitasekonomi. Konflik dapat berkembang
dari kepentingan yang berbeda antara perusahaan besar dan
kecil, pemilik perusahaan dan buruh, debitor, dan kreditor,
customer dan penjual. Petani dengan pembeli hasil-hasil
petanian, dan sebagainya. Hubungan antara kelompok-
kelompok yang berbeda di atas dapat dikurangi atau diselesaikan
58
dengan kebijakan pemerintah dalam wujud perubahan ekonomi
atau pembangunan. Kebijakan pemerintah dapat melindungi
kelompok yang lemah dan menciptakan keseimbangan hubungan
antara kelompok yang berbeda.
Dalam pandangan seorang pakar politik David Easton
sebagaimana dikutip oleh Dye (1981), kebijakan publik dapat
dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari input, konversi, dan
output. Dalam konteks ini ada dua variable makro yang
mempengaruhi kebijakan publik, yakni lingkungan domestik
dan lingkungan internasional.55
Baik lingkungan domestik maupun
lingkungan internasional/global dapat memberikan input yang
berupa dengan dan tuntutan terhadap sebuah sistem politik.
Kemudian para aktor dalam sistem politik akan memproses atau
mengonversi input tersebut menjadi output yang berwujud
peraturan dan kebijakan. Peraturan dan kebijakan tersebut akan
diterima oleh masyarakat, selanjutnya masyarakat akan
memberikan umpan balik dalam bentuk input baru kepada sistem
politik tersebut. Apabila kebijakan tersebut memberikan intensif,
maka masyarakat akan mendukungnya. Sebaliknya, apabila
kebijakan tersebut bersifat disinsentif.
55
Ibid, hlm. 17
59
d. Sistem Kebijakan Publik
Analisis kebijakan merupakan proses kajianyang mencakup lima
komponen, dan setiap komponen dapat berubah menjadi komponen
yang lain melalui prosedur metodologi tertentu, seperti perumusan
masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi. Sebagai
contoh, prosedur peramalan akan menghasilkan masa depan kebijakan,
dan rekomendasi akan melahirkan aksi kebijakan, dan pemantauan
akan menghasilkan hasil-hasil kebijakan, serta evaluasi akan
melahirkan kinerja kebijakan. Melakukan analisis kebijakan berarti
menggunakan kelima prosedur metodologi tersebut, yakni
merumuskan masalah kebijakan, melakukan peramalan, membuat
rekomendasi, melakukan pemantauan, dan melakukan evaluasi
kebijakan.
e. Jenis-jenis Kebijakan
Secara tradisional, pakar ilmu politik mengategorikan
kebijakan publik ke dalam kategori:56
(1) Kebijakan substantive (misalnya: kebijakan perburuhan,
kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar negeri dan
sebagainya);
(2) Kelembagaan (misalnya : kebijakan legislative, kebijakan judikatif,
kebijakan departemen);
56
Ibid, hlm. 19
60
(3) Kebijakan menurut kurun waktu tertentu (misalnya : kebijakan
masa reformasi, kebijakan masa Orde baru dan Kebijakan
masa Orde Lama).
Kategori lain tentang kebijakan dibuat oleh James Anderson sebagai
berikut57
:
(1) Kebijakan substantive vs kebijakan procedural. Kebijakan
substantive adalah kebijakan yang menyangkut apa yang akan
dilakukan pemerintah. Sedangkan kebijakan procedural adalah
bagaimana kebijakan substantive tersebut dapat dijalankan.
(2) Kebijakan distributive vs kebijakan regulatori vs kebijakan
redistributive. Kebijakan redistributive menyangkut distribusi
pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau segmen
masyarakat tertentu atau individu. Kebijakan regulatori adalah
kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap
perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan
kebijakan procedural. Kebijakan re distributive adalah
kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan pendapatan,
pemilikan atau hak-hak diantara berbagai kelompok dalam
masyarakat.
(3) Kebijakan material vs kebijakan simbolis. Kebijakan material
adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya
konkrit pada kelompok sasaran.
57
Ibid, hlm. 26
61
(4) Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public
goods) dan barang privat (privat goods). Kebijakan public
goods adalah kebijakan yang bertujuan mengatur pemberian
barang atau pelayanan public. Sedangkan kebijakan yang
berhubungan dengan private goods adalah kebijakan yang
mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar
bebas.
E. Teori Bekerjanya Hukum
Teori Lawrence Meir Friedman tentang tiga unsur sistem hukum
(Three Elements Of legal System). Ketiga unsur sistem hukum yang
mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu58
:
1. Struktur Hukum (Legal Structure)
2. Substansi Hukum (Legal Subtance)
3. Kultur Hukum (Legal Culture)
Selanjutnya Lawrence Meir Friedman, The structure of system is
skeletal framework: it is the permanent shape, the institutional body of the
system, the tough, rigid bones, that keep the process flowing within
bounds.”59 Jadi struktur adalah kerangkanya, bagian yang tetap bertahan,
bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
58
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Satu kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Toko Gunung
Agung, Tbk, Jakarta, 2001, hal. 7-9. 59
Esmi Warasih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama Semarang,
2005, hal. 14.
62
Jelasnya, struktur bagian foto diam yang menghentikan gerak (a kind of
still photograph, with freezes the action).
Komponen struktur yaitu kelembaban yang diciptakan oleh sistem
hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung
bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat
bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap
penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.60
Selanjutnya disebutkan, The substance is composed of substantive
rules and rules about how institutions should be have.
Yang dimaksud dengan subtansi adalah aturan, norma, dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Subtansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum
itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka
susun. Subtansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan
hanya aturan yang ada dalam kitab Undang-Undang atau Law Books.
Komponen Subtansi yaitu sebagai output dari system hukum yang
berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik
oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. 61
Akhirnya, pemahaman Lawrence Meir Friedman tentang The legal
Culture, System Their beliefs ideas and expectation. Kultur hukum adalah
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan. Nilai,
pemikiran serta harapannya “Legal Culture refers. The, to those parts of
60
Ibid, hal. 28. 61
Ibid, hal. 20.
63
general Culture-customs. Opinions, ways of doing and thinking-that bend
social forces to war or away from the law and in particular ways”.
Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya
proses hukum. Jadi, dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana sopsial
dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana digunakan, dihindari,
atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri
tidak berdaya, seperti ikan hidup yang berenang di laut bebas.
Komponen kultur yaitu terdiri dari nilai-nmilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum atau yang disebut kultur hukum. Kultur
hukum inilah yang berfungsi sebagai jabatan yang berfungsi
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum
seluruh warga masyarakat.62
Secara singkat, menurut Lawrence Meir Friedman cara lain untuk
menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut:
1. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin.
2. Subtansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin
itu.
3. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.
62
Ibid, hal. 30.
64
Selain membangun itu, untuk mengenal hukum sebagai sistem maka
harus dicermati apakah ia memenuhi 8 (delapan) asas atau principal of
legality atau 8 prinsip legalitas63
:
1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya ia tidak
boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad-
hock;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3. Peraturan tidak boleh berlaku surut.
4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi
apa yang dapat dilakukan.
7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-ubah.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan
pelaksanaannya sehari-hari.
Untuk memahami bagaiman fungsi hukum itu, ada kaitanya dipahami
terlebih dahulu bidang pekerjaan hukum. Sedikitnya ada 4 (empat) bidang
pekerjaan yang dilakukan oleh hukum, yaitu:
1. Merumuskan hubungan-hubungan di antara anggota masyarakat
dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan
yang boleh dilakukan.
63
Ibid, hal. 31.
65
2. Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan
kekuasaan atau siapa berikut produsernya.
3. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
4. Mempertahankan kemampuan adaptasi nasyarakat dengan cara
mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala
ada. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat
menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang
boleh dilakukan.
Ada 2 (dua) aspek cara kerja hukum dalam hubungan dengan
perubahan sosial64
, yaitu:
1. Hukum sebagai sarana kontrol sosial (Social control) yaitu
mempengaruhi warga masyarakat agar tingkah laku sejalan dengan apa
yang telah digariskan sebagai urutan hukum, termasuk nilai-nilai yang
hidup didalam masyarakat.
2. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (Social Engeneering)
a. Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau
keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum.
b. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu
kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari
hukum yang lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku
masyarakat di masa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat
Undang-Undang.
64
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cetakan 1,
Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1997, hal. 122.
66
Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, dikatakan bahwa pelaksanaan
penegak hukum (yang tentunya juga pelaksanaan suatu kebijaksanaan atau
suatu komitmen) bersangkutan dengan 5 (lima) faktor-faktor pokok
yaitu65
:
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum;
4. Faktor masyarakat atau adresat hukum; yakni lingkungan dimana
hukum berlaku atau diterapkan
5. Faktor budaya yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya karena
merupakan esensi dari penegakan hukum.
Menurut Radbruch:66
Hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealis
atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu :
a. Keadilan
b. Kemanfaatan/kegunaan
c. Kepastian hukum.
65
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologis Hukum, Cetakan XIV, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, hal. 8-9 66
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Jakarta,
Gramedia, 2002, hal. 9-10.
67
Sehingga nilai idealis atau nilai dasar dan dasar berlakunya hukum
atau Undang-Undang dapat digambarkan sebagai berikut:
Nilai-nilai dasar Berlakunya Hukum
Keadilan Filosofis
Kegunaan HUKUM Sosiologi
Kepastian Yuridis
Gambar 1 : Nilai Idealis atau Nilai dasar dan dasar berlakunya
hukum
Ketertiban yang tampak dari luar dalam didukung oleh lebih dari satu
macam tatanan. Keadaan yang oleh demikian itu memberikan
pengaruhnya tersendiri segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran
untuk menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang
yang didasarkan oleh pola hukum dan tatanan hukum. Bahwa masyarakat
kita sesungguhnya merupakan suatu rimba tatanan karena di dalamnya
tidak hanya terdapat satu macam tatanan. Sifat majemuk ini dilukiskan
oleh Chambliss dan Siedman dalam Satjipto Rahardjo, dengan “Teori
Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat”.
68
Faktor yang turut memberikan respon yang diberikan oleh pemegang
peran dalam mengimplementasikan peraturan adalah sebagai berikut:
a. Saksi-saksi yang terdapat di dalamnya
b. Aktivitas lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana hukum;
c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri
pemegang peran.
Selain itu, Satjipto Rahardjo.67
Olehnya, bagan itu diuraikan dalam
dalil sebagai berikut:
a) Setiap peraturan hukum memberikan tentang bagaimana seorang
pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak.
b) Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai
suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-
peraturan yang ditujukan kepadanya, saksi-saksinya, aktivitas dari
lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan
sosial, politik dan lainnya.
c) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-
peraturan yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksi, keseluruhan
kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang
mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari
pemegang peranan.
67
Ibid, hal. 48.
69
d) Bagaimana para pembuat Undang-Undang itu akan bertindak
merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku
sanksi-sanksinya keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial,
politik, ideologi, dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta
umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta
birokrasi.
e) Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan hukum, C.G.Howward
dalam Soetjipto Rahardjo, yaitu:
1. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum itu dilihat
atau disidik.
2. Siapakah yang bertanggungjawab menegakkan hukum yang
bersangkutan.
f) Syarat-syarat yang menentukan kemungkinan hukum menjadi efektif
adalah:
1. Undang-Undang dirancang dengan baik, kaidahnya jelas;
2. Undang-Undang sebaiknya bersifat melarang; (Pro Hibitur) dan
bukan mengharuskan/memperbolehkan (mandatur)
3. Sanksi haruslah tetap dan sesuai tujuan/sifat Undang-Undang itu.
4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (Sebanding) dengan macam
pelanggarannya.
5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah)
70
g) Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral.
h) Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik,
menyebarluaskan Undang-Undang, penafsiran seragam-seragam, dan
konsisten.
i) Agar hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga
masyarakat, maka hukum tadi harus disebarkan seluas mungkin
sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi
tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta
pelembagaan hukum. Komunitas hukum tersebut, dapat dilakukan
secara formil, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan
dengan resmi akan tetapi disamping itu, maka ada juga tata cara
informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu
batas di dalam penggunaan hukum. Sebagai saran pengubah dan
pengatur perilaku. Ini semuanya termasuk apa yang dinamakan difusi,
yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam
masyarakat bersangkutan. Proses difusi antara lain dapat
mempengaruhi oleh:
a) Pengakuan bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam
hal ini hukum) mempunyai kegunaan.
b) Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang
mungkin merupakan pengaruh negatif atau positif
71
c) sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan
ditolak oleh masyarakat, karena berlawanan dengan fungsi unsur
lama.
d) Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebar luaskan
hukum, mempengaruhi efektivitas hukum di dalam merubah serta
mengatur.
F. Teori Implementasi Hukum
a. Implementasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi berarti :68
a) Pelaksanaan yaitu Pelaksanaan merupakan kegiatan yang
dilaksanakan oleh suatu badan atau wadah secara berencana,
teratur dan terarah guna mencapai tujuan yang diharapkan.
b) Penerapan, Kamus Blacks’s Law merumuskan secara pendek
bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide
the means for carrying out (menimbulkan dampak/ akibat
terhadap sesuatu). Kalau pandangan ini diikuti, maka
implementasi kebijakan keputusan dapat dipandang sebagai
suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya
dalam bentuk Undang-Undang , peraturan pemerintah,
keputusan peradilan, pemerintah eksekutif atau dekrit
presiden).
68
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, Jakarta, hlm. 319
72
Teori Implementasi yang dipergunakan adalah teori
Implementasi Hans Kelsen. Salah satu ciri yang menonjol pada
teori Kelsen adalah paksaan. Kelsen berpendapat bahwa norma-
norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi. Norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm).
Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari
suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan
semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang
paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh
Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).
Dalam hubungannya dengan penulisan ini, implementasi diberi
batasan: berlakunya suatu hukum atau peraturan perundang-undangan
di dalam Masyarakat.
Lebih lanjut di jelaskan bahwa proses Implementasi adalah
keputusan dasar biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat
pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang
penting atau keputusan Badan peradilan. Pada umumnya keputusan
tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan
73
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran Yang ingin di capai, dan
berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses
implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui beberapa
tahapan tertentu, yang biasanya diawali dengan kebijakan bentuk
pelaksanaan keputusan oleh badan pelaksananya.
Memperhatikan pendapat tersebut diatas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah suatu proses yang
melibatkan sejumlah sumber sumber di dalamnya termasuk manusia,
dana, kemampuan organisional, baik oleh pemerintah maupun oleh
swasta (individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan).
Sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan yang
memperhitungkan baik keputusan yang fundamental maupun
keputusan yang inkramental yang memberikan arahan dasar dan
proses-proses pembuatan kebijaksanaan dan inkramental yang
melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan itu tercapai.69
b. Hukum
Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang
mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi
tertentu terhadap setiap pentimpangan terhadapnya.70
69
Ibid, hlm. 193 70
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Priss, 2006,
Jakarta, hlm. 3
74
Lebih lanjut, hukum di bagi menjadi 4 (empat) kelompok
pengertian hukum; Pertama, Hukum yang dibuat oleh Institusi
kenegaraan, dapat kita sebut Hukum Negara. Misalnya Undang-
Undang dan Yurisprudensi; Kedua, hukum yang dibuat oleh dinamika
kehidupan masyarakat atau yang berkembang dalam kesadaran hukum
dan budaya hukum, seperti: hukum adat; Ketiga, Hukum yang dibuat
atau terbentuk sebagai bagian dari perkembangan pemikiran di dunia
ilmu hukum, biasanya disebut doktrin, Misalnya Teori Hukum Fiqh
Mazhab Syafi’I yang diberlakukan sebagai hukum bagi umat Islam di
Indonesia; Terakhir atau Keempat, Hukum yang berkembang dalam
praktek dunia usaha dan melibatkan peranan para professional di
bidang hukum, dapat kita sebut praktek, Misalnya perkembangan
praktek hukum kontrak perdagangan.71
Berbicara Implementasi Hukum berarti berbicara mengenai
pelaksanaan hukum itu sendiri dimana hukum diciptakan untuk
dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum, apabila
tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu melibatkan
manusia dan tingkah lakunya. Terkait dengan pelaksanaan atau
implementasi hukum ketenagakerjaan menurut Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dapat dilihat dalam
penerapan sanksi atau pemberian upah/pesangon atau uang
penghargaan masa kerja dan atau uang ganti rugi bagi pekerja yang
71
Ibid, hlm. 4
75
telah dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan.
Pencerminan Pasal demi Pasal dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut menjadi bukti
penerapan atau pelaksanaan suatu kebijakan atau aturan hukum.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, maka ada 2 (dua) pilihan langkah yang ada, yaitu
langsung mengimplementasikan dalam bentuk program–program atau
melalui formulasi kebijakan Derivate atau turunan dari kebijakan
tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau
peraturan daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan
publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan.
Kebijakan.
G. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain :
a. Penelitian Tesis Yamitema T.J. Laoly, 2008 : Perlindungan Hukum
Terhadap buruh yang di Dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang meneliti tentang Hak
Pekerja Buruh PT. Panen Lestari Internusa yang terkena Pemutusan
Hubungan Kerja.
b. Penelitian Tesis Annisa Sativa, 200b. Program Pasca Sarjana
Universitas Sumatetra Utara dengan Judul Peranan Pengadilan
76
Hubungan Industrial dalam memberikan Kepastian Hukum terhadap
perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan)..
Fokus Penelitiannya tentang Apakah yang menjadi faktor faktor
Penyebab terjadinya PHK, Bagaimana kompensasi yang diberikan
terhadap pekerja/buruh yang di PHK berdasarkan putusan hakim PHI
serta bagaimana peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian
hukum terhadap kasus-kasus PHK.
c. Penelitian Tesis Eko Ibnu Fattah, 2014, Program Pascasarjana
Universitas Airlangga , Surabaya dengan judul Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK karena Usia Pensiun dan Kompensasinya. Fokus
penelitian yang dilakukan tentang Kompensasi yang diberikan
sehubungan dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena
Usia Pensiun.
Perbedaan dengan penelitian ini bahwa penelitian ini memfokuskan
pada Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Perusahan di
Gorontalo, apakah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
mengenai ketenagakerjaan, Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja yang
mengalami Pemutusan Hubungan Kerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tentang ketenagakerjaan.
77
H. Kerangka Pemikiran
Gambar 2
Kerangka Pemikiran
Teori Bekerjanya Hukum
Keterangan :
Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat
kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu:
“Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila
peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang
mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kepmenakertrans) Nomor Kep-
150/MEN/2000
4) Kepemenakertrans Nomor Kep-78/MEN/2001
Implementasi Kebijakan Pemerintah
Teori Bekerjanya Hukum
Perusahaan
Pemutusan Hubungan Kerja
Oleh Perusahaan
Alasan PHK Prosedur PHK
Pemberian
Kompensasi
Ada tidaknya perlindungan hukum
terhadap tenaga kerja PHK
Premis Konklusi
(Premis Kesimpulan)
78
undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yurudis saja, tetapi diukur
secara sosiologis dan filosofis.”72
“Intervensi pemerintah dalam bidang perburuhan/ ketenagakerjaan
dimaksudkan untuk tercapainya keadilan di bidang perburuhan/
ketenagakerjaan karena jika hubungan antara pekerja dengan pengusaha
diserahkan pada para pihak saja, maka pengusaha sebagai pihak yang kuat
akan menekan pekerja sebagai pihak yang lemah secara sosial ekonomi.“73
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha haruslah
memiliki alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para
pekerja/buruh dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia. Prosedur/cara PHK yang dilakukan
pengusaha pun harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan
terjadinya PHK, pekerja/buruh akan mendapatkan haknya, yaitu
konpensasi yang meliputi, uang pesangon, uang penghargaan masa kecil,
dan uang ganti kerugain.
Pemutusan hubungan kerja yang diteliti dalam penulisan hukum ini
adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi kota Gorontalo. Dari
peristiwa hukum yang terjadi di kota Gorontalo akan timbul akibat
hukumnya, yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja yang
mendapatkan PHK. Apakah alasan, prosedur dan kompensasi yang
72
Zainal Asikin, Op. Cit. hlm. 5 73
Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 5