BAB II
-
Upload
syukron-chalim-sardjono -
Category
Documents
-
view
23 -
download
1
Transcript of BAB II
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru dapat
dicegah dan dapat diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara di
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya (PDPI, 2011). Hal ini disebabkan karena terjadinya
inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi
dalam kurun waktu yang cukup lama. Gejala klinis PPOK adalah sesak
napas progresif, batuk kronik hilang timbul, batuk kronik berdahak dan
ada riwayat terpajan faktor resiko seperti asap rokok, debu, bahan kimia di
tempat kerja (GOLD, 2010; PDPI, 2011).
Hambatan aliran udara yang progresif pada PPOK disebabkan
karena gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi
bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada
setiap individu. Inflamasi kronik menyebabkan perubahan struktur dan
membatasi pada saluran napas kecil. Kerusakan pada parenkim paru juga
disebabkan karena proses inflamasi yang akhirnya menyebabkan
kehilangan dari bagian alveolar ke saluran napas kecil dan penurunan
elastic recoil pada paru. Hambatan aliran udara bisa diukur dengan
menggunakan spirometri untuk mengetahui dari fungsi paru-paru (GOLD,
2010; PDPI, 2011).
7
Gambar 2.1 Mekanisme Airflow Limitation pada PPOK
Dikutip dari GOLD 2010
1. Patogenesis PPOK
Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan
inflamasi di saluran napas dan paru, inflamasi saluran napas pasien
PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi normal akibat
iritasi kronik seperti asap rokok. Pada pasien PPOK yang tidak
mempunyai riwayat merokok, penyebab respon inflamasi yang terjadi
belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan
kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada
karakteristik perubahan patologis PPOK. Sel inflamasi PPOK ditandai
dengan pola tertentu yang melibatkan neutrofil, makrofag dan limfosit.
Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi (seperti sitokin proinflamasi
misalnya tumor necrosis factor –α (TNF–α), IL-1β dan IL-6
memperkuat proses inflamasi dan berkontribusi terhadap efek sistemik
PPOK) dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara
dan parenkim paru-paru, akhirnya terjadi perubahan patologi PPOK
(PDPI, 2011).
Inflammation
Small airway disease Parenchymal destructionAirway inflammation loss of alveolar attachmentsAirway remodelling decrease of elastic recoil
Airflow Limitation
8
Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting
dalam PPOK. Biomarker stres oksidatif (misalnya peroksida hidrogen,
8-isoprostan) meningkat dalam sputum, kondensat hembusan napas dan
sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut
meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok
dan partikulat yang dihirup dilepaskan dari sel-sel inflamasi (seperti
makrofag dan neutrofil) diaktifkan. Stres oksidatif memiliki beberapa
konsekuensi yang merugikan di paru,termasuk aktivasi gen inflamasi,
inaktivasi antiprotease, stimulasi sekresi mukus dan stimulasi eksudasi
plasma meningkat (PDPI, 2011).
Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease pada pasien
PPOK terjadi karena protease yang memecah komponen jaringan ikat
dan antiprotease yang melindunginya. Beberapa protease berasal dari
sel inflamasi dan sel epitel yang meningkat pada pasien PPOK.
Protease-mediated perusak elastin yang merupakan komponen jaringan
ikat utama parenkim paru adalah gambaran penting pada emfisema dan
bersifat ireversibel (PDPI, 2011).
9
Gambar 2.2 Patogenesis terjadinya PPOK
Dikutip dari PDPI 2011
Perubahan patologis akibat inflamasi terjadi karena peningkatan sel
inflamasi di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan
perubahan struktural akibat cedera dan perbaikan berulang. Perubahan
patologi pada PPOK seperti :
a) Proximal airway (trakea, bronchi > 2 mm internal diameter)
Sel inflamasi : ↑ makrofag, ↑ CD8+ (sitotoksik), limfosit T, sedikit
neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktur : ↑ sel goblet, pembesaran kelenjar submukosa
(mengarah ke hipersekresi mukus), metaplasia sel epitel skuamosa.
Asap rokok dan partikel bahaya
Inflamasi paru
Faktor Penjamu
Antioksidan
Proteinase
Antiproteinase
Stress oksidatif
Mekanisme perbaikan
Patologi PPOK
10
b) Peripheral airways (bronchioles < 2 mm internal
diameter)
Sel inflamasi : ↑ makrofag, ↑ limfosit T(CD8+ > CD 4+), ↑ limfosit
B, folikel limphoid, ↑ fibroblas, sedikit neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktur : penebalan dinding saluran napas, fibrosis
peribronchial, eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran
napas (bronkiolitis obstruktif) dan peningkatan respon inflamasi.
c) Lung parenchyma (respiratory bronchioles and alveoli)
Sel inflamasi : ↑ makrofag, ↑ CD8+ (cytotoxic), limfosit T
Perubahan struktur : destruksi dinding alveolar, kematian
(apoptosis) dari epitel dan endotel.
d) Pulmonary vasculature
Sel inflamasi : ↑ makrofag, ↑ limfosit T
Perubahan struktur : penebalan dari intima, disfungsi dari endotel
sel, penebalan otot polos sehingga menyebabkan hipertensi
pulmonal (GOLD, 2010).
2. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya gejala yang
khas, misalnya penurunan VEP1 yang disebabkan peradangan dan
penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang
menurun terjadi akibat kerusakan parenkim paru.
a. Keterbatasan aliran udara dan air trapping
Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen
saluran napas kecil berkorelasi dengan penurunan VEP1 dan rasio
11
VEP1/ KVP. Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada
PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara
terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi
mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan ( kelainan ini dikenal
sebagai hiperinflasi dinamis ), yang terlihat sebagai sesak napas
dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang
pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak
napas pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran
napas perifer mengurangi air trapping, sehingga mengurangi
volume residu dan gejala serta meningkatkan keterbatasan
kapasitas latihan.
b. Mekanisme pertukaran gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan
hipoksemia dan hiperkapnia yang terjadi karena beberapa
mekanisme. Secara umum, pertukaran gas memburuk selama
penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi
dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi ( VA/ Q ).
c. Hipersekresi
Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi
mucus melalui aktivasi reseptor faktor EGFR (Epidermal Growth
Factor Receptor) yang akan meningkatkan pertumbuhan sel dan
peningkatan proliferasi sel.
12
d. Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respon
inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK. Keadaan ini dapat
dipicu oleh infeksi bakteri, virus atau polusi lingkungan.
Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK
masih banyak yang belum diketahui. Pada eksaserbasi ringan dan
sedang terdapat peningkatan neutrofil, beberapa studi lainnya juga
menemukan eosinofil dalam sputum dan dinding saluran napas.
Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator
tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8 serta peningkatan
boimarker stress oksidatif.
Pada eksaserbasi berat masih banyak banyak yang belum jelas,
meskipun salah satu penelitian menunjukan peningkatan neutrofil
pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi kemokin.
Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan
terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi
sehingga terjadi peningkatan sesak napas. Terjadi juga perburukan
abnormalitas VA/ Q yang mengakibatkan hipoksemia berat
(PDPI, 2011).
13
3. Faktor resiko
Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2011,
asap rokok merupakan satu-satunya penyebab kausal terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya (PDPI, 2011). Faktor resiko
terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menurut GOLD
2010 :
a. Genetik
Faktor resiko genetik yang paling sering terjadinya PPOK
adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor
sirkulasi utama dari protease serin yang biasanya terjadi pada orang
asli eropa utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan
emfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi
baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alfa-1
antitripsin yang berat.
b. Terpapar partikel (Merokok, polusi lingkungan kerja, polusi udara
di dalam ruangan dan di luar ruangan)
Terpapar partikel terjadi karena seseorang mungkin terpapar
berbagai macam partikel selama hidupnya dan setiap partikel
mempunyai ukuran, komposisi dan mungkin beratnya yang
menjadikan faktor resiko terjadinya PPOK.
Merokok merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh
terjadinya gangguan fungsi pernapasan dan tidak normalnya fungsi
paru yang salah satunya bisa mengakibatkan terjadinya PPOK lebih
14
tinggi dibandingkan bukan perokok. Faktor resiko merokok untuk
terjadinya PPOK tergantung pada dosis rokok yang dihisap, usia
saat pertama kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap tiap
pertahun dan derajat merokok (Indeks Brinkman). Perokok pasif
atau Environmental Tobacco Smoke (ETS) juga memiliki resiko
gangguan pernapasan dan PPOK dengan peningkatan jumlah
partikel dan gas yang dihirup dan terkumpul di paru.
c. Jenis kelamin
Hubungan antara Jenis kelamin dengan terjadinya PPOK
belum diketahui secara pasti tapi beberapa penelitian
mengemukakan bahwa prevalensi dan kematian tertingga akibat
PPOK lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
d. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi saluran napas disebabkan virus maupun bakteri juga
ikut berkontribusi dalam patogenesis dan progresifitas PPOK,
bakteri berkolonosasi dan mengakibatkan inflamasi saluran
pernapasan. Beberapa penelitian mengatakan bahwa infeksi saluran
napas berat pada masa anak-anak bisa mengakibatkan terjadinya
penurunan fungsi paru dan gangguan saluran pernapasan pada masa
dewasa.
e. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor resiko terjadinya PPOK
walaupun belum dapat disimpulkan. Pada laporan The Tucson
Epidemiological Study didapatkan bahwa orang dengan asma 12
15
kali lebih tinggi risiko terkena PPOK daripada bukan asma
meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari asma
akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukan obstruksi jalan
napas yang ireversibel.
f. Status sosial ekonomi dan nutrisi
Hubungan antara status ekonomi dan nutrisi tidak begitu jelas,
tetapi terpapar polusi udara di dalam ruangan, di luar ruangan,
lingkungan padat, rendah nutrisi dan lainnya berhubungan dengan
kondisi status ekonomi yang rendah. Selain itu malnutrisi dan
penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan
otot respirasi karena penurunan massa otot dan kekuatan serabut
otot (GOLD, 2010).
4. Diagnosis PPOK
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan
gejala ringan hingga berat. Diagnosis PPOK dilakukan dengan
pemeriksaan spirometri dan jika salah satu indikator di bawah ini
terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun (PDPI, 2011), yaitu:
1) Sesak napas :
a) Progresif (bertambah berat seiring berjalannya waktu)
b) Bertambah berat dengan adanya aktifitas
c) Persisten (terjadi setiap hari)
d) Didefinisikan pasien sebagai “butuh usaha lebih untuk bernapas”,
“berat”, “sulit bernapas”, “terengah-engah”.
16
2) Batuk kronik (dapat terjadi hilang timbul dan mungkin tidak
berdahak)
3) Batuk kronik berdahak (semua batuk kronik berdahak dapat
mengarah pada indikasi PPOK)
4) Riwayat terpapar faktor resiko seperti asap rokok, debu, bahan kimia
di tempat kerja
Gambaran klinis pada pada PPOK :
1. Anamnesis
a) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
b) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna ditempat kerja
c) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d) Terdapat faktor predisposisi seperti infeksi saluran napas
berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
e) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a) Inspeksi
1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu
dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik
17
2) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
3) Penggunaan otot bantu napas
4) Hipertrofi otot bantu napas
5) Pelebaran sela iga
6) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
7) Penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada emfisema
yaitu pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan Pursed-
lips breathing) atau blue bloater (gambaran khas pada bronkitis
kronik yaitu pasien gemuk, sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru)
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah dan sela iga melebar
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor, batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah dan hepar terdorong ke bawah
d) Auskultasi
1) Suara napas vesikuler normal atau melemah
2) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
3) Ekspirasi memanjang
4) Bunyi jantung terdengar jauh
18
Penegakkan diagnosis lanjut diperlihatkan melalui gambaran klinis
dan uji fungsi faal paru yaitu menggunakan :
a) Spirometri
Spiromertri merupakan standar uji faal paru untuk menilai
keterbatasan aliran udara pada saluran napas (Bianchi, 2004).
Spirometri dapat menilai Kapasitas Vital Paru (KVP) adalah
jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal secara paksa setelah
inspirasi maksimal, Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1)
adalah jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal secara paksa
pada detik pertama dan rasio VEP1/KVP. Terjadinya obstruksi jika
VEP1 prediksi < 80% dan VEP1% (VEP1/KVP) < 75%. VEP1%
merupakan parameter yang paling umum untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit (PDPI, 2011).
b) Uji bronkodilator
Uji bronkodilator dilakukan dengan menggunakan spirometri
atau menggunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator
inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP1/APE (Arus Puncak Ekspirasi). Pada PPOK
terdapat perubahan nilai VEP1/APE < 20% dan < 200ml dari nilai
awal. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil (PDPI, 2011).
19
5. Klasifikasi
Menurut Global Initiative for Chronic Obstrictive Lung Disease
(GOLD) tahun 2010 membagi derajat PPOK sebagai berikut :
Tabel 2.1 Derajat PPOK
Derajat Gejala Klinis Faal paru
Derajat I Gejala batuk kronik dan
produksi sputum ada tetapi
tidak sering. Pada derajat ini
pasien sering tidak menyadari
bahwa faal paru mulai menurun
VEP1/KVP < 0,70;
VEP1 ≥ 80% prediksi
Derajat II Gejala sesak mulai dirasakan
saat aktivitas dan kadang
ditemukan gejala batuk dan
produksi sputum. Pada derajat
ini pasien mulai memeriksakan
kesehatannya
VEP1/KVP < 0,70;
50% ≤ VEP1 < 80%
prediksi
Derajat III Gejala sesak lebih berat,
penurunan aktivitas, rasa lelah
dan serangan eksaserbasi
semakin sering dan berdampak
pada kualitas hidup pasien
VEP1/KVP < 0,70;
30% ≤ VEP1 < 50%
prediksi
Derajat IV Gejala di atas ditambah tanda-
tanda gagal napas atau gagal
jantung kanan dan
ketergantungan oksigen. Pada
derajat ini kualitas hidup pasien
memburuk dan jika eksaserbasi
dapat mengancam jiwa
VEP1/KVP < 0,70;
VEP1 < 30% prediksi
dan terlihat gagal
napas kronik
(Dikutip dari GOLD 2010)
20
B. Merokok
Merokok adalah suatu kebiasaan yang merugikan bagi kesehatan
karena merupakan suatu proses pembakaran massal tembakau yang
menimbulkan polusi udara dan terkonsentrasi, yang secara sadar langsung
dihirup dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang,
2002). Merokok merupakan suatu kebiasaan yang dapat memberikan
kenikmatan semu bagi si perokok, tetapi dilain pihak menimbulkan
dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun bagi orang-orang di
sekitarnya (Syahdrajad, 2007).
Rokok adalah gulungan tembakau, kira-kira sebesar kelingking yang
dibungkus daun nipah, kertas dan sebagainya (Departemen Pendidikan
Nasional, 2008). Rokok merupakan produk utama dari hasil pengolahan
tembakau yang diramu dan dibentuk secara khusus dari berbagai jenis dan
mutu tembakau. Teknik pencampuran, pengolahan, dan pemberian bahan
tembakau juga bervariasi (Situmeang, 2002). Menurut status merokok
seseorang dapat dikelompokkan dalam kelompok bukan perokok, perokok
dan bekas perokok. Bukan perokok adalah orang yang tidak pernah
merokok atau merokok kurang dari 100 sigaret selama hidupnya. Perokok
adalah orang yang merokok lebih dari 100 sigaret sepanjang hidupnya dan
saat ini masih merokok atau telah berhenti merokok kurang dari satu
tahun. Bekas perokok adalah orang yang merokok lebih dari 100 sigaret
sepanjang hidupnya dan telah berhenti merokok lebih dari satu tahun
(Kang et al., 2003).
21
1. Bahan-bahan yang terkandung dalam rokok
Komposisi kimia dan asap rokok tergantung pada jenis tembakau,
desain rokok (seperti ada tidaknya filter atau bahan tambahan), dan
pola merokok individu (Syahdrajat, 2007). Asap rokok merupakan
aerosol heterogen yang dihasilkan oleh pembakaran tembakau kurang
sempurna. Terdiri dari gas dan uap yang berkondensasi dan tersebar
dalam mulut (Aditama, 2006). Asap yang dihirup mengandung
komponen gas dan partikel. Komponen gas yakni CO, CO2, O2,
hidrogen sianida, amoniak, nitrogen,senyawa hidrokarbon. Sebagian
besar fase gas adalah CO2, O2, dan nitroen. Komponen partikel antara
lain tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan kadmium (Syahdrajat, 2007).
a) Tar merupakan PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbons). Tar
adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang
merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan
menempel pada paru. Kadar Tar dalam rokok antara 0,5-35
mg/batang (Suheni, 2007).
b) Nikotin adalah zat adiktif yang membuat seseorang menjadi
ketagihan untuk bisa selalu merokok. Nikotin merupakan partikel
padat yang mudah diserap oleh selaput lendir mulut, hidung dan
jaringan paru (Antaruddin, 2003). Kandungan nikotin dalam rokok
sigaret menghasilkan 1,2-2,9 mg nikotin dan merokok sebungkus
rokok per hari berarti menyerap 20-40 mg nikotin setiap hari.
Nikotin mengaktivasi reseptor asetilkolin nikotinik yang memicu
22
pelepasan dopamin. Nikotin menimbulkan habituasi atau
ketrgantungan psikis sehingga sulit untuk berhenti merokok.
Nikotin merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi
denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung dan
menginduksi vasokontriksi perifer (Syahdrajat, 2007).
c) Karbon monoksida (CO) dalam asap rokok dapat mengurangi daya
angkut O2 darah sebesar 15%, meskipun persentase CO rendah
tetapi menaikkan tekanan darah secara bermakna yang akan
berpengaruh pada sistem pertukaran Hb. Karbon monoksida
menurunkan kapasitas latihan fisik, meningkatkan viskositas darah
sehingga mempermudah penggumpalan darah (Syahdrajat, 2007).
Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh
kuantitas rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok antara lain
usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya hisapan dan lain-lain.
Pajanan asap rokok menyebabkan kelainan pada mukosa saluran
napas, kapasitas ventilasi maupun fungsi sawar alveolar/ kapiler
(Aditama, 2006).
2. Jenis-jenis Rokok
Rokok terdiri dari dua jenis, yaitu rokok berfilter dan tidak
berfilter atau disebut juga rokok kretek. Filter rokok terbuat dari bahan
busa serabut sintetis yang berguna untuk menyaring nikotin dan tar
(Sukmana, 2007).
23
3. Derajat Merokok
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2011
derajat merokok seseorang dapat diukur dengan Indeks Brinkman,
dimana perkalian antara jumlah batang rokok yang dihisap dalam
sehari dikalikan dengan lama merokok dalam tahun, akan
menghasilkan pengelompokan sebagai berikut :
1) Perokok ringan : 0 - 199 batang
2) Perokok sedang : 200 – 599 batang
3) Perokok berat : lebih dari 600 batang (PDPI, 2011).
4. Derajat hisapan merokok
1) Berat (menghisap dalam) : cara menghisap rokok yang dibakar dan
dirasakan sampai masuk ke saluran napas bawah.
2) Ringan (menghisap dangkal) : cara menghisap rokok yang dibakar
dan hanya dirasakan di mulut saja kemudian dikeluarkan
(Situmeang, 2002).
C. Hubungan antara merokok dengan kejadian PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru dapat
dicegah dan dapat diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara di
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya. Hal ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik
akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu
yang cukup lama (PDPI, 2011).
24
Faktor risiko yang dapat meningkatkan peluang terjadinya PPOK
seperti kebiasaan merokok, polusi udara, jenis kelamin, genetik, infeksi
saluran napas dan status ekonomi. Diyakini bahwa merokok merupakan
faktor yang paling berkontribusi terhadap berkembangnya PPOK. Separuh
dari semua orang yang merokok berpeluang terjadi kerusakan/ obstruksi
saluran napas dan 10-20 persen nya berkembang secara signifikan menjadi
PPOK (Devereux, 2006). Sumber lain menambahkan bahwa seseorang
yang merokok dalam kurun waktu 20-25 tahun berpeluang terkena PPOK
(Teramoto, 2007).
Rokok dapat menyebabkan kerusakan saluran pernapasan karena di
dalam asap rokok terdapat ribuan radikal bebas dan bahan-bahan iritan
yang merugikan kesehatan. Bahan iritan tersebut masuk saluran
pernapasan selanjutnya menempel pada silia (rambut getar) yang selalu
berlendir. Di samping itu bahan iritan tersebut mampu membakar silia
sehingga lambat laun terjadi penumpukan bahan iritan yang dapat
mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi mukus makin bertambah
banyak dan kondisi ini sangat kondusif untuk tumbuh kuman. Apabila
kondisi tersebut berlanjut maka akan terjadi radang dan penyempitan
saluran napas serta berkurangnya elastisitas (Archavi and Benowitz, 2004).
Besar kecilnya intensitas dan waktu paparan bahan-bahan iritan dalam
asap rokok akan berpengaruh terhadap kondisi saluran pernapasan.
Semakin besar intensitas, dosis, serta waktu paparan, akan mempercepat
terjadinya kerusakan atau ketidaknormalan pada saluran pernapasan.
Dengan kata lain bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko
25
terjadinya kelainan pada saluran napas, antara lain berupa penyempitan
yang dalam hal ini dikaitkan dengan kejadian PPOK (Devereux, 2006).
Menurut American Lung Association (ALA) tahun 2011, Merokok
adalah penyebab utama dari PPOK. Racun-racun dalam asap rokok dapat
melemahkan pertahanan paru terhadap infeksi, menyebabkan saluran udara
menjadi sempit. Sekitar 80-90% dari semua PPOK disebabkan oleh
merokok. pengobatan yang paling efektif untuk PPOK adalah berhenti
merokok (ALA, 2011). Hubungan merokok dengan gangguan kesehatan/
penyakit merupakan hubungan dose response, lebih lama kebiasaan
merokok dijalani, lebih banyak batang rokok setiap harinya, lebih dalam
menghisap asap rokoknya, maka lebih tinggi risiko untuk mendapatkan
penyakit akibat merokok. PPOK berkembang pada hampir 15% perokok.
Umur pertama kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam
setahun, serta status perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK.
Individu yang merokok mengalami penurunan pada VEP1 dimana kira-kira
hampir 90% perokok berisiko menderita PPOK (Mosenifar, 2011).
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2011,
merokok merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh terjadinya
gangguan fungsi pernapasan dan tidak normalnya fungsi paru yang salah
satunya bisa mengakibatkan terjadinya PPOK lebih tinggi dibandingkan
bukan perokok. Faktor resiko merokok untuk terjadinya PPOK tergantung
pada dosis rokok yang dihisap, usia saat pertama kali merokok, jumlah
batang rokok yang dihisap tiap pertahun dan derajat merokok dengan
menggunakan Indeks Brinkman (PDPI, 2011). Menurut Keputusan
26
Menteri Kesehatan Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008, Merokok
mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi pernapasan dan tidak
normalnya fungsi paru yang salah satunya bisa mengakibatkan terjadinya
PPOK. Merokok untuk terjadinya PPOK tergantung pada dosis merokok,
umur saat pertama kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap tiap
tahun (SK MENKES, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh dr.FX. Joko Prasojo tahun
2004 di RS Dr. Kariadi Semarang, kejadian PPOK lebih banyak ditemukan
pada perokok dengan Indeks Brinkman berat sebanyak 47,8 % sedangkan
Indeks Brinkman sedang sebanyak 37,9 % dan Indeks Brinkman ringan
sebanyak 14,3 % dari 81 sampel penelitian yang dilakukan (Joko, 2004).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Yuanita tahun 2009 di Rumah
Sakit Paru Batu Malang, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara
kebiasaan merokok dan kejadian PPOK dari 54 sampel penelitian
menunjukkan 77,8% pasien mempunyai kebiasaan merokok, dimana
46.3% tergolong mempunyai kebiasaan merokok dalam derajat 2 (sedang)
bahkan 59.3% telah mempunyai kebiasaan merokok selama lebih dari 20
tahun (Yuanita, 2009). Penelitian yang telah dilakukan oleh Prabaningtyas
tahun 2010 di RSUD Dr.Moewardi Surakarta, didapatkan bahwa terdapat
hubungan antara derajat merokok dengan PPOK. Penderita PPOK
mempunyai riwayat merokok berat sebesar (73,10%) lebih besar dibanding
bukan PPOK (26,90%). Perokok berat mempunyai resiko terkena PPOK 3
lebih besar daripada perokok ringan maupun sedang (Prabaningtyas,
2010).
27
Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan
inflamasi di saluran napas dan paru, inflamasi saluran napas pasien PPOK
merupakan amplifikasi dari respon inflamasi normal akibat iritasi kronik
seperti asap rokok. Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat
merokok, penyebab respon inflamasi yang terjadi belum diketahui.
Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase.
Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis
PPOK. Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu yang melibatkan
neutrofil, makrofag dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi
(seperti sitokin proinflamasi misalnya tumor necrosis factor –α (TNF–α),
IL-1β dan IL-6 memperkuat proses inflamasi dan berkontribusi terhadap
efek sistemik PPOK) dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam
saluran udara dan parenkim paru-paru, akhirnya terjadi perubahan patologi
PPOK seperti :
1) Proximal airway (trakea, bronchi > 2 mm internal diameter)
Sel inflamasi : ↑ makrofag, ↑ CD8+ (cytotoxic), limfosit T, sedikit
neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktur : ↑ sel goblet, pembesaran kelenjar submukosa
(baik yang mengarah ke hipersekresi mukus), metaplasia skuamosa
epitel.
2) Peripheral airways (bronchioles < 2 mm internal diameter)
Sel inflamasi : ↑ makrofag, ↑ limfosit T(CD8+ > CD 4+), ↑ limfosit B,
folikel limphoid, ↑ fibroblas, sedikit neutrofil atau eosinofil.
28
Perubahan struktur : penebalan dinding saluran napas, fibrosis
peribronchial, eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran napas
(bronkiolitis obstruktif) dan peningkatan respon inflamasi.
3) Lung parenchyma (respiratory bronchioles and alveoli)
Sel inflamasi : ↑ makrofag, ↑ CD8+ (cytotoxic), limfosit T
Perubahan struktur : destruksi dinding alveolar, kematian dari epitel
dan endotel sel.
4) Pulmonary vasculature
Sel inflamasi : ↑ makrofag, ↑ limfosit T
Perubahan struktur : penebalan dari intima, disfungsi dari endotel sel,
peningkatan otot polos sehingga menyebabkan hipertensi pulmonal
(GOLD, 2010; PDPI, 2011).
29
D. Kerangka Teori
Gambar 2.3 Kerangka Teori
E. Kerangka Konsep
Gambar 2.4 Kerangka Konsep
F. Hipotesis
Jumlah rokokLama merokok
Perokok
Derajat merokok
Asap rokok(inhhalasi gas dan partikel berbahaya)
Hambatan aliran udara
Host(Umur, Jenis
kelamin, Genetik, Imunitas)
Eksposure(Polusi udara, Status
sosial ekonomi, Pekerjaan)
Faktor lain(Infeksi saluran napas bawah berulang, Asma)
PPOK
Derajat Merokok PPOK
30
Terdapat hubungan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK