BAB II

13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci Sebagai Hewan Percobaan Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari serta mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium (Sevendsen dan Hau 1994). Para ahli sering menggunakan hewan yang memiliki karakteristik kebutuhan biologi untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian tersebut. Umumnya hewan yang digunakan dalam penelitian adalah rodensia dan kelinci. Jenis hewan lain yang dapat digunakan untuk penelitian ialah reptil, amfibi, ikan, ayam, babi, kambing, anjing, kucing, dan monyet (Bride 1997). Menurut Smith dan Mangunwijoyo (1998), hewan percobaan adalah hewan yang digunakan dalam penelitian biologis maupun biomedis atau jenis hewan yang dipelihara secara intensif di laboratorium. Sebagai hewan percobaan, hewan laboratorium harus memiliki persyaratan-persyaratan, antara lain (1) mudah diperoleh dengan jumlah yang memadai; (2) mudah dipelihara, diproduksi dan ditangani; (3) mudah diamati/dimonitor; (4) memberikan responss fisiopatologi yang cenderung sama; (5) tersedia cukup informasi tentang positif dan negatifnya hewan tersebut menjadi model; (6) tidak tergantikan dengan model non-hewan seperti simulasi komputer ataupun oleh studio in-vitro. Kelinci merupakan satu diantara mamalia yang bermanfaat. Kelinci biasanya dimanfaatkan untuk produksi daging, hewan percobaan, dan hewan peliharaan. Jenis kelinci untuk beberapa tujuan berbeda-beda (Curnin dan Bassert 1985). Banyak jenis kelinci yang tersedia, satu diantara yang umum dipakai di laboratorium adalah New Zealand White (Wolfensohn dan Iloyd 1988). Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dipelihara sekarang berasal dari kelinci liar di Eropa. Kelinci yang dipelihara di Indonesia sebagian besar adalah keturunan kelinci yang dibawa dari Belanda dan termasuk jenis kelinci kecil dengan bobot badan kurang dari 2 kg. Jenis inilah yang sering digunakan sebagai hewan percobaan. Selain kelinci kecil terdapat juga kelinci yang lebih besar (± 5 kg) yang sengaja diimpor dari Eropa, Selandia Baru, Australia, dan Amerika

description

Metodologi Farmakologi

Transcript of BAB II

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelinci Sebagai Hewan Percobaan

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja

dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari

serta mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau

pengamatan laboratorium (Sevendsen dan Hau 1994). Para ahli sering

menggunakan hewan yang memiliki karakteristik kebutuhan biologi untuk

menjawab pertanyaan dalam penelitian tersebut. Umumnya hewan yang

digunakan dalam penelitian adalah rodensia dan kelinci. Jenis hewan lain yang

dapat digunakan untuk penelitian ialah reptil, amfibi, ikan, ayam, babi, kambing,

anjing, kucing, dan monyet (Bride 1997).

Menurut Smith dan Mangunwijoyo (1998), hewan percobaan adalah

hewan yang digunakan dalam penelitian biologis maupun biomedis atau jenis

hewan yang dipelihara secara intensif di laboratorium. Sebagai hewan percobaan,

hewan laboratorium harus memiliki persyaratan-persyaratan, antara lain (1)

mudah diperoleh dengan jumlah yang memadai; (2) mudah dipelihara, diproduksi

dan ditangani; (3) mudah diamati/dimonitor; (4) memberikan responss

fisiopatologi yang cenderung sama; (5) tersedia cukup informasi tentang positif

dan negatifnya hewan tersebut menjadi model; (6) tidak tergantikan dengan model

non-hewan seperti simulasi komputer ataupun oleh studio in-vitro.

Kelinci merupakan satu diantara mamalia yang bermanfaat. Kelinci

biasanya dimanfaatkan untuk produksi daging, hewan percobaan, dan hewan

peliharaan. Jenis kelinci untuk beberapa tujuan berbeda-beda (Curnin dan Bassert

1985). Banyak jenis kelinci yang tersedia, satu diantara yang umum dipakai di

laboratorium adalah New Zealand White (Wolfensohn dan Iloyd 1988).

Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dipelihara sekarang berasal dari

kelinci liar di Eropa. Kelinci yang dipelihara di Indonesia sebagian besar adalah

keturunan kelinci yang dibawa dari Belanda dan termasuk jenis kelinci kecil

dengan bobot badan kurang dari 2 kg. Jenis inilah yang sering digunakan sebagai

hewan percobaan. Selain kelinci kecil terdapat juga kelinci yang lebih besar (± 5

kg) yang sengaja diimpor dari Eropa, Selandia Baru, Australia, dan Amerika

untuk tujuan produksi daging bagi konsumsi manusia. Hasil persilangan antara

kedua jenis kelinci tersebut sudah banyak dipelihara oleh petani dan biasanya

kelinci jenis besar digunakan untuk produksi antiserum, sedangkan kelinci jenis

kecil digunakan untuk uji-uji kualitatif (Malole dan Pramono 1989).

2.1.1. Taksonomi Kelinci

Secara umum taksonomi kelinci (Oryctolagus cuniculus) adalah sebagai

berikut (Sirosis 2005):

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Order : Lagomorpha

Family : Leporidae

Genus : Oryctolagus (rabbits), Lepos(hares), Octona(pikas),

Silvilagus (cottontails)

Species : cuniculus forma domestica (domestic rabbit), cuniculus

(wild rabbit)

2.1.2. Karakteristik Umum Kelinci

Selain karakteristik sepasang gigi seri atas, ada perbedaan yang

membedakan kelinci dari hewan rodensia lainnya. Tabel 1 merupakan ringkasan

data fisiologis yang unik dari kelinci (Sirosis 2005).

Bobot badan

Jantan dewasa 2-5 kg

Betina dewasa 2-6 kg

Bobot lahir 30-80 g

Pemeriksaan Klinis

Temperatur rektal 38.5OC (101.3

OF-104.

OF)

Jantung normal 180-250 kali/menit

Respirasi normal 30-60 kali/menit

Umur Pubertas dan kawin

Kematangan sexual (jantan) 22-52 minggu

(betina) 22-52 minggu

Kawin (Jantan) 60-72 bulan

(betina) 24-36 bulan

Gambar 1. Kelinci yang biasa digunakan sebagai hewan laboratorium

2.1.3. Temperatur Tubuh

Pengaturan keseimbangan temperatur didalam tubuh diakibatkan adanya

suatu reaksi yang berjalan cepat maupun lambat yang menyebabkan kenaikan

maupun penurunan temperatur tubuh. Temperatur tubuh bervariasi pada kerja

fisik dan pada temperatur lingkungan yang ekstrem (Guyton dan Hall 1997).

Berdasarkan hubungan antara temperatur tubuh dan lingkungan sekitar, hewan

dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni hewan berdarah dingin atau

poikilotermik dan hewan berdarah panas atau homeotermik (Sevendsen dan Carter

1993). Kelinci merupakan hewan mamalia sehingga merupakan hewan berdarah

panas atau homeothermic. Hewan homoiterm mempunyai variasi temperatur

normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan,

faktor panjang waktu siang dan malam dan faktor makanan yang dikonsumsi

(Swenson 1997).

Kelinci memiliki temperatur tubuh mulai 38,5 - 39,5 oC (O’Malley 2005).

Temperatur ini dipertahankan dengan cara pembakaran makanan di dalam

tubuhnya serta jika diperlukan kelinci bergerak agar tetap hangat dengan cara

menggigil. Cara lain untuk mempertahankan temperatur tubuh ialah dengan

menghilangkan panas dalam tubuh yang dapat dilakukan melalui empat metode,

yaitu evaporasi, konveksi, radiasi, dan konduksi (Fielding 1992). Temperatur

tubuh, diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan balik dan

hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan temperatur yang

terletak pada hipotalamus (Guyton dan Hall 1997). Kelinci sangat sensitif

terhadap panas, sehingga kandangnya harus bertemperatur 15-21 o

C karena

temperatur yang tinggi dapat menghalangi pemasukan air dan panting, yang

dapat mempercepat dehidrasi dan menjadi fatal (O’Malley 2005). Stress akibat

panas tidak akan terjadi jika temperatur dapat dipertahankan (Fielding 1992). Hal

ini dapat dilihat dari kebiasaan kelinci mencari tempat yang teduh untuk

beristirahat pada liang/galiannya atau berbaring untuk mengurangi luas area

permukaannya. Kelinci lebih suka berada dibawah tanah galiannya yang

kelembabannya normal, karena mereka sensitif terhadap kelembaban rendah

namun pada kelembaban yang tinggi tidak menjadi masalah baginya. Telinganya

yang panjang juga penting dalam menyebarkan panas, pendinginan telinga secara

langsung menyebabkan penurunan temperatur tubuh dan juga sebaliknya

( O'Malley 2005).

2.1.4. Sistem Kardiovaskuler

Sistem sirkulasi darah terdiri atas jantung, pembuluh darah, dan saluran

limfa. Jantung merupakan organ pemompa yang besar yang memelihara peredaran

melalui seluruh tubuh, pembuluh darah merupakan jalan lalu lintas lewatnya

darah, sedangkan saluran limfa berfungsi mengumpulkan, menyaring, dan

menyalurkan kembali ke dalam darah yang dikeluarkan melalui dinding kapiler

halus untuk membersihkan jaringan (Pearce 2006). Prinsip mendasar dari sirkulasi

adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengendalikan aliran darah lokalnya

sendiri sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Selanjutnya, karena kebutuhan

aliran darah berubah, aliran akan mengikuti perubahan tersebut (Guyton dan Hall

1997). Kekuatan darah masuk ke dalam aorta selama kontraksi tidak hanya

menggerakkan darah dalam pembuluh ke depan, tetapi juga menyusun suatu

gelombang tekanan yang berjalan sepanjang arteri. Gelombang tekanan

mendorong dinding arteri seperti ia berjalan dan pendorongnya teraba sebagai

jantung. Kelinci memiliki jantung yang bervariasi antara 180-250 denyut per

menit (O’Malley 2005). Kecepatan jantung dalam keadaan sehat berbeda-beda.

Hal ini dipengaruhi oleh makanan, umur dan emosi. Irama dan denyut sesuai

dengan siklus jantung (Pearce 2006).

2.1.5. Sistem Reproduksi

Reproduksi merupakan suatu proses yang kompleks, karena pengaturan

fungsinya tidak hanya dipengaruhi oleh organ reproduksi, tapi juga dipengaruhi

oleh hormon (Fielding 1992). Organ reproduksi dapat dibagi menjadi dua, yakni

organ eksterna dan organ interna. Organ eksterna ialah vulva dan organ interna

yang terletak didalam pelvis ialah uterus, dua ovarium dan tuba uterina

(Fallopian) (Pearce 2006). Siklus reproduksi pada kelinci berbeda dari hewan lain

(Dallas 2006). Siklus reproduksi pada semua jenis hewan dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Data siklus reproduksi (Dallas 2006).

Spesies Pubertas Oestrus Kehamilan

Anjing

Kucing

Kelinci

Marmot

Mencit

Hamster

Tikus

7-12 bulan

6-10 bulan

3 bulan

4-5 minggu

3-4 minggu

6-10 minggu

6 minggu

2 kali setahun

Setiap 21 hari

Ketika ovulasi

15-16 hari

4-5 hari

4 hari

4-5 hari

63-67 hari

63-65 hari

30-33 hari

60-72 hari

19-21 hari

15-22 hari

20-22 hari

Kelinci merupakan satu diantara hewan mamalia. Diketahui bahwa hewan

mamalia memiliki sistem reproduksi yang maju baik dalam mekanisme

pembuahan serta pemeliharaannya (Dallas 2006). Kelinci baru mengalami ovulasi

pada 9-13 jam sesudah dikawinkan (induced ovulator). Ovulasi merupakan

pematangan folikel De Graaf dan pengeluaran ovum (Pearce 2006). Kelinci

betina tidak memiliki siklus estrus, tetapi terdapat periode subur selama 4-17 hari

yang diselingi oleh masa tidak subur yang sangat singkat (1-2 hari), saat folikel-

folikel yang sudah atropi diganti dengan folikel-folikel yang baru. Masa subur

ditandai oleh vulva yang bengkak dan merah, serta kesediaan kelinci betina untuk

dikawini. Perubahan-perubahan pada vulva tersebut tidak konstan dan tidak

merupakan satu-satunya kriteria untuk menentukan masa kawin. Kelinci masih

bersedia kawin dalam masa bunting dan laktasi. Oleh karena itu kelinci betina

tidak boleh dicampur dengan kelinci jantan sesudah dikawinkan sampai anaknya

disapih. Puncak libido timbul kurang lebih pada hari ke 26 dan 39 sesudah

melahirkan. Kelinci betina jenis kecil (Indonesia, Belanda dan Polandia) mulai

dikawinkan pada umur 4-5 bulan, sedangkan kelinci jenis sedang (yang berasal

dari New Zealand dan California) pada umur 5-6 bulan dan kelinci jenis besar

(yang berasal dari Flemish dan Checkered) pada umur 6-7 bulan. Kelinci betina

mencapai dewasa kelamin lebih awal daripada kelinci jantan yang baru mencapai

dewasa kelamin pada umur 6-7 bulan (Malole dan Pramono 1989). Semua proses

ini dikontrol oleh banyak substansi yang disebut hormon yang diproduksi didalam

kelenjar endokrin didalam tubuh serta organ tubuh (Fielding 1992). Fielding

(1992) menambahkan bahwa hormon reproduksi yang utama, tempat produksi dan

target organ pada kelinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hormon reproduksi yang utama pada kelinci, tempat produksi dan target

organ (Fielding 1992)

Hormon Tempat Produksi Target Organ

Follicle Stimulating

Hormone (FSH)

Luteinising hormone (LH)

Prolaktin

Oxytocin

Oestrogen

Progesteron

Kelenjar pituitari

Kelenjar pituitari

Kelenjar pituitari,

Jaringan fetal kelenjar pituitari

Ovari

Ovari (corpora lutea)

Testis

Ovari atau Testis

Ovari atau Testis

Uterus dan jaringan mamari

Uterus dan jaringan mamari

Uterus dan jaringan mamari

Uterus dan jaringan mamari

Uterus dan jaringan mamari

2.1.6. Sistem Pernapasan

Tujuan pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan

membuang karbondioksida (Guyton dan Hall 1997). Menurut Cunningham

(2002), sistem pernapasan dengan tujuan menyediakan oksigen untuk mendukung

metabolisme jaringan dan membuang karbondioksida.

Kelinci memiliki sensor pada setiap nostril sehingga membuat mereka

sensitif terhadap sentuhan di daerah tersebut. Terdapat 20-25 tactil vibrissae yang

terdapat pada bibir atas. Nostril pada kelinci twitching 20-25 twitches/menit ketika

dalam posisi tenang atau istirahat. Os. turbinatio pada kelinci memiliki organ

vemeronasal dan epitel olfaktori yang membuat penciuman mereka menjadi

tajam. Kelinci memiliki glotis yang kecil dan sering tertutup oleh lidah,

oropharynx yang datar serta laringospasmus sehingga akan sulit melakukan

intubasi. Kelinci memiliki thorax yang lebih kecil dibandingkan dengan abdomen

yang besar. Paru-paru kelinci terbagi menjadi tiga, yaitu cranial, tengah dan

caudal. Paru-paru cranial sebelah kiri lebih kecil dari yang kanan karena adanya

jantung. Kelinci memiliki pleura yang sangat tipis dan tidak memiliki septum

yang membatasi paru-paru menjadi lobulus. Kelinci memiliki frekuensi napas

antara 30-60 napas/menit. Pada saat istirahat, kelinci lebih banyak menggunakan

otot diafragma dan tidak menggunakan otot intercostalis (O’Malley 2005).

2.2. Temu Putih (Curcuma Zedoaria (Berg.)Roscoe)

Temu putih (Curcuma Zedoaria (Berg.)Roscoe) termasuk dalam suku

Zingiberaceae. Masyarakat umum lebih mengenal temu putih dengan sebutan

“kunyit putih” berserat. Masyarakat Jawa mengenal temu putih sebagai “koneng

bodas”

2.2.1. Karakteristik

Temu putih umumnya ditanam sebagai tanaman obat yang tumbuh liar

pada tempat-tempat terbuka yang tanahnya lembap. Tanaman ini mirip dengan

temulawak, namun dapat dibedakan dari rimpangnya. Temu putih ini banyak

ditemukan di Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Ambon,

hingga Irian serta dibudidayakan di India, Bangladesh, China, Madagaskar,

Filipina, dan Malaysia. Daunnya memiliki rasa seperti sereh sehingga bisa

digunakan sebagai bumbu. Tanaman Curcuma zedoaria (Berg.)Roscoe dapat

mencapai tinggi 2 meter. Satu diantara ciri khas dari spesies ini adalah adanya

warna ungu di sepanjang ibu tulang daun. Helaian daun berwarna hijau muda

sampai hijau tua dengan punggung daun berwarna pudar dan berkilat. Panjang

daun antara 31-75 cm dan lebar daun 7-20 cm (Syukur 2003).

Gambar 2. Tamanan Temu Putih

(Sumber: http://www.4.bp.blogspot.com)

Tangkai bunga langsung muncul dari bagian perakaran sebelum

munculnya daun dari permukaan tanah. Bunga steril berwarna merah muda dan

bagian ujung bunga berwarna lebih tua dengan tangkai berwarna hijau pada

permukaan tanah (Syukur 2003).

Rimpang induk berbentuk lanset-lonjong, sedangkan rimpang cabang yang

berupa akar menggembung pada bagian ujungnya membentuk umbi dengan kulit

rimpang berwarna putih. Antara satu rimpang dan rimpang lain cukup liat untuk

dipatahkan. Pada ujung-ujung akar terdapat bulatan-bulatan atau bintil-bintil yang

merupakan cadangan air (Gambar 3). Kulit rimpang berwarna putih. Apabila

diiris, daging rimpangnya berwarna putih kearah kuning muda dan rasanya pahit

(Syukur 2003).

Gambar 3. Rimpang tanaman temu putih yang sering digunakan dalam pengobatan.

Sumber: http://www.asyifaherbal.com)

Rimpangnya mengandung kurkuminoid (diarilheptanoid), minyak asiri,

polisakarida dan golongan lain. Kurkominoid yang telah diketahui meliputi

kurkumin, demektosikurkumin, bisdemetoksikurkumin dan 1,7-bis (4-

hidroksifenil)-1,4,6 – heptatrien-3-on. Minyak asiri berupa cairan kental kuning

emas yang mengandung monoterpen dan seskuiterpen. Berdasarkan tingkat

oksidasinya (Syukur 2003).

Tabel 3. Kandungan Senyawa Seskuiterpen dalam C. Zeodaria ( Syukur 2003)

No Golongan Senyawa

1 Bisabolan Ar-tumeron, ß-tumeron, Zingiberen, Detertrahidro-ar-tumeron

2 Elemen ß-elemen, Kurzerenon

3 Germakran Germakron, Kurdion, Neokurdion, Furanodien, Dehidrokurdion 13-

hidroksigermakron, Kurzeon

4 Eudesman Kurkolonal

5 Guaian Guaidiol, Aerugidiol, Kurkumenollso-kurkumenol, Kurkumenon,

Zedoarondion, Prokurkumenol, Epiprokurkumenol ,Zedoarol,

Zedoaren, Kurkumol

6 Spirolakton Kurkumanolid A, Kurkumanolid B

Monoterpen C. zeodaria terdiri atas monoterpen hidrokarbon 1-pinen, D-

kamfen, monoterpen alkohol, D-borneol, monoterpen keton, D-kamfor,

monoterpen oksida, dan sineol. Seskuiterpen dalam C. Zeodaria terdiri atas

berbagai golongan, seperti bisabolan, elemen, germakran, eudesman, guaian, dan

golongan, spirolakton (Tabel 3). Kandungan lainnya meliputi etil-p-

metoksisinamat, 3,7- dimettilin, dan 5-asam karboksilat. Simplisia adalah bagian

tanaman obat berupa daun, batang, akar, atau rimpang yang dikeringkan (Syukur

2003).

2.2.2. Sifat dan Khasiat

Rimpang temu putih rasanya sangat pahit, pedas, sifatnya

menghangatkan, berbau aromatik, dengan afinitas ke organ hati dan limpa. Temu

putih termasuk tanaman obat melancarkan sirkulasi dan menghilangkan nyeri.

Rimpang digunakan untuk pengobatan nyeri sewaktu haid, tidak datang

haid karena tersumbatnya aliran darah, pembersih darah setelah melahirkan,

memulihkan ganguan pencernaan makanan seperti rasa mual dan kembung karena

banyak gas, sakit perut, pembesaran hati (hepatomegali) dan limpa

(splenomegali), luka, memar, sakit gigi, radang tenggorok, batuk, serta

meningkatkan efektivitas pengobatan radiasi, dan kemoterapi pada penyakit

kanker (Dalimartha 2005).

2.3. Tumor

Kadang-kadang kita dapat menemukan jaringan, organ, atau bagian tubuh

yang lebih kecil atau lebih besar daripada normal. Keadaan ini dapat timbul

melalui dua macam cara, yaitu organ atau jaringan tersebut tidak pernah tumbuh

sampai keukuran normal, atau organ tersebut dapat mencapai ukuran normal dan

kemudian mengecil ( Price dan Wilson 2006).

Tumor atau neoplasma adalah pembengkakan didalam tubuh yang

disebabkan oleh perkembangbiakan sel-sel secara abnormal (Wijayakusuma

2006). Menurut Tjarta (1973) neoplasma ialah kumpulan sel abnormal yang

terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus menerus secara tidak terbatas, tidak

berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya, dan tidak berguna bagi tubuh. Seperti

diketahui, sel mempunyai dua tugas utama, yaitu melakukan fungsinya dan

memperbanyak diri (Tjarta 1973). Semua fungsi tersebut dikontrol secara ketat

pada kondisi normal (Price dan Wilson 2006). Bekerjanya suatu sel bergantung

pada aktivitas sitoplasma, sedangkan berkembang biak bergantung pada aktivitas

intinya. Terjadinya perubahan sifat pada sel sehingga sebagian besar energi

digunakan untuk berkembang biak menyebabkan terjadinya tumor (Tjarta 1973).

Berdasarkan jaringan asalnya, tumor dapat terbentuk dari jaringan epitel,

mesenkim (jaringan fibrosa, tulang, tulang rawan, dan pembuluh darah),

neuroektodermal, hemopoietik serta sel-sel limfoid, dan sel-sel kecambah

(Macfarlane et al 2000).

Tumor dapat bersifat jinak maupun ganas. Tumor yang bersifat jinak tidak

menyebar ke jaringan lain, sedangkan yang bersifat ganas disebut kanker

menyerang seluruh tubuh dan tidak terkendali serta berkembang dengan cepat

(Wijayakusuma 2006). Sel-sel tumor ganas yang berproliferasi mempunyai

kemampuan untuk melepaskan diri dari tumor induk (tumor primer) (Price dan

Wilson 2006). Sel-sel tersebut kemudian merusak dan menyerang jaringan tubuh

melalui aliran darah dan pembuluh getah bening sehingga dapat tumbuh dan

berkembang di tempat baru. Organ yang berpotensi terkena antara lain paru-paru,

mammari, sistem reproduksi (uterus, serviks, ovarium pada wanita serta prostat

pada pria), usus besar (kolon dan rektum), lambung, kulit, nasofaring, kelenjar

getah bening, hati, otak, darah dan rongga mulut (Wijayakusuma 2006). Tumor

primer paling sering berasal dari paru-paru dan mammari (Price dan Wilson

2006).

Tumor dirangsang oleh perubahan satu diantara banyak gen yang

mengatur pertumbuhan dan/atau pembedaan sel (mutasi dalam DNA sel). Mutasi

yang mengaktifkan onkogen atau menekan gen penahan tumor yang akhirnya

dapat menyebabkan tumor. Sel memiliki mekanisme yang memperbaiki DNA dan

mekanisme lainnya yang menyebabkan sel untuk menghancurkan dirinya melalui

apoptosis bila DNA rusak terlalu parah. Mutasi yang menahan gen untuk

mekanisme ini dapat juga menyebabkan kanker. Sebuah mutasi dalam satu

onkogen atau satu gen penahan tumor biasanya tidak cukup menyebabkan

terjadinya tumor (Hamdani 1999).

Tumor tenang adalah pertumbuhan yang disebabkan oleh perbanyakan sel

yang tidak semestinya terbatas dan tidak menyerang jaringan sekitarnya,

sebaliknya tumor ganas menyebar secara lokal dan mungkin bersifat metastasis,

yaitu dapat menyebar keseluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau sistem

limfe. Tumor ganas seperti itu sering disebut sebagai kanker. Tumor ganas dari sel

epitel dikenal sebagai karsinoma, yang berasal dari sel mesenkim disebut sarkoma

dan yang berasal dari lemak disebut linfoma jika berasal dari leukosit disebut

leukemia. Proses perkembangan tumor disebut dengan onkogenesis, alih kata

untuk tumorgenesis dan karsinogenesis. Berdasarkan histogenesisnya ada

karsinoma berasal dari duktus ( karsinoma ductus) dan berasal dari duktulus

terminal/ lobulus (karsinoma lobular). Berdasarkan topografinya dibagi menjadi

jenis invasif dan noninvasif (Hamdani 1999). Pembentukan tumor terjadi sebagai

proses bertahap majemuk. Tahap-tahap yang paling penting adalah inisiasi tumor

(dengan perubahan DNA), periode laten (dengan perubahan morfologi sel), dan

manifestasi tumor (dengan invasi dan metastase) (Schunack et al 1990).

Faktor risiko pemicu tumor dibagi menjadi dua, yakni faktor pemicu

genetis (keturunan) dan faktor lingkungan. Sebagian besar faktor pemicunya

adalah interaksi antara faktor lingkungan hidup dan lingkungan kerja yang disebut

sebagai zat karsinogenik. Karsinogen dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian

yakni karsinogen kimia (nikotin dan tar dari rokok, zat aditif (pengawet dan

pewarna) makanan, nitosamin, asbes, arsen, batu bara, merkuri, dan alkohol),

karsinogen fisika (sinar X, sinar ultraviolet, dan radiasi dari bom atom) serta

karsinogen biologi, seperti infeksi virus (papiloma dan herpes yang merupakan

satu diantara faktor risiko kanker serviks) dan jamur (misalnya jamur Aspergillus

flavus yang merupakan satu diantara penyebab kanker hati (Wijayakusuma 2006).

2.4. Methilnitrosourea (MNU)

Satu diantara penyebab penyakit kanker adalah serangan senyawa kimia

terhadap DNA. Senyawa kimia ini ada yang dalam keadaan fisiologiss dapat

membentuk senyawa intermediate yang langsung menyerang tempat-tempat kaya

elektron pada DNA, tetapi ada juga senyawa kimia yang teraktivasi justru karena

mengalami metabolisme normal didalam tubuh. Senyawa intermediate yang

terbentuk biasanya berupa ion karbanium atau ion nitronium yang bersifat sangat

elektrofilik. Senyawa ini tidak stabil dan segera menyerang DNA hingga terjadi

alkilasi dan memicu perkembangan tumor dan kanker. Alkylating agent yang

menyerang DNA ini akan menyebabkan kesalahan pasang (mistmatch) basa DNA,

sehingga pada waktu replikasi akan terjadi perubahan urutan basa DNA (mutasi).

Terjadinya mutasi pada tempat tertentu didalam DNA akan memicu

perkembangan neoplastik yang akan menghasilkan tumor atau kanker. N-metil-N-

nitrosourea (MNU) sebagai alkylating agent karena MNU adalah direct-acting

alkylating agent yang akan mengalkilasi DNA tanpa membutuhkan aktivasi

metabolisme (Lu SJ dan Archer 1992).