BAB II · 2017. 6. 20. · 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali merupakan sapi asli...
Transcript of BAB II · 2017. 6. 20. · 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali merupakan sapi asli...
-
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sapi bali
Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia, hasil domestikasi banteng liar (Bos
Bibos Banteng) yang saat ini dapat ditemukan di Taman Nasional Baluran, Taman
Nasional Alas Purwo Jawa Timur (Wiryosuhanto, 1996; Purwantara dkk., 2012 ).
Sapi bali tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia, juga ditemukan di Malaysia
dan Australia (Nijman dkk., 2003).
Sapi bali memiliki ciri-ciri tubuh berukuran sedang, dada dalam, tidak
berpunuk, kaki ramping, kepala pendek, lebar dengan dahi datar, telinga berukuran
sedang, tanduk berdiri pada yang jantan dan lebih besar dari tanduk betina (Batan,
2006). Rambut yang menutupi badan sapi bali berwarna merah bata, kecuali di
bagian pertengahan punggung berwarna hitam yang berbentuk seperti garis hitam
disebut garis belut (Thalib dkk, 2003; Batan, 2006). Rambut pada kaki di bawah
persendian karpal dan tarsal berwarna putih disebut white stocking. Warna rambut
yang menutupi daerah pantat dan bagian dalam paha juga berwarna putih, disebut
white mirror yang melanjut ke bagian perut belakang (Lindell, 2003; Batan, 2006;
Purwantara dkk., 2012). Kulit cermin hidung, kuku, dan rambut pada ujung ekor
berwarna hitam. Warna rambut sapi jantan setelah dewasa kelamin atau sekitar
umur 8-12 bulan akan berubah menjadi hitam (Thalib dkk., 2003). Warna hitam ini
dapat berubah menjadi merah bata kembali bila sapi jantan dikebiri (Lindell, 2003;
Batan, 2006; Purwantara dkk., 2012) Sapi bali mencapai dewasa kelamin saat
-
10
berumur 18 bulan. Siklus birahi sapi bali berlangsung selama 18-22 hari, dengan
lama kebuntingan 286 hari (Batan, 2006).
Menurut d’Alton sapi bali secara taksonomi tergolong dalam
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Order : Artiodactyla
Family : Bovidae
Subfamily : Bovinae
Genus : Bos
Species : Bos javanicus
Nama spesies untuk sapi bali juga disebut Bos sondaicus / Bos/bibos
banteng (Thalib dkk., 2003; Purwntara dkk., 2012). Sapi bali mempunyai daya
adaptasi yang tinggi, mampu memanfaatkan pakan kualitas buruk secara optimal
(Zulkharnaim dkk., 2010; Paramitasari dkk., 2015), mempunyai kualitas daging
yang baik dengan kadar lemak yang rendah (Bugiwati dkk., 2007). Sapi bali
mempunyai tingkat produktivitas dan tampilan reproduksi yang lebih baik
dibandingkan dengan bangsa sapi lainnya (Gunawan dkk., 2011). Sapi bali yang
ada di Bali dianggap memiliki kemurnian genetik paling murni (Nijman dkk.,
2003).
Kelemahan sapi bali antara lain produksi susu rendah sehingga
pertumbuhan pedet lambat, rentan terhadap penyakit Jembrana (Berata, 2007;
Tenaya dkk., 2012; Kusumawati dkk., 2016). Sapi bali juga rentan terhadap
-
11
penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF), penyakit ngorok atau Septicemia
Epizootica (SE) dan Bali ziekte (Batan, 2006; Muhamad dkk., 2009). Kepekaan sapi
bali terhadap penyakit Jembrana disebutkan akibat genetik, namun belum jelas gen
mana yang berpengaruh (Berata, 2007).
2.2 Penyakit Jembrana
Penyakit Jembrana merupakan penyakit infeksi yang menyerang sapi bali,
pertama kali kejadiannya terjangkit pada tahun 1964 di desa Sangkaragung
Kabupaten Jembrana Bali. Karena kejadiannya pertama kali di Jembrana maka
kemudian disebut penyakit Jembrana (Adiwinata, 1967). Penyakit Jembrana
disebabkan oleh virus famili Retroviridae, subfamili lentivirinae (Hovden, 2001,
Tenaya, 2012). Virus yang menjadi penyebab penyakit Jembrana dikenal pula
dengan nama Virus Penyakit Jembrana (Jembrana Disease Virus /JDV). JDV
secara genetik sangat dekat hubungannya dengan Bovine Immunodeficiency Virus
(BIV) (Su dkk., 2009; Tenaya, 2010; Tenaya 2012). Masa inkubasi lentivirus
biasanya lama karena itu dinamai lenti dalam bahasa Latin yang berarti pelan atau
lambat (Hovden, 2001). Namun pada JDV masa inkubasinya relatif singkat antara
4 sampai 12 hari (Stewart dkk., 2005; Su dkk., 2009; Tenaya, 2012). Masa inkubasi
JDV bahkan sekitar 5 sampai 7 hari (Wilcox dkk., 1997; Berata, 2007). Penyakit
Jembrana dengan masa inkubasi yang pendek, morbiditas tinggi namun mortalitas
relatif rendah 17% bahkan 11,5% (Desport dkk., (2009) dalam Tenaya dkk, 2012)
merupakan hal yang tidak biasa pada kasus lentivirus yang biasanya bersifat kronis,
progresif dan diakhiri dengan kematian (Tenaya, 2010). Penyakit Jembrana sangat
-
12
merugikan secara ekonomi karena menghambat penyebaran sapi bali ke berbagai
daerah di Indonesia (Astawa dkk, 2006).
JDV hanya menyerang sapi bali, sulit tumbuh pada kultur jaringan, kecuali
pada limfosit sapi bali, mempunyai enzim reverse transcriptase, mempunyai
berbagai jenis protein seperti p100, p45, p33, p16, dan protein mayor p26 yang
bersifat imunodominan dan bereaksi silang dengan antigen BIV / Bovine
Immunodeficiency Virus (Wilcox dkk, 1997; Berata, 2007). Seperti keluarga
lentivirus yang lain, gen JDV terdiri atas Flanking Long Terminal Repeats (FLTRs),
tiga gen struktural mayor yaitu gag, pol dan env serta gen akesosoris dalam bentuk
small open reading frames (ORFs) pada pertengahan daerah C-terminal seperti
tampak pada Gambar.2.1 (Su dkk., 2009). Produk gen aksesoris diketahui berperan
banyak dalam replikasi dan patogenesa virus. Salah satu produk gen aksesoris virus
Jembrana adalah protein transactivator of transcription (Tat) yang paling berperan
dalam proses replikasi virus dan menimbulkan kejadian penyakit Jembrana yang
akut (Su dkk., 2009).
Gambar.2.1 Struktur dan Genome Virus Jembrana (Wilcox, 2001).
-
13
Virus penyakit Jembrana dapat menyebabkan imunodefisiensi sementara,
yang ditandai oleh menurunnya daya tahan tubuh selama 2 sampai 4 bulan,
menurunnya respon sel terhadap mitogen, menghilangnya sel-sel pembentuk
antibodi, dan kematian akibat infeksi sekunder. Virus penyakit Jembrana berada
dalam darah dan jaringan tubuh penderita dalam waktu yang cukup lama (Berata,
2007).
Sapi bali yang terserang penyakit Jembrana menunjukkan gejala klinis
demam tinggi, kelemahan, anoreksia, leukopenia, trombositopenia dan pembesaran
limfeglandula prescapularis dan prefemoralis. Tingkat kematian penyakit
Jembrana rendah sekitar 17-20% bahkan lebih rendah 11,5% (Stewart dkk., 2005;
Su dkk., 2009; Tenaya dkk., 2012).
2.3 Limfosit T
Limfosit T memegang peran sentral dalam respon imun dapatan. Limfosit
merupakan mediator respon imun humoral maupun seluler. Progenitor limfosit T
berasal dari sumsum tulang yang bermigrasi ke timus dan berdiferensiasi menjadi
sel limfosit T. Sel limfosit T sering juga disebut sel T. Sel T yang non aktif dialirkan
menuju kelenjar getah bening dan limfa. Dalam kelenjar getah bening dan limfa,
sel T terakumulasi dalam folikel dan zona marginal sekitar folikel. Sel limfosit T
imature (timosit) dipersiapkan dalam timus untuk memperoleh reseptor. Selain
mendapat molekul reseptor timosit juga mendapat molekul marka yang setelah
dewasa dikenal dengan molekul CD (Cluster of Differentiation) (Abbas dan
Lichtman, 2007; Subowo, 2009). Timosit menjadi matang bila reseptornya tidak
berinteraksi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen) yang disajikan MHC
-
14
pada permukaan Antigen Presenting Cell (APC). Timosit yang mengenali peptida
sel tubuh sendiri (self antigen) yang disajikan oleh sel APC melalui bantuan MHC
akan dihancurkan melalui proses apoptosis. Sawar darah timus melindungi timosit
dari kontak dengan antigen sendiri. Proses ini disebut seleksi positip timosit yang
menghasilkan sel T cytotoxic (Tc) atau sel T helper (Th) (Abbas dan Lichtman,
2007; Baratawidjaya dan Rengganis, 2010). Dalam perkembangannya menjadi
matang, sel T mendapat kemampuan untuk mengenal benda asing, karena adanya
T Cell Receptor (TCR). TCR memiliki sifat diversitas, spesifisitas dan memori. Satu
sel limfosit hanya mengekspresikan reseptor untuk satu jenis antigen sehingga sel
tersebut hanya dapat mengenal satu jenis antigen saja. TCR ditemukan pada semua
sel T matang, dapat mengenal peptida antigen yang diikat Major Histocompatibility
Complek (MHC) dan dipresentasikan oleh sel APC (Hewitt, 2003; Baratawidjaya
dan Rengganis, 2010).
Sel T umumnya berperan pada proses peradangan, aktivasi fagositosis
makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam memproduksi antibodi. Sel T juga
berperan dalam pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi virus. Sel T terdiri
atas sel T helper (Th) yang mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba dan
sel T cytotoxic (Tc) yang membunuh sel terinfeksi mikroba atau virus dan
menyingkirkan sumber infeksi. Sel T juga dibedakan menjadi sel CD4+, CD8+, sel
T naif dan sel Natural Killer T (NKT) (Germain, 2002; Baratawidjaya dan
Rengganis, 2010).
Sel limfosit naif adalah sel limfosit matang yang meninggalkan timus dan
belum berdiferensiasi, belum pernah terpapar antigen dan menunjukkan molekul
-
15
permukaan CD45RA. Sel T helper disebut juga sel T inducer merupakan subset sel
T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang
ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag melalui MHC klas II ke sel
TCD4+. Selanjutnya sel TCD4+ diaktifkan dan memproduksi IL-2 autokrin yang
merangsang sel TCD4+ untuk berproliferasi menjadi subset sel Th1 dan Th2,
mensintesis sitokin yang mengaktifkan sel imun lain seperti TCD8+, sel B,
makrofag dan sel NK (Germain, 2002; Abbas dan Lichtman, 2007; Baratawidjaya
dan Rengganis, 2010).
Sel T CD8+ naif yang keluar dari timus disebut juga Cytolitic T (CTL) atau
Citotoxic T (Tc). Sel TCD8+ mengenal kompleks antigen MHC klas I yang
dipresentasikan APC. Molekul MHC klas I ditemukan pada semua sel tubuh yang
berinti. Fungsi sel TCD8+ antara lain menyingkirkan sel terinfeksi virus,
menghancurkan sel ganas dan menimbulkan penolakan pada transplantasi jaringan
(Hewitt, 2003; Baratawidjaya dan Rengganis, 2010). Sel TCD4+ atau limfosit T
helper (Th) berfungsi mengaktifkan jenis sel lain, dibedakan dalam klas fungsional
Th1 dan Th2. Th1 mempunyai kemampuan mengaktifkan makrofag, menghasilkan
sitokin IL2, IFNγ, TNFβ, mendorong limfosit B menghasilkan klas antibodi. Th2
mempunyai kemampuan mengaktifkan limfosit B menghasilkan antibodi
netralisasi (Subowo, 2009).
2.4 Limfosit B
Limfosit B adalah limfosit yang mengalami pematangan pada bursa
fabricius pada bangsa unggas, sumsum tulang pada mamalia. Karena itu disebut
dengan limfosit B atau sel B. Sel B diproduksi pertama selama fase embrionik dan
-
16
berlangsung terus selama hidup. Sebelum lahir yolk sac, hati dan sumsum tulang
janin merupakan tempat pematangan utama sel B dan setelah lahir pematangan sel
B terjadi di sumsum tulang. Pematangan sel B terjadi dalam berbagai tahap. Pada
unggas, sel B berkembang dalam bursa fabricius yang terbentuk dari epitel kloaka.
Pada manusia belum didapatkan hal yang analog dengan bursa tersebut dan
pematangan sel B terjadi di sumsum tulang atau di tempat yang belum diketahui.
Setelah matang sel B bergerak ke organ limpa, kelenjar getah bening dan tonsil
(Busslinger, 2004; Baratawidjaya dan Rengganis, 2010).
Reseptor sel B yang mengikat antigen multivalen asing akan memacu proses
proliferasi, diferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi,
membentuk sel memori dan mempresentasikan antigen ke sel T. Reseptor sel B
mengawali sinyal transduksi yang efeknya ditingkatkan oleh molekul kostimulator
yang kompleks. Perkembangan sel B dalam sumsum tulang adalah antigen
independen, tetapi perkembangan selanjutnya memerlukan rangsangan antigen. Sel
B yang diaktifkan berkembang menjadi limfoblas, selanjutnya menjadi sel plasma
yang memproduksi antibodi dan sel memori (Busslinger, 2004; Abbas dan
Lichtman, 2007).
2.5 Major Histocompatibility Complex (MHC)
MHC adalah molekul transmembran permukaan sel yang menyajikan
peptida antigenik kepada limfosit T. Istilah MHC digunakan untuk menyatakan
molekul permukaan sel penyaji antigen yang berlaku secara umum. Secara khusus
molekul MHC disebut juga dengan HLA (Human Leukocyte Antigen) pada manusia,
ChLA (Chimpanzee Leukocyte Antigen) pada simpanse, RhLA (Rhesus Leukocyte
-
17
Antigen) pada monyet rhesus, DLA (Dog Leukocyte Antigen) pada anjing, BoLA
(Bovine Leukocyte Antigen) pada sapi dan H-2 pada mencit (Subowo, 2009). Pada
domba disebut dengan Ovar leukocyte antigen, dan pada kambing disebut Cahi
leukocyte antigen (Amills dkk., 1998).
2.5.1 Struktur Gen MHC
Pada manusia molekul MHC disandi oleh sekelompok gen yang terdiri atas
140 gen terbentang pada lengan pendek (short arm) kromosom nomor 6, dengan
panjang sekitar 3,6 Mb (GÜnther dan Walter, 2000). Sedang ayam mempunyai gen
MHC yang pendek terdiri atas 19 gen (Belov dkk., 2006).
Gen MHC terdiri atas tiga klas yaitu MHC klas I, klas II dan klas III. MHC
klas III berkedudukan diantara klas I dan klas II (Gambar.2.2). MHC klas III
menyandi protein dalam serum dan cairan tubuh lainnya seperti C4, C2, faktor B
dan TNF. MHC klas I terdiri atas lokus A, B, C, yang masing-masing menyandi
polipeptida rantai α. MHC klas II terdiri atas lokus DP, DQ dan DR. Tiap lokus
menyandi rantai α dan β.
Gambar.2.2 Struktur Gen MHC (Rao, 2006).
Haplotipe yang khas secara individual biasanya mengandung seluruh lokus
dengan nomornya seperti (A1, B7, Cw4, DP5, DQ10, DR8). Tiap individu memiliki
-
18
sepasang haplotipe yang diperoleh dari ayah dan ibu / kedua induk pada hewan.
Gen MHC bersifat kodominan (Rao, 2006).
Pada sapi dan kambing gen MHC terletak pada kromosom 23 sedang pada
domba terletak pada kromosom 20 (Takeshima dkk., 2003). Istliah BTA23/Bos
taurus 23 sering digunakan untuk menyatakan letak MHC sapi pada kromosom 23.
MHC klas I sapi panjangnya sekitar 1.550 kilobasa (Amills dkk.,1998) atau
bervariasi mulai dari 770 kilobasa sampai 1.650 kilobasa (Behl dkk., 2012), yang
terdiri atas 10 sampai 20 klas gen yang terbagi dalam tiga lokus. MHC klas I pada
kambing terdiri atas 10 – 13 gen. BoLA klas I sangat polimorfik, sekitar 21 varian
telah ditemukan (Amills dkk.,1998). Panjangnya domain protein transmembrane
sering menjadi pembeda untuk keragaman varian gen BoLA klas I. Pada
kebanyakan bangsa sapi domain transmembrane tersusun atas 37 atau 35 asam
amino, kecuali pada Bos indicus ditemukan tersusun atas 36 asam amino (Bensaid
dkk., 1991 dalam Anon, 2002).
BoLA klas II sedikit berbeda dengan HLA klas II dan MHC klas II yang
ditemukan pada tikus. BoLA klas II terbagi atas dua subregio yaitu klas IIa dan klas
IIb yang berjarak 15 cM (senti Morgan). BoLA klas IIa terdiri atas lokus DR dan
DQ. BoLA DQ dan DR terletak sangat dekat dan linkage, juga dengan gen BoLA
klas III dan klas I. Hal ini mirip dengan struktur organisasi MHC pada manusia
(human orthologue) (GÜnther dan Walter, 2000). BoLA klas IIb terdiri atas lokus
DMA, DMB, LMP2, LMP7, dan TAP. Pada sapi juga diketahui adanya class II like
gen yang terdiri atas lokus DNA, DOB, DIB, DYA, dan DYB, namun fungsinya
belum diketahui. (Amills dkk., 1998; Behl dkk., 2012). Gen BoLA klas II terletak
-
19
pada daerah centromer dari koromosom 23 (BTA23) dan BoLA klas I berada di
distalnya / telomer dari BoLA klas II (Behl, dkk., 2012).
Gen BoLA DRA merupakan gen yang menyandi rantai α molekul DR pada
sapi. Selama ini diketahui gen BoLA DRA monomorfik, namun belakangan
dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa gen BoLA DRA mempunyai varian alel
yang menandakan bahwa gen BoLA DRA juga polimorfik (Behl dkk., 2012). Sangat
berbeda dengan gen BoLA DRB yang menyandi rantai β molekul DR yang sangat
polimorfik. Ada tiga lokus BoLA DRB yaitu DRB1, DRB2 dan DRB3, namun hanya
satu yang fungsional yaitu DRB3. BoLA DRB1 merupakan pseudogen sedang BoLA
DRB2 hampir tidak diekspresikan sama sekali dan monomorfik (Behl dkk., 2012).
BoLA DRB3 sangat polimorfik, memeiliki 6 ekson, namun ekson 2 adalah yang
paling polimorfik (Baxter, 2010). Panjang gen BoLA DRB3 sekitar 11,4 kilo
pasangbasa yang terdiri atas daerah promoter, gen DRB3 penyandi dan daerah
ujung 3́. Gen BoLA DRB3 exon 2 merupakan gen DRB3 yang menyandi rantai β1
dari molekul BoLA klas II sapi, dan merupakan satu-satunya gen BoLA DRB3 yang
diekspresikan secara luas hampir pada setiap individu sapi (Baxter, 2010;
Takeshima dkk., 2014). Gen BoLA DRB3.2 merupakan gen BoLA klas II yang
sangat polimorfik, dengan frekuensi alel yang sangat tinggi dan beragam (Behl
dkk.,, 2012; Takeshima dkk., 2014).
Gen BoLA DQ merupakan gen yang paling komplek, diketahui memiliki
lebih dari 50 alel yang tersebar pada 5 lokus yang berbeda (Behl, dkk., 2012).
Anderson dkk, dalam Behl dkk., (2012) melaporkan sedikitnya ada 9 varian alel
BoLA DQA dan 12 alel BoLA DQB, dan jumlah gen DQ bervariasi antar haplotipe.
-
20
Sekuen gen BoLA DQA dan BoLA DQB mirip dengan sekuen gen HLA klas II pada
manusia (Behl, dkk., 2012).
Seperti pada HLA klas III, BoLA klas III disusun oleh rangkaian gen yang
heterogen yang menyandi komplemen faktor BF, C4, steroid 21-hidroksilase
(CYP21), heat shock protein 70 (HSP70), tumor necrotic factor α (TNF α), tumor
necrotic factor β (TNF β) (Amills dkk., 1998). Pada sapi MHC klas III terletak pada
kromososm 23 (BTA23) lengan q21 sampai q22 (Gelhaus dkk, 2006). Daerah gen
MHC klas III terbentang sepanjang 700 kilobasa dengan 60 gen strukural, dan
merupakan daerah MHC padat gen ( Xie dkk., 2003 dalam Gelhaus dkk., 2006).
Sapi memiliki 21 gen MHC klas III yang homolog dengan manusia, dan merupakn
gen MHC yang conserved yang juga ditemukan pada mencit, babi dan kuda (Xie
dkk., 2003 dalam Gelhaus dkk., 2006). MHC klas III bukan bagian sesungguhnya
dari gen MHC, namun karena letaknya antara MHC klas I dan MHC klas II, dan
fungsinya terkait dengan fungsi molekul MHC serta ekspresinya dikontrol oleh gen
MHC, maka dimasukkan ke dalam bagian gen MHC (Rao, 2006).
2.5.2 Struktur Molekul MHC
Molekul MHC merupakan molekul permukaan sel transmembrane. MHC
klas I ditemukan pada hampir semua sel yang berinti (Abbas dan Lichtman 2007).
Molekul MHC klas I dibentuk oleh dua rantai polipeptida yaitu rantai berat α (44-
47 KDa) yang disusun oleh 346 asam amino dan rantai ringan β (12 KDa) yang
disusun oleh 99 asam amino. Ujung karboksil rantai α hidrofilik berada dalam
sitoplasma sel dan ujung aminonya menyembul dipermukaan sel. Kedua untaian
tersebut disela oleh segmen hidropobik yang berada dalam membran sel, sebagai
-
21
tempat melekatnya pada membran sel. Bagian rantai α yang menyembul
dipermukaan sel terdiri atas domain α1, α2 dan α3. Domain α3 merupakan bagian
yang berhubungan langsung dengan bagian transmembrane. Domain α3 berikatan
secara noncovalen dengan rantai β. Domain α3 juga merupakan bagian dari
molekul MHC klas I yang mengadakan ikatan dengan molekul CD8+ dari sel
limfosit T CD8+. Rantai α3 tidak mempunyai variasi (conserve). Domain α1 dan
α2 merupakan bagian terluar dari struktur MHC klas I, yang disusun oleh 90 asam
amino. Domain α1 dan α2 merupakan tempat berikatannya peptida antigenik yang
disajikan, serta menjadi tempat berikatan dengan molekul reseptor sel T (T cell
receptor/TCR) dari limfosit T CD8+ (Abbas dan Lichtman, 2007). Rantai β
merupakan molekul mikroglobulin, sehingga rantai β sering juga disebut dengan
mikroglobulin β atau β2 mikroglobulin. Rantai α disandi oleh gen MHC, sementara
rantai β disandi oleh gen yang terletak pada kromosom lain. Kedua rantai α dan β
merupakan anggota imunoglobulin (Ig) superfamili. Tanpa mikroglobulin β,
molekul MHC klas I tidak akan terekspresikan pada permukaan sel. Bila terjadi
cacat pada mikroglobulin β maka sel tidak mampu menyajikan peptida antigenik
klas I, yang dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi sel limfosit T sitotoksik
(Rao, 2006).
Reseptor ikatan peptida antigenik (receptor binding site) yang disajikan
oleh melekul MHC klas I dibentuk oleh celah ikatan antara domain α1 dan α2.
Dinding celah reseptor antigen peptida pada MHC klas I berbentuk dua untaian α
helik, sedangkan lantainya berbentuk lembaran untaian β berlapis delapan (eight β
pleated sheets). Celah receptor binding site pada MHC klas I relatif tertutup oleh
-
22
dindingnya sehingga hanya mampu mengikat peptida yang relatif pendek yang
tersusun atas 8 sampai 11 asam amino. Asam amino penyusun domain α1 dan α2
terutama pada bagian receptor bainding peptida sangat bervariasi (polimorfik)
(Abbas dan Lichtman, 2007). Polimorfisme ini menyebabkan variasi permukaan
reseptor secara kimia. Masing-masing varain akan berikatan dengan antigen yang
sesuai. Permukaan reseptor difasilitasi oleh anchor site yang disusun oleh satu atau
lebih asam amino pada posisi tertentu. (Rao, 2006). Biasanya peptida yang mampu
diikat panjangnya 9 asam amino. Dan bagian dari peptida yang berikatan dengan
receptor binding peptide MHC klas I adalah asam amino nomor 2 dan nomor 9.
Permukaan receptor binding peptide yang berikatan dengan peptida nomor 2 dan
nomor 9 tersebut disebut anchor site. Karena itu bagian dari receptor binding
peptide harus sesuai secara fisik, seperti ukurannya, muatan listriknya,
hydrophobisitasnya. Sedang bagian dari peptida pada urutan asam amino nomor 3,
5 dan 7 akan menonjol keluar, merupakan bagian yang terpenting yang menentukan
spesifisitas untuk dikenali oleh sel limfosit T CD8+, seperti ditampilkan pada
Gambar. berikut (Winchester, 2003).
Gambar.2.3 Struktur Komplek Molekul MHC klas I – peptida (Winchester, 2003).
-
23
Molekul MHC klas II dibentuk oleh dua rantai polipeptida berbeda yaitu
rantai α dan β yang berikatan secara noncovalen. Baik rantai α maupun rantai β
disandi oleh gen MHC klas II. Rantai α beratnya 34 KDa terdiri atas domain α1 dan
α2, rantai β beratnya 28 KDa terdiri atas domain β1 dan β2. Rantai α maupun rantai
β mempunyai ujung amino pada bagian yang menonjol dipermukaan sel dan ujung
karboksil pada bagian sitoplasma sel yang disela oleh bagian transmembran. Bagian
tempat berikatannya antigen yang disajikan (receptor binding site), dibentuk oleh
celah ikatan domain α1 dan β1, dengan asam amino penyusun yang sangat
polimorfik. Domain α2 dan β2 tidak beragam (monomorfik). Domain β2
merupakan tempat berikatannya CD4+ dari sel limfosit T helper (Rao, 2006). Celah
receptor binding site pada MHC klas II terbuka pada salah satu ujungnya, sehingga
dapat mengikat peptida antigenik yang lebih panjang yang tersusun atas 13 sampai
25 asam amino. Pada receptor binding site juga ditemukan anchor site yang disusun
oleh asam amino nomor nomor 1, 4, 6 dan 9 (Winchester, 2003). Belakangan juga
dikenal anchor site nomor 7 dan 10 (Baxter, 2010). Bagian peptida nomor 2, 5, 7
dan 8 merupakan peptida yang menjadi penentu ikatannya dengan limfosit T CD4+
seperti ditampilkan pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5 berikut.
-
24
Gambar.2.4 Struktur Molekul MHC klas I dan MHC klas II (Rao, 2006).
Gambar. 2.5 Struktur komplek molekul MHC klas II- peptida-TCR (Winchester, 2003)
2.5.3 Mekanisme Penyajian Peptida Antigenik oleh MHC
Molekul MHC klas I akan menyajikan protein endogen, patogen intraseluler
atau potongan protein akibat keganasan (cancer) kepada limfosit T CD8+. Protein
tersebut akan diproses oleh proteosome menjadi potongan-potongan peptida yang
pendek, kemudian dengan bantuan transporter (TAP) diangkut ke retikulum
-
25
endoplasmik untuk berikatan dengan MHC klas I. Selajutnya melalui aparatus golgi
diangkut dengan vesikula sekretoris menuju membran sel untuk disajikan pada
permukaan sel seperti terlihat dalam Gambar.2.6 (Greene dkk., 2011).
Peptida yang disajikan oleh MHC klas I akan dikenali oleh limfosit T CD8+,
yang selajutnya akan membentuk ikatan melalui bantuan sel T reseptor (TCR).
Ikatan limfosit T CD8+ dengan komplek peptida dan MHC klas I menyebabkan
limfosit T CD8+ teraktivasi menjadi sel efektor limfosit T cytotoxic dan membunuh
sel tersebut (Greene dkk., 2011; Male dkk., 2006).
Gambar.2.6 Proses Penyajian peptida antigenik oleh MHC klas I (Male dkk., 2006).
MHC klas II terdapat pada sel penyaji antigen (APC/antigen presenting cell)
yang menyajikan peptida dari protein eksogen kepada limfosit T CD4+. Antigen
eksogen yang difagosit oleh makrofag atau ditelan melalui proses endositosis
-
26
seperti yang dilakukan oleh sel limfosit B, atau APC lain, diproses dalam endosome
menjadi molekul peptida dengan bantuan lysosome. Kemudian endosome
bergabung dengan vesikula dari aparatus Golgi yang mengandung MHC klas II,
sehingga peptida berikatan dengan MHC. Vesikula yang mengandung komplek
ikatan MHC klas II dengan peptida akan fusi dengan membran sel, dan peptida
disajikan di permukaan sel, seperti tampak pada Gambar. 2.7 dibawah ini (Male
dkk., 2006).
Gambar.2.7 Proses penyajian peptida eksogen oleh MHC klas II (Male dkk., 2006).
Disajikannya peptida antigenik oleh MHC klas II pada permukaan APC
akan direspon dan diikat oleh limfosit T CD4+. Ikatan tersebut menyebabkan
limfosit T CD4+ teraktivasi. Limfosit T CD4+ yang teraktivasi akan berdeferensiasi
menjadi limfosit T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2). Th1 akan mengaktivasi
-
27
makrofag untuk membunuh patogen. Limfosit T CD4+ yang teraktivasi juga
mensekresi sitokin seperti interleukin 2 (IL2), interleukin 4 ( IL4). Sitokin
kemudian merangsang proliferasi dan deferensiasi limfosit T CD4+ kembali
sehingga respon limfosit T CD4+ meningkat. Limfosit Th2 akan mengaktivasi
limfosit B menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Sebagian limfosit B yang
teraktivasi akan menjadi sel memory dan membentuk antibodi pada paparan
selanjutnya sehingga respon imun pada paparan berikutnya menjadi lebih cepat dan
lebih optimal (Abbas dan Lichtman, 2007).
2.6 Antibodi
Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai
akibat interaksi antara limfosit B teraktifasi dengan antigen spesifik. Antibodi
memiliki kemampuan berikatan spesifik dengan antigen perangsangnya serta
mempercepat penghancuran dan penyingkirannya. Antibodi terdapat dalam
berbagai cairan tubuh dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada serum darah.
Molekul antibodi beredar di dalam pembuluh darah dan pada proses peradangan
akan masuk ke jaringan tubuh (Abbas dan Lichtman, 2007; Greene dkk., 2011).
Interaksi antigen dengan antibodi bersifat non-kovalen dan pada umumnya
sangat spesifik. Antibodi hanya diproduksi oleh limfosit B dan disebarkan ke
seluruh tubuh secara eksositosis dalam plasma darah. Antibodi juga ditemukan
dalam cairan sekresi seperti mukus, susu, dan keringat (Abbas dan Lichtman, 2007;
Tizard, 2004).
Satu unit struktur antibodi merupakan glikoprotein (berat molekul sekitar
150.000 dalton) yang terdiri dari empat rantai polipeptida, yaitu dua rantai berat
-
28
(heavy (H) chain) dan dua rantai ringan (light (L) chain). Tiap rantai berat biasanya
sekitar 55 sampai 70 kD dan rantai ringan sekitar 24 kD. Rantai berat dan rantai
ringan terdiri atas daerah variable (V) dan daerah constan (C). Tiap rantai berat
biasanya mempunyai satu daerah variabel (VH) dan 3 atau 4 daerah constan (CH).
Sedang rantai ringan terdiri atas satu daerah variabel (VL) dan satu daerah constan
(CL). Satu rantai berat akan berikatan dengan satu rantai ringan dengan ikatan
disulfida. Dua rantai berat di daerah constan juga saling berikatan melalui ikatan
disulfida (Abbas dan Lichtman, 2007; Tizard, 2004).
Rantai berat (VH) dan rantai ringan (VL) terdiri dari sejumlah homolog yang
mengandung kelompok sequence asam amino yang mirip tetapi tidak identik. Unit-
unit homolog tersebut terdiri dari 110 asam amino yang disebut domain
imunoglobulin. Rantai berat mengandung satu domain variabel (VH) dan tiga atau
empat domain konstan lainnya (CH1, CH2, CH3, CH4, bergantung pada klas, dan
isotipe antibodi). Daerah antara CH1 dan CH2 disebut daerah hinge (engsel), yang
memudahkan pergerakan/fleksibilitas dari lengan Fab dari bentuk Y molekul
antibodi tersebut. Hal itu menyebabkan lengan tersebut dapat membuka atau
menutup untuk dapat mengikat dua antigen determinan yang terpisahkan oleh jarak
diantara kedua lengan tersebut (Abbas dan Lichtman, 2007; Baratawidjaya dan
Rengganis, 2010).
Ada 5 klas antibodi yaitu: IgG, IgA, IgM, IgE, dan IgD, yang dibedakan
menurut jenis rantai beratnya, masing-masing yaitu: γ, α, µ, ε, dan δ. Klas antibodi
IgD, IgE, dan IgG terbentuk dari struktur tunggal, sedangkan IgA mengandung dua
atau tiga unit dan IgM terdiri dari 5 unit yang dihubungkan dengan sambungan
-
29
disulfida. Antibodi IgG dibagi menjadi 4 subklas atau dikenal isotipe yaitu IgG1,
IgG2, IgG3, dan IgG4 (Abbas dan Lichtman, 2007; Baratawidjaya dan Rengganis,
2010).
Struktur dan fungsi IgG dapat dipecah oleh enzim pepsin dan papain
menjadi beberapa fragmen yang mempunyai sifat biologi yang khas. Perlakuan
dengan pepsin dapat memisahkan Fab2 dari daerah persambungan hinge (engsel).
Karena Fab2 adalah merupakan molekul bivalen sehingga dapat mempresipitasi
antigen. Enzim papain dapat memutus daerah diantara CH1 dan CH2 untuk
membentuk dua fragmen yang identik dan dapat bertahan dengan reaksi antigen-
antibodi dan juga satu non-antigen-antibodi fragmen yaitu daerah fragmen
kristalisabel (Fc). Bagian Fc ini adalah glikosilat yang mempunyai banyak fungsi
efektor yaitu: tempat perlekatan komplemen, sel reseptor makrofag, dan monosit,
serta dipakai untuk membedakan satu klas antibodi dengan lainnya (Tizard, 2004;
Baratawidjaya dan Rengganis, 2010).
2.6.1 Imunoglobulin G (IgG)
Imunoglobulin G adalah divalen antigen. Antibodi ini merupakan
imunoglobulin yang paling sering dan paling banyak ditemukan dalam sumsum
tulang belakang, darah, limfe, dan cairan peritoneal. Waktu paruhnya selama 23
hari dan merupakan imunitas yang baik. IgG dapat mengaglutinasi antigen yang
tidak larut dan satu-satunya imunoglobulin yang dapat melewati plasenta. IgG
adalah opsonin yang baik sebagai fagosit pada ikatan IgG reseptor. Imunoglobulin
ini merangsang “antigen-dependen cel-mediated cytotoxicity” (ADCC)-IgG Fab
untuk mengikat target sel, “Natural Killer”(NK) Fc-reseptor, mengikat Ig Fc, dan
-
30
sel NK membebaskan bahan toksik pada sel target. IgFc juga mengaktifkan
komplemen, menetralkan toksin, imobilisasi bakteri, dan menghambat serangan
virus (Abbas dan Lichtman, 2007; Baratawidjaya dan Rengganis, 2010).
2.7 Enzim Restriksi Endonuklease
Secara umum enzim restriksi endonuklease merupakan enzim nuklease,
yaitu enzim yang mampu memotong nukleotida. Ada dua jenis enzim nuklease,
yaitu DNAse yang mampu memotong DNA, dan RNAse yang memotong RNA.
DNAse yang memotong ditengah untaian DNA disebut endonuklease, sedang
DNAse yang memotong di ujung untaian DNA disebut eksonuklease (Lodish, dkk.,
1995).
Enzim restriksi endonuklease dihasilkan oleh bakteri dan arkeata. Bakteri
menghasilkan enzim endonuklease sebagai alat pertahanan terhadap serangan virus,
seperti saat adanya serangan virus bakteriophage. Enzim endonuklease akan
memotong DNA virus sehingga mampu membatasi perkembangan virus tersebut,
karena itu disebut restriksi (Anon, 2011). Enzim restriksi endonuklease mengenali
runutan nukleotida khas disepanjang untaian DNA, kemudian memotongnya di
dalam atau di luar runutan nukleotida khas yang dikenalinya tersebut. Runutan
nukleotida khas yang dikenali disebut restriction sites, dan nukleotida hasil
potongannya disebut restriction fragmen. Panjang restriction sites endonuklease
berbeda-beda, biasanya antara 4 sampai 6 nukleotida, namun ada juga sampai 8
nukleotida. Enzim restriksi endonuklease akan memotong untaian DNA dengan
memutus ikatan posfodiester (Lodish, dkk., 1995). Bakteri melindungi DNAnya
dengan mengahsilkan enzim metiltranferase yang akan memetilasi (menambahkan
-
31
gugus metil) pada runutan nukleotida DNAnya sendiri sehingga tidak dikenali dan
tidak dipotong oleh enzim endonuklease. Bakteri yang menghasilkan enzim
restriksi endonuklease juga menghasilkan enzim metiltranferase, kedua hal tersebut
disebut restriction – modification system (R-M) (Taylor, dkk., 2012).
Tempat pemotongan nukleotida oleh enzim endonuklease beragam, ada
yang memotong pada restriction sites, diluar restriction sites, ada yang bersifat
simetris, asimetris pada untaian doble stranded DNA (Bickle dan Kruger, 1993).
Runutan nukleotida yang dikenali sebagai situs pemotongan biasanya bersifat
palindromic yaitu akan sama urutannya pada untaian double stranded DNA bila
dibaca dari 5́→ 3́ (Lodish, dkk., 1995). Bila tempat pemotongan nukleotida tidak
ditengah-tengah situs pemotongan, akan menghasilkan hasil potongan berujung
tidak rata (sticky end) pada untaian double stranded DNA. Bila tempat pemotongan
ditengah-tengah runutan nukleotida situs pemotongan, akan menghasilkan hasil
pemotongan berujung tumpul (blunt end) (Lodish, dkk., 1995). Bila dua atau lebih
enzim restriksi endonuklease memiliki restriction sites yang sama maka kedua
enzim tersebut disebut isozchisomer. Walaupun dua enzim memiliki restriction
sites yang sama, tetapi tempat pemotongannya berbeda maka kedua enzim tersebut
disebut neozchisomer.
Enzim restriksi endonuklease dibedakan menjadi 4 tipe, berdasarkan pada
komposisi sub unit, posisi pemotongan, spesifisitas sekuen DNA, dan perlu
tidaknya kofaktor. Enzim restriksi endonuklease tipe I merupakan multisubunit
protein yang bekerja sebagai satu kesatuan protein yang komplek. Enzim tipe I
merupakan kombinasi antara restriksi dan modifikasi yang memotong DNA secara
-
32
acak pada daerah yang jauh dari restriction sites. Enzim tipe I mutlak memerlukan
ATP selama proses pemotongan DNA (Robert, dkk., 2003). Enzim tipe II
memotong DNA pada posisi tertentu dekat atau berada di dalam sekuen restriction
sites yang dikenalinya. Enzim tipe II memerlukan Mg2+ sebagai kofaktor. Enzim
tipe II menghasilkan fragmen-fragmen tertentu dengan pola pita-pita yang spesifik.
Enzim tipe inilah yang dipakai untuk berbagai percobaan dalam analisis DNA dan
kloning gen (Robert, dkk., 2003). Enzim tipe III juga merupakan kombinasi
restriksi dan enzim pemodifikasi. Enzim ini memotong DNA di luar sekuen yang
dikenal dan memerlukan 2 sekuen yang tidak bersifat palindromic pada orientasi
yang berlawanan pada untaian DNA. Enzin tipe III ini juga memerlukan ATP.
Enzim-enzim ini jarang menghasilkan potongan yang sempurna (Robert, dkk.,
2003). Enzim tipe IV merupakan enzim tipe baru yang memotong DNA yang
basanya telah dimodifikasi dengan metilasi, hidroksimetilasi dan glukosil-
hydroksimetilasi (Robert, dkk., 2003).