BAB I PERKEMBANGAN POLITIK DAN HUKUM · PDF file6 Hukum Politik Agraria - Heru...
Transcript of BAB I PERKEMBANGAN POLITIK DAN HUKUM · PDF file6 Hukum Politik Agraria - Heru...
1Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
BAB I
PERKEMBANGAN POLITIK DAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
Perkembangan Hukum (agraria) yang berlaku di suatu negara, tidak dapat
dilepaskan dari politik agraria yang diberlakukan dan atau dianut oleh Pemerintah
yang berkuasa pada saat itu. Politik Agraria adalah kebijakan dari Pemerintah
yang berkuasa di bidang agraria dan karenanya mempengaruhi arah
perkembangan hukum agraria yang sedang berlaku. Mengingat politik agraria
merupakan kebijakan Pemerintah, maka kebijakan tersebut akan dipengaruhi oleh
kebijakan makro perekonomian. Politik agraria yang sudah ditetapkan agar
mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan pemaksa (enforcement), dan sekaligus
mempunyai legalitas yang kuat, perli dirumuskan dalam bentuk peraturan hukum.
Penormaan dalam bentuk peraturan hukum ini bukan persoalan yang mudah,
apalagi jika penormaan tersebut dalam bentuk Undang-undang yang proses
pembentukannya harus melalui persetujuan dan keterlibatan Parlemen (Dewan
Perwakilan Rakyat). Keanggotaan DPR adalah pencerminan dari kekuatan partai
politik, kiranya perumusan dan persetujuan atas pembentukan Undang-undang
akan dipengaruhi oleh visi, misi, dan kepentingan partai politik. Kondisi inilah
yang seringkali menimbulkan tarik menarik antara Hukum dan Politik.
Keberadaan dan perkembangan politik dan hukum agraria tidak dapat
dipisahkan dengan kebijakan makro perekonomian dari Penguasa. Hal ini dapat
difahami, mengingat masalah perekonomian di suatu negara akan terkait dengan
2Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
masalah pertanahan. Perkembangan hukum agraria di Indonesia, dapat dilihat
dalam 4 (empat) tahapan, yaitu tahap Indonesia sebelum merdeka (masa kolonial),
tahap Pemerintahan Era Soekamo, era Suharto, dan tahapan pada masa reformasi.
I. MASA KOLONIAL
Pada masa ini hukum agraria belum menunjukkan adanya unifikasi
hukum. Artinya pemberlakuan hukum agraria pada masyarakat saat itu tidak
tunggal tapi dibedakan asal golongan dari masyarakat tersebut. Secara umum,
pada masa itu dikenal adanya dua macam hukum agraria, yaitu hukum
agrarian adat (bersumberkan hukum adat) yang diperuntukkan bagi mereka
yang berasal dari golongan bumi putra, dan hukum agraria barat
(bersumberkan pada hokum barat, misalnya BW) yang diberlakukan bagi
mereka yang berasal dari golongan eropah dan timur asing.
Mengingat tanah di Indonesia terkenal subur dan kaya akan mineral
dan sumber alam lainnya menimbulkan keinginan bagi Pemerintah Belanda
untuk melakukan eksploitasi guna kepentingan perekonomiannya yang lebih
lanjut ditujukan untuk meningkatkan devisa dan kekayaan Belanda. Dengan
demikian selama masa pemerintahan kolonial (Hindia Belanda), hukum
agraria akan mencerminkan keinginan dan kepentingan Belanda dan
merugikan kepentingan bumi putra. Beberapa ketentuan tersebut, atnara lain :
Peraturan Cultuur Stelsel pada tahun 1830. Melalui
peraturan ini, diberlakukan sistem tanam paksa bagi rakyat, terutama
terhadap tanaman domein, menganggap secara hukum mempunyai
kewenangan untuk memberikan hak erfpacht kepada investor, karenanya
3Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
pula pihak investor pun merasa sah atas penguasaan tanah tersebut.
Namun dilain
pihak, masyarakat bumi putra tetap meyakini bahwa tanah tersebut tetap
menjadi miliknya, mengingat ia tidak pernah merasa melepaskan haknya.
Kontroversi ini terus berlanjut, karena itu dalam dunia perkebunan tidak
pernah terjadi harmonisasi kehidupan antara investor atau penguasa dengan
penduduk asli yang ada di area perkebunan dan sekitaraya.
II. MASA PEMERINTAHAN SUKARNO
Pasa masa pemerintahan Sukarno, kebijakan makro ekonominya lebih
dititik beratkan pada sektor pertanian dengan lebih mengotimalkan sumber
daya yang ada. Karena itu ketentuan hukum agraria yang dibangun adalah
hukum agraria yang memberikan basis atau dasar yang kuat dalam sektor
pertanian. Dari sinilah kemudian lahir Undang-undang nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan dasar Pokok pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan
sebutan Undang undang Pokok Agraria (UUPA). Sebagai ketentuan pokok,
kiranya materi yang ada dalam UUPA masih perlu dijabarkan lebih lanjut
dalam peraturan perundangan lainnya sebagai peraturan pelaksananya. Materi
peraturan pelaksananya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan induknya,
yang berkedudukan sebagai "Umbrella rule". Ketentuan ini (UUPA) dibangun
yang dibutuhkan masyarakat intemasional pada saat itu (misal rempah-
rempah, cengkeh, dan sebagainya) disertai kewajiban bagi mereka untuk
menjuaolnya kepada Pemerintah Kolonial.
4Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Agrarische Besluit (staatblad 1870 nomor 118) yang terkait dengan
Agrarische Wet (staadsblad 1870 nomor 55). Pasal 1 dari Agrarische Besluit
menentukan bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan
kepemilikannya akan menjadi milik negara. Ketentuan ini lebih dikenal
dengan "Domein verklaring (pernyataan domein). Ada beberapa hal penting
terkait dengan adanya domein verklaring ini :
1. Hubungan antara negara dengan tanah dipersamakan dengan
hubungan antara tanah dengan perseorangan yang bersifat
privaattrevhtelijk. Dengan perkataan lain, hubungan antara tanah
dengan Negara merupakan hubungan kepemilikan.
2. Domein verklaring tidak lebih ditujukan terhadap tanah yang
tunduk pada hukum adat, mengingat dalam sistem hukum adat tidak
dikenal sistem pembuktian kepemilikan secara tertulis seperti yang
dikenal dalam hukum barat Akibatnya dengan adanya domein verklaring,
tanah-tanah adat dianggap menjadi milik negara, yang kemudian lebih
lanjut memberikan kewenangan Pemerintah Kolonial untuk memberikan
hak erfphacht kepada investor, terutama yang berasal dari luar negeri.
Pendakuan secara sepihak ini menimbulkan kondisi yang kontroversial,
pada pihak Pemerintah kolonial dengan mendasar pada peraturan diatas
sendi-sendi yang melihat hubungan atnara negara dan Bumi (tanah
termasuk didalamnya) bukan merupakan hubungan kepemilikan tetapi
merupakan hubungan penguasaan (pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jo. Pada 2
ayat 1 UUPA). Selain itu, dengan lahirnya UUPA meniadakan sifat
dualisme hukum agraria menjadi sifat yang unifikatif. Artinya setiap
5Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
orang utamanya warga negara Indonesia tanpa melihat lagi asal
golongannya, sepanjang terkait dengan pertanahan, akan tunjuk pada
hukum yang sama, yaitu UUPA dan peraturan pelaksananya. Sifat yang
unifikatif ini diperkuat lagi dengan memberikan peran yang besar pada
hukum adat dalam pembentukan UUPA. Hukum adat berfungsi :
a. Sebagai sumber dan dasar dalam pembentukan hukum agraria
nasional secara tertulis. Ini memberikan arti bahwa setiap peraturan
hukum (agraria) tertulis harus didasarkan dan tidak boleh
bertentangan dengan hukum adapt (pasal 5 UUPA).
b. Sebagai pelengkap hukum agraria tertulis. Ini terjadi, jika dalam
hokum agraria tertulis belum ada pengaturannya. Untuk itu semacam
ini, hokum adat akan dipergunakan sebagai acuan dalam
pengaturannya (pasal 56 dan 58 UUPA).
Dengan berlakunya UUPA, maka ketentuan agraria yang berasal
dari kolonial, misal ketentuan Agrarische Wet, agrarische Besluit, dan
Buku II BW, khususnya yang mengatur masalah pertanahan menjadi tidak
berlaku lagi. Lebih jauh lagi, pembentukan UUPA diarahkan pada tujuan :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
6Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat selururuhnya.
Terkait dengan tujuan tersebut diatas, khususnya huruf a, telah
dibuat dan diberlakukan ketentuan tentang Landreform. Materi Land
reform ini menyangkut antara lain penetapan batas maximum dan minimal
pemilikan tanah pertanian, larangan pemilikan tanah absentee, kewajiban
untuk mengerjakan tanah pertanian secara aktif bagi pemiliknya, gadai
tanah pertanian, hak usaha bagi hasil, dan sebagainya. Materi tersebut
dapat dijumpai dalam Undang-undang nomor 56/Prp/1960 beserta
peraturan pelaksananya, antara lain Peraturan pemerintah nomor 4 tahun
1977 tentang Pemilikan Tanah Guntai (absentee) bagi para Pensiun
Pegawai Negeri, Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 1964 jo. PP nomor
224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian, dan sebagainya.
III. MASA PEMERINTAHAN SOEHARTO
Kebijakan ekonomis makro pada pemerintahan Soeharto, lebih
menitik beratkan pada sektor industri yang bersifat padat modal. Melalui
Undang-undang penanaman modal asing dan domestik, diharapkan akan
banyak investasi yang masuk dan dapat lebih membangkitkan perekonomian.
Hanya saja kebijakan semacam ini akan melahirkan ketentuan hukum agraria
yang memberikan keuntungan bagi pemilik modal dalam melaksanakan
usahanya. Kondisi yang demikian ini kemudian melahirkan berbagai macam
peraturan dibidang agraria yang jauh menyimpang dan bertentangan dengan
7Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA. Bidang
pertambangan dan kehutanan yang pada dasarnya merupakan bagian dari
lingkup agraria, dan oleh karena itu seharusnya ketentuan yang mengatur
bidang tersebut harus mengacu pada jiwa dan nilai-nilai yang ada dalam
UUPA, diabaikan begitu saja. Penetapan pengaturan pertambangan dan
kehutanan dalam Undang-undang pokok dan bukan dalam undang-undang,
didasari pada keingnan untuk melepaskan keduabidang tersebut dalam ruang
lingkup UUPA. Bisa difahami. Jika kemudian materi dari kedua undang-
undang pokok tersebut menyimpang dengan apa yang ada dalam UUPA.
Sebagai catatan, dengan adanya undang-undang pokok kehutanan
dimungkinkan lahirnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang secara ekologis,
sosiologis, jalan kultural merugikan kepentingan masyarakat setempat,
khususnya masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak ulayat. Undang-
undang pokok pertambangan lebih memusatkan diri pada eksploitasi barang
tambang skala besar melalui pemberian kontrak karya dan kuasa
pertambangan, dibandingkan melakukan pemberdayaan pada pertambangan
rakyat. Pemerintahan saat itu telah melakukan "parsialisasi" terhadap bidang-
bidang yang semula menjadi bagian UUPA, diberikan tempat tersendiri dan
dijauhkan dari UUPA. Demikian juga terhadap peraturan lain yang mengatur
tentang pengadaan tanah yang diperlukan oleh pemilik modal. Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri dalam negeri nomor 15 tahun 1975 tentang
Pembebasan Tanah jo. Permendagri nomor 2 tahun 1976. Peraturan ini
memberikan pengaturan yang lebih menguntungkan pemilik modal
dibandingkan pemilih tanah, khususnya dalam hal penentuan bentuk dan
8Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
besar ganti kerugian. Berbagai persoalan yang disebabkan adanya
pembebasan tanah menjadi kerap terkait dengan persoalan HAM, misal kasus
Borobudur, "gubug derita", kedung omboh, waduk gajah mungkur, kasus
Nipah dan sebagainya. Lebih lanjut kemudian, permendagri diatas kemudian
diubah dalam Keputusan Presiden nomor 55 tahun 1993.
IV. ERA REFORMASI
Jatuhnya pemerintahan Soeharto oleh gerakan reformasi, telah
menjadi tonggak untuk melakukan tinjauan kritis (review) terhadap peraturan
(agraria) yang dianggap sudah menyimpang karena dipergunakan sebagai
instrumen kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan reformasi agrarian di
Indonesia bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR RI nomor IX tahun 2001
tentang Pembaharuan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam
Ketetapan MPR tersebut dapat dijumpai arah kebijakan sebagai berikut :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai pengaturan
perundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundangan yang
didasarkan pada prinsip pembahaman agraia dan pengelolaan sumber
daya alam;
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan
dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat;
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
9Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka
pelaksanaan landreform.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agrarian yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan
hukum dengan didasarkan atas prinsip Pembaharuan agraria dan
pengelolaan sumber daya Alam;
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka
mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan
konflik-konflik sumber daya alam yang terjadi;
f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam
melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-
konflik sumber daya alam yang terjadi.
Ketetapan MPR RI tersebut diatas memberikan arti penting bagi
peraturan keagrariaan di Indonesia pada masa mendatang, mengingat
ketentuan tersebut berkedudukan sebagai :
a. Arah kebijakan strategis dalam memberikan pengaturan dibidang
agrarian sehingga akan terjadi perubahan terhadap visi dan misi yang
terkandung dalam ketentuan agraria yang ada selama ini. Dengan
perkataan lain, melalui ketetapan MPR ini telah lahir politik hukum
agraria yang lebih manusiawi;
b. Dasar validitas atau kebasahan bagi peraturan hukum agraria di
Indonesia. Artinya ketentuan ;hukum agraria yang ada harus bersumber
dan sesuai dengan substansi yang terkandung dalam Tap MPR tersebut.
10Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Tentu dengan lahirnya ketetapan MPR RI tersebut, bukan berarti
kegiatan reforma agraria telah mencapai tujuan akhirnya. Lahirnya ketetapan
tersebut memberikan dasar bagi semua pihak untuk terus melakukan
usahanya dalam mewujudkan lahirnya peraturan-peraturan baru untuk
menggantikan peraturan yang ada sebelumnya. Ini merupakan pekerjaan
besar yang memerlukan tanggung jawab bersama.