Bab I Pengantar A. Latar Belakang -...

26
1 Bab I Pengantar A. Latar Belakang Banyuwangi yang merupakan bekas Kerajaan Blambangan, dapat digolongkan sebagai wilayah islamisasi yang paling akhir di seluruh tanah Jawa. Alih-alih merupakan roh atau spirit juang melawan kolonialisme, justru Islam dan islamisasi dari Jawa dan Madura memainkan peran sentral dalam ekspansi Belanda di ujung timur Pulau Jawa ini. Hal ini tentu saja menarik, mengingat kebanyakan sejarawan cenderung untuk menonjol- nonjolkan kontribusi terbesar Islam dalam sejarah Indonesia sebagai pelopor dalam melawan kolonialisme bangsa Barat. 1 Selain itu, formasi etnis penduduk Banyuwangi saat ini, tidak terlepas dari peristiwa sejarah pendudukan Blambangan oleh kekuasaan Bali, Belanda, dan Jawa. Angka yang cukup berarti adalah, bahwa setelah perlawanan Jagapati atau biasa disebut Puputan Bayu (1771-1772), Blambangan mengalami depopulasi yang sangat signifikan; hingga akhir tahun 1772, 1 Sri Margana. Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. (Yogyakarta: Pustaka Ifada. 2012), hlm. 316.

Transcript of Bab I Pengantar A. Latar Belakang -...

Page 1: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

1

Bab I

Pengantar

A. Latar Belakang

Banyuwangi yang merupakan bekas Kerajaan Blambangan,

dapat digolongkan sebagai wilayah islamisasi yang paling akhir di

seluruh tanah Jawa. Alih-alih merupakan roh atau spirit juang

melawan kolonialisme, justru Islam dan islamisasi dari Jawa dan

Madura memainkan peran sentral dalam ekspansi Belanda di

ujung timur Pulau Jawa ini. Hal ini tentu saja menarik,

mengingat kebanyakan sejarawan cenderung untuk menonjol-

nonjolkan kontribusi terbesar Islam dalam sejarah Indonesia

sebagai pelopor dalam melawan kolonialisme bangsa Barat.1

Selain itu, formasi etnis penduduk Banyuwangi saat ini,

tidak terlepas dari peristiwa sejarah pendudukan Blambangan

oleh kekuasaan Bali, Belanda, dan Jawa. Angka yang cukup

berarti adalah, bahwa setelah perlawanan Jagapati atau biasa

disebut Puputan Bayu (1771-1772), Blambangan mengalami

depopulasi yang sangat signifikan; hingga akhir tahun 1772,

1 Sri Margana. Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. (Yogyakarta: Pustaka Ifada. 2012), hlm.

316.

Page 2: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

2

jumlah penduduk di seluruh Blambangan tidak lebih dari 3000

orang atau 8,3% dari jumlah penduduk sebelum pendudukan

Belanda di kawasan itu.2

Komposisi etnis, yang kemudian membentuk wilayah

administratif Banyuwangi pada saat ini, dapat disimpulkan

didominasi oleh orang-orang yang bukan keturunan dari rakyat

Blambangan, melainkan para pendatang dari Jawa dan Madura,

sekaligus Islam yang kemudian dibawa oleh para pendatang ini.

Sehingga, jika pada medio 1768-1773, perlawanan pribumi

cenderung dilandasi oleh sentimen etnis (anti-Jawa, yakni

Mataram) dan religius (anti-Islam); maka pada masa pasifikasi

politik Belanda, penduduk kemudian menggeser identitas etnis

mereka menjadi echt Javaan (asli Jawa).

Para ―penduduk asli‖ yakni para penyintas perang medio

1768-1773, yang pada masa kemudian digolongkan dalam sub-

etnis Osing, terdesak ke wilayah hinterland. Mereka yang rentan

terhadap hasutan orang-orang Bali ini lantas bertahan dengan

agama Hindu-Budha, atau dalam narasi sejarah disebut dengan

budaya Pra Islam. Manakala seorang linguis, Van der Tuuk,

mengunjungi area ini pada tahun 1840—tiga abad setelah

keruntuhan Majapahit, dia menemukan Desa Cungking, dekat

2 Ibid., hlm. 229.

Page 3: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

3

dengan kantor residen, yang masih menganut Sivaisme.3

Observasi 15 Mei 2014 dengan napak tilas linguis Van der Tuuk

di Desa Cungking, menunjukkan bahwa Islam telah dipeluk

secara mayoritas oleh warga, namun memori yang dibungkus

praktik ritual sinkretik justru adalah sisa-sisa kebanggaan orang

Cungking terhadap upaya menghalau islamisasi dari arah barat.

Tampaknya hal ini mengonfirmasi bahwa wilayah Banyuwangi

adalah salah satu pengecualian dari fase sejarah Jawa4 secara

garis besar, yang secara linier mengalami islamisasi sejak masa

Demak.

Sebagaimana daerah lain di Jawa, aristokrat lokal

Banyuwangi diberikan posisi subordinat di dalam struktur

kolonial, yang mana dinasti Tawang Alun (Raja Blambangan

terbesar, memerintah 1665-1691) silih berganti menempati posisi

ini. Setelah empat generasi memimpin Balmbangan—hingga

1767—, maka bupati yang disahkan Kumpeni untuk memimpin

Banyuwangi adalah keturunan dari istri padmi (permaisuri), dan

sejak 1771 hingga 1818 dialihkan kepada aristokrat lokal

3 Lekkerkerker dalam Andrew Beatty. Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. (Cambridge: Cambridge University Press. 1999)., hlm. 16.

4 Contoh lain banyak ditemukan di Jawa, seperti yang

dipaparkan oleh Koentjaraningrat, bahwa di lembah Sungai Opak—Sungai Progo, terdapat komunitas yang sama sekali tidak

tersentuh oleh pengaruh Islam. Lih. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka. 1984).

Page 4: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

4

keturunan Tawang Alun dari istri selir. Kuburan para Bupati

Banyuwangi kini terletak di dekat pusat kota ini, namun

keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

Banyuwangi modern.

Jika hilangnya kehidupan istana di bawah kuasa Belanda

menandai perbedaan krusial di Jawa Tengah, yang mana

penguasa masih dipatuhi masyarakat dan dijadikan teladan

budaya yang inggil; maka di Banyuwangi tidak. Secara politik

maupun kultural, antara desa dan negara kolonial, tidak ada

hubungan yang nyata kecuali dalam hal-hal tertentu seperti

pajak. Ketika budaya keraton berkembang dalam wujud kode

etika dan kehalusan artistik yang kian komplek—yang seolah-olah

menampakkan bahwa mereka menjadi lebih Jawa di muka

Belanda—Banyuwangi sebagaimana halnya daerah lain di wilayah

ujung Timur Jawa, telah dilemparkan kembali kepada sumber

budaya kuno, yakni dari tingkat desa.

Masuknya para pendatang serta penyebaran Islam, dan

tidak adanya gambaran model kerajaan lokal sebagaimana gaya

Jawa Tengahan—dalam bahasa, busana, seni—; di satu sisi

semakin meneguhkan perbedaan fase historis Banyuwangi dari

periodisasi sejarah daerah Jawa lainnya. Islamisasi dikatakan

memperlebar jurang antara Banyuwangi dan budaya pusat, sebab

Islam yang dibawa para pendatang lebih ―kasar‖ daripada yang

dipraktikkan di dalam dan di sekitar keraton. Islam yang dibawa

Page 5: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

5

sifatnya mudah alias tidak rumit, pinggiran, dan otoritasnya

disebarluaskan di antara sekian pesantren yang tersebar di

seluruh daerah.

Muncul kemudian adalah ulama sebagai kelompok yang

berusaha mengisi kekosongan posisi yang ditinggalkan aristorkat

lokal ini. Kesalehan yang diganjar dengan keselamatan di

kehidupan setelah mati, adalah praktik ideal bagi komunitas yang

dikenal dengan golongan santri. Banyuwangi modern yang

mengenal golongan santri sebagai pendatang, secara perlahan

namun pasti kemudian mengalami proses pengislaman. Pada

masa menjelang kedatangan tentara Jepang, organisasi ulama

dan golongan para santri yang terkemuka adalah Nahdlatul

Ulama yang dilabeli dengan golongan Islam tradisional, sementara

organisasi Islam modern kurang mendapat tempat, dan hanya

terdapat di wilayah perkotaan.

Melalui pengaruhnya di dalam masyarakat, ulama

melanjutkan peran pentingnya baik dalam kehidupan politik

maupun budaya. Kemenangan partai Nahdlatul Ulama sebagai

partai kaum santri pada pemilu 1955, secara tidak langsung

menandai peran penting kaum ulama dalam kehidupan politik

Banyuwangi. Siapakah ulama, dan bagaimana mereka

mempertahankan posisinya di dalam masyarakat Banyuwangi

yang usia keislamannya ―belum lama‖; merupakan sepasang

pertanyaan yang kemudian mendasari penelitian ini.

Page 6: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

6

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Permasalahan

Fokus penelitian ini adalah upaya melihat respon dan gejala

pada lapisan elit masyarakat lokal terhadap kontestasi

perpolitikan nasional, dalam hal ini ulama NU Banyuwangi

sebagai bagian dari gambaran besar Islam politik dalam

menghadapi perkembangan dan perubahan kekuasaan nasional.

Banyuwangi sebagai lanskap teritorial yang berada di ujung timur

Pulau Jawa, memiliki sejarah sebagai wilayah paling terakhir

dalam islamisasi Jawa, selain itu juga kenyataan bahwa formasi

etnisitasnya baru terbentuk pada akhir abad XVIII.

Pertanyaan-pertanyaan pokok penelitian ini adalah,

pertama, mengapa hubungan guru-murid menjadi elemen penting

dalam mengiringi proses islamisasi di Banyuwangi, apa peran dan

pengaruhnya dalam afiliasi politik ulama Banyuwangi? Kedua

mengapa NU mempunyai peran menonjol dalam kehidupan politik

di Banyuwangi, terutama sekitar tahun 1965, dan siapa sajakah

aktornya? Ketiga, mengapa terjadi perubahan pola afiliasi politik

ulama di Banyuwangi sejak 1955 hingga 1965?

Lokus penelitian ini adalah Banyuwangi, kabupaten di ujung

timur Jawa di mana kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa

berdiri, islamisasi beriringan dengan kolonisasi bangsa

Page 7: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

7

Bumiputera dan kolonialisme bangsa Barat, serta salah satu

wilayah sentrum konflik setelah kemerdekaan.

Angka tahun 1955 menjadi titik awal penelitian, dengan

pertimbangan bahwa selain menjadi tahun diadakannya pemilu

pertama, juga merupakan tahun di mana kontestasi politik secara

terbuka dan demokratis berlangsung. Kemudian, tahun 1965

diangkat sebagai batas akhir temporal penelitian, dengan

argumentasi bahwa tahun ini menjadi fase awal Orde Baru, di

mana kemudian terjadi sistem partai hegemonik (hegemonic party

system) yang diperankan oleh Golkar dan militer, sekaligus fase

peminggiran politik Islam.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan alasan

hubungan guru-murid menjadi elemen penting dalam mengiringi

proses islamisasi di Banyuwangi, sebagai pijakan awal menuju

penjelasan peran dan pengaruh relasi guru-murid dalam afiliasi

politik ulama Banyuwangi. Juga untuk mengetahui dasar NU

memiliki peran yang menonjol dalam kehidupan politik di

Banyuwangi, terutama sejak tahun 1955 hingga tahun 1965,

berikut identifikasi aktor-aktornya. Terakhir, penelitian ini juga

untuk mengetahui pasal terjadinya perubahan pola afiliasi politik

ulama Banyuwangi sejak 1955 hingga 1965.

Page 8: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

8

Penelitian terhadap peran politik ulama dalam historiografi

Indonesia kiranya sangat melimpah, oleh karena itu penelitian ini

diharapkan dapat memperkaya bidang penelitian sejarah politik.

Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat sedikit

menjernihkan narasi sejarah perihal ‗pecah kongsi‘ hingga fusi dua

cabang NU di Banyuwangi pada kurun 1955-1965.

D. Tinjauan Pustaka

Studi perihal Banyuwangi, secara umum berkisar pada tema

Osing, kesenian, mistisme dan kekerasan, khususnya berkaitan

dengan pembunuhan dukun santet tahun 1998. Penelitian Sri

Margana bertajuk ―Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan

Hegemoni Blambangan‖ yang memaparkan persaingan kekuatan

bangsa Nusantara dan bangsa Barat dalam mengiringi proses

hinduisasi, islamisasi, dan kolonisasi di wilayah ujung timur

Pulau Jawa. Kajian ini sangat membantu penggambaran

keberagamaan serta penelusuran formasi etnis Banyuwangi

modern. Paul Arthur Wolbers, yang menulis disertasi berjudul

―Maintaining Using Identity Through Performance Seblang And

Gandrung‖ menggarisbawahi bahwa sejarah musik di Banyuwangi

pada abad ke-19 merefleksikan pula sejarah politik wilayah ini,

pengaruh Jawa dan pengaruh Bali datang seiring silih bergantinya

penaklukan dari kedua kekuatan tersebut. Selain itu, seblang dan

terutama gandrung yang merefleksikan baik pengaruh Bali

Page 9: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

9

maupun Jawa di masa lalu, diusung oleh orang-orang

Using/Osing yang bermukim di seputar Kota Banyuwangi.5

Penelitian antropologis dari Andrew Beatty, yang berjudul Varieties

of Javanese Religion: An Anthropological Account6, memaparkan

karakteristik masyarakat Banyuwangi dari segi sinkretisme

kepercayaan atau silang pengaruh antara kesalehan Islam,

mistisisme lokal, Hinduism, dan tradisi rakyat Banyuwangi. Titik

fokus kajian Beatty mengenai karakteristik Islam di Banyuwangi

pada Bab 5 serta Bab 8, kiranya mampu membantu pembacaan

corak Islam Banyuwangi dari segi antropologi, untuk kajian

keagamaan ini. Kekerasan santet menjelang dan sekitar reformasi

juga dikaji dari disiplin antropologi, sebagaimana terekam dalam

penelitian Nicholas Herriman yang berjudul ―Negara vs Santet‖7,

serta Sunarlan yang bertajuk ―Gerakan Reformasi Politik dan

Konfigurasi Elite Lokal (Studi Kasus di Kabupaten Banyuwangi

1998-1999)‖.8

5 Paul Arthur Wolbers. ―Maintaining Using Identity through

Musical Performance; Seblang and Gandrung of Banyuwangi, East Java (Indonesia)‖ Disertasi. (Illinois: University of Illinois at Urbana-Champaign. 1992).

6 Andrew Beatty. Varieties of Javanese Religion., op.cit.

7 Nicholas Herriman. Negara VS Santet. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2013).

8 Sunarlan. ―Gerakan Reformasi Politik dan Konfigurasi Elite

Lokal (Studi Kasus di Kabupaten Banyuwangi 1998-1999)‖. Tesis.

Page 10: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

10

Sebagai pembanding, penelitian terdahulu mengenai

atmosfer politik pada masa 1955, menjadi sumbangsih yang

berarti, seperti laporan pemilu 1955 dari Herbert Feith9, atas

pemilu 1955, terutama di Jawa, di mana dua elemen kekuatan,

yakni santri dan abangan dinilai cukup determinan dalam

keterpilihan partai-partai agama maupun non-agama. Selain itu

juga tulisan Ken Ward, yang memandang persaingan politik

nasional pada pemilu 1971 dari sudut pandang lokal Jawa Timur,

di mana ia memandang program pemerintahan Soeharto untuk

mempercepat modernisasi tidak akan terganggu oleh berbagai

pergolakan sosial–misalnya demonstrasi besar di ibu kota pada

Januari 1974–yang membuktikan kekuatan pemerintahan baru

tersebut. Karya ini akan membantu memandang pemilu kedua

tersebut sebagai wujud konsolidasi politik pemerintah Soeharto,

khususnya di daerah regional Jawa Timur.10

Pustaka selanjutnya adalah yang ditulis oleh Nuryadin,

berjudul ―Konflik Sosial dan Demokratisasi, Studi Kritis dan

(Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2000).

9 Herbert Feith. The Indonesian Election of 1955. (NY: Cornell University Modern Indonesia Project, 1957).

10 Ken Ward. The 1971 Election in Indonesia: An East Java Case Study. (Clayton: Monash University Centre of Southeast Asian Studies. 1974).

Page 11: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

11

Komparatif tentang Pertikaian Ideologi dan Kekerasan Politik Pada

Pemilu 1955 dan 1999‖.11 Meskipun penelitian ini hanya

memperbandingkan dua peristiwa pemilihan umum, namun

pemaparannya mengenai kontestasi politik aliran dalam Islam,

dapat dirujuk sebagai pembanding. Selanjutnya adalah penelitian

dari Abd. Aziz Thaba, bertajuk ―Islam dan Negara dalam Politik

Orde Baru (1966-1994)‖12. Sebagai kajian yang menghadirkan

relasi antara Islam dan negara, penelitian ini cukup membantu

dalam menelaah hubungan antara Islam politik dan negara yang

penduduknya mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia. Thaba

menyimpulkan bahwa terdapat perubahan sifat hubungan antara

Islam dengan negara dalam politik Orde Baru, dari antagonistik

(1967-1982), resiprokal-kritis (1982-1985), ke akomodatif (1985-

1994). Karya lain mengenai Islam dan politik adalah karya Abdul

Munir Mulkhan, berjudul ―Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi

Kebudayaan dalam Dakwah Islam‖13. Buku ini secara tematik

mengulas pandangan politik golongan santri pada masa Orde

11 Nuryadin. ―Konflik Sosial dan Demokratisasi, Studi Kritis

dan Komparatif tentang Pertikaian Ideologi dan Kekerasan Politik pada Pemilu 1955 dan 1999‖. Tesis, tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2007).

12 Abdul Aziz Thaba. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1966-1994). (Jakarta: Gema Insani Press. 1996)., hlm. 223.

13 Abdul Munir Mulkhan. Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam. (Yogyakarta: Sipress. 1994).

Page 12: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

12

Baru, terutama dalam kacamata sosiologis yang terfokus pada

mobilitas sosial-politik yang berlangsung di kalangan santri

sepanjang masa Orde Baru.

Sebagian besar kajian mengenai Islam dan politik atau Islam

dan negara berangkat dari–atau terkadang berupaya membangun–

pendekatan tipologis guna menjelaskan pelbagai perbedaan dan

perubahan sikap masyarakat muslim berhadap-hadapan dengan

isu politik-keagamaan. Hal ini dikarenakan bahwa penggambaran

dan pemetaan Islam Indonesia yang sangat kompleks, berkelit

kelindan dengan adanya berbagai organisasi atau komunitas

muslim yang pada ujungnya tidak dapat digeneralisir dalam satu

wajah saja. Studi Clifford Geertz, yang mengelompokkan tiga

varian muslim Jawa, dalam trikotomi santri-priyayi-abangan tidak

hanya merefleksikan struktur agama dan budaya, melainkan juga

berupaya menjelaskan komposisi politik dan ekonomi masyarakat

muslim Jawa. Santri, adalah sekelompok orang yang secara ketat

mengenyam pendidikan agama. Menurut Geertz, di antara budaya

santri adalah anti-birokrasi, independensi, dan egaliter. Pada

umumnya, mereka tinggal di perkotaan, di mana perilaku ekonomi

mereka terutama berdagang. Pada ranah politik, golongan ini

Page 13: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

13

cenderung untuk memilih partai Islam, seperti Masjumi dan NU.14

Abangan adalah golongan yang tidak terkait dengan praktik formal

keagamaan (Islam). Sebagai oposisi dari santri, kebanyakan

muslim abangan hidup di pedesaan di mana mereka berprofesi

sebagai petani. Perihal afiliasi politik, golongan ini cenderung

untuk mendukung partai-partai ―sekuler‖ atau non-agama, seperti

PNI serta PKI.15 Sementara priyayi, adalah kelompok orang-orang

yang lebih percaya pada kepercayaan Hindu-Jawa daripada nilai-

nilai Islam (sinkretik). Dalam struktur masyarakat Jawa, priyayi

adalah masyarakat kelas elit yang biasanya tinggal di sekitar

keraton. Pada bidang politik, sebagaimana golongan abangan,

kebanyakan priyayi cenderung untuk mendukung partai-partai

berhaluan nasionalis-sekuler. Jika abangan adalah petani Jawa,

maka priyayi adalah ningratnya, orientasi politik dan budaya

keduanya adalah versi halus dan versi kasar dari masing-masing,

di mana etiket dan perlambang yang menjadi pembedanya.16

Tidak sedikit ahli yang mengkritisi klasifikasi Geertz di atas,

tidak hanya karena ia menggunakan kategorisasi yang tidak

14 Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Komunitas Bambu. 2013), Bagian

Dua: Varian Santri, terutama hlm. 143-149

15 Ibid., hlm. 178-184

16 Ibid., hlm. 337-338

Page 14: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

14

paralel–pencampuradukan antara klasifikasi berdasarkan

religiusitas (santri dan abangan) dengan kategori sosial (priyayi)–

melainkan juga karena deskripsinya untuk tiap kategori sulit

untuk dipertahankan. Harsja W. Bachtiar, misalnya, mengritik

anggapan Geertz perihal abangan yang diidentifikkan berprofesi

sebagai petani yang tidak menjalankan ritual agama Islam secara

taat. Bachtiar berpendapat bahwa tidak sedikit petani abangan

yang membangun sedikitnya satu tempat ibadah (masjid,

mushala, langgar, dsb.) di tiap desa atau dusun; menghadiri

ibadah sholat jum‘at, bahkan sanggup menunaikan ibadah haji.

Dalam komentarnya, Bachtiar menyatakan bahwa ―ada banyak

petani yang dengan segala upaya berusaha mengumpulkan uang

yang cukup untuk naik haji ke Mekkah, kota suci Islam‖17 Begitu

pula, untuk mengasosiasikan santri dengan kelas pedagang tidak

sepenuhnya akurat, yang mana menurut Bachtiar ―santri terdapat

dalam setiap kategori sosial yang utama, golongan ningrat dan

rakyat biasa, pedagang dan petani, tua-muda, yang tradisional

serta modern, terpelajar dan tidak terpelajar18‖. Bachtiar juga

berupaya meruntuhkan kesimpulan Geertz yang menghubungkan

priyayi dengan kepercayaan Hindu-Jawa, yang ―dalam sejarah,

17 Lih. Lampiran. Harsja W. Bachtiar. ―The Religion of Java:

Sebuah Komentar‖., dalam Ibid., hlm. 586.

18 Ibid., hlm. 591.

Page 15: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

15

orang-orang priyayi yang terkemuka, termasuk pangeran-

pangeran yang memerintah adalah santri, di antaranya Sultan

Agung dan Pangeran Diponegoro19‖. Kendati demikian, sejauh

menyangkut narasi afiliasi politik, asosiasi yang dibangun oleh

Geertz yang menghubungkan kecenderungan politik pada masing-

masing klasifikasi, dinilai masih cukup akurat dan terpakai.

Semenjak penelitiannya, kebanyakan priyayi dan abangan

bergabung dengan partai-partai non-agama, sementara santri

adalah konstituen bagi partai-partai Islam. Namun dengan

munculnya fenomena kiai-Golkar20, trikotomi Geertz ini kemudian

menjadi goyah dalam membaca dinamika dan pola afiliasi politik

ulama seiring perubahan rezim kekuasaan.

Tipologi selanjutnya, adalah yang diutarakan Deliar Noer

dalam tulisannya, ―Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-

1942‖21, yang terinspirasi dari tipologi global akan klasifikasi

religius-politis. Noer mengklasifikasikan kecenderungan sikap

religius-politis masyarakat muslim Indonesia ke dalam golongan

19 Ibid., hlm. 598.

20 Elit agama yang mendukung partai Golkar, partai sekuler

dan bukannya partai berbasis agama. Lihat. Heru Cahyono. Peranan Ulama dalam Golkar 1971—1980 dari Pemilu sampai Malari . (Jakarta: Sinar Harapan. 1992).

21 Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900–1942. (Jakarta: LP3ES. 1980).

Page 16: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

16

―modern‖ dan ―tradisional‖. Golongan modern terdiri dari orang-

orang muslim yang berpendapat bahwa modernitas atau

pembaharuan dapat diadopsi sebagai intrumen baru guna

kemakmuran Islam; sementara golongan tradisional adalah

kelompok muslim yang meyakini bahwa nilai-nilai tradisional

masih memungkinkan untuk dipakai dalam kehidupan sekarang.

Keduanya percaya pada nilai-nilai dasar doktrin politik Islam;

seperti kebutuhan adanya basis keagamaan dalam konstitusi

negara, penerapan hukum Islam (syari’ah), dan komitmen pada

prinsip–prinsip Islam yang inti. Pada ranah politik, baik golongan

modernis maupun tradisionalis bertemu dalam partai Islam

tunggal, Masjumi; hingga pada tahun 1952, perbedaan cara

pandang dan kepentingan politik pragmatis melatari pemisahan

golongan tradisionalis dari tubuh Masjumi guna mendirikan partai

mereka sendiri, partai Nahdlatul Ulama.22

22 Ibid., terutama Bab Pendahuluan. Noer juga mengambil

analogi dari tanah Minang untuk menggambarkan bipolaritas modernis-tradisionalis ini ke dalam penggolongan kaum muda-kaum tua. Sementara bagi Pijper, meskipun membenarkan adanya

tipologi kaum tua-kaum muda, namun tidak bersepakat jika para pembaharu lantas dibubuhi cap modernis. Beberapa calon guru

agama Islam di Banjarmasin, pada tahun 1931, menyatakan bahwa mereka ―tidak termasuk kaum muda maupun kaum tua, tetapi termasuk ahli sunnah waljamaah‖, yang berarti orang-orang ortodoks. Pijper mengingatkan bahwa kedua golongan tersebut ingin disebut orang ortodoks, dus tidak mau disebut sebagai kaum

modernis. Kaum modernis sebagai suatu kelompok tidak ditemukan di Indonesia. Hasrat ‗rerum novarum‘ yang menjadi ciri

khas orang-orang Barat, asing bagi Islam dan asing pula bagi para

Page 17: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

17

Jika menggunakan pengertian Geertz, pembagian modernis-

tradisionalis secara garis besar didasarkan pada kategorisasi

santri, di mana studi Geertz hanya untuk mengilustrasikan dan

memetakan muslim Jawa, sehingga masih belum tuntas untuk

membaca kecenderungan religius-politis dalam ruang negara

nasional. Secara nasional, Noer kemudian berupaya

melengkapinya–berdasarkan tipologi modernis-tradisionalis–ke

dalam klasifikasi yang ia sebut ―nasionalis Islam‖ dan ―nasionalis

netral agama‖; yang mana dalam menghadapi isu seperti

nasionalisme, negara, dan pemerintahan, kelompok terakhir

menolak dasar-dasar Islam yang diperjuangkan oleh kelompok

pertama.23 Tipologi terakhir dari Noer, kemudian juga

dikembangkan oleh Endang Saifuddin Anshary ke dalam tipologi

yang ia sebut ―nasionalis Islam‖ dan ―nasionalis sekuler‖.24

penganutnya. Agama Islam menganggap bahwa kebenaran yang

diwahyukan itu merupakan sesuatu yang sudah lengkap dan tidak memerlukan tambahan baru (bid’ah). G.F. Pijper. Beberapa Studi tentang Islam Indonesia 1900-1950. (Jakarta: UI-Press. 1985), hlm. 107.

23 Noer, op.cit., hlm. 7-8, serta bab 4.

24 Lebih lanjut, simak Endang Saifuddin Anshari. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia, 1945-1959. (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman

ITB. 1981). Pada masa pra-proklamasi kemerdekaan, politik aliran ini secara kasar dipetakan dalam term golongan nasionalis,

agamais, dan komunis, yang pasca-proklamasi hingga era

Page 18: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

18

Meskipun demikian, tipologi tidak secara permanen sesuai

realitas, karena kebergunaannya seringkali tergantung pada

konteks sosial-historis yang melingkungi. Studi oleh Fachry Ali

dan Bachtiar Effendy, yang mengkritisi tipologi-tipologi yang telah

ada, terutama dikotomi ―modernis-tradisionalis‖, yang semenjak

era Orde Baru, pemetaan religius-politis muslim Indonesia telah

berubah drastis. Menurut kedua penulis, Islam Indonesia dapat

dikategorisasikan dalam empat kelompok; pertama, kelompok neo-

modernis, yakni golongan muslim yang hendak memadukan

antara tradisionalitas dan modernitas. Bagi kelompok ini,

modernitas bukanlah sesuatu yang musti ditolak oleh orang-orang

muslim, namun demikian keberadaannya juga tidak berarti

penegasian atas nilai-nilai tradisional.25 Kedua, adalah kelompok

sosial-demokrat, yakni golongan muslim yang memandang Islam

sebagai inspirasi dalam hal keadilan sosial dan ekonomi. Ketiga,

internasionalis, atau Islam universalis, yang percaya bahwa Islam

semestinya menjadi agama universal, oleh karenanya, Islam harus

ditempatkan sebagai panglima dalam setiap aspek kehidupan

Demokrasi Terpimpin berkembang menjadi golongan nasionalis-sekuler, nasionalis-agama, dan nasionalis-komunis.

25 Ungkapan yang biasa dinisbatkan pada–atau

diargumentasikan oleh–kelompok ini adalah al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa akhdh bi al-jadid al-aslah (menjaga kebaikan-

kebaikan lama, sekaligus mengadopsi keunggulan-keunggulan yang baru).

Page 19: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

19

manusia. Empat, kaum modernis, yang ekuivalen dengan golongan

Islam modernis dalam dikotomi sebelumnya.26

Beberapa tipologi tersebut adalah wujud upaya memahami

fenomena yang terjadi, terkait dengan kecenderungan keagamaan,

realitas ekonomi, politik, dan sebagainya. Nampak bahwa tipologi

seringkali kompleks dan problematis, sehingga sebagian peneliti

menghindarinya. Permasalahannya, bukannya apakah penelitian

ini musti menggunakannya, melainkan bagaimana tipologi-tipologi

tersebut dimanfaatkan, dan hal ini seringkali berkaitan erat

dengan konteks sosial-historis fenomena yang akan dibaca dalam

penelitian ini.

E. Kerangka Konseptual

Term pertama dalam penelitian ini adalah afiliasi politik;

yang berarti pertalian atau hubungan kepentingan antara

seseorang dengan organisasi atau partai politik tertentu. Dengan

demikian, ulama yang berafiliasi politik adalah mereka yang

menunjukkan keterlibatan atau dukungan terhadap suatu

kegiatan politik tertentu.

26 Fachry Ali dan Bachtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru. (Bandung: Mizan. 1984)., hlm. 95.

Page 20: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

20

Term kedua adalah ulama (Arab, bentuk plural dari alim:

orang yang berilmu), yang secara sederhana dapat diartikan

sebagai orang yang mengetahui ilmu agama dan biasanya

mengajarkannya. Ulama dalam kajian politik di Indonesia, di

mana mentalitas sebagian masyarakatnya masih bersifat

primordialistik, dinilai penting karena sikap politik dan terutama

pilihan afiliasi politik ulama diyakini mampu memengaruhi,

merubah, bahkan menentukan afiliasi politik masyarakat di

lingkungannya. Ulama di sini, yang dalam kajian ilmu sosial

merupakan kelas elit dalam masyarakat, menginklusikan tidak

hanya kelompok ulama yang secara aktif terjun dalam dunia

politik praktis, namun juga menyertakan kelompok ulama yang

secara administratif tidak tertulis dalam struktur kepengurusan

atau daftar perwakilan suatu organisasi partai politik dalam

parlemen.

F. Metode dan Sumber Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode sejarah yaitu seperangkat prinsip-prinsip yang

sistematis beserta aturan-aturan untuk mengumpulkan sumber-

sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan

menyajikannya secara sistematis dari hasil-hasil yang dicapai

dalam bentuk tertulis. Secara singkat definisi tersebut dapat

dijelaskan sebagai suatu sistem berdasarkan prosedur yang benar

Page 21: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

21

untuk mencapai ―kebenaran sejarah‖.27 Keseluruhan prosedur

metode sejarah dapat dicapai melalui beberapa tahapan, yaitu

pengumpulan sumber (heuristik), kritik, dan seleksi sumber,

interpretasi, dan penulisan.28

Pengumpulan sumber dilakukan dengan wawancara lisan

yang dilakukan pada informan dengan kualifikasi memiliki

hubungan atau terlibat dalam penelitian ini; meliputi kiai,

budayawan-seniman, wartawan, serta pejabat sebagai tokoh

masyarakat; kemudian keluarga batih maupun kerabat dekat

serta teman atau rekan sejawat dari tokoh utama narasi sejarah,

serta orang-orang yang terkait, seperti murid dari tokoh yang

diteliti dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena peristiwa sejarah

belum lama terjadi, sehingga dimungkinkan banyak informan

(pelaku, saksi) masih hidup. Seluruh informan yang diwawancari

berdomisili di Banyuwangi, dan yang dapat langsung dilacak

keberadaannya, ditemui secara langsung. Adapun informan yang

berada di luar Banyuwangi seperti di Kediri dan Tuban, dihubungi

via telepon, layanan pesan pendek (SMS) serta blackberry

27 Gilbert J. Garraghan. A Guide to Historical Method. (New

York: Fordham Unversity Press 1957), hal. 33.

28 Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang. 1995), hal. 92.

Page 22: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

22

messenger (BBM). Selain itu, juga dipakai rangkuman wawancara

dari peneliti sebelumnya.

Teknik wawancara di sini tidak hanya bertujuan untuk

menggali cerita masa lalu penuturnya saja, melainkan juga

mampu mendokumentasikan aspek-aspek tertentu dari

pengalaman sejarah yang cenderung hilang dari sumber tertulis

lainnya.29 Kendati demikian, semua informasi hasil wawancara

yang ada tetap diberi jarak emosi dengan informan. Persolalan

psikologis inilah yang dihindari karena akan menjatuhkan

pembenaran dan pembelaan terhadap informan. Empati boleh saja

muncul, tapi harus kritis sehingga diperlukan kritik sumber. Di

samping itu, dilakukan pengecekan data dengan menggunakan

sumber sejaman untuk memberikan penafsiran serta penjelasan

atas data lisan dan tulisan.30 Sumber sejaman sebagai bahan

baku penulisan serta berfungsi sebagai kritik sumber, berwujud

stensilan, koran sejaman, serta arsip. Demikian pula, sumber

sejamanpun juga melewati tahap kritik, meliputi gaya ejaan serta

29 Bambang Purwanto. ―Sejarah Lisan dan Upaya Mencari Format Baru Historiografi Indonesia Sentris‖, dalam Taufik

Abdullah et al (Ed.) Samudera Pasai ke Yogyakarta Persembahan Kepada Tengku Ibrahim Alfian. (Jakarta: Yayasan Masyarakat

Sejarawan Indonesia. 2002), hal 92.

30 Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (Ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. (Jakarta

Yayasan Obor Indonesia KITLV-Jakarta dan Pustaka Laras. 2008), hlm. 192.

Page 23: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

23

kepentingan atau ideologi di balik penulisan sumber tersebut.

Koran ―Duta Masjarakat‖ jelas mengusung kepentingan kelompok

Islam, khususnya Nahdlatul Ulama, sementara ―Harian Rakjat‖

menyuarakan kepentingan dan agitasi komunis, sedangkan

―Pewarta Soerabaja‖, meskipun tidak jelas ideologi di belakangnya,

namun yang jelas pemilik koran ini adalah etnis Tionghoa.

Data sejarah dalam penelitian ini terbagi dalam bentuk

penelitian pustaka dan lisan (oral history). Penelitian pustaka

meliputi kajian terhadap: arsip hasil pemilu, arsip anggota

konstituante, koran ―Pewarta Soerabaja‖, ―Harian Rakjat‖, ―Duta

Masjarakat‖, stensilan, foto, buku, jurnal, dan karya akademik

lain yang diperoleh secara gratis dari Jogja Library Yogyakarta,

perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, khususnya layanan

tak berbayar Direct Acces ‗ProQuest‘ dan ‗JSTOR‘, koleksi langka

Hatta Corner, dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya;

Perpustakaan Pontren Berasan, Perpustakaan Kolese Ignatius

Yogyakarta, akses dan fotokopi gratis di Monumen Pers Solo,

Perpustakaan Daerah Banyuwangi; dan koleksi perpustakaan

pribadi dari informan di Banyuwangi, tidak lupa juga di ANRI

(Arsip Nasional Republik Indonesia) dan Perpustakaan Nasional di

Jakarta.

Wawancara di Banyuwangi dilaksanakan pada Desember

2013-Januari 2014, April-Mei 2014, dan Desember 2014. Untuk

Page 24: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

24

mendapatkan data lisan ini, dilakukan wawancara dengan

informan yang terdiri dari tokoh: sejarawan ahli Banyuwangi,

sejarawan lokal Banyuwangi, wartawan lokal, keluarga tokoh

utama, beberapa kiai pemimpin pesantren, ketua Nahdlatul Ulama

cabang Banyuwangi, ulama yang pernah atau masih aktif dalam

partai politik, peneliti sebelumnya, dan masyarakat Banyuwangi.

Data lisan diperbedakan dalam dua macam; pengalaman aktual

informan dan pendapatnya terhadap peristiwa. Pembedaan ini

penting, selain agar pemilahan atas eviden sejarah menjadi lebih

jelas batasnya (antara pelaku dan saksi, data sekunder dan

primer) serta menjadi kritik data (subjektivitas pelaku). Dalam

penelitian ini, terdapat informan yang kritis, yang sudah

mencampurkan bahasa pengalaman dengan hasil penelitian

terbaru; sehingga kehati-hatian diperlukan guna memahami

faktualitas data dan hegemoni wacana. Dengan begitu, informasi

aktual dan pandangan informan, harus diperlakukan secara ketat.

Penyajian data lisan menggunakan 2 metode31, pertama,

menggunakan tulisan analitis dengan tujuan utama menyajikan

argumen mengenai peristiwa tertentu. Kutipan-kutipan terpilih

diambil dari wawancara, sehingga pembaca tidak terlalu banyak

tahu mengenai riwayat hidup orang yang diwawancarai. Perhatian

utama metode ini adalah membangun argumen mengenai

31 Ibid.

Page 25: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

25

mengapa dan/bagaimana suatu peristiwa terjadi. Kedua,

menggunakan format profil orang yang diwawancarai. Pembaca

diberikan riwayat hidup seseorang, yang disampaikan sebagaian

besar melalui kutipan-kutipan panjang melalui wawancara.

Dengan format ini, tugas peneliti adalah memberikan ulasan yang

menjalin kutipan satu dengan yang lain, agar pembaca dapat

mengetahui alur sejarah kehidupan orang tersebut. Peneliti juga

mengangkat hal-hal tertentu untuk penekanan dan menjelaskan

apa yang paling bermakna dari riwayat hidup ini menurut

pendapatnya.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian yang menyajikan kajian historis perihal afiliasi

politik ulama Banyuwangi ini, dimulai dengan pendahuluan yang

berisi: latar belakang, rumusan masalah dan ruang lingkup,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka

konseptual, metode penelitian dan sumber penelitian, serta

sistematika penulisan.

Pemaparan gambaran umum Banyuwangi, khususnya

perihal Islamisasi dan pekembangan Islam di Banyuwangi (Bab II)

menjadi langkah awal pembahasan sekaligus penggambaran

panggung sejarah (aspek spasial) yang meliputi pemaparan

komposisi etnis, mitos islamisasi dan para pendatang, polarisasi

Page 26: Bab I Pengantar A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87989/potongan/S2-2015... · keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam

26

masyarakat, organisasi keagamaan dan non-keagamaan,

pesantren serta wujud relasi guru murid.

Setelah pemaparan aspek spasial, maka dilanjutkan dengan

pengetengahan pelaku sejarahnya, dalam hal ini adalah profil

ulama Banyuwangi (Bab III). Pengertian ulama yang dinisbatkan

dengan kata politik mengawali bab ini, yang dilanjutkan dengan

identifikasi profil ulama Banyuwangi yang mewakili tiga kurun

generasi.

Muara dari penjajaran aspek ruang dan aktor sejarah afiliasi

politik kaum elit agama di Banyuwangi adalah peran mereka

dalam kancah politik Banyuwangi (Bab IV). Diawali dengan narasi

dan perbandingan versi perkembangan NU di Banyuwangi,

dilanjutkan dengan penggambaran pemilihan umum 1955 sebagai

abstraksi perkembangan kekuatan politik. Konflik lokal yang

mengiringi situasi politik menjelang perubahan orde

pemerintahan, menjadi latar belakang dari konflik kepentingan

pada pemilihan bupati akhir tahun 1964. Ujung pembahasan bab

ini adalah konversi agama dan perubahan polarisasi sebagai efek

sekaligus ekses huru-hara politik setelah perubahan orde

pemerintahan. Sementara kesimpulan (Bab V) akan menjadi

penutup dari tesis ini.