BAB I PENGANTAR 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENGANTAR 1.1 Latar...
1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Berbagai nilai yang hidup pada masa kini, demikian juga yang akan
berkembang pada masa mendatang, pada hakikatnya merupakan bentuk
kesinambungan dari nilai-nilai yang telah ada pada masa lampau (Chamamah-
Soeratno, 2011:4). Nilai-nilai dari masa lampau tersebut merupakan salah satu
produk kebudayaan bangsa yang perlu “digali” dan dikaji. Pengetahuan tentang
kebudayaan bangsa kita pada masa lampau sebagian “tergali” dari peninggalan
purbakala, termasuk prasasti dan naskah lama yang ditulis tangan (Panuti-
Sudjiman, 1995:46).
Naskah merupakan salah satu peninggalan masa lampau yang dimiliki
masyarakat Indonesia. Baroroh-Baried dkk. (1994:6) mengemukakan bahwa
dalam naskah tersimpan sejumlah informasi masa lampau yang memperlihatkan
buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku
pada masyarakat masa lampau. Naskah terdapat di berbagai daerah di Indonesia.
Salah satu naskah yang terdapat di Indonesia adalah naskah Melayu.
Naskah Melayu adalah naskah yang kandungan atau teksnya ditulis dalam
bahasa Melayu. Huruf yang digunakan dalam naskah Melayu pada umumnya
adalah huruf Arab-Melayu (Jawi) (Mulyadi, 1994:11). Naskah Melayu juga dapat
berarti semua teks tertulis dalam bahasa Melayu, yang merupakan awal
2
kemunculan sastra kontemporer di Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura
(Kratz, 1996:241).
Menurut Chambert-Loir dan Fathurahman (1999:7), dalam pembicaraan
mengenai warisan kebudayaan Indonesia masa lampau, naskah1 sering kali
diabaikan. Padahal, menurut mereka, naskah memiliki dimensi dan makna yang
lebih luas karena merupakan hasil tradisi yang melibatkan berbagai keterampilan
dan sikap budaya. Keterampilan itu, antara lain, adalah keterampilan pembuatan
bahan naskah dan gambar-gambar dalam naskah.
Naskah memiliki segi estetis, tidak hanya dari muatan naskahnya, karena
memuat gambar-gambar (Chambert-Loir dan Fathurahman, 1999:7). Naskah
Melayu ada yang memiliki gambar pada awal atau akhir naskah. Gambar tersebut,
misalnya, berupa gapura atau mihrab yang dipenuhi ornamen, rangkaian bunga,
jalinan sulur dan daun, atau gabungan motif-motif geometris. Gambar-gambar itu
menunjukkan bahwa pada masa lampau masyarakat sudah mengenal seni.
Dalam bahasa Indonesia, seni berarti ‘keahlian membuat karya yang
bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya)’ atau
‘karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tari, lukisan, dan
ukiran’ (Sugono, 2008:1273). Sementara itu, dalam bahasa Sanskerta seni disebut
çilpa yang berarti ‘beraneka ragam penampilan, dekorasi, ornamen, karya seni,
atau keterampilan artistik’. Sebagai kata sifat, çilpa berarti ‘berwarna’. Sementara
itu, kata jadiannya (su-çilpa) berarti ‘dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah
1 Dalam filologi, terdapat perbedaan pengertian mengenai teks dan naskah. Teks merupakan isi atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya (Mulyadi, 1994:3).
3
atau dihiasi dengan indah’. Sebagai kata benda, çilpa berarti ‘pewarnaan’
(Macdonell, 1979:314).
Dari beberapa definisi seni di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seni
berkaitan dengan aktivitas manusia. Seni membutuhkan keahlian, bertujuan
menghasilkan karya yang indah dan artistik. Hasil karya tersebut dapat berupa
ornamen, dekorasi, pewarnaan, ataupun hasil kerajinan lainnya.
Menurut Hussin dkk., 2009:85, seni hias memiliki makna membentuk dan
menggayakan keindahan sehingga tercipta ornamen atau hiasan. Hiasan yang
dihasilkan mengandung falsafah dan lambang berdasarkan kepercayaan dan
pandangan umum masyarakat yang menghasilkannya. Sementara itu, Read (dalam
Hussin dkk., 2009:88) mendefinisikan seni sebagai usaha mencipta bentuk yang
melahirkan rasa kesenangan hati.
Seni sudah dikenal sejak awal mula kehidupan manusia. Pada zaman
prasejarah, selain bahasa tubuh dan suara, gambar merupakan sarana nenek
moyang untuk berkomunikasi. Menurut Kurniawan dan Darmawan (2002:2–
3), gambar-gambar primitif umumnya memiliki makna tertentu bergantung dari
visualisasinya. Berangkat dari hal itu, mulailah berkembang gambar-gambar yang
difungsikan sebagai hiasan, bahkan sebagai penangkal bala. Dari beberapa
pengembangan itulah seni hias berkembang, termasuk di Nusantara.
Seni hias di Nusantara diterapkan pada benda-benda pakai, misalnya
gerabah, tempat makanan, senjata, dan elemen bangunan (arsitektur). Seni hias
dikenal pula dengan sebutan seni dekoratif dan seni ornamen. Darmawan (2002:2)
mengemukakan bahwa, seperti halnya artefak kebudayaan yang lain, seni hias
4
umumnya memiliki ide dasar sekaligus muatan-muatan makna tertentu—seperti
cerita, petuah, atau bentuk representasi keragaman flora dan fauna yang ada di
lingkungan tempat artefak tersebut dibuat. Hal tersebut membuat motif hias setiap
daerah di Nusantara berbeda-beda.
Pada masa tradisi tulis telah berkembang di Nusantara, seni hias
diterapkan pula pada naskah Nusantara. Naskah Nusantara yang berhias antara
lain adalah naskah Aceh, Minangkabau, Bali, Jawa, Bugis, dan Melayu. Menurut
Darmawan (2002:4), seni hias yang digunakan sebagai elemen dekoratif untuk
sebuah naskah itulah yang kemudian dinamakan sebagai seni iluminasi.
Seni hias, termasuk seni iluminasi, dapat menjadi nilai tambah suatu
naskah. Meskipun demikian, naskah Nusantara (terutama Melayu, dibandingkan
Jawa dan Bali) sebagian besar tidak bergambar, hanya sebagian kecil saja yang
memuat ilustrasi2 dan iluminasi. Akan tetapi, dari sebagian naskah Melayu yang
bergambar itu terlihat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia memiliki tradisi
visualisasi yang unik (Damayanti dan Suadi, 2007:68).
Kurniawan dan Darmawan (2002:1) mengemukakan bahwa dalam
perkembangannya seni iluminasi tidak hanya digunakan sebagai unsur dekoratif,
tetapi juga sebagai alat atau indikator nilai sesuatu hal. Hal itu senada dengan
yang dikemukakan Waley (2005:226), yaitu bahwa ada atau tidaknya hiasan
naskah juga menunjukkan status naskah secara keseluruhan dan status orang yang
menghasilkan hiasan itu. Pada Abad Pertengahan naskah beriluminasi dianggap
sebagai barang mewah karena kelangkaan bahan yang digunakan dan karena
2 Ilustrasi naskah adalah hiasan yang mendukung teks (Mulyadi, 1994:69), berkaitan dengan isi teks suatu naskah.
5
waktu serta keterampilan yang diperlukan untuk menghasilkan naskah (Waley,
2005:229).
Sementara itu, Safari (2010:1) mengungkapkan kedudukan iluminasi
dalam sebuah naskah. Menurut Safari (2010:1) iluminasi dapat membantu
menjelaskan asal naskah karena setiap daerah memiliki karakter motif iluminasi
masing-masing, selain subjektivitas gaya pembuat iluminasi. Selain itu, iluminasi
juga dapat mendukung perkiraan penentuan waktu naskah tersebut ditulis atau
disalin sebab seniman-seniman pembuat iluminasi merupakan saksi anak zaman.
Tak jauh berbeda dengan pendapat Safari, menurut Zuriati dan Yusuf
(2010:4–5) motif-motif iluminasi tidak hanya hadir sebagai gambar yang dipilih
tanpa alasan. Motif tersebut merepresentasikan sesuatu. Motif-motif itu
merupakan simbol yang erat kaitannya dengan latar sosial budaya masyarakat
pendukungnya (Zuriati dan Yusuf, 2010:84).
Naskah Melayu merupakan hasil kebudayaan masyarakat Melayu.
Menurut Hamidy (1999:1), yang dimaksud sebagai orang Melayu adalah
penduduk yang mendiami pesisir timur Sumatra dan Kepulauan Riau. Dalam
perjalanan sejarahnya, bangsa Melayu telah bersentuhan dengan berbagai bangsa
dan budaya. Bangsa Melayu menyerap dua budaya besar, yaitu Hindu-Buddha
dan Islam (Hamidy, 1999:2). Pada abad ke-4, agama Hindu telah ada di dataran
Melayu. Pada abad ke-8 Sriwijaya menegaskan peranannya dalam dunia Buddha
dengan membangun tempat pemujaan agama Buddha di Ligor, yang sekarang
menjadi bagian Thailand (Collins, 2005:9).
6
Islam diketahui telah ada di dataran Melayu pada abad ke-7. Hal itu
berdasarkan bukti bahwa pada masa itu sudah ada perkampungan Arab di Sumatra
Utara. Sementara itu, pada abad ke-13 Islam telah berkembang secara luas di
Melayu. Hal tersebut berdasarkan kesaksian Marco Polo, yaitu bahwa masyarakat
di wilayah Peureulak, Aceh, saat itu telah memeluk agama Islam (Winstedt,
1961:33).
Menurut Rab (2007:457), berbeda dengan datangnya Islam di Timur
Tengah dan di Spanyol yang bersifat konstruktif sehingga kebiasaan-kebiasaan
agama lama sebelum kedatangan Islam terkikis habis, di Melayu budaya pra-
Islam tetap menunjukkan bentuknya. Setelah agama dan kebudayaan Islam
mempunyai keberadaan yang kokoh maka unsur-unsur agama dan budaya Hindu-
Buddha diberi warna Islam sehingga terwujudlah suatu budaya Melayu yang
islami (Hamidy, 1999:2). Hal itu berlaku pula untuk seni iluminasi naskah
Melayu, misalnya terdapat naskah Melayu beriluminasi yang memiliki unsur
Hindu-Buddha dan sekaligus juga Islam.
Kreativitas para pembuat iluminasi diwujudkan dalam bentuk hiasan di
halaman muka dan halaman terakhir naskah berupa motif daun dan dahan yang
saling terkait, pola-pola geometris, dan motif-motif bunga (Gallop dan Arps,
1991:59). Menurut Syed Zulfida (dalam Hussin dkk., 2009:90) keindahan yang
digambarkan oleh orang Melayu bersumber dari pengalaman dan perhatian pada
alam sekeliling. Oleh karena itu, dimungkinkan ada perbedaan antara iluminasi
naskah yang dibuat penyalin naskah di suatu daerah dan di daerah lain. Sebagai
7
contoh, iluminasi naskah Melayu karya penyalin Minangkabau berbeda dengan
iluminasi naskah Melayu karya penyalin Betawi.
Naskah Melayu pada umumnya anonim, tetapi ada beberapa daerah tempat
penyalinan dan nama penyalin yang tercatat. Daerah tempat penyalinan naskah
itu, antara lain Riau, Palembang, Jakarta, dan Bengkulu. Sementara itu, dikenal
pula beberapa nama penyalin naskah, misalnya Encik Ismail, Muhamad Cing
Saidullah, Abdul Hakim, dan Muhammad Bakir. Naskah-naskah karya mereka
tersimpan di Indonesia dan di negara-negara lain.
Uraian mengenai naskah Melayu dan seni iluminasi di atas menunjukkan
bahwa karya seni tidak muncul begitu saja. Terdapat latar belakang yang bersifat
filosofis atau konseptual di balik penciptaan suatu karya seni. Iluminasi naskah
merupakan objek material yang menarik untuk dikaji karena mencerminkan seni
visual masyarakat Melayu pada masa lampau. Iluminasi naskah memuat
pandangan dan pengalaman pembuat iluminasi tersebut.
Belum banyak penelitian terhadap iluminasi naskah Melayu yang
tersimpan sebagai koleksi PNRI. Belum ada penelitian yang mengungkapkan
keterkaitan iluminasi naskah Melayu dengan teks naskah tersebut dan latar sosial
pembuat iluminasi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
ragam iluminasi naskah Melayu yang tersimpan di PNRI, aspek-aspek
kodikologis yang berkaitan dengan iluminasi tersebut, dan makna motif iluminasi
terkait masyarakat pada masa penciptaan karya tersebut. Hal-hal di atas menjadi
dasar dilakukannya penelitian berjudul “Iluminasi Naskah Melayu Karya M.
Bakir Koleksi PNRI: Tinjauan Semiotika Umberto Eco” ini.
8
1.2 Rumusan Masalah
Budaya atau nilai-nilai hidup masyarakat akan tercermin dalam karya yang
dihasilkan oleh seseorang. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah
ragam iluminasi naskah Melayu koleksi PNRI, iluminasi naskah Melayu koleksi
PNRI dalam hubungannya dengan pengarang atau penyalin naskah, dan makna
motif iluminasi naskah tersebut. Rumusan masalah penelitian yang menggunakan
semiotika Umberto Eco ini adalah sebagai berikut.
1. Seperti apakah ragam iluminasi naskah Melayu koleksi PNRI?
2. Bagaimanakah iluminasi naskah Melayu koleksi PNRI jika dikaitkan
dengan pengarang atau penyalin naskah?
3. Adakah makna motif iluminasi naskah Melayu koleksi PNRI terkait
kandungan naskah dan nilai yang berkembang di masyarakat?
1.3 Objek Penelitian
Objek penelitian ini terdiri atas objek formal dan objek material. Objek
formal berkaitan dengan masalah penelitian, sedangkan objek material adalah
sumber data penelitian.
1.3.1 Objek Formal
Ragam iluminasi dan makna motif iluminasi adalah objek formal
penelitian ini. Ragam iluminasi naskah Melayu koleksi PNRI didapatkan setelah
menganalisis naskah secara kodikologis. Sementara itu, makna motif iluminasi
9
naskah didapatkan dengan cara menganalisis motif tersebut menggunakan teori
semiotika Umberto Eco.
1.3.2 Objek Material
Objek material penelitian ini adalah iluminasi naskah Melayu koleksi
PNRI. Jumlah naskah Melayu yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia adalah 1.358 naskah (Behrend, 1998:553–568). Seribu lebih
naskah yang mencakup naskah keagamaan, undang-undang, kesusastraan, daftar
kata dan kamus, hingga buku resep dan buku pelajaran itu merupakan populasi
penelitian. Sementara itu, sampel penelitian ini adalah 490 naskah kesusastraan
Melayu yang berupa hikayat dan syair. Dari kerja kodikologis terhadap 490
naskah tersebut didapatkan 68 naskah Melayu ber-genre hikayat dan syair yang
memiliki iluminasi. Ke-68 naskah Melayu beriluminasi itulah yang menjadi objek
material penelitian ini.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian terhadap iluminasi naskah Melayu yang tersimpan di PNRI ini
memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan praktis. Tujuan teoretis penelitian
ini adalah mengemukakan aspek naskah beserta ragam iluminasinya, mengetahui
keterkaitan antara iluminasi naskah dan pengarang atau penyalin naskah, dan
mengungkapkan motif dominan dalam iluminasi naskah menggunakan
kodikologi. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengetahui ada atau tidaknya
makna motif iluminasi naskah Melayu jika dikaitkan dengan teks dan masyarakat
10
pada masa penciptaan karya itu. Pemaknaan tersebut dilakukan dengan analisis
semiotika Umberto Eco.
Sementara itu, tujuan praktis penelitian ini adalah mengemukakan ragam
iluminasi naskah Melayu koleksi PNRI sebagai wujud kreativitas masyarakat
Melayu pada masa lampau. Penelitian ini juga bertujuan menambah khazanah
penelitian pernaskahan Melayu di Indonesia.
1.5 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran pustaka terkait iluminasi naskah, ditemukan
berbagai tulisan mencakup artikel, laporan penelitian, skripsi, dan disertasi yang
menjadikan iluminasi naskah sebagai objek material penelitian. Tinjauan pustaka
mengenai iluminasi naskah diurutkan berdasarkan tahun terbitnya tulisan ataupun
laporan penelitian itu. Penelitian yang tergolong penelitian awal mengenai
iluminasi naskah adalah yang dilakukan Gallop dan Arps. Dalam bab “Naskah
Melayu” dan “Jawa dan Madura” dalam Golden Letters: Writing Traditions of
Indonesia = Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia, Gallop dan Arps (1991)
mengungkap tradisi tulis dan hias yang terdapat di naskah-naskah Nusantara,
misalnya naskah Jawa dan Melayu.
Berselang lima tahun setelahnya, terbit tulisan Behrend pada 1996 dalam
Illuminations. Dalam tulisannya yang berjudul “Textual Gateways: The Javanese
Manuscript Tradition”, Behrend (1996) mengemukakan bahwa tradisi ilustrasi
dalam naskah Jawa dimulai pada abad ke-18. Naskah Jawa abad itu berilustrasi
gaya wayang beber dan wayang kulit.
11
Masih terkait naskah Jawa, terdapat “Fungsi Wêdana Rênggan dalam
Sêstradisuhul” karya Saktimulya (1998). Saktimulya dalam penelitiannya tersebut
membicarakan hiasan pada naskah Jawa, khususnya dalam Sêstradisuhul.
Saktimulya menyimpulkan beberapa hal berdasarkan penelitiannya, berikut
beberapa di antaranya. Pertama, dilihat dari proses penciptaannya, wêdana
rênggan dilukis setelah teks ditulis. Kedua, hubungan teks dengan wêdana
rênggan berhubungan erat. Artinya, apabila pembaca hanya memperhatikan teks
tanpa memedulikan wêdana rênggan, atau sebaliknya, pembaca hanya
mendapatkan potongan cerita tentang tokoh-tokoh yang bersangkutan sehingga
pembacaan Sêstradisuhul harus dilakukan bolak-balik. Ketiga, fungsi wêdana
rênggan dalam Sêstradisuhul adalah memvisualisasikan cerita dari teks dan cerita
dari sumber lain yang berhubungan dengan cerita-cerita yang terdapat dalam teks.
Selain itu, wêdana rênggan berfungsi menambah keindahan agar pembaca tertarik
melihat gambarnya, lalu membaca teksnya.
Penelitian mengenai iluminasi naskah Melayu diawali oleh Mu’jizah.
Mu’jizah (2001) meneliti 45 naskah beriluminasi dan berilustrasi yang hasilnya ia
sampaikan dalam “Iluminasi dan Ilustrasi dalam Naskah Melayu: Sebuah
Penelitian Awal”. Menurutnya, dalam naskah Melayu koleksi PNRI, sebagian
besar iluminasi berbentuk bingkai bergambar yang terdapat pada halaman muka.
Bentuk bingkai itu segi empat panjang dan kadang-kadang segi empat sama sisi.
Sebagian besar hiasan bagian atas berbentuk kubah yang bagian atasnya
berkerucut. Pada kerucut itu ada yang bergambar bunga, pucuk bunga, bintang,
bulan, dan gambar geometris. Bentuk-bentuk gambar bunga, bulan, dan gambar
12
geometris ada kaitannya dengan kepercayaan orang Melayu tentang Tuhan
sebagai Yang Mahatinggi, Yang Maha Esa.
Upaya menambah khazanah pengetahuan masyarakat mengenai
perkembangan seni dalam naskah Melayu dilakukan Gallop melalui penelitiannya
pada 2002, yaitu “Is There a Penang Style of Malay Manuscript Illumination?”. Ia
menerangkan bahwa naskah China-Islam terpengaruh aspek-aspek seni naskah
Melayu. Dalam penelitiannya tersebut Gallop membandingkan naskah yang
terdapat di Muzium Negeri Pulau Pinang dengan naskah bergaya Aceh.
Penelitiannya juga menjelaskan mengenai kemungkinan adanya iluminasi naskah
Melayu yang bergaya Penang.
Selanjutnya, penelitian “Informasi Seni Iluminasi dalam Format
Perpustakaan Digital” karya Kurniawan dan Darmawan (2002). Mereka
mengemukakan bahwa seni iluminasi tidak hanya digunakan sebagai dekorasi
semata-mata, tetapi juga sebagai indikator nilai atas sesuatu hal. Seni iluminasi
banyak digunakan karena dapat memberikan nilai tambah kepada visualisasi
tulisan secara keseluruhan.
Selanjutnya, “Kajian Motif Cirebon pada Iluminasi Mushhaf Sundawi”.
Jazuli (2003) dalam penelitiannya tersebut mengemukakan beberapa hal terkait
motif Cirebon pada iluminasi mushaf Sundawi. Ia mengungkapkan bahwa motif
Cirebon pada iluminasi mushaf Sundawi, yang digambarkan dengan motif mega
mendung, dipilih dengan pertimbangan motif tersebut merupakan motif yang
banyak digunakan di Cirebon.
13
“An Acehnese Style of Manuscript Illumination” karya Gallop (2004).
Gallop mengemukakan bahwa terdapat tiga ragam gaya iluminasi naskah Aceh,
yaitu double frame (bingkai ganda), single headpiece (kepala teks), dan tailpiece
(di akhir teks). Iluminasi naskah Aceh memiliki kekhasan dari segi motif dan
warna dibandingkan iluminasi daerah lainnya di Nusantara.
“The Spirit of Langkasuka? Illuminated Manuscripts from the East Coast
of the Malay Peninsula.” Penelitian Gallop (2005) tersebut menguraikan tentang
naskah-naskah beriluminasi yang terdapat di Pantai Timur Semenanjung Melayu.
Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa iluminasi di naskah-naskah
tersebut ditemukan paling banyak di naskah Al-Quran dan naskah kenabian,
seperti Kitab Mawlid dan Dala’il al-Khayrat. Dari segi gaya iluminasi, menurut
Gallop (2005) iluminasi di naskah-naskah Al-Quran daerah itu mendapat
pengaruh dari gaya Turki.
“The Art of the Qur’an in Banten: Calligraphy and Illumination” karya
Gallop dan Ali Akbar (2006). Dalam penelitian mereka tersebut dibahas iluminasi
dan ilustrasi dalam naskah Banten. Mereka mengkaji tiga belas naskah Al-Quran
Banten. Deskripsi naskah-naskah itu dilakukan berdasarkan letak dan motif
hiasan, warna, kualitas, dan format iluminasi.
Dalam disertasinya yang berjudul “Surat Melayu Beriluminasi Raja
Nusantara dan Pemerintah Hindia-Belanda Abad XVIII–XIX: Tinjauan Bentuk,
Isi, dan Makna Simbolik”, Mu’jizah (2006) menyimpulkan bahwa iluminasi
dalam surat Melayu penting karena memiliki keterkaitan dengan isi surat. Motif-
motif dalam iluminasi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga memiliki
14
makna. Dalam penelitiannya tersebut Mu’jizah menganalisis lima puluh surat
Raja-Raja Nusantara. Ia mentranskripsi dan mendeskripsikan setiap surat tersebut.
Mu’jizah juga menganalisis bagian-bagian surat dan mengungkapkan ciri-ciri
kedaerahan iluminasi surat-surat itu. Terakhir, ia menganalisis surat-surat itu
dengan teori semiotika Peirce dengan tujuan memaknai simbol dan kekuasaan
dalam surat-surat Raja-Raja Nusantara itu.
“Ragam dan Unsur Spiritualitas pada Ilustrasi Naskah Nusantara 1800–
1900-an”. Hasil penelitian Damayanti dan Suadi pada 2007 tersebut adalah bahwa
gaya visual naskah yang terdapat di Jawa pada periode 1800–1900-an awalnya
tampak melalui penyederhanaan gaya penggambaran objek yang diadopsi dari
relief Candi Panataran. Ciri gambar tradisional Jawa tersebut mengandung
kemiripan dengan penggambaran wayang kulit. Penggambaran objek gambar,
baik manusia, binatang, tumbuhan, maupun benda-benda lainnya ditampilkan
sepenuhnya utuh, sedangkan manusia dan hewan digambar dari arah samping dan
benda-benda lainnya digambar dari bermacam-macam sudut pandang.
Kesimpulan penelitian terhadap gambar ilustrasi pada naskah tua Jawa dan Bali
tersebut adalah bahwa nilai spiritualitas masyarakat Jawa dan Bali masih kuat
bertahan.
“From Illumination to Manuscript: a Best Practice in Reconstruction of
Illuminated Manuscripts” karya Ruly Darmawan dan Noeratri Andanwerti (2008).
Dalam tulisannya, Darmawan dan Andanwerti mengungkapkan pentingnya
rekonstruksi terhadap peninggalan-peninggalan budaya, khususnya naskah
beriluminasi. Mereka melakukan proyek rekonstruksi iluminasi naskah dari desain
15
hingga pengembangannya. Mereka beranggapan bahwa meskipun hasil akhirnya
tidak sama persis dengan artefak aslinya, nilai intrinsiknya tetap dapat disajikan.
“Was the Mousedeer Peranakan? In Search of Chinese Islamic Influences
on Malay Manuscript Art” karya Annabel Teh Gallop. Dalam penelitian
terbarunya tersebut Gallop (2009) membicarakan unsur kebudayaan China yang
berpadu dengan kebudayaan Islam, yang tampak dalam iluminasi naskah-naskah
Melayu. Misalnya, pada naskah Al-Quran, terdapat gaya China di dalamnya.
Kemudian, pada naskah Perkawinan Kapitan Tik Sing yang naskahnya berbentuk
gulungan, khas China.
“Illuminasi Naskah Cirebon” karya Safari (2010). Dalam makalah tersebut
Safari mengungkapkan bahwa tradisi pembuatan iluminasi hampir berkembang
sejalan dengan tradisi penulisan dan penyalinan naskah. Iluminasi naskah Cirebon
dibuat berdasarkan kandungan isi teks atau penyesuaian genre naskahnya. Safari
juga menjelaskan model-model iluminasi naskah Cirebon sebagai berikut. (1)
Model lafal, yang banyak ditemukan pada naskah tasawuf dan naskah
pelintangan; (2) model patran, yang banyak ditemukan di hiasan tepi iluminasi
Al-Quran dan surat raja-raja; (3) model mega mendung, ditemukan di berbagai
naskah Cirebon; (4) model geometris, yang banyak digunakan untuk hiasan tepi
naskah Al-Quran, pelintangan, atau surat raja-raja; (5) model wayang, banyak
ditemukan di naskah-naskah cerita pewayangan.
Penelitian terakhir mengenai iluminasi naskah adalah penelitian Zuriati
dan M. Yusuf, “Iluminasi dalam Naskah-Naskah Kuno Minangkabau” (2010).
Dalam penelitian itu mereka mengungkapkan berbagai bentuk dan motif iluminasi
16
yang terdapat di bagian awal, akhir, ataupun tengah teks naskah-naskah
Minangkabau. Penelitian yang mereka lakukan terhadap naskah-naskah
Minangkabau di beberapa surau dan rumah di Sumatra Barat menghasilkan data
berupa 34 naskah yang beriluminasi dan berilustrasi.
Mereka menyimpulkan bahwa beberapa motif tersebut memiliki
keserupaan dengan motif-motif ukiran Minangkabau, seperti yang digunakan di
rumah gadang dan songket Minangkabau. Analisis semiotika Eco yang mereka
gunakan menghasilkan kesimpulan bahwa motif-motif yang dipakai sebagai
iluminasi dalam naskah-naskah Minangkabau tersebut merupakan simbol-simbol
dengan makna-makna tertentu.
Selain penelusuran pustaka yang berkaitan dengan objek material
penelitian, penelusuran juga dilakukan terkait teori yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu semiotika Umberto Eco. Berikut adalah beberapa penelitian
yang menggunakan semiotika Umberto Eco sebagai “pisau analisis”-nya.
Penelitian pertama adalah “Arsitektur Tradisional Bali pada Masjid Al
Hikmah di Kertalangu, Denpasar”. Disertasi Salain (2011) ini memiliki tujuan
memahami keberadaan Masjid Al Hikmah, satu-satunya masjid di Kota Denpasar
yang memiliki arsitektur tradisional Bali (ATB), dari aspek fisik arsitektural dan
kandungan di balik objek fisiknya. Hasil akhir penelitian ini adalah bahwa
diterapkannya unsur-unsur ATB dalam Masjid Al Hikmah, yaitu wujud, struktur,
bahan, ornamen, dan warna, adalah akibat faktor kekuasaan dan konsensus yang
dipegang oleh perorangan. Diterapkannya unsur-unsur ATB di Masjid Al Hikmah
17
tidak mengutamakan makna estetika belaka, tetapi juga bermakna filosofis,
simbolik, dan multikultur.
Penelitian kedua adalah “Kajian Fungsi dan Sign Arsitektur Karo: Studi
Kasus Rumah Raja di Kampung Lingga”. Dalam penelitian tersebut Eddy (2003)
membahas elemen arsitektural di Rumah Raja, Kampung Lingga. Pengamatan
terhadap elemen-elemen arsitektural Rumah Raja dilakukan terhadap beberapa
kemungkinan perubahan fungsi dan makna elemen arsitektural tersebut, misalnya
perubahan fungsi dan makna danggulan (kayu yang menjorok, seperti tempat
pijakan). Fungsi utama danggulan pada masa lampau adalah sebagai pusat
kekuatan tolak bala di sebuah rumah, dan di sini pula awal kehidupan dimulai
(tempat melakukan proses persalinan). Makna yang lebih mendalam di balik
fungsi utama itu adalah menyelamatkan ibu dan bayinya, atau menyelamatkan
kehidupan. Fungsi utama itu sekarang telah hilang, sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, orang lebih memilih melakukan proses kelahiran di klinik atau
rumah sakit. Juga sejalan dengan perubahan kepercayaan, yaitu danggulan sudah
tidak diyakini mempunyai kekuatan magis.
Penelitian selanjutnya adalah “Film Musikal Dokumenter Generasi Biru:
Sebuah Tinjauan Semiotika Umberto Eco”. Penelitian Raras (2010) ini membahas
wujud tanda-tanda dalam film Generasi Biru, makna tanda-tanda dalam film
Generasi Biru, dan pesan dalam film tersebut. Penelitian yang menggunakan
metode penelitian kualitatif ini memiliki kesimpulan (1) tanda-tanda dalam film
Generasi Biru berwujud tulisan-tulisan, ilustrasi musik, dan segala perilaku
berupa olah tubuh; (2) makna film Generasi Biru adalah harapan dan impian yang
18
begitu besar dari masyarakat Indonesia untuk dapat keluar dari segala
keterpurukan yang selama ini membelenggu mereka; (3) pesan-pesan dalam film
Generasi Biru berupa pesan penyemangat dan pesan moral.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa belum banyak penelitian terhadap iluminasi naskah Melayu
koleksi PNRI, khususnya yang bertujuan mengetahui ada atau tidaknya makna
motif iluminasi naskah jika dikaitkan dengan teks dan pengarang atau penyalin
naskah. Penelitian Mu’jizah pada 2001 menelaah 45 naskah Melayu beriluminasi
dan berilustrasi koleksi PNRI. Akan tetapi, Mu’jizah dalam penelitiannya tersebut
hanya sebatas mendeskripsikan beberapa naskah beriluminasi atau berilustrasi dan
mengungkapkan analisis secara keseluruhan. Atas dasar hal-hal tersebut peneliti
melakukan penelitian ini dengan tujuan mengungkapkan lebih banyak aspek
terkait iluminasi naskah Melayu koleksi PNRI, khususnya makna motif iluminasi
terkait teks dan masyarakat pada masa penciptaan karya itu.
1.6 Landasan Teori
Untuk menjawab masalah-masalah dalam penelitian ini digunakan teori
filologi dan teori semiotika. Pemilihan teori filologi didasarkan atas objek
material penelitian, yaitu naskah Melayu. Sementara itu, teori semiotika Umberto
Eco dipilih karena teori ini dianggap dapat mengemukakan makna yang terdapat
dalam motif iluminasi naskah Melayu, yang notabene merupakan sesuatu yang
nonverbal.
19
1.6.1 Filologi
Kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang artinya
‘kegemaran berbincang-bincang’ (Sulastin-Sutrisno, 1981:1). Perbincangan
sebagai seni dibina oleh bangsa Yunani kuno. Oleh karena itu, kata filologi segera
dimuliakan artinya menjadi ‘cinta kepada kata’ sebagai pengejawantahan pikiran,
kemudian menjadi ‘perhatian terhadap sastra’ dan akhirnya ‘studi ilmu sastra’
(Wagenvoort via Sulastin-Sutrisno). Pendapat Ziolkowski (1990:5) tak jauh
berbeda, ia berpendapat bahwa filologi berarti ‘cinta pembelajaran dan sastra’,
‘studi literatur’, dalam arti luas, termasuk tata bahasa, kritik sastra, dan
interpretasi.
Kata filologi mulai dipakai pada kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok
ahli dari Iskandariyah (Baroroh-Baried, 1994:2). Pada saat itu Eratosthenes dan
kawan-kawan harus berhadapan dengan sejumlah peninggalan tulisan yang
menyimpan suatu informasi dengan bentuk yang bermacam-macam sehingga
memerlukan berbagai keahlian dan pengetahuan untuk mengkajinya (Reynolds
dan Wilson, 1978:7).
Menurut Sulastin-Sutrisno (1981:8), filologi adalah ilmu mengenai bahasa
dan sastra suatu bangsa, mula-mula yang berhubungan dengan bahasa dan sastra
bangsa Yunani dan Romawi, tetapi kemudian meluas kepada bahasa dan sastra
bangsa lain. Sementara itu, menurut Boschetti (2009:1), filologi merupakan ilmu
yang bagaikan pintu dan langit-langit studi sastra klasik dan modern. Pada abad
ke-19 filologi adalah disiplin yang menaungi edisi teks, linguistik, dan sastra,
20
tetapi selanjutnya dua disiplin yang disebutkan terakhir itu berkembang masing-
masing.
Kajian untuk mengungkapkan informasi masa lampau dilakukan oleh para
ahli filologi karena adanya anggapan bahwa dalam naskah masa lampau
terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Menurut
Baroroh-Baried dkk. (1994:2), kandungan yang tersimpan dalam karya-karya
tulisan masa lampau tersebut pada hakikatnya merupakan suatu budaya, produk
kegiatan manusia. Jadi, filologi dapat juga berarti satu disiplin yang berhubungan
dengan studi terhadap hasil budaya manusia pada masa lampau.
Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Perbedaan naskah dan
teks menurut Mulyadi (1994:3) adalah teks merupakan isi atau kandungan naskah,
sedangkan naskah adalah wujud fisiknya. Ilmu yang terkait naskah adalah
kodikologi. Dain (dalam Pudjiastuti, 2006:35) dalam bukunya, Les Manuscrits,
menyebutkan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan
ilmu yang mempelajari hal yang tertulis di dalam naskah. Sementara itu, Baroroh-
Baried dkk. (1994:56) mengemukakan bahwa kodikologi adalah ilmu kodeks.
Kodeks mempelajari seluk-beluk atau semua aspek naskah, antara lain bahan,
umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah.
Dain (dalam Mulyadi, 1994:2) mengatakan bahwa tugas dan “daerah”
kodikologi, antara lain, adalah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian
mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog,
penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah-naskah
itu. Iluminasi naskah termasuk “daerah kerja” kodikologi. Menurut Waley
21
(2005:226), dari sudut pandang kodikologi, semua iluminasi naskah perlu
mendapat perhatian meskipun sederhana, dikerjakan tanpa ketelitian, ataupun
yang jauh dari menarik.
Iluminasi merupakan salah satu aspek naskah. Iluminasi dapat membantu
identifikasi tahun pembuatan atau penyalinan naskah. Iluminasi berasal dari kata
bahasa Latin, illuminare, yang berarti ‘untuk mencerahkan’ atau ‘menggambar,
dengan emas atau bermacam warna, huruf awal atau beberapa gambar pada
naskah’ (Burn, 1792:6). Iluminasi didefinisikan oleh Mulyadi (1994:69) sebagai
hiasan bingkai yang biasanya terdapat pada halaman awal dan mungkin juga pada
halaman akhir. Mu’jizah (2001:401) mengemukakan bahwa pada awalnya
iluminasi adalah istilah yang dipakai dalam penyepuhan emas di beberapa
halaman naskah untuk memperoleh keindahan. Pada perkembangan kemudian
iluminasi mengacu pada gambar dalam naskah yang biasanya ada di halaman
depan naskah, yang berfungsi untuk menghias naskah.
Iluminasi dalam naskah Melayu memiliki keterkaitan erat dengan
pandangan dan pengalaman masyarakat Melayu pada saat itu. Kreativitas para
pembuat iluminasi diwujudkan dalam bentuk hiasan di halaman muka dan
halaman terakhir naskah berupa motif daun dan dahan yang saling terkait, pola-
pola geometris, dan motif-motif bunga (Gallop dan Arps, 1991:59). Ragam motif
itu memiliki keterkaitan dengan pengarang atau penyalin naskah dan masyarakat
di sekitarnya. Penelitian ini akan mengungkapkan ragam iluminasi naskah Melayu
koleksi PNRI, keterkaitan iluminasi naskah dengan pengarang atau penyalin
22
naskah, dan makna motif iluminasi naskah tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa
aspek naskah yang diperinci selain wujud iluminasi.
1.6.2 Semiotika
Istilah semiotika mulai digunakan pada abad ke-18 dan penggunaan tanda
secara sistematis mulai dibahas pada abad ke-20. Tokoh-tokoh di bidang
semiotika di antaranya adalah Charles Sanders Peirce, Charles William Morris,
Ferdinand de Saussure, Louis Hjelmslev, Roland Barthes, dan Roman Jakobson.
Peirce mengusulkan kata “semiotika” (yang sebenarnya telah digunakan
oleh Lambert pada abad ke-18) sebagai sinonim kata “logika” (Peirce, 1998:134).
Menurut Peirce, logika harus mempelajari cara orang bernalar. Penalaran itu,
menurut hipotesis teori Peirce, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda
memungkinkan seseorang berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi
makna pada hal yang ditampilkan oleh alam semesta (Van Zoest, 1996:1).
Beberapa ahli semiotika mengemukakan pemikiran yang bermula dari
semiotika Peirce. Salah satu ahli semiotika yang berangkat dari pemikiran Peirce
adalah Umberto Eco. Eco berpendapat bahwa definisi yang diungkapkan Peirce
lebih komprehensif dan lebih bermanfaat secara semiotis dibandingkan definisi
ahli lain. Menurut Peirce (dalam Eco, 1979:15), semiotika adalah suatu aksi,
pengaruh, yang merupakan atau melibatkan kerja sama tiga subjek, yaitu tanda,
objek, dan interpretannya. Sementara itu, menurut Eco (1979:3) rancangan
semiotika umum harus mempertimbangkan teori kode dan teori produksi tanda.
23
Eco (1979:7) mengungkapkan bahwa semiotika berhubungan dengan
segala hal yang dapat dianggap sebagai tanda. Eco (1979:16) mendefinisikan
tanda sebagai segala sesuatu yang, atas dasar konvensi sosial yang telah ada
sebelumnya, dapat digunakan sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.
Sebuah tanda selalu merupakan sebuah elemen suatu ranah ekspresi yang
dikaitkan berdasarkan konvensi dengan satu (atau beberapa) elemen yang ada di
ranah isi (Eco, 1979:48). Akan tetapi, menurut Eco (1976:49), kalau mau
diungkapkan dengan lebih pas, sebenarnya tidak ada yang disebut tanda, yang ada
hanyalah fungsi-tanda.
Eco (1979:68) mendefinisikan interpretan sebagai representasi lain yang
mengacu kepada objek yang sama. Ia mengklasifikasikan interpretan ke dalam
beberapa bentuk, yaitu (1) ekuivalen dengan wahana-tanda di sistem semiotis lain,
misalnya /gambar anjing/ berkorespondensi dengan kata /dog/; (2) indeks, yang
diarahkan pada objek yang tunggal; (3) definisi ilmiah dalam sistem semiotis yang
sama, misalnya /salt/ menandai ‘sodium chloride; (4) asosiasi emotif yang
memperoleh nilai sebuah konotasi yang sudah jelas, misalnya /dog/ menandai
fidelity, ‘kepatuhan’; (5) hanyalah suatu terjemahan satu istilah ke dalam bahasa
lain, atau penggantinya yang berupa sinonim (Eco, 1979:70).
Selain mengenai tanda, ekspresi-isi, dan interpretan, Eco (1979:55)
memiliki pandangan mengenai denotasi dan konotasi. Sebuah denotasi adalah
sebuah unit kultural atau properti semantis dari sebuah sememe yang pada saat
bersamaan juga merupakan properti dari referen-referennya yang sudah dikenali
secara kultural (Eco, 1976:85). Sementara itu, sebuah konotasi adalah unit
24
kultural atau properti semantis dari sebuah sememe yang disampaikan oleh
denotasinya dan belum tentu berkorespondensi dengan properti referennya yang
dikenal secara kultural (Eco, 1976:85).
Eco mengungkapkan bahwa denotasi menjelaskan hubungan antara
ekspresi dan isi yang bersifat langsung, mengacu pada realitas. Sementara itu,
konotasi menjelaskan hubungan antara ekspresi dan isi yang bermakna tidak
langsung, bersandar pada signifikasi pertama. Eco (1976:70) mengasumsikan
bahwa setiap denotasi sebuah wahana-tanda (unit semantis yang ditempatkan di
sebuah ruang tertentu dalam sebuah sistem semantik) sudah pasti merupakan
interpretannya, suatu konotasi adalah interpretan denotasi yang mendasarinya, dan
konotasi selanjutnya adalah interpretan konotasi yang mendasarinya pula.
Ilustrasi penjelasan tersebut adalah sebagai berikut. Tanda berupa /gambar
anjing/ interpretan pertamanya adalah ‘anjing’. Interpretan /anjing/ adalah makna
denotasi berupa definisi ilmiah, yaitu ‘mamalia berkaki empat, pemakan daging,
bersuara menggonggong dan menyalak, biasa dijadikan hewan peliharaan atau
hewan penjaga’. Selanjutnya, makna konotasi definisi itu, misalnya, ‘penjaga’
dapat mengacu lagi pada makna konotasi berikutnya, yaitu ‘kesetiaan’. Makna
yang terakhir itu dibatasi oleh konteks budaya masyarakat bahwa anjing identik
dengan kesetiaan, kepatuhan, dan kesediaannya menjaga sesuatu.
Pemaknaan secara semiotis diawali dengan mengidentifikasi tanda yang
ada. Langkah kedua adalah mencari objek tanda, yang berupa definisi yang
dikenal pemakai tanda. Kemudian, pemakai tanda menafsirkan tanda untuk
memperoleh interpretan. Interpretan akan didapat dengan cara mencari makna
25
denotasi yang ada, kemudian dilanjutkan dengan mencari makna-makna konotasi
dari tanda-tanda tersebut. Makna denotasi dan konotasi tersebut diperoleh melalui,
antara lain, definisi, asosiasi, dan sinonim.
Pemaknaan motif iluminasi naskah Melayu karya Muhammad Bakir
dilakukan menggunakan analisis Model Revisian (Revised Model) yang
dikemukakan Eco. Menurut Eco, Model Revisian dapat digunakan untuk
melakukan analisis terhadap ekspresi nonverbal (Eco, 1976:114). Model Revisian
bertujuan memasukkan seluruh konotasi yang telah terkodekan dan bergantung
pada denotasi terkait serta pada seleksi kontekstual dan keadaan ke dalam
representasi semantis (Eco, 1976:105). Berikut adalah bagan analisis Model
Revisian.
Bagan Analisis Model Revisian
/daun/ = ‘daun’
Berdasarkan bagan analisis tersebut dapat dilihat kemungkinan munculnya
pemaknaan atas tanda daun. Daun dapat memiliki makna denotasi berupa bagian
tanaman atau alat fotosintesis. Dalam konteks masyarakat masa lampau yang
belum mengetahui bahwa daun merupakan alat fotosintesis, tanda daun dimaknai
sebagai bagian tanaman sehingga konotasi yang akan muncul salah satunya adalah
“pertumbuhan”. Hal itu berbeda jika tanda daun dimaknai oleh masyarakat pada
contkuno
contmodern
dbagian tanaman cpertumbuhan
dalat fotosintesis charapan
26
masa yang lebih modern, ketika telah mengetahui fungsi daun dalam proses
fotosintesis.
Teori semiotika Umberto Eco dimanfaatkan peneliti untuk memaknai
motif iluminasi naskah Melayu karya Muhammad Bakir koleksi PNRI. Tujuan
pemaknaan itu adalah mengetahui makna motif iluminasi tersebut terkait teks
naskah dan pengarang atau penyalin naskah sebagai bagian dari masyarakat
Melayu masa lampau.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan
jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau
bentuk hitungan lainnya (Strauss dan Corbin, 1998:10). Penelitian kualitatif
bertujuan mencapai pemahaman tentang situasi tertentu (Stake, 2010:65). Pada
subbab ini akan diuraikan proses penentuan dan pemerolehan data penelitian.
Pada subbab ini juga akan dijelaskan cara data itu dianalisis.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer
penelitian ini adalah iluminasi 68 naskah Melayu, sedangkan data sekunder adalah
buku, artikel, dan penelitian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Melayu
pada masa lampau. Terkait objek kajian penelitian, pengumpulan data penelitian
ini dilakukan dengan studi pustaka (library research).
27
Pengumpulan data primer dimulai dengan penginventarisasian naskah
Melayu. Naskah Melayu koleksi PNRI berjumlah 1.358, yang mencakup berbagai
macam genre naskah. Inventarisasi naskah dilakukan dengan metode purposive
sampling. Pemilihan dilakukan dengan pertimbangan keberadaan iluminasi dalam
naskah hikayat dan syair. Hal itu didasarkan pada alasan bahwa di antara berbagai
bentuk naskah Melayu, naskah kesusastraanlah yang teridentifikasi memiliki
banyak salinan (Behrend, 1998:553–568). Oleh karena itu, naskah-naskah tersebut
dianggap representatif dalam menggambarkan keadaan sosial dan budaya
masyarakat Melayu masa lampau yang tercermin melalui iluminasi naskah.
Inventarisasi naskah juga mempertimbangkan keterjangkauan dan kondisi naskah.
Dari hasil inventarisasi naskah, didapatkan 490 naskah Melayu yang
berupa hikayat dan syair. Sebanyak 490 naskah itu diteliti untuk mengetahui
keberadaan iluminasi naskah. Ditemukan 68 naskah beriluminasi dari proses
tersebut. Sementara itu, data sekunder penelitian ini didapatkan melalui studi
pustaka dengan cara menghimpun informasi yang memiliki relevansi dengan
topik atau masalah yang akan diteliti.
1.7.2 Metode Analisis Data
Analisis data penelitian ini dilakukan dengan penerapan filologi,
kodikologi, dan semiotika Umberto Eco. Analisis filologis dan kodikologis
dimulai dengan pengamatan terhadap data primer, yaitu iluminasi naskah Melayu
koleksi PNRI, dilanjutkan dengan pembahasan aspek pernaskahan setiap naskah.
Setelah itu, dilakukan pengklasifikasian iluminasi naskah berdasarkan pengarang
28
atau penyalin naskah. Pengklasifikasian tersebut akan digunakan untuk
mengetahui motif iluminasi naskah yang menjadi kekhasan penyalin atau
skriptorium naskah.
Langkah di atas akan dilanjutkan dengan pemaknaan motif iluminasi
naskah menggunakan teori semiotika Umberto Eco. Dengan teori semiotika
Umberto Eco akan dipahami ada atau tidaknya makna motif iluminasi naskah
Melayu koleksi PNRI terkait teks naskah dan pembuat iluminasi tersebut.
Langkah terakhir adalah penyimpulan berdasarkan analisis kodikologis dan
semiotis.
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab I Pengantar berisi latar
belakang, rumusan masalah, objek penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II Naskah
Melayu Beriluminasi Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia berisi
uraian aspek naskah 68 naskah beriluminasi dan analisis kodikologis mengenai 68
naskah beriluminasi tersebut. Bab III Muhammad Bakir dan Karyanya berisi
riwayat Muhammad Bakir dan analisis kodikologis iluminasi naskah karya
penyalin tersebut. Bab IV Makna Motif Iluminasi Naskah Melayu Karya
Muhammad Bakir berisi analisis makna motif iluminasi naskah Melayu karya
Muhammad Bakir dikaitkan dengan teks dan latar sosial budaya sang penyalin.
Bab V Penutup merupakan kesimpulan penelitian.