BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93755/potongan/S1... · pendekatan kawasan...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah tempat tinggal. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin besar pula kebutuhan terhadap tempat tinggal. Besarnya jumlah penduduk perkotaan akibat dari pertambahan jumlah penduduk yang terdiri dari kelahiran dan urbanisasi. Kelahiran merupakan faktor internal, sedangkan urbanisasi merupakan faktor eksternal. Kota sebagai pusat kegiatan (sosial dan ekonomi) dan pusat pelayanan menjadi daya tarik masyarakat untuk bertempat tinggal di kota. Proses urbanisasi menyebabkan perkembangan kota menjadi semakin besar. Kota Bekasi tergolong kedalam kota metropolitan karena memiliki jumlah penduduk 2.592.819 jiwa pada tahun 2013 (BPS Kota Bekasi, 2014). Tingginya kebutuhan tempat tinggal di kota tidak dapat terpenuhi dengan ketersediaan lahan kosong yang terbatas. Kasi Survey, Pengolahan Data, dan Pemetaan Dinas Tata Kota (Distako) Kota Bekasi, Suwardy, mengungkapkan pada tahun 2014 total lahan permukiman seluas 21.049 Ha tersisa 9% atau sekitar 1.894 hektar, sehingga pola pembangunan hunian diarahkan dengan bentuk vertikal, seperti apartemen yang tidak memakan lahan dalam jumlah besar (www.antaranews.com, 11 Maret 2014). Menurut Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 13 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah 2011-2031, pemerintah berupaya mengembangkan kawasan peruntukan permukiman yang terstruktur melalui pendekatan kawasan siap bangun dan pola hunian vertikal. Proses perkembangan kota oleh kekuatan daya tarik kota juga menyebabkan masuknya arus modal dari luar menuju ke dalam daerah. Besarnya jumlah penduduk Kota Bekasi ditambah ketersediaan lahan kosong yang semakin langka menyebabkan masuknya arus modal pengembangan industri properti. Aktivitas ekonomi di sektor industri dan jasa juga berperan dalam perkembangan Kota Bekasi yang meningkatkan permintaan ruang beserta fasilitas yang dibutuhkan di wilayah urban yang menumbuhkan bisnis properti (Kuswartojo,

Transcript of BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93755/potongan/S1... · pendekatan kawasan...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah tempat tinggal. Semakin besar

jumlah penduduk maka semakin besar pula kebutuhan terhadap tempat tinggal.

Besarnya jumlah penduduk perkotaan akibat dari pertambahan jumlah penduduk

yang terdiri dari kelahiran dan urbanisasi. Kelahiran merupakan faktor internal,

sedangkan urbanisasi merupakan faktor eksternal. Kota sebagai pusat kegiatan

(sosial dan ekonomi) dan pusat pelayanan menjadi daya tarik masyarakat untuk

bertempat tinggal di kota. Proses urbanisasi menyebabkan perkembangan kota

menjadi semakin besar.

Kota Bekasi tergolong kedalam kota metropolitan karena memiliki jumlah

penduduk 2.592.819 jiwa pada tahun 2013 (BPS Kota Bekasi, 2014). Tingginya

kebutuhan tempat tinggal di kota tidak dapat terpenuhi dengan ketersediaan lahan

kosong yang terbatas. Kasi Survey, Pengolahan Data, dan Pemetaan Dinas Tata

Kota (Distako) Kota Bekasi, Suwardy, mengungkapkan pada tahun 2014 total

lahan permukiman seluas 21.049 Ha tersisa 9% atau sekitar 1.894 hektar, sehingga

pola pembangunan hunian diarahkan dengan bentuk vertikal, seperti apartemen

yang tidak memakan lahan dalam jumlah besar (www.antaranews.com, 11 Maret

2014). Menurut Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 13 tahun 2011 tentang

Rencana Tata Ruang dan Wilayah 2011-2031, pemerintah berupaya

mengembangkan kawasan peruntukan permukiman yang terstruktur melalui

pendekatan kawasan siap bangun dan pola hunian vertikal.

Proses perkembangan kota oleh kekuatan daya tarik kota juga

menyebabkan masuknya arus modal dari luar menuju ke dalam daerah. Besarnya

jumlah penduduk Kota Bekasi ditambah ketersediaan lahan kosong yang semakin

langka menyebabkan masuknya arus modal pengembangan industri properti.

Aktivitas ekonomi di sektor industri dan jasa juga berperan dalam perkembangan

Kota Bekasi yang meningkatkan permintaan ruang beserta fasilitas yang

dibutuhkan di wilayah urban yang menumbuhkan bisnis properti (Kuswartojo,

2

2005). Berdasarkan pengamatan penulis sewaktu melakukan Kerja Praktik di

Dinas Tata Kota (Distako) Kota Bekasi pada April – Mei 2015, terdapat 22 proyek

apartemen memperoleh izin pembangunan. Sebanyak 2 apartemen telah dihuni,

seperti Apartemen Center Point dan Mutiara di Jl. Ahmad Yani. Hasil pengamatan

di lapangan juga menunjukkan bahwa sepanjang Jl. Cut Meutia, Jl. Raya Caman,

Jl. HM. Joyomartono, Jl. KH. Noer Ali, dan Jl. Siliwangi sedang dibangun

sejumlah proyek apartemen.

Pembangunan apartemen di Kota Bekasi terus berlanjut. Hal tersebut

terkait dengan banyaknya perusahaan nasional dan multinasional yang beroperasi

di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi dengan jumlah sekitar 2.000 industri

domestik dan multinasional seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan

Singapura (www.kompas.com, 28 Februari 2015). Perusahaan-perusahaan

tersebut mempekerjakan banyak karyawan dalam proses produksi dan operasional

perusahaan. Di antara mereka terdapat karyawan hingga manajer yang berasal dari

negara asal masing-masing perusahaan. Para ekspatriat membutuhkan tempat

tinggal yang memadai untuk menunjang segala aktivitas kehidupan. Direksi PT.

IMS Group, Muljadi Suhardi, mengatakan bahwa para ekspatriat sudah terbiasa

tinggal di apartemen sehingga ketika bekerja di Indonesia mereka tidak berpikir

panjang untuk mencari apartemen dengan unit yang luas dan mewah

(www.kompas.com, 28 Februari 2015).

Pembangunan apartemen di Kota Bekasi yang semakin bergairah juga

terkaitkan dengan adanya pembangunan infrastruktur. Pembangunan Jalan Tol

Bekasi-Cawang-Kampung Melayu kembali dilanjutkan pemerintah setelah

tertunda selama kurang lebih 17 tahun (www.beritasatu.com, 5 Mei 2015).

Keberadaan jalan tol tersebut dapat mengurangi kepadatan di Jalan Tol Jakarta-

Cikampek. Proyek infrastruktur lainnya berupa pembangunan monorel yang

menghubungkan Bekasi Timur-Cawang yang digarap oleh PT. Adhi Karya

(www.liputan6.com, 16 April 2013). Pembangunan infrastruktur jalan dan

transportasi publik mempermudah aksesibilitas dari Kota Bekasi menuju daerah

lain, khususnya DKI Jakarta. Kemudahan aksesibilitas berdampak pada semakin

menariknya Kota Bekasi bagi pengembang dalam membangun apartemen.

3

1.2 Perumusan Masalah

Kota sebagai pusat aktivitas perekonomian dan pelayanan menarik

penduduk untuk bermukim di daerah perkotaan. Kebutuhan tempat tinggal

menjadi semakin meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Ketersediaan

lahan kosong yang semakin langka di daerah perkotaan menyebabkan

pembangunan permukiman diarahkan ke bentuk vertikal, yaitu rumah susun

semakin meningkat.

Karakterisik kota berupa jumlah penduduk yang besar dan perekonomian

daerah yang bergerak di sektor industri, perdagangan, dan jasa membentuk

permintaan kebutuhan terhadap tempat tinggal yang beragam untuk berbagai jenis

golongan masyarakat. Apartemen sebagai bagian dari rumah susun menjawab

permintaan masyarakat kota dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang

ketersediaannya semakin terbatas. Masyarakat kota dengan aktivitas yang padat

dan mobilitas yang tinggi membutuhan tempat tinggal yang dilengkapi dengan

beragam fasilitas.

Pembangunan apartemen di Kota Bekasi terus bertumbuh. Menurut

catatan Kompas, hingga akhir tahun 2013 tercatat terdapat 16 apartemen yang

sedang dibangun oleh pengembang di Bekasi. Angka itu belum termasuk pada

jumlah proyek apartemen yang sedang dalam tahap perizinan dan persiapan

pembangunan. Maraknya pembangunan apartemen di perkotaan terkait dengan

kekuatan daya tarik yang dimiliki kota tersebut.

Kota Bekasi memiliki daya tarik yang menyebabkan masuknya penduduk

dan investasi. Para pengembang beramai-ramai mengembangkan usaha bisnis

apartemen di Kota Bekasi sebagai daerah penyangga DKI Jakarta yang memiliki

banyak industri berskala nasional yang mempekerjakan banyak karyawan dan

ekspatriat. Oleh karena itu, fenomena maraknya pembangunan apartemen di Kota

Bekasi dikaji berdasar pada pendekatan geografis yang menekankan pada aspek

keruangan, ekologis, dan kompleks wilayah. Berdasarkan penjelasan di atas,

rumusan masalah disusun menjadi pertanyaan sebagai berikut:

1) Bagaimana perkembangan pembangunan apartemen di Kota Bekasi dalam

kurun waktu tahun 2010-2015?

4

2) Faktor apa saja yang berperan sebagai daya tarik Kota Bekasi terkait dengan

perkembangan pembangunan apartemen?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1) Memperoleh gambaran kondisi perkembangan pembangunan apartemen di

Kota Bekasi dalam kurun waktu tahun 2010-2015.

2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan sebagai daya tarik Kota Bekasi

terkait dengan perkembangan pembangunan apartemen.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagi pembangunan daerah, penelitian ini bermanfaat sebagai kajian evaluasi

dan bahan perencanaan permukiman khususnya permukiman bentuk vertikal

di perkotaan.

2) Bagi pembaca dan peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan tambahan referensi terutama untuk penyusunan penelitian

selanjutnya di bidang permukiman bentuk vertikal.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Pengertian Permukiman

Permukiman secara luas mempunyai arti perihal tempat tinggal atau

segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal atau bangunan tempat

tinggal. Pemukiman banyak bersangkut paut dengan cara-cara memukimkan

atau proses memukimkan dan dapat pula berarti proses memukimi atau

menempati tempat-tempat tertentu (Yunus, 2007).

Yunus (2007) mengungkapkan lingkup permukiman terbagi menjadi

3 skala, yaitu skala makro, skala meso, dan skala mikro. Lingkup studi pada

skala permukiman makro meliputi sistem permukiman pada suatu kota

ataupun pada sistem kota-kota dalam wilayah yang sangat luas. Wujud

keruangannya adalah kenampakan kota-kota secara individu ataupun

gabungan permukiman pada beberapa kota yang membentuk built up areas

yang sangat luas. Permukiman skala meso adalah suatu ruang yang

digunakan oleh manusia untuk bertempat tinggal. Permukiman skala meso

5

terbentuk dari unsur-unsur pendukung penyelenggaraan kehidupan, seperti

kampung, komplek perumahan, dan apartemen. Skala permukiman mikro

adalah satuan unit bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal atau

rumah-rumah penduduk beserta komponen lingkungannya.

Apartemen sesuai penjelasan di atas termasuk ke dalam lingkup

permukiman skala meso. Unit-unit apartemen tersusun dalam suatu

bangunan yang disertai dengan prasarana dan sarana pendukungnya. Yunus

(2007) mengungkapkan unsur-unsur permukiman skala meso sebagai

berikut:

1) Tempat/kesempatan kerja dengan segala sarana dan prasarana

pendukungnya (working opportunities).

2) Jalur transportasi dengan segala sarana dan prasarananya (circulation).

3) Perumahan dengan segala kelengkapannya dan fasilitasnya (housing).

4) Hiburan atau sejenisnya dengan segala sarana dan prasarananya

(recreation).

5) Hal-hal yang tidak termasuk ke dalam 4 unsur terdahulu tetapi mutlak

diperlukan dalam kehidupan masyarakat modern (perfecting elements),

contohnya berupa fasilitas pendidikan, keagamanaan, dan jaringan

utilitas umum.

1.5.2 Pengertian Urbanisasi

Kuswartojo (2005) mengungkapkan urbanisasi adalah proses

menjadi urban dan wujud nyata urbanisasi ini berupa permukiman yang

mewadahi suatu kehidupan dimana segi sosial, ekonomi dan budayanya

mempunyai sifat kekotaan. Urbanisasi merupakan suatu gejala geografis

karena terjadi perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain

ataupun perpindahan penduduk dalam suatu wilayah. Urbanisasi dikenal

melalui 4 proses utama keruangan, yaitu (King dan Colledge, 1978 dalam

Bintarto, 1986):

1) Adanya pemusatan kekuasaan pemerintah kota sebagai pengambil

keputusan dan sebagai badan pengawas dalam penyelenggaraan

hubungan kota dengan daerah sekitarnya.

6

2) Adanya arus modal dan investasi untuk mengatur kemakmuran kota dan

wilayah di sekitarnya, dan selain dari itu penentuan/pemilihan lokasi

untuk kegiatan ekonomi bisa mempunyai pengaruh terhadap arus bolak-

balik kota-desa

3) Difusi inovasi dan perubahan yang berpengaruh terhadap aspek sosial,

ekonomi, budaya, dan politik di kota akan dapat meluas di kota-kota

yang lebih kecil bahkan ke daerah pedesaan. Difusi ini dapat mengubah

suasana desa menjadi suasana kota

4) Migrasi dan pemukiman baru dapat terjadi apabila pengaruh kota secara

terus-menerus masuk ke daerah pedesaan. Perubahan pola ekonomi dan

perubahan pandangan penduduk desa mendorong mereka memperbaiki

keadaan sosial ekonomi.

Urbanisasi menyebabkan tumbuhnya permukiman kota atau daerah

perkotaan baru. Kota menjadi lebih menggelembung oleh pertambahan

penduduk sebagai hasil kenaikan angka kelahiran dan bertambahnya

penduduk yang bermukim. Akibat dari proses tersebut adalah meningkatnya

jumlah dan kepadatan penduduk kota. Berbagai macam faktor yang

mendukung proses tersebut diantaranya berupa perkembangan ekonomi,

budaya, dan teknologi baru.

Dampak urbanisasi yang utama adalah bertambah jumlah dan

kepadatan penduduk suatu wilayah. Urbanisasi juga berimplikasi terhadap

beberapa sektor kehidupan khususnya bagi wilayah perkotaan. Struktur

ekonomi masyarakat menjadi lebih beragam. Komposisi jumlah masyarakat

berpenghasilan rendah, sedang, dan tinggi menjadi beragam pada setiap

wilayah kota. Perkembangan ekonomi masyarakat sektor informal

mengalami perkembangan yang meluas. Dalam sektor fisik, terjadi

perluasan fisik kota ke arah pinggiran dan terjadi perubahan tata guna lahan

pada wilayah kota. Pada pusat kota khususnya difungsikan sebagai pusat

perekonomian dan jasa dengan dibangunnya kawasan pertokoan dan mall.

Pengaruh lainnya dalam hal tersebut adalah meningkatnya harga atau nilai

tanah di kota maupun di daerah pinggiran kota.

7

1.5.3 Pengertian Kota

Pengertian kota dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain segi

morfologis, segi yuridis administratif, segi fungsinya dalam suatu wilayah

organik, dan dari segi kepadatan penduduk.

a. Pengertian kota dari segi morfologis

Yunus (2005) mendefinisikan kota dari segi morfologis sebagai

suatu daerah tertentu dengan karakteristik pemanfaatan lahan

nonpertanian, pemanfaatan mana sebagian besar tertutup oleh bangunan

baik bersifat residensial maupun nonresidensial, kepadatan bangunan

khususnya perumahan yang tinggi, pola jaringan yang kompleks, dalam

satuan permukiman yang kompak dan relatif lebih besar dari satuan

permukiman kedesaan di sekitarnya.

b. Pengertian kota dari segi fungsinya dalam suatu wilayah organik

Dari segi fungsinya dalam wilayah organik, pengertian kota

menurut Yunus (2005) adalah suatu wilayah tertentu yang berfungsi

sebagai pemusatan kegiatan yang beraneka ragam dan sekaligus

berfungsi sebagai simpul kegiatan dalam peranannya sebagai kolektor

dan distributor barang dan jasa dari wilayah hinterland yang luas.

c. Pengertian kota dari segi sosio-kultural

Kota ditinjau dari segi sosio-kultural memiliki definisi sebuah

bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan nonalami

dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak

kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan

dengan daerah belakangnya (Bintarto, 1977 dalam Yunus, 2005).

d. Pengertian kota dari segi kepadatan penduduk

Kota ditinjau dari kepadatan penduduk adalah suatu daerah

dalam wilayah negara yang ditandai oleh sejumlah kepadatan penduduk

minimal tertentu, kepadatan penduduk mana tercatat dan teridentifikasi

pada satuan permukiman yang kompak. Metode DID System (Densely

Inhabited Districts System) memberikan 3 syarat untuk mendefinisikan

kota, yaitu sebuah kota dideliniasi dalam sebuah unit administratif,

8

sebuah kota harus merupakan permukiman yang kompak dengan luasan

minimal 0,0625 km2 dengan kepadatan penduduk minimal 4.000

jiwa/km2, dan sebuah kota mempunyai jumlah penduduk minimal 5.000

jiwa (Morita, 1965 dalam Yunus, 2005).

e. Pengertian kota dari segi yuridis administratif

Yunus (2005) mendefinisikan kota sebagai suatu daerah tertentu

dalam wilayah negara dimana keberadaannya diatur oleh Undang-

Undang (peraturan tertentu).

1.5.4 Pengertian Daya Tarik Kota

Daya tarik kota dapat dilihat dari kekuatan sentripetal yang

dimilikinya. Yunus (2008) menjelaskan kekuatan sentripetal merupakan

kekuatan yang mengakibatkan gerakan penduduk dan atau fungsi menuju

bagian dalam kota dari bagian luarnya. Kekuatan sentripetal merupakan

bagian dari proses perkembangan spasial. Proses perkembangan spasial

sentripetal adalah proses penambahan ruang untuk menampung kegiatan

dengan mendirikan struktur bangunan-bangunan kekotaan yang terjadi di

bagian dalam kota dan hal ini mengambil tempat di bagian-bagian yang

sudah terbangun (Yunus, 2011).

Terdapat 2 macam jenis perkembangan spasial sentripetal, yaitu

perkembangan horizontal dan perkembangan vertikal (Yunus, 2011).

Perkembangan horizontal diartikan sebagai proses penambahan ruang dalam

rangka akomodasi kegiatan melalui pendirian bangunan secara mendatar.

Pendirian bangunan dilakukan pada bagian-bagian di dalam kota yang masih

kosong dalam bentuk bangunan-bangunan tidak bertingkat. Perkembangan

vertikal dapat diartikan sebagai proses penambahan ruang di dalam kota

melalui pendirian bangunan bertingkat. Tujuannya untuk memperoleh ruang

yang lebih luas dalam rangka mengakomodasi kegiatan.

Yunus (2011) membagi proses perkembangan sentripetal kedalam 3

tipe, yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Pembangunan apartemen termasuk ke

dalam tipe 2. Pertambahan permukiman melalui pembangunan apartemen

dilakukan pada lahan dimiliki pengembang atau diperoleh kepemilikannya

9

dari pihak lain oleh pengembang di luar daerah permukiman yang sudah

ada. Kepemilikan tersebut dapat diperoleh melalui proses pembelian dari

pemilik lahan sebelumnya.

Kekuatan lain yang berperan terhadap perkembangan spasial dalam

mengintensitaskan pembangunan fisik kota adalah kekuatan lateral. Yunus

(2008) mengartikan kekuatan lateral sebagai kekuatan yang mengakibatkan

gerakan lateral penduduk dan atau fungsi yang berlangsung di dalam satu

subzona yang sama dan mempunyai jarak ke lahan terbangun utama maupun

ke pusat kota yang relatif sama. Variasi lingkungan pada subzona pusat kota

dan pinggiran kota memiliki ciri biotik, abiotik, sosial, kultural, dan

ekonomi yang berbeda sehingga mengakibatkan terjadinya pergerakan

penduduk dan fungsi-fungsi.

1.5.5 Faktor-Faktor Daya Tarik Kota

Daya tarik kota berdampak terhadap perkembangan perkotaan akibat

dari gerakan penduduk dan atau fungsi menuju bagian dalam kota dari

bagian luarnya. Faktor-faktor daya tarik yang berasal dari kekuatan

sentripetal dan kekuatan lateral yang berkaitan dengan pembangunan

apartemen di Kota Bekasi adalah sebagai berikut:

1. Peraturan/kebijakan yang mendukung

Peraturan/kebijakan keruangan yang dianggap memberikan

kenyamanan bertempat tinggal atau memperlancar kegiatan. Pada

prinsipnya peraturan/kebijakan daerah adalah kerangka acuan/aturan

main secara formal yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah daerah

dalam mengatur aktivitas dunia usaha dan investasi. Kebijakan daerah

dapat berupa Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah

(SK Bupati/Walikota).

2. Ketersediaan fasilitas kehidupan

Lingkungan permukiman membutuhkan fasilitas penunjang

untuk mendukung terselenggaranya kehidupan. Fasilitas penunjang

kehidupan dapat berupa fasilitas umum di bidang sosial dan ekonomi.

Fasilitas kehidupan di bidang sosial berupa ketersediaan sarana

10

pendidikan (TK, SD, SLTP, dan SMU) dan sarana kesehatan (RS,

apotek, puskesmas, dan praktek dokter), sedangkan fasilitas kehidupan

di bidang ekonomi berupa shopping center, bank, pasar, dan pertokoan.

3. Kondisi fisiografi

Kondisi fisiografi yang memberikan kenyamanan bertempat

tinggal atau memberikan kemudahan berkegiatan. Yunus (2008)

menjelaskan pengertian kondisi fisiografi adalah kondisi fisikal alami

baik kondisi fisiografi mikro maupun makro yang mewarnai bentuk-

bentuk perkembangan fisikal yang terjadi. Contoh karakteristik fisiografi

mikro adalah letak persil terhadap jalan pendekat yang berada lebih

rendah dari permukaan jalan maka proses pembangunan rumah diawali

dengan pengurugan tanah. Contoh karakteristik fisiografi makro adalah

kondisi daerah di mana lahan tersebut berada seperti daerah perbukitan,

rawa-rawa, ataupun daerah yang sering terancam banjir.

4. Tingginya aksesibilitas

Pusat lingkungan yang memiliki beragam kegiatan membutuhkan

sarana lingkungan untuk menunjang kegiatan pergerakan penduduk.

Utilitas transportasi dibutuhkan masyarakat sebagai penunjang

aksesibilitas menuju tempat tujuan tertentu dari lingkungan permukiman

ataupun sebaliknya. Keberadaan lingkungan permukiman dalam skala

besar harus diimbangi dengan ketersediaan prasarana dan sarana jaringan

transportasi untuk kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Fungsi-

fungsi akan dapat berkembang dengan baik apabila mobilitas barang,

jasa, dan penduduk dapat terselenggara dengan lancar.

Faktor-faktor daya tarik kota yang telah dijelaskan di atas memiliki

peran pada pembentukan pengembangan apartemen. Apartemen yang

merupakan salah satu produk real estate dibentuk berdasarkan pada

kekuatan pasar yang ada. Thrall (2002) menjelaskan bahwa faktor

transportasi dan pemerintahan berperan terhadap kekuatan pasar real estate

yang membentuk bentuk perkotaan.

11

Kawasan pusat kota atau area simpul perkotaan memiliki merupakan

lokasi keberadaan prasarana dan sarana transportasi. Kawasan tersebut

memiliki harga tanah yang tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya

dalam lingkup perkotaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thrall

(2002) di Amerika Serikat, keuntungan lokasi mampu dicapai oleh golongan

rumah tangga pendapatan menengah dan tinggi. Rumah tangga pendapatan

menengah dan tinggi berpendapat bahwa faktor waktu untuk mencapai

lokasi tujuan, seperti tempat bekerja, berbelanja, rekreasi, dan sekolah,

memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan biaya transportasi yang

dikeluarkan.

Dampak langsung terbesar pada pengembangan real estate menurut

Thrall (2002) berasal dari kebijakan pemerintah daerah. Keputusan

penggunaan lahan untuk pengembangan real estate berasal dari pemerintah

daerah, walaupun seseorang atau badan telah memiliki sertifikat tanah

tersebut. Melalui peraturan zonasi yang dibuat pemerintah daerah, hak

pemilik lahan adalah dapat menunda penggunaan lahan di lokasi tersebut

atau menjual haknya kepada pihak lain sesuai dengan tujuan penggunaan

lahan berdasarkan ketetapan zonasi yang ada.

Lahan menurut Thrall (2002) merupakan barang yang tidak termasuk

ke dalam kategori barang privat murni maupun barang publik murni. Lahan

tempat lokasi pengembangan permukiman harus mempertimbangkan hak

individu untuk mempergunakannya dan hak orang lain atau masyarakat

yang juga memiliki hak secara tidak langsung dalam suatu sistem kehidupan

bersama. Besarnya nilai lahan pada kawasan pusat kota harus diimbangi

dengan ketersediaan infrastruktur pendukung yang wajib disediakan oleh

pemerintah. Hal tersebut adalah suatu prakondisi dalam mendukung

pengembangan permukiman baru karena sebagai contoh suatu proyek real

estate dapat meningkatkan volume kemacetan yang ditanggulangi melalui

pelebaran jalan.

Pembangunan apartemen yang juga bagian dari suatu aktivitas

perdagangan produk properti mulai berkembang di suatu kota melalui 3 fase

12

pembentukan, yaitu kolonisasi, penyebaran, dan kompetisi (Lee, Y. & M.

McCracken, 1982). Pada fase kolonisasi, permulaan pembentukan pola

persebaran dilakukan melalui penetapan lokasi secara sembarangan. Kondisi

tersebut terjadi karena belum terdapat banyak pesaing yang berdampak pada

pembentukan pola keruangan acak. Tahapan selanjutnya terjadi

pembentukan pasar dan permintaan yang menyebabkan pengembang

properti melakukan perbaikan terhadap analisis kondisi pasar dan mulai

terdapatnya kompetitor. Lee, Y. & M. McCracken (1982) menganggap pada

kondisi tersebut fase penyebaran mulai terlihat. Pola keruangan telah

terbentuk pada fase kompetisi. Pengembang menawarkan kenyamanan dan

aksesibilitas pada konsumen dibandingkan dengan harga. Pengembang juga

mencari lokasi yang dapat memberikan kewenangan monopoli secara

keruangan yang berdampak pada aksesibilitas termaksimalkan dan

kompetisi terminimalkan.

Kompetisi terkait dengan faktor lokasi bersifat penting dalam fase

kolonisasi dan persebaran (Lee, Y. & M. McCracken, 1982). Pada fase

kompetisi, pola persebaran aktivitas perdagangan memiliki dampak terbesar

yang memungkinkan para pelaku membentuk kluster dalam ruang.

Perbedaan strategi pemilihan lokasi dan aksesibilitas menyebabkan

perbedaan klas aktivitas perdagangan. Prinsip daya tarik kumulatif melalui

kluster bersama dapat meningkatkan aksesibilitas dan kenyemanan yang

menghasilkan perbandingan pembeli.

Yunus (2008) mengungkapkan bahwa tidak semua faktor berlaku di

Indonesia. Lebih lanjut Yunus berpendapat teori yang diperoleh Lee, Y. &

M. McCracken atas dasar penelitiannya di Amerika Serikat memiliki

perbedaan terhadap beberapa faktor penentu variasi spasial perkembangan

fisik kota yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.

Faktor daya tarik lain yang dikemukakan oleh Yunus (2008) berupa

lebih terjaminnya keamanan, tingginya penghasilan, tingginya prestige,

banyaknya kesempatan kerja, dekatnya dari tempat kerja, dan kondisi sosial-

budaya yang memberikan kenyamanan bertempat tinggal. Faktor-faktor

13

daya tarik tersebut tidak dipergunakan penulis dalam penelitian ini karena

keterbatasan data yang didapat dan keterbatasan sumberdaya (waktu, biaya,

dan tenaga) untuk memperoleh data tersebut. Walaupun demikian, penulis

menganggap keempat faktor daya tarik yang telah diuraikan di atas cukup

mampu untuk menjelaskan fenomena perkembangan apartemen di Kota

Bekasi.

1.5.6 Pengertian Apartemen

Apartemen adalah istilah yang diberikan untuk menyebut rumah

susun mewah, yang meskipun kompak tetapi masing-masing berdiri sendiri

yang memungkinkan kehidupan pribadi tidak terganggu (Kuswartojo, 2005).

Rumah susun yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2011 memiliki pengertian

bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang

terbagi dalam bangian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik

dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang

masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk

tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan

tanah bersama. Rumah susun terbagi ke dalam 4 jenis yakni rumah susun

umum, rumah susun khusus, rumah susun negara, dan rumah susun

komersial. Rumah susun komersial yang lebih sering disebut sebagai

apartemen adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk mendapat

keuntungan.

Apartemen sebagai wujud dari rumah susun komersial berdasarkan

kepemilikannya dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu apartemen dengan sistem

sewa dan apartemen dengan sistem beli (Apartments:Their Design and

Development, 1967 dalam Imelda, 2006).

a. Apartemen dengan sistem sewa

Pada apartemen ini, penghuni hanya membayar biaya sewa unit yang

ditempatinya kepada pemilik apartemen dan biasanya biaya itu dibayarkan

perbulan ataupun pertahun. Biaya penggunaan utilitas seperti listrik, air, gas,

telepon ditanggung sendiri oleh penghuni. Sementara biaya perawatan dan

gaji pegawai pengelola apartemen ditanggung oleh pemilik. Penghuni yang

14

tidak ingin tinggal lagi di apartemen tersebut harus mengembalikan

apartemen tersebut kepada pemiliknya, kemudian pemilik akan mencari lagi

orang baru untuk mengisi unit-unitnya yang kosong.

b. Apartemen dengan sistem beli

Apartemen dengan sistem beli terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:

i. Apartemen dengan sistem kepemilikan bersama (cooperative

ownership). Pada apartemen ini, setiap penghuni memiliki saham

dalam perusahaan pemilik apartemen serta menempati satu unit

tertentu sesuai dengan ketentuan perusahaan. Penghuni hanya bisa

menjual unitnya kepada orang yang telah dianggap cocok oleh

penghuni apartemen lainnya. Bila terdapat unit yang kosong, maka

sahamnya akan dibagi rata diantara penghuni dan mereka harus

menanggung semua biaya perawatan sampai unit yang kosong

tersebut ditempati oleh penghuni baru.

ii. Kondominium. Pada apartemen ini, setiap penghuni menjadi pemilik

dari unitnya sendiri dan memiliki kepemilikan yang sama dengan

penghuni lainnya terhadap fasilitas dan ruang publik. Penghuni

bebeas untuk menjual, menyewakan ataupun memberikan

kepemilikannya kepada orang lain. Jika terdapat unit apartemen yang

kosong, maka biaya perawatan itu ditanggung oleh badan pengelola

apartemen itu.

Apartemen dapat digolongankan berdasarkan ekonomi penghuninya,

yaitu apartemen golongan bawah, apartemen golongan menengah, dan

apartemen mewah (Apartments:Their Design and Development, 1967 dalam

Imelda, 2006). Perbedaan ketiganya terletak pada ukuran ruang pada tiap

unit huniannya dan fasilitas yang disediakan oleh apartemen tersebut.

Semakin besar ukuran unit dan semakin banyak fasilitas yang tersedia,

semakin mahal harga perunit apartemen tersebut.

15

Tabel 1.1 Tipe Unit Apartemen Keterangan Ruang-Ruang yang Ada Tipe Penghuni

Studio -1 kamar mandi -dapur kecil dan ruang makan menjadi satu -ruang duduk dan kamar tidur menjadi satu

-lajang -pasangan muda yang baru menikah -orang lanjut usia

1 Kamar tidur -1 kamar mandi -dapur dan ruang makan menjadi satu -ruang duduk -kamar tidur

-lajang -pasangan muda yang baru menikah -orang lanjut usia

2 Kamar tidur -1 atau 2 kamar mandi -dapur -ruang duduk dan ruang makan menjadi satu -kamar tidur

-keluarga kecil dengan 1-2 anak yang masih kecil/belum menikah -pasangan lanjut usia yang tinggal dengan sanak saudara

3 Kamar tidur -2 kamar mandi -dapur -ruang duduk -ruang makan -kamar tidur (bisa juga 2 kamar tidur ditambah satu kamar pembantu)

-keluarga kecil dengan 3-4 anak yang masih kecil/belum menikah

Penthouse -terdiri dari 2 lantai -3 sampai 5 kamar tidur -3 kamar mandi -dapur -ruang makan -ruang duduk/ruang keluarga -ruang kerja -ruang tamu -foyer -adapula yang mempunyai kamar pembantu -untuk yang sangat mewah ada yang ditambah ruang seperti ruang baca

-pasangan muda yang baru menikah -keluarga besar dengan 4-5 anak -orang-orang kalangan atas

Sumber : Apartments:Their Design and Development, 1967 dalam Imelda, 2006

1.5.7 Mix Used Development

Mix Used Develoment merupakan bagian dari proyek real estate

yang harus memenuhi 3 komponen, yaitu (Schwanke, 1987 dalam Thrall,

2002):

a. Tiga atau lebih penggunaan, seperti retail, perkantoran, permukiman,

hotel, atau hiburan, yang direncanakan secara baik untuk saling

mendukung.

b. Integrasi fisik dan fungsi dalam komponen proyek yang mengintensifkan

penggunaan lahan dan memiliki kedekatan jarak secara relatif.

c. Pengembangan melalui perencanaan yang masuk akal.

16

Tujuan desain mix used development menurut Thrall (2002) adalah

menciptakan sebuah tenpat baru yang penting pada lahan perkotaan. Bagi

pengembang mampu mendapatkan keuntungan dari gaya perkembangan

pasar yang meningkat.

1.5.8 Pembangunan Wilayah dan Pendekatan Geografi

Pengkajian permukiman kota menggunakan 3 macam pendekatan

Ilmu Geografi, yaitu spatial approach, ecological approach, dan regional

complex approach (Yunus, 2010). Salah satu penekanan pokok pada

pendekatan keruangan adalah pola keruangan (spatial pattern). Pola

keruangan (spatial pattern) diidentifikasikan sebagai suatu kekhasan sebaran

keruangan gejala geosfera di permukaan bumi (Yunus, 2010). Apartemen

diabstraksikan kedalam bentuk simbol titik sehingga pola persebarannya

dapat diidentifikasi melalui pertanyaan-pertanyaan geografis seperti di mana

hal tersebut terjadi, kapan hal tersebut terjadi, mengapa terjadi sebaran

seperti itu, bagaimana sebaran tersebut dapat terjadi, dan siapa yang

berperan dalam proses terjadinya sebaran itu.

Penekanan lainnya terkait kajian permukiman kota dalam pendekatan

keruangan adalah interaksi keruangan. Interaksi menurut Yunus (2010)

adalah suatu proses saling mempengaruhi antara dua hal. Kota Bekasi secara

geografis berada di antara DKI Jakarta dan Kabupaten Bekasi yang

berdampak pada adanya proses yang mempengaruhi satu sama lain terkait

dengan permukiman kota.

Pendekatan ekologis menempatkan manusia sebagai subyek sentral

pada kajian permukiman kota mempunyai daya cipta, daya rasa, dan daya

karsa dalam banyak hal telah mampu mengubah lingkungan alami menjadi

lingkungan buatan yang baru. Pendekatan ini berusaha menganalisis

hubungan antara tempat tinggal manusia (permukiman) dengan

lingkungannya. Pendekatan ekologi dalam suatu studi permukiman

memandang permukiman sebagai suatu bentuk ekosistem hasil interaksi

distribusi dan aktivitas manusia dengan lingkungannya.

17

Pendekatan komplek wilayah diistilahkan sebagai pendekatan

gabungan antara pendekatan keruangan dengan pendekatan ekologi.

Pendekatan keruangan juga disebut dengan pendekatan horizontal dan

pendekatan ekologi disebut sebagai pendekatan vertikal. Hasil dari

gabungan pendekatan horizontal dan vertikal adalah upaya diferensiasi

wilayah.

Permukiman kota yang ditinjau melalui pendekatan ekologi dapat

menerangkan pembentukan dan perkembangannya. Pendekatan ini berupaya

menerangkan mengapa suatu komunitas lebih suka tinggal di suatu tempat

dibandingkan dengan tempat yang lain. Doxiadis (1971 dalam Kuswartojo,

2005) menguraikan permukiman dalam lima unsur, yaitu alam (tanah, air,

udara, hewan, dan tumbuham), lindungan (shells), jejaring (networks),

manusia, dan masyarakat. Di alam itulah diciptakan lindungan (rumah dan

gedung lainnya) sebagai tempat manusia tinggal serta berbagai kegiatan lain

dan jejaring (jalan dan jaringan utilitas) yang memfasilitasi hubungan

antarsesama maupun antarunsur yang satu dengan yang lain.

Jumlah manusia dan aktivitasnya terus bertambah sedangkan alam

tidak berkembang. Dengan demikian terdapat kemungkinan komponen alam

tidak dapat menampung dan mendukung seluruh manusia beserta segala

aktivitasnya. Apartemen sebagai bentuk dari permukiman merupakan sarana

kehidupan bagi penghuninya dalam menyelenggarakan kehidupan.

Permukiman kota dalam kehidupan yang modern diciptakan untuk

meningkatkan produktivitas dan kualitas kehidupan. Konsentrasi manusia di

perkotaan yang dilengkapi dengan jaringan dan lindungan yang mendukung

kebutuhannya terus membesar dan menjadi semakin kompleks. Dengan

demikian, dibutuhkan pengaturan dan pengorganisasian agar dalam

pembangunan permukiman dapat tercapai suatu taraf kehidupan yang terus

meningkat kualitasnya.

1.5.9 Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan perkembangan

permukiman dan rumah susun telah diteliti oleh Arifin, Marsito, dan Fauzia,

18

yang dijelaskan secara ringkas oleh penulis dalam Tabel 1.2 Penelitian

Sebelumnya. Zainal (2007) meneliti perkembangan pertumbuhan bisnis

perumahan di Sleman dalam tahun 2002-2007 sebagai salah satu bentuk

residensial disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain lokasi, prospek

ekonomi, daya beli konsumen, dan harga tanah. Dalam penelitiannya, Zainal

mengelompokkan pertumbuhan perumahan berdasarkan tipe rumah dan tipe

pengembang. Metode penelitian yang digunakan adalah purposive random

sampling dengan teknik analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

Penelitian lain terkait dengan permukiman adalah kajian

perkembangan perumahan terhadap kesesuaian tata ruang. Nadya (2012)

menggunakan teknis analisis regrasi berganda data panel untuk mengetahui

faktor berpengaruh terhadap pembangunan perumahan di Kabupaten Bekasi.

Berdasarkan hasil penelitannya, faktor yang paling berpengaruh adalah

faktor aksesibilitas berupa jalan bebas hambatan maupun jalan arteri.

Rumah susun merupakan bentuk permukiman arah vertikal. Freddy

(2013) mengkaji persebaran rumah susun dan faktor yang mempengaruhinya

di DKI Jakarta. Faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran rumah susun

di DKI Jakarta adalah tidak rawan bencana, kepadatan penduduk,

keterbatasan lahan, jumlah sarana dan prasarana, lokasi permukiman kumuh,

dan kesesuaian dengan RTRW. Setiap faktor memberikan pengaruh yang

berbeda terhadap lokasi rumah susun.

Apartemen merupakan salah satu jenis rumah susun. Pengembang

membangun apartemen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota

terhadap tempat tinggal. Jumlah pembangunan apartemen di Kota Bekasi

terus bertambah, baik yang sedang mengerjakan proyek pembangunan

maupun yang sedang dalam proses perizinan. Perkembangan pembangunan

apartemen terkait dengan faktor-faktor daya tarik yang dimiliki Kota Bekasi.

Dalam penelitian ini, penulis menjelaskan kondisi perkembangan

pembangunan apartemen dalam kurun waktu 2010-2015 dan

mengidentifikasi karakteristik faktor yang berperan sebagai daya tarik Kota

Bekasi pada perkembangan pembangunan apartemen.

19

Tabel 1.2 Penelitian Sebelumnya

Nama Peneliti (Tahun Terbit)

Judul Penelitian Tujuan Penelitian

Metode Penelitian dan Pendekatan

Hasil Penelitian

Zaenal Arifin (2007)

Studi Identifikasi Faktor-Faktor yang Terkait dengan Pertumbuhan Bisnis Perumahan di Sleman

1. Memperoleh gambaran statistik pertumbuhan dan sebaran perumahan di wilayah Kabupaten Sleman

2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang terkait dengan pertumbuhan bisnis perumahan di wilayah Sleman

Metode purposive random sampling untuk mengambil sampel penelitian. Analisis data menggunakan deskriptif kualitatif dan kuantitatif

Faktor yang terkait dengan pertumbuhan bisnis perumahan, yaitu lokasi tanah, kemudahan akses kredit dari perbankan, dan harga tanah

Nadya Ayu Fauzia (2012)

Kajian Perkembangan Perumahan Terhadap Kesesuaian Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi 2009 - 2011

1. Mengetahui distribusi perkembangan dan karakteristik perumahan

2. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan perumahan

3. Menentukan kesesuaian lokasi perumahan dengan Rencana Tata Ruang

Teknik analisis regresi berganda panel dan teknik overlay

Distribusi perumahan mengelompok dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan perumahan adalah faktor aksesibilitas

Freddy Masito (2013)

Kajian Persebaran rumah Susun serta Faktor yang Mempengaruhi di Jakarta

1. Mengetahui persebaran dan pola persebaran rumah susun yang ada di Jakarta

2. Mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi lokasi rumah susun yang ada di Jakarta

Teknik analisis deskriptif, analisis tetangga terdekat, dan analisis pengolahan data spasial

Pola persebaran rumah susun di DKI Jakarta adalah acak sedikit mengelompok yang dipengaruhi oleh faktor kerawanan bencana, kepadatan penduduk, keterbatasan lahan, jumlah sarana dan prasarana, lokasi permukiman kumuh, dan kesesuaian RTRW

Sumber : Arifin, 2007, Fauzia, 2012, dan Marsito, 2013

20

1.6 Kerangka Penelitian

Kebutuhan tempat tinggal di kota semakin bertambah karena faktor

pertambahan penduduk yang disebabkan oleh kelahiran dan urbanisasi. Semakin

besar jumlah penduduk maka kebutuhan tempat tinggal menjadi semakin besar.

Bentuk permukiman sebagai wujud pemenuhan kebutuhan tempat tinggal di kota

berupa rumah tapak, rumah susun, dan permukiman liar. Ketersediaan lahan

kosong di kota yang dapat dimanfaatkan untuk permukiman menjadi semakin

langka. Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan dengan memaksimalkan

dan mengintensifkan ruang kota yang ada untuk fungsi tersebut berupa pola

hunian vertikal atau rumah susun. Rumah susun terbagi menjadi 4 jenis, yaitu

rusun umum, rusun khusus, rusun negara, dan rusun komersial. Rumah susun

komersial berupa apartemen diselenggarakan untuk memperoleh keuntungan. Saat

ini, pembangunan apartemen di Kota Bekasi semakin berkembang. Perkembangan

apartemen dapat diketahui dari jumlah izin pembangunan apartemen yang

dikeluarkan, jumlah pengembang apartemen, jumlah unit apartemen, dan jumlah

luas lahan lokasi apartemen.

Gambar 1.1 Kerangka Penelitian Sumber : Analisis Muhammad Fauzi, 2015

21

Fenomena perkembangan pembangunan apartemen merupakan bagian dari

perkembangan Kota Bekasi. Perkembangan pembangunan apartemen terkait

dengan daya tarik Kota Bekasi. Faktor daya tarik kota berupa kebijakan/peraturan

pendukung, banyaknya fasilitas kehidupan, kondisi fisiografi, dan tingginya

aksesibilitas. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan gambaran kondisi

perkembangan pembangunan apartemen di Kota Bekasi dan karakteristik faktor

yang berperan sebagai daya tarik Kota Bekasi pada perkembangan pembangunan

apartemen.

1.7 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, penulis menjabarkan pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1) Bagaimana perkembangan apartemen di Kota Bekasi dalam kurun waktu

2010-2015?

a. Berapa jumlah izin pembangunan apartemen di Kota Bekasi yang

dikeluarkan dalam kurun waktu tahun 2010-2015?

b. Berapa jumlah pengembang yang membangun apartemen di Kota Bekasi

dalam kurun waktu tahun 2010-2015?

c. Berapa jumlah unit apartemen di Kota Bekasi dalam kurun waktu tahun

2010-2015?

d. Berapa jumlah luas lahan lokasi apartemen di Kota Bekasi dalam kurun

waktu tahun 2010-2015?

2) Faktor apa saja yang berperan sebagai daya tarik Kota Bekasi terkait dengan

perkembangan pembangunan apartemen?

a. Bagaimana peran faktor kebijakan/peraturan pendukung pada

perkembangan pembangunan apartemen di Kota Bekasi?

b. Bagaimana peran faktor banyaknya fasilitas kehidupan pada

perkembangan pembangunan apartemen di Kota Bekasi?

c. Bagaimana peran faktor kondisi fisiografi pada perkembangan

pembangunan apartemen di Kota Bekasi?

d. Bagaimana peran faktor tingginya aksesibilitas pada perkembangan

pembangunan apartemen di Kota Bekasi?