Bab i Pendahuluan otonomi daerah

30
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas izin dan kehendak Nya makalah sederhana ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perekenomian Indonesia mengenai “Otonomi Daerah dan Peluang serta Tantangan Bisnis di Daerah”. Dalam penulisan makalah ini penulis menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan penulis mengenai hal yang berkenan dengan penulisan makalah ini. Dalam makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.Kami harap makalah ini dapat berguna bagi orang yang membacanya. Otonomi Daerah dan Peluang serta Tantangan Bisnis di Daerah Page i

description

otonomi daerah

Transcript of Bab i Pendahuluan otonomi daerah

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas izin dan kehendak Nya makalah sederhana ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.

Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perekenomian Indonesia mengenai Otonomi Daerah dan Peluang serta Tantangan Bisnis di Daerah.

Dalam penulisan makalah ini penulis menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan penulis mengenai hal yang berkenan dengan penulisan makalah ini. Dalam makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.Kami harap makalah ini dapat berguna bagi orang yang membacanya.Penulis

DAFTAR ISI

iKATA PENGANTAR

iiDAFTAR ISI

1BAB I PENDAHULUAN

11.1Latar Belakang Masalah

5BAB II PEMBAHASAN

52.1 Pengertian Otonomi Daerah

62.2 Undang - Undang Otonomi Daerah

82.3 Peluang dan Tantangan Bisnis di Daerah

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah

1. Pembangunan yang tidak merata

Pembangunan ekonomi nasional selama pemerintahan orde baru yang lebih terfokus pada pertumbuhan ternyata tidak membuat banyak daerah di tanah air berkembang dengan baik. Proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran sebagai hasil pembangunan selama itu lebih terkonsentrasi di pusat (Jawa). Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan per kapita naik terus setiap tahun (hingga krisis terjadi). Namun, dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antarprovinsi semakin membesar. Demikian juga dengan kesenjangan dalam distribusi pendapatan semakin besar.

Masalah ketimpangan ekonomi regional di Indonesia disebabkan antara lain karena selama pemerintahan orde baru, berdasarkan UU No.5 Tahun 1974, pemerintah pusat menguasai dan mengontrol hamper semua sumber pendapatan daerah yang ditetapkan sebagai penerimaan Negara, termasuk pendapatan dari hasil sumber daya alam (SDA) di sector pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan atau kelautan. Akibatnya, selama itu daerah-daerah yang kaya sumber daya alam todak dapat menikmati hasilnya secara layak (Yafiz, 1999). Juga pinjaman dan bantuan luar negeri, penanaman modal asing (PMA), dan tata niaga di dalam negeri diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat sehingga hasil yang diterima daerah lebih rendah daripada potensi ekonominya.

Konstelasi hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) yang berlaku sejak pemerintahan orde baru hingga dberlakukannya otonomi daerah sejak bulan Januari 2001 lalu menyebabkan relative kecilnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dengan kata lain, peranan kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat dalam bentuk bagi hasil pajak dan buka pajak, sumbangan, dan bantuan mendominasi konfigurasi APBD. Sumber-sumber penerimaan yang relative besar pada umumnya dikelola oleh pemerintah pusat, sedang sumber-sumber penerimaan yang relative kecil dikelola oleh pemda.2. Ketimpangan Fiskal

Pola hubungan pusat daerah seperti digambarkan di atas membuat pemda sangat tergantung pada pemerintah pusat. Data APBN periode 1990-an menunjukkan bahwa struktur penerimaan pemerintah daerah tingkat I (DT I) didominasi oleh transfer uang dari pemerintah pusat, baik dalam bentuk bantuan maupun sumbangan.

Ketergantungan keuangan pemda terhadap pemerintah pusat juga dapat dilihat pada berbagai indicator lainnya, diantaranya rasio penerimaan pemda terhadap pengeluarannya. Sebagai contoh, menurut laporan di Bank Dunia tahun 1997 mengenai pembangunan ekonomi di Indonesia, porsi daerah dalam total pengeluaran nasional adalah sekitar 7%, sementara porsi penerimaaannya sebesar 22%, sehingga rasionya sekitar 30%. Data-data ini terlihat pada table berikut :

Tabel. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Indonesia dan Berbagai Negara Lainnya (Dalam Persen)

NegaraSaham Daerah Pengeluaran Pusat

(A)Pengeluaran Pusat

(B)Rasio A/B

Cina6464100

Brasil372260

Argentina373595

India543565

Kolombia321856

KoreaSelatan381847

Indonesia22732

Sedangkan struktur fiscal pusat dan daerah dapat dilihat pada table berikut :

Tabel. Ketimpangan Fiskal di Indonesia, 1990/1991 (1% dari Penerimaan Sendiri)

Pangsa PenerimaanPangsa PengeluaranSurplus/Defisit

Nasional96,183,113,0

Daerah3,916,9-13,0

DT II2,89,3-6,5

DT III1,17,6-6,5

Seluruh Tingkatan100,0100,0100,0

Berikut struktur ketimpangan fiscal pusat dan daerah, dapat dilihat pada table berikut :

Tabel. Koefisien Ketimpangan Fiskal Vertikal di Beberapa Negara

NegaraPeriodeKoefisien

Indonesia19900,19

India1982-19860,45

Kolombia1979-19830,50

Pakistan1979-19830,53

Malaysia1987-19880,56

Kanada19880,79

Jerman Barat19880,79

Amerika Serikat19880,88

Brasil19880,89

Dengan struktur fiscal antara pusat dan daerah seperti ini, tidak mengherankan jika Indonesia termasuk Negara yang paling parah dalam ketimpangan fiscal. Seperti dilihat pada table di atas.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerahdapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan yang di maksudOtonomi Daerahadalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi.

Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

Sedangkan yang di maksud Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi.Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :

1. Hubungan luar negeri 2. Pengadilan 3. Moneter dan keuangan 4. Pertahanan dan keamanan

Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

2.2 Undang - Undang Otonomi Daerah

1. Alasan Munculnya Undang-undang Otonomi Daerah

Ada tiga (3) faktor yang memicu bangkitnya tuntutan mendapatkan kemerdekaan atau mendapatkan otonomi yang lebih luas. Ketiga tuntutan tersebut yakni :

1. Sentiment regional

2. Ketimpangan dan ketidakberdayaan ekonomi

3. Depresi dan pelanggaran hak-hak masyarakat local.1. Tujuan

Tujuan pokok UU No.22 Tahun 1999 adalah untuk mewujudkan

landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah

dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menjadikan

daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakan system

pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia sesuai UUD 1945.

Tujuan pokok UU No.25 Tahun 1999 adalah upaya memberdayakan

dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan

system pembiayaan daerah yang adil, proposional, rasional,

transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti, dan

mewujudkan system pertimbangan keuangan yang baik antara

pemerintah pusat dan pemda. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut :1. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.2. Pengembangan kehidupan demokrasi.3. Keadilan.4. Pemerataan.5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.6. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.7. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Asas-asas Otonomi Daerah terdiri atas: 1. Asas Sentralisasi adalah pemusatan seluruh penyelenggaraan pemerintah Negara dengan pemerintah pusat.2. Asas Desentralisasi adalah segala pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.3. Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah gubernur sebagai wakil pemerintah dan perangkat pusat di daerah.4. Asas Pembantuan adalah asas yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada yang memberi tugas.2. Permasalahan

Penerapan kedua UU ini dimungkinkan menimbulkan berbagai masalah di daerah. Hal ini disebabkan karena daerah harus berbenah diri dan menyiapkan diri untuk lebih mandiri. Khusus mengenai UU No.25 Tahun 1999, dari sisi implementasinya ada dua (2) masalah besar yang diperkirakan pasti akan muncul dengan diberlakukannya UU tersebut.

Pertama, kemampuan keuangan atau kapasitas atau potensi fiscal daerah. Hal ini penting karena sangat menentukan mampu tidaknya suatu daerah untuk berotonomi. Artinya, daerah otonom harus memiliki kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus semenimal mungkin sehingga pendapatan asli daerah (PAD) harus menjadi bagian keuangan sendiri terbesar.

Kedua, adalah mengenai tingkat efektifitas dan efisiensi dan penggunaan dana, baik yang berasal dari PAD maupun yang diterima dari pemerintah pusat (dana perimbangan). Satu hal yang sudah jelas, implikasi pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan UU No.25 tersebut terhadap keungan daerah memerlukan peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangannya sejalan dengan akan makin besarnya dana yang dapat dikelola sendiri oleh pemerintah daerah tanpa pengaturan dari pemerintah pusat, karena DAU merupakan komponen terbesar dana alokasi dari pusat. Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah

Menurut UU No.18 Tahun 1997, sumber-sumber keuangan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD); bagi hasil pajak dan nonpajak; pendapatan pemberian dari pemerintah pusat, yang terdiri atas sumbangan/subsidi daerah otonom atau SDO, inpres/bantuan pembangunan atau DIP, dan sumbangan-sumbangan lain yang diatur denan peraturan perundang-undangan. Dengan keluarnya UU No. 25/1999, struktur keuangan daerah mengalami perubahan, dimana sumber baru yang penting adalah dana dari pemerintah pusat.

Didasarkan dari sejumlah asumsinya, penerimaan provinsi secara total meningkat sebesar 17%. Berdasarkan penerimaan yang bersumber dari bagian daerah, empat provinsi yang memiliki kekayaan alam cukup besar mendapatkan kenaikan penerimaan besar, yakni DI Aceh, Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur. Keempat provinsi tersebut umumnya memiliki penerimaan tambahan dari sector pertambangan, bukan migas, dan sector perhutanan. Hal ini dikarenakan menurut UU No. 25/1999, presentase bagi hasil sumber tersebut hanya sebesar 3% dari penerimaan BBM dan 6% dari penerimaan gas bumi. Walaupun demikian secara total bagi hasil sumber daya alam di empat provinsi tersebut tetap didominasi oleh migas.

2.3 Peluang dan Tantangan Bisnis di DaerahDengan diberlakukannya otonomi daerah, dunia usaha di daerah akan menghadapi suatu perubahan besar yang sangat berpengaruh terhadap iklim berusaha/persaingan di daerah. Oleh sebab itu, seetiap pelaku bisnis di daerah dituntut untuk dapat beradaptasi menghadapi perubahan tersebut. Di satu sisi, perubahan itu akan memberi kebebasan sepenuhya bagi daerah dalam menentukan sendiri kegiatan-kegiatan ekonomi yang akan dikembangkan. Tentunya diharapkan kegiatan-kegiatan yang produktif yang dapat menghasilkan nilai tambah (NT) yang tinggi dan dapat memberi sumbangan besar bagi pemerntukan PAD, salah satunya adalah industri-industri dengan dasar sumber daya alam. Diharapkan industri-industri tersebut dapat dikembangkan di daerah yang kaya sumber daya alam sehingga mempunyai daya saing tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Bagi pengusaha setempat, pembangunan industri-industri tersebut berarti suatu peluang bisnis ang besar, baik dalam arti membangun perusahaan di industri tersebut atau perusahaan di sector lain yang terkait dengan industri tersebut, misalnya di sector jasa (perusahaan transportasi) atau di sector perdagangan (perusahaan ekspor-impor).

Di sisi lain, jika tidak ada kesiapan yang matang dari pelaku bisnis daerah, maka pemberlakuan otonomi daerah akan menimbulkan ancaman besar bagi mereka untuk dapat bertaha menghadapi persaingan dari luar daerah atau luar negeri. Dengan kata lain, tantangan yang pasti dihadapi setiap pelaku bisnis di daerah pada masa mendatang adalah bagaimana mereka memanfaatkan kesempatan tersebut sebaik-baiknya. Dalam makalah Kalla (1999) mengatakan bahwa dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara umum pengusaha di daerah akan melakukan hal sebagai berikut:

1. Bekerja dengan biaya lebih murah dan mudah karena tida perlu berurusan banyak dengan birokrasi di Jakarta.

2. Tata niaga nasional pasti tidak ada lagi, dengan syarat Pemda tidak membuat aturan-aturan tata niaga local yang menimbulkan sekat-sekat baru.

3. Mengurangi persaingan dengan perusahaan besar dengan lobi pusat. Ini artinya, pengusaha-pengusaha di daerah dapat bersaing dipasar secara langsung, dan fair dengan pengusaha-pengusaha dari luar (misalnya Jakarta).

4. Mencegah adanya proyek yang datang sekaligus dengan kontraktornya.

5. Kebijakan ekonomi yang sesuai dengan kelebihan daerah masing-masing dapat diambil oleh pemda dan pengusaha-pengusaha setempat untuk pertumbuhan yang lebih baik.

Peluang terbaik dalam otonomi daerah yang juga dapat dikaitkan dengan era perdagangan bebas adalah wilayah Negara kita yang terletak di kawasan Asia Pasifik dengan ekonominya yang besar dan dinamis. Kota-kota Indonesia dapat disiapkan untuk menjadi bagian penting dari jaringan-jaringan bisnis yang berkembang di kawasan ini. Daya tarik Indonesia di kawasan Asia Pasifik dan bagian dunia lain diperkuat oleh sumber daya alam, angkatan kerja, dan letak geografikal yang sangat dibutuhkan dalam system produksi global.

Ada empat (4) tantangan besar di masa depan yang harus dihadapi daerah, yaitu bagaimana mereka dapat :

1. Menigkatkan kualitas mutu produk mereka menjadi lebih unggul daripada produk serupa dari luar daerah.

2. Menembus pasar baru atau meningkatkan pangsa pasar atau paling tidak mempertahankannya (strategi jangka pendek).

3. Mencptakan kegiatan baru yang produktif dengan daya saing yang tinggi, dan

4. Mengembangkan usaha atau perusahaan tanpa merugikan efisiensi usaha.2.4 PEMERAN PENTING DALAM OTONOMI DAERAHAPBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)

Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan membahas sedikit mengenai APBD. Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian yang terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.

Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial,sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai berikut ,anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan aktifitasSecara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan :

1)Berapa biaya atas rencana yang di buat(pengeluaran/belanja),dan

2)Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana tersebut(pendapatan)

Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan bahwa APBD adlah rencana keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal

2.5 DAMPAK OTONOMI DAERAH2.5.1.Dampak Positif Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.

Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:

Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan untuk memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.

Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.

2.5.2 Dampak Negatif Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.

Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :

1) Korupsi Pengadaan Barang Modus : a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar. b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.2) Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah) Modus :a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi. b. Menjual inventaris kantor

untuk kepentingan pribadi.3) Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan

sebagainya. Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.4) Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo) Modus : a.Pemotongan dana bantuan sosialb. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).5) Bantuan fiktif Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.2.6 Permasalahan atau Kendala dalam Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia.

Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis yang dituju dalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya Otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 sejak tanggal 1 Januari 2010, memang masih ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :

1. Pembagian Urusan

Contoh permasalahan yaitu dalam pembuatan kebijakan pusat untuk daerah (FTZ). Permasalahan yang paling sering dialami oleh daerah adalah banyaknya aturan yang saling tumpang tindih antara pusat dan daerah. Akibatnya banyak aturan pusat yang akhirnya tidakbisa diterapkan di daerah. Salah satu sebab itu karena pusat tidak memahami keadaan yang sedang dialami daerah tersebut. Kondisi inilah yang diduga menjadi kendala utama belum maksimalnya pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) di Kepri ini. Daerah selalu menunggu aturan dari pusat atau kebijakan dari pusat sehingga setelah ditunggu ternyata hasilnya selalu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Seharusnya hal tersebut dapat diatasi apabila pembagian urusan antara daerah danpusat tidak tumpang tindih. Artinya, dalam pengusulan suatu konsep aturan daerah harus terlibat langsung. Atau dengan kata lain sebelum pemerintah pusat membuat aturan, daerah memiliki tugas seperti mengajukan konsep awal yang tidak bertentangan dengan aturan yang ada di daerah. Sehingga pemerintah pusat dalam menyusun aturan, memiliki landasan yang kuat mengacu pada konsep daerah.

2. Pelayanan Masyarakat

Pada umumnya, Sumber Daya Manusia pada pemerintah daerah memiliki sumberinformasi dan pengetahuan yang lebih terbatas dibandingkan dengan sumber daya pada Pemerintah Pusat. Hal ini mungkin diakibatkan oleh sistem kepegawaian yang masih tersentralisasi sehingga Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam mengelola SumberDaya Manusianya sesuai dengan kriteria dan karakteristik yang dibutuhkan oleh suatu daerah. Sehingga pelayanan yang diberikan hanya standar minimum.

3. Lemahnya Koordinasi Antar Sektor dan Daerah

Koordinasi antarsektor tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerjasama yang bersifat operasional tetapi juga koordinasi dalam pembuatan aturan. Dua hal ini memang tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang memproduksi peraturan dan kebijakan tetapi secara normatif koordinasi dalam penyusunanperaturan perundangan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sistematisdan tidak bertubrukan satu sama lain. Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif Daerahbertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah tetap merupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan sejajar dengan Pemerintah Daerah atau Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri yang lebih kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak. Pola pikir yang harus sama adalah kita sadar terhadap apa yang harus kita pertahankan dan kita upayakan, yaitu integritas dan identitas bangsa serta berbagai upaya untuk memajukan dan mencapai tujuanbangsa. Pola sikap yaitu, bahwa setiap elemen bangsa mempunyai kemampuan dan kontribusi seberapapun kecilnya. Dan pola tindak yang komprehensif, terkordinasi dan terkomunikasikan.

4. Pembagian Pendapatan

UU 25/1999 pada dasarnya menganut paradigma baru, yaitu berbeda dengan paradigma lama, maka seharusnya setiap kewenangan diikuti dengan pembiayaannya, sesuai dengan bunyi pasal 8 UU 22/1999. Pada saat sekarang ini, banyak daerah yang mengeluh tentang tidak proporsionalnya jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima, baik oleh Daerah Propinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota. Banyak daerah yang DAU-nya hanya cukup untuk membayar gaji pegawai daerah dan pegawai eks kanwil, Kandep/Instansi vertikal di daerah. Disamping itu, kriteriapenentuan bobot setiap daerah dirasakan oleh banyakdaerah kurang transparan. Kriteriapotensi daerah dan kebutuhan daerah tampaknya kurang representatif secara langsung terhadap pembiayaan daerah. Dengan demikian perhitungan DAU yang transparan sebagaimana diaturdalam pasal 7 UU 25/1999 jo PP 104/2000 tentang perimbangan keuangan terutama pasal-pasal yang menyangkut perhitungan DAU dan faktor penyeimbangan, kiranya perlu ditata kembali. Kemudian, pembagian bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) dirasakan kurang mengikutiprinsip-prinsip pembiayaan yang layak yang sejalan dengan pemberian kewenangan Kepala Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Seperti halnya dalam paradigma lama, melaluiparadigma baru pun bagian daerah selalu jauh dari Sumber Daya Alam yang kurang potensial (seperti:perkebunan, kehutanan, pertambangan umum dan sebagainya), sedangkan disektorminyak dan gas alam, hanya mendapat porsi kecil. Bagian bagi hasil di bidang ini perlu diperbesar, sehingga daerah penghasil mendapat bagian yang proporsional sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksplorasi dan eksploitasi SDA tersebut.

5. Anatisme Daerah (Ego Kedaerahan)

Sifat seperti ini sangat tidak baik jika ada disuatu wilayah/daerah atau dimanapun, karena hal ini dapat menimbulkan kesenjangan atau kecemburuan terhadap daerah-daerahlain. Contoh pemasalahannya kejadian yang terjadi di daerah kabupaten Anambas dalampenerimaan CPNS. Bagi pelamar CPNS minimal mempunyai 1 ijazah yang dikeluarkan oleh disdik kabupaten. Anambas baik SD, SMP, dan SMA. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terlalu egoisnya suatu daerah yang mengutamakan putra daerah untuk dapat menjadi CPNS dalam mengembangkan daerahnya sendiri sehinnga untuk warga daerah lain tidak diberikanpeluang untuk menjadi CPNS dan hal ini juga dapat menimbulkan kerugian bagi warga Anambas karena dapat mengurangi pendapatan mereka ( yang berjualan atau yang membuka tempat-tempat kos) Solusinya sebaiknya dalam hal ini daerah Anambas tidak terlalu egois dalampenerimaan CPNS ini. Sehingga warga lain yang bukan berasal dari Anambas dapat bekerja dan dan bersaing demi memajukan daerah tersebut dan membuka peluang bagi siapapun yang memiliki kemampuan dan skiil serta pengetahuan mereka dalam berkopetensi untuk bersaing demi kebaikan dan memajukan daerah tersebut. Hal ini juga dapat meningkatkan pendapatan untuk penghasilan bagi warga yang memiliki mata pencarian sebagai pedagang dan yang memiliki rumah-rumah kos. Jika dibandingkan dengan adanya fanatisme.

6. Disintegrasi

Hal ini dapat menimbulkan perpecahan atau terganggunya stabilitas keamanan nasional dalam penyelenggaraan sebuah negara. Hal ini dapat disebabkan olek keegoisan suatu kelompok masyarakat atau daerah dalam mempertahankan suatu pendapat yang memiliki unsur kepentingan-kepentingan kelompok satu dengan yang lain. Yang dapat merugikan atau kecemburuan terhadap kelompok-kelompok yang lain untuk mendapatkan hak yang sama sehingga dapat memecahkan rasa persatuan dan kesatuan kita dan dapat menimbulkan berbagai pertikaian dalam sebuah negara atau daerah tersebut. Contohnya: GAM, RMS, dan lain-lain. Solusinya sebaiknya kita sebagai warga negara yang baik harusnya tidak egois dalam mempertahankan suatu hak atau pendapat antara kelompok yang satu dengan yang lain dapat menimbulkan pertikaian dan mengganggu keamanan didaerah tersebut. Namun kita harus bersatu demi memajukan daerah atau negara yang kita cintai.

2.7 Penyelesaian permasalahan otonomi daerah di IndonesiaUntuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain. Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi.Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru di bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah tanpa harus mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.1. Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi Pembangunan di daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan membuat pemerataan pembangunan antar daerah.2. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan bendera merah putih.3. Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala daerah melakukan korupsi.4. Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan diatasnya yang lebih tinggi.5. Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk mencegah pembentukan dinasti politik.6. Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih mendagri yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.7. Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi birokrasi), mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi anggaran.8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta mencari dari sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.Otonomi Daerah dan Peluang serta Tantangan Bisnis di DaerahPage i

Page ii