BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tanah Minahasa adalah tanah yang awalnya menjadi
tempat hidup dari empat Pakasa’an,1 yakni Tountemboan,
Tombulu, Tolour, dan Tonsea.2 Dalam bab IV akan dijelaskan
bagaimana proses terbentuknya pakasa’an, tetapi intinya
pakasa’an adalah kumpulan taranak3 yang hidup bersama dalam
satu wilayah. Mereka berasal dari tempat berbeda, bahkan
diduga kuat berasal dari luar Minahasa. Salah seorang Tona’as4
bernama Rinto Taroreh memberikan contoh situs budaya yang
menjelaskan bahwa leluhur Minahasa adalah orang-orang dari
luar yang datang dan tinggal di Minahasa. Taroreh menjelaskan,
bahwa ada tradisi lisan yang terekam kuat dalam diri orang-
orang Tonsea (Pakasa’an Tonsea) mengenai Opo Roti5 dan
1 Pakasa’an adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk satu kelompok etnis
yang mendiami satu wilayah tertentu, memakai bahasa yang sama, dan
melaksanakan riual-ritual yang sama. Karenanya, Pakasa’an tidak hanya terdiri dari
kumpulan taranak yang sedarah, tetapi juga terdiri dari kumpulan taranak berbeda
yang hidup dalam satu wilayah serta melaksanakan ritual yang sama. 2 Keempat pakasaan tersebut adalah juga empat wilayah di tanah Minahasa awal.
3 Taranak adalah istilah lokal Minahasa yang biasa dipakai untuk menunjuk
ikatan darah sebagai keluarga. Istilah lokal ini dipakai untuk menunjuk kumpulan
beberapa keluarga yang menyatu atau terikat satu sama lain karena hubungan darah.
Kata ini juga menunjuk pada kumpulan keluarga yang dipimpin oleh seorang
pemimpin yang disebut Pa’ Endon Tua; seseorang yang dipilih oleh keluarga-
keluarga dalam kumpulan tersebut karena kualitas dirinya untuk memimpin dan
mengarahkan mereka. Bandingkan juga dengan penjelasan Bert Supit, Minahasa
Dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Agape
Press, 1986),47. Supit menjelaskan bahwa dalam konteks Minahasa taranak adalah
sebutan untuk kumpulan beberapa awu/keluarga batih. Mereka hidup dalam satu
rumah besar atau dalam bangsal-bangsal yang saling berdekatan pada satu
kompleks luas.
4 Tona’as adalah seorang pemimpin ritual dan juga orang yang dituakan dan
menjadi pemimpin dalam kelompok masyarakat budaya.
5 Opo adalah sebutan penghormatan pada para leluhur yang dinilai memiliki
integritas diri yang kuat, selalu berusaha menjaga keutuhan tanah, serta mampu
memberi rasa aman bagi masyarakat. Nama Opo ditambahkan pada nama leluhur,
2 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
kedatangannya di daerah itu. Taroreh menuturkan, berdasarkan
tradisi lisan di Tonsea, Opo Roti adalah orang yang berasal dari
luar dan masuk ke tanah Minahasa melalui salah satu tempat
yang kemudian dikenal dengan nama Likupang. Opo Roti lalu
membaur dengan orang-orang yang telah lebih dahulu
bermukim di situ dan membentuk salah satu taranak di Tonsea
itu. Dalam pencarian situs budaya di Tonsea, Tona’as Taroreh
dan kelompok budaya Waraney Wuaya, menemukan lima
waruga6 Opo Roti di daerah Likupang sampai ke daerah
Minawerot (semuanya ada di Lokasi Tonsea). Waruga-waruga
tersebut menurut Taroreh menjadi penanda dari perjalanan Opo
Roti sebagai leluhur di daerah itu. Karena di zaman lalu, jika ada
orang yang kemudian bisa memperlihatkan kesungguhannya
menjaga tanah tempat hidup bersama, maka dia akan dihargai
dengan sebutan Opo dan ketika meninggal akan dikuburkan di
waruga dengan pahatan khusus yang mendeskripsikan
mengenai perannya semasa hidup di tengah masyarakat.7
Tradisi lisan lainnya yang juga ditunjang dengan waruga
yang ada, yakni cerita tentang Opo Wurik Muda atau Wurik
Sombor. Opo Wurik Muda dalam tradisi lisan masyarakat
diceritakan sebagai Opo yang dalam hidupnya memakai pakaian
ala pelaut Portugis dengan sepatu, topi lebar dan pedang
disamping kiri. Gaya berpakaian Opo Wurik Muda demikian
terpahat pada waruganya yang terletak di desa Kakaskasen-
Tomohon. Menurut tradisi lisan, cara berpakain Opo Wurik
seperti nama Roti yang kemudian menjadi Opo Roti. Dalam perkembangan
kemudian, nama Opo menjadi nama marga dari keturunannya.
6 Waruga adalah kubur leluhur yang dibangun dari batu, berbentuk kotak dan
terbagi atas dua bagian, yakni bagian atas yang merupakan atap dan bagian bawah.
Waruga pada umumnya dihiasi dengan gambar pahatan sederhana berbentuk
gambar manusia, binatang ataupun tumbuhan. Selanjutnya, mengenai lima
waruga/kubur Opo Roti yang ditemukan, saya menginterpretasi sebagai bentuk
penghargaan warga di tempat-tempat berbeda tersebut terhadap semua perbuatan
baiknya kepada mereka. Tentu saja hanya satu dari lima waruga tersebut yang
benar-benar pernah menjadi tempat jazadnya.
7 Wawancara dengan Tona’as Rinto Taroreh, pemimpin ritual dan pemimpin
kelompok budaya Waraney Wuaya, 14 Oktober 2014, di Manado.
Pendahuluan 3
Muda yang demikian karena dia adalah anak hasil perkawinan
bangsawan Portugis dengan ibunya yang berasal dari desa
Kilow/Kinilow (salah satu kampung tua di masa Minahasa awal-
terletak di kaki gunung Lokon). Perawakan Opo Wurik Muda
juga digambarkan seperti orang Portugis, yakni tinggi besar,
putih dan tampan. Sejak kecil dia telah berkelana ke berbagai
negara mengikuti ayahnya, sampai akhirnya dia kembali ke
kampung ibunya yang ternyata telah menikah lagi dengan
pemimpin kampung yang biasa di sapa sebagai Wurik Tua. Nama
Wurik Muda diberikan oleh ayah tirinya menggantikan nama
Portugal yang diberikan ayahnya. Menurut tradisi lisan, Opo
Wurik Muda tidak hanya memiliki kekuatan fisik, tetapi juga
pengetahuan yang luas dan penguasaan beberapa bahasa yang
menempatkan dirinya sebagai orang muda yang menjadi tempat
bertanya ketika warga menghadapi masalah. Opo Wurik Muda
tidak hanya dikenal di kampungnya, tetapi juga di kampung-
kampung lain. Dia memiliki banyak murid yang tersebar di
beberapa kampung. 8
Di samping tradisi-tradisi lisan tersebut di atas, ada juga
mitologi tentang Karema, Lumimuut dan Toar sebagai leluhur
Minahasa yang berasal dari luar. Banyak versi mitologi
mengenai tiga leluhur tersebut, namun semuanya menempatkan
ketiga tokoh kultural ini sebagai leluhur utama. Karema dan
Lumimuut diceritakan berasal dari Indo-Mongoloide atau Cina
selatan. Mitologi-mitologi tersebut semakin melengkapi
gambaran mengenai leluhur Minahasa berasal dari luar
Minahasa (pembahasan tentang Karema, Lumimuut dan Toar
akan di bahas dalam Bab IV).
Penanda kultural lainnya di tanah Minahasa awal yang
kemudian menjadi identitas kumpulan taranak yang
bermahasa9, yakni pemaknaan tentang Tou. Tou menunjuk pada
8 Data observasi, 23 Januari 2015, Tomohon.
9 Kata Mahasa/Maesa menunjuk pada kumpulan taranak Minahasa awal yang
menyatu dalam rangka menyelesaikan konflik diantara mereka. Karenanya, kata
4 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
manusia, hewan dan semua yang ada di alam raya. Singkatnya,
Tou adalah deskripsi orang Minahasa awal tentang kehidupan
dan cara mereka menjalaninya. Tou adalah nilai-nilai kultural
yang egaliter terhadap semua yang ada di alam raya. Falsafah
Tou demikian jugalah yang mendasari relasi perempuan dan
laki-laki di tanah Minahasa. Di konteks sosio-kultural Minahasa
awal, perempuan dan laki-laki berperan sebagai walian/
pempimpin-pemimpin keagamaan. Mitologi yang ditulis oleh
para Zending yang mengfigurisasikan Karema sebagai imam
pertama di tanah Minahasa-- melakukan ritual untuk proses
kehamilan Lumimuut dan yang kemudian mensahkan
perkawinan Lumimuut-Toar -- adalah salah satu contoh tentang
kesetaraan kepemimpinan di tanah Minahasa. Menurut saya,
mitologi ini lahir dari pengalaman pembuat mitologi yang
menyaksikan dan mengalami kepemimpinan perempuan
bersama dengan laki-laki di tanah Minahasa saat itu sebagai
suatu kelaziman. Selain itu, masih bertahannya praktek hidup
dalam keluarga di beberapa kampung kini yang penduduknya
masih hidup dari hasil pertanian, yakni tidak adanya pembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki
mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama kemudian
bersama-sama ke kebun, begitupun ketika mereka kembali ke
rumah akan mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama.
Dalam perjalanan menjadi Minahasa, beberapa kali nilai
Tou yang demikian dilukai oleh konflik-konflik antar taranak
karena keinginan memperluas wilayah kekuasaan dan keinginan
berkuasa di antara mereka. Karenanya, Tou adalah juga upaya
menata kembali kehidupan bersama yang egaliter antar
kelompok taranak yang terkristalisasi dalam tiwa Lumimuut-
Toar/ konsensus keturunan Lumimuut-Toar yang disyairkan
sebagai Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si parukuan
Mahasa/Maesa juga menunjuk pada keberadaan kumpulan taranak yang bebeda-
beda dan awalnya tidak saling kenal dan peduli, bahkan terlibat konflik satu sama
lain.
Pendahuluan 5
cawana si pakuruan, pute waya tou maesa cita (satu kita semua.
Tidak boleh menyembah dan tidak boleh disembah. Semua
manusia itu sama).10 Perjanjian dan konsensus tersebut menjadi
batasan dan aturan kultural mengenai keterbukaan dan
penerimaan antar taranak dan selanjutnya diberlakukan juga
terhadap para pendatang kemudian. Singkatnya, semua orang
dapat datang, tinggal dan menetap di Minahasa asalkan mentaati
tiwa Lumimuut-Toar. Semua orang harus mentaati batasan dan
aturan kulural yang ditetapkan para pemimpin taranak.
Pemberlakuan Tiwa Lumimuut-Toar juga berimplikasi pada
pengakuan antar pakasaan dan juga dengan para pendatang
(kemudian) tentang keberadaan mereka sebagai Tou.
Karenanya, pakasa’an maupun pendatang akan menerima sangsi
yang sama jika melanggar Tiwa Lumimuut-Toar (kajian lebih
dalam mengenai Tiwa Lumimuut-Toar akan dibahas pada bab V).
Ketaatan terhadap ikrar tersebut diatur berdasarkan tiga
aturan kultural, yakni pantik, wantik dan santi. Pantik artinya
janji sudah ditetapkan untuk dilaksanakan. Wantik artinya janji
sudah ditandai dan santi artinya berarti pedang. Karena itu di
Minahasa awal, pelanggaran terhadap ikrar tersebut
diselesaikan dengan pemenggalan kepala para pelanggar,
termasuk para pendatang yang melakukan pelanggaran.
Kuatnya pelaksanaan aturan kultural tersebut, terbaca dari
penilaian terhadap kualitas diri seorang pemimpin di masa itu
yang diukur dari banyaknya kepala para pelanggar ikrar yang
dipajang di depan rumahnya (penjelasan lebih lanjut akan
dipaparkan dalam Bab IV).11
10 Wawancara dengan Rinto Taroreh, 14 Oktober 2014, di Manado; Wowor, 29
Januari 2015, di Manado; kelompok Mawale Movement, 18 Februari 2015, di
Manado.
11 Tentang tradisi pemenggalan kepala para pelanggar ikrar dan musuh menjadi
tradisi lisan di tanah Minahasa. Biasanya diceritakan untuk menjelaskan pada para
turunan, bahwa melanggar sesuatu yang telah ditetapkan adalah fatal. Selain itu,
juga dimaksudkan untuk menceritakan bahwa para pemimpin di masa itu adalah
orang-orang kuat dan tegas.
6 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Bersamaan dengan berjalannya waktu, Minahasa yang
beragam semakin beragam dengan kehadiran para pendatang
baru di tanah Minahasa. Para pendatang tersebut, yakni
Portugis, Spanyol, Cina, Belanda, Jepang, Inggris, serta Kyai
Modjo dan pengikutnya, imam Bonjol dan pengikutnya. Imam
Bonjol dan Kyai Modjo beserta para pengikut menjadi tahanan
politik pemerintah kolonial Belanda dan dibuang ke tanah
Minahasa (pembahasan tentang para pendatang yang datang
kemudian di tanah Minahasa akan dibahas dalam bab IV).
Dalam konteks tanah Minahasa kini, keragaman
demikian dapat dikenali antara lain melalui marga dari sebagian
orang Minahasa yang menunjukkan bahwa mereka adalah
keturunan Portugal, Spanyol, Belanda, Cina, dan juga marga Jawa
dan Sumatera, di tambah juga dengan Ternate, Sangihe, dan
pendatang dari daerah-daerah lain di Indonesia. Penanda
lainnya, yakni nama kampung di beberapa tempat di tanah
Minahasa yang dinamai sesuai nama asal-usul negara atau suku
ataupun agama leluhur mereka, antara lain, kampung Borgo.
Borgo berasal dari bahasa Belanda Borges yang kemudian
menjadi vrijtborges atau orang-orang bebas. Kata Borgo ini
kemudian dipakai untuk menunjuk keturunan orang Belanda,
Portugis, dan Spanyol. Selain itu, ada beberapa tempat di tanah
Minahasa kini yang juga dinamai sesuai asal daerah para
pendatang, yakni kampung Jawa-Tondano, kampung Ternate,
kampung Cina, kampung Islam, kampung Sanger, kampung Arab.
Pada perkembangan selanjutnya, tanah Minahasa menjadi
bagian wilayah NKRI. Tanah Minahasa tidak lagi berdiri sendiri
tetapi menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Utara dan terbagi
dalam enam kabupaten dan kota, yakni Kota Bitung, Kabupaten
Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon,
Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Minahasa
Selatan. Dalam lingkup Propinsi Sulawesi Utara, keenam
kabupaten-kota di tanah Minahasa berada bersama dengan Kota
Manado (sebagai ibu kota propinsi), Kabupaten Kepulauan
Pendahuluan 7
Sangihe, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kabupaten Kepulauan
Talaud, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan,
Bolaang Mongondow Timur, dan Kota Kotamobagu. Penataan
demikian, semakin membuka ruang pembauran dari orang-
orang yang datang dan tinggal bersama di tanah Minahasa kini.
Gambar 1.1 Peta Propinsi Sulawesi Utara12
Beragam orang yang kini mendiami tanah Minahasa
turut memberi warna bagi dinamika sosial, agama, ekonomi,
politik bahkan kultural. Dinamika tersebut tidak hanya
berdampak pada perjumpaan beragam nilai, tetapi juga
mendorong perubahan sosio-kultural terutama terkait dengan
pemahaman dan pemaknaan Tou. Perubahan tersebut ditandai
dengan reduksi Tou hanya untuk menunjuk siapa yang layak
disebut manusia Minahasa asli. Bahkan reduksi demikian
semakin menyempit pada klaim orang Minahasa adalah kristen.
Imbasnya, di tanah Minahasa kini mulai bermunculannya klaim-
klaim asli-bukan asli Minahasa, lokal-pendatang, Minahasa
Kristen. Klaim-klaim demikian tidak hanya menempatkan
12 Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Utara (SULUT).
8 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
masyarakat dalam kelompok-kelompok dengan polarisasi yang
tajam. Pun sudah mulai menciptakan gesekan-gesekan antar
kelompok yang saling mengklaim tersebut dan juga dengan
masyarakat yang memilih tidak terpolarisasi pada kelompok
manapun (pembahasan tentang masyarakat yang terpolarisasi
ini akan dibahas dalam bab VI).13
Kesadaran kultural yang muncul dalam bentuk reduksi
Tou dan polarisasi masyarakat yang demikian melahirkan
pertanyaan reflektif. Apakah realitas demikian menjadi penanda
keterbatasan masyarakat di tanah Minahasa kini memahami
tenunan-tenunan sosio-kultural? Keterbatasan pemahaman
masyarakat tentang Tou yang menjadi ruang bersama bagi
manusia dan ciptaan lainnya untuk hidup di tanah Minahasa.
Apakah realitas demikian adalah juga cermin geliat kegelisahan
masyarakat di tanah Minahasa kini terhadap kerapuhan
kehidupan bersama?
Dalam wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan
organisasi masyarakat adat, saya merekam respon yang
berwarna terhadap tiga pertanyaan reflektif tersebut. Salah satu
ketua Aliansi Makapetor14 (Masyarakat Kawanua Peduli
13 Masyarakat yang tidak mau terpolarisasi pada salah satu kelompok yang ada
dicap tidak peduli terhadap budaya dan tidak mau memperjuangkan amanat leluhur
untuk menjaga tanah Minahasa.
14 Aliansi Makapetor adalah kumpulan Ormas adat yang awalnya bergabung
dalam rangka menyikapi pembangunan Masjid Al Khairiyah yang telah melebihi
luas lahan yang disiapkan untuk tempat pembangunan gedung ibadah semua agama
di lahan kosong milik pemerintah. Lahan itu yang semula bernama Kampung Texas,
terletak di pusat kota manado. Kampung Texas, awalnya dihuni tanpa izin oleh
masyarakat. Setelah para penghuni lahan Texas dipindahkan ke tempat yang
disiapkan pemerintah, tanah di lokasi tersebut diprogramkan oleh pemerintah untuk
menjadi lokasi wisata religi. Karena itu di lahan tersebut akan dibangun rumah-
rumah ibadah semua agama. Persoalan muncul, ketika pembangunan mulai
berlangsung, pembangunan mesjid ternyata menggunakan luas tanah yang sudah
melebihi batas pembagian. Akibatnya, lahan tempat pembangunan masjid menjadi
lebih luas dari semua lahan tempat bangunan ibadah agama-agama lain. Bagi
makapetor pembangunan masjid yang memakai lahan lebih besar bukan hanya
menyangkut luas lahan yang digunakan, tetapi dinilai sebagai tindakan arogansi dan
monopoli dari pendatang terhadap masyarakat lokal. Dalam perkembangan
selanjutnya, aliansi Makapetor ini sudah beberapa kali memotori tindakan
Pendahuluan 9
Toleransi) Wellem Kumaunang, memahami mengenai
menguatnya klaim asli dan bukan asli di tanah Minahasa kini
sebagai akibat dari kejadian di beberapa tempat yang
memperlihatkan arogansi pendatang (kini). Karenanya, sebagian
masyarakat di tanah Minahasa kini, terutama kelompok
masyarakat yang menggabungkan diri dalam organisasi-
organisasi Masyarakat (Ormas) adat merasa sudah saatnya
untuk menegaskan pengelompokkan masyarakat asli dan bukan
asli, lokal dan pendatang. Kumaunang menegaskan, bahwa
penetapan penduduk asli/lokal dan pendatang harus dilakukan
untuk menghentikan tindakan dominasi dan seenaknya oleh
pendatang seperti yang dilakukan di kampung Texas.
Kumaunang juga mengacu pada gesekan antar masyarakat yang
menyebut diri masyarakat lokal dengan pendatang di Bitung
yang terjadi pada pertengahan tahun 2014. Dari versi
Kumaunang, kasus ini dimulai dengan pemukulan terhadap
seorang dari Ormas adat Minahasa oleh beberapa oknum
pendatang15 yang sedang melakukan takbiran.16 Pemukulan
tersebut melahirkan reaksi dari kalangan masyarakat dan
Ormas adat Minahasa dan berakhir dengan kericuhan kecil.
Beberapa hari kemudian, beberapa kelompok Ormas adat
berkumpul di Bitung dan bergerak bersama menuju ke mesjid di
“pengamanan” lahan dan juga masalah-masalah sosial lainnya yang terjadi akibat
gesekan antara masyarakat beragama Kristen dan pendatang beragama Islam.
Wawancara dengan Wellem Kumaunang, 2015.
15 Kata Pendatang saya pakai untuk menunjuk pembedaan yang sedang terjadi
di masyarakat di tanah Minahasa kini. Pembedaan yang dibuat oleh ormas adat
Minahasa untuk mengklaim diri mereka sebagai orang Minahasa asli dan menunjuk
orang-orang yang berasal dari luar Minahasa—jawa, gorontalo dan bugis/makasar
yang beragama Islam, khususnya para pendatang kini—sebagai bukan
Minahasa/pendatang. Bandingkan juga dengan definisi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia tentang orang asing dan pendatang. Orang asing adalah yang datang dari
luar negeri, daerah atau lingkungan adalah orang asing (bukan penduduk asli). Tim
Penyusun Kamus Pusa Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga (Jakarta: Gramedia, 1991), 61, 212. Dalam
disertasi ini saya menggunakan kata pendatang dan orang asing secara bersamaan.
16 Wawancara dengan Wellem Kumaunang, salah satu ketua Aliansi Makapetor,
3 November 2015, di Manado.
10 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Aertembaga Bitung. Kelompok Ormas adat melarang umat Islam
di situ untuk melanjutkan pembangunan masjid. 17
Selanjutnya Kumaunang menjelaskan, bahwa para
pendatang berani melakukan dominasi seperti yang mereka
lakukan di lahan pembangunan gedung ibadah kampung Texas
dan di Bitung, karena pemerintah sangat lemah. Kumaunang
menilai bahwa kepentingan politis pemerintah yang membuat
mereka sepertinya tidak berani mengambil tindakan pada
kasus-kasus dominasi yang dilakukan para pendatang.18
Karenanya menurut Kumaunang, Makapetor akan mengerakkan
pembentukan Dewan adat yang akan turut aktif menentukan
program pembangunan pemerintah di tanah Minahasa. Dewan
adatpun akan turut menentukan persyaratan tinggal dan waktu
tinggal dari para pendatang yang akan bekerja ataupun yang
hendak menjadi penduduk tetap di tanah Minahasa kini.19
Di sisi yang lain, saya mencatat—melalui wawancara
dengan para informan lainnya—bahwa gerakan kelompok adat
tersebut adalah juga reaksi ketersinggungan dan
ketidaksenangan masyarakat lokal karena marginalisasi nilai-
nilai kultural oleh oknum pendatang. Ketersinggungan dan
ketidaksenangan yang bercampur dengan kekuatiran terhadap
kelompok-kelompok intoleran Islam seperti FPI yang telah
menyusup ditengah masyarakat dan sengaja memicu gesekan-
gesekan sosial berbasis agama. Kesimpulan demikian antara lain
17 Reaksi terhadap kericuhan yang terjadi karena pemukulan terhadap seorang
anggota kelompok adat memang sangat disayangkan, karena justru semakin
memperpanjang masalah. Apalagi karena larangan pembangunan masjid dinilai
tidak terkorelasi dengan kericuhan tersebut. Karenanya, Komnas HAM dalam Rapat
bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menanggapi tindakan pelarangan
pembangunan masjid oleh kelompok adat sebagai pelanggaran terhadap kebebasan
beragama yang dijamin undang-undang (bdk dengan laporan KOMNAS HAM
https://w.w.w.komnasham.go.id. pdf Laporan Tahunan kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Manado, 2016.
18 Wawancara dengan Kumaunang, 2015.
19 Kumaunang, 2015.
Pendahuluan 11
yang terekam dalam FGD dengan beberapa pengurus kelompok
adat,20 sebagai berikut:
…sikap terhadap pendatang itu memang terbuka tetapi harus hati-hati. Karena ada banyak data di lapangan misalnya, kasus larangan FPI di seluruh Indonesia, tetapi pembukaan jalan bersama di Kota Bitung beberapa waktu lalu ada temuan adanya FPI. Karena data tersebut kami kelompok adat turun untuk menangani hal tersebut. Lalu kasus berbeda di Kota Bitung belum lama ini. Sewaktu malam takbiran, mereka turun bertakbiran dengan membawa senjata tajam dan kemudian melukai salah satu anggota Ormas Adat. karena itu, kami turun di Kota Bitung untuk meminta pihak keamanan menjamin keamanan Sosial. Waktu itu juga terjadi provokasi di depan Polres. Contoh-contoh ini sebenarnya menegas-kan, bahwa orang Minahasa sudah menerima pendatang dengan baik, tetapi memang ada pendatang yang kemudian bertindak tidak benar, bahkan memprovokasi konflik sosial. Kalau soal para pendatang yang menjadi pedagang, menurut saya kita juga harus hati-hati. Bayangkan ada tukang jual sayur dan kebutuhan dapur keliling asal Jawa yang baru berjualan satu dua bulan, lalu kemudian sudah bisa membeli motor model terbaru. Kami berusaha mencari data, bagaimana hal tersebut dapat terjadi, lalu kami menemukan bahwa ternyata mereka memiliki jaringan. Jaringan ini yang membiayai semua kebutuhan mereka dalam berdagang. jadi memang kita mesti hati-hati, karena pendatang zaman dulu dengan sekarang sudah berbeda. Saya pikir sebagai masyarakat lokal, kita harus mampu meng-
20 FGD dengan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nasional Sulut, Kelompok
budaya Makatanak Minahasa dan Barisan Pemuda Adat Nusantara Sulawesi Utara,
8 Maret 2015, di Manado.
12 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
klasifikasi para pendatang tidak menerima begitu saja secara membuta.21
Keprihatinan terkait gesekan-gesekan yang terjadi
antara masyarakat yang menyebut diri sebagai masyarakat lokal
di tanah Minahasa dengan para pendatang terekam juga dalam
Deklarasi Minahasa Bersatu oleh 25 (dua puluh Lima) kelompok
masyarakat adat yang dilakukan di Bitung pada 27 Juli 2016.
Deklarasi tersebut diawali dengan ritual Taratak Fosso yang
dimaksudkan untuk membersihkan Bitung dari hal-hal yang
tidak baik dan mengatur kembali tanah dan kehidupan di Bitung
agar berlangsung tenang dan tentram. Dalam pelaksanaan ritual
tersebut Tona’as yang memimpin ritual menyampaikan doa-doa
kepada Opo Empung (Tuhan pencipta alam semesta) agar tanah
Minahasa dipulihkan dari hal-hal buruk yang mengganggu
keamanan dan kesejateraan kehidupan bersama. Ritual tersebut
dilanjutkan di tiga tempat yang dipercayai menjadi tempat-
tempat representatif untuk membersihkan kota Bitung dari
pengaruh-pengaruh buruk. 22 Rinto Taroreh salah satu Tona’as
yang bertugas melanjutkan ritual di salah satu lokasi di Sagrat
(Sagrat terletak di perbatasan antara Kota Bitung dan
Kabupaten Minahasa Utara) menjelaskan pentingnya ritual yang
mereka lakukan, sehingga perlu melakukan persiapan-persiapan
awal satu hari sebelum Ritual Taratak Fosso di laksanakan.
Demikian Taroreh menuturkan:
Biasanya sebelum acara begini, kami ada persiapan khusus. Kami kan datang sebagai tamu di sini. Jadi untuk menghindari jangan sampai yang mengundang kami ini – namanya manusia-- ada kekurangan-kekurangan makanya kami sudah melakukan ritual pendahuluan. Artinya kami menjaga supaya jika dalam ritual Taratak Fosso yang akan dilakukan sebentar ada kesalahan yang
21 Yusak Tangkilisan, Sekjen Ormas adat Makatanak Minahasa, 8 Maret 2015,
di Manado.
22 Data observasi, 27 Juli 2016, di Bitung.
Pendahuluan 13
dibuat, kami telah berusaha menutup melalui ritual persiapan yang sudah kami laksanakan tadi malam di Kema. Makanya kami sudah buka/tu’motol di kemah tadi malam. Mengapa di kemah? Karena di kemah merupakan pusat dari orang-orang tua Tonsea yang di daerah sini (bitung), yang menjadi daerah kekuasaan mereka. Jadi tadi kami sudah pergi ke batunya, batu Toytow, lalu ke waruganya kepala walak, dan waruganya wali’an donowu di sana. Kami sudah mulai di sana. Artinya, ketika kami sudah datang ke sini, kalau mungkin ada kekurangan-kekurangan, kita sudah tidak masuk ke bagian itu, karna kita sudah melaksanakan ritual utama di sana. Jadi selesai dari sini, rencananya akan mengatur pasela-pasela (batu-batu di ujung negeri) di mana kalau mau ikut tatacaranya, maka batu-batu pasela itu menjadi tempat orang tua menjaga kampung. Pasela kan artinya ujung/pembatas.23
Pada tanggal 29 Agustus 2016 beberapa kelompok adat
yang juga hadir dalam deklarasi di Bitung, melaksanakan
Deklarasi PITON (Pinaesaan-Tountemboan) Bersatu di Batu
Pinabetengan pada 29 Agustus 2016 yang juga diawali dengan
ritual. 24 Pelaksanaan ritual dan deklarasi tersebut dipimpin
oleh pemimpin ritual (Tona’as) yang sama dengan yang
memimpin deklarasi di Bitung, yakni Tona’as Dede Katopo.
Pemilihan Batu pinabetengan sebagai tempat pelaksanaan ritual,
bukan tanpa makna. Pinabetengan secara historis-kultural
merupakan tempat berkumpul para pemimpin taranak
Minahasa awal dalam upaya penyelesaian konflik. Karenanya,
pelaksanaan ritual di Pinabetengan dipahami sebagai penegasan
ulang terhadap konsensus para leluhur; penegasan ulang
terhadap Tiwa Lumimuut-Toar, bahwa hidup bersama dalam
23 Wawancara dengan Tona’as Rinto Taroreh, 27 Juli 2016, di Bitung.
24 Data observasi, 29 Agustus 2016, di Pinabetengan.
14 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
masyarakat hanya dimungkinkan jika setiap kelompok taat pada
kesepakatan awal yang telah dibuat para leluhur.25
Pandangan lain yang mendorong kekritisan masyarakat di
tanah Minahasa terhadap para pendatang, saya temukan dalam
wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan kelompok
pemuda budaya. Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat
Nasional menilai kekuatiran terhadap para pendatang sebagai
reaksi yang berlebihan dan cenderung menggeneralisasi semua
pendatang. Menurut beliau, meskipun harus berhati-hati
terhadap pendatang yang memiliki agenda-agenda tersembunyi,
tetapi penilaian yang mebutapun hanya akan menjadikan relasi
sosial semakin meruncing. Selanjutnya Gosal menuturkan:
Kami di Mawale (salah satu kelompok adat di mana beliau juga menjadi bagian) sudah merumuskan satu rumusan tentang siapa Tou Minahasa. Tou Minahasa menurut kami adalah siapapun yang menjadikan tanah Minahasa sebagai ruang hidup dan berkomitmen menjaga keberlangsungan tanah Minahasa dan segala yang ada di tanah ini berarti dia Tou Minahasa. Jadi tidak melihat dari darahnya, warna kulit, suku. Saya sebagai pribadi melihat ada yang kemudian merusak hal tersebut--bukan hanya pendatang tapi juga masyarakat lokal Minahasa. Sikap saya sebagai pribadi terhadap pendatang, yakni hati-hati. Tetapi Ada klasifikasi lagi, yakni pendatang yang memang jujur memaknai diri sebagai bagian dari tanah Minahasa, karena telah mendapatkan hidup dari tanah ini. Sementara itu ada juga pendatang yang memang hanya menjadikan tanah ini sebagai tempat mencari kebutuhan hidupnya dan tidak ada tanggung-jawabnya untuk menghargai kehidupan di tanah ini; bahkan tidak jarang mereka mempunyai agenda-agenda khusus. Memang karena kelompok-kelompok yang
25 Ibid.
Pendahuluan 15
memiliki agenda-agenda khusus demikian, kemudian membuat masyarakat lokal terjebak untuk menganggap pendatang dengan agama tertentu semuanya sama, yakni memiliki agenda khusus. Tapi memang harus tetap berhati-hati terhadap pendatang agar kita tidak kecolongan oleh para pendatang yang memiliki agenda khusus.26
Tanggapan-tanggapan berbeda tersebut di atas terhadap
relasi sosial di tanah Minahasa kini adalah juga gambaran
mengenai bagaimana masyarakat memahami realitas sosial yang
plural. Klaim asli-bukan asli, lokal-pendatang, Minahasa Kristen-
Minahasa bukan kristen mendeskrpsikan bahwa pembauran
masyarakat di tanah Minahasa kini berlangsung sedemikian
kentalnya dan saling bersinggungan. Di sisi lain, klaim-klaim
demikian adalah juga ekspresi ketersinggungan dan
keidaksenangan masyarakat lokal terhadap kecenderungan
oknum pendatang (kini) yang dinilai kebablasan mengelolah
keterbukaan dan penerimaan terhadap mereka. Ketersing-
gungan yang menajam pada upaya mengklaim kembali tanah,
nilai, dan semua hal yang dapat menegaskan kepemilikan
mereka terhadap tanah Minahasa.
Mengacu pada alur berpikir di atas dan realitas sosio-
kultural di tanah Minahasa kini, maka menurut saya studi
mengenai Redefinisi dan rekonstruksi TOU. Studi Sosial
terhadap identitas sosial Minahasa dalam konteks Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat penting
dilakukan. Upaya demikian tidak hanya bertujuan agar
masyarakat di tanah Minahasa kini dapat memahami kembali
identitas bersama yang telah dikonstruksi oleh para leluhur
dalam rangka mengatur kehidupan bersama yang beragam. Di
sisi lain, rekonstruksi dan redefinisi Tou sebagai identitas sosial
masyarakat di tanah Minahasa kini akan membantu merajut
26Wawancara dengan Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional, 8
Maret 2015, di Manado.
16 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
kembali tenunan-tenunan sosio-kultural dan menghadirkan
kehidupan bersama yang konstruktif dan bermartabat sebagai
bagian dari NKRI.
Pemilihan pokok studi demikian, juga ditunjang oleh
pemeriksaan yang saya lakukan terhadap studi-studi
sebelumnya.27 Berdasar pemeriksaan tersebut, saya menemukan
ada beberapa pengelompokkan studi tentang Minahasa.
Pengelompokan yang pertama, yakni studi awal yang bersifat
pandangan mata yang dilakukan oleh para para penginjil Barat
yang datang ke tanah Minahasa, dan juga dalam bentuk laporan
dari pejabat pemerintah kolonial Belanda yang bertugas di
daerah ini mengenai situasi orang-orang Minahasa. Salah satu
laporan, yakni laporan resmi residen Manado J.D. Schierstein
kepada Gubernur di Maluku tentang penyelesaian konflik antara
beberapa pakasa’an dan juga keberhasilannya menyatukan
ukung-ukung di Minahasa. Dari tulisan dan laporan-laporan
tersebut diperoleh gambaran mengenai bagaimana keberadaan
orang-orang Minahasa awal, budaya, sistim sosial dan
pemerintahan, serta keagamaan yang berlangsung di tanah
Minahasa saat itu. Pengelompokkan kedua, yakni yang bersifat
akademis mengenai Minahasa yang dilakukan oleh para peneliti
Barat. Beberapa diantaranya, yakni studi terhadap makna cerita-
cerita rakyat di Minahasa yang ditulis buku tiga jilid oleh J.A.T.
Schwarz, Tontemboansche Teksten (Leiden: Brill, 1907).
Selanjutnya, N.P. Wilken sebagai salah seorang penulis yang
serius menggali akar kebudayaan Minahasa. Kurt Tauchmann,
seorang peneliti Jerman, dipromosi doktor di Universitas Köln
27Ketika melakukan pemeriksaaan terhadap studi-studi terdahulu saya
mendapatkan banyak kemudahan karena usaha dokumentasi studi-studi tentang
Minahasa yang dilakukan David Tular dalam tulisannya tentang Minahasalogi.
David Tular, Minahasalogisebagaistudikeminahasaan.blogspot.co.id. Pemaparan
tentang studi-studi terdahulu yang saya lakukan sebagian besar mengacu pada
uraian pengelompokan studi-studi Minahasa yang dilakukan oleh David Tular.
Selain itu, saya juga mengacu pada dokumentasi hasil studi di UKSW, UGM, dan
UI tentang Minahasa yang bisa diakses di perpustakaan umum ketiga Universitas
tersebut.
Pendahuluan 17
dengan disertasi berjudul Die Religion der Minahasa-Stämme
(Nordost-Celebes/Sulawesi). Melalui studinya ini Tauchmann
merekonstruksi agama dan kepercayaan asli suku-suku di
Minahasa dari masa pra-pengaruh Eropa. Studi penting lainnya,
yakni Mieke Schouten dengan tulisannya yang berjudul
Minahasa and Bolaangmongondow: an annotated bibliography
1800-1942 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981). Sesuai judulnya,
buku ini memuat daftar tulisan-tulisan dan buku-buku mengenai
Minahasa dan Bolaang Mongondow). Disertasi lainnya ditulis
oleh Menno Hekker berjudul Minahassers in Indonesië en
Nederland: migratie en cultuurverandering (Disertasi Universiteit
van Amsterdam, 1993). Dari judulnya jelas bahwa arah
penelitiannya adalah mengenai perubahan kultural pada kaum
migran Minahasa di Negeri Belanda. Pada tahun 1996 KITLV di
Leiden menerbitkan buku dari David E.F. Henley, Nationalism
and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East
Indies (Leiden: KITLV, 1996). Dalam bentuknya yang belum
direvisi, isi buku ini sudah diajukan oleh penulisnya sebagai
disertasi Ph.D. pada Australian National University pada tahun
1992. David Henley sendiri berkebangsaan Inggris. Buku ini
pada hakekatnya meneliti perkembangan nasionalisme regional
yang bertumbuh di Minahasa pada zaman Hindia-Belanda
hingga tahun 1942. Selain terbitnya disertasi-disertasi ini, ada
dua buku kompilasi tulisan mengenai Minahasa yang terbit
dalam bahasa Inggris selama era 90-an. Dua buku ini masing-
masing adalah Helmut Buchholt dan Ulrich Mai, eds., Continuity,
Change and Aspirations: Social and Cultural Life in Minahasa,
Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994)
dan Reimer Schefold, ed., Minahasa Past and Present: Tradition
and Transition in an Outer Island Region of Indonesia (Leiden:
Research School CNWS, 1995). Pengelompokan yang ketiga,
yakni studi yang dilakukan para peneliti dan penulis Indonesia,
antara lain disertasi dari Geraldine Y.J. Manoppo-Watupongoh
berjudul Bahasa Melayu surat kabar di Minahasa pada abad ke-
19 (Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1983). Tulisan dari
18 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
H.M. Taulu yang terbit di era 50-an berjudul Adat dan Hukum
Adat Minahasa, J.F. Malonda yang terkenal berjudul Membuka
tudung dinamika filsafat-purba Minahasa, tahun, 1952. Juga
termasuk dalam deretan terbitan di era 1950-an adalah buku
dari J.G.Ch. Sahelangi, Ringkasan Hikajat Tanah dan Bangsa
Minahasa Purbakala serta dengan Hikajat Bangsa Bentenan jang
menduduki bahagian tenggara tanah Minahasa. Buku Sejarah
Minahasa oleh F.S. Watuseke. Buku ini berisi studi mengenai
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Minahasa mulai dari “zaman
purba” sampai dengan tahun 1954, yaitu ketika Bitung dijadikan
pelabuhan samudra. E.V. Adam, Kesusasteraan, Kebudajaan dan
Tjerita-tjerita Peninggalan Minahasa, 1967. Buku kecil ini lebih
merupakan kapita selecta mengenai kebiasaan-kebiasaan dan
kepercayaan-kepercayaan tua serta aturan-aturan tata-krama di
Minahasa tempo dulu. L. Adam, Pemerintahan di Minahasa
(Jakarta: Bhratara, 1975) dengan kata pengantar oleh F.S.
Watuseke dan Adat Istiadat Sukubangsa Minahasa. Disertasi
Richard A.D. Siwu tentang , “Adat, Gospel and Pancasila: A Study
of the Minahasan Culture and Christianity in the Frame of
Modernization in Indonesian Society” (Tesis D.Min, Lexington
Theological Seminary, 1985); Disertasi Josef Manuel Saruan
tentang Opo dan Allah Bapa. Suatu Studi mengenai Perjumpaan
Agama Suku dan Kekristenan di Minahasa ( Disertasi Program
Doktoral The South East Asia Graduate School of Theology,
Jakarta 1991), yang menggali korelasi nama Tuhan di suku
Minahasa dengan Allah Bapa dalam agama Kristen. Tesis, K.A.
Kapahang-Kaunang, Perempuan: Pemahaman Teologis tentang
Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993). Di bidang pertanian, misalnya, ada
penelitian dari A.E. Wahongan-K, “Peranan Wanita dalam
Pembangunan dan Kaitannya dengan Lembaga Mapalus” (Tesis
Master, Institut Pertanian Bogor, 1986). Tesis Magdalena
Tangkudung yang berjudul Mitos dan Kodrat yang menggali
bagaimana keberadaan perempuan Minahasa dalam kaitan
dengan mitos dan kodrat (Tesis Magister Sosiologi-Agama
Pendahuluan 19
UKSW). Tesis dari Dance Palit, Minahasa: Integrasi Etnis, yang
berorientasi pada upaya menggali latar-belakang penyatuan
sub-sub etnik (Tesis Magister Sosioloi-Agama UKSW). Tulisan
Bert Supit berjudul Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan
Sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), juga
merupakan salah satu studi tentang Minahasa yang menjadi
acuan karena cukup lengkap menulis mengenai orang Minahasa
dan konteksnya. Serta studi-studi lainnya mengenai Minahasa
yang mulai diminati oleh para mahasiswa/i di Universitas-
universitas di Indonesia. Mengacu pada pemeriksaan tersebut,
saya menyimpukan, bahwa studi mengenai Redefinisi dan
Rekonstruksi Tou. Studi Sosial terhadap Identitas Sosial
Minahasa dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), belum pernah diteliti dan ditulis secara
khusus.
2. Masalah Penelitian
Bertolak dari latar-belakang pemikiran yang telah
dipaparkan di atas, maka saya merumuskan masalah penelitian
sebagai berikut: Bagaimana konstruksi Tou sebagai identitas
sosial Minahasa awal? Bagaimana nilai-nilai dalam Tou yang
mengatur relasi antar taranak—dalam wale, walak dan
pakasa’an – dan dengan pendatang di Minahasa? Mengapa
terjadi reduksi Tou dalam perjalanan sebagai Minahasa?
Bagaimana dampak reduksi Tou terhadap relasi sosial di tanah
Minahasa kini? Bagaimana redefinisi dan rekonstruksi Tou
sebagai identitas sosial masyarakat di tanah Minahasa kini dan
dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan
dari penulisan ini adalah melakukan deskripsi dan analisis
20 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
terhadap proses definisi dan konstruksi Tou sebagai identitas
sosial Minahasa awal. Dalam deskripsi dan analisis tersebut
akan ditelisik secara mendalam latar belakang terbentuknya
Minahasa dalam wale, walak, pakasaan, serta bagaimana para
lelulur mengkonstruksi Tou sebagai identitas Mahasa/Minahasa.
Bagian terakhir dari tulisan ini bertujuan mendiskripsikan dan
mengkaji Tou dalam konteks masyarakat di tanah Minahasa kini.
Mengapa Tou direduksi menjadi identitas primordial serta
bagaimana redefinisi dan rekonstruksi Tou harus dilakukan
dalam rangka memposisikan kembali Tou sebagai identitas
sosial Minahasa dalam konteks NKRI.
4. Urgensi Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis apa dan
bagaimana identitas etnis yang egaliter dapat dikonstruksi
menjadi identitas sosial. Studi mengenai Tou sebagai
identitas bersama di Minahasa awal yang dikonstruksi
sebagai upaya menata keragaman orang dengan latar
belakang bahasa, ritual serta asal-usul berbeda. Karenanya,
studi ini dapat menjadi acuan akademis bagi studi-studi lain
tentang identitas etnis dan sosial.
2. Praktis
Keragaman etnis dan agama yang ada di Indonesia
seringkali menjadi alasan terjadinya gesekan dan benturan.
Pada umumnya gesekan dan benturan terjadi, karena
keragaman tersebut telah memarginalisasi nilai kultural
yang telah membangun dan menghidupi masyarakat sejak
zaman leluhur. Ketika marginalisasi tersebut ditanggapi
dengan penguatan identitas kultural primordial, maka
benturan sosial dan dehumanisasi dengan alasan-alasan
fanatisme primordial tidak dapat dihindari. Karena itu, studi
Pendahuluan 21
ini akan sangat berguna bagi pemerintah, pemimpin-
pemimpin lokal, para aktivis sosio-kultural untuk mengklaim
kembali nilai-nilai kultural yang egaliter bagi upaya
membangun kesadaran sosial dan penghargaan terhadap
keragaman. Dalam konteks masyarakat di tanah Minahasa
kini, studi ini memberi kontribusi kritis bagi pemerintah,
agama-agama dan masyarakat dalam rangka membangun
kesadaran mengenai pentingnya mengklaim kembali Tou
yang egaliter. Selanjutnya, studi ini dapat menjadi acuan dari
upaya rekonsiliasi sosial agar gesekan-gesekan sosial tidak
akan menajam menjadi benturan antar budaya.
5. Metodologi Penelitan
a. Pendekatan penelitian
Pendekatan Penelitian yang saya gunakan dalam
penelitian, yakni pendekatan penelitian kualitatif.
Pendekatan kualitatif terdiri dari dua komponen utama,
pertama, data berasal dari berbagai sumber, yakni
wawancara, observasi, dokumen, rekaman, dan film. Kedua,
pada tahap ini peneliti dapat melakukan interpretasi data
atau mengorganisir data; termasuk didalamnya sampel yang
tidak bercorak statistik, catatan lapangan, dan diagram.28
b. Metode Penelitian.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini,
yani grounded theory. Strauss and Corbin, menjelaskan
bahwa grounded theory, merujuk pada penelitian tentang
kehidupan manusia, pengalaman hidup, perilaku, emosi-
emosi, fungsi-fungi organisasi, gerakan-gerakan sosial,
fenomena kultural, dan interaksi antar bangsa. Strauss dan
28 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Basic of Qualitative Research Techniques
and Procedures for Devoloping Grounded Theory (London,-New Delhi: Sage
Publication, 1988), 9.
22 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Corbin juga menjelaskan, bahwa koleksi dan analisis data
dalam grounded theory dilakukan secara simultan.29
Penjelasan Staruss and Corbin diperkuat oleh Campbell,
yang menjelaskan bahwa cara kerja grounded theory
memang berbeda dengan bentuk penelitian kualitatif
lainnnya yang melakukan pengumpulan data lebih dahulu,
kemudian melakukan analisa data. Hal lain yang
membedakan grounded theori dengan bentuk lain dari
penelitian kualitatif yakni, bahwa penelitian ini menghasilkan
pengembangan teori melalui proses pengumpulan dan analisis data
yang simultan. Campbell menegaskan demikian only through this
simultaneous process can a researcher develop and then amend the theory
as the research data dictates. This is another example, as mentioned
previously of how the teory is dependent on the data and not the data
dependent on the theory.30 Di samping itu menurut Erin Horvat,
keunikan dari grounded theory method, yakni mendengar
penuturan informan mengenai pemahaman mereka tentang
diri, masyarakat dan dunia mereka sebagai bagian penting
dari kerja penelitian.31
c. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif interpretatif.
Kualitatif interpretatif mensyaratkan fakta-fakta sosial
dipelajari dalam konteks alaminya, agar makna yang
dilekatkan pada fakta-fakta tersebut dapat diinterpretasi.32
Selain itu, untuk mempertajam interpretasi data (terutama
data-data teks), saya juga akan mengacu pada teori Paul
Ricoeur dan Hans Georg Gadamer mengenai hermeneutik.
29 Ibid.
30 Jason Campbell, “Qualitative Method of Research: Grounded Theory Research” (Ph.D.
diss., Mark Bound Nova Southeastern, 2011), 15.
31Erin Horvat, et al, The beginner’s guide to doing qualitative research: how to
get into the fild, collect data, and write up your (New Yor & London: Teacher
College Press Colombia University, 2013), 73.
32 Norman K. Denzim & Ivina S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research.
Diterjemahkan oleh Dariyatno dkk.(Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2009), 7.
Pendahuluan 23
Pertama, teori Paul Ricoeur mengenai hermeneutik. Ricoeur
menjelaskan, bahwa berkaitan dengan kerja hermeneutik,
maka penafsir berhadapan dengan teks, bukan bahasa
percakapan. Dengan demikian kerja hermeutik akan
berkaitan dengan dua hal utama, yakni pertama bagaimana
menempatkan teks sebagai teks. Kedua, berkaitan dengan
metodologi yang disebut interpretasi teks.33 Perbedaan
antara teks dan percakapan terlihat jelas dalam diskursus.
Dalam diskursus percakapan, maksud pembicara dan apa
yang dimaksudkannya dalam diskursus saling tumpang
tindih, sebab apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan apa
maksud diskursusnya dapat dipahami dengan cara yang
sama. Berbeda dengan diskursus tulisan, maksud penulis
dan makna dari teks serta makna batiniah adalah apa yang
sungguh-sungguh dipertaruhkan dalam diskursus tulisan.34
Ricouer menjelaskan lebih lanjut, bahwa meskipun demikian
tidak berarti teks dapat dipahami dengan jelas tanpa penulis,
melainkan makna teks dapat melampaui dan rumit. Karena
teks mengembangkan dirinya lepas dari penulis, sehingga
apa yang teks suarakan sekarang (ketika dibaca dan ditafsir)
lebih dari pada apa yang penulis katakan.35 Ricouer juga
menjelaskan bahwa dalam diskursus tulisan, dunia adalah
pasangan dari literatur yang terbuka terhadap teks. Karena
itu menurut Ricoeur, pemahaman tentang situasi/dunia kita
akan membantu kita memahami teks.36 Ricoeur juga
membedakan antara percakapan dan teks pada yang
menjadi alamat/tujuan. Percakapan hanya dialamatkan pada
orang yang di ajak bicara, sedangkan yag menjadi tujuan
teks adalah semua orang yang bisa membaca. Singkatnya,
33 Paul Ricoeur, The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a
Text” dalam Paul Rabinow & William M. Silivian, Interpretative Social Science A
reader (Berkley-Los Angeles-London: University of California Press, 1979), 73.
34 Ibid., 78.
35 Ibid.
36 Ibid., 79.
24 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
alamat teks diciptakan sendiri oleh teks.37 Selanjutnya
Ricoeur menegaskan, bahwa struktur spesifik dari teks
adalah kumulatif dan holistik, karenanya teks harus
ditempatkan dalam keseluruhan teks yang terbuka terhadap
beberapa referensi dan konstruksi. 38
Kedua, teori Hans Georg Gadamer mengenai
Hermenutik. Dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan
Metode, Gadamer menulis, bahwa teks akan berbicara, jika
kita berusaha memahami. Karena itu, penafsir harus
menemukan bahasa yang benar yang dapat membuat teks
berbicara, dan pemahaman tersebut bukan prosedur
arbitrer melainkan upaya mencari jawab dari pertanyaan
yang diajukan.39 Gadamer juga menjelaskan mengenai
pentingnya kepekaan penafsir terhadap kualitas makna baru
dari teks. Kepekaan demikian bisa terjadi jika penafsir
memiliki kesadaran secara metodologi dan membebaskan
diri dari prasangka-prasangka pribadi; membebaskan diri
dari tirani-tirani prasangka yang membuat penafsir bisu
terhadap bahasa yang berbicara dalam teks. Implikasinya,
kesadaran demikian akan mengarahkan penafsir untuk
melakukan pengecekan dan kemudian menemukan
pemahaman yang benar dari teks itu sendiri.40 Selanjutnya
berkaitan dengan posisi penafsir berhadapan dengan teks,
Gadamer menjelaskan bahwa antara penafsir dan teks
memiliki hubungan dialektika. Memang dalam relasi
tersebut teks dan penafsir tidak berada dalam kesejajaran,
karena jarak historis yang terbentang diantara mereka.
Tetapi tidak berarti pemahaman yang lebih unggul akan
tergantung pada posisi tidak sejajar tersebut. Karena pada
37 Ibid., 80.
38 Ibid., 90.
39 Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode. Pengantar Filsafat
Hermeneutik. Diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), 454,482. 40 Ibid., 326.
Pendahuluan 25
dasarnya teks berbicara dari konteks dan waktunya,
sedangkan penafsir meskipun harus berusaha
membebaskan diri dari keberpihakannya, ia tetap tidak
dapat mengelakkan diri untuk berpijak dari konteks dan
motivasinya.41 Meskipun demikian, menurut Gadamer tidak
berarti dialektika diantara keduanya dalam kerja
hermeneutika tidak dapat dilaksanakan. Selanjutnya
Gadamer menjelaskan, bahwa sama halnya dengan pidato
yang mengikat pembicara dan yang diajak bicara, demikian
juga teks dengan penafsir. Karena itu, teks meskipun
ditafsirkan berulang-ulang oleh orang berbeda, teks akan
tetap menjadi teks yang sama yang memberikan penjelasan
tentang dirinya dengan cara berbeda.42 Penjelasan Gadamer
lainnya, yakni mengenai penafsiran terhadap gambar.
Gambar tidak sekedar mengandung nilai estetika. Gambar
adalah juga pengada dari mana ia dimunculkan. Gambar
adalah model dari aslinya; representasi dari pribadi khusus
di dalam sebuah gambar yang muncul seperti lukisan.
Karena itu, gambar memiliki kekhasan. Tetapi kekhasan di
sini sama sekali bukan sebuah pengurangan terhadap klaim
artistik dari karya-karya tersebut, melainkan kekhasan dari
pengungkapan sebuah penentuan makna yang ajeg.43
d. Teknik Pengumpulan data
Berdasarkan pendekatan dan metode penelitian
yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah multiple source data atau beragam sumber
data yang memungkinkan pegumpulan data secara
maksimal. Beragam sumber data yang dipakai dalam
penelitian ini, yakni wawancara mendalam, FGD,
dokumentasi dan observasi. Teknik wawancara mendalam
yang digunakan adalah wawancara terbuka, yakni
41 Ibid, 569-570.
42 Ibid., 483.
43 Lebih detail dalam Gadamer, Kebenaran…., 164-172.
26 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
wawancara yang menggunakan pedoman wawancara
sebagai acuan peneliti, tetapi juga memungkinkan
pertanyaan-pertanyaan baru dikembangkan dari jawaban-
jawaban informan. Pada prinsipnya, wawancara terbuka
sangat tergantung pada keluwesan peneliti untuk
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah
pada pendalaman data44 FGD dilakukan dengan menetukan
topik utama yang akan dibahas, yakni topik mengenai Tou.
Agar FGD tersebut mencapai tujuan dari penelitian ini, maka
peneliti menjaga seketat mungkin dengan tetap mengacu
pada topik diskusi. Untuk teknik dokumentasi, saya
menginventarisir tulisan-tulisan dari penulis lokal dan barat
tentang Minahasa serta dokumen-dokumen terkait
(misalnya dokumen asal-usul leluhur Minahasa yang dibuat
oleh kelompok-kelompok budaya). Selanjutnya, saya
memilah dokumen-dokumen tersebut sesuai kebutuhan
penelitian.
e. Sumber Data
Sumber data dari penelitian ini terbagi dalam tiga
jenis data. Pertama, data verbal dari hasil wawancara
dengan para para pelaku budaya (kelompok-kelompok
budaya), tokoh masyarakat dan tokoh agama, turunan
pengikut Kyai Modjo dan turunan pengikut Imam Bonjol.
Kedua, data dokumentasi yang diperoleh dari tulisan-tulisan
para penulis barat dan lokal tentang Minahasa dan dari
gambar pada waruga (kuburan para leluhur) dan batu-batu
penanda kampung. Ketiga, data observasi yang diperoleh
dari pengamatan penulis terhadap proses ritual kampetan
(pemimpin ritual yang kesurupan arwah leluhur) dan juga
perilaku para pelaku budaya dalam ritual dan perlakuan
mereka terhadap situs-situs budaya. Keempat, data FGD
yang diperoleh dari diskusi dengan beberapa pimpinan
44 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), 188.
Pendahuluan 27
kelompok-kelompok budaya (kalangan muda) dan pimpinan
agama di SULUT yang tergabung dalam Badan Kejasama
Umat Beragama (BKSUA).
6. Susunan Pemaparan
Pemaparan dalam tulisan ini disusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, meliputi Latar-Belakang, Masalah Penelitian,
Tujuan Penulisan, Pendekatan dan Metode Penelitian, serta
Susunan Pemaparan. Bab II mengenai identitas dan perubahan
sosial. Bab III mengenai Ritus: jenis dan fungsi. Bab IV mengenai
Minahasa: Negeri para taranak. Sub-sub pembahasan dalam bab
ini, yakni Asal-usul nama Minahasa, Taranak sebagai komunitas
awal Minahasa, Pengelompokkan taranak dalam Wale dan
Walak, Pengelompokkan Taranak dalam Pakasa’an, dan
Perjumpaan dan embauran taranak dengan pendatang. Bab V
tentang Tou, yang terurai dalam 3 bagian, yakni pertama, Tou
dalam Tiwa Lumimuut-Toar, kedua, Tou dalam konsensus para
pemimpin taranak di batu Pinabetengan, dan ketiga, Tou dalam
ucapan-ucapan tua. Bab VI tentang Redefinisi dan rekonstruksi
Tou sebagai identitas sosial di tanah Minahasa kini dalam
konteks NKRI. Bab terakhir dalam disertasi ini dibagi dalam 2
bagian, pertama Redefinisi dan Rekonstruksi Tou sebagai
identitas sosial tanah Minahasa kini, kedua, Tou sebagai
identitas sosial Minahasa dalam konteks NKRI. Bab VII Refleksi
dan Kesimpulan.