BAB I PENDAHULUAN -...

23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan penghasil kopi ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Kopi sumatera menjadi kopi yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia maupun luar negeri. Kopi sumatera berasal dari Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, dan Riau. Kopi yang dikenal dari Sumatera Utara adalah kopi lintong, kopi mandaeling, dan kopi sidikalang.Tradisi minum kopi menjadi suatu kebudayaan bagi masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini didukung oleh semakin banyaknya usaha kafe dan perusahaan pengolahan kopi mulai dari skala home industry sampai skala multinational. Salah satu perusahaan kopi multinasional yang sangat terkenal di dunia adalah Starbucks Coffee. Berdasarkan website Starbucks Coffee tersebut, salah satu wilayah pemasok kopi di Starbucks Coffeeadalah Pulau Sumatera yang disebut dengan Sumatran Coffee. Salah satu wilayah yang menyumbang pasokan kopi di Sumatera adalah Kabupaten Dairi. Kopi ini dikenal dengan kopi sidikalang untuk menyatakan identitas wilayah karena ibukota dari Kabupaten Dairi adalah Sidikalang. Kopi sidikalang merupakan komoditas unggulan pertanian yang berbasis ekspor di Kabupaten Dairi. Kabupaten Dairi berada pada ketinggian 1.066 mdpl dan merupakan dataran tinggi - berbukit dengan lahan yang sangat suburdan sangat potensial untuk pertanian. Hasil pertanian yang banyak ditemukan daerah ini adalah padi, buah- buahan, sayur-sayuran, dan hasil perkebunan. Berdasarkan data Kabupaten Dairi Dalam Angka 2012 perkebunan kopi di daerah ini seluas 18.999 Ha atau 9,86 persen dari luas wilayah (luas wilayah 192.780 Ha). Perkebunan kopi ini merupakan perkebunan rakyat dimana sebagian besar kebun kopi dimiliki dan dikelola oleh masyarakat setempat. Oleh sebab itu, hasil perkebunan ini dapat dinikmati langsung oleh petani kopi. Kabupaten Dairi memproduksi dua jenis kopi yaitu arabika dan robusta. Kedua jenis kopi ini memiliki cita rasa yang berbeda. Kopi robusta memiliki

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan penghasil kopi ketiga terbesar di dunia setelah Brazil

dan Vietnam. Kopi sumatera menjadi kopi yang banyak digemari oleh masyarakat

Indonesia maupun luar negeri. Kopi sumatera berasal dari Aceh, Sumatera Utara,

Bengkulu, Lampung, dan Riau. Kopi yang dikenal dari Sumatera Utara adalah

kopi lintong, kopi mandaeling, dan kopi sidikalang.Tradisi minum kopi menjadi

suatu kebudayaan bagi masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini

didukung oleh semakin banyaknya usaha kafe dan perusahaan pengolahan kopi

mulai dari skala home industry sampai skala multinational. Salah satu perusahaan

kopi multinasional yang sangat terkenal di dunia adalah Starbucks Coffee.

Berdasarkan website Starbucks Coffee tersebut, salah satu wilayah pemasok kopi

di Starbucks Coffeeadalah Pulau Sumatera yang disebut dengan Sumatran Coffee.

Salah satu wilayah yang menyumbang pasokan kopi di Sumatera adalah

Kabupaten Dairi. Kopi ini dikenal dengan kopi sidikalang untuk menyatakan

identitas wilayah karena ibukota dari Kabupaten Dairi adalah Sidikalang. Kopi

sidikalang merupakan komoditas unggulan pertanian yang berbasis ekspor di

Kabupaten Dairi.

Kabupaten Dairi berada pada ketinggian 1.066 mdpl dan merupakan dataran

tinggi - berbukit dengan lahan yang sangat suburdan sangat potensial untuk

pertanian. Hasil pertanian yang banyak ditemukan daerah ini adalah padi, buah-

buahan, sayur-sayuran, dan hasil perkebunan. Berdasarkan data Kabupaten Dairi

Dalam Angka 2012 perkebunan kopi di daerah ini seluas 18.999 Ha atau 9,86

persen dari luas wilayah (luas wilayah 192.780 Ha). Perkebunan kopi ini

merupakan perkebunan rakyat dimana sebagian besar kebun kopi dimiliki dan

dikelola oleh masyarakat setempat. Oleh sebab itu, hasil perkebunan ini dapat

dinikmati langsung oleh petani kopi.

Kabupaten Dairi memproduksi dua jenis kopi yaitu arabika dan robusta.

Kedua jenis kopi ini memiliki cita rasa yang berbeda. Kopi robusta memiliki

2

kafein yang lebih tinggi daripada kopi arabika, yaitu sekitar 70-80 persen. Kopi

sidikalang yang telah dikenal oleh masyarakat luas adalah kopi jenis robusta.

Sebagian besar home industry di kabupaten ini hanya mampu mengolah kopi

robusta saja, sedangkan kopi arabika diekspor. Kopi robusta sebagian besar tidak

diekspor melainkan untuk memenuhi kebutuhan lokal saja. Hal ini disebabkan

karena banyak masyarakat yang mengganti tanaman kopi robusta dengan tanaman

kopi arabika, sehingga produksi kopi robusta dari waktu ke waktu semakin

menurun. Peralihan tanaman kopi robusta ke kopi arabika disebabkan karena

produksi kopi rabika yang lebih tinggi dan harga kopi robusta yang jatuh pada

sekitar tahun 2000. Saat ini, tanaman kopi robusta di Kabupaten Dairi merupakan

tanaman tua saja. Peralihan tanaman kopi ini tentu berdampak terhadap rantai

tataniaga kopi di Kabupaten Dairi, dimana terjadi perbedaan jalur distribusi.

Kopi sumatera merupakan kopi yang telah diakui kualitasnya, sehingga

banyak digemari oleh pasar dunia. Namun, popularitas kopi ini tidak menjadikan

petani kopi menjadi lebih sejahtera. Hal ini disebabkan karena harga kopi yang

sangat murah di tingkat petani. Rendahnya harga pasar kopi di tingkat petani

disebabkan oleh panjangnya rantai distribusi kopi yang melibatkan banyak pelaku

usaha kopi. Pelaku-pelaku usaha kopi ini tentu mengambil keuntungan dari setiap

pemasaran kopi tersebut. Petani kopi memiliki peran yang sangat besar dalam

menyediakan kopi di pasar. Apabila rantai distribusi kopi dipotong di tingkat

petani, maka usaha dagang di tingkat atasnya pun akan terhenti. Walaupun petani

memiliki peran utama dalam distribusi kopi ini, petani tetap tidak dapat

menciptakan harga pasar yang sesuai dengan biaya produksinya karena harga kopi

di pasar dunia ditentukan oleh International Coffee Organization (ICO). Harga

pasar kopi arabika ditentukan oleh New York Board of Trade (NYBT) dan harga

kopi robusta ditentukan oleh London International Finansial and Options

Exchange (LIFFE).

3

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu permasalahan pertanian dalam tataniaga hasil pertanian adalah

ketidakstabilan harga. Harga yang tidak stabil ini sangat dirasakan oleh petani

kopi yang berperan sebagai produsen kopi. Sistem tataniaga kopi memiliki pola

yang panjang dan pendek. Panjang – pendeknya pola tataniaga ini berpengaruh

terhadap harga yang diterima petani.

Harga kopi dunia ditentukan oleh suatu organisasi di Amerika

yaituInternational Coffee Organization (ICO). Harga kopi di tingkat petani sangat

berbeda dengan harga yang telah ditentukan oleh ICO. Harga kopi arabika di

tingkat petani berkisar Rp 10.000,00 sampai Rp 13.000,00 per kg dan harga kopi

robusta berkisar Rp 16.000,00 sampai Rp 17.000,00 per kg. Harga rata-rata kopi

arabika Bulan Juni 2013 di pasar dunia adalah 123,6 US $/ lbs atau setara dengan

Rp 27.006,00/ kg dan harga kopi robusta adalah 1786 US $/ ton atau setara

dengan Rp 17.860,00/ kg. Petani kopi arabika memiliki produksi, proses

pengolahan, dan harga yang berbeda dengan kopi robusta. Oleh sebab itu,

pendapatan petani kopi arabika dan kopi robusta juga berbeda.

Jenis kopi di Kabupaten Dairi yang sangat digemari oleh masyarakat adalah

kopi robusta. Kopi robusta memiliki cita rasa yang khas, sehingga petani kopi

robusta mengalami kejayaan pada masa lalu. Pada dekade terakhir ini, harga kopi

robusta semakin menurun karena penurunan kualitas dan kuantitas kopi

robusta.Usahatani kopi robusta dianggap tidak menguntungkan lagi, sehingga

banyak petani mengganti tanaman kopi robusta dengan tanaman kopi lain. Petani

mengganti tanaman kopi robusta dengan kopi arabika dan coklat. Data BPS 2012

menunjukkan bahwa produksi kopi arabika jauh lebih banyak dibanding kopi

robusta (arabika 8.570,2 ton dan robusta 2.753,9 ton). Berkurangnya produksi

kopi robusta di Kabupaten Dairi menjadikan kopi robusta bukan lagi komoditas

ekspor melainkan menjadi konsumsi lokal saja.

Jenis kopi banyak diusahatanikanpetani di Kabupaten Dairi adalah kopi

arabika. Berkembangnya usahatani kopi arabika memacu berkembangnya usaha

dagang kopi arabika yang berfungsi sebagai pelaku usaha distribusi kopi arabika.

Berkembangnya usaha dagang kopi arabika ini dilihat dari banyaknya gudang-

4

gudang penyimpanan kopi. Gudang penyimpanan kopi arabika ini dimiliki oleh

pedagang besar (toke). Kopi arabika yang disimpan dalam gudang ini akan

distribusikan ke eksportir. Semua kopi arabika yang dihasilkan di Kabupaten

Dairi didistribusikan keluar daerah karena sebagian besar masyarakat tidak tahu

bagaimana untuk mengolah kopi arabika tersebut.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan penelitian berikut :

1. Bagaimana rantai distribusi kopi arabika dan kopi robusta di Kabupaten

Dairi ?

2. Bagaimana peran kopi terhadap kesejahteraan petani kopi di Kabupaten

Dairi ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah :

1. Mengidentifikasi aliran distribusi kopi arabika dan kopi robustadi

Kabupaten Dairi.

2. Mengidentifikasiperanan kopi terhadap kesejahteraan petani kopi di

Kabupaten Dairi.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk penelitian

selanjutnya.

2. Petani dapat menjadikan penelitian ini sebagai sumber informasi untuk

melihat peluang dalam usahatani dan distribusi kopi .

3. Analisis tataniaga komoditas kopi dapat digunakan sebagai rekomendasi

kepada pemerintah agar pemerintah turut berperan dalam tataniaga kopi.

4. Penelitian ini bermanfaat untuk mengangkat citra kopi sidikalang yang

mulai menurun.

5

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Karakteristik Lahan Kopi

Kopi merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia, dimana kopi

telah berbasis ekspor sehingga berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.

Kopi dapat tumbuh dengan baik di wilayah sekitar garis khatulistiwa.

Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sesuai untuk ditumbuhi

tanaman kopi.

Kopi arabika dapat tumbuh baik pada daerah yang memiliki :

Ketinggian 700-1700 mdpl

Suhu 16-20 derajat C

Iklim kering 3 bulan/ tahun yang mendapat hujan kiriman

Peka terhadap serangan penyakit HIV terutama pada tanaman kopi dengan

ketinggian lebih rendah dari 500 mdpl

Rata-rata produksi sedang sekitar 4,5 sampai 5 ku kopi beras/ ha/ tahun.

Apabila kopi dikelola dengan intensif, rata-rata produksi bias mencapai 15

sampai 20 ku/ ha/ tahun.

Rendemen ± 18 %.

Kopi robusta dapat tumbuh baik pada derah yang memiliki :

Ketinggian 400-700 mdpl

Suhu 21-24 derajat C

Iklim kering 3-4 bulan/ tahun yang mendapat hujan kiriman sebanyak 3-4

kali

Rata-rata produksi tinggi sekitar 9 sampai 13 ku kopi beras/ ha/ tahun. bila

dikelola dengan intensif, maka rata-rata produksi bias mencapai 20 ku/ ha/

tahun.

Rendemen ± 22 %.

6

1.5.2. Produksi, Konsumsi dan Ekspor Kopi di Indonesia

Indonesia merupakan produsen kopi terbesar urutan keempat di dunia

setelah Brazil, Vietnam, dan Colombia. Berdasarkan data dari Asosiasi

Ekspotir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Indonesia mengekspor kopi

sekitar 350 ribu ton/ tahun yang terdiri dari 85 persen kopi robusta dan 15

persen kopi arabika. Indonesia mengekspor kopi ke lebih 50 negara. Menurut

AEKI negara yang paling banyak mengimpor kopi dari Indonesia adalah

USA, Jepang, Jerman, Italia, dan Inggris.

Produksi kopi di Indonesia diperoleh dari perkebunan rakyat, perkebunan

besar Negara, dan perkebunan besar swata. Berdasarkan data yang diperoleh

dari AEKI(2012) produksi kopi Indonesia diperoleh dari 96,1 persen

perkebunan rakyat, 1,9 persen perkebunan besar negara dan 2 persen

perkebunan besar swasta. Data ini menunjukkan bahwa produksi kopi di

Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat. Menurut data dari Pusat Data

dan Sistem Informasi Pertanian (2013), produksi kopi di Indonesia pada tahun

2011 sekitar 638.647 ton dan pada tahun 2012 sekitar 657.138 ton. Dengan

demikian pertumbuhan kopi di Indonesia 2011 – 2012 adalah 2,9 persen.

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pemasok kopi di Indonesia. Pada

tahun 2012 Sumatera Utara memiliki produksi kopi sebanyak 57.479 ton atau

sekitar 8,9 persen produksi kopi Indonesia. Produksi kopi di Indonesia tahun

2012 terdiri dari 601.092 ton (80,4 persen) kopi robusta yang sebagian besar

diperoleh dari Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu dan 147.017 ton (

19,6 persen) kopi arabika yang diperoleh dari Aceh, Sumatera Utara, Jawa

Timur, dan Sulawesi Selatan.

Indonesia mengekspor kopi sekitar 69 persen dari total produksi kopi,

sedangkan 31 persen digunakan memenuhi kebutuhan lokal (dalam negeri).

Indonesia mengekspor kopi dengan tiga jenis kopi yaitu kopi biji, kopi instan,

dan kopi olahan lainnya. Tahun 2012 Indonesia mengekspor kopi sebanyak

520.275 ton yang terdiri dari 446.279 kopi biji, 274.604 kopi instan, dan 7.005

kopi olahan lain.

7

Mengkonsumsi kopi telah menjadi sebuah budaya dimana kemajuan

teknologi yang semakin meningkat telah mengubah cara masyarakat Indonesia

dalam mengkonsumsi kopi. Sebagian besar kopi dengan kualitas bagus

diekspor ke luar negeri, sedangkan kopi dengan kualitas terbatas atau rendah

menjadi konsumsi dalam negeri.

Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia mengklasifikasikan industri kopi di

Indonesia dalam tiga kelompok, yaitu :

a. Industri kopi olahan kelas kecil (Home Industry)

Industri kopi kelas ini bersifat rumah tangga yang terdiri dari tenaga kerja

kurang dari 3 orang atau yang merupakan anggota keluarga. Industri rumah

tangga kopi kelas keci ini banyak ditemukan di seluruh daerah penghasil kopi.

Biasanya industri kelompok belum mendapat ijin dari Dinas Perindustrian

atau Dinas POM.

b. Industri kopi olahan kelas menengah

Industri pengolahan kopi kelompok ini mengolah kopi menjadi kopi bubuk

atau produk kopi olahan lain yang kemudian dipasarkan di berbagai wilayah

seperti wilayah kecamatan atau kabupaten tempat produk tersebut dihasilkan.

Produk kopi dalam kemasan sederhana biasanya telah mendapat ijin dari

Dinas Perindustrian.

c. Industri kopi olahan kelas besar

Industri pengolahan kopi kelompok ini mengolah kopi dalam produksi

besar seperti kopi bubuk, kopi instant (kopimix) dan kopi olahan lain yang

dipasarkan di berbagai daerah dan ekspor. Pada umumnya, produk dalam

kemasan ini telah memiliki nomor merek dagang atau label lain. Contoh

industri ini adalah PT. Nescafe.

8

1.5.3. Pemasaran (Tataniaga) Pertanian

Pemasaran pertanian merupakan proses yang dilakukan petaniterhadap

hasil pertanian setelah panen maupun setelah pengolahan hasil panen.

Pemasaran menurut Bell (1996) adalah suatu perencanaan strategis yang

diterapkan untuk mencapai keuntungan dalam memenuhi kebutuhan

konsumen secara integrasi usaha ke belakang (backward linkage) dan

integrasi usaha ke depan (forward linkage). Integrasi usaha ke belakang

bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, sedangkan integrasi ke

depan lebih menekankan proses pemasaran.

Mc. Charthy dan Jr. Perceaunt (1996) membagi pemasaran dalam dua

jenis yaitu pemasaran mikro dan pemasaran makro. Pemasaran mikro adalah

perilaku-perilaku yang dilakukan untuk memperoleh tujuan organisasi atau

perusahan dalam memenuhi kebutuhan konsumen dengan cara mengontrol

aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Pemasaran makro adalah

proses sosial dalam mengatur arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen

melalui interaksi permintaan dan penawaran, sehingga mencapai tujuan

masyarakat.

Menurut Downey dan Erikson (1989) pemasaran merupakan ilmu yang

mengidentifikasi aliran barang dan jasa secara fisik dan ekonomis dari

produsen ke konsumen melalui lembaga pemasaran.

Pemasaran pertanian menurut FAO (1958) merupakan kegiatan-kegiatan

ekonomi yang terjadi selama proses perjalanan suatu komoditi pertanian dari

prosusen sampai ke tangan konsumen. Thomson (1951) mendefinisikan

bahwa pemasaran pertanian merupakan aktivitas agen perdagangan dalam

menghubungkan pergerakan hasil pertanian baik dalam bentuk baku maupun

bentuk olahan berdasarkan aspek permintaan dan penawaran dari produsen

dengan konsumen. Aktivitas pemasaran ini berpengaruh terhadap pelaku-

pelaku pemasaran seperti petani, pedagang perantara dan pengolahan, dan

industri.

Menurut Abbott dan Makeham (1979) pemasaran pertanian dimulai dari

tingkat usahatani dimana hasil pertanian yang diperoleh petani biasanya tidak

9

dapat langsung memenuhi kebutuhan konsumen. Hasil pertanian memiliki

sifat musiman, sementara kebutuhan konsumen bersifat kontinyu dari tahun ke

tahun. Hasil pertanian biasanya masih dalam bentuk bahan mentah, sehingga

hasil pertanian tersebut perlu untuk diolah lebih lanjut sesuai kebutuhan

konsumen. Lokasi produksi pertanian memiliki jarak yang jauh dengan lokasi

konsumen, sehingga dibutuhkan sarana transportasi dalam mendistribusikan

hasil pertanian tersebut. Kondisi yang terjadi dalam pemasaran pertanian ini

akan berpengaruh terhadap biaya pemasaran, sehingga terjadi perbedaan biaya

di setiap tingkat pelaku usaha.

Menurut Mubyarto (1989) sistem pemasaran (tataniaga) dianggap efisien

apabila memenuhi dua kategori yaitu pertama, produsen (petani) mampu

menyampaikan hasil-hasil pertanian kepada konsumen dengan biaya keluar

yang semurah-murahnya. Kedua, adanya pembagian yang adil dari

keseluruhan harga yang dibayar konsumen (pelaku terakhir) terhadap semua

pelaku yang ikut dalam produksi dan tataniaga hasil/ barang tersebut.

Lembaga pemasaran pertanian adalah badan usaha atau individu yang

melakukan pemasaran dalam mendistribusikan komoditi atas jasa dari

produsen ke konsumen yang juga memiliki hubungan dengan badan usaha

atau individu lain. Lembaga pemasaran dibedakan dalam tiga kelompok

berdasarkan penguasaan terhadap komoditi yang dipasarkan. Lembaga

pemasaran pertanian tersebut adalah

1. Lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai produk seperti agen

perantara dan makelar (broker, selling broker, dan buying broker).

2. Lembaga yang memiliki dan menguasai produk pertanian yang dipasarkan

seperti pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir.

3. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai produk pertanian

yang dipasarkan seperti perusahaan – perusahaan penyedia fasilitas

transportasi, asuransi pemasaran, dan perusahaan penentu kualitas hasil

pertanian.

10

Setiap lembaga pemasaran pertanian melakukan fungsi pemasaran yang

dapat meningkatkan keuntungan dari pemasaran hasil pertanian. Fungsi utama

pemasaran (tataniaga) adalah pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan.

Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga tersebut dikelompokkan

dalam tiga tipe fungsi pemasaran yaitu

1. Fungsi pertukaran (Exchange function)

Fungsi ini terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan. Dalam menjalankan

fungsi penjualan, produsen atau lembaga pemasaran pada rantai sebelumnya

harus memperhatikan kondisi produk seperti kualitas, kuantitas, bentuk, waktu

dan harga yang diinginkan konsumen atau lembaga pemasaran berikutnya.

Fungsi pembelian ini meliputi pemilikan komoditi pertanian untuk dikonsumsi

atau digunakan untuk proses produksi selanjutnya. Fungsi pertukaran adalah

agar pembeli memperoleh barang pada waktu, tempat, bentuk, dan harga yang

tepat.

2. Fungsi fisik (Physical function)

Fungsi fisik merupakan kegiatan yang dilakukan terhadap komoditi

pertanian untuk meningkatkan nilai tambah guna tempat dan guna waktu.

Dalam fungsi fisik ini terjadi kegiatan penyimpanan dan pengangkutan

barang. Fungsi pengangkutan ini meliputi perencanaan, pemilihan dan

pergerakan alat-alat transportasi dalam pemasaran produk. Pemindahan

produk ini harus memperhatikan kualitas produk tersebut melalui kondisi

transportasi dan waktu pengangkutan, sehingga tingkat kerusakan produk

dapat diminimalisir. Fungsi penyimpanan bertujuan untuk mengurangi

fruktuasi harga yang berlebihan dan menghindari hama penyakit selama

proses pemasaran. Contoh, harga apel di tempat dimana apel tersebut

diproduksi lebih murah dibandingkan tempat yang tidak memproduksi apel,

sehingga peran transportasi dan penyimpanan sangat berperan pada fungsi

fisik.

11

3. Fungsi penyediaan fasilitas (Facilitating function)

Fungsi penyediaan fasilitas bertujuan untuk memperlancar fungsi

pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas ini terdiri dari usaha-

usaha perbaikan sistem pemasaran yang meliputi standarisasi, penggunaan

resiko, informasi harga dan penyediaan dana.

1.5.4. Manajemen Rantai Pasokan/ Supply Chain Management (SCM)

Menurut Heizer & Rander (2004), manajemen rantai pasokan merupakan

suatu kegiatan yang terdiri dari pengelolaan kegiatan-kegiatan dalam

menjadikan bahan mentah menjadi barang dalam proses, barang setengah jadi,

dan barang jadi, sehingga dapat didistribusikan ke konsumen. Supply Chain

Management (SCM) berkaitan langsung dengan siklus lengkap bahan baku

dari pemasok ke produksi, gudang, dan distribusi kemudian sampai kepada

konsumen. Kegiatan ini mencakup fungsi pembelian tradisional ditambah

kegiatan penting lainnya yang berhubungan dengan pemasok dan distributor.

SCM dapat meliputi penetapan pengangkutan, pentransferan kredit dan tunai,

pemasok, distributor dan bank, utang dan piutang, penggudangan, pemenuhan

pesanan, dan membagi informasi mengenai ramalan permintaan, produksi, dan

kegiatan pengendalian persediaan.

Supply Chain Management (SCM) menurut Simchi-Levi, et al. (2003)

merupakan serangkaian pendekatan yang digunakan untuk mengintegrasikan

pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien,

sehingga produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas,

lokasi, dan waktu yang tepat guna untuk memperkecil biaya dan memuaskan

kebutuhan pelanggan. SCM bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi

efisien dan efektif, meminimalisasi biaya dari transportasi dan distribusi bahan

mentah, bahan dalam proses, dan produk jadi. Pendekatan SCM berorientasi

di sekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang, dan toko-toko secara efisien, dan

mencakup kegiatan-kegiatan perusahaan dari level strategis dan taktis sampai

operasional.

12

Definisi rantai pasokan/ Supply Chain menurut Indrajit dan Djokopranoto

(2003) adalah suatu sistem dimana organisasi menjual barang produksi dan

jasanya kepada pelanggan. Rantai ini merupakan jaringan dari berbagai

organisasi yang saling berintegrasi dan memiliki tujuan yang sama yaitu

menyelenggaraan pengadaan dan penyaluran barang sebaik mungkin.

Strategi adalah rencana aksi suatu organisasi dalam mencapai misi.

Strategi SCM dapat digunakan untuk mencapai tujuan suatu organisasi,

dengan demikian produk yang dihasilkan unggul dan mampu bersaing.

Strategi SCM memiliki tujuan sebagai berikut :

a. Cost reduction, strategi SCM dapat digunakan untuk meminimalisasi

biaya logistik

b. Capital reduction, strategi SCM digunakan untuk meminimalisasi tingkat

investasi dalam strategi logistik, dengan demikian biaya variable menjadi

lebih tinggi dibanding strategi dengan level yang lebih tinggi untuk

investasi. Namun pengembalian investasi diharapkan dapat meningkat.

c. Service improvement, perbaikan dan pengembangan pelayanan yang

berbeda dari para pesaing untuk memperoleh pendapatan pada tiap level

pelayanan.

1.5.5. Masalah Pertanian

Menurut Moehar Daniel (2001), ada empat masalah pokok dalam ekonomi

pertanian yaitu waktu usaha tani, biaya usahatani, tekanan penduduk, dan

sistem usahatani. Waktu usaha tani merupakan waktu yang dibutuhkan petani

untuk melakukan usaha tani. Waktu ini terdiri dari persiapan lahan pertanian,

penanaman, perawatan, sampai pemanenan. Semua kegiatan ini membutuhkan

waktu yang tidak singkat dan hasil pertanian juga dipengaruhi oleh musim.

Dengan demikian, petani memiliki masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan

karena pertanian yang bersifat musiman.

Biaya usaha tani terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap

(variable cost). Besarnya biaya tetaptidak dipengaruhi oleh banyak sedikitnya

produksi, sehingga biaya tetap dikeluarkan untuk membayar bibit, pupuk,

13

obat-obatan, tenaga kerja, transportasi, pengepakan, dan lain-lain. Biaya tidak

tetap dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi yang diperoleh seperti sewa

tanah, pajak, alat-alat pertanian, dll. Petani cenderung memiliki masalah

dengan biaya (modal) yang sedikit, sehingga hasil pertanian menjadi tidak

optimal bahkan mengalami kerugian.

Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkatkan akan mempengaruhi

pengalihanfungsi lahan pertanian. Penduduk yang banyak juga akan

membutuhkan kebutuhan pangan yang meningkat. Dengan demikian lahan

pertanian yang semakin berkurang akan mengalami penurunan hasil untuk

memenuhi kebutuhan penduduk yang banyak.

Sistem usaha tani merupakan sistem yang dilakukan petani untuk

mencapai tujuannya yaitu memenuhi kebutuhan keluarga. Sistem usaha tani

dapat dilihat dari pendistribusian hasil pertanian pasca panen. Petani menjual

hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan harga jual

yang ditentukan oleh pasar, dimana harga pasar tersebut bersifat fruktuatif.

1.5.6. Kesejahteraan Petani

Pengertian kemiskinan ada dua yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan

relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana tingkat pendapatan

tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, kesehatan,

pendidikan, dan permukiman. Kemiskinan relatif adalah perbandingan antara

persen pendapatan nasional yang diteriam penduduk berdasarkan kelas

pendapatan tertentu dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima

penduduk berdasarkan kelas pendapatan lain.

Kemiskinan menurut Sajogyo (1996)adalah suatu tingkat kehidupan yang

berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan

berdasarkan atas pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan pokok

panganyang dilihat dari kebutuhan beras dan kebutuhan gizi.

14

Garis kemiskinan menurut Sajogyo (1996) ditentukan berdasarkan

pengeluaran rumah tangga karena pengeluaran sudah mencakup penghasilan

rumah tangga.

Garis kemiskinan ini dirinci sebagai berikut :

1. Spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi “nilai

ambang kecukupan pangan” (food threshold)

2. Hubungan antara tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran

kecukupan pangan (kalori dan protein)

Berdasarkan ciri-ciri garis kemiskinan di atas, maka Sajogyo (1996)

mengklasifikasikan garis kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Klasifikasi

kemiskinan menurut Sajogyo untuk perdesaan adalah :

a. Miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 320 kg nilai tukar beras/

kapita/ tahun.

b. Miskin sekali, pangan tidak cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras/

kapita/ tahun.

c. Paling miskin, pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras/ kapita/

tahun.

Klasifikasi kemiskinan menurut Sajogyo untuk perkotaan adalah :

a. Miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kg nilai tukar beras/

kapita/ tahun

b. Miskin sekali, pengeluaran rumah tangga di bawah 380 kg nilai tukar

beras/ kapita/ tahun

c. Paling miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 270 kg nilai tukar

beras/ kapita/ tahun

BPS mengukur kemiskinan berdasarkan kemampuan penduduk untuk

memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Jadi, penduduk miskin

adalah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar makanan dan

bukan makanan secara ekonomi yang diukur dari pengeluaran dimana rata-

rata pengeluaran/ kapita/ bulan di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan merupakan penjumlahan antara Garis Kemiskinan

Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis

15

Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran minimum makanan

yaitu 2100 kkal/ kapita/ hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-

padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan,

buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan

(GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan,

dan kesehatan.

Berdasarkan Data Sosial Ekonomi (2013), BPS menentukan garis

kemiskinan penduduk di perdesaan dan perkotaan sebagai berikut :

Tabel 1.1. Garis Kemiskinan Penduduk Perdesaan dan Perkotaan Menurut

Badan Pusat Statistik

1.5.7. Kemiskinan Perdesaan

Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad dalam bukunya (1986) menjelaskan

lima ciri-ciri kemiskinan. Pertama, mereka yang hidup di garis kemiskinan

biasanya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, dan

keterampilan. Mayarakat miskin tersebut biasanya memiliki pendapatan yang

terbatas.

Kedua, penduduk miskin biasanya tidak memiliki kemungkinan untuk

memiliki faktor produksi karena keterbatasan pendapatan. Penduduk ini juga

tidak memiliki syarat agunan untuk penjam modal di perbankan, sehingga

mereka cenderung meminjam ke “lintah darat” dengan syarat yang tinggi.

16

Ketiga, pendidikan mereka cenderung rendah karena sibuk untuk mencari

nafkah, sehingga tidak memiliki waktu untuk belajar. Demikian juga dengan

pendidikan anak yang rendah karena anak-anak tersebut sibuk membantu

orangtuanya mencari nafkah.

Keempat, sebagian besar mereka tidak memiliki lahan pertanian sendiri,

sehingga mereka bermatapencaharian sebagai pekerja upahan di lahan orang

lain. Hasil pertanian yang bersifat musiman menjadikan penghasilan mereka

tidak tetap, sehingga mereka juga bekerja sebagai tenaga upah selain di

pertanian. Namun, kesempatan bekerja yang dimiliki penduduk miskin ini

dihargai dengan upah yang sedikit. Dan kelima, banyak penduduk yang

memiliki pendidikan dan skill yang rendah berpindah ke kota untuk

memperoleh kehidupan yang lebih layak di perkotaan. Sebagaimana diketahui

bahwa perkotaan tidak mampu menampung gerak urbanisasi dari desa ke kota.

Oleh sebab itu, kemiskinan di perdesaan akan berdampak pada kemiskinan di

perkotaan.

1.6. Landasan teori

Lyn Square (1982) mengatakan bahwa tenaga kerja sektor pertanian di negara

sedang berkembang mengalami tekanan karena ketidakpastian harga dan

ketidakmerataan distribusi modal investasi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap

petani kopi, dimana harga kopi sangat dipengaruhi oleh harga pasar dunia. Pada

rantai tataniaga kopi, petani berada pada posisi paling hulu dimana petani tertekan

karena ketidaksesuaian harga antar tingkatan distribusi. Pelaku usaha yang berada

di tingkat paling hilir memiliki kekuatan untuk memperoleh keuntungan

sebanyak-besarnya karena mereka memiliki modal yang besar untuk

menyesuaikan harga dengan petani. Menurut Arman Sudiono (2001) lemahnya

posisi petani dalam sistem tata niaga disebabkan oleh 6 hal yaitu :

- Bagian pangsa pasar (market share) yang dimiliki petani umumnya sangat

kecil, sehingga petani bertindak sebagai penerima harga (price taker).

17

- Produk pertanian diproduksi secara masal dan homogen, sehingga apabila

petani menaikkan harga komoditi yang dihasilkan akan menyebabkan

konsumen beralih ke petani lain.

- Komoditi yang dihasilkan mudah rusak (perishable), sehingga harus

secepatnya dijual tanpa memperhitungkan harga.

- Lokasi produksi terpencil dan sulit dicapai oleh transportasi yang mudah dan

cepat.

- Petani kekurangan informasi harga dan kualitas serta kuantitas yang

diinginkan konsumen, sehingga petani mudah diperdaya oleh lembaga-

lembaga pemasaran yang berhubungan langsung dengan petani.

- Adanya kredit dan pinjaman dari lembaga pemasaran kepada petani yang

bersifat mengikat.

Dilihat dari sisi selain harga pasar, pelaku-pelaku usaha yang memperpanjang

rantai tataniaga pertanian tidaklah selalu memberi kerugian bagi petani. Menurut

Mubyarto (1989) pelaku usaha seperti tengkulak desa atau kecamatan justru

membantu petani untuk menjual hasil pertaniannya karena petani memiliki hasil

pertanian dengan waktu utuh yang terbatas, jarak yang jauh dengan konsumen,

dan transportasi yang kurang memadai. Apabila hasil pertanian ini tidak

disalurkan, maka hasil pertanian tersebut hanya akan menjadi konsumsi petani

saja. Selain itu, panjangnya tataniaga pertanian juga memberi penghidupan

kepada pelaku usaha yang tidak memiliki lahan pertanian.

Harga kopi yang diberlakukan kepada petani mempengaruhi kesejahteraan

petani tersebut. Apabila kesejahteraan petani semakin ditekan maka produksi kopi

akan semakin menurun karena petani merupakan produsen kopi yang

membutuhkan biaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kopi. Menurut

Sajogyo (1996), kesejahteraan petani dapat dilihat dari pengeluaran terhadap

kebutuhan minimum pangan per kapita yang disetarakan dengan nilai tukar beras

di daerah tertentu. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Sajogyo

mengklasifikasikan kemiskinan menjadi tiga kelas yaitu miskin, miskin sekali,

dan paling miskin.

18

1.7. Kerangka pemikiran

Ilmu geografi memiliki tiga pendekatan yaitu pendekatan keruangan (spatial

approach), pendekatan ekologis (ecological approach), dan pendekatan kompleks

wilayah (regional approach). Pembangunan wilayah merupakan aplikasi dari

ilmu georgrafi. Pembangunan wilayah meliputi wilayah perdesaan (rural) dan

wilayah perkotaan (urban). Wilayah perdesaan (rural) identik dengan sektor

pertanian. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, sektor pertanian

merupakan sektor yang paling besar dalam menyumbang PDRB. Namun,

pertanian di perdesaan mengalami berbagai permasalahan. Salah satu masalah

tersebut adalah tataniaga hasil pertanian. Panjangnya tataniaga pertanian ini

mempengaruhi harga di tingkat petani. Rendahnya penghasilan petani dari sektor

pertanian akan mempengaruhi kesejahteraan petani di perdesaan.

Tiga pilar pembangunan di Kabupaten Dairi adalah pertanian, pendidikan, dan

kesehatan. Kabupaten Dairi memiliki lahan pertanian yang luas. Komoditas

pertanian unggulan di kabupaten ini adalah padi, buah-buahan, sayur-sayuran, dan

komoditas ekspor seperti kopi, sawit, karet, kemenyan, dll. Suburnya tanah di

kabupaten ini sangat mendukung produktivitas pertanian. Salah satu hasil

pertanian yang sangat diunggulkan di kabupaten ini adalah kopi yang terdiri dari

kopi arabika dan kopi robusta. Kopi ini dikenal dengan “kopi sidikalang” atau

“kopi sigarar utang”. Luasnya perkebunan kopi rakyat di kabupaten ini tentu

memberi kontribusi terhadap pendapatan daerah karena kopi sidikalang (arabika)

adalah berbasis ekspor.

Kebun kopi di Kabupaten Dairi merupakan perkebunan rakyat. Peran

komoditas kopi dalam memberi kontribusi terhadap pendapatan daerah tentu

memiliki pelaku-pelaku usaha yang mendistribusikan kopi tersebut sampai ke luar

negeri. Secara garis besar pelaku-pelaku usaha pendistribusian kopi arabika di

Kabupaten Dairi adalah petani, pengumpul, pedagang, dan eksportir. Sedangkan

pelaku-pelaku usaha pendistribusi kopi robusta di Kabupaten Dairi adalah petani,

pengumpul, industri kopi bubuk, dan konsumen. Selain pelaku-pelaku usaha

tersebut, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengetahui

pelaku-pelaku usaha lain yang ikut terlibat dalam mendistribusikan kopi tersebut.

19

Melalui penelitian tersebut, maka dapat diketahui bagaimana proses

pendistribusian kopi arabika mulai dari petani sampai kepada eksportir dan proses

pendistribusian kopi robusta mulai dari petani sampai kepada konsumen. Proses

distribusi kopi ini diperoleh dari hasil wawancara dari setiap pelaku usaha yang

terlibat, sehingga diketahui kemana arah dan tujuan pelaku usaha

mendistribusikan komoditas tersebut.

Pelaku-pelaku usaha yang berperan dalam mendistribusikan komoditas kopi

tentu memperoleh keuntungan yang berbeda. Perbedaan keuntungan ini

dipengaruhi oleh perbedaan harga jual kopi di setiap tingkat pelaku usaha.

Perbedaan harga kopi di setiap tingkat pelaku usaha tentu akan sangat

mempengaruhi pelaku usaha tingkat paling bawah yaitu petani. Petani yang

berperan sebagai produsen kopi justru mendapat keuntungan yang rendah akibat

panjangnya rantai distribusi kopi. Apabila hasil kopi tidak dapat meningkatkan

kesejahteraan petani, maka petani akan mengalihfungsikan lahan kopi menjadi

lahan pertanian lainnya. Pengalihanfungsi lahan kopi ini sudah marak terjadi di

Kabupaten Dairi. Banyak petani yang mengganti tanaman robusta menjadi arabika

karena robusta yang dianggap sudah tidak menguntungkan lagi. Petani robusta di

Kecamatan Silima Pungga-Pungga telah mengantitanaman robusta menjadi

tanaman coklat. Hal ini menunjukkan bahwa petani cenderung mengikuti trend

pertanian dalam hal pengalihan fungsi lahan kopi untuk memenuhi kebutuhan

keluarga tani dan meningkatkan kesejahteraan petani.

20

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

Komoditas Unggulan

Pertanian di Kab. Dairi

Kopi (Robusta dan

Arabica)

Kesejahteraan petani

Proses

Petani

Pedagang Eksportir

Permintaan - Penawaran

Geografi Pembangunan Wilayah

Rural Urban

Masalah pertanian

(tataniaga pertanian)

21

1.8. Keaslian Penelitian

Tabel 1.2. Penelitian Sebelumnya

Nama Peneliti

Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Novianti Prihatiningsih (2007)

Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah : Studi Kasus di Kotamadya Bogor

1. Menganalisis pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain) komoditas bawang merah di Kota Bogor

2. Menganalisis efisiensi saluran rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor

Wawancara terstruktur dan tidak terstruktur, Analisis Deskriptif, Analisis Efisiensi Rantai Pasokan

1. Aliran rantai komoditas bawang merah di Kota Bogor terdiri dari anggota primer (pengirim, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen rumah tangga dan industri) dan anggota sekunder (lembaga pengangkutan/ jasa transportasi, produsen kemasan, buruh angkut dan produsen atau pedagang mesin pengiris bawang).

2. Berdasarkan analisis marjin pemasaran, saluran pemasaran yang paling efisien adalah pengirim – pedagang besar pasar induk Kemang – pedagang pengecer pasar baru Bogor –

konsumen. Hella Mayang Shinta (2010)

Efisiensi Saluran Perdagangan Komoditas Gambir dengan Analisis Value – Chain di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat

1. Mengidentifikasi saluran perdagangan komoditas gambir

2. Mengidentifikasi efisiensi saluran perdagangan komoditas gambir

3. Mengidentifikasi alasan pelaku usaha melakukan penjualan gambir

4. Mengidentifikasi nilai tambah komoditas gambir

Wawancara semi terstruktur, Analisis Deskriptif

1. Pola saluran perdagangan komoditas gambir terdiri dari petani gambir, pengumpul, dan eksportir.

2. Saluran perdagangan komoditas gambir masih berada pada koridor efisien.

3. Alasan pelaku usaha memilih tujuan penjualan karena faktor sistem berlangganan yang berlaku, keterikatan finansial, kecocokan, sistem kekeluargaan, dan faktor kepercayaan.

4. Peningkatan nilai tambah petani berada pada proses pengempaan. Pada tingkat pedagang pada proses pengeringan, pemisahan kualitas, dan pengepakan. Pada tingkat eksportir pengeringan, pengelompokan jenis, pengepakan, dan pemberian merk.

Maimun (2009)

Analisis Pendapatan Usahatani dan Nilai Tambah Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik

1. Menganalisis pendapatan usahatani kopi arabika organik dan non organik berdasarkan penerimaan petani dan total biaya yang dikeluarkan dalam usahatani.

2. Menganalisis lembaga pemasaran

Wawancara, Analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif

1. Pendapatan usahatani kopi arabika organik lebih besar dibanding arabika non organik.

2. Saluran pemasaran kopi arabika organik dan non organik adalah petani – pengumpul desa – pengumpul kota (besar) – industri bubuk kopi Ulee Kareng.

3. Margin pemasaran kopi arabika organik lebih besar dibanding

22

(Studi Kasus Pengolahan Bubuk Kopi Ulee Kareng di Banda Aceh)

yang terlibat dalam pemasaran kopi arabika organik dan non organik dan peranan dari setiap lembaga yang terlibat.

3. Menganalisis efisiensi pemasaran kopi arabika organik dan non organik dnegan menghitung marjin dan farmer‘s share.

4. Menganalisis nilai tambah bubuk kopi organik dan non organik industri pengolahan bubuk kopi Ulee Kareng.

non organik, sedangkan farmer’s share kopi arabika non organik lebih besar dibanding organik.

4. Nilai tambah kopi arabika organik lebih besar dibanding non organik.

Veronika Reni Wijayanti (2010)

Usahatani Kakao dan Tingkat Ekonomi Petani di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo

1. Mengidentifikasi faktor fisik dan non fisik yang berkaitan dengan usahatani kakao

2. Mengetahui pengelolaan usahatani kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang

3. Mengetahui produksi kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo

4. Mengetahui tingkat ekonomi petani kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo

Observasi, wawancara, analisis deskriptif kuantitatif.

1. Kondisi fifik sesuai untuk budidaya tanaman kakao dan kondisi non fisik yang berkaitan bagi usahatani kakao adalah modal, tenaga kerja, transportasi, pemasaran, fasilitas kredit, dan teknologi.

2. Pengelolaan usahatani kakao di Desa Banjarasri adalah pembibitan tanaman kakao, pengolahan lahan pertanaman, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pengolahan pasca panen.

3. Sebanyak 34,28 % responden memproduksi kurang dari 50 kg kakao kering/ tahun per 1000 m² dengan pendapatan bersih petani sebesar Rp 1.536.100,00.

4. Tingkat kemiskinan rumah tangga petani kakao Desa Banjarasri terdiri dari 74,29 % di atas garis kemiskinan, 15,71 % paling miskin, 2,86% miskin sekali, dan 7,14 miskin.Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kakao Desa Banjarasri terdiri dari 61,43% sejahtera tahap I, 14,29% pra sejahtera, 17,14 % sejahtera tahap II, 1,43% sejahtera tahap III, dan 5,71% sejahtera tahap III plus.

Erick Sitanggang (2008)

Analisis Usahatani dan Tataniaga Lada Hitam (Studi Kasus : Desa Lau Sireme,

1. Mengetahui keadaan teknologi budidaya dan ketersediaan input produksi di daerah penelitian.

2. Mengetahui kelayakan usahatani lada di daerah penelitian.

Wawancara, kuesioner, analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif

1. Teknologi budidaya usahatani lada masih bersifat tradisional dan ketersediaan input produksi cukup tersedia.

2. Usahatani lada di daerah penelitian layak untuk diusahakan berdasarkan nilai (per petani) NPV = 3.130.502,39 ; Net B/C = 4,47 ; IRR = 48,85 %.

23

Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi)

3. Mengetahui saluran tataniaga lada hitam di daerah penelitian.

4. Mengetahui biaya tataniaga dan share margin pada setiap saluran pemasaran lada di daerah penelitian.

5. Mengetahui pengaruh harga di tingkat produsen terhadap pedagang dan konsumen.

3. Saluran tataniaga lada adalah petani – pengumpul kecamatan – pedagang besar di Medan – pedagang pengecer – konsumen.

4. Biaya pemasaran yang dikeluarkan pengumpul sebesar Rp 398,2/ kg ; pedagang besar Rp 74,5/ kg ; dan pedagang pengecer Rp 60,4 %.

5. Nilai elastisitas transmisi harga sebesar 1,67 % (setiap perubahan harga 1 % di tingkat pengecer akan mengakibatkan kenaikan harga sebesar 1,67 % di tingkat petani).

Sriulina Shinta Lingga (2013)

Rantai Distribusi Kopi Dalam Peningkatan Kesejahteraan Petani Kopi di Kabupaten Dairi

1. Mengidentifikasi aliran distribusi kopi arabika dan kopi robusta di Kabupaten Dairi

2. Mengidentifikasi bagaimana peran kopi terhadap kesejahteraan petani kopi di Kabupaten Dairi

Kuesioner, Wawancara terstruktur, Analisis deskriptif

1. Rantai distribusi kopi arabika lebih panjang dan bervariasi dibanding kopi robusta di Kabupaten Dairi. Kopi arabika didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan global sedangkan kopi robusta didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan lokal. Pelaku usaha yang terlibat dalam distribusi kopi arabika adalah petani, pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, pedagang besar (toke), pabrik (PT. Wahana), dan eksportir. Pelaku usaha yang terlibat dalam distribusi kopi robusta adalah petani, pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, industri kopi bubuk, dan konsumen.

2. Kesejahteraan petani kopi arabika lebih tinggi dibanding kesejahteraan petani kopi robusta. Petani arabika yang berada pada rantai distribusi pendek terdiri dari 91,67 persen tidak miskin dan 8,33 persen miskin, sedangkan petani arabika yang berada pada rantai distribusi panjang terdiri dari 76 persen tidak miskin dan 24 persen miskin. Petani robusta yang berada pada rantai distribusi pendek terdiri dari 50 persen tidak miskin dan 50 persen miskin, sedangkan petani robusta yang berada pada rantai distribusi panjang terdiri dari 37,5 persen tidak miskin dan 62,5 persen miskin. Persentase kemiskinan petani lebih tinggi pada rantai distribusi kopi panjang.