BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu kemajuan yang diharapkan secara sosial
dan ekonomi. Terdapat banyak pandangan manusia terhadap “yang diharapkan”.
Oleh karena itu, kemajuan kondisi hidup manusia haruslah menjadi arti
pembangunan yang sesungguhnya. Pembangunan diharapkan dapat mengurangi
gap antara yang kaya dengan yang miskin dan mengurangi ketimpangan antara
negara maju dengan negara-negara berkembang. Dengan adanya pembangunan
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ekonomi bukan merupakan suatu topik baru yang menjadi
bahasan di dalam ilmu ekonomi. Studi pembangunan ekonomi telah menjadi
perhatian bagi para ekonom dari sejak jaman Merkantilis, Klasik, hingga Marx
dan Keynes (Widodo, 2006).
Kebijakan pembangunan ekonomi yang ditempuh pada pemerintahan
masa lalu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang luas. Pada
masa pemerintahan orde baru, pembangunan diorientasikan pada bidang ekonomi
yang menitik beratkan pada peranan uang (capital centered development).
Kemajuan dalam kegiatan perekonomian pada masa itu telah berhasil
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan
perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur
2
ekonomi suatu negara. Pembangunan ekonomi dapat dilihat berdasarkan struktur
kenaikan produksi dan penyerapan tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dari tahun
sebelumnya. Selain itu pembangunan ekonomi tidak lepas dari pertumbuhan
ekonomi (economy growth), dimana keduanya memiliki hubungan saling
keterkaitan. Artinya pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi
dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar pembangunan ekonomi
Posisi perekonomian provinsi-provinsi di Indonesia menurut Tipologi
Daerah (Anggit, 2011), Tipologi Klassen Provinsi, Indonesia tahun 2009
menempatkan Provinsi Sumatera Barat pada kelas daerah relatif tertinggal,
dimana pertumbuhan dan pendapatan daerah rendah. Dan yang ditemukan di
lapangan, terdapat pertumbuhan yang tidak begitu terlihat di beberapa
kabupaten/kota, sehingga menjadi pertanyaan untuk melihat secara khusus ke
dalam masing-masing kabupaten/kota di dalamnya.
Ketimpangan regional, krisis multidimensional, kemiskinan, dan
ancaman disintregasi nasional memaksa terjadinya perubahan paradigma
pembangunan. Pada orde reformasi, pembangunan dilakukan dengan pendekatan
ekonomi yang dihumaniskan (people centered development) dengan memasukkan
aspek sosial, kesejahteraan, dan lingkungan. Sehingga pertumbuhan ekonomi
yang dicapai akan menjadi “pelayan” bagi pemenuhan berbagai aspek kebutuhan
masyarakat secara berkeadilan (UNDP dalam Ilmalia, 2005). Sementara itu,
masalah kemiskinan dalam ukuran relatif lebih mendekati kepada permasalahan
ketidakmerataan pendapatan, yaitu suatu ukuran yang membandingkan
3
penerimaan atau pendapatan seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau
dengan kelompok yang lain (Atkinson, 1975).
Penyebab ketimpangan menurut Anwar (2005), terdiri dari beberapa hal
yaitu :
1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource
endowment);
2) perbedaan demografi;
3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital);
4) perbedaan potensi lokasi;
5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan
keputusan;
6) perbedaan aspek potensi pasar.
Berdasarkan faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat
beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu:
Wilayah maju, Wilayah sedang berkembang, Wilayah belum berkembang, dan
Wilayah tidak berkembang.
Perbedaan perkembangan wilayah akan membentuk suatu struktur
wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat
berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan.
Wilayah yang sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang
berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat
menjadi faktor pendorong bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke wilayah
yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga akan
semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami
kekurangan sumberdaya manusia.
4
Perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat secara kasat mata
mengindikasikan terdapat ketimpangan wilayah. Kabupaten Kepulauan Mentawai
yang terpisah dari kabupaten/kota lainnya merupakan wilayah yang sangat jauh
tertinggal dibandingkan wilayah lainnya. Secara umum, wilayah yang berada di
bagian Selatan dan Utara juga lebih tertinggal dibandingkan dengan wilayah yang
berada di bagian Tengah. Perbedaan lain juga dapat dilihat dimana wilayah kota
perkembangannya jauh lebih baik dari wilayah kabupaten. Indikator ketimpangan
tersebut dapat dilihat dari infrastruktur jalan, fasilitas ekonomi, serta sarana dan
prasarana sosial. Faktor fisik wilayah di Sumatera Barat yang beragam seperti
topografi, tutupan lahan, dan kerentanan terhadap bencana turut mempengaruhi
terjadinya ketimpangan tersebut.
Setiap nilai kegiatan ekonomi yang dapat berupa produksi barang
maupun jasa di suatu daerah dalam satu satuan waktu (tahun) sederhananya dapat
dijadikan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Dalam hal
ini, perhitungan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang akan
dijadikan sebagai acuan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah.
Provinsi Sumatera Barat memiliki 19 daerah tingkat dua, yang terdiri 12
Kabupaten dan 7 kota dengan jumlah penduduk lebih dari 4.800.000 jiwa. Tiap
Kabupaten terdapat tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda satu sama
lainnya. Laju pertumbuhan PDRB di kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi
Sumatera Barat tumbuh secara positif yang ditandai dengan pertumbuhan
ekonominya dalam kurun waktu 2001 – 2010 mendekati rata-rata pertumbuhan
ekonomi nasional.
5
Ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dapat
terjadi sebagai akibat karena adanya perbedaan besar sumbangan per sektor
Provinsi Sumatera Barat. Kemudian dekomposisi sumber disparitas di Provinsi
Sumatera Barat yang akan dilakukan dengan analisis Indeks Theill dengan
pengelompokkan wilayah terdiri dari daerah kabupaten dan daerah kota.
Nilai PDRB per Kapita Sumatera Barat (Badan Pusat Statistik, 2010)
sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 yang terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun selama periode RPJMD pertama. Tahun 2005 besarnya PDRB
per kapita Sumatera Barat adalah sebesar Rp 6,40 juta/jiwa terus mengalami
kenaikan yang sangat signifikan sampai tahun 2010 yang mencapai Rp
8,16juta/jiwa, dengan pertumbuhan sebesar 17,50% dengan rata-rata pertumbuhan
per tahunnya adalah sebesar 5,50% per tahun.
Pada tahun 2005, terdapat delapan kabupaten dan Kota yang memiliki
nilai pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata PDRB per kapita
Sumatera Barat, di antaranya adalah kabupaten Kepulauan Mentawai sebesar Rp
6,65 juta, kabupaten Lima Puluh Kota yang mencapai Rp 6,56 juta, Kota Padang
sebesar Rp 11,39 juta, dan Kota Payakumbuh yang berada di bawah angka
provinsi Sumatera Barat yakni sebesar Rp 6,32 juta.Pada tahun 2009 masih
terdapat delapan wilayah kabupaten dan Kota yang memiliki PDRB per Kapita
yang lebih tinggi dari rata-rata provinsi yakni Kabupaten Lima Puluh Kota
sebesar Rp 8,04 juta, Kota Padang sebesar Rp 12,96 juta, dan semua kota lainnya
kecuali Kota Padangpanjang yang hanya sebesar Rp 6,85 juta.
6
Data lain seperti sarana dan prasarana wilayah, juga menunjukkan terjadi
ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Barat. Kondisi jaringan jalan
tidak terdistribusi secara proporsional, dimana wilayah perkotaan memiliki rasio
yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah kabupaten. Rasio panjang jalan per
luas wilayah di Kota Bukittinggi mencapai 712,797 persen, sementara di
Kabupaten Kepulauan Mentawai hanya 11,360 persen (RTRW Sumatera Barat
2009 – 2029). Beberapa wilayah masih ada yang belum dilalui jalan negara,
bahkan Kabupaten Kepulauan Mentawai tidak memiliki jalan provinsi.
Secara umum perbedaan PDRB dan data sarana prasarana wilayah di atas
memperlihatkan bahwa terdapat ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera
Barat. Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya sebagai kabupaten
yang baru dimekarkan pasca tahun 1999 mempunyai nilai PDRB 1.066 miliar
rupiah jauh di bawah rata-rata provinsi 3.612 miliar rupiah (Badan Pusat Statistik
Sumatera Barat, 2009).
Hal ini mengindikasikan bahwa potensi yang dimiliki belum mampu
dieksploitasi secara maksimal atau memang wilayah tersebut tidak memiliki
sumber daya yang cukupuntuk mengembangkan wilayahnya. Sementara
Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, dan Kabupaten
Pasaman juga memiliki nilai PDRB di bawah rata-rata provinsi. Penjelasan di atas
mengakibatkan perlunya penelitian tentang “Pertumbuhan Ekonomi Dan
Ketimpangan Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Barat Tahun
2001-2010”.
7
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran bagaimana
pertumbuhan ekonomi, dan ketimpangan regional antar kabupaten/kota se-Provinsi
Sumatera Barat serta hubungannya. Objek penelitian ini adalah seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dengan menggunakan data sekunder
berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat tahun 2001-2010 serta menggunakan
pendekatan deskriptif untuk: Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Tipologi Klassen,
Indeks Entropi Theil.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil beberapa permasalahan
pokok, yaitu sebagai berikut :
1. bagaimana dinamika laju pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Barat?
2. berapa besar tingkat ketimpangan antar wilayah kabupaten/kota Provinsi
Sumatera Barat?
3. bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan
antar wilayah di Provinsi Sumatera Barat?
4. bagaimana strategi arahan pengembangan kebijakan yang sesuai untuk
masing-masing tipe wilayah di Provinsi Sumatera Barat?
8
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. identifikasi dinamika laju pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Barat pada rentang tahun 2001-2010.
2. identifikasi tingkat ketimpangan yang terjadi antar daerah kabupaten
dengan kota di Provinsi Sumatera Barat.
3. analisis pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan
ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Barat.
4. analisis strategi arahan pengembangan kebijakan yang sesuai untuk
masing-masing tipe wilayah di Provinsi Sumatera Barat.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk :
1. diharapkan dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
sebagai acuan pengambilan kebijakan dalam pengalokasian dana
pembangunan.
2. sebagai sumber informasi yang dapat dimanfaatkan bagi penelitian yang
sejenis pada masa yang akan datang.
3. sebagai salah satu syarat kelulusan sarjana tingkat strata satu di Fakultas
Geografi Gadjah Mada serta sebagai cara untuk pengembangan ilmu
pendidikan.
9
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa penelitian terdahulu yang berupa
skripsi dan tesis sebagai bahan perbandingan dan rujukan. Penelitian ini secara
umum mengambil tema hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
wilayah. Sri Suyatmi (2003) meneliti hubungan antara pembangunan manusia dan
pembangunan ekonomi di Kalimantan Timur pada tahun 1996-2001
menggunakan uji Mann-Whitney untuk mengetahui adanya perbedaan perubahan
pembangunan manusia antara kabupaten/kota yang memiliki IPM tinggi dan
rendah, serta uji korelasi Kendall’s Tau untuk mengetahui keeratan hubungan
kedua variable tersebut.
Anggun Ciptasari N (2012) meneliti tentang analisis dampak kebijakan
otonomi daerah terhadap ketimpangan perkembangan wilayah di kawasan
Ciayumajakuning menggunakan Tipologi Klassen, indeks entropi Theil, uji
wilcoxon dan regresi data panel dalam mencapai tujuan untuk mengidentifikasi
tingkat kesenjangan perkembangan wilayah, mengidentifikasi pengaruh
pelaksanaan OTDA terhadap ketimpangan perkembangan wilayah, dan
mengindetifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan wilayah pada
pelaksanaan atau implikasi dari kebijakan OTDA.
Sirat Purnama (2008) meneliti tentang pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan regional di Provinsi Bengkulu pada tahun 2000-2006.
Penelitian ini menggunakan indeks ketimpangan Williamson dan Indeks Theil
untuk menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten, Hipotesa Kuznets
untuk mengetahui berlakunya hipotesa Kuznet tentang U terbalik, dan korelasi
10
Pearson untuk mengetahui korelasi antara pendapatan per kapita dengan indeks
Williamson dan indeks Theil.
Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-
penelitian sebelumnya. Penelitian ini menitikberatkan pada pola hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan wilayah menjadi beberapa tipe wilayah.
Dengan melihat pola hubungan tersebut dapat disusun arahan pengembangan dan
kebijakan wilayah yang sesuai untuk setiap masing-masing tipe wilayah tersebut.
11
12
13
14
15
1.6 Tinjauan Pustaka
1.6.1 Studi Geografi
Menurut Bintarto (2006), Geografi adalah ilmu yang mempelajari
persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan
atau kelingkungan dalam konteks keruangan. Obyek kajian geografi yaitu obyek
material dan obyek formal. Obyek material adalah erat kaitannya dengan beberapa
aspek kehidupan manusia, lingkungan dan aspek pembangunan. Sedangkan obyek
formal adalah cara memandang dan cara berfikir terhadap obyek material tersebut
dari segi keruangan yang meliputi pola sistem dan proses.
Obyek materi geografi berupa fenomena geosfer, yaitu atmosfer,
hidrosfer, litosfer, serta biosfer, dimana didalam fenomena-fenomena tersebut
dijalin suatu interaksi, baik yang sederhana maupun yang rumit (Bintarto dan
Surastopo, 1988). Sedangkan yang membedakan geografi dengan disiplin ilmu
yang lain adalah obyek formalnya atau dilihat dari pendekatannya. Dalam
geografi terpadu (integrated geography) mengenal bermacam-macam pendekatan
yang secara eksplisit dituangkan ke dalam beberapa analisis yang digunakan
untuk mendekati atau menghampiri masalah-masalah yang ada dalam geografi.
Analisis tersebut adalah (Bintarto dan Surastopo, 1978):
1. Analisa keruangan (spatial analysis) yaitu mempelajari perbedaan lokasi
mengenai sifat-sifat penting, yang memperhatikan penyebaran
penggunaan ruang yang telah ada dan penyediaan ruang yang akan
digunakan untuk berbagai kegunaan yang dirancangkan.
16
2. Analisa ekologi (ecological analysis) yaitu pendekatan yang
memperhatikan interaksi organisme hidup dengan lingkungannya.
3. Analisa kompleks wilayah (regional complex analysis) yaitu suatu
pendekatan yang merupakan kombinasi antara analisa keruangan dan
analisa ekologikal.
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian kali ini adalah analisa
kompleks wilayah yaitu mempelajari bagaimana pola pertumbuhan ekonomi antar
wilayah, dan mengelompokkannya ke dalam empat kelas sesuai dengan Tipologi
Klassen, sehingga dapat terlihat dengan jelas perbandingan pertumbuhan ekonomi
dan pertumbuhan wilayah antar masing-masing kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Barat. Di samping itu juga dipelajari bagaimana adanya ketimpangan
yang terjadi antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat tersebut
dengan menggunakan Indeks Entrophi Theil.
1.6.2 Pertumbuhan Ekonomi
Pengertian pertumbuhan ekonomi sering sekali dikacaukan dengan
pengertian pembangunan ekonomi. Padahal, pengertian keduanya itu sebenarnya
berbeda, karena pada dasarnya pengertian pembangunan ekonomi itu sendiri lebih
luas daripada pengertian pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pengertian
pertumbuhan (growth) harus dibedakan dengan pengertian pembangunan
(development). Istilah pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator
penting dalam ekonomi makro dan merupakan salah satu target utama dalam
kebijakan ekonomi.
17
Menurut Prasetyo (2009), istilah pertumbuhan ekonomi (economic
growth) secara paling sederhana dapat diartikan sebagai pertambahan output atau
pertambahan pendapatan nasional agregatif dalam kurun waktu tertentu, misalkan
satu tahun. Perekonomian suatu daerah dikatakan mengalami pertumbuhan jika
jumlah balas jasa riil terhadap penggunaan faktor-faktor produksi pada tahun
tertentu lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian
pengertian pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai kenaikan kapasitas
produksi barang dan jasa secara fisik dalam kurung waktu tertentu. Karena itu,
pengertian pertumbuhan ekonomi (economic growth) juga harus dibedakan
dengan perkembangan ekonomi (economic developing). Karena perkembangan
ekonomi tidak hanya menyangkut pertambahan dalam produksi barang dan jasa
secara fisik saja, melainkan juga kualitas barang dan jasa maupun kualitas faktor-
faktor produksi yang terlibat di dalam proses produksi barang dan jasa. Dengan
demikian, maka jika telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, maka
istilah ini dapat diartikan sebagai perkembangan ekonomi.
Agar terjadi pembangunan ekonomi, maka diperlukan syarat perlu dan
syarat cukup adanya pertumbuhan ekonomi (Prasetyo, 2009). Pertumbuhan
ekonomi dianggap sebagai syarat perlu dalam pembangunan jika pertumbuhan
ekonomi benar-benar secara fisik telah terjadi, sedangkan pertumbuhan ekonomi
sebagai syarat cukup jika telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
(perkembangan ekonomi), sehingga pertambahan output agregat berarti pula
pertambahan pendapatan riil perkapita yang semakin baik. Jika demikian, maka
18
pengertian pertumbuhan yang berkualitas sering dianggap sebagai pengertian
pembangunan ekonomi.
Laju pertumbuhan ekonomi sendiri secara sederhana merupakan proses
kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, sehingga tidak heran jika ada
yang mengartikan pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output per
kapita dalam jangka panjang, sehingga tidak heran jika ada yang mengartikan
pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan output atau pendapatan perkapita
dalam jangka panjang. Jika pengertian ini yang dimaksud, maka tidak salah juga
jika pengertian pertumbuhan ekonomi sering dikacaukan dengan pengertian
pembangunan ekonomi. Namun demikian, tetaplah bahwa pengertian
pembangunan ekonomi lebih luas daripada pengertian pertumbuhan ekonomi
maupun pengertian perkembangan ekonomi itu sendiri. Karena pengertian
pembangunan ekonomi (economic development) selain mencakup proses
pertumbuhan ekonomi, juga merupakan proses kenaikan struktur ekonomi sosial
dan modernisasi atau kematangan kelembagaan yang lebih luas, termasuk dapat
berkurangnya maasalah kemiskinan dan pengangguran. Namun demikian,
masalah pembangunan ekonomi dalam penelitian ini tidak akan dibahas.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat menjadi pekerjaan utama dan tumpuan
perhatian utama para pakar ekonomi, perencana, para pembuat keputusan dan
politikus di negaranegaraberkembang selama tiga dasawarsa ini. Hal ini terjadi
karena pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai prasyarat utama dalam mencapai
taraf kehidupan yang lebih tinggi bagiseluruh anggota masyarakat di negara yang
bersangkutan. Itu pula sebabnya pertumbuhan ekonomi menjadi inti usaha
19
pembangunan. Akan tetapi, saat ini berkembang pula pandangan bahwa aspek lain
tak kalah penting dalam pembangunan seperti pemerataan pendapatan dan hasil-
hasil pembangunan, pengentasan kemiskinan, serta penanggulangan masalah
pengangguran (Todaro, 2003).
Selama ini salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengetahui
keadaan perekonomian suatu negara atau daerah adalah dengan melihat
pertumbuhan PDB/PDRB.Menurut Tambunan (2009) Walaupun bukan suatu
indikator yang bagus, tingkat kesejahteraan masyarakat dilihat dari aspek
ekonominya, dapat diukur dengan pendapatan nasional (PN) per kapita. Untuk
dapat meningkatkan PN, pertumbuhan ekonomi diukur dengan pertumbuhan
PDB, menjadi salah satu target penting yang harus dicapai dalam pembangunan
ekonomi. Oleh karena itu, tidak heran jika pada awal pembangunan ekonomi,
umumnya di banyak negara perencanaan pembangunan ekonomi lebih
berorientasi pada pertumbuhan, bukan distribusi pendapatan. Memang untuk
negara seperti Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar.
pertumbuhan ekonomi sangat penting sebagai prioritas pembangunan jangka
pendek. Dalam periode jangka panjang pertumbuhan yang berkesinambungan
membawa perubahan struktur ekonomi lewat efek dari sisi permintaan
(peningkatan pendapatan masyarakat) dan pada gilirannya perubahan tersebut
menjadi faktor pemicu pertumbuhan ekonomi.
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
suatu proses perekonomian dikatakan mengalami suatu perubahan atau
pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi adalah lebih tinggi daripada yang
20
dicapai pada waktu sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangan baru tercipta
apabila jumlah fisik barang-barang dan jasajasa yang dihasilkan bertambah besar
pada tahun berikutnya. Sedangkan, untuk mengetahui apakah suatu perekonomian
mengalami pertumbuhan perlu ditentukan perubahan yang sebenarnya terjadi
dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dari tahun ke tahun tersebut.
Pada umumnya para ekonom memberikan pengertian yang sama
mengenai pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai kenaikkan GDP/GNP saja tanpa
memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat
pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau
tidak (Arsyad, 1999).
Terjadinya pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari peranan sektor-
sektor yang ada dalam suatu perekonomian. Untuk melihat sektor-sektor yang
memberikan peran utama bagi perkembangan perekonomian daerah, menurut
Richardson (2001) dan Glasson (1997), salah satu cara atau pendekatan model
ekonomi regional adalah analisis basis ekonomi (economic base),model ini dapat
menjelaskan struktur ekonomi daerah atas dua sektor, yaitu sektor basis dan non
basis. Model economic base menekankan pada ekspansi ekspor sebagai sumber
utama pertumbuhan ekonomi daerah.
Simon Kuznets dalam Sukirno, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi
sebagai peningkatan kemampuan suatu negara untuk menyediakan barang -
barang ekonomi bagi penduduknya, pertumbuhan kemampuan ini disebabkan
oleh kemajuan teknologi, kelembagaan serta penyesuaian ideologi yang
dibutuhkan (Sukirno, 1995).
21
Peroux dalam Arsyad, mengemukakan sebuah teori Pusat Pertumbuhan
(Pole Growth) merupakan teori yang menjadi dasar dari strategi kebijakan
pembangunan industri daerah yang banyak terpakai di berbagai negara dewasa ini.
Pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah ada waktu yang bersamaan,
pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut pusat pertumbuhan
dengan intensitas yang berbeda. Inti dari teori ini adalah adanya industri
unggulan yang merupakan penggerak dalam pembangunan ekonomi daerah.
Selanjutnya timbul daerah yang relatif maju akan mempengaruhi daerah-daerah
yang relatif pasif (Arsyad, 1999).
Menurut Fisher dan Kindleberger dalam Djojohadikumo, bahwa
pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor
primer ke sektor sekunder. Pendapat Fisher ini kemudian didukung oleh Clark
dengan menggunakan data Cross Sectional dari beberapa negara. Clark menyusun
struktur kesempatan kerja menurut sektor produksi dan tingkat pendapatan
nasional per kapita. Hasilnya adalah semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita
nasional suatu negara, makin kecil peranan sektor primer dalam menyediakan
kesempatan kerja (Djojohadikusumo, 1994). Perubahan struktur ekonomi yang
terjadi pada suatu daerah memiliki keterkaitan dengan terjadinya perkembangan
sektor-sektor ekonomi yang ada pada daerah tersebut. Dari perubahan struktur
ekonomi yang terjadi, berdasarkan hasil studi empiris dari para ahli yang telah
dikemukakan pada umumnya suatu negaraatau daerah akan mengalami
transformasi ekonomi menuju industrialisasi, yang ditandai dengan semakin
meningkatnya peranan sektor non primer khususnya sektor industri
22
terhadap Gross National Product (GNP) dan menurunnya peranan sektor
primer, seiring dengan pertumbuhan ekonominya.
Keberhasilan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sangat
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya yang dimiliki daerah. Oleh karena
itu prioritas pembangunan daerah harus sesuai dengan potensi yang
dimilikinya, sehingga akan terlihat peranan dari sektor-sektor potensial terhadap
pertumbuhan perekonomian daerah, sebagaimana yang diperlihatkan pada
perkembangan PDRB dan sektor-sektornya.
Pola pertumbuhan ekonomi dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah
berdasarkan Tipologi Klassen (Widodo,2006) dapat diklasifikasikan menjadi:
1. daerah yang Maju dan Tumbuh Cepat (Rapid Growth Region)
2. daerah Maju tetapi Tertekan (Retarted Region)
3. daerah Berkembang Cepat (Growth Region)
4. daerah Relatif Tertinggal (Relatively Backward Region)
Pendekatan yang digunakan di dalam analisis tipologi Klassen ini adalah
pendekatan daerah. Alat analisis Klassen Typology (Tipologi Klassen) digunakan
untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi
masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah
berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) dan
pendapatan per kapita daerah. Pendekatan daerah pada Tipologi Klassen
menghasilkan matriks klasifikasi wilayah seperti pada tabel 1.2.
23
Tabel 1.2 Tipologi Klassen
yi > y yi < y
ri > r Wilayah maju dan tumbuh
cepat
Wilayah yang sedang
tumbuh
ri < r Wilayah maju tapi tertekan Wilayah tertinggal
Keterangan :
ri : laju pertumbuhan ekonomi wilayah i
yi : PDRB per kapita wilayah i
r : laju pertumbuhan ekonomi wilayah referensi
y : PDRB per kapita wilayah referensi
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun
tidak langsung akan berpengaruh terhadap masalah ketimpangan regional.
Ketimpangan dalam pembagian pendapatan adalah ketimpangan dalam
perkembangan ekonomi antara berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan
menyebabkan pula ketimpangan tingkat pendapatan per kapita antara daerah.
Untuk menghitung ketimpangan regional digunakan Indeks Ketimpangan Entropi
Theil (Kuncoro , 2004).
1.6.3 Ketimpangan Wilayah
Ketimpangan adalah konsep yang lebih luas dibandingkan kemiskinan,
ditentukan atas keseluruhan populasi dan tidak hanya berfokus pada kaum miskin.
Ukuran paling sederhana dari ketimpangan adalah mengurutkan populasi
termiskin sampai terkaya dan menunjukkan persentase pengeluaran (atau
24
pendapatan) yang dianggap berasal dari masing-masing kuintil atau dersil dari
populasi tersebut. Kuintil termiskin umumnya mencakup 6-10 persen dari semua
pengeluaran, sementara kuintil teratas mencakup 35-50 persen.
Ketimpangan wilayah terjadi karena berbagai faktor, diantaranya
pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah yang berbeda-beda, tingkat
pengangguran, aglomerasi, panjang jalan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak
merata dapat menyebabkan kesenjangan wilayah. Suatu perekonomian dikatakan
berkembang jika pendapatan per kapita menunjukan kecendrungan jangka
panjang yang meningkat. Umumnya, pembangunan atau pertumbuhan ekonomi
diartikan sebagai kenaikan PDRB.
Van der Eng dalam Kuncoro (2011) telah meneliti strata ekonomi
Indonesia di zaman penjajahan. Pada tahun 1930 (dua tahun setelah Sumpah
Pemuda), 51,1 juta penduduk pribumi (Indonesia) yaitu 97.4% dari seluruh
penduduk yang berjumlah 60,7 juta, hanya menerima 3,6 juta gulden. Jumlah
tersebut setara dengan 0,54% dari pendapatan “nasional” Hindia-Belanda.
Penduduk Asia lain berjumlah 1,3 juta (2,2%) menerima 0,4 juta gulden (0,06%),
sedangkan 241.000 orang Eropa (kebanyakan Belanda) menerima 665 juta gulden
(99,4%). Sangat “timpangnya” pembagian pendapatan nasional iniliah yang sulit
diterima para pejuan perintis kemerdekaan Indonesia yang bersumpah tahun 1928
di Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah pada
zaman penjajahan, tetapi konglomerasi (1987-1994) telah menciptakan
ketimpangan ekonomi yang luar biasa. Inilah penyebab terjadinya “bom waktu”
25
yang kemudian meledak sebagai krismon pada 1997. Selama 26 tahun (1971-
1997), rasio pendapatan penduduk di daerah terkaya dan daerah termiskin
meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1982) dan 9,8 (1997). Sebagai salah satu
indikator ketimpangan pendapatan, rasio gini meningkat berturut-turut dari 0,18
menjadi 0,21 dan 0,24 masing-masing pada tahun 1971, 1983, dan 1997.
Rustiadi, et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses
pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan
berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan
berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling
humanistik. Selanjutnya Todaro (2003) dalam Rustiadi, et al. (2009) menyatakan
bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional
yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan
kemiskinan.
Lebih dari satu dekade pertumbuhan ekonomi yang cepat di negara-
negara terbelakang hanya memberikan sedikit manfaat atau tidak sama sekali
memberikan manfaat terhadap sekitar sepertiga dari populasi mereka ". Gagalnya
pertumbuhan mereduksi kemiskinan disebabkan oleh gagalnya proses trickle
down effect. Gagalnya kesejahteraan (kue pembangunan) menetes kebawah
membuat kemiskinan semakin dalam meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat
setiap tahun. Artinya hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan bukan
hubungan kausalitas karena kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak mutlak
26
menurunkan angka kemiskinan. Ada banyak hal/syarat yang harus terpenuhi
untuk membuat pertumbuhan ekonomi itu inklusif dalam artian pertumbuhan
ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat bukan hanya
kelas sosial tertentu dalam masyarakat (Ahluwalia dan Chenery, 1974).
Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya
keterpaduan antar sektoral, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun
antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan
sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan
sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi et
al. 2009). Namun demikian seringkali pembangunan wilayah yang dilaksanakan
tidak merata, baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga mengakibatkan
terjadinya kesenjangan atau disparitas pembangunan antar wilayah.
Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang
nyata misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia
Barat, wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Menurut Rustiadi et al.
(2009) faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas tersebut
adalah sebagai berikut:
27
Tabel 1.3 Faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas.
Faktor Indikator
Geografi Topografi, Iklim, Curah Hujan, Sumber Daya Mineral, dll.
Sejarah Bentuk kelembagaan atau kebudayaan masa lalu
Politik Stabil atau tidak stabilnya
Kebijakan Sentralistik atau desentralistik
Administratif Administrasi yang baik (efisien, jujur, terpelajar, terlatih )
atau bukan
Sosial Masyarakat tertinggal atau maju
Ekonomi
Kuantitas dan kualitas faktor produks (contoh ; lahan,
infrastruktur, tenaga kerja),
akumulasi berbagai faktor (contoh; lingkaran kemiskinan,
standar hidup rendah),
pasar bebas (contoh; speread effect dan backwash effect),
distorsi pasar (contoh;
immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi)
1.7 Kerangka pemikiran
Suatu ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan yang, berkembang
apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada
masa sebelumnya. Hal ini mengakibat adanya usaha setiap wilayah untuk terus
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya dari tahun ke tahun. Akan tetapi
adanya perbedaan karakteristik dan sumberdaya masing-masing wilayah
mengakibatkan usaha yang diupayakan masing-masing wilayah tidak berdampak
sama, sehingga terjadi ketimpangan ekonomi baik itu antar wilayah, maupun di
dalam wilayah itu sendiri.
28
Perbedaan karakteristik antar wilayah memunculkan perbedaan struktur
perekonomian masing-masing wilayah serta memunculkan berbagai tipologi
wilayah, juga adanya perbedaan tingkat pembangunan masing-masing wilayah.
Perbedaan tingkat pertumbuhan mengakibatkan adanya perbedaan dalam upaya
meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan di masing-masing wilayah. Sehingga
hal ini menjadi sebab perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
di masing-masing wilayah. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda di
masing-masing wilayah dengan tingkat ketimpangan yang berbeda juga di setiap
wilayahnya dapat dibentuk suatu pola hubungan antar kedua variabel tersebut
sebagai upaya untuk menentukan arahan pengembangan dan kebijakan wilayah.
Diperlukan kebijakan yang sesuai untuk masing-masing tipe wilayah,
sehingga setiap wilayah dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakter
yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dan dapat mengurangi tingkat
ketimpangan, serta dapat mengoptimalkan laju pertumbuhan ekonomi yang
dimiliki masing-masing wilayah tersebut.
29
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
Regionalisasi
Kota
Kabupaten
Geografis Kebijakan
Location
Quotient (LQ)
Sektor
Perekonomian
Karakter Wilayah Pembangunan
Ekonomi
Pertumbuhan Pemerataan
Pertumbuhan
Ekonomi
Ketimpangan
Wilayah
Pola Hubungan
Tipologi Wilayah
Strategi Pengembangan Wilayah
30
1.8 Hipotesis
Hipotesis merupakan kebenaran sementara yang perlu diuji kebenarannya
atau juga untuk merumuskan hubungan antar dua atau lebih variabel-variabel
yang diteliti. Hipotesis ini berfungsi untuk menguji kebenaran, serta memberikan
gagasan baru untuk mengembangkan suatu teori dan memperluas pengetahuan
peneliti mengenai hal yang sedang dipelajari. Mengacu pada permasalahan yang
telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat disusun beberapa hipotesis
sebagai berikut :
1. laju pertumbuhan ekonomi pada masing-masing tipologi wilayah di
Provinsi Sumatera Barat tumbuh secara positif antara tahun 2001-2010.
2. tingkat ketimpangan pada daerah kota lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah kabupaten di Provinsi Sumatera Barat.
3. adanya hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan
ketimpangan wilayah.