BAB I PENDAHULUAN -...
-
Upload
nguyenphuc -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Persoalan persebaran asap yang telah terjadi sejak tahun 1980-an merupakan
isu krisis lingkungan ASEAN yang pertama1. Hal ini dikarenakan dengan adanya
kebakaran hutan besar yang terjadi di Indonesia dan menghasilkan kepulan asap yang
sangat mengganggu. Bukan hanya di wilayah Indonesia, tetapi juga menyebar hingga
ke wilayah ASEAN lainnya. Contohnya pada tahun 1994, kebakaran hutan yang
terjadi di wilayah Kalimantan dan Sumatera menghasilkan asap tebal yang
persebarannya mencapai wilayah Singapura dan Malaysia. Kebakaran hutan inilah
yang pertama kali begitu parah terjadi sehingga mengganggu jalannya transportasi
darat, laut, dan udara sehingga berpengaruh pula terhadap aktivitas ekonomi di
wilayah Singapura dan Malaysia. Protes pun bermunculan dari kedua Negara agar
Pemerintah Indonesia membuat kebijakan terkait pokok permasalahan persebaran
asap lintas negara.
Sebagai respon, pemerintah mulai membuat strategi-strategi baru dalam
mengelola hutan. Diantaranya, menerapkan zero burning policy bagi semua
perusahaan yang ingin membuka lahan dengan cara membakar hutan. Walaupun
begitu, pembalakan hutan semakin meningkat ditambah dengan adanya tekanan dari
para pengembang perkebunan kelapa sawit2. Puncaknya adalah pada tahun 1997-
1 Elliott, Lorraine. “ASEAN and Environmental Cooperation: Norms, Interests and Identity.” The
Pacific Review, Vol. 16, no. 1 (January 2003): 29–52.
http://www.rsis.edu.sg/nts/resources/db/uploadedfiles/ASEAN%20and%20environmental%20cooper
ation-norms,%20interests%20and%20identity.pdf
2Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001.
http://pdf.wri.org/indoforest_full_id.pdf
2
1998 terjadi kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang juga disebut sebagai
bencana nasional dengan kerugian hampir 10 miliar Dolar Amerika dan kabut asap
yang menyelimuti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Thailand3 selama beberapa bulan. Presiden Soeharto pun akhirnya meminta maaf atas
polusi udara yang diterima para Negara tetangga dari Indonesia4. Hingga yang paling
akhir pada Juni 2013, Presiden SBY juga meminta maaf kepada Singapura atas kabut
asap kiriman yang terburuk dari Indonesia dalam kurun 7 tahun terakhir yaitu dengan
indeks standar polutan mencapai 155 (kondisi udara tidak baik)5 dan kepada Malaysia
dengan indeks standar polutan mencapai 700 (kondisi udara berbahaya)6.
ASEAN sebagai organisasi regional mempunyai posisi paling kuat untuk
mengangkat masalah ini di hadapan para petinggi Negara dan mencari solusinya
bersama-sama. Dimulai pada awal tahun 1980-an, dimana ASEAN mulai
mengumpulkan ide terhadap masalah kabut dan asap di tingkat nasional maupun
regional. Berlanjut pada tahun 1992, diadakanlah Konferensi Bandung untuk
mengatasi masalah transboundary haze pollution atau penyebaran asap lintas batas
negara dan serangkaian workshops di Indonesia dan Malaysia pada periode 1992 –
1995 yang menghasilkan terbentuknya Haze Technical Task Force (HTTF) pada
September 1995. Yang kemudian karena adanya bencana tahun 1997, berkembang
menjadi Regional Haze Action Plan (RHAP) pada Desember 1997. Semua rangkaian
3 Haze Action Online. Accessed July 20, 2013. http://haze.asean.org/?page_id=113
4 Kebakaran Hutan dan Lahan. Forest Watch Indonesia. Accessed July 20, 2013.
http://fwi.or.id/Katalog/Kebakaran_hutan/Indeks.shtml.
5 Rita Uli Hutapea. “Kabut Asap Kiriman dari Sumatera Terburuk di Singapura dalam 7 Tahun.” June
18 2013. Accessed July 20, 2013.
http://news.detik.com/read/2013/06/18/102856/2276511/1148/kabut-asap-kiriman-dari-sumatera-
terburuk-di-singapura-dalam-7-tahun.
6 BBC. “Keadaan darurat akibat kabut asap di Malaysia.” June 23 2013. Accessed July 20, 2013.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/06/130623_malaysia_asap.shtml.
3
action plans dan workshops inilah yang menjadi cikal bakal ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang ditandatangani pada 10 Juni 2002 di
Kuala Lumpur, Malaysia oleh kesepuluh Negara anggota ASEAN; mulai berlaku
pada 25 November 2003; dan diratifikasi oleh Sembilan Negara anggota ASEAN,
kecuali Indonesia.7
Transboundary haze pollution itu sendiri menurut AATHP diartikan sebagai,
“haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area
under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the
area under the jurisdiction of another Member State”.8 Sehingga jelas terlihat bahwa
Indonesia ikut bertanggungjawab atas persebaran kabut asap di ASEAN. Namun
kebijakan yang dikeluarkan oleh Indonesia sangatlah berbanding terbalik dengan niat
ASEAN untuk mengontrol, mencegah, dan penindaklanjutan atas tiap transboundary
haze pollution yang terjadi, Indonesia belum meratifikasi perjanjian ini; paling tidak
sampai sekarang.
Dengan kejadian terakhir pada Juni 2013 Menteri Lingkungan Hidup, Prof Dr
Balthashar Kambuaya, kembali dicecari pertanyaan-pertanyaan sekitar keikutsertaan
Indonesia dalam AATHP. Namun Beliau menjawab bahwa, sebenarnya Pemerintah
Indonesia sudah setuju sejak beberapa waktu lalu untuk meratifikasi AATHP namun
karena Indonesia merupakan Negara multi-partai sehingga keputusan itu baru bisa
bulat apabila telah didiskusikan dengan parlemen. Walaupun begitu, kami (Indonesia)
telah menjalankan beberapa poin yang terkandung di dalam perjanjian.9
7Haze Action Online. Accessed July 20, 2013. http://haze.asean.org/?page_id=185.
8 University of Oslo. “ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.” Accessed July 20,
2013. http://www.jus.uio.no/english/services/library/treaties/06/6-
03/asean_transboundary_pollution.xml.
9 Bernama. “Indonesia to Ratify Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution by Year-end.”
2013-07-17. Accessed July 20, 2013. http://www.mysinchew.com/node/88878.
4
Sementara DPR menganggap bahwa perlu pembelajaran lebih lanjut
mengenai perjanjian kabut asap di tingkat ASEAN ini agar dampak buruk yang
diterima oleh Indonesia apabila meratifikasi tidaklah terlalu besar. Salah satu cara
yang digunakan oleh DPR adalah meminta perjanjian kabut asap ini dikaitkan dengan
masalah lingkungan yang lain, seperti illegal logging, illegal fishing, penambangan
pasir ilegal dan pengiriman limbah beracun. Selain itu, DPR juga menggunakan
penundaan ratifikasi itu menjadi nilai tawar kepada negara Asean lainnya10
. DPR
menganggap bahwa permasalahan yang ditimbulkan dari kebakaran hutan di kawasan
Asia Tenggara bukan hanya persebaran asap; dan seharusnya dilakukan upaya
antisipasi seperti penanganan penebangan hutan dan juga penanganan hutan gambut
daripada difokuskan ketika tiap kali persebaran asap lintas Negara telah terjadi.
Maka dari itu, permasalahan utama Indonesia dalam meratifikasi AATHP
bukanlah terletak pada detail perjanjian. Melainkan secara penggambaran umum
Indonesia belum bisa menerima prinsip dalam pembentukan perjanjian tersebut,
sehingga Indonesia menunda untuk meratifikasi AATHP demi kepentingan
Indonesia terkait Negara ASEAN yang lain agar dapat menaikkan posisi tawar
Indonesia sendiri yang menguntungkan bagi Indonesia.
Usaha ASEAN untuk mengatasi masalah persebaran asap ini telah maksimum
dengan tingkat keberhasilan yang minimum. Salah satu penyebabnya adalah belum
diratifikasinya AATHP oleh Indonesia sehingga pengaruh ASEAN sangat kecil
dalam pembuatan kebijakan mengenai masalah persebaran asap di Indonesia. Oleh
karena itu, peneliti mengangkat judul ini untuk mengetahui alasan-alasan dibalik
kebijakan pemerintah untuk terus menunda meratifikasi AATHP. Selain karena
keterlibatan Indonesia dalam persebaran asap di ASEAN, tetapi juga karena isu
10
“DPR-RI - Berita.” Accessed November 2, 2013.
http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi7/2013/mar/18/5382/tidak-semua-konvensi-internasional-
diratifikasi-dpr.
5
lingkungan adalah salah satu isu penting di era globalisasi dengan pemanasan global
yang semakin lama semakin parah. Penelitian “Analisa Kebijakan Pemerintah
Indonesia dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution” dapat
berkontribusi positif bagi perkembangan Ilmu Hubungan Internasional terutama
dalam menganalisa studi kasus dari perspektif hukum internasional dan isu
lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, penulis mengajukan
rumusan masalah sebagai berikut. Apa pertimbangan Pemerintah Indonesia untuk
meratifikasi atau tidak meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution?
1.3 Kerangka Teori
1. Rational Choice
Joseph Frankel menjelaskan bahwa banyak dari kebijakan politik luar negeri
suatu Negara terkadang tidak rasional, terlebih kebijakan yang dikeluarkan pada saat-
saat krisis. Berbeda dengan Negara-negara berkembang dengan sumber daya yang
terbatas, dimana kebijakan politik luar negeri mereka haruslah mempertimbangkan
keseimbangan ekonomi dan politik. Apakah keputusan mereka akan mengeluarkan
biaya yang ditanggung oleh Negara terlalu banyak atau apakah keputusan mereka
akan berdampak buruk pada politik dalam negeri mereka. Pertimbangan inilah yang
kemudian menghasilkan sebuah keseimbangan dalam prinsip “minimum cost and
maximum comprehensiveness” dimana dalam prinsip ini tidak ada nilai politik yang
diabaikan. Hingga disimpulkan oleh Frankel bahwa secara umum, pembuatan
kebijakan luar negeri membutuhkan begitu banyak alasan yang kemudian menjadikan
6
suatu keputusan menjadi rasional demi menghindari error. Maka dari itu
diperlukanlah decision-making process11
.
Political decision-making process merupakan proses pengambilan sebuah
keputusan berdasarkan pilihan-pilihan yang ada sebelumnya. Pertanyaan yang
seharusnya timbul sebelum sebuah keputusan diambil adalah, apakah keputusan ini
nantinya dapat merepresentasikan goal yang akan dicapai?; atau apakah keputusan ini
diambil berdasarkan tekanan dari pihak luar?. Karena ini yang akan menentukan
apakah keputusan yang diambil merupakan keputusan yang rasional atau tidak. Ada
tiga kriteria agar satu aktor dapat dikatakan mengambil keputusan yang rasional,
yaitu apabila Ia mengetahui dan paham betul apa saja opsi yang Ia punya; aktor
tersebut dapat mengkalkulasi outcome dari semua opsi yang ada; dan aktor tersebut
dapat dengan bebas memilih mana yang akan Ia ambil sesuai dengan kepentingan dan
goalnya12
.
Ini merupakan kerangka pengambilan keputusan yang menunjukkan apa saja
yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisa sebuah decision-making process dan
apa akibatnya bagi suatu bangsa dalam politik internasional. Perhatian kemudian
terfokuskan pada nilai, sikap, dan tujuan dari suatu aktor. Nilai disini
menggambarkan prinsip-prinsip apa saja yang dipegang oleh policymakers; sikap
adalah gambaran pribadi dari policymakers apakah Ia akan tenang dan teguh
memegang prinsip atau sebaliknya; sementara tujuan adalah goal yang akan dicapai.
Walau banyak yang menganggap bahwa pertimbangan nilai, sikap, dan tujuan
merupakan langkah yang tidak perlu, namun pada akhirnya analisa motivasi dibalik
11
James E. Dougherty, and Robert L. Pfaltzgraff, Jr. Contending Theories of International Relations.
J. B. Lippincot Company, P. 318
12 James E. Dougherty, and Robert L. Pfaltzgraff, Jr. Contending Theories of International Relations.
J. B. Lippincot Company, P. 330
7
sebuah keputusan menjadi berguna untuk mengetahui gambaran situasi yang jelas
dari para policymakers apakah pada akhirnya akan menuju tujuan akhir (goal) atau
akan melenceng dari garis akhir.
If foreign policy thus consists of the application of a set of internalized
criteria of judgment to a dynamic external situation, we may conceptualize the
process as consisting of the following steps: (1) the establishment of the original
criteria; (2) the determination of the relevant variables in the situation; (3) the
measurement of the variables by the criteria; (4) the selection of the objectives; (5)
the elaboration of a strategy to reach the objective; (6) the decision to act; (7) the
action itself; (8) the evaluation of the results of the action in terms of the original
criteria. 13
Di atas merupakan penjelasan dari Lerche dan Said yang sering disebut
sebagai penjelasan paling rasional dalam foreign policy making process. Memang
tidak semua proses pembuatan kebijakan luar negeri terpatri dengan langkah-langkah
yang dijelaskan di atas. Namun dapat diambil kesimpulan dari penjabaran di atas,
bahwa Indonesia terlepas dari keterlibatannya dalam persebaran asap di ASEAN
harus memahami goal dari AATHP apakah sejalan dengan goal dimiliki oleh
Indonesia dalam bidang penanganan dan pencegahan kebakaran hutan dan persebaran
asap.
Pernyataan di atas juga menjelaskan lebih lanjut mengenai prinsip cost and
benefit yang menjadikan sebuah keputusan itu rasional atau tidak. Dalam
pertimbangan cost and benefit juga ada utility dan probability, dimana dalam setiap
keputusan utility harus lebih dominan dari probability.
13
Charles O. Lerche, and Abdul Said. Concepts of International Politics. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall, P. 31
8
Ada tiga prinsip dasar dalam pendekatan rational choice: 14
i. Methodological individualism yang menjelaskan bahwa keputusan
suatu kelompok merupakan konsekuensi dari behavior satu individu
atau sebaliknya. Dimana dalam konteks ini menjelaskan bahwa
pembentukan AATHP pada awalnya merupakan konsekuensi dari
makin memburuknya persebaran asap di wilayah ASEAN. Juga dapat
menjelaskan mengapa Indonesia tidak mau meratifikasi, karena
adanya tekanan dari berbagai pihak termasuk aktor non-negara .
ii. Goal Oriented Behavior yang dapat membantu mengelaborasi tujuan-
tujuan Indonesia dalam isu lingkungan di dalam negerinya. Karena
dalam poin ini menjelaskan bahwa setiap pilihan yang dibuat oleh
individu pasti bertujuan untuk mendahulukan tujuan akhir atau
goalnya tersebut.
iii. Optimizing Decision Making menjelaskan bahwa dalam membuat
suatu keputusan, bisa saja yang diambil bukanlah yang sesuai dengan
tujuan akhirnya namun merupakan pilihan yang paling rasional saat
itu. Kendala-kendala yang dihadapi dapat mempengaruhi suatu
keputusan dan optimalisasi keuntungan merupakan pilihan yang
paling rasional dalam memutuskan suatu kebijakan.
Dari seluruh penjelasan mengenai rational choice, dapat diambil
kesimpulan bahwa mungkin keputusan Indonesia untuk belum meratifikasi AATHP
terlihat tidak sesuai dengan tujuan akhir Indonesia untuk berhasil memecahkan
masalah persebaran asap secara berkelanjutan di hadapan ASEAN. Namun untuk saat
ini, keputusan tersebut adalah yang paling rasional karena pada dasarnya untuk terikat
14 “Rational Choice Politics (Background Material for Constitutional and Political Economy
Courses).” ami pro. Accessed July 20, 2013. http://rdc1.net/class/BayreuthU/CONSINTR.pdf.
9
pada suatu perjanjian internasional merupakan aksi yang sukarela tergantung
kepentingan masing-masing pihak (tidak ada yang memaksa). Juga, menurut
pandangan rasionalisme, perubahan sistem dalam hukum internasional juga akan
mengubah distribution of power suatu Negara di regional tertentu. Maka dari itu,
persoalan ratifikasi AATHP merupakan persoalan yang lebih besar dari apakah
Indonesia benar-benar serius dalam menangani permasalahan persebaran asap lintas
Negara atau tidak.
Dalam penelitian ini, mungkin pendekatan rational choice menjadikan
Indonesia sebagai Negara yang egois atau individualis. Namun Richard C. Snyder
menjelaskan bahwa dalam berorganisasi, para pembuat keputusan haruslah diberi
opsi yang jelas dan tidak berlebihan sehingga perlu menahan diri agar mencapai “the
expected utility”15
. Semua ini seharusnya berasal dari aturan sistem organisasi, yang
mana kurang lebih cocok dengan ASEAN dalam prinsip non-intervention.
2. Shadow of the future
Konsep Shadow of the Future merupakan salah satu konsep yang terdapat
dalam Game Theory. Konsep ini menjelaskan bagaimana suatu aktor
memperhitungkan untung rugi yang akan didapat sebagai konsekuensi dari
keputusan/kebijakan yang akan diimplementasikan. Dalam konsep ini juga
mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar di masa mendatang daripada
keuntungan yang didapat saat ini.16
15
James E. Dougherty, and Robert L. Pfaltzgraff, Jr. Contending Theories of International Relations.
J. B. Lippincot Company, P. 331
16 McBride, Michael, and Stergios Skaperdas. Conflict, Settlement, and the Shadow of the Future.
Accessed July 20, 2013.
http://www.economics.uci.edu/files/economics/docs/thdworkshop/w09/mcbride.pdf.
10
Konsep ini hadir dengan pertanyaan “dapatkah Negara saling bekerjasama?”
jawabannya adalah tidak, maka dari itu suatu Negara harus memperhitungkan secara
matang hasil apa yang akan mereka raih dalam suatu kerjasama. Shadow of the future
mengharuskan setiap aktornya untuk independen karena pada dasarnya semua Negara
tidak dapat bekerjasama, maka dari itu konsep ini muncul untuk membantu
meminimalisasi kerugian dalam banyak keadaan17
.
James Fearon menjelaskan bahwa Negara harus peduli dengan shadow of the
future agar sebuah kerjasama dapat berhasil. Maka dari itu diperlukan interaksi yang
berkesinambungan, penyediaan informasi dan sebuah sistem pemantauan agar
mencegah kecurangan. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam teori ini. Yang
pertama adalah tawar menawar dan yang kedua adalah masalah pelaksanaan18
.
Sebelum melakukan sebuah kerjasama, para aktor harus mempunyai bayangan
konsekuensi atas apa yang dilakukannya pada saat ini. Maka dari itu diperlukanlah
tawar-menawar atas poin-poin kerjasama dan tidak langsung menerima, juga
diperlukan jangka waktu yang lebih lama atas bayangan masa depan agar dapat
membuat suatu kerjasama internasional berjalan dengan baik. Menunda untuk
bekerjasama pun kadang perlu untuk dilakukan demi mencapai kesepakatan yang
lebih baik namun tidak terlalu lama agar tidak menimbulkan kerugian atau adanya
biaya tambahan. Masalah pelaksanaan juga menjadi pertimbangan yang penting
dalam shadow of the future, bukan hanya pelaksanaan dari aktor pertama tetapi juga
17 William Spaniel. “Shadow of the Future.” Gametheory101. Accessed September 16, 2013.
http://gametheory101.com/Shadow_of_the_Future.html.
18 James D. Fearon. Bargaining, Enforcement, and International Cooperation. Vol. 52. 2. the MIT
Press. Accessed September 11, 2013.
http://graduateinstitute.ch/files/live/sites/iheid/files/sites/political_science/shared/political_science/_pre
vious/2011_Spring_Semester/Dynamics_of_Conflict_and_Cooperation/fearon%20bargaining%20enfo
rcement.pdf.
11
aktor kedua dan ketiga untuk mencegah terjadinya kerusakan atau kerugian yang
parah apabila di masa depan terjadi kecurangan.
Dalam teori shadow of the future, keuntungan yang didapat di masa depan
mempunyai porsi yang lebih besar dari keuntungan yang didapat saat ini. Teori ini
dapat berguna untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan atau hal lain yang tidak
diinginkan dalam sebuah kerjasama internasional maka dari itu diperlukan informasi
yang mencukupi sebelum bertindak, karena dibalik sebuah keputusan terdapat banyak
alasan. Melalui teori ini juga dapat dipahami bahwa potensi keberhasilan kerjasama
dan kegagalan kerjasama mempunyai kemungkinan yang sama sehingga sebuah
kerjasama haruslah dipahami melalui logika, diluar aspek psikologi dan moral.
Sehingga tiap keputusan yang dibuat oleh aktor diasumsikan sebagai keputusan yang
rasional karena melalui strategi dominan yang memaksimalkan perolehan. Dengan
catatan, semua aktor di dalamnya dapat membuat keputusan secara independen.
3. International Regime
Keohanne dan Nye mendefinisikan rezim internasional sebagai “sets of
implicit and explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around
which actors’ expectations converge in a given area of international relations”19
.
Disini dijelaskan bahwa rezim merupakan sebuah media untuk menyatukan prinsip-
prinsip, norma-norma, dan aturan-aturan dari banyak Negara yang mempunyai
ekspektasi berbeda-beda melalui sebuah negosiasi dalam decision making process.
Namun berbeda dengan international agreements, international regime bersifat
ongoing negotiation atau negosiasi berlangsung secara terus menerus sehingga
prinsip dan norma-norma yang berlaku bagi Negara yang terlibat tetap sejalan.
Sebuah rezim dapat dilembagakan menjadi perjanjian internasional yang berperan
19
Robert O. Keohane, and Joseph S. Nye. Power and Interdependence. Boston: Little Brown, 1977
12
sebagai subyek sekaligus sumber hukum internasional yang bersifat mengikat secara
hukum. Kehadirannya dapat membentuk perilaku negara-negara yang telah terikat di
dalamnya melalui aksesi, penandatanganan dan atau peratifikasian.
Keohane menambahkan bahwa perbedaan antara international regime dengan
international agreement adalah agreement bersifat ad hoc atau sering juga bersifat
one-shot arrangements, sementara rezim dibentuk dengan tujuan untuk memfasilitasi
agreement.
Selanjutnya, Robert Jervis menjelaskan mengenai konsep rezim “implies not
only norms and expectations that facilitate cooperation, but a form of cooperation
that is more than the following of short-run self-interest”20
. Dari pernyataan Jervis
dijelaskan bahwa sebuah rezim terbentuk lebih dari sebuah persamaan norma semata
melainkan condong kepada kerjasama jangka panjang yang tidak mementingkan
kepentingan satu pihak.
Dalam konteks AATHP, wajar rasanya apabila keputusan Indonesia untuk
meratifikasi perjanjian ini secara terus menerus didorong oleh berbagai pihak di
ASEAN. Karena adanya dorongan semangat kemitraan dan kesetiakawanan ASEAN
di tingkat Kementerian Lingkungan Hidup se-Asia Tenggara untuk bersama-sama
menyelesaikan permasalahan persebaran asap ini yang tidak lagi hanya merugikan
Indonesia semata, tetapi juga Negara-negara disekitarnya. Terlebih perjanjian ini
bersifat soft law yang kemudian seharusnya tidak merugikan Indonesia secara besar-
besaran. Namun sifat ASEAN yang menjunjung prinsip non-interference membuat
Negara anggota ASEAN lainnya hanya mampu mendorong keputusan untuk
meratifikasi dari Indonesia hanya dengan cara persuasi.
20
Robert Jervis. International Regimes. London: Cornell University Press, 1983.
13
1.4 Hipotesa
Indonesia merasa masih belum saatnya untuk meratifikasi AATHP karena
Indonesia merasa mampu untuk mengatasi permasalahan persebaran asap lintas
Negara ini tanpa bantuan luar negeri. Selain itu, butuh waktu lama bagi Indonesia
untuk meratifikasi AATHP karena kepentingan yang di pegang oleh Indonesia dalam
perjanjian ini bukan hanya kepentingan Indonesia sebagai anggota ASEAN, tetapi
juga kepentingan dalam negeri Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Maka dari itu
ada pertimbangan cost and benefit dari Indonesia apabila meratifikasi AATHP.
Karena dengan meratifikasi perjanjian ini, cost yang keluar dari Indonesia untuk
menaati setiap pasal dalam perjanjian akan lebih besar dari benefit yang di dapat.
Yang dimaksudkan dengan cost and benefit disini adalah konsekuensi bagi
Pemerintah Indonesia apabila meratifikasi AATHP. Apabila Indonesia memutuskan
untuk meratifikasi, maka akan perlu dibuat perubahan sistem dalam pembukaan lahan
bagi perusahaan perkebunan. Hal ini akan memengaruhi produktivitas dari
perusahaan itu sendiri dan pemasukan mereka bagi kas Negara. Tentu semua cost
yang akan ditanggung oleh Indonesia ini perlu dipertimbangkan terlebih dengan
benefit yang tidak sebanding, yaitu mendapatkan bantuan dari ASEAN untuk
mengatasi permasalahan ini sesuai dengan standar dan pakem ASEAN untuk
mengontrol, mencegah, dan penindaklanjutan atas tiap persebaran asap lintas negara
yang terjadi.
1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan
data-data non-numerik kemudian menganalisa data tersebut berdasarkan landasan
konseptual, hingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban
atas rumusan masalah.
Pengambilan data dilakukan dengan dua cara:
1. Studi Literatur
14
Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang berasal
dari buku, jurnal, resolusi, artikel yang berasal dari media cetak ataupun
media elektronik internet, dan lain sebagainya.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer secara langsung
dari badan-badan terkait, contohnya Kementerian Lingkungan Hidup.
1.6 Sistematika Penulisan
- Bab I
Pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan, rumusan masalah, dan
kerangka berpikir.
- Bab II
Penjabaran mengenai sejarah ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution. Termasuk di dalamnya aktor-aktor terkait, apa kepentingan
dibentuknya kesepakatan ini, dan pro-kontra implementasi ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution.
- Bab III
Penjabaran mengenai keputusan Indonesia dalam AATHP melalui criteria ratinal
choice yang kemudian membuat keputusan Indonesia menjadi rasional.
- Bab IV
Mengakhiri penyusunan penelitian ini, dengan diuraikannya kesimpulan.