BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangthesis.umy.ac.id/datapublik/t26576.pdf · Semenjak awal...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangthesis.umy.ac.id/datapublik/t26576.pdf · Semenjak awal...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah
satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan
bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat,
kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masyarakat awam. Semua pihak
berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman
dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai
kalangan terhadap otonomi daerah disebabkan perbedaan sudut pandang dan
pendekatan yang digunakan. Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang
baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep
otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian
sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945
menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak
otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut
sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip
2
otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU
22/1999 dianut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang
berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah
otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.1
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan
otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh
hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan
kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,
1Wignosubroto, Soetandyo, dkk. Pasang Surut Otonomi Daerah. Jakarta: Institut for Local Development,2005. Hal xx
3
berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam undang-undang nomor 32
tahun 2004 adalah :
1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertangung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi
wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
4
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan
tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai
dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU
32/2004 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah
ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap
sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah.
Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan
pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai
pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan
Daerah.2
Pelaksanaan pembangunan daerah tentu saja tidak terlepas dari ketersediaan dana
untuk pembiayaannya. Pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan daerah
dituangkan dalam anggaran pembangunan. Selama ini anggaran pembangunan daerah
terbagi atas anggaran pembangunan yang termasuk dalam APBD dan anggaran
2Bratakusumah, Dedy Supriyadi & Solihin, Dadang. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka,
2002.Hal 3.
5
pembangunan yang dikelola oleh instansi vertikal di daerah. Anggaran pembangunan
daerah pada umumnya bersumber dari bantuan pembangunan yang diberikan oleh
pemerintah pusat. Bantuan pembangunan yang diberikan oleh pusat kepada daerah
terdiri atas bantuan umum dan bantuan khusus. Bantuan umum pada prinsipnya
merupakan dana yang diserahkan penggunaannya kepada daerah dalam rangka
pembangunan daerah, sedangkan bantuan khusus penggunaannya ditetapkan oleh
pemerintah melalui Inpres.3
Dalam pelaksanaan bantuan umum tersebut pada kenyataannya pemerintah pusat
memberlakukan dua ketentuan yaitu diarahkan dan ditetapkan. Ditetapkan
maksudnya penggunaan dana tersebut telah ditetapkan khusus oleh pemerintah pusat
sehingga daerah hanya melaksanakan sesuai ketetapan tersebut. Sedangkan pada
penggunaan yang diarahkan, pusat menetapkan ketentuan dan batasan yang harus
diikuti daerah dalam penggunaan dana tersebut. Kalau kita perhatikan kondisi
tersebut secara seksama sebenarnya selama ini program pembangunan daerah lebih
banyak ditentukan oleh pusat daripada daerah sendiri. Perencanaan pembangunan
yang disusun daerah harus berada dalam ketentuan atau batas-batas yang digariskan
pusat. Batasan-batasan yang diberikan oleh pusat tersebut kadang-kadang berbenturan
dengan kepentingan dan kebutuhan daerah sehingga dapat menyebabkan program
pembangunan yang disusun tidak menyentuh kebutuhan daerah dan masyarakat.
3Drs. D. J. Mamesah.Sistem Administrasi Keuangan Daerah. 1994. Hal 32.
6
Disamping hal di atas pengalokasian anggaran pembangunan sektoral di
daerah yang dikelola oleh instansi vertikal sering tumpah tindih dengan program
pembangunan daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah. Hal ini tentu saja
merupakan pemborosan anggaran pembangunan. Melalui kewenangan yang diberikan
oleh UU 32/2004 kepada daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah maka
berbagai kelemahan dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran pembangunan
daerah diharapkan dapat disempurnakan. Dengan kewenangan yang dimilikinya
daerah dapat menyusun perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan
daerah dan aspirasi masyarakat. Perencanaan pembangunan tersebut dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Secara umum, anggaran pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki
perspektif gender. Dalam UU 32/2004 kesetaraan gender telah menjadi urusan wajib
pemerintah daerah yang terdapat pada Pasal 14 yaitu masuk pada urusan wajib
lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Anggaran tersebut
lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia
secara sosial dan budaya yang berbeda, bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal
ini yang kemudian membuat kebijakan menjadi bias. Dalam rangka menghindari
adanya bias gender, pemerintah mewujudkan anggaran responsif gender (ARG).
Bentuk komitmen tersebut tercantum dalam Permendagri No 15 Tahun 2008 dan
semakin diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 tahun 2010 yang
mengatur mengenai penerapan anggaran responsif gender. Dalam satu dasawarsa
terakhir, kita menyaksikan suatu proses perubahan paradigma setelah melalui
7
perdebatan panjang dalam pemikiran gerakan feminisme, yakni antara pemikiran
yang lebih memusatkan perhatian kepada “masalah perempuan” berhadapan dengan
pemikiran fenimisme yang lebih menitikberatkan perhatian terhadap sistem dan
struktur masyarakat yang dilandaskan kepada analisis “hubungan gender”.
Konsep gender dan jenis kelamin (sex) merupakan dua konsep yang berbeda
namun sama-sama menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Pengertian
jenis kelamin (sex) merujuk pada perbedaan atribut fisik laki-laki dan perempuan
seperti perbedaan kromosom, alat kelamin, reproduksi, hamil, melahirkan, meyusui
serta perbedaan karakteristik fisik sekunder seperti rambut, pertumbuhan buah dada,
perubahan suara, dan seterusnya.Konsep jenis kelamin menjelaskan kodrat Tuhan
yang telah member ciri fisik yang berbeda antar laki-laki dan perempuan. Kodrat fisik
tersebut tidak dipertukarkan dan dimiliki sama oleh laki-laki dan perempuan di
seluruh tempat, budaya, serta dimiliki sejak lahir hingga meninggal dunia. Perbedaan
jenis kelamin (sex) dalam masyarakat memberikan konsekuensi makna sosial yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan konsep gender merupakan hasil konstruksi sosial yang diciptakan
oleh manusia, yang sifatnya tidak tetap, berubah-ubah, serta dapat dialihkan dan
dipertukarkan dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya menurut waktu, tempat
dan budaya stempat. Konsep gender diciptakan oleh masyarakat, yang dipengaruhi
oleh budaya, interpretasi pemuka agama, dan diturunkan secara turun temurun dari
generasi ke generasi. Perbedaan peran yang dijalankan oleh laki-laki-laki dan
8
perempuan menghasilkan perbedaan gender mempengaruhi pola relasi antara
perempuan dan laki-laki.4
Perbedaan antara konsep gender dan jenis kelamin dapat dilihat dalam table
berikut:5
Tabel 1.1 Perbedaan jenis kelamin dan gender
Jenis Kelamin Gender Menyangkut perbedaan organ biologis laki-laki dan perempuan, khususnya pada bagian alat-alat reproduksi.
Menyangkut perbedaan peran, fungsi, tanggungjawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil kesepakatan atau hasil konstruksi (bentukan) masyarakat.
Peran reproduski tidak dapat berubah, sekali menjadi perempuan dan mempunyai rahim, maka selamanya akan menjadi perempuan dan sebaliknya.
Peran sosial dapat berubah, peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dapat berubah menjadi peran pencari nafkah.
Peran reproduksi tidak dapat dipertukarkan. Tidak mungkin laki-laki melahirkan dan perempuan membuahi.
Peran sosial dapat dipertukarkan, untuk saat-saat tertentu, bisa saja suami tidak memiliki pekerjaan sehingga tinggal di rumah mengurus rumah tangga, sementara istri bertukar peran bekerja mencari nafkah bahkan sampai ke luar negeri.
Peran reproduksi berlaku sepanjan masa. Peran sosial bergantung pada masa dan keadaan.
Peran reproduksi berlaku di mana saja. Peran sosial bergantung pada budaya masyarakat tertentu.
Peran repoduksi berlaku bagi semua kelas sosial.
Peran sosial berbeda natar satu kelas sosial dengan kelas sosial lainnya.
Peran reproduksi berasal dari Tuhan atau bersifat kodrati.
Peran sosial merupakan hasil buatan manusia dan tidak bersifat kodrati.
4Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bagi Daerah, hal 7 5Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bagi Daerah, hal 8
9
` Dengan melihat perbedaan tersebut maka kebutuhan antara perempuan dan
laki-laki pun berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan adanya anggaran yang berbasis adil
gender yang disebut dengan Anggaran Responsif Gender (ARG). Anggaran responsif
gender adalah bukanlah anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan, tetapi
strategi mengintegrasikan isu gender ke dalam proses penganggaran, menerjemahkan
komitmen untuk untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran.
Adapun prinsip-prinsip dari Anggaran Responsif Gender (ARG) yaitu:6
1. ARG yang diterapkan untuk mengasilkan output kegiatan, yaitu (i) Penugasan
prioritas pembangunan nasional dan daerah, (ii) Pelayanan kepada masyarakat
(service delivery), (iii) Pelembagaan Pengusutamaan Gender (PUG) yang di
dalamnya termasuk capacity building, advokasi gender, kajian sosialisasi,
desiminasi, dan/atau pengumpulan data terpilah.
2. ARG merupakan penyusunan anggaran guna menjawab secara adil kebutuhan
setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan sebagai upaya
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
3. ARG pada penganggaran diletakkan pada output kegiatan. Output yang akan
dihasillkan harus jelas dan terukur.
4. ARG bukan fokus pada penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu untuk
PUG, tetapi lebih luas lagi, bagaimana anggaran keseluruhan dapat
memberikan manfaat yang adil untuk laki-laki dan perempuan.
6Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bagi Daerah, hal 9
10
Kategori ARG dibagi menjadi 3 kategori yaitu:
1. Anggaran khusus target gender, adalah alokasi anggaran yang diperuntukan
guna memenuhi kebutuhan dasar khusus perempuan atau kebutuhan dasar
khusus laki-laki berdasarkan hasil analisis gender.
2. Anggaran kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk mengatasi
masalah kesenjangan gender. Berdasarkan analisis gender dapat diketahui
adanya kesenjangan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam akses
terhadap sumber daya, partisipasi, dan control dalam pengambilan keputusan,
serta manfaat dari semua bidang pembangunan.
3. Anggaran pelembagaan kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk
penguatan kelembagaan PUG, baik dalam hal pendapatan maupun capacity
building.
Anggaran Responsif Gender (ARG) merupakan instrument untuk mengatasi
adanya kesenjangan akses, control, partisipasi, dan manfaat pembangunan bagi laki-
laki dan perempuan yang selama ini masih ada, untuk mewujudkan keadilan dalam
penerimaan manfaat pembangunan. Proses penyusunan Anggaran Responsif Gender
(ARG) sejalan dengan sistem yang sudah ada, dan tidak membutuhkan penyusunan
khusus untuk perempuan yang terpisah dari laki-laki.
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum
perempuan adalah membedakan antar konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender.
Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena
11
alasan sebagai berikut. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender
sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami pesoalan-persoalan
ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebakan karena
adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender different) dan ketidakadilan
gender (gender eniqualities) dengan struktur ketidak adilan masyarakat secara lebih
luas. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara nasional maupun
kultural. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan, perbedaan gender
ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bagi kaum laki-laki dan terutama
terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di
mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.7
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua
pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.
Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk
menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Bias gender yang mengakibatkan
beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau
keyakinan di kalangan masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat
sebagai jenis “pekerjaan perempuan”, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap
7Dr. Mansour Fakih. Menuju Dunia yang Lebih Adil melalui Perspektif Gender. 1996.
12
dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai
“pekerjaan lelaki”, serta dikategorikan sebagai “bukan produktif” sehingga tidak
diperhitungkan dalan statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan,
karena anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran
gender mereka.
Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni
berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Hal ini patut digaris bawahi mengingat
perdebatan pemikiran seperti itu umumnya bersifat akademik, antaraktivis perempuan
serta mengalienasi dan mengabaikan perempuan pedesaan. Aliran pertama, yakni
pemikiran feminis yang memusatkan perhatian kepada “perempuan” mangasumsikan
bahwa munculnya permasalahan kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya
kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan
ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki dalam pembangunan.
Oleh karena itu harus dilakukan upaya guna menghilangkan diskriminasi yang
menghalangi usaha mendidik kaum perempuan. Ada beberapa alasan dari analisis
“mengejar” ketertinggalan kaum perempuan ini, meskipun semuanya bertumpu di
atas paham modernisasi. Pertama, adalah pendekatan “pengentasan kemiskinan” , di
mana dasar pemikirannya adalah perempuan menjadi miskin karena mereka tidak
produktif sehingga mereka perlu diciptakan “projek peningkatan pendapatan” bagi
kaum perempuan. Kedua adalah “Pendekatan Efisiensi” yakni pemikiran bahwa
13
pembangunan mengalami kegagalan karena perempuan tidak dilibatkan. Jadi,
pelibatan itu sendiri lebih demi efisiensi “pembangunan”.8
Seperti ini lebih memusatkan perhatian kepada kaum perempuan, dan
kegiatannya semata-mata guna memenuhi kebutuhan praktis perempuan. Kepandaian
mengendalikan negara dibarengi dengan kepandaian pengendalian keuangan akan
memberikan hasil yang memuaskan sesuai yang diharapkan. Sebaliknya tanpa
pengendalian keuangan yang baik, kurang mampu melihat ke depan, serta dengan
penuh kebijaksanaan yang kurang tepat dapat berakibat suatu kehancuran. Hal ini
juga berlaku bagi administrasi keuangan di daerah otonom, baik di Daerah Tingkat I
maupun Daerah Tingkat II. Dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan negara
baik dalam bidang pemerintahan umum maupun dalam bidang pembangunan serta
guna memelihara kehidupan dan kegiatan negara lainnya diperlukan biaya berupa
uang. Demikian juga di daerah, di mana pelaksana kegitan pemerintahan umum dan
pembangunan serta pemeliharaan sarana dan prasarana setiap tahun semakin
meningkat.
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang
tertuang dalam Instruksi Presiden Nomo 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender Dalam Pembangunan Nasional serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di
Daerah. Mengingat hal tersebut maka salah satu upaya pemerintah dalam rangka
memajukan pembangunan di daerah adalah dengan membentuk suatu badan yang 8Dr. Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 1996
14
bertugas khusus dalam perencanaan pembangunan yaitu melalui keputusan Presiden
No.27 tahun 1980, tentang pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
yang disingkat BAPPEDA pada daerah tingkat I dan daerah tingkat II di seluruh
tanah air.Arah pembangunan yang terencana dengan baik dan dinamis sangat
dipengaruhi adanya peran serta masyarakat maupun unsur-unsur dalam masyarakat
yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penyelenggaraan
pemerintahan. BAPPEDA selaku Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sangat
mempunyai peran penting dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD), dimana TAPD adalah tim yang dibentuk dengan
keputusan kepala daerah dan dipimpin oleh sekretaris daerah yang mempunyai tugas
untuk menyiapkan serta melaksanakan kebijakan kepala daerah dalam rangka
penyusunan APBD. Tim ini jugalah yang mempunyai wewenang dalam
pengalokasian Anggaran Responsif Gender (ARG).
Untuk di Kota Madiun belum ada Peraturan Walikota (Perwal) yang
menginstruksikan tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan tetapi Kota Madiun sudah mempunyai peraturan tentang Pembentukan
Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (POKJA PUG) Kota Madiun yang diatur
dalam Keputusan Walikota Madiun Nomor 400-401-204/241/2009 dengan Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun sebagai ketuanya. Selama ini
pemerintah kota Madiun menjalankan pengarusutamaan gender berlandaskan
Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 27 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan. Kurangnya pengetahuan para
15
birokrat tentang gender menyebabkan sosialisasi tidak sampai ke lapisan masyarakat,
melainkan hanya sebatas pada SKPD saja. Namun pada kenyataannya tidak semua
SKPD memasukkan ARG ke dalam RKA-SKPD, selama ini hanya Badan
Pemberdayaan Masyarakat (BPM) sajalah yang melaksanakan hal tersebut. Hal ini
tentu saja bertolak belakang pada peraturan yang ada, yaitu Permendagri Nomor 15
Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah.
Pengarusutamaan Gender merupakan suatu proses yang perlu dilaksanakan oleh para
perencana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sebagai wujud adanya komitmen
para pengambil keputusan, dengan harapan kegiatan yang dilaksanakan dapat
bermanfaat bagi masyarakat yang terdiri dari laki-laki-laki dan perempuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian diatas yang telah disebutkan maka penulis
merumuskan permasalahan yang ada dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun
dalam mengalokasikan Anggaran Responsif Gender pada tahun 2010-2011?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan Anggaran
Responsif Gender pada tahun 2010-2011?
3. Upaya apa saja yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kota Madiun dalam menghadapi kendala mengalokasikan Anggaran
Responsif Gender pada tahun 2010-2011?
16
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Gambaran permasalahan dalam penelitian ini memiliki tujuan sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui bagaimana Peran Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dalam Mengalokasikan Anggaran Responsif
Gender di Kota Madiun tahun 2010-2011.
b. Ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Mengalokasikan Anggaran
Responsif Gender di kota Madiun.
c. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dalam menghadapi kendala dalam
pengalokasian Anggaran Responsif Gender di Kota Madiun.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan dicapai penulis dari penelitian ini adalah :
a. Menambah pengetahuan bagi penulis baik yang bersifat teoritis
maupun praktis bagaimana peran badan perencanaan pembangunan
daerah dalam mengalokasikan anggaran responsif gender.
b. Sebagai sumbangsi bahan kajian dan referensi bagi masyarakat tentang
peran badan perencanaan pembangunan daerah dalam mengalokasikan
anggaran responsif gender serta sumbangsi ilmu pengetahuan dalam
fokus kajian yang ada dalam penelitian ini.
17
c. Penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan yang berguna
bagi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah kota Madiun dalam
rangka mengalokasikan dana sehingga terwujudnya anggaran yang
berbasis adil gender, sehingga tidak ada kesenjangan antara laki-laki
dengan perempuan dalan kehidupan masyarakat.
D. Kerangka Dasar Teori
Untuk menjelaskan permasalahan yang ada, maka penulis menggunakan
beberapa teori untuk mendukung dasar pemikiran untuk mengupas permasalahan
yang ada.
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pembentukan Bappeda Republik Indonesia ditetapkan dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No 27 Tahun 1980 tentang Pembentukan Bappeda RI
yang mana Bappeda mempunyai dua tingkat kedudukan. Yang pertama, Bappeda
tingkat I (sekarang Pemerintahan Provinsi) dan Bappeda tingkat II (sekarang
Pemerintahan Kabupaten/Kota). Bappeda merupakan singkatan dari Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah yang mana badab ini menurut aturan KEPRES N0
27 Tahun 1980, badan ini adalah badan staf yang berada langsung dibawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Dimana Bappeda berperan sebagai
18
pembantu Kepala Daerah dalam menentukan kebijakan di bidang perencanaan
pembangunan daerah.9
Sesuai dengan Peraturan Walikota Madiun Nomor 05 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Dan Lembaga Teknis Daerah Kota Madiun, tugas pokok dan fungsi Bappeda Kota
Madiun adalah sebagai berikut:
a. Tugas, Bappeda Kota Madiun mempunyai tugas: melaksanakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan
pembangunan daerah.
b. Fungsi, Bappeda Kota Madiun mempunyai fungsi: perumusan kebijakan
teknis di bidang perencanaan pembangunan, pengkoordinasian
penyusunan perencanaan pembangunan, pembinaan dan pelaksanaan tugas
di bidang perencanaan pembangunan daerah, serta pelaksanaan tugas lain
yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dengan demikian Bappeda adalah Badan Penyusun Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) di daerah baik dalam jangka panjang, jangka
menengah maupun rencana tahunan.
9 KEPRES No 27 Tahun 1980 tentang Pembentukan Bappeda Republik Indonesia
19
2. Politik Anggaran Keuangan Daerah
Dianutnya konsep desentralisasi, khususnya otonomi dengan segala variannya
telah membawa dalam suasana yang memungkinkan daerah untuk mengatur, dan
mengurus kepentingan daerahnya, sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.Konsep desentralisasi atau otonomi tidak dapat dipisahkan dari
persoalan yang berhubungan dengan keuangan, atau finansial. Otonomi yang dalam
perspektif UU No. 33 Tahun 2004 diklasifikasikan sebagai hak, wewenang dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat, mengandung makna hak, wewenang dan
kewajiban tersebut, untuk membiayai atau membelanjai diri sendiri.10
Dalam rangka membiayai penyelenggaraan aktivitas pemerintahannya, daerah
harus mempunyai sumber-sumber pendapatan sendiri, baik karena adanya penyerahan
urusan wewenang oleh Pemerintah Pusat kepada daerah, seperti pajak dan retribusi
daerah, maupun sumber-sumber pendapatan yang sebelumnya memang telah dikelola
dan diurus oleh daerah. Berlakunya UU No. 33 Tahun 2004 dalam praktik
mengakibatkan tingkat ketergantungan Daerah pada Pemerintah Pusat tetap sangat
tinggi, hal ini disebabkan manajemen pembangunan daerah yang berjalan
menunjukkan kecenderungan kurang serasi antara Pemerintah Pusat dan daerah,
untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah daerah harus mempunyai politik
anggaran sendiri guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
10Lihat, Politik Anggaran Dalam Otonomi Daerah, Diakses pada 07 Februari 2013
20
Politik anggaran adalah adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses
anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai
kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan disdistribusikan; siapa
yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk
penyimpangan negatif maupun untuk meningkatkan pelayanan publik.11
Dengan demikian Pemerintah Daerah harus mempunyai kemampuan untuk
menentukan secara objektif kebutuhan akan keuangan (fiscal need) yang diperlukan
untuk membiayai penyelenggaraan dan menyediakan pelayanan yang diperlukan
masyarakat daerah. Artinya, Pemerintah Daerah harus dapat melakukan perhitungan-
perhitungan yang matang dan rasional mengenai rencana kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan sehubungan dengan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah.
Berdasarkan rencana kegiatan tersebut, Pemerintah Daerah harus dapat menentukan
secara tepat dan objektif rencana pembiayaan masing-masing kegiatan, sehingga akan
diketahui kebutuhan keuangan yang diperlukan dalam satu tahun anggaran.
3. Anggaran Responsif Gender
Di Indonesia Anggaran Responsif Gender (ARG) mulai dikenal setelah
keluarnya KEPMENDAGRI No 132 Tahun 2003 yaitu minimal 5% untuk anggaran
Pengarusutamaan Gender (PUG).Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah suatu
strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan
11Lihat, Teori Politik Keuangan Publik dan Kebijakan Anggaran, Diakses pada 07 Februari 2013
21
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan
manusia (rumah tangga, masyarakat, dan Negara), melalui kebijakan dan program
yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan
dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari
seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Kemudian direvisi dengan PERMENDAGRI No 15 Tahun 2008 , yaitu anggaran
secara umum harus didasarkan pada pertimbangan dampak gender, dan bukan hanya
presentase tertentu
Anggaran Responsif Gender (ARG) bukan lah anggaran yang terpisah bagi
laki-laki dan perempuan, tetapi strategi mengintegrasikan isu gender ke dalam proses
penganggaran, menerjemahkan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender ke
dalam komitmen anggaran. Sedangkan menurut PERMENDAGRI No 15 Tahun 2008
Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah pemanfaatan penganggaran yang berasal
dari berbagai sumber pendapatan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender.
Menurut PERMENDAGRI No 15 Tahun 2008 kesetaraan gender adalah
kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan. Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk
menjadi adil terhadap laki-laki dan
perempuan.
22
Anggaran Responsif Gender (ARG) lebih menekankan pada masalah
kesetaraan dalam penganggaran. Kesetaraan tersebut berupa proses maupun dampak
alokasi anggaran dalam program/kegiatan yang bertujuan menurunkan tingkat
kesenjangan gender. Anggaran Responsif Gender (ARG) bekerja dengan cara
menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap perempuan dan laki-laki, dan
kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran tersebut telah menjawab kebutuhan
perempuan serta kebutuhan lelaki secara memadai.
E. Definisi Konsepsional
Definisi Konsepsional adalah usaha untuk memperjelas pembatasan
pengertian antar konsep yang satu dengan konsep yang lain agar tidak terjadi over
laping atau kesalahan memahami konsep yang akan dikemukakan. Definisi
konsepsional yang digunakan yaitu:
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah: Badan Penyusun Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) di daerah baik dalam jangka
panjang, jangka menengah maupun rencana tahunan.
2. Politik Anggaran Keuangan Daerah: penetapan berbagai kebijakan tentang
proses anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana
pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan,
dikelola dan disdistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan;
peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif
maupun untuk meningkatkan pelayanan publik.
23
3. Anggaran Responsif Gender: penggunaan atau pemanfaatan anggaran
yang berasal dari berbagai sumber pendanaan untuk mencapai kesetaraan
dan keadilan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
F. Definisi Operasional
Yang dimaksud dengan definisi operasional penelitian ini adalah unsur-unsur
penelitian yang memberikan batasan-batasan tertentu untuk memberikan pengukuran
suatu variabel guna mencapai tujuan penelitian. Untuk penilaian Peran Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan anggaran
berbasis adil gender Tahun 2010-2011 dapat dilihat dari indikator-indikator sebagai
berikut:
1. Peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam memasukkan PUG
dalam perencanaan pembangunan. Dilihat dari indikator:
a. Perencanaan ARG dalam APBD
b. Mengawal SKPD agar melaksanakan ARG
2. Pelaksanaan ARG dalam APBD
a. Adanya anggaran yang dialokasikan untuk PUG
b. Adanya program yang mengutamakan PUG
c. Adanya prosentase untuk PUG dalam APBD
d. Adanya program dan kegiatan yang mengutamakan PUG dalam setiap
SKPD
24
3. Faktor-faktor serta upaya yang mempengaruhi peran Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan anggaran
berbasis adil gender Tahun 2010-2011. Yang meliputi:
a. Faktor pendukung
b. Faktor penghambat
c. Upaya-upaya
G. Metode Penelitian
Menurut H. Nawawi dalam melakukan suatu penelitian perlu diketahui
tentang metode yang digunakan untuk mendapatkan data dalam rangka analisis dan
interprestasi data yang ada. Metodologi adalah suatu cara yang digunakan untuk
mencapai suatu tujuan.12
Dalam skripsi ini peneliti akan mengupas secara mendalam mengenai kinerja
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun Tahun 2010-2011.
1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penyususn menggunakan penelitian deskripstif
kualitatif.Dimana penelitian kualitatif ini didefinisikan sebagai istilah
yang umum dan mencakup beberapa teknik deskripstif, diantaranya
penelitian yang mengklasifikasikan dan menganalisa data serta
menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan menggunakan metode
instrument, dokumentasi dan studi pustaka. 12Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Penerbit UGM Pers, Yogyakarta,1985.
25
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota
Madiun. Pemilihan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai
lokasi penelitian ini didasarkan atas keinginan untuk mengetehaui
bagaimana peran yang dimiliki oleh aparat Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dalam proses pengalokasian dana anggaran
responsif gender tahun 2010-2011.
3. Unit Analisa Data
Unit analisa data adalah satuan terkecil yang merupakan objek nyata yang
akan diteliti sesuai dengan permasalahan yang ada dan pokok pembahasan
masalah dalam penelitian. Unit analisa data berisi penegasan tentang unit
atau kesatuan yang menjadi subjek dan objek penelitian. Berdasarkan
substansi tersebut Badan Perencanaan Pembangunan Kota Madiun akan
diminta informasinya sebagai basis data.
4. Jenis Data
Jenis Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder, yaitu:13
a. Data Primer
Data Primer adalah segala informasi atau hal-hal yang berkaitan
dengan konsep penelitian yang kita peroleh secara langsung dari unit
analisa yang dijadikan sebagai objek penelitian atau data yang 13Rahmawati Eka Dian. Metode Penelitian Sosial.Yogyakarta.Fisipol UMY, 2010.
26
diperoleh langsung dari sumbernya atau lapangan tempat penelitian,
yang mana pertanyaan-pertanyaan akan diajukan kepada aparat Badan
Perencanaan Pembangunan Kota Madiun dalam bentuk interview guna
memperoleh data yang dibutuhkan.
Data Primer Sumber
Peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam memasukkan PUG dalam perencanaan pembangunan. Dilihat dari indikator: a. Perencanaan ARG dalam APBD b. Mengawal SKPD agar
melaksanakan ARG
Observasi dan Hasil wawancara dengan staff Bidang Perencanaan Ekonomi, Sosial dan Budaya Bappeda Kota Madiun.
Pelaksanaan ARG dalam APBD a. Adanya anggaran yang
dialokasikan untuk PUG b. Adanya program yang
mengutamakan PUG c. Adanyan prosentase PUG dalam
APBD d. Adanya program dan kegiatan
yang Mengutamakan PUG dalam setiap APBD
Observasi dan Hasil wawancara dengan staff Bidang Perencanaan Ekonomi, Sosial dan Budaya Bappeda Kota Madiun.
Faktor-faktor serta upaya yang mempengaruhi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan ARG tahun 2010-2011. yang meliputi: a. Faktor pendukung b. Faktor penghambat c. Upaya-upaya
Observasi dan Hasil wawancara dengan staff Bidang Perencanaan Ekonomi, Sosial dan Budaya Bappeda Kota Madiun.
27
b. Data Sekunder
Semua informasi yang kita peroleh tidak secara langsung, melalui
dokumen-dokumen yang mencatat keadaan konsep penelitian (ataupun
yang terkait dengannya) di dalam unit analisanya yang dijadikan
sebagai obyek penelitian.
Data Sekunder Sumber
Peraturan tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional
Dokumentasi, Instruksi Presiden Nomor 09 Tahun 2000
Peraturan tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Gender Di Daerah
Dokumentasi, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008
Peraturan tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (POKJA PUG) Kota Madiun
Dokumentasi, Peraturan Walikota Madiun Nomor: 400-401.204/241/2009
Peraturan tentang Rincian Tugas Dan Fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun
Dokumentasi, Peraturan Walikota Madiun Nomor 47 Tahun 2008
Peraturan tentang Pembentukan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kota Madiun
Dokumentasi, Keputusan Walikota Madiun Nomor: 910.05-401.023/175/2009
APBD Kota Madiun Tahun Anggaran 2010
Dokumentasi, Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 17 Tahun 2009
APBD Kota Madiun Tahun Anggaran 2011
Dokumentasi, Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 09 Tahun 2010
28
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Melakukan pengamatan dan pencatatan baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap objek penelitian guna memperoleh data-data
yang berhubungan dengan penelitian.14
b. Interview
Cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep penelitian (atau yang terkait
dengannya) terhadap individu manusia yang menjadi unit analisa
penelitian ataupun terhadap individu manusia yang dianggap memiliki
data mengenai unit analisa penelitian.15 Dalam penelitian ini
responden yang akan diwawancarai adalah:
a. Kepala Kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota
Madiun.
b. Pegawai kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Kota Madiun.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan menggunakan
berbagai dokumen atau catatan yang mencatat keadaan konsep
penelitian (ataupun yang terkait dengannya) di dalam unit analisa yang
14Rahmawati Eka Dian. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Fisipol UMY 2010. 15Rahmawati Eka Dian .Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Fisipol UMY, 2010 .
29
dijadikan sebagai obyek penelitian. Sumber data: dokumen resmi,
arsip, media massa etak, jurnal, biografi, dsb.
6. Teknik Analisa Data
Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengkoordinasikannya
ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar, yaitu:
1. Mengidentifikasi data tentang bagaimana peran Bappeda Kota Madiun
dalam memasukkan PUG ke dalam perencanaan pembangunan tahun
2010-2011.
2. Mengelompokkan data tentang data primer dan data sekunder.
3. Menjabarkan data yang telah didapatkan di lokasi penelitian.
4. Melakukan justifikasi terhadap data tentang pengalokasian ARG
dalam APBD.
5. Melakukan analisis tentang peran Bappeda selaku TAPD dalam
mengalokasikan ARG dalam APBD.
6. Mengambil kesimpulan tentang apakah ARG di Kota Madiun telah
berjalan dengan baik atau belum.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif, sehingga analisa tersebut berdasarkan kemampuan nalar peneliti
dalam menghubungkan fakta dengan data informasi yang diperoleh.
Namun dalam uraian selanjutnya tidak menutup kemungkinan jika data
yang ditampilkan bersifat kuantitatif sebagai penunjang pengelolaan data
kualitatif.
30
Metode kualitatif adalah prosedur prnrlitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-rang dan pelaku
yang diamati. Teknik analisa yang digunakan adalah analisa
kualitatif.Yang dimaksud dengan analisa kualitatif menurut
Koentjaraningrat adalah “data yang dikumpulkan itu berpa studi kasus
yang bersifat monografis, mudah diklarifikasikan, digambarkan dengan
kalimat, dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh
kesimpulan.Selanjutnya menganalisa sesuai dengan obyek yang diteliti
dan menginterpretasikan data atau dasar teori yang ada serta untuk menilai
makna yang bersifat menyeluruh.Data tersebut diperoleh dari naskah
wawancara, catatan laporan, dokumen pribadi, dokumen resmi dan
sumber-sumber lainnya guna menunjang keabsahan dalam penelitian.