BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
-
Upload
truongdung -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjadi perempuan bukanlah persoalan yang mudah. Kehidupan
perempuan selalu dihadapkan pada realitas sosial yang membentuk identitasnya.
Identitas diartikan Given (2008: 415) sebagai ciri yang melekat pada diri individu
yang memuat dimensi individual dan dimensi sosial. Hal ini dimaksudkan bahwa,
identitas merupakan suatu label yang diberikan orang lain terhadap individu
dalam suatu kelompok. Identitas diproduksi oleh konteks sosial sebagai asumsi
dasar tentang sifat manusia, kepribadian, dan individu.
The identity that individuals adopt in order to define himselves are
produced the cultural and social context in which we find ourselves and
from which we draw certain assumptions about human nature,
individuality, and the self (Giles, 2008: 30)
Identitas juga dapat diartikan sebagai bentuk konstruksi sosial. Berbagai
faktor dapat mempengaruhi konstruksi identitas, seperti halnya sejarah, agama,
dan kekuasaan politik yang memberikan gambaran utuh tentang identitas individu
dalam lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu. Hal ini juga berkaitan
dengan identitas perempuan yang selalu dikonstruksikan dari berbagai pihak, baik
laki-laki maupun perempuan, sehingga dapat memunculkan persoalan yang
berkaitan dengan hak, kebebasan, peran, kedudukan, dan statusnya sebagai
perempuan.
Berdasarkan konsep modern, perempuan menjadi subjek yang
berlawanan dengan laki-laki. Menurut Imaniar (2009: 9) subjek berada dalam
2
etika promethean yang tunduk pada alam, sehingga manusia dapat mengalami
perubahan dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya. Istilah promethean
mengacu pada gagasan modern yang menandai masyarakatnya secara rasional,
dengan mengganti pembicaraan tentang mitos ke logos. Subjek promethean
dianggap dapat menguasai alam dan hubungannya selalu berlawanan dengan yang
lain (the other). Menurut Beauvoir the other merupakan subjek perempuan yang
eksistensinya tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, sehingga posisinya lebih
inferior dari pada laki-laki (Tong, 1998: 269).
Asumsi perempuan sebagai the other ditunjukkan ketika perempuan
dianggap tidak memiliki rasio dan dibatasi aksesnya terhadap hak politik di ruang
publik, sehingga menyebabkan munculnya gerakan perempuan untuk kesetaraan
hak yaitu feminisme. Feminisme muncul pertama kali di Eropa, dan dicetuskan
oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Banyak hal yang
diperjuangkan gerakan feminisme, seperti hak atas perlindungan perempuan dari
kekerasan rumah-tangga, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan persamaan hak
perempuan dalam bidang pekerjaan (Gamble, 2004: 3). Pencetus ide dan
pemikiran-pemikiran tersebut sebagian besar adalah perempuan-perempuan kelas
menengah Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat.
Marry Wollstonecraft, seorang perempuan yang telah berhasil
mengguncang dunia lewat bukunya The Vindication of the Right of Woman pada
1972 dengan lantang menyuarakan perbaikan kedudukan perempuan dan menolak
perbedaan derajat antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan dibentuk
feminisme untuk merepresentasikan dirinya sendiri agar setara dengan laki-laki.
3
Pemahaman perempuan atas representasi diri tersebut, menimbulkan berbagai
persoalan, di antaranya adalah ketika feminisme telah berkembang pesat dengan
membangun politik universal sisterhood, atau dapat dikatakan bahwa feminisme
dapat merepresentasikan semua perempuan. Identitas yang dilihat sama secara
esensial, mengakibatkan penindasan terhadap perempuan semakin kompleks.
Konsep universalisme memasukkan perempuan Dunia Ketiga dalam konteks all
woman. Perempuan Dunia Ketiga menjadi objek analisis tanpa melihat sejarah
kolonialis, rasisme, dan relasi sosial.
Priviledge feminists have largely been unable to speak to, with and for,
diverse group of women because they either do not understand fully the
inter-relatedness of sex, race, and class oppression or refuse to take this
interrelatedness seriously (Hooks, 1982: 87)
Perempuan Dunia Ketiga dianggap terbelakang dan tidak beradab,
sehingga perlu mendapatkan pendidikan Barat. Perempuan Dunia Ketiga menjadi
kelompok marjinal yang tidak diperhitungkan sebagai subjek dan tidak diberi
ruang bicara. Hal tersebut menimbulkan epistemic violence dimana terdapat
kekerasan ketika kelompok politik tertentu memaksakan kerangka pikirnya
kepada kelompok yang lebih lemah.
Between patriarchy and imperialism, subject-constitution and object-
formation, the figure of the woman disappears, not into a pristine
nothingness, but a violent shuttling which is the displaced figuration of
the “third world” woman” caught between tradition and modernisation
(Gandhi, 2006: 474).
Akibat dari penekanan secara esensial seperti yang ditekankan gerakan
feminisme tersebut menciptakan penindasan terus menerus bagi perempuan yang
berada di pinggiran masyarakat. Pencapaian untuk membebaskan perempuan dari
ketertindasan tidak mungkin tercapai di antara perempuan, sehingga asumsi
4
perempuan sebagai universal secara esensial menindas partikulasi dan
mengkategorikan perempuan. Identitas anggota menjadi tereduksi oleh identitas
kelompok. Setiap anggota berusaha menanggalkan identitasnya terlebih dahulu
ketika di dalam satu gerakan. Di sinilah terjadi politik representasi dimana
perempuan lain berusaha diwakili dan relasi dengan the other dianggap secara
general dapat dipasangkan, diasumsikan, kemudian diabstraksikan, dan
diimajinasikan. Pada akhirnya, perempuan yang lain the other terjebak pada
subaltern yang tidak memiliki politik agensi. Istilah subaltern sendiri mengacu
pada gagasan Gramsci dalam memaknai “subordinat” secara bergantian dengan
“Instrumental” untuk mendeskripsikan kelompok atau kelas yang non-hegemonik
(Gramsci, 1971: xiv).
Posisi dimana hanya kaum pinggiran yang mengerti kaum pinggiran,
hanya perempuan yang mengerti perempuan dan sebaliknya, tidak dapat juga
dibentuk menjadi presuposisi teoritis, karena hal ini berarti mengakui bahwa
identitas tersebut dapat diketahui. Seperti apapun kebutuhan politis untuk
memegang posisi dan betapapun kelayakan untuk mencoba mendefinisikan the
other sebagai subjek, pengetahuan sengaja dibuat dan didukung oleh perbedaaan
yang tidak dapat direduksi (Gamble, 2004: 73). Walaupun pembentukan ontologis
atas persoalan gender telah diklaim untuk alasan politis, asumsi dasar tentang
identitas akan mengasingkan subjektifitas pada determinisme biologis, sehingga
dalam suatu kelompok tidak akan ditemukan suatu perbedaan lagi.
Gayatri Chakravorty Spivak, salah satu tokoh poskolonial yang
menekankan pemikirannya pada isu-isu perbedaan, nasionalitas, etnisitas dan
5
bahkan subkultur menganggap bahwa perempuan tetaplah berbeda, sehingga
untuk menteorikan gerakan perempuan haruslah berbeda (Brooks, 1997:140).
Gagasan Spivak tersebut sangatlah menarik jika dianalisis kembali dengan
mengacu pada persoalan yang ada pada gerakan feminisme Barat. Penulis tertarik
untuk melihat bagaimana konsep identitas perempuan yang dipahami Gayatri
Chakravorty Spivak sejalan dengan alur pikirnya yang menengahi berbagai isu-isu
yang telah dipaparkan. Penulis ingin melihat identitas perempuan secara
menyeluruh dan dapat dikembalikan pada segala entitas yang melekat pada diri
perempuan. Perempuan tidak boleh diambil sebagai objek analisis baik dari laki-
laki maupun dari gerakan perempuan. Persoalan identitas yang ada dalam
diskursus feminisme harus dikembalikan pada pokok persoalan yang diajukan,
bentuk konstruksi apa yang diterapkan dalam perempuan? Dari mana datangnya?
Dan siapa yang berbicara? Sehingga tawaran yang akan diberikan dalam
penelitian ini adalah pemahaman menyeluruh tentang bagaimana seharusnya
memahami identitas perempuan dalam kondisi, situasi, dan wilayah yang berbeda.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, maka
rumusan masalah yang muncul adalah sebagai berikut:
a. Apa identitas perempuan dipahami dalam Feminisme Poskolonial?
b. Apa pokok pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak ?
c. Apa hakikat identitas perempuan menurut Gayatri Chakravorty Spivak?
6
2. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan peneliti, kajian tentang konsep
identitas perempuan Gayatri Chakravorty Spivak dalam lingkup Fakultas Filsafat
UGM belum ada, namun di luar dari lingkup tersebut telah ditemukan berbagai
kajian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini, diantaranya adalah:
a. Abby Gina Boangmanalu, 2012. “Identitas Perempuan: Siapakah yang
Memberi? Sebuah Analisa Kritik atas Identitas Gender”. Skripsi Fakultas
Ilmu Budaya program studi Ilmu Filsafat Universitas Indonesia Jakarta.
Skripsi ini membahas identitas perempuan dari analisis gender.
b. Yogie Pranowo. 2013. “Identitas Perempuan dalam Budaya Patriarkis:
Sebuah Kajian Tentang Feminisme Eksistensialis Nawal El Sadawi dalam
Novel “Perempuan di Titik Nol”. Jurnal Melintas. Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara. Jurnal ini membahas tentang identitas perempuan secara
eksistensial.
c. Manneke Budiman. 2016. “Identitas Perempuan dan Globalisasi Beberapa
Catatan”. Artikel dari Academia.edu oleh Pengajar Ilmu Budaya Universitas
Indonesia Jakarta. Artikel ini membahas identitas perempuan dalam arus
globalisasi.
d. Nur Khoirun & Ari Ujianto. 2010. “Identitas Perempuan Indonesia, Status,
Pergeseran Relasi Gender, dan perjuangan Ekonomi Politik”. Buku kumpulan
call for papers dari Desantara. Buku ini memuat penelitian mengeni isu-isu
perempuan di tengah multikulturalisme global.
7
e. Asep Deni Saputra. 2011. “Perempuan Subaltern Dalam Karya Sastra
Indonesia Poskolonial”. Jurnal Literasi Ilmu Humaniora Universitas Negeri
Jember. Jurnal ini membahas posisi perempuan dalam kajian sastra. Tokoh
yang diangkat adalah Gayatri Chakravorty Spivak.
f. Raisa Kamila. 2015. “Pendekatan Filsafat Sejarah Dalam Kajian Subaltern
Studies Group”. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Skripsi ini membahas sejarah Subaltern Studies Group, kaitanya
dengan Gayatri Chakravorty Spivak.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, belum
ditemukan pembahasan secara sistematis menganai pemikiran Gayatri
Chakravorty Spivak, terutama tentang konsep identitas perempuan Gayatri
Chakravorty Spivak.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat diantaranya
adalah:
a. Bagi Ilmu filsafat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah variasi kajian ilmu khusus dalam
filsafat yaitu feminisme. Rangkaian pembahasan feminisme dan poskolonial
dapat menjadi pemahaman baru tentang identitas perempuan dalam wilayah
yang berbeda.
b. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dorongan terciptanya pemahaman
yang lebih mendalam atas persoalan identitas perempuan yang selama ini ada
8
dalam masyarakat. Khususnya, dalam wilayah bekas jajahan, sehingga
masyarakat tidak mudah menjustifikasi identitas perempuan tanpa melihat
kondisi yang melingkupinya.
c. Bagi peneliti
Selain sebagai prasyarat kelulusan, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pembelajaran terhadap upaya memahami identitas perempuan
secara menyeluruh.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
a. Menguraikan secara keseluruhan pemahaman identitas perempuan yang
dipahami dalam Feminisme Poskolonial
b. Menjelaskan alur pikir Gayatri Chakravorty Spivak, sehingga mampu
memberikan gambaran utuh tentang pokok pemikiran Gayatri Chakravorty
Spivak.
c. Upaya reflektif untuk mendapatkan pemahaman baru tentang identitas
perempuan menurut Gayatri Chakravorty Spivak.
C. Tinjauan Pustaka
Perihal identitas memang telah lama menjadi perdebatan panjang.
Seringkali identitas lekat dengan bentuk konstruksi sosial yang diproduksi melalui
interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Reid dan Whitehead (1992: 2)
mendefinisikan konstruksi sosial merupakan suatu konstruksi kognitif dan
simbolik yang membantu individu untuk mengembangkan kesadaran diri dan citra
9
diri sebagai identitas dalam masyarakat baik dari segi biologis, psikologis maupun
sosiologis.
Berdasarkan sisi biologis, Abby Gina dalam tulisanya Identitas
perempuan: siapakah yang memberi? Sebuah analisa kritik atas identitas gender,
mengemukakan bahwa, identitas perempuan seringkali bersumber hanya dari
pemaknaan atas tubuhnya. Gina mengutip esai Freud (1912: 189) “ on the
universal tendency to debasement in the sphere of love”, bahwa anatomi adalah
takdir. Hal ini dimaksudkan bahwa pembentukan identitas manusia ditentukan
oleh kerangka fisik perempuan dan laki-laki yang mengarah pada keadaan
biologis yang menyertai kelahiran umat manusia. Perbedaaan Psyhe perempuan
dan laki-laki mengarahkan pada bentuk subordinasi pada perempuan. Tahapan
oedipal dan kompleks oedipus mejadi landasan pembentukan identitas yang
berhubungan dengan tahap pengembangan personalitas pada setiap jenis kelamin.
Hal tersebut berimplikasi pada pemahaman atas pengertian seks dan gender secara
universal. Sex menjadi salah satu kategori identitas yang dilabelkan pada manusia
atau individu berdasarkan jenis kelamin. Seks merupakan pengkategorian individu
berdasarkan fungsi reproduksinya, sedangkan identitas gender merupakan bentuk
pemaknaan identitas perempuan melalui kategori label sifat maskulin atau
feminin.
Gina menjelaskan bahwa determinisme biologis merupakan landasan
untuk memaknai dan menguniversalkaan perempuan. Perempuan dipandang
sebagai pemaknaan pra-kultural, sehingga ketika pemaknaan sudah dibatasi oleh
ruang-ruang kebebasan dan refleksi diri, maka hal tersebut menjadikan perempuan
10
sebagai subjek yang telah direduksi. Oleh karena itu, identitas sex dan gender
merupakan pemaknaan yang dihasilkan oleh diskursus. Sex dan gender tidak lagi
bersifat stabil melainkan instabil (Gina, 2012: 16).
Berdasarkan sisi Sosiologis, identitas membutuhkan sebuah rekognisi.
Rekognisi adalah kondisi dimana keberadaan seseorang butuh diakui, diterima,
dan diberi ruang untuk berekspresi. Persoalan yang muncul mengarah pada
batasan-batasan yang sifatnya mengikat, mereduksi, dan memarginalkan. Pranowo
dalam tulisanya identitas perempuan dalam budaya patriarkis: sebuah kajian
tentang feminisme eksistensialis Nawal El Sadawi dalam novel “perempuan di
titik nol” mengungkapkan bahwa pereduksian atas identitas mengarahkan
perempuan pada ketidakadilan dalam budaya patriarkis. Perempuan diciptakan
menjadi “jenis kelamin kedua” yang mengarah pada kategorisasi perempuan dan
laki-laki. Kata kedua merujuk pada sebuah tingkatan, yakni setelah pertama.
Nomor dua melingkupi makna inferior, imanen, dan tidak esensial, sedangkan
nomer satu berarti sebaliknya. Makna tersebut menjadi sebuah ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarkis (Pranowo, 2013: 67).
Asumsi Pranowo mengarah pada pandangan Beauvoir dalam the
secound sex yang mempertanyakan “apa itu perempuan?”. Proyeksi pemaknaan
perempuan merupakan pemaknaan yang sudah ada, kaku, dan dianggap sudah
final pada masa tertentu (Beauvoir, 2003: 295). Persoalan pemaknaan atas
perempuan dibangun dengan mengabaikan pengalaman dan otoritas perempuan
sebagai subjek yang otonom. Pemaknaan atas identitas perempuan berasal dari
sumber kedua atau dari pandangan orang lain, sehingga pemaknaan diri
11
perempuan merujuk pada pelabelan masyarakat terhadap perempuan sebagai
realitas yang tertutup. Dengan demikian, perempuan telah terdeterminasi secara
makna.
Tradisi yang mendiskriminasi dan mensuborinasi identitas perempuan
menciptakan intersubjektifitas yang mengarah pada pemaknaan di luar diri.
Menurut Beauvoir, relasi kesadaran subjek-objek sebagai fondasi ontologis dan
basis dari banyaknya situasi sosial menciptakan penindasan intersubjektif secara
kolektif dan selalu memistifikasi (mystify), artinya pihak yang tertindas tidak
merasa ditindas dan menganggap apa yang terjadi adalah sewajarnya dan perlu
diterima. Beauvoir menganggap bahwa subjek secara intrinsik adalah
intersubjektif, maka sebenarnya kesadaran adalah hasil dari produk situasi, dengan
demikian, situasi tersebut memaksa subjek untuk menerima penindasan (Arivia,
2010: 6)
Beauvoir mengemukakan bahwa setidaknya ada berbagai institusi yang
saling melengkapi dalam menciptakan dunia perempuan sebagai dunia yang sudah
pasti, statis, dan tidak dapat dirubah, yaitu keluarga, pendidikan, hukum, dan
lembaga perkawinan yang akan menginternalisasikan nilai-nilai perempuan
sebagai objek (Beauvoir, 1974: 335). Pranowo menjelaskan bahwa dalam budaya
patriarkis, kehidupan ekonomi, sosial, dan politik perempuan sebagai kelas dua
tidak hanya dibatasi melainkan tidak diakui. Perempuan hanya hidup untuk
menunjang kehidupan ekonomi, sosial, dan politik laki-laki (Pranowo, 2013: 71)
Manekke Budiman mengistilahkan sebuah konstruksi identitas
perempuan sebagai air bah bermacam-macam “benda asing” dari luar yang
12
memporak-porandakan kesadaran dan membuatnya mustahil bahkan untuk dapat
dipersepsikan secara utuh (Budiman, 2016: 2). Hal ini diperkuat adanya asumsi
Ernesto dalam Du Gay (1997) bahwa Identitas perempuan bergantung pada sektor
lain yang memberinya kemungkinan untuk mengada (Gay, 1997: 289). Budiman
menyatakan bahwa identitas perempuan mengalami perubahan. Perempuan
memainkan peranan yang oleh Michele Mattelart (1986) disebut dengan invisible
work yaitu peranan sebagai support economy yang memungkinkan seluruh
aktifitas lainnya terjadi. Oleh karena itu, segala hal yang dilakukan perempuan
dilegitimasi bukan sebagai kerja melainkan kewajiban alami yang terkait dengan
kodrat perempuan.
Secara garis besar identitas perempuan sudah banyak dibahas. Landasan
identitas sebagai sebuah konstruksi nyata dari bentuk opresi sosial kultural telah
banyak mengarahkan identitas perempuan dipahami dari sisi biologis. Bentuk
konstruksi mengarah pada keadaan jenis kelamin (sexualitas) yang digenderkan,
sehingga menimbulkan berbagai persoalan identitas yang memuat suatu hegemoni
dan penindasan terhadap perempuan yang lainya. Penelitian ini akan fokus pada
pokok pembahasan identitas perempuan yang ada dalam pembahasan Feminisme
Poskolonial. Lebih spesifik, peneliti akan mengakaji pemikiran Gayatri
Chakravorty Spivak dalam menemukan singularitas pemikiran identitas
perempuan, sehingga perbedaan penelitian sebelumnya dan penelitian ini akan
berbeda dalam konteks historisnya.
13
D. Landasan Teori
Kerangka teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah feminisme
dan poskolonial. Feminisme merupakan suatu kajian sekaligus metodologi dan
juga merupakan suatu gerakan (Lubis, 2015: 96). Dengan demikian, pengertian
tentang feminisme dapat berubah sesuai dengan realitas yang berubah-ubah,
karena feminisme berdasarkan realitas kultural dan realitas sejarah yang kongkret
maupun atas tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan (Bhasin, 1993:
4).
Feminisme juga dipahami sebagai suatu entitas yang memiliki realitas
sosial, modal, kuasa, dan sistem yang merupakan definisi sosial. Menurut Aziz
(2007, 49) Kategori feminisme sebagai gerakan sosial adalah untuk memunculkan
berbagai solusi dan persentuhan sosial antara perempuan dari berbagai realitas
lain dengan tujuan:
1. Menyediakan informasi dan analisis (penelitian tentang kehidupan kaum
perempuan
2. Mengupayakan perubahan sosial serta menghilangkan ketidak setaraan
gender dan subordinasi kaum perempuan
3. Menjadikan diri sebagai sebuah bentuk kritik terhadap ilmu pengetahuan
yang telah ada
4. Memperlihatkan bagaimana prespektif kaum perempuan tentang ilmu
pengetahuan yang belum terlihat dalam ilmu pengetahuan sebelumnya (Lubis,
2015: 96)
14
Tujuan-tujuan ini tidak lain sebagai gambaran bahwa perempuan
mengalami konstruksi sosial dalam hal gender atau dapat disebut sebagai
ketidakadilan gender yang mengarahkan pada:
1. Terjadinya marginalisasi terhadap kaum perempuan
2. Terjadinya kekerasan simbolik dan non simbolik pada perempuan
3. Timbulnya pengabaian terhadap masalah suara-suara perempuan
4. Timbulnya stereotype yang timpang terhadap perempuan
5. Perempuan ditempatkan pada subordinat.
Tujuan feminisme tersebut senada dengan poskolonial yang lahir untuk
menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok-kelompok
marjinal. Menurut Blauner (1972) kolonialisme dapat diterapkan melalui tiga
bentuk yaitu:
1. Kolonialisasi dalam bentuk masuknya satu kelompok dominan yang
kemudian mensubordinasi kelompok lain
2. Kolonialisme dalam bentuk penghancuran faktor-faktor kultural bagi bangsa
lain
3. Kolonialisasi dalam bentuk penataan suatu sistem ekonomi dan sosial
berdasarkan atas hak istimewa kaum kolonialis atau bangsa penjajah.
Poskolonial dimengerti sebagai sebuah kajian tentang dampak
kolonialisme yang menindas kaum minoritas. Poskolonial mempunyai keinginan
untuk membongkar kembali wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam
memetakan politik dan kekuasaan (Lubis, 2015: 129). Poskolonial diilhami oleh
ide Ferdinand de Saussure tentang oposisi biner. Oposisi biner telah membagi
15
dunia dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik atau lebih
buruk dari yang lain. Keduanya akan menjadikan terjadinya dualitas masyarakat
atau pemahaman yang saling menindas sehingga muncullah apa yang disebut
primordialisasi dan sektarianisasi kelompok. Primordialisasi merujuk pada
perasaan kesukuan yang berlebihan dengan artian bahwa beberapa masyarakat
masih menganalisis permasalahan yang dihadapi dari sudut dan nilai ajaran lain.
Sektaranisasi merujuk pada semangat membela suatu sekte atau pandangan lain
dengan tanpa tindak kritis, antikomunikasi, untuk itu oposisi tersebut lambat laun
terproduksi menjadi mitos dan kebenaran yang disembah mati-matian (KBBI).
Pembahasan tentang poskolonial salah satunya berfokus pada feminisme
dan gender. Feminimisme dan gender menjadi topik penting dalam teori
poskolonial karena baik patriarki dan imperialisme dilihat sebagai analogi
hubungan dominasi terhadap pihak yang disubordinasikan. Perdebatan dalam
beberapa masyarakat bekas kolonial tentang persoalan perbedaan gender dan
tekanan kolonial dalam kehidupan perempuan dianggap sebagai satuan universal
(Sutrisno, 2004: 125).
Assesing gendered nature of colonialism and its influence on present day
forms of thinking and behaviour and second, on the worldly focus which
forces an interrogation of the nature of ‘women”and “universal”
statements about what women what. (Jackson, 1998:98)
Feminisme mengangkat persoalan perempuan yang sering diabaikan
karena persoalan kolonial. Poskolonial menempatkan persoalan perempuan dalam
sebuah bentuk kolonialisme. Pengertian kolonialisme berasal dari bahasa latin
yakni colonia yang mengandung makna “tanah pertanian” atau “pemukiman”
(Putranto, 2008: 16). Pada awalnya istilah kolonialisme mengacu pada orang-
16
orang Romawi yang tinggal di negeri lain, namun tetap berstatus sebagai warga
negara Romawi. Pada perkembangannya istilah kolonialisme mengarah pada
konsep penaklukan dan penguasaan karena sebab hubungan antara penduduk
pendatang dan penduduk asli yang menimbulkan berbagai persoalan, seperti
penjarahan, perang, pembunuhan masal, perbudakan, dan pemberontakan. Hal
inilah yang kemudian menjadikan istilah kolonialisme menjadi sebuah konsep
penaklukan atau penguasaan atas tanah dan harta oleh penduduk pendatang
terhadap penduduk asli (Lubis, 2015: 127).
Feminisme dan poskolonial menjadi sebuah kritik dari bentuk
kolonialisme yang beroperasi dengan cara yang berbeda terhadap laki- laki dan
perempuan. Perempuan dipandang mengalami kolonialisasi ganda baik oleh
ideologi imperial dan patriarkal yang menganggap keberadaan perempuan sebagai
pihak yang dikuasai dan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam budaya
patriarki. Peran dan identitas perempuan cenderung direduksi pada tubuh
seksualitas dan fungsi reproduksi masyarakat yang patriarkis (Sutrisno, 2004: 10).
Akhirnya, wacana feminis dan poskolonial sama-sama berupaya
mengembalikan posisi perempuan yang selama ini telah termajinalkan oleh pihak
dominan. Teori feminis menekankan perlunya praktik-praktik deskonstruksi dan
politik untuk berjalan bersama. Hubungan antara poskolonial dan feminis dapat
menjadi suatu sintesis. Dialong antar kedunya telah mendapatkan momentum
yang lebih kritis secara teoritis. Dengan kata lain, persatuan antara keduanya dapat
memasuki berbagai isu tentang gender, budaya, etnisitas, identitas, dan perbedaan.
(Lewis dan Mitts, 2003 : 2).
17
Situasi perempuan Dunia Ketiga dalam kerangka kekuasaan kolonial
tidak dapat dihomogenkan, artinya yang disebut sebagai perempuan Dunia Ketiga
itu bermacam- macam. Penolakan akan universalitas pengalaman mengarahkan
pada situasi politik identitas dimana fokus perhatianya pada perbedaan
(difference) sebagai satu kategori utama. Perbedaan-perbedaan tersebut di
dasarkan atas asumsi fisik tubuh, seperti persoalan politik yang dimunculkan
akibat problematika gender, feminisme, maskulinisme, dan persoalan etnis yang
bedaasrkan perbedaan fisik dan kerangka fisiologis (Abdillah, 2002: 22)
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang mengacu pada
sumber kepustakaan sebagai bahan untuk menemukan pengertian, konsep, dan
ciri-ciri yang melekat pada subjek penelitian. Model penelitian ini adalah historis
faktual tokoh, dengan kata lain penelitian ini akan memahami satu singularitas
dalam generalitas pemikiran tokoh Gayatri Chakravorty Spivak. Singularitas
pemikiran tersebut adalah tentang identitas perempuan (Bakker & Zubair, 2013:
60-62). Objek material yang diteliti adalah pemikiran Gayatri Chakravorty
Spivak, sedangkan objek formal-nya adalah Feminisme Poskolonial tentang
identitas.
2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil penelusuran
peneliti yang selanjutnya diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu pustaka
pustaka primer dan pustaka sekunder.
18
a. Pustaka Primer
Bahan yang digunakan sebagai pustaka primer adalah buku-buku atau
karya-karya Gayatri Chakravorty Spivak yang berkaitan dengan identitas
perempuan adalah:
1. Gayatri Chakravorty Spivak. 1985. Three Woman Text And Critique Of
Imperialism, Critical Inquery.
2. Gayatri Chakravorty Spivak. 1987: In other worlds: essay in cultural politics.
London: Methuen
3. Gayatri Chakravorty Spivak. 1988. Can The subatern speak? dalam Marxism
and the Interpretation of culture. London: Rouledge
4. Gayatri Chakravorty Spivak. 1990. The Postcolonial Critic, Interviews,
Strategies, Dialogues. London: Rouledge
5. Gayatri Chakravorty Spivak. 1993. Outside in the Machine. London:
Rouledge
6. Gayatri Chakravorty Spivak. 1999. A Critique Of Postcolonial Reason.
London: Harvard University Prees
b. Pustaka Sekunder
Pustaka sekunder adalah buku-buku, jurnal maupun artikel yang terkait
dengan penelitian ini baik dari segi formal maupun material.
3. Jalan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti beberapa tahapan:
a. Inventarisasi data: pengumpulan data dilakukan dengan mengumpukan
referensi pustaka yang terkait dengan penelitian, baik formal maupun material.
19
b. Klasifikasi data: referensi pustaka yang telah diperoleh akan diidentifikasikan
dan dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder.
c. Pengolahan dan sistematisasi data: data yang diperoleh dari pustaka diolah
dan disistematisasikan berdasarkan kerangka berpikir.
d. Analisis hasil: pengolahan data menggunakan langkah-langkah metodis
filsafat, sehingga memenuhi syarat sebagai penelitian filsafat. Setelah data
diolah, kemudian akan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah
disusun.
4. Analisis Hasil
Penelitian ini akan dianalisi dengan menggunakan unsur metodis sebagai
berikut (Bakker, 1990:110-113):
a. Deskripsi
Berdasarkan bahan-bahan yang telah diperoleh akan dilakukan perumusan
tentang pokok pembahasan identitas perempuan dalam Feminisme Poskolonial,
sehingga pokok pembahasan tersebut akan menjadi titik tolak dalam membahas
identitas perempuan Gayatri Chakravorty Spivak.
b. Kesinambungan Historis
Pembahasan tentang identitas perempuan dalam diskursus feminisme akan
dilihat sebagai suatu sudut pandang perkembangan sejarah dalam memahami
identitas perempuan, selain itu pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak juga
akan dianalisis berdasarkan perkembangan historisnya baik dari sisi kultural
yang membentuk pandangannya maupun relasinya dengan tokoh-tokoh yang
lain.
20
c. Interpretasi
Unsur metodis ini dilakukan dengan cara menerangkan, mengungkapakan, dan
menerjemahkan berbagai pokok pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak.
Peneliti juga berusaha masuk dalam horizon pemikiran Spivak agar
mendapatkan pemahaman tentang identitas perempuan menurut Gayatri
Chakravorty Spivak.
d. Refleksi
Upaya reflektif atas seluruh pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak yang
terkait dalam pembahasan feminisme dan poskolonial, sehingga upaya tersebut
akan memberikan pemahaman reflektif atas identitas perempuan yang
dipahami Gayatri Chakravorty Spivak.
F. Hasil yang dicapai
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan
masalah hingga tercapai keadaan sebagai berikut:
1. Memperoleh penjelasan tentang identitas perempuan yang dipahami dalam
wacana Feminisme Poskolonial
2. Memperoleh deskripsi tentang pokok pemikiran Gayatri Chakravorty
Spivak.
3. Memperoleh gambaran menyeluruh tentang konsep identitas perempuan
menurut Gayatri Chakravorty Spivak.
21
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian,
rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian, tujuan, dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan
dicapai dan sistematika penulisan.
BAB II berisi tentang konsepsi subjek dalam pembentukan identitas,
sejarah pembentukan identitas perempuan dalam feminisme, pemahaman identitas
perempuan dalam Feminisme Poskolonial yang meliputi pokok-pokok kajian dan
ruang lingkupnya.
BAB III berisi biografi intelektual singkat Gayatri Chakravorty Spivak,
latar belakang, serta pemaparan umum tentang corak pemikiran Gayatri
Chakravorty Spivak yang menyangkut pembahasan tentang pemusatan pada
wacana dominan dan keberpihakan pada yang kalah.
BAB IV Analisa tentang pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak yang
mengarah pada identitas perempuan yang dapat dilihat dari subjektifitas
perempuan subaltern, serta strategi yang digunakana dalam feminisme
transnasional.
BAB V memuat kesimpulan dan saran penelitian.