BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menjadi perempuan bukanlah persoalan yang mudah. Kehidupan perempuan selalu dihadapkan pada realitas sosial yang membentuk identitasnya. Identitas diartikan Given (2008: 415) sebagai ciri yang melekat pada diri individu yang memuat dimensi individual dan dimensi sosial. Hal ini dimaksudkan bahwa, identitas merupakan suatu label yang diberikan orang lain terhadap individu dalam suatu kelompok. Identitas diproduksi oleh konteks sosial sebagai asumsi dasar tentang sifat manusia, kepribadian, dan individu. The identity that individuals adopt in order to define himselves are produced the cultural and social context in which we find ourselves and from which we draw certain assumptions about human nature, individuality, and the self (Giles, 2008: 30) Identitas juga dapat diartikan sebagai bentuk konstruksi sosial. Berbagai faktor dapat mempengaruhi konstruksi identitas, seperti halnya sejarah, agama, dan kekuasaan politik yang memberikan gambaran utuh tentang identitas individu dalam lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu. Hal ini juga berkaitan dengan identitas perempuan yang selalu dikonstruksikan dari berbagai pihak, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga dapat memunculkan persoalan yang berkaitan dengan hak, kebebasan, peran, kedudukan, dan statusnya sebagai perempuan. Berdasarkan konsep modern, perempuan menjadi subjek yang berlawanan dengan laki-laki. Menurut Imaniar (2009: 9) subjek berada dalam

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjadi perempuan bukanlah persoalan yang mudah. Kehidupan

perempuan selalu dihadapkan pada realitas sosial yang membentuk identitasnya.

Identitas diartikan Given (2008: 415) sebagai ciri yang melekat pada diri individu

yang memuat dimensi individual dan dimensi sosial. Hal ini dimaksudkan bahwa,

identitas merupakan suatu label yang diberikan orang lain terhadap individu

dalam suatu kelompok. Identitas diproduksi oleh konteks sosial sebagai asumsi

dasar tentang sifat manusia, kepribadian, dan individu.

The identity that individuals adopt in order to define himselves are

produced the cultural and social context in which we find ourselves and

from which we draw certain assumptions about human nature,

individuality, and the self (Giles, 2008: 30)

Identitas juga dapat diartikan sebagai bentuk konstruksi sosial. Berbagai

faktor dapat mempengaruhi konstruksi identitas, seperti halnya sejarah, agama,

dan kekuasaan politik yang memberikan gambaran utuh tentang identitas individu

dalam lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu. Hal ini juga berkaitan

dengan identitas perempuan yang selalu dikonstruksikan dari berbagai pihak, baik

laki-laki maupun perempuan, sehingga dapat memunculkan persoalan yang

berkaitan dengan hak, kebebasan, peran, kedudukan, dan statusnya sebagai

perempuan.

Berdasarkan konsep modern, perempuan menjadi subjek yang

berlawanan dengan laki-laki. Menurut Imaniar (2009: 9) subjek berada dalam

2

etika promethean yang tunduk pada alam, sehingga manusia dapat mengalami

perubahan dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya. Istilah promethean

mengacu pada gagasan modern yang menandai masyarakatnya secara rasional,

dengan mengganti pembicaraan tentang mitos ke logos. Subjek promethean

dianggap dapat menguasai alam dan hubungannya selalu berlawanan dengan yang

lain (the other). Menurut Beauvoir the other merupakan subjek perempuan yang

eksistensinya tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, sehingga posisinya lebih

inferior dari pada laki-laki (Tong, 1998: 269).

Asumsi perempuan sebagai the other ditunjukkan ketika perempuan

dianggap tidak memiliki rasio dan dibatasi aksesnya terhadap hak politik di ruang

publik, sehingga menyebabkan munculnya gerakan perempuan untuk kesetaraan

hak yaitu feminisme. Feminisme muncul pertama kali di Eropa, dan dicetuskan

oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Banyak hal yang

diperjuangkan gerakan feminisme, seperti hak atas perlindungan perempuan dari

kekerasan rumah-tangga, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan persamaan hak

perempuan dalam bidang pekerjaan (Gamble, 2004: 3). Pencetus ide dan

pemikiran-pemikiran tersebut sebagian besar adalah perempuan-perempuan kelas

menengah Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat.

Marry Wollstonecraft, seorang perempuan yang telah berhasil

mengguncang dunia lewat bukunya The Vindication of the Right of Woman pada

1972 dengan lantang menyuarakan perbaikan kedudukan perempuan dan menolak

perbedaan derajat antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan dibentuk

feminisme untuk merepresentasikan dirinya sendiri agar setara dengan laki-laki.

3

Pemahaman perempuan atas representasi diri tersebut, menimbulkan berbagai

persoalan, di antaranya adalah ketika feminisme telah berkembang pesat dengan

membangun politik universal sisterhood, atau dapat dikatakan bahwa feminisme

dapat merepresentasikan semua perempuan. Identitas yang dilihat sama secara

esensial, mengakibatkan penindasan terhadap perempuan semakin kompleks.

Konsep universalisme memasukkan perempuan Dunia Ketiga dalam konteks all

woman. Perempuan Dunia Ketiga menjadi objek analisis tanpa melihat sejarah

kolonialis, rasisme, dan relasi sosial.

Priviledge feminists have largely been unable to speak to, with and for,

diverse group of women because they either do not understand fully the

inter-relatedness of sex, race, and class oppression or refuse to take this

interrelatedness seriously (Hooks, 1982: 87)

Perempuan Dunia Ketiga dianggap terbelakang dan tidak beradab,

sehingga perlu mendapatkan pendidikan Barat. Perempuan Dunia Ketiga menjadi

kelompok marjinal yang tidak diperhitungkan sebagai subjek dan tidak diberi

ruang bicara. Hal tersebut menimbulkan epistemic violence dimana terdapat

kekerasan ketika kelompok politik tertentu memaksakan kerangka pikirnya

kepada kelompok yang lebih lemah.

Between patriarchy and imperialism, subject-constitution and object-

formation, the figure of the woman disappears, not into a pristine

nothingness, but a violent shuttling which is the displaced figuration of

the “third world” woman” caught between tradition and modernisation

(Gandhi, 2006: 474).

Akibat dari penekanan secara esensial seperti yang ditekankan gerakan

feminisme tersebut menciptakan penindasan terus menerus bagi perempuan yang

berada di pinggiran masyarakat. Pencapaian untuk membebaskan perempuan dari

ketertindasan tidak mungkin tercapai di antara perempuan, sehingga asumsi

4

perempuan sebagai universal secara esensial menindas partikulasi dan

mengkategorikan perempuan. Identitas anggota menjadi tereduksi oleh identitas

kelompok. Setiap anggota berusaha menanggalkan identitasnya terlebih dahulu

ketika di dalam satu gerakan. Di sinilah terjadi politik representasi dimana

perempuan lain berusaha diwakili dan relasi dengan the other dianggap secara

general dapat dipasangkan, diasumsikan, kemudian diabstraksikan, dan

diimajinasikan. Pada akhirnya, perempuan yang lain the other terjebak pada

subaltern yang tidak memiliki politik agensi. Istilah subaltern sendiri mengacu

pada gagasan Gramsci dalam memaknai “subordinat” secara bergantian dengan

“Instrumental” untuk mendeskripsikan kelompok atau kelas yang non-hegemonik

(Gramsci, 1971: xiv).

Posisi dimana hanya kaum pinggiran yang mengerti kaum pinggiran,

hanya perempuan yang mengerti perempuan dan sebaliknya, tidak dapat juga

dibentuk menjadi presuposisi teoritis, karena hal ini berarti mengakui bahwa

identitas tersebut dapat diketahui. Seperti apapun kebutuhan politis untuk

memegang posisi dan betapapun kelayakan untuk mencoba mendefinisikan the

other sebagai subjek, pengetahuan sengaja dibuat dan didukung oleh perbedaaan

yang tidak dapat direduksi (Gamble, 2004: 73). Walaupun pembentukan ontologis

atas persoalan gender telah diklaim untuk alasan politis, asumsi dasar tentang

identitas akan mengasingkan subjektifitas pada determinisme biologis, sehingga

dalam suatu kelompok tidak akan ditemukan suatu perbedaan lagi.

Gayatri Chakravorty Spivak, salah satu tokoh poskolonial yang

menekankan pemikirannya pada isu-isu perbedaan, nasionalitas, etnisitas dan

5

bahkan subkultur menganggap bahwa perempuan tetaplah berbeda, sehingga

untuk menteorikan gerakan perempuan haruslah berbeda (Brooks, 1997:140).

Gagasan Spivak tersebut sangatlah menarik jika dianalisis kembali dengan

mengacu pada persoalan yang ada pada gerakan feminisme Barat. Penulis tertarik

untuk melihat bagaimana konsep identitas perempuan yang dipahami Gayatri

Chakravorty Spivak sejalan dengan alur pikirnya yang menengahi berbagai isu-isu

yang telah dipaparkan. Penulis ingin melihat identitas perempuan secara

menyeluruh dan dapat dikembalikan pada segala entitas yang melekat pada diri

perempuan. Perempuan tidak boleh diambil sebagai objek analisis baik dari laki-

laki maupun dari gerakan perempuan. Persoalan identitas yang ada dalam

diskursus feminisme harus dikembalikan pada pokok persoalan yang diajukan,

bentuk konstruksi apa yang diterapkan dalam perempuan? Dari mana datangnya?

Dan siapa yang berbicara? Sehingga tawaran yang akan diberikan dalam

penelitian ini adalah pemahaman menyeluruh tentang bagaimana seharusnya

memahami identitas perempuan dalam kondisi, situasi, dan wilayah yang berbeda.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, maka

rumusan masalah yang muncul adalah sebagai berikut:

a. Apa identitas perempuan dipahami dalam Feminisme Poskolonial?

b. Apa pokok pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak ?

c. Apa hakikat identitas perempuan menurut Gayatri Chakravorty Spivak?

6

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran yang telah dilakukan peneliti, kajian tentang konsep

identitas perempuan Gayatri Chakravorty Spivak dalam lingkup Fakultas Filsafat

UGM belum ada, namun di luar dari lingkup tersebut telah ditemukan berbagai

kajian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini, diantaranya adalah:

a. Abby Gina Boangmanalu, 2012. “Identitas Perempuan: Siapakah yang

Memberi? Sebuah Analisa Kritik atas Identitas Gender”. Skripsi Fakultas

Ilmu Budaya program studi Ilmu Filsafat Universitas Indonesia Jakarta.

Skripsi ini membahas identitas perempuan dari analisis gender.

b. Yogie Pranowo. 2013. “Identitas Perempuan dalam Budaya Patriarkis:

Sebuah Kajian Tentang Feminisme Eksistensialis Nawal El Sadawi dalam

Novel “Perempuan di Titik Nol”. Jurnal Melintas. Sekolah Tinggi Filsafat

Driyarkara. Jurnal ini membahas tentang identitas perempuan secara

eksistensial.

c. Manneke Budiman. 2016. “Identitas Perempuan dan Globalisasi Beberapa

Catatan”. Artikel dari Academia.edu oleh Pengajar Ilmu Budaya Universitas

Indonesia Jakarta. Artikel ini membahas identitas perempuan dalam arus

globalisasi.

d. Nur Khoirun & Ari Ujianto. 2010. “Identitas Perempuan Indonesia, Status,

Pergeseran Relasi Gender, dan perjuangan Ekonomi Politik”. Buku kumpulan

call for papers dari Desantara. Buku ini memuat penelitian mengeni isu-isu

perempuan di tengah multikulturalisme global.

7

e. Asep Deni Saputra. 2011. “Perempuan Subaltern Dalam Karya Sastra

Indonesia Poskolonial”. Jurnal Literasi Ilmu Humaniora Universitas Negeri

Jember. Jurnal ini membahas posisi perempuan dalam kajian sastra. Tokoh

yang diangkat adalah Gayatri Chakravorty Spivak.

f. Raisa Kamila. 2015. “Pendekatan Filsafat Sejarah Dalam Kajian Subaltern

Studies Group”. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta. Skripsi ini membahas sejarah Subaltern Studies Group, kaitanya

dengan Gayatri Chakravorty Spivak.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, belum

ditemukan pembahasan secara sistematis menganai pemikiran Gayatri

Chakravorty Spivak, terutama tentang konsep identitas perempuan Gayatri

Chakravorty Spivak.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat diantaranya

adalah:

a. Bagi Ilmu filsafat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah variasi kajian ilmu khusus dalam

filsafat yaitu feminisme. Rangkaian pembahasan feminisme dan poskolonial

dapat menjadi pemahaman baru tentang identitas perempuan dalam wilayah

yang berbeda.

b. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dorongan terciptanya pemahaman

yang lebih mendalam atas persoalan identitas perempuan yang selama ini ada

8

dalam masyarakat. Khususnya, dalam wilayah bekas jajahan, sehingga

masyarakat tidak mudah menjustifikasi identitas perempuan tanpa melihat

kondisi yang melingkupinya.

c. Bagi peneliti

Selain sebagai prasyarat kelulusan, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pembelajaran terhadap upaya memahami identitas perempuan

secara menyeluruh.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan

dari penelitian ini adalah:

a. Menguraikan secara keseluruhan pemahaman identitas perempuan yang

dipahami dalam Feminisme Poskolonial

b. Menjelaskan alur pikir Gayatri Chakravorty Spivak, sehingga mampu

memberikan gambaran utuh tentang pokok pemikiran Gayatri Chakravorty

Spivak.

c. Upaya reflektif untuk mendapatkan pemahaman baru tentang identitas

perempuan menurut Gayatri Chakravorty Spivak.

C. Tinjauan Pustaka

Perihal identitas memang telah lama menjadi perdebatan panjang.

Seringkali identitas lekat dengan bentuk konstruksi sosial yang diproduksi melalui

interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Reid dan Whitehead (1992: 2)

mendefinisikan konstruksi sosial merupakan suatu konstruksi kognitif dan

simbolik yang membantu individu untuk mengembangkan kesadaran diri dan citra

9

diri sebagai identitas dalam masyarakat baik dari segi biologis, psikologis maupun

sosiologis.

Berdasarkan sisi biologis, Abby Gina dalam tulisanya Identitas

perempuan: siapakah yang memberi? Sebuah analisa kritik atas identitas gender,

mengemukakan bahwa, identitas perempuan seringkali bersumber hanya dari

pemaknaan atas tubuhnya. Gina mengutip esai Freud (1912: 189) “ on the

universal tendency to debasement in the sphere of love”, bahwa anatomi adalah

takdir. Hal ini dimaksudkan bahwa pembentukan identitas manusia ditentukan

oleh kerangka fisik perempuan dan laki-laki yang mengarah pada keadaan

biologis yang menyertai kelahiran umat manusia. Perbedaaan Psyhe perempuan

dan laki-laki mengarahkan pada bentuk subordinasi pada perempuan. Tahapan

oedipal dan kompleks oedipus mejadi landasan pembentukan identitas yang

berhubungan dengan tahap pengembangan personalitas pada setiap jenis kelamin.

Hal tersebut berimplikasi pada pemahaman atas pengertian seks dan gender secara

universal. Sex menjadi salah satu kategori identitas yang dilabelkan pada manusia

atau individu berdasarkan jenis kelamin. Seks merupakan pengkategorian individu

berdasarkan fungsi reproduksinya, sedangkan identitas gender merupakan bentuk

pemaknaan identitas perempuan melalui kategori label sifat maskulin atau

feminin.

Gina menjelaskan bahwa determinisme biologis merupakan landasan

untuk memaknai dan menguniversalkaan perempuan. Perempuan dipandang

sebagai pemaknaan pra-kultural, sehingga ketika pemaknaan sudah dibatasi oleh

ruang-ruang kebebasan dan refleksi diri, maka hal tersebut menjadikan perempuan

10

sebagai subjek yang telah direduksi. Oleh karena itu, identitas sex dan gender

merupakan pemaknaan yang dihasilkan oleh diskursus. Sex dan gender tidak lagi

bersifat stabil melainkan instabil (Gina, 2012: 16).

Berdasarkan sisi Sosiologis, identitas membutuhkan sebuah rekognisi.

Rekognisi adalah kondisi dimana keberadaan seseorang butuh diakui, diterima,

dan diberi ruang untuk berekspresi. Persoalan yang muncul mengarah pada

batasan-batasan yang sifatnya mengikat, mereduksi, dan memarginalkan. Pranowo

dalam tulisanya identitas perempuan dalam budaya patriarkis: sebuah kajian

tentang feminisme eksistensialis Nawal El Sadawi dalam novel “perempuan di

titik nol” mengungkapkan bahwa pereduksian atas identitas mengarahkan

perempuan pada ketidakadilan dalam budaya patriarkis. Perempuan diciptakan

menjadi “jenis kelamin kedua” yang mengarah pada kategorisasi perempuan dan

laki-laki. Kata kedua merujuk pada sebuah tingkatan, yakni setelah pertama.

Nomor dua melingkupi makna inferior, imanen, dan tidak esensial, sedangkan

nomer satu berarti sebaliknya. Makna tersebut menjadi sebuah ketidaksetaraan

antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarkis (Pranowo, 2013: 67).

Asumsi Pranowo mengarah pada pandangan Beauvoir dalam the

secound sex yang mempertanyakan “apa itu perempuan?”. Proyeksi pemaknaan

perempuan merupakan pemaknaan yang sudah ada, kaku, dan dianggap sudah

final pada masa tertentu (Beauvoir, 2003: 295). Persoalan pemaknaan atas

perempuan dibangun dengan mengabaikan pengalaman dan otoritas perempuan

sebagai subjek yang otonom. Pemaknaan atas identitas perempuan berasal dari

sumber kedua atau dari pandangan orang lain, sehingga pemaknaan diri

11

perempuan merujuk pada pelabelan masyarakat terhadap perempuan sebagai

realitas yang tertutup. Dengan demikian, perempuan telah terdeterminasi secara

makna.

Tradisi yang mendiskriminasi dan mensuborinasi identitas perempuan

menciptakan intersubjektifitas yang mengarah pada pemaknaan di luar diri.

Menurut Beauvoir, relasi kesadaran subjek-objek sebagai fondasi ontologis dan

basis dari banyaknya situasi sosial menciptakan penindasan intersubjektif secara

kolektif dan selalu memistifikasi (mystify), artinya pihak yang tertindas tidak

merasa ditindas dan menganggap apa yang terjadi adalah sewajarnya dan perlu

diterima. Beauvoir menganggap bahwa subjek secara intrinsik adalah

intersubjektif, maka sebenarnya kesadaran adalah hasil dari produk situasi, dengan

demikian, situasi tersebut memaksa subjek untuk menerima penindasan (Arivia,

2010: 6)

Beauvoir mengemukakan bahwa setidaknya ada berbagai institusi yang

saling melengkapi dalam menciptakan dunia perempuan sebagai dunia yang sudah

pasti, statis, dan tidak dapat dirubah, yaitu keluarga, pendidikan, hukum, dan

lembaga perkawinan yang akan menginternalisasikan nilai-nilai perempuan

sebagai objek (Beauvoir, 1974: 335). Pranowo menjelaskan bahwa dalam budaya

patriarkis, kehidupan ekonomi, sosial, dan politik perempuan sebagai kelas dua

tidak hanya dibatasi melainkan tidak diakui. Perempuan hanya hidup untuk

menunjang kehidupan ekonomi, sosial, dan politik laki-laki (Pranowo, 2013: 71)

Manekke Budiman mengistilahkan sebuah konstruksi identitas

perempuan sebagai air bah bermacam-macam “benda asing” dari luar yang

12

memporak-porandakan kesadaran dan membuatnya mustahil bahkan untuk dapat

dipersepsikan secara utuh (Budiman, 2016: 2). Hal ini diperkuat adanya asumsi

Ernesto dalam Du Gay (1997) bahwa Identitas perempuan bergantung pada sektor

lain yang memberinya kemungkinan untuk mengada (Gay, 1997: 289). Budiman

menyatakan bahwa identitas perempuan mengalami perubahan. Perempuan

memainkan peranan yang oleh Michele Mattelart (1986) disebut dengan invisible

work yaitu peranan sebagai support economy yang memungkinkan seluruh

aktifitas lainnya terjadi. Oleh karena itu, segala hal yang dilakukan perempuan

dilegitimasi bukan sebagai kerja melainkan kewajiban alami yang terkait dengan

kodrat perempuan.

Secara garis besar identitas perempuan sudah banyak dibahas. Landasan

identitas sebagai sebuah konstruksi nyata dari bentuk opresi sosial kultural telah

banyak mengarahkan identitas perempuan dipahami dari sisi biologis. Bentuk

konstruksi mengarah pada keadaan jenis kelamin (sexualitas) yang digenderkan,

sehingga menimbulkan berbagai persoalan identitas yang memuat suatu hegemoni

dan penindasan terhadap perempuan yang lainya. Penelitian ini akan fokus pada

pokok pembahasan identitas perempuan yang ada dalam pembahasan Feminisme

Poskolonial. Lebih spesifik, peneliti akan mengakaji pemikiran Gayatri

Chakravorty Spivak dalam menemukan singularitas pemikiran identitas

perempuan, sehingga perbedaan penelitian sebelumnya dan penelitian ini akan

berbeda dalam konteks historisnya.

13

D. Landasan Teori

Kerangka teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah feminisme

dan poskolonial. Feminisme merupakan suatu kajian sekaligus metodologi dan

juga merupakan suatu gerakan (Lubis, 2015: 96). Dengan demikian, pengertian

tentang feminisme dapat berubah sesuai dengan realitas yang berubah-ubah,

karena feminisme berdasarkan realitas kultural dan realitas sejarah yang kongkret

maupun atas tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan (Bhasin, 1993:

4).

Feminisme juga dipahami sebagai suatu entitas yang memiliki realitas

sosial, modal, kuasa, dan sistem yang merupakan definisi sosial. Menurut Aziz

(2007, 49) Kategori feminisme sebagai gerakan sosial adalah untuk memunculkan

berbagai solusi dan persentuhan sosial antara perempuan dari berbagai realitas

lain dengan tujuan:

1. Menyediakan informasi dan analisis (penelitian tentang kehidupan kaum

perempuan

2. Mengupayakan perubahan sosial serta menghilangkan ketidak setaraan

gender dan subordinasi kaum perempuan

3. Menjadikan diri sebagai sebuah bentuk kritik terhadap ilmu pengetahuan

yang telah ada

4. Memperlihatkan bagaimana prespektif kaum perempuan tentang ilmu

pengetahuan yang belum terlihat dalam ilmu pengetahuan sebelumnya (Lubis,

2015: 96)

14

Tujuan-tujuan ini tidak lain sebagai gambaran bahwa perempuan

mengalami konstruksi sosial dalam hal gender atau dapat disebut sebagai

ketidakadilan gender yang mengarahkan pada:

1. Terjadinya marginalisasi terhadap kaum perempuan

2. Terjadinya kekerasan simbolik dan non simbolik pada perempuan

3. Timbulnya pengabaian terhadap masalah suara-suara perempuan

4. Timbulnya stereotype yang timpang terhadap perempuan

5. Perempuan ditempatkan pada subordinat.

Tujuan feminisme tersebut senada dengan poskolonial yang lahir untuk

menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok-kelompok

marjinal. Menurut Blauner (1972) kolonialisme dapat diterapkan melalui tiga

bentuk yaitu:

1. Kolonialisasi dalam bentuk masuknya satu kelompok dominan yang

kemudian mensubordinasi kelompok lain

2. Kolonialisme dalam bentuk penghancuran faktor-faktor kultural bagi bangsa

lain

3. Kolonialisasi dalam bentuk penataan suatu sistem ekonomi dan sosial

berdasarkan atas hak istimewa kaum kolonialis atau bangsa penjajah.

Poskolonial dimengerti sebagai sebuah kajian tentang dampak

kolonialisme yang menindas kaum minoritas. Poskolonial mempunyai keinginan

untuk membongkar kembali wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam

memetakan politik dan kekuasaan (Lubis, 2015: 129). Poskolonial diilhami oleh

ide Ferdinand de Saussure tentang oposisi biner. Oposisi biner telah membagi

15

dunia dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik atau lebih

buruk dari yang lain. Keduanya akan menjadikan terjadinya dualitas masyarakat

atau pemahaman yang saling menindas sehingga muncullah apa yang disebut

primordialisasi dan sektarianisasi kelompok. Primordialisasi merujuk pada

perasaan kesukuan yang berlebihan dengan artian bahwa beberapa masyarakat

masih menganalisis permasalahan yang dihadapi dari sudut dan nilai ajaran lain.

Sektaranisasi merujuk pada semangat membela suatu sekte atau pandangan lain

dengan tanpa tindak kritis, antikomunikasi, untuk itu oposisi tersebut lambat laun

terproduksi menjadi mitos dan kebenaran yang disembah mati-matian (KBBI).

Pembahasan tentang poskolonial salah satunya berfokus pada feminisme

dan gender. Feminimisme dan gender menjadi topik penting dalam teori

poskolonial karena baik patriarki dan imperialisme dilihat sebagai analogi

hubungan dominasi terhadap pihak yang disubordinasikan. Perdebatan dalam

beberapa masyarakat bekas kolonial tentang persoalan perbedaan gender dan

tekanan kolonial dalam kehidupan perempuan dianggap sebagai satuan universal

(Sutrisno, 2004: 125).

Assesing gendered nature of colonialism and its influence on present day

forms of thinking and behaviour and second, on the worldly focus which

forces an interrogation of the nature of ‘women”and “universal”

statements about what women what. (Jackson, 1998:98)

Feminisme mengangkat persoalan perempuan yang sering diabaikan

karena persoalan kolonial. Poskolonial menempatkan persoalan perempuan dalam

sebuah bentuk kolonialisme. Pengertian kolonialisme berasal dari bahasa latin

yakni colonia yang mengandung makna “tanah pertanian” atau “pemukiman”

(Putranto, 2008: 16). Pada awalnya istilah kolonialisme mengacu pada orang-

16

orang Romawi yang tinggal di negeri lain, namun tetap berstatus sebagai warga

negara Romawi. Pada perkembangannya istilah kolonialisme mengarah pada

konsep penaklukan dan penguasaan karena sebab hubungan antara penduduk

pendatang dan penduduk asli yang menimbulkan berbagai persoalan, seperti

penjarahan, perang, pembunuhan masal, perbudakan, dan pemberontakan. Hal

inilah yang kemudian menjadikan istilah kolonialisme menjadi sebuah konsep

penaklukan atau penguasaan atas tanah dan harta oleh penduduk pendatang

terhadap penduduk asli (Lubis, 2015: 127).

Feminisme dan poskolonial menjadi sebuah kritik dari bentuk

kolonialisme yang beroperasi dengan cara yang berbeda terhadap laki- laki dan

perempuan. Perempuan dipandang mengalami kolonialisasi ganda baik oleh

ideologi imperial dan patriarkal yang menganggap keberadaan perempuan sebagai

pihak yang dikuasai dan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam budaya

patriarki. Peran dan identitas perempuan cenderung direduksi pada tubuh

seksualitas dan fungsi reproduksi masyarakat yang patriarkis (Sutrisno, 2004: 10).

Akhirnya, wacana feminis dan poskolonial sama-sama berupaya

mengembalikan posisi perempuan yang selama ini telah termajinalkan oleh pihak

dominan. Teori feminis menekankan perlunya praktik-praktik deskonstruksi dan

politik untuk berjalan bersama. Hubungan antara poskolonial dan feminis dapat

menjadi suatu sintesis. Dialong antar kedunya telah mendapatkan momentum

yang lebih kritis secara teoritis. Dengan kata lain, persatuan antara keduanya dapat

memasuki berbagai isu tentang gender, budaya, etnisitas, identitas, dan perbedaan.

(Lewis dan Mitts, 2003 : 2).

17

Situasi perempuan Dunia Ketiga dalam kerangka kekuasaan kolonial

tidak dapat dihomogenkan, artinya yang disebut sebagai perempuan Dunia Ketiga

itu bermacam- macam. Penolakan akan universalitas pengalaman mengarahkan

pada situasi politik identitas dimana fokus perhatianya pada perbedaan

(difference) sebagai satu kategori utama. Perbedaan-perbedaan tersebut di

dasarkan atas asumsi fisik tubuh, seperti persoalan politik yang dimunculkan

akibat problematika gender, feminisme, maskulinisme, dan persoalan etnis yang

bedaasrkan perbedaan fisik dan kerangka fisiologis (Abdillah, 2002: 22)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang mengacu pada

sumber kepustakaan sebagai bahan untuk menemukan pengertian, konsep, dan

ciri-ciri yang melekat pada subjek penelitian. Model penelitian ini adalah historis

faktual tokoh, dengan kata lain penelitian ini akan memahami satu singularitas

dalam generalitas pemikiran tokoh Gayatri Chakravorty Spivak. Singularitas

pemikiran tersebut adalah tentang identitas perempuan (Bakker & Zubair, 2013:

60-62). Objek material yang diteliti adalah pemikiran Gayatri Chakravorty

Spivak, sedangkan objek formal-nya adalah Feminisme Poskolonial tentang

identitas.

2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil penelusuran

peneliti yang selanjutnya diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu pustaka

pustaka primer dan pustaka sekunder.

18

a. Pustaka Primer

Bahan yang digunakan sebagai pustaka primer adalah buku-buku atau

karya-karya Gayatri Chakravorty Spivak yang berkaitan dengan identitas

perempuan adalah:

1. Gayatri Chakravorty Spivak. 1985. Three Woman Text And Critique Of

Imperialism, Critical Inquery.

2. Gayatri Chakravorty Spivak. 1987: In other worlds: essay in cultural politics.

London: Methuen

3. Gayatri Chakravorty Spivak. 1988. Can The subatern speak? dalam Marxism

and the Interpretation of culture. London: Rouledge

4. Gayatri Chakravorty Spivak. 1990. The Postcolonial Critic, Interviews,

Strategies, Dialogues. London: Rouledge

5. Gayatri Chakravorty Spivak. 1993. Outside in the Machine. London:

Rouledge

6. Gayatri Chakravorty Spivak. 1999. A Critique Of Postcolonial Reason.

London: Harvard University Prees

b. Pustaka Sekunder

Pustaka sekunder adalah buku-buku, jurnal maupun artikel yang terkait

dengan penelitian ini baik dari segi formal maupun material.

3. Jalan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti beberapa tahapan:

a. Inventarisasi data: pengumpulan data dilakukan dengan mengumpukan

referensi pustaka yang terkait dengan penelitian, baik formal maupun material.

19

b. Klasifikasi data: referensi pustaka yang telah diperoleh akan diidentifikasikan

dan dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder.

c. Pengolahan dan sistematisasi data: data yang diperoleh dari pustaka diolah

dan disistematisasikan berdasarkan kerangka berpikir.

d. Analisis hasil: pengolahan data menggunakan langkah-langkah metodis

filsafat, sehingga memenuhi syarat sebagai penelitian filsafat. Setelah data

diolah, kemudian akan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah

disusun.

4. Analisis Hasil

Penelitian ini akan dianalisi dengan menggunakan unsur metodis sebagai

berikut (Bakker, 1990:110-113):

a. Deskripsi

Berdasarkan bahan-bahan yang telah diperoleh akan dilakukan perumusan

tentang pokok pembahasan identitas perempuan dalam Feminisme Poskolonial,

sehingga pokok pembahasan tersebut akan menjadi titik tolak dalam membahas

identitas perempuan Gayatri Chakravorty Spivak.

b. Kesinambungan Historis

Pembahasan tentang identitas perempuan dalam diskursus feminisme akan

dilihat sebagai suatu sudut pandang perkembangan sejarah dalam memahami

identitas perempuan, selain itu pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak juga

akan dianalisis berdasarkan perkembangan historisnya baik dari sisi kultural

yang membentuk pandangannya maupun relasinya dengan tokoh-tokoh yang

lain.

20

c. Interpretasi

Unsur metodis ini dilakukan dengan cara menerangkan, mengungkapakan, dan

menerjemahkan berbagai pokok pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak.

Peneliti juga berusaha masuk dalam horizon pemikiran Spivak agar

mendapatkan pemahaman tentang identitas perempuan menurut Gayatri

Chakravorty Spivak.

d. Refleksi

Upaya reflektif atas seluruh pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak yang

terkait dalam pembahasan feminisme dan poskolonial, sehingga upaya tersebut

akan memberikan pemahaman reflektif atas identitas perempuan yang

dipahami Gayatri Chakravorty Spivak.

F. Hasil yang dicapai

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan

masalah hingga tercapai keadaan sebagai berikut:

1. Memperoleh penjelasan tentang identitas perempuan yang dipahami dalam

wacana Feminisme Poskolonial

2. Memperoleh deskripsi tentang pokok pemikiran Gayatri Chakravorty

Spivak.

3. Memperoleh gambaran menyeluruh tentang konsep identitas perempuan

menurut Gayatri Chakravorty Spivak.

21

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:

BAB I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian,

rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian, tujuan, dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan

dicapai dan sistematika penulisan.

BAB II berisi tentang konsepsi subjek dalam pembentukan identitas,

sejarah pembentukan identitas perempuan dalam feminisme, pemahaman identitas

perempuan dalam Feminisme Poskolonial yang meliputi pokok-pokok kajian dan

ruang lingkupnya.

BAB III berisi biografi intelektual singkat Gayatri Chakravorty Spivak,

latar belakang, serta pemaparan umum tentang corak pemikiran Gayatri

Chakravorty Spivak yang menyangkut pembahasan tentang pemusatan pada

wacana dominan dan keberpihakan pada yang kalah.

BAB IV Analisa tentang pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak yang

mengarah pada identitas perempuan yang dapat dilihat dari subjektifitas

perempuan subaltern, serta strategi yang digunakana dalam feminisme

transnasional.

BAB V memuat kesimpulan dan saran penelitian.