BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pariwisata merupakan industri yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup serta dapat
membangkitkan sektor-sektor lainnya. Alasan utama dalam pengembangan
pariwisata pada suatu daerah sebagai tujuan wisata adalah pembangunan ekonomi
daerah atau negara. Pengembangan pada bidang pariwisata ini merupakan sebuah
terobosan untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, daerah dan negara.
Dewasa ini, pariwisata di Indonesia yang berbasis alam mulai diminati oleh
wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara. Seperti halnya di Provinsi
DIY juga mengalami peningkatan jumlah kunjungan wisatawan untuk terus
melakukan traveling. Jumlah wisatawan yang mengunjungi Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta selama 2012 meningkat 46,80 persen dibanding 20111. Dengan
meningkatnya jumlah wisatawan maka daerah harus memiliki strategi untuk
menggali lebih banyak objek wisata baik lokasinya maupun ragamnya. Hal ini
didukung oleh potensi sumber daya alam di Indonesia sangat melimpah dan dapat
1 http://www.antaranews.com/berita/jumlah-wisatawan-ke-diy-naik-4680-persen diakses pada tanggal 18 September 2014.
2
dimanfaatkan secara optimal. Ini merupakan kesempatan bagi daerah untuk
meningkatkan ekonomi dan pembangunan daerah melalui sektor pariwisata.
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul provinsi DIY menetapkan sektor
pariwisata sebagai salah satu sektor unggulan yang dapat mendorong pembangunan
di Kabupaten Gunungkidul. Dengan meningkatkan industri pariwisata dan jasa-jasa
akan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat dan dapat
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)2. Kabupaten Gunungkidul merupakan
salah satu kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki
banyak potensi pariwisata yang berasal dari alam seperti Pantai, Gunung, Goa Karst
dan Air Terjun. Selain potensi wisata alam, Kabupaten Gunungkidul memiliki
banyak desa wisata yang kini mulai dikembangkan. Berdasarkan data kepariwisataan
DIY tahun 2012, Kabupaten Gunungkidul memiliki 48 titik pantai, kurang lebih 700
goa yang sedang dikembangkan sebagai objek wisata alam diantaranya adalah Pantai
Baron, Pantai Siung, Pantai Wedi Ombo, Pantai Sadeng, Pule Gundes, Krakal, Pantai
Ngrenehan, Goa Cerme, Goa Jomblang, Gunung Gambar, Gunung Purba
Nglanggeran, Kalisuci, Air Terjun Sri Gethuk, dan lain-lain. Di Kabupaten
Gunungkidul terdapat 8 desa wisata yaitu desa wisata Semanu, desa wisata
Bejiharjo, desa wisata Bleberan, desa wisata Beji, desa wisata Bunder, desa wisata
Bobung, desa wisata Nglanggeran, dan desa wisata Umbulrejo. Dari data
kepariwisataan DIY tahun 2012, objek wisata yang paling banyak dikunjungi oleh
2 http://bappeda.gunungkidulkab.go.id/ diakses pada tanggal 4 Maret 2014
3
wisatawan adalah Pantai Baron, sedangkan desa wisata yang paling banyak
dikunjungi oleh wisatawan adalah Bejiharjo dengan Goa Pindulnya. Setiap bulannya
objek wisata dan desa Wisata yang ada di Kabupaten Gunungkidul ini mengalami
dinamika naik turunnya pengunjung. Naik turunnya pengunjung ini dipengaruhi oleh
momen-momen tertentu, misalkan pada libur hari besar atau liburan sekolah.
Peningkatan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun nusantara sebagai
dampak dari perkembangan pariwisata di Kabupaten Gunungkidul disajikan pada
tabel 1.1 berikut :
Tabel 1.1 Data Jumlah Kunjungan Wisatawan Di Kabupaten Gunungkidul
Tahun 2010 – 2013
NO TAHUN
ANGGARAN
WISATAWAN
MANCANEGARA NUSANTARA JUMLAH
1 2010 585 548.272 548.857
2 2011 1.299 615.397 616.696
3 2012 238 736.519 736.757
4 2013 10.120 1.324.362 1.334.482
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Kab. Gunungkidul Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 1.1, bahwa setiap tahun hingga tahun 2013 jumlah
wisatawan nusantara meningkat. Hal ini menandakan adanya perkembangan dan
mulai dikenalnya pariwisata di Kabupaten Gunungkidul baik oleh wisatawan
4
mancanegara maupun nusantara. Terjadi lonjakan wisatawan ke Kabupaten
Gunungkidul pada tahun 2013 hingga mencapai 1.334.482 wisatawan. Lonjakan
wisatawan ini hampir dua kali lipat dari tahun 2012 yang hanya berjumlah 726.757
wisatawan.
Kabupaten Gunungkidul menyuguhkan banyak potensi wisata alam yang
menarik dan unik dan tidak dimiliki oleh empat kabupaten lain di DIY. Wisata yang
unik dan menarik ini antara lain Goa Pindul yang ada di Desa Bejiharjo. Daya tarik
Goa Pindul ini adalah adanya aliran sungai yang menembus beberapa perbukitan
karst dan para wisatawan dapat menikmati keindahan dalam goa dengan cave tubing
atau wisata menyusuri goa dengan menggunakan ban.
Potensi batuan pada kawasan goa memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena
batuan kapur ini tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan galian untuk bangunan saja
tetapi juga mempunyai nilai ekonomi dan ekologis seperti untuk sarang burung
walet, sumber daya air, keanekaragaman hayati dan juga sebagai objek wisata alam.
Goa adalah suatu lingkungan yang unik dan rentan serta berfungsi sebagai sistem
perlindungan proses dari ekologis, menjadi habitat untuk flora dan fauna untuk
mempertahankan jenis dan ekosistemnya serta menjadi sumber kehidupan untuk
masyarakat lokal (Rachmawati, Eva dalam penelitian LPPM IPB pada tahun 2012).
Ekowisata yang bersumber dari kawasan Karst yaitu goa merupakan upaya untuk
pemanfaatan sumber daya alam dan upaya untuk mensejahterakan masyarakat.
Keberadaan Goa ini tentunya butuh pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah
5
Daerah bersama masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat itu
sendiri. Apabila sebuah sumber daya tidak dikelola dengan baik maka akan
berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia. Dampak positif dari
dikelolanya objek wisata tersebut adalah dengan banyaknya wisatawan yang
berkunjung ke sebuah objek wisata maka desa wisata menjadi ramai dan terkenal.
Dengan begitu, masyarakat setempat dapat mencari penghasilan melalui objek wisata
dengan mengembangkan desa wisata tersebut.
Objek wisata ini sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
Gunungkidul. Tetapi sebelum dikelola, keadaan goa ini sangat merana. Sampai pada
akhirnya Goa Pindul ini mulai di inisiasi oleh Bapak Soempeno (Alm) selaku Bupati
Gunungkidul sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai
objek wisata alam dan dapat dikelola oleh masyarakat Desa Bejiharjo sehingga dapat
mencapai tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Kemudian pada pertengahan
tahun 2010 melalui kepala desa Bejiharjo mulai dibentuk Kelompok Sadar Wisata
sebagai kelompok yang dapat mengelola objek wisata yang ada di desa Bejiharjo.
Kelompok sadar wisata ini bernama Dewa Bejo, nama Dewa Bejo ini juga
merupakan akronim dari Desa Wisata Bejiharjo atau disingkat menjadi Dewa Bejo.
Kelompok sadar wisata atau Pokdarwis Dewa Bejo ini merupakan mitra kerja dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul dalam hal pengelolaan objek wisata
Goa Pindul. Kemudian Goa Pindul diresmikan sebagai objek wisata alam oleh
6
Almarhum Sumpeno Putro, Bupati Gunungkidul, pada tanggal 10 Oktober 2010
bertepatan dengan fam tour pejabat Kabupaten Gunungkidul.
Setelah terbentuk kelompok sadar wisata, kemudian kelompok ini bersama
dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul mulai memasarkan objek wisata
Goa Pindul. Goa Pindul yang tergolong dalam objek wisata minat khusus ini sudah
menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Dengan
banyaknya wisatawan yang datang ke objek wisata Goa Pindul maka banyak
masyarakat Desa Bejiharjo yang memanfaatkan Goa Pindul sebagai ladang usaha.
Disaat negara gagal dalam menyediakan lapangan pekerjaan formal bagi masyarakat,
masyarakat bergerak sendiri secara mandiri dan kolektif untuk menciptakan lapangan
kerja informal. Terbukanya lapangan pekerjaan informal menjadi bukti nyata bahwa
terdapat gerakan dari masyarakat untuk keluar dari rantai ketergantungan terhadap
negara. Gerakan tersebut diwujudkan dari lahirnya suatu komunitas dalam
masyarakat. Ini merupakan bukti nyata bahwa dengan adanya objek wisata alam
yang dikelola baik antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat dapat
mensejahterakan masyarakat.
Tetapi, dibalik kejayaan pada objek wisata alam minat khusus Goa Pindul
yang terdapat di Padukuhan Gelaran, Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo
Gunungkidul ini ternyata tidak berjalan dengan mulus. Banyaknya rintangan dan
persoalan yang sampai pada tahun 2013 masih dihadapi oleh Dewa Bejo yang
berkaitan dengan masalah pengelolaan objek wisata Goa Pindul. Yang menarik
7
untuk dikaji dalam penelitian ini adalah Dewa Bejo sebagai Pokdarwis (kelompok
sadar wisata) dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan pembangunan desa
yang memiliki kemampuan melebihi Pokdarwis pada umumnya. Kepeloporan ini
terbukti dengan sangat terkenalnya Goa Pindul sebagai objek wisata baru, serta
kemampuannya merekrut masyarakat desanya sebagai partisipan sekaligus
membentuk barisan pertahanan yang kokoh dalam menghadapi berbagai gangguan
dari luar. Dewa Bejo juga memberikan kontribusi yang amat besar dalam menambah
keanekaragaman objek wisata dan cara menikmati alam, meningkatkan peluang kerja
dan penumbuhan peluang usaha yang berujung pada meningkatkan kesejahteraan
(mengurangi angka kemiskinan) masyarakat Desa Bejiharjo.
B. Rumusan Masalah :
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terbentuklah
sebuah rumusan masalah yang nantinya akan dijawab pada halaman selanjutnya.
Adapun rumusan masalah tersebut adalah :
Bagaimana kemampuan Dewa Bejo sebagai kelompok sadar wisata dalam
mengelola objek wisata Goa Pindul hingga tahun 2013?
C. Tujuan Penelitian :
8
Penentuan tujuan penelitian diperlukan agar penelitian yang dilakukan
memiliki arah yang jelas dan sistematis. Secara substansial, tujuan penelitian
merupakan jawaban atas masalah-masalah yang dirumuskan.
1. Untuk mengetahui seberapa otonomkah Dewa Bejo
2. Untuk mengetahui bagaimana Dewa Bejo memperluas otonominya
3. Untuk mengetahui bagaimana Dewa Bejo mempertahankan otonominya
terhadap situasi konflik
D. Landasan Teori
D.1 Self Governing Community
Potensi sumber daya alam memang selayaknya dikelola agar memberikan
manfaat bagi masyarakat. Sejauh ini, pengelolaan sumber daya alam dapat dikelola
oleh pemerintah, masyarakat dan juga instansi-instansi yang terkait. Dalam
penelitian ini, pengelolaan sumber daya alam dikelola atas kerjasama antara
pemerintah dengan masyarakat. Pada akhirnya, kerjasama diantara kedua belah pihak
menghasilkan sebuah kelompok yang diharapkan dapat mengelola sumber daya alam
secara lebih mandiri, sedangkan disisi lain pemerintah hanya berperan sebagai
pendamping masyarakat. Inilah yang dapat memicu munculnya kelompok atau
komunitas yang memiliki kemampuan untuk melakukan “pemerintahan” sendiri
(dalam hal pengelolaan sumber daya alam), yang kemudian dapat diamati sebagai
sebuah self governing community. Untuk memahaminya lebih lanjut, maka kita perlu
menyamakan pemahaman terkait dengan konsep komunitas dalam penelitian ini.
9
Konsep ini sangat penting untuk dipahami karena self governing community adalah
awal pembentukannya dari komunitas.
Pemahaman komunitas memang sangat beragam. Kesatuan hidup setempat
dalam satu wilayah yang sama merupakan sebuah syarat yang mutlak untuk
terbentuknya sebuah komunitas. Sebagai suatu kesatuan manusia, suatu komunitas
memiliki perasaan kesatuan yang mengandung unsur-unsur rasa kepribadian
kelompok dan perasaan inilah memiliki ciri-ciri seperti ciri kebudayaan ataupun ciri
dari kelompok tersebut (Koentjaraningrat 1990, h. 161).
Dalam perkembangannya, istilah komunitas (community) dalam buku-buku
sosiologi barat digunakan berganti-ganti dan diberi arti masyarakat (society) kota
(city) dan kampung (neighbourhoad). Kata komunitas berasal dari kata latin
communire (communio) yang berarti memperkuat dan dari kata ini dibentuk istilah
communitas yang artinya persatuan, persaudaraan, umat, kumpulan dan masyarakat
(Hendro Puspito 1989 dalam Imbiri 2004, h. 10). Senada dengan hal tersebut,
komunitas juga memiliki ciri-ciri yakni sebagai berikut :
Merupakan sebuah kesatuan hidup yang teratur dan tetap, serta memiliki ciri
tersendiri.
Komunitas bersifat teritorial, dalam artian memiliki unsur daerah,
dimungkinkan memiliki pertalian darah, tradisi dan juga nasib yang sama.
Secara lebih jauh, dalam komunitas dapat pula dijumpai sejarah, struktur,
aktifitas serta kepemimpinan dari komunitas tersebut. Beberapa diantaranya
10
bersifat komunal atau sendiri-sendiri, dan memiliki aset dalam batas
geografis tertentu sebagai teritorinya.
Dari pemahaman tentang komunitas diatas dapat ditekankan bahwa
komunitas merupakan sekelompok individu ataupun kelompok masyarakat yang
memiliki ikatan tertentu, yang lahir dalam suatu wilayah tertentu. Dalam
perkembangannya, terbentuknya komunitas tidak hanya sebatas kesamaan wilayah
saja. Konsep mengenai komunitas lebih meluas karena melihat komunitas sebagai
suatu wadah untuk dapat saling bekerjasama dalam pemenuhan kepentingan. Mereka
terikat atas dasar kesamaan kepentingan dan tujuan. Hal ini diperkuat oleh Soetomo
(2006, h. 82) yang telah mengkaji karakteristik komunitas dengan segala nilai-nilai
yang ada dalam komunitas. Keberadaan nilai (baca :kepentingan) dapat berpengaruh
dalam pembentukan, menjaga eksistensi, hingga solidnya suatu komunitas. Melalui
cara pandang tersebut, komunitas dapat bertahan dan diakui keberadaannya oleh
masyarakat.
Sedangkan dari perspektif politik, kajian komunitas dapat dilihat melalui
keberadaan struktur kekuasaan antar aktor dalam pembentukan komunitas. Adanya
kehadiran elit yang membawa pengaruh bagi komunitas dan inilah yang dapat
menunjukan adanya struktur kekuasaan. Elit komunitas merupakan aktor yang
memiliki berbagai sumber daya yang lebih dibandingkan dengan anggota-anggota
komunitas lainnya. Dalam proses pengorganisasian pada komunitas terdapat proses-
11
proses kepemimpinan sehingga dapat dengan mudah melakukan pengorganisasian
diri dalam informality governance (Trisnantari 2006, h. 8)
Sebagaimana sempat diulas sebelumnya bahwa komunitas dapat mengelola
pemerintahannya sendiri. Secara lebih mendalam, self governing dalam komunitas
dapat dipahami sebagai suatu konsep yang digunakan untuk menunjukan bahwa
dalam penyelenggaraan urusan- urusan kolektif dilakukan secara mandiri oleh
komunitas tanpa ada campur tangan dari negara. Mengurus kepentingannya sendiri
adalah ciri dari kemandirian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, mandiri dapat
diartikan sebagai suatu keadaan yang dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada
orang lain. Dengan demikian, kemandirian dapat dilakukan oleh setiap individu
maupun kelompok manakala mereka tidak lagi bergantung pada orang lain.
Namun menjadi mandiri bukanlah sesuatu yang mudah. Banyaknya
keterbatasan yang dimiliki pada setiap individu maupun kelompok menjadikan
rentan untuk tetap bergantung kepada orang lain. Sikap saling bergantung inilah yang
menjadi hal wajar bagi sebagian masyarakat. Maka, dapat ditekankan bahwa suatu
kemandirian merupakan suatu strategi untuk bertahan melalui optimalisasi potensi
secara mandiri yang bersifat sukarela (KBBI 2002).
Untuk melihat kemandirian sebuah komunitas, setidaknya ada empat elemen
pokok yang harus dipenuhi (Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan PKM
dan LPM UNBRAW, 2001) mengemukakan yaitu pertama kemandirian materi dasar
12
serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kedua
kemandirian intelektual yaitu pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh
masyarakat yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi
yang lebih halus muncul diluar kontrol terhadap pengetahuan itu sendiri. Ketiga,
kemandirian sikap yaitu kemampuan otonom dalam menyikapi setiap permasalahan
yang muncul dalam kaitan dengan kehidupan. Kemampuan ini merupakan sintesa
dari kesadaran diri, inisiatif, motivasi, kepercayaan diri, pengambilan keputusan
untuk bertindak dan sejauh mana kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Dan
yang keempat adalah kemandirian manajemen yaitu yang meliputi kemampuan
otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar
ada perubahan dalam situasi kehidupan.
Memasuki kajian tentang kapasitas community governance bahwa suatu
komunitas memiliki potensi untuk mengelola kepentingan kolektifnya yang belum
dipenuhi oleh negara. Ketika negara tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam
melakukan fungsi sebagai penyedia kepentingan bagi komunitas, maka komunitas
memiliki kemampuam untuk menjadi subsitusi negara. Kapasitas pada komunitas
merupakan kemampuan komunitas untuk merencanakan dan menjalankan berbagai
fungsi yang ada dalam konsep self governing. Sebuah komunitas yang memiliki
kapasitas dalam melakukan governance dalam pemenuhan kepentingan kolektifnya
harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Sudarmo 2008, h.104). Pertama memiliki
kemampuan untuk mengorganisasi dirinya secara informal. Kedua, memiliki
13
kemampuan untuk belajar dari pengalaman sebelumnya dan hal-hal yang belum
diketahui untuk mengantisipasi hal-hal yang akan datang. Ketiga, dapat bekerja
dalam waktu yang jelas dan nyata melalui network. Keempat, memiliki kesedian
berbagai peran diantara keanekaragaman pelaku sebagai sumber daya manusia dan
sumber daya non manusia lainnya yang tersedia. Yang kelima adalah
terselenggaranya distribusi intelegenesia untuk memecahkan masalah bersama dan
ini berarti menuntut kesediaan berbagi informasi dan komunikasi yang terbuka.
Berdasarkan beberapa uraian dari konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa
Self governing community berarti komunitas lokal yang membentuk dan
menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal yang bersifat
swadaya dan otonom. Self governing community juga tidak dibentuk oleh kekuatan
eksternal dan mereka tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal
seperti negara (Sutoro Eko 2006 dalam Trisnantari 2010, h. 5). Disinilah dapat
dipahami bahwa mereka memiliki otonomi yang relative kuat dalam pengelolaan
urusan mereka.
E. Definisi Konseptual
Istilah yang digunakan pada governing seringkali disamakan dengan definsi
dari governance. Tetapi pada kenyataannya kedua istilah tersebut memiliki arti yang
berbeda. Governance biasanya mengacu pada pola, sedangkan governing lebih
kepada prosesnya. Terdapat kata kunci dari istilah governing yaitu memandu (guide),
14
mengarahkan (steering), mengontrol (control), dan mengelola (manage). Dari kata
kunci diatas dapat dijelaskan bahwa pengertian dari governing adalah sebagai
aktivitas yang dijalankan oleh aktor politik atau sosial sebagai suatu upaya dengan
tujuan tertentu yang sifatnya memandu, mengarahkan, mengontrol serta mengelola.
F. Definisi Operasional
Suatu komunitas dapat dikatakan sebagai Self Governing Community apabila
komunitas tersebut memiliki otonomi, kewenangan dan juga dapat mengurus
kepentingannya secara sendiri dan mandiri. Pada objek wisata Goa Pindul Kabupaten
Gunungkidul menggunakan konsep Self Governing Community dalam
pengelolaannya karena Dewa Bejo sebagai kelompok memiliki otonomi dan
kewenangan. Maka penelitian ini juga ingin mengetahui seberapa berhasilkah
kelompok ini dalam mempertahankan otonominya.
G. Metode Penelitian
G.1. Jenis Penelitian
Menentukan metode penelitian bukan merupakan persoalan yang mudah
karena metode penelitian merupakan dasar untuk melakukan sebuah penelitian.
Penelitian sendiri merupakan proses serta rangkaian yang dilakukan secara terencana
dan sistematis. Sehingga harapan dari sebuah penelitian mampu memecahkan dan
menjawab suatu permasalahan tertentu.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
15
metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu
pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang
bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan
mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboraturium
melainkan harus terjun di lapangan (Nazir,Muhammad. 1986. Metode Penelitian.
Bandung:Remaja Rosdakarya), halaman 159. Sehubungan dengan masalah penelitian
ini, maka penelitian mempunyai pedoman pelaksanaan penelitian dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, dimana yang dikumpulkan berupa pendapat,
tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam
mengungkapkan masalah (Nawawi, Hadari. 1994. Metode Penelitian Ilmiah.
Jakarta: Rineka Cipta), halaman 176. Studi kasus menjelaskan secara komprehensif
mengenai berbagai macam aspek yang mencakup aspek individu, organisasi,
program maupun situasi sosial yang kemudian akan dideskripsikan berdasarkan data-
data yang telah diperoleh dilapangan. Orientasi yang menonjol dari metode
penelitian kualitatif studi kasus yakni merupakan sebuah pemahaman untuk dapat
menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan terkait dengan mengapa
keputusan itu diambil dan bagaimana diterapkan serta apa pula hasilnya (Salim,
Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara wacana ; Yogyakarta)
Halaman 118. Kemudian pendekatan yang dipakai yaitu ditunjang dengan deskriptif,
terutama digunakan sebagai penelaah pemahaman terkait dengan kemandirian
masyarakat dalam pengelolaan objek wisata Goa Pindul.
16
Skripsi ini dianggap penulis menjadi sebuah studi kasus karena memiliki ciri-
ciri sebagai berikut :
1. Dewa Bejo adalah nama kelompok sadar wisata (Pokdarwis), setiap objek
wisata ada pokdarwisnya, jadi jumlah pokdarwis sangatlah banyak, namun
dalam pengamatan pada survey awal penelitian Dewa Bejo yang akronim dari
Desa Wisata Bejiharjo ini memiliki kelebihan dibanding pokdarwis lainnya.
2. Terdapat permasalahan yang serius dalam pengelolaan objek wisata Goa
Pindul kabupaten Gunungkidul. Permasalahan tersebut merupakan suatu
peristiwa yang dipandang cukup serius yang dialami oleh Dewa Bejo dan
juga masyarakat Bejiharjo.
3. Belum dapat terselesaikannya masalah pengelolaan objek wisata Goa Pindul
sehingga memunculkan banyaknya hambatan serta menimbulkan kerugian.
4. Diperlukannya bantuan dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam
proses penyelesaian permasalahan pengelolaan objek wisata Goa Pindul.
G.2. Lokasi Penelitian
Desa Wisata Bejiharjo merupakan desa wisata yang terletak di Padukuhan
atau Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta. Kehadiran Desa Wisata Bejiharjo bermula dari keinginan
Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul untuk mengembangkan objek wisata di
daerahnya, salah satunya dengan cara membuat desa wisata baru. Pilihan desa wisata
17
tersebut jatuh pada Desa Bejiharjo. Sepintas desa ini tidak jauh beda dengan desa-
desa lain yang ada di Gunungkidul, namun yang membedakan adalah desa tersebut
memiliki daya tarik destinasi yang dapat dikembangkan yaitu potensi alam. Hal
tersebut dikarenakan desa Bejiharjo memiliki alam yang masih alami berupa
pemandangan alam yang dilengkapi dengan aliran sungai Oyo serta Goa yang
didalamnya terdapat stalaktit dan stalakmit terbesar, terbanyak dan teraktif bernama
Goa Pindul.
G.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer akan diperoleh dengan cara observasi dan wawacara,
sedangkan data sekunder dari dokumenter. Adapun tekhnik pengumpulan data yang
digunakan adalah :
G.3.1. Observasi
Observasi awal penelitian skripsi ini dilakukan pada saat refreshing untuk
menghilangkan penat kegiatan kampus dan ingin menikmati keindahan alam yang
terdapat di Kabupaten Gunungkidul yaitu goa yang sedang naik daun ini. Berbekal
dengan obrolan ringan dengan para pengelola Goa Pindul yang merupakan
masyarakat desa Bejiharjo ini yang terkesan unik, serta mengembangkan ide penulis
dalam rencana penyusunan tema skripsi. Sehingga observasi pra penelitian ini telah
dilakukan dua kali. Yang pertama belum ada gambaran sekilas dan yang kedua
18
dilakukan setelah latar belakang sudah diketahui. Sementara keberlanjutan observasi
dalam pembahasan dilakukan bersamaan dengan wawancara mendalam.
Observasi dipilih sebagai salah satu teknik pengumpulan data karena dengan
observasi peneliti dapat melihat karakteristik dari masyarakat setempat yang
statusnya menjadi pengelola.
G.3.2. Teknik Wawancara
Wawancara merupakan proses komunikasi dan interaksi yang dilakukan
dengan pengajuan pertanyaan secara lisan kepada responden secara face to face
relationship (Nawari, Hadari. 1983:111). Adapun wawancara tersebut bertujuan
untuk mendapatkan pemahaman secara mendalam setelah observasi. Wawancara pra
penelitian penulis dilakukan dengan anggota aliansi Rantau Bejiharjo dengan bapak
Sumardiono yang bekerja di Yogyakarta. Setelah melakukan wawancara penelitian,
peneliti akan menyiapkan strategi wawancara lebih lanjut untuk mengklasifikasi
beberapa aktor yang menjadi informan yaitu :
1. Ketua Komunitas Dewa Bejo (Pokdarwis) yaitu Bapak Subagyo, dimana
pemimpin ini yang memegang kekuasaan tertinggi dalam level komunitas
di Goa Pindul
2. Ketua Komunitas Panca Wisata yaitu Bapak Warman
3. Ketua Komunitas Wira Wisata yaitu Bapak Haris Purnawan
4. Penyedia jasa parkir objek wisata Goa Pindul
19
5. Penyedia jasa makanan dan minuman
6. Penyedia jasa toilet dan wc umum
7. Masyarakat sekitar
8. Aliansi Rantau Bejiharjo
9. Kepala Desa Bejiharjo yaitu Bapak Yanto dan juga tokoh masyarakat desa
Bejiharjo, dimana tokoh masyarakat setempat yang memahami karakteristik
dari masyarakat Bejiharjo serta dapat memahami dinamika yang terjadi di
desa wisata Goa Pindul.
10. Staf Ahli Bupati Gunungkidul Bidang Hukum dan Politik yaitu Bapak
Hidayat S.H, M.Si dimana beliau sebagai perpanjangan tangan dari negara
dan terlibat sejak awal terjadinya konflik hukum berkaitan dengan status
kepemilikan Goa Pindul.
G.3.3. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan sumber informasi penelitian dari data sekunder
berupa dokumen. Dokumen ini berupa penunjang yang penulis dapatkan dari
beberapa studi pustaka seperti jurnal maupun buku-buku yang ditujukan sebagai
pembanding dan pelengkap sekiranya memiliki kedekatan relevansi dengan bahasan
terkait dengan pengelolaan objek wisata Goa Pindul.
G.4 Tekhnik Analisa Data
20
Tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
G.4.1. Pengumpulan Data
Tahap pertama adalah mengumpulkan data yang diperoleh melalui
wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Pada tahap ini merupakan usaha untuk
mendapatkan data yang akurat terhadap masalah penelitian. Tahap ini dilakukan
sebagai usaha untuk mendapatkan gambaran langsung dan permasalahan sejumlah
sasaran pokok penelitian terkait dengan pengelolaan Goa Pindul.
G.4.2. Analisis Data
Pada tahap ini merupakan tahap dalam penyajian data dan menganalisis data
yang diperoleh sesuai dengan tujuan dari penelitian. Tahap ini memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan yang
berdasarkan dari pemahaman yang diperoleh dari analisis data. Dan tahap analisis ini
adalah membuat transkip dari setiap wawancara yang dilakukan. Untuk wawancara
yang tidak dapat direkam dilakukan dengan menggunakan catatan-catatan kecil.
Kemudian Transkip dari berbagai informan tersebut kemudian dikelompokan sesuai
dengan kategori informan. Setelah terkumpul menjadi satu kategori, transkip tersebut
dibaca kembali dan memilah jawaban informan sesuai dengan kategori pertanyaan
yang diajukan. Dan pertanyaan ini dikategorikan sesuai dengan pertanyaan penelitian
dan tujuan penelitian. Jawaban yang beragam tersebut kemudian dibaca ulang
sehingga dari jawaban tersebut dapat dilihat posisi seorang informan dalam
21
merespon suatu pertanyaan. Dengan demikian data tersebut dapat dianalisis dengan
teori yang ada dan mendapatkan kesimpulannya.
H. SistemAtieka BAB
Bab pendahuluan berisikan tentang deskripsi singkat mengenai penelitian ini
berisi tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan, landasan teori
dan metode penelitian. Bab selanjutnya akan membahas tentang gambaran umum
wilayah objek kajian yang terdiri dari kondisi pariwisata yang ada di Kabupaten
Gunungkidul, potret desa Bejiharjo sebagao objek penelitian dan aktor-aktor yang
ada lingkungan objek wisata Goa Pindul meliputi Dewa Bejo sebagai kelompok
sadar wisata dan Ny Atiek Damayanti sebagai pemilik tanah diatas Goa Pindul.
Setelah mengetahui gambaran umum dan mengetahui aktor-aktor yang ada di
lingkungan Goa Pindul melalui metode pengumpulan data, maka bab 3 berisi tentang
pembahasan dan analisis. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah
setelah data dikumpulkan kemudian data tersebut disajikan pada bab pembahasan
dan analisis data yang diperoleh sesuai dengan tujuan dari penelitian. Dan bab yang
terakhir adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan merupakan refleksi dari
bab-bab sebelumnya dan apakah sudah menjawab rumusan masalah dalam
penelitian.