BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao DIY.pdf · menuju pembangunan pertanian yang berpijak...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao DIY.pdf · menuju pembangunan pertanian yang berpijak...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tantangan pembangunan pertanian kedepan adalah pemenuhan kebutuhan
pangan, penyediaan bahan baku industri dan peningkatan ekspor komoditas pertanian
strategis dan komoditas unggulan lainnya. Dalam rangka peningkatan produksi
pertanian komoditas strategis dan unggulan nasional tersebut, pembangunan pertanian
yang berskala ekonomi harus dilakukan melalui perencanaan wilayah di bidang
pertanian secara komprehensif dan terpadu, sehingga diperlukan kebijakan
pembangunan pertanian yang sejalan dengan prinsip-prinsip pengembangan wilayah
yang oleh Kementerian Pertanian dilakukan melalui kebijakan dan pendekatan
pengembangan kawasan pertanian.
Pendekatan kawasan pertanian ini dimaksudkan untuk mengutuhkan kegiatan
usahatani mulai dari sub sistem hulu, on farm dan hilir. Pelaksanaan program dan
kegiatan pembangunan pertanian yang berbasis kawasan dalam implementasinya harus
fokus pada komoditas unggulan nasional dan fokus pada lokasi pengembangan (tidak
terpencar), agar memenuhi skala ekonomi dalam penyediaan infrastruktur dan distribusi
input serta efisiensi pelayanan informasi pasar dan teknologi.
Direktorat Jenderal Perkebunan mendukung pengembangan
kawasan melalui kebijakan-kebijakan yang diarahkan menuju tercapainya
peningkatan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan berkelanjutan.
Kebijakan pengembangan kawasan menawarkan upaya pembangunan perkebunan
yang lebih efektif dan komprehensif. Kebijakan tersebut memerlukan kerjasama yang
erat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, swasta serta masyarakat pekebun khususnya.
Kebijakan pengembangan kawasan ini memungkinkan bagi pemangku kebijakan
Pusat dan Daerah untuk membangun kekuatan, baik aspek kepakaran stakeholder
maupun aspek infrastruktur yang sesuai serta aspek yang terkait dengan potensi sumber
daya alam, manusia, teknologi, modal dan ekonomi, yang akan membawa kemajuan
nyata bagi pembangunan perkebunan di wilayah tersebut.
2
Kawasan Sentra Produksi Perkebunan merupakan suatu pendekatan
pembangunan perkebunan yang menggunakan kawasan sebagai pusat pertumbuhan dan
pengembangan usaha perkebunan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta memperhatikan dimensi ruang, waktu, skala usaha dan pengelolaannya
yang diselenggarakan dengan asas kebersamaan ekonomi untuk kesejahteraan
masyarakat/pekebun dan pelaku usaha lainnya yang selaras, berkeadilan, dan menjamin
pemantapan usaha yang harmonis serta berkesinambungan.
Peran strategis sub sektor perkebunan yang multi dimensi sebagaimana
dijabarkan dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, apabila dikelola
dengan optimal akan dapat mendukung pencapaian sasaran-sasaran pembangunan
pertanian. Pendekatan kawasan melalui pengelolaan secara terpadu, menyeluruh
dan berkelanjutan dari sub sektor perkebunan diharapkan mampu berkontribusi
mewujudkan sasaran pembangunan pertanian untuk kurun waktu lima tahun kedepan.
Arah pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan kedepan
sesuai dengan tahapan pengembangan kawasan yaitu : (1) tahap inisiasi pada kawasan
yang belum berkembang; (2) tahap penumbuhan pada kawasan yang belum
berkembang; (3) tahap pengembangan kawasan; (4) tahap pemantapan kawasan; dan
(5) tahap integrasi antar kawasan. Jenis kegiatan pada masing-masing tahap
berbeda-beda tergantung pada tingkat keterkaitan antar perkebunan, kekuatan
subsistem agribisnis yang ada (hulu, produksi, hilir dan penunjang), maupun kualitas
SDM dan aplikasi teknologi yang telah dilakukan.
Perencanaan pembangunan perkebunan dengan pendekatan komoditas
unggulan menekankan motor penggerak pembangunan suatu daerah pada komoditas-
komoditas yang dinilai bisa menjadi unggulan baik di tingkat domestik maupun
internasional. Penentuan komoditas unggulan perkebunan merupakan langkah awal
menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih
keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi
perdagangan.
Desain pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan
membutuhkan keseimbangan antara beberapa aspek pengembangan
3
diantaranya ketersediaan SDM, potensi SDA, akses permodalan, kebutuhan
terhadap sarana fisik dan teknologi, dukungan infrastruktur dan komitmen dari
pemangku kebijakan baik di pusat maupun di daerah.
Dalam pengembangan kawasan menggunakan pedekatan yang sejalan dengan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana yang diamanatkan dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014, yaitu pendekatan politik, teknokratis,
keterpaduan top down policy-bottom up planning; dan partisipatif.
Untuk mendukung pengembangan kawasan perkebunan diperlukan
perencanaan pengembangan kawasan komoditas unggulan dilakukan melalui
pendekatan top-down policy, yaitu sejalan dengan arah kebijakan pembangunan
pertanian nasional dan bottom-up planing, sesuai dengan kebutuhan masyarakat/petani.
Proses perencanaan pengembangan kawasan membutuhkan keterpaduan program antar
Eselon I lingkup Kementerian Pertanian dan lintas sektor.
Pendekatan pengembangan kawasan pertanian, strategi dan kebijakan
pendukungnya serta langkah-langkah implementasinya telah dituangkan dalam
Peraturan Menteri Pertanian No 50 tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan
Kawasan Pertanian yang dalam proses revisi. Peraturan Menteri Pertanian No 50 tahun
2012 sebagai rencana induk (grand design) pengembangan kawasan pertanian dan
sebagai Implementasinya daerah diwajibkan untuk menyusun Masterplan di tingkat
provinsi dan action plan di tingkat kabupaten. Strategi umum dan langkah-langkah
pengembangan kawasan pertanian melalui (1) penguatan perencanaan, (2) penguatan
kerjasama dan kemitraan, (3) penguatan sarana prasarana, (4) penguatan sumberdaya
manusia, (5) penguatan kelembagaan, (6) percepatan adopsi teknologi bioindustri dan
bioenergi, Pembangunan perkebunan di DIY Tahun 2017 diarahkan menggunakan
pendekatan wilayah, yaitu fokus pada pengembangan kawasan berbasis komoditas
unggulan (cluster) dengan harapan suatu kawasan dapat digarap secara utuh, terpadu
dari hulu sampai hilir, multiyears/berkelanjutan, sinergi antara stakehoder, berskala
ekonomi dan berorientasi bisnis.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY telah melakukan upaya-upaya untuk
mendorong kelangsungan agribisnis perkebunan yang berdaya saing dan berkelanjutan
dengan memperkuat di hulu dan mendorong pengembangan di hilir, sehingga kegiatan
4
on-farm maupun off-farm terus berkembang. Agribisnis perkebunan yang berdaya saing
dan berkelanjutan di Daerah Istimewa Yogyakarta diwujudkan dengan dicapainya
peningkatan produksi, produktifitas dan mutu produk yang dihasilkan, serta pengolahan
dan pemasaran hasil yang memadai. Penerapan agribisnis ini dilaksanakan dengan
memenuhi tingkat intensifikasi usahatani yang lebih produktif, meningkatkan
kemampuan petani dan kelembagaan petani, memanfaatkan teknologi tepat guna dalam
pengolahan produk, melakukan penyebarluasan informasi pasar melalui media cetak
maupun elektronika untuk meningkatkan layanan informasi agribisnis perkebunan serta
melakukan promosi/pameran untuk meningkatkan peluang/prospek pasar produk
unggulan lokal perkebunan.
Dalam pengembangan kawasan berbasis komoditas unggulan yang terpadu dari
hulu sampai hilir, kegiatan sub sektor perkebunan di DIY terpadu mulai dari budidaya,
sarana prasarana, kelembagaan, pengendalian OPT sampai pengolahan dan
pemasarannya. Kegiatan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan serta Prasarana
dan Sarana Pertanian yang diusulkan menyatu di sentra produksi bahan bakunya
sehingga kegiatan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan yang diusulkan bahan
bakunya ada di kawasan tersebut begitu juga untuk kegiatan Prasarana dan Sarana
Pertanian yang diusulkan akan mendukung pengembangan kawasan berbasis komoditas
unggulan baik dari aspek lahan, aspek air, aspek pupuk&pestisida maupun aspek
pembiayaan. Usaha pengolahan yang berbasis klaster diharapkan dapat menunjukkan
kemampuannya secara berkesinambungan untuk mampu menembus pasar lokal,
regional, nasional maupun internasional, menghasilkan nilai tambah yang memadai,
mampu menyerap tenaga kerja dan responsif terhadap pemanfaatan inovasi teknologi.
Sesuai dengan amanat Permentan Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Pengembangan Kawasan Pertanian. Menteri Pertanian telah menetapkan Kawasan
Pertanian Nasional untuk pengembangan 40 komoditas unggulan nasional di
Kabupaten/Kota yang selanjutnya penetapan kawasan pertanian nasional tersebut
khususnya kawasan perkebunan ditetapkan melalui Kepmentan Nomor 46 Tahun 2015
tentang Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional di 24 Provinsi, 782 Kabupaten/ Kota
untuk komoditas tebu, kelapa sawit, kakako, karet, kopi, kelapa, teh, lada, cengkeh,
pala, dan jambu mete yang dalam proses revisi. Sehubungan dengan Revisi Kepmentan
5
46/2015, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta mengajukan
Usulan Calon Lokasi Pengembangan Kawasan Berbasis Komoditas Perkebunan :
1. Kabupaten Gunungkidul : Tebu, Kakao, Kelapa
2. Kabupaten Kulonprogo : Tebu, Kakao, Kelapa, Teh
3. Kabupaten Bantul : Tebu, Kelapa, Kakao
4. Kabupaten Sleman : Tebu, Kelapa, Kopi
Usulan calon lokasi pengembangan kawasan perkebunan di Daerah Istimewa
Yogyakarta mengacu pada RPJMN dan Renstra Kementan Tahun 2015 – 2019,
Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan
Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015 – 2019, Roadmap
Pengembangan Tebu DIY dalam rangka mendukung program swasembasda gula
nasional, Masterplan Agrowisata serta Review Renstra Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 – 2017.
Dalam penentuan kawasan berbasis komoditas unggulan tersebut telah
mempertimbangkan aspek teknis berupa (1) aspek teknis agronomis, yaitu (a) kondisi
potensi lokasi pengembangan berupa kondisi lahan (sumber daya alam): kecocokan
agroklimat dengan komoditas yang dikembangkan, luas areal, iklim, topografi, vegetasi,
dan pilihan komoditas, (b) kondisi sarana produksi: ketersediaan benih bermutu, pupuk,
pestisida, peralatan, mesin dan jalan pada lahan perkebunan; (2) Aspek teknis industri,
yaitu ketersediaan bahan baku; (3) Aspek ekonomis, yaitu : (a) analisis kelayakan usaha,
(b) analisis kelayakan skala ekonomi, (c) analisis dampak keberadaan kawasan sentra
produksi perkebunan terhadap pertumbuhan ekonomi mencakup analisis sumbangan
kawasan sentra produksi perkebunan terhadap pendapatan asli daerah, (d) analisis pasar;
(3) Aspek social/kelembagaan, yaitu kawasan sentra produksi perkebunan harus dapat
diterima dan dirasakan manfaatnya oleh para pelaku usaha perkebunan khususnya dan
masyarakat luas pada umumnya; (4) Aspek ekologis : kelayakan aspek
ekologi/lingkungan dalam kawasan sentra produksi perkebunan harus memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan/ekologi secara berkelanjutan; (5) Aspek dukungan sarana,
prasarana dan lahan : (a) ketersediaan dan kapasitas sarana dan prasarana yang meliputi
unit pengolahan hasil, jalan/angkutan, irigasi, lembaga pembiayaan, (b) ketersediaan
6
dan kesesuaian lahan yang mencakup pencadangan lahan dan potensi ketersediaan lahan
untuk kegiatan dan pengembangan budidaya tanaman.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY telah memiliki Roadmap dan Penetapan
Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan Jangka Pendek dan Jangka
Menengah DIY Tahun 2015 – 2019, yang merupakan peta jalan tentang langkah-
langkah strategis dan operasional pengembangan sektor/lembaga/komoditas yang
dilakukan secara bertahap untuk mencapai sasaran dan kondisi ke depan yang
diinginkan sehingga dapat memandu perencana pembangunan pertanian untuk
menetapkan komoditas unggulan pertanian yang berdaya saing, dapat memacu
pertumbuhan wilayah serta dapat mensejahterakan pelaku usaha, terutama masyarakat
petani. Dalam Roadmap telah ditetapkan kluster-kluster komoditas unggulan
perkebunan, yaitu Kulonprogo (Kelapa, Kakao, Teh, Kopi, dan Cengkeh, Bantul
(Kelapa, Kakao dan Mete), GunungKidul (Kelapa, Kakao, dan Mete), Sleman (Kelapa,
Kakaodan Kopi). Serta ditetapkannya kluster pengembangan agrowisata di Kecamatan
Kalibawang, Samigaluh dan Girimulyo yang merupakan integrasi lintas sektor, yaitu
Kluster I (Kelapa, kopi, durian menoreh), kluster II (teh, kakao, kopi, cengkeh, bunga
krisan), kluster III (cengkeh, gula semut, salak, kambing PE). Dengan adanya dokumen
roadmap tersebut diharapkan dapat menjadi data dukung dalam penyusunan masterplan
pengembangan kawasan perkebunan.
Aspek dasar pengembangan kawasan terdiri dari pengembangan sarana dan
prasarana produksi, lahan, air pertanian serta prasarana pendukung. Penguatan sarana
prasarana produksi pertanian seperti benih/bibit, pupuk dan obat-obatan harus dijamin
ketersediaannya, baik dalam jumlah dan ketepatan waktu. Terkait dengan hal tersebut
diperlukan fasilitasi sarana prasarana irigasi, potensi pengairan, lahan, modal, benih,
pupuk, jaringan jalan, transportasi, ketersedian alsintan, kapasitas terpasang dan riil
pengolahan hasil, dan sarana penunjang lainnya untuk mendukung pengembangan
kawasan perkebunan.
Dengan menggunakan pendekatan wilayah, yaitu fokus pada pengembangan
kawasan berbasis komoditas unggulan (cluster) diharapkan suatu kawasan dapat digarap
secara utuh, terpadu dari hulu sampai hilir, multiyears/berkelanjutan, sinergi antara
7
stakehoder dan berskala ekonomi sehingga diharapkan dapat menjadi pengungkit/trigger
wilayah perkebunan nasional.
Pada skala nasional tingkat kemiskinan DIY menempati rangking 9
dibandingkan wilayah lain (diatas rerata nasional). Dengan adanya pengembangan
kawasan berbasi komoditas unggulan perkebunan diharapkan dapat menjadi triger pada
wilayah tersebut dan membantu pengentasan kemiskinan terutama pada kantong-
kantong kemiskinan DIY sesuai dengan Tema RKP DIY Tahun 2017 “ Memacu
Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja serta
Mengurangi Kemiskinan dan Kesenjangan Antarwilayah”
B. Tujuan
Tujuan penyusunan Master Plan Pengembangan Kawasan Kakao di Daerah
Istimewa Yogyakarta :
1. Sebagai acuan bagi provinsi dalam merancang bangun strategi dan kebijakan serta
merumuskan indikasi program dan kegiatan pengembangan kawasan komoditas
unggulan secara terarah dan terfokus di tingkat kabupaten.
2. Sebagai rujukan bagi kabupaten untuk menyusun action plan pengembangan
kawasan kakao dengan menjabarkan indikasi program dan kegiatan ke dalam
rencana yang lebih operasional.
3. Sebagai bahan evaluasi implementasi strategi dan kebijakan pengembangan
kawasan kakao apakah sudah sesuai dengan tujuan yang direncanakan, termasuk
kebutuhan alokasi dana yang diperlukan.
4. Sebagai acuan bagi para pengambil keputusan di pusat dan daerah dalam
menetapkan kebijakan yang terkait dengan pengembangan komoditas pertanian
strategis dan unggulan nasional secara komprehensif dan terpadu dari aspek hulu,
hilir maupun aspek penunjangnya dalam rangka mewujudkan sinergitas dan
pengutuhan pembangunan pertanian yang berbasis kawasan;
5. Mendorong sinergitas perumusan dan implementasi kebijakan nasional dan daerah
dalam pengembangan komoditas strategis dan komoditas unggulan pertanian sesuai
dengan kondisi agroekosistem di setiap wilayah guna mendukung tercapainya 4
target sukses Kementerian Pertanian;
8
6. Memadukan serangkaian program dan kegiatan pertanian menjadi suatu kesatuan
yang utuh baik dalam perspektif sistem maupun kewilayahan, sehingga dapat
mendorong peningkatan daya saing komoditas, wilayah serta kesejahteraan petani
sebagai pelaku usaha tani.
7. Meningkatkan kapasitas perencana dan perencanaan dalam pengembangan
komoditas strategis dan unggulan nasional yang berbasis kinerja, berorientasi hasil
dan berkerangka pengeluaran jangka menengah guna mendukung tercapainya tujuan
pembangunan yang berdimensi kewilayahan.
C. Hasil Yang Diharapkan
1. Unit – unit usaha .dan komoditas yang berada dalam suatu kesatuan wilayah/
kawasan memiliki tingkat pertumbuhan, efisiensi dan daya saing yang lebih tinggi
jika dibantingkan dengan yang berada di luar kawasan dan terpencar-pencar.
2. Meningkatnya produksi, produktivitas, dan mutu komoditas unggulan yang
dikembangkan
3. Meningkatnya aktivitas pasca panen panen dan kualitas produk kakao
4. Meningkatnya aktivitas pengolahan dan nilai tambah produk kakao
5. Meningkatnya jaringan pemasaran komoditas kakao
6. Meningkatnya pendapatan pelaku usaha komoditas kakao
7. Meningkatnya jaringan pemasaran komoditas kakao
8. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha
9. Meningkatnya aksesibilitas terhadap sumber pembiayaan, teknologi dan informasi
D. Dasar Hukum
1. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3478).
2. Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Perkebunan (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411).
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.(Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437).
9
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4438).
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
6. Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.
7. Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725)
8. Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Derah Provinsi, dan Pemerintah Derah Kabupaten/
Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, tambahan Lembaran Negara Nomor
4737).
9. Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5068)
10.Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wlayah
Nasional (Lembaran Negara tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4833)
11.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41/ Permentan/OT.140/9/2009 Tentang Kriteria
Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian
12.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang Pedoman
Pengembangan Kawasan Pertanian.
13.Keputusan Menteri Pertanian Nomor 46/Kpts/PD.120/1/2015 tentang Penetapan
Kawasan Perkebunan Nasional
14.Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Rincian Tugas dan Fungsi Dinas dan Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
15.Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tanggal 15 Agustus 2008 tentang Organisasi
dan Tatakerja Dinas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;
10
E. Peristilahan
1. Komoditas unggulan adalah komoditas yang memiliki ciri dan karakteristik tertentu
tertentu yang terkait dengan kemampuan komoditas tersebut bersaing secara
komparatif maupun kompetitif baik secara internasional, nasional, wilayah maupun
spesifik lokal. Ciri komoditas unggulan : (1) mampu menjadi penggerak utama
(prime mover) pembangunan yang artinya mempunyai kontribusi yang menjanjikan
pada peningkatan produksi dan pendapatan, (2) memiliki keterkaitan ke depan yang
kuat, baik secara komoditas unggulan maupun komoditas lainnya, (3) mampu
bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain dipasar nasional baik dalam harga
produk, biaya produksi, kualitas, pelayanan, maupun aspek-aspek lainnya, memiliki
keterkaitan dengan daerah lain baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasok
bahan baku, (4) mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai
dengan skala produksinya.
2. Wilayah adalah area geografis dengan penciri tertentu yang merupakan media bagi
segala sesuatu untuk berlokasi dan berintegrasi. Perwilayahan pertanian diarahkan
untuk mendefinisikan, memetakan, merencanakan dan mengembangkan pertanian
yang menguntungkan (secara ekonomi dan sosial) baik bagi rumah tangga petani,
masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan
kemampuan dan fungsi sumberdaya alam dan lingkungan.
3. Kawasan pengembangan komoditas unggulan merupakan suatu area yang
dikembangkan untuk satu atau gabungan komoditas unggulan yang memenuhi ciri
penggunaan lahan yang memberikan pendapatan tertinggi (kepuasan tertinggi secara
ekonomi dan sosial) bagi rumah tangga petani, masyarakat dan wilayah yang
bersangkutan tanpa mengorbankan fungsi sistem sumber daya alam dan lingkungan
sebagai pendukung sistem pertanian wilayah tersebut.
4. Kawasan pertanian adalah gabungan dari sentra – sentra pertanian yang terkait
secara fungsionakl baik dalam faktor sumber daya alam, sosial budaya, maupun
infratrtuktur, sedemikian rupa sehingga memenuhi batasan luasan minimal skala
ekonomi dan evektivitas manajemen pembangunan wilayah.
5. Sentra produksi komoditas unggulan adalah suatu luasan areal tanaman yang
merupakan komoditas unggulan sejenis dan memenuhi batasan luasan atau populasi
11
minimal skala efisiensi pengusahaan mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan
dan pemasaran.
6. Kawasan perkebunan atau kawasan pengembangan perkebunan adalah wilayah
pembangunan perkebunan sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan dan usaha
agribisnis perkebunan yang berkelanjutan. Kawasan tersebut disatukan oleh faktor
alamiah, kegiatan ekonomi, sosial budaya dan berbagai infrastruktur, serta dibatasi
oleh agroekosistem yang sama sehingga mencapai skala ekonomi dan efektivitas
manajemen uasaha perkebunan. Kawasan perkebunan dapat berupa kawasan yang
telah ada maupun lokasi baru yang sesuai dengan persyaratan bagi masing-masing
jenis budidaya perkebunan dan lokasinya disatukan oleh agroekositem yang sama.
7. Perencanaan pengembangan kaawasan pertanian merupakan suatu bentuk penelitian
dan atau pengkajian yang dilakukan secara sistematis dari berbagai aspek atau
fakror-faktor tertentu yang ada dalam maupun yang terkait dengan pengembangan
kasawan pertanian.
8. Master Plan pengembangan kawasan pertanian adalah rancang bangun dan
instrumen perencanaan untuk menjabarkan arah kebijakan, strategi, tujuan program
dan sasaran kegiatan pengembangan komoditas unggulan pertanian nasional di
tingkat provinsi.
9. Rencana aksi (Action Plan) adalah rancang bangun dan instrumen perencanaan
untuk menjabarkan secara lebih operasional Master Plan yang disusun. Rencana aksi
merupakan rencana detail kawasan pertanian di kabupaten/ kota yang disusun setiap
tahun dan kemudian direkap untuk jangka waktu 5 tahun.
12
BAB II
VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PENGEMBANGAN
KAWASAN PERKEBUNAN
A. Komoditas dan Calon Lokasi
Sesuai dengan amanat Permentan Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Pengembangan Kawasan Pertanian. Menteri Pertanian telah menetapkan Kawasan
Pertanian Nasional untuk pengembangan 40 komoditas unggulan nasional di
Kabupaten/Kota yang selanjutnya penetapan kawasan pertanian nasional tersebut,
khususnya kawasan perkebunan ditetapkan melalui Kepmentan Nomor 46 Tahun 2015
tentang Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional di 24 Provinsi, 782 Kabupaten/ Kota
untuk komoditas tebu, kelapa sawit, kakako, karet, kopi, kelapa, teh, lada, cengkeh,
pala, dan jambu mete. Sehubungan dengan Revisi Kepmentan 46/2015, sesuai Surat
Sekretaris Direktur Jenderal Perkebunan Nomor : B-4762/RC.040/E.1/5/2016 Perihal
Usulan Calon Lokasi Pengembangan Kawasan Berbasis Komoditas Perkebunan (Revisi
Kepmentan 46/2015) Tanggal 2 Mei 2016, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah
Istimewa Yogyakarta mengajukan usulan calon lokasi pengembangan kawasan berbasis
komoditas perkebunan di Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi :
1. Kabupaten Gunungkidul : Tebu, Kakao, Kelapa
2. Kabupaten Kulonprogo : Tebu, Kakao, Kelapa, Teh
3. Kabupaten Bantul : Tebu, Kelapa, Kakao
4. Kabupaten Sleman : Tebu, Kelapa, Kopi
Usulan calon lokasi pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan di
Daerah Istimewa Yogyakarta memperhatikan :
1. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Pengembangan Kawasan Pertanian.
2. RPJMN Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019 dalam rangka mendukung
peningkatan ketahanan pangan pokok (padi, jagung, kedelai, gula, daging, bawang
merah dan cabe), pengembangan komoditas ekspor dan komoditas subtitusi impor,
pengembangan bioindustri dan bioenergi, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani.
13
3. Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019 yang memprioritaskan alokasi
untuk program aksi Nawacita, dengan fokus pengembangan komoditas strategis Padi,
Jagung, Kedelai, Tebu, Sapi, Bawang Merah, Cabai serta Komoditas strategis
berorientasi ekspor : kelapa sawit, kopi, kakao, karet.
4. RPJMD Daerah Istimewa Yogyakarta menuju DIY yang berdaulat pangan, sesuai
Semangat UU No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY, Arahan Kebijakan
dlm “Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru 2012-2017 yaitu menguatkan
perekonomian daerah dengan semangat kerakyatan, inovatif, kreatif, berdaya saing
pariwisata untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah yg berkualitas &
berkeadilan melalui Penguatan Ekonomi Lokal & Modal Sosial, Pengembangan
Ekonomi Kerakyatan berbasis Agraris, Maritim, & Niaga.
5. Renstra Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY Tahun 2012 – 2017 dengan sasaran
terwujudnya agribisnis perkebunan yang produktif, bernilai tambah dan berdaya
saing melalui pengembangan komoditas unggulan berbasis kawasan secara terpadu
dari on farm sampai off farm.
6. Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan
Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015 – 2019 berupa penetapan
komoditas unggulan yang berdaya saing dan dapat memacu pertumbuhan wilayah
serta dapat mensejahterakan petani.
7. Roadmap Pengembangan Tebu DIY dalam rangka mendukung program
swasembasda gula nasional.
8. Masterplan Agrowisata sebagai bentuk kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat
berbasis agribisnis dan wisata, dengan penentuan Kluster di Kulonprogo pada 3
Kecamatan, yaitu Kecamatan Kalibawang, Samigaluh dan Girimulyo.
14
2.1. KLUSTER SLEMAN
2.2.KLUSTER GUNUNGKIDUL
15
2.3. KLUSTER KULONPROGO
2.4 KLUSTER BANTUL
Terkait dengan penetapan kluster pengembangan komoditas unggulan
tersebut, maka di DIY akan dikembangkan kawasan perkebunan kakao dengan mengacu
pada Permentan No 50 Tahun 2012 sebagai Grand Design dan akan dijabarkan ke
dalam Masterplan Pengembangan Kawasan Kakao. Hal ini didasarkan pada :
16
1. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan di DIY,
2. Pengembangan Model Desa Kakao merupakan salah satu program strategis Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Memenuhi amanat Permentan No 67 Tahun 2014.
Sesuai Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas
Unggulan Perkebunan Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015 – 2019 di
DIY telah ditetapkan lokasi pengembangan kakao :
a. Branding Kakao Purba Gunungkidul : Klaster Kakao di Kec Karangmojo, Patuk,
Playen, Ponjong, dan Nglipar.
b. Branding Kakao Menoreh Kulonprogo : Klaster Kakao di Kec. Kalibawang (Desa
Kakao).
c. Branding Kakao Sleman : Klaster Kakao di Kec. Prambanan, Cangkringan dan
Pakem
d. Branding Kakao Bantul : Klaster Kakao di Kec. Dlingo dan Piyungan
Dengan menggunakan pendekatan wilayah, yaitu fokus pada pengembangan
kawasan berbasis komoditas unggulan (cluster) diharapkan suatu kawasan dapat digarap
secara utuh, terpadu dari hulu sampai hilir, multiyears/berkelanjutan, sinergi antara
stakehoder dan berskala ekonomi sehingga diharapkan dapat menjadi pengungkit/trigger
wilayah perkebunan nasional.
B. Visi Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota
Visi Kementerian Pertanian :
“Terwujudnya kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani”
Visi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta :
“ Daerah Istimewa Yogyakarta Yang Lebih Berkarakter, Berbudaya, Maju, Mandiri
dan Sejahtera Menyongsong Peradaban Baru “
Visi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta :
“ Terwujudnya hutan lestari dan agribisnis perkebunan berkelanjutan”
17
Visi Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul :
“ Gunungkidul yang berdaya saing, maju, mandiri dan sejahtera Tahun 2025”
Visi Pemerintah Daerah Kabupaten Kulonprogo :
“Terwujudnya Kabupaten Kulon Progo yang sehat, mandiri, berprestasi, adil, aman
dan sejahtera berdasarkan iman dan taqwa"
Visi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman :
“Terwujudnya Masyarakat Sleman yang lebih sejahtera, mandiri, berbudaya dan
terintegrasikannya sistem e-government menuju smart regency (kabupaten cerdas) pada
tahun 2021"
Visi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul :
“Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bantul yang sehat, cerdas dan sejahtera,
berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, dan kebangsaan dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)"
C. Misi Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten
Misi Kementerian Pertanian :
1. Mewujudkan ketahanana pangan dan gizi.
2. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian.
3. Mewujudkan kesejahteraan petani.
4. Mewujudkan kementerian pertanian yang transparan, akuntabel, profesional, dan
berintegritas tinggi.
Misi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta :
Menguatkan perekonomian daerah yang didukung dengan semangat kerakyatan inovatif
dan kreatif
Misi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta :
1. Mewujudkan tata kelola hutan lestari.
2. Mewujudkan agribisnis perkebunan berkelanjutan dan berdaya saing.
18
Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul :
1. Mewujudkan pemerintahan daerah yang baik dan bersih.
2. Mewujudkan pemantapan sistem dan kelembagaan serta peningkatan kualitas
sumber daya manusia.
3. Mewujudkan pemantapan sistem dan kelembagaan perekonomian.
4. Mewujudkan peningkatan kemampuan keuangan daerah.
5. Mewujudkan penyediaan parasarana sarana dasar yang memadai; dan
6. Mewujudkan pendayagunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Kulonprogo :
1. Mewujudkan sumberdaya manusia berkualitas tinggi dan berakhlak mulia melalui
peningkatan kemandirian, kompetensi, keterampilan, etos kerja, tingkat pendidikan,
tingkat kesehatan dan kualitas keagamaan.
2. Mewujudkan peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintahan yang
berorientasi pada prinsip-prinsip clean government dan good governance.
3. Mewujudkan kemandirian ekonomi daerah yang berbasis pada pertanian dalam arti
luas, industri dan pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan bertumpu pada
pemberdayaan masyarakat.
4. Meningkatkan pelayanan infrastruktur wilayah.
5. Mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara optimal dan
berkelanjutan.
6. Mewujudkan ketentraman dan ketertiban melalui kepastian, perlindungan dan
penegakan hukum.
Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman :
1. Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik melalui peningkatan kualitas
birokrasi yang responsif dan penerapan e-govt yang terintegrasi dalam memberikan
pelayanan bagi masyarakat.
2. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan
menjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
19
3. Meningkatkan penguatan sistem ekonomi kerakyatan, aksesibikitas dan
kemampuan ekonomi rakyat, serta penanggulangan kemiskinan..
4. Memantapkan dan meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya alam, penataan
ruang, lingkungan hidup dan kenyamanan.
5. Meningkatkan kualitas budaya masyarakat dan kesetaraan gender yang
proporsional.
Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul :
1. Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik, efektif, efisien dan bebas dari
KKN melalui percepatan reformasi birokrasi.
2. Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah menuju tata kelola pemerintahan yang
empatik.
3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas, terampil dan
berkepribadian luhur.
4. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat difokuskan pada percepatan pengembangan
perekonomian rakyat dan pengentasan kemiskinan.
5. Meningkatkan kapasitas dan kualitas sarana prasarana umum, pemanfaatan
sumberdaya alam dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan
pengelolaan resiko bencana.
6. Meningkatkan tata kehidupan masyarakat Bantul yang agamis, nasionalis, aman,
progresif dan harmonis serta berbudaya istimewa.
D. Tujuan Pengembangan Komoditas dan Kawasan Pertanian
Tujuan Pengembangan Komoditas Komoditas dan Kawasan Pertanian adalah :
1. Membangun masyarakat perdesaan beserta sarana dan prasarana pendukungnya.
2. Mendorong terciptanya efisiensi produksi.
3. Meningkatkan kontinuitas dan kualitas produksi untuk pemenuhan kebutuhan
konsumsi, industri pengolahan dan konsumsi dalam negeri dan ekspor.
4. Meningkatkan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan perdagangan komoditas dan
wilayah.
5. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang relatif tingggi secara berkelanjutan.
20
6. Mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan pendapatan petani dan
masyarakat pedesaan.
7. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
8. Mendorong pemanfaatan ruang yang efisien dan berkelanjutan.
9. endorong terciptanya efektivitas dan efisiensi pengalokasian anggaran
pembangunan.
E. Sasaran Pengembangan Komoditas dan Kawasan Pertanian
Sasaran pengembangan Komoditas dan Kawasan pertanian adalah
1. Terjaminnya dukungan perencanaan wilayah dalam penyelenggaraan program dan
kegiatan pembangunan pertanian yang terkait dengan pencapaian target dan
perlindungan lahan berkelanjutan bagi komoditas strategis nasional guna
mewujudkan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor
serta peningkatan kesejahteraan petani;
2. Terumuskannya instrumen untuk mendukung perencanaan wilayah bagi Kepala
Daerah dalam menetapkan kebijakan operasional dalam merencanakan dan
mengimplementasikan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Provinsi dan
Kabupaten/Kota; dan
3. Terumuskannya bahan koordinasi lintas sektoral dan lintas jenjang pemerintahan
dalam meningkatkan daya saing wilayah dan komoditas strategis dan komoditas
unggulan pertanian nasional.
F. Indikator Pengembangan Kawasan Pertanian
1. Tersusunnya Master Plan dan Rencana Aksi pengembangan kawasan pertanian
secara komprehensif di daerah.
2. Adanya kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan kawasan pertanian di
daerah.
3. Tersedianya alokasi anggaran non APBN Kementan/ APBD yang mendukung
pengembangan kawasan pertanian secara berkelanjutan (multy years).
21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka Pengembangan Komoditas Unggulan dan Kawasan
Perkebunan
Kondisi topografi di Indonesia mempunyai strata topografi yang paling
lengkap mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Di setiap daerah pada
umumnya mempunyai komoditas unggulan yang mempunyai citarasa khusus
dibandingkan dengan komoditas serupa di daerah lainnya, sehingga jika komoditas
tersebut dikembangkan secara optimal akan mempunyai tingkat produksi dan nilai jual
yang cukup tinggi bsgi kesejahteraan petani. Dengan begitu, strategi pembangunan
pertanian kedepan dalam rangka mendukung revitalisasi pertanian, ditekankan
diintensifkan dan difokuskan kepada kualitas komoditas unggulan tersebut baik pada
penerapan teknologi produksi, teknologi pascapanen, efisiensi biaya produksi sampai
dengan pemasaran. Pemberdayaan petani di pedesaaan perlu juga dilakukan dengan
fokus optimalisasi komoditas unggulan daerah bertujuan terwujudnya sektor pertanian
nasional yang tangguh dan mampu bersaing dalam era pasar bebas.
Berkaitan dengan hal tersebut, perencanaan pembangunan perkebunan dengan
pendekatan komoditas unggulan menekankan motor penggerak pembangunan suatu
daerah pada komoditas-komoditas yang dinilai bisa menjadi unggulan baik di tingkat
domestik maupun internasional. Penentuan komoditas unggulan merupakan langkah
awal menuju pembangunan perkebunan yang berpijak pada konsep efisiensi untuk
meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi
perdagangan. Ada beberapa kriteria mengenai penentuan komoditas unggulan nasional
perkebunan, diantaranya :
1. Komoditas unggulan perkebunan harus mampu menjadi penggerak utama
pembangunan perekonomian, yaitu dapat memberikan kontribusi yang signifikan
baik pada peningkatan produksi, pendapatan maupun pengeluaran.
22
2. Komoditas unggulan perkebunan mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang
yang kuat baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas-komoditas lainnya
lingkup pertanian.
3. Komoditas unggulan perkebunan mampu bersaing dengan produk sejenis dari
wilayah lain di pasar nasional maupun internasional baik dalam harga produk, biaya
produksi, kualitas pelayanan maupun aspek-aspek lainnya.
4. Komoditas unggulan perkebunan di suatu daerah memiliki keterkaitan dengan daerah
lain baik dalam hal pasar maupun pasokan bahan baku.
5. Komoditas unggulan perkebunan mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara
optimal sesuai dengan skala produksinya
6. Komoditas unggulan perkebunan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, mulai
dari fase kelahiran, inisiasi, pertumbuhan, puncak hingga penurunan.
7. Komoditas unggulan perkebunan lebih stabil terhadap gejolak eksternal dan internal
8. Pengembangan komoditas unggulan perkebunan berorientasi psda kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan.
Komoditas unggulan perkebunan juga dapat ditinjau dari sisi penawaran dan
permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan perkebunan dicirikan oleh
superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial
ekonomi petani di suatu wilayah. Sementara dari sisi permintaan komoditas unggulan
perkebunan dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar, baik pasar domestik maupun
internasional. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa komoditas unggulan
perkebunan merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis berdasarkan
pertimbangan fisik (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial, ekonomi dan kelembagaan
(penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur dan kondisi
soisal budaya) untuk dikembangakn di suatu wilayah dan di lahan perkebunan.
Berkaitan dengan aspek komoditas, komoditi perkebunan terdiri atas 127 jenis
tanaman, berupa tanaman tahunan dan tanaman semusim dengan areal sebaran mulai
dataran rendash sampai dataran tinggi, hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri
Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditi tanaman binaan
Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat
Jenderal Hortikultura serta Keputusan Menteri Pertanian nomor
3399/Kpts/PD.310/10/2009 tentang perubahan lampiran I dari Keputusan Menteri
23
Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006. Dari 127 komoditas binaan Direktorat
Jenderal Perkebunan, prioritas penanganan untuk difasilitasi dan dikembangkan sesuai
dengan arah dan kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan dalam revisi Renstra Ditjen.
Perkebunan 2015 – 2019 pengembangan komoditas perkebunan yang terdiri dari 2
kelompok komoditas, yaitu 10 kelompok strategis yang menjadi unggulan nasional
perkebunan (tebu, kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, teh, pala, lada dan cengkeh)
dan 6 komoditas perkebunan lainnya yang diarahkan pada pemenuhan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) seperti kemiri, jambu mete, kemiri sunan, sagu, nilam, kapas
dan tembakau.
Untuk itu, dalam rangka pengembangan komoditas unggulan nasional
perkebunan, Kementerian Pertanian secara intensif telah melakukan berbagai langkah
strategis dengan mengidentifikasi dan mengembangkan potensi komoditas unggulan
tersebut di berbagai daerah di Indonesia. Langkah strategis tersebut tertera pada
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 50/ Permentan/OT.140/8/2012 tentang
Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian dan Keputusan Menteri Pertanian
(Kepmentan) nomor 46/Kpts/PD.300/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Perkebunan
Nasional.
Arahan dan kebijakan dari Permentan Nomor 50 tahun 2012 terkait
pengembangan komoditas pertanian dalam ruang lingkup kawasan antara lain :
1. Menteri Pertanian memfasilitasi kawasan pertanian bagi pengembangan 40
komoditas unggulan nasional di kabupaten/ kota dengan mengembangkan potensi
yang ada, melanjutkan dari kondisi saat ini, pengutuhan kegiatan, menyediakan
sarana dan prasarana, kemudahan perijinan, pemanfaatan lahan, penyediaan data dan
informasi, promosi, penganggaran, membanguan keterpaduan secara multi years
sehingga menjadi satu kesatuan sistem pertanian industrial.
2. Gubernur dan Bupati/ walikota mensinergikan kegiatan untuk mendukung
pengembangan kawasan pertanian melalui dana APBD maupun sumber pembiayaaan
lain.
3. Provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak termasuk dalam lokasi kawasan komoditas
unggulan nasional dapat mengalokasikan APBD dalam rangka mendukung
pencapaian swasembada pangan.
24
4. Kawasan pertanian dibedakan menjadi kawasan pertanian nasional, kawasan
pertanian provinsi dan kawasan pertanian kab/ kota.
5. Kawasan pertanian nasional ditetapkan oleh Menteri, kawasan pertanian provinsi
ditetapkan oleh Gubernur, dan kawsan pertanian kabupaten/ kota ditetapkan oleh
Bupati/ Walikota.
6. Pengembangan kawasan pertanian harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah,
menjamin kelestarian sumberdaya alam, fungsi lingkungan, keselamatan masyarakat
dan selaras dengan Rencana Strategis Pembangunan Daerah.
7. Kementerian Pertanian mendorong Kementerian/ Lembaga terkait untuk mendukung
pengembangan kawasan pertanian sesuai dengan tupoksinya.
8. Kementerian Pertanian bersama dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/ Kota mendorong minat investor (BUMN, BUMD, PMA, PMDN,
koperasi dan lainnya) untuk mengembangkan kawasan pertanian.
9. Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang antara lain meliputi aspek perbenihan,
penyuluhan, penelitian, infrastruktur serta pengendalian organisme pengganggu
tanaman dan penyakit hewan.
Pengembangan kawasan berbasis komoditi perkebunan pada era otonomi
daerah menjadi tanggungjawab sepenuhnya pemerintah daerah, yang dalam hal ini
adalah di tingkat kabupaten/ kota sebagai daerah otonom, dengan demikian daerah
sebagai ujung tombak pembangunan nasional dituntut untuk dapat bersaing dalam
meningkatkan daya saing wilayahnya agar dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dengan mengacu pada tolok ukur kemajuan pembangunan wilayah yaitu
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendapatan perkapita yang merata dan tingkat
pengangguran yang rendah. Pemerintah pusat dalam hal ini hanya berfungsi sebagai
pemangku kebijakan dan regulasi dalam mendukung pengembangan kawasan berbasis
komoditi perkebunan, selain itu memiliki kewenangan dalam pengawasan dan evaluasi
kegiatan pembangunan perkebunan berbasis kawasan yang dilaksanakan di daerah.
Kriteria umum pengembangan kawasan berbasis komoditi perkebunan adalah :
1. Kawasan eksisting atau kawasan berpotensi dari masing-masing jenis budidaya
tanaman perkebunan.
2. Jenis pengusahaan : rakyat atau besar.
3. Pengusahaan dengan skala integrasi dengan unit pengolahannya.
25
4. Mitra dengan usaha perkebunan rakyat berkelanjutan.
5. Memiliki keterkaitan dengan pengolahan dan pemasaran hasil.
6. Dapat ditingkatkan produksi dan produktivitasnya.
7. Pengembangan pengolahan skala wilayah
8. Pengembangan kebersamaan ekonomi petani melalui pemberdayaan.
9. Arah pengembangan menuju prinsip pembangunan berkelanjutan
10.Sejalan dengan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2015 – 2019 dan Renstra
Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2015 – 2019.
11.Dukungan dari Pemerintah daerah dan swadaya masyarakat.
Untuk mewujudkan pengembangan kawasan perkebunan yang berhasil maka
diperlukan strategi yang optimal. Strategi pengembangan kawasan berbasis komoditi
perkebunan adalah menempatkan komoditas perkebunan sebagai komoditas unggulan
nasional melalui pengembangan industri perkebunan yang menghasilkan produk hulu
hingga hilir serta pengembangan produk samping secara industrial. Strategi
pengembangan kawasan perlu didukung oleh kebijakan yang lebih operasional
menyangkut aspek – aspek yang menjadi kriteria pengembangan kawasan diantaranya
1) kesesuaian sumberdaya alam, 2) ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, 3)
potensi dukungan layanan pengembangan, 4) kontribusi terhadap ekonomi wilayah, 5)
dukungan stakeholder, 6) penerimaan masyarakat, 7) potensi keberlanjutan
pengembangan kawasan.
Rekomendasi teknis pengembangan kawasan yang menjadi arah dan kebijakan
Direktorat Jenderal Perkebunan adalah memfasilitasi pengembangan komoditi unggulan
perkebunan sebagaimana telah ditetapkan dalam Kepmentan Nomor
46/Kpts/PD.300/1/2015 tentang penetapan kawasan perkebunan nasional melalui
intervensi program/ kegiatan dan penetapan regulasi yang akan menjadi dasar
pengalokasian anggaran berjalan secara terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan. Bagi
Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/ Kota) melalui SKPD yang membidangi
perkebunan diharapkan dapat mendukung penetapan peringkat kawasan berbasis
komoditi perkebunan, salah satunya adalah dengan cara menetapkan CP/CL melalui
kelompok tani penerima manfaat yang berkinerja baik dan lokasi pengembangan dengan
potensi yang baik serta dengan menyusun rencana strategis daerah terkait
pengembangan kawasan berbasis komoditi perkebunan. Hal lain bagi SKPD Provinsi
26
sesuai amanat Permentan nomor 50 Tahun 2012 adalah segera membuat Masterplan
Pengembangan Kawasan Pertanian/ Perkebunan dan SKPD Kabupaten/ Kota
menjabarkan masterplan tersebut ke dalam rencana aksi untuk setiap tahun perencanaan.
Pembangunan perkebunan saat ini dan dimasa yang akan datang menghadapi
tantangan yang cukup berat. Selain tuntutan pembangunan yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan, juga mampu memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran.
Keberhasilan pembangunan perkebunan di era yang penuh persaingan ini adalah
bagaimana kita dapat “mensinergikan” seluruh potensi sumberdaya yang ada untuk
mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan.
Arah kebijakan umum ditetapkan dalam rangka mendukung program
Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2015 – 2019 yaitu peningkatan produksi
komoditas perkebunan berkelanjutan, sedangkan arah kebijakan khusus adalah arah
kebijakan pembangunan perkebunan tahun 2015 – 2019 yang ditetapkan dalam rangka
mendukung pencapaian 7 sasaran strategis kementerian Pertanian tahun 2015 – 2019
baik sasaran strategis utama maupun sasaran strategis pendukung.
Sasaran Strategis Utama Ditjen. Perkebunan tahun 2015 – 2019 :
a. Pemenuhan penyediaan bahan baku tebu dalam rangka peningaktan produksi gula
nasional.
b. Peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam
mewujukn daya saing sub sektor perkebunan yang difokuskan pada pengembangan
produk segar dan olahan dari 16 komoditas unggulan perkebunan.
c. Pemenuhan penyediaan bahan baku bio energi dan pengembangan fondasi sistem
pertanian bio-industri dengan fokus pengembangan komoditas kelapa sawit baik
melalui kegiatan budidaya dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas
maupun melalui kegiatan integrasi tanaman perkebunan dengan ternak dan
tumpangsari dengan komoditas pertanian lainnya serta penyediaan benih kemiri
sunan.
Sasaran Strategis Pendukung Ditjen. Perkebunan tahun 2015 – 2019 :
a. Peningkatan kualitas sumberdaya insani perkebunan.
b. Penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan.
c. Akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik dengan menerapkan prinsip
keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, supremasi hukum, keadilan,
27
integrtas/ komitmen, kejujuran, konsistensi dan bebas KKN di lingkungan organisasi
Ditjen.Perkebunan.
d. Peningkatan pendapatan keluarga pekebun yang merupakan resultan dari pencapaian
sasaran strategis lainnya.
B. Kerangka Pemikiran Penyusunan Masterplan dan Rencana Aksi
Pedoman pengembangan kawasan pertanian (Permentan Nomor 50 Tahun
2012) merupakan Rencana Induk (Grand Design) pengembangan kawasan pertanian
nasional, mengarahkan bahwa manajemen pengeloaan kawasan dirancang untuk
dilakukan secara berjenjang, mulai pengelola di pusat, di provinsi dan di kabupaten/
kota. Dengan demikian maka kelembagaan pengelola kawasan di provinsi diarahkan
untuk menyusun Master Plan untuk setiap jenis kawasan yang ada di provinsi sebagai
upaya untuk menjabarkan arah kebijakan, strategi, tujuan, program/ kegiatan
pengembangan kawasan nasional. Adapun kelembagaan pengelola kawasan di
kabupaten/ kota diarahkan untuk menyusun rencana aksi (Action Plan) yang
merupakan penjabaran operasional dari Master Plan sebagai upaya untuk rencana yang
lebih rinci dalam kurun waktu tahun jamak (multi years).
Master Plan merupakan rancang bangun pembangunan kawasan pertanian yang
bersifat scientific atau teknokratik untuk mengarahkan pengembangan dan pembinaan
kawasan pertanian di tingkat regional provinsi, sebagai rujukan bagi kabupaten/ kota
untuk menyusun kerjasama lintas kabupaten/ kota dan rencana program dan kegiatan
operasional di tingkat kabupaten/ kota. Secara garis besar rancang bangun
pengembangan kawasan pertanian meliputi : (1) simulasi skenario arahan dan tujuan
kebijakan dan program makro-regional yang bersifat strategis atau yang bersifat sebagai
masterplan dan (2) simulasi skenario sasaran program dan kegiatan mikro lokasional
yang bersifat taktis dan operasional atau yang bersifat sebagai action plan. Action Plan
merupakan penjabaran operasional dari Master Plan sebagai upaya untuk menyusun
rencana yang lebih rinci dalam kurun waktu jamak (multi years) sekurang-kurangnya
selama 5 tahun.
Setelah tersusunnya Master Plan kawasan pertanian di tingkat provinsi
selanjutnya dijabarkan ke dalam action plan atau rencana aksi yang dilaksanakan di
28
tingkat kabupaten/ kota. Rencana aksi adalah suatu kegiatan penyusunan rencana
operasional yang lebih mendalam untuk melaksanakan pengembangan kawasan wilayah
pertanian sebagai acuan menyusun program dan kegiatan yang spesifik lokasi sesuai
agroekosistem dan kondisi sosial ekonomi setempat.
3.1. Kerangka Pikir Penyusunan Masterplan dan Rencana Aksi
VISI PENGEMBANGAN KAWASAN
MISI PENGEMBANGAN KAWASAN
ARAH PROGRAM DAN KEGIATAN
KERANGKA
SENJANG
/ GAP
DIPANDU PERMENTAN 50/2012
SEBAGAI PEDOMAN UMUM DAN
PEDOMAN TEKNIS ESELON I
ANALISIS DALAM
PENYUSUNAN
MASTERPLAN
ANALISIS
INTI
ANALISIS POTENSI
SUMBERDAYA
ANALISIS
PERENCANAAN
PENGEMBANGAN
ANALISIS ROADMAP
DAN RENCANA AKSI
TUJUAN DAN SASARAN
OUTPUT DAN OUTCOME
KONDISI EKSISTING
SAAT INI
SASARAN
Untuk menyusun Master Plan, maka diperlukan tim kerja atau kelompok kerja
yang di dalamnya beranggotakan atau melibatkan para tenaga ahli sesuai pada bidang
kepakarannya, baik di bidang teknis, sosial dan ekonomi, sehingga hasilnya akan
komprehensif. Model penyusunan Master Plan adalah tidak baku, karena masing-
masing komoditas unggulan mempunyai ciri khas tersendiri (spesifik).
Master Plan merupakan rencana strategis hasil sintesis dari pemikiran yang
disusun berdasarkan ketersediaan sumberdaya dan harapan pencapaian yang diinginkan.
29
Oleh karena itu dalam penyusunan Master Plan diperlukan sintesis antara ketersediaan
sumberdaya yang dianalisis mengunakan pendekatan pemetaan sumberdaya dengan
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai berdasarkan ketersediaan sumberdaya.
Rancang bangun Master Plan pengembangan kawasan yang ideal adalah yang
secara sekaligus dapat berfungsi sebagai instrumen perencanaan : (1) perekat
konektivitas infrastruktur dan kelembagan penyediaan input, asosiasi pelaku usaha
produksi dan pemasaran output, pelayanan usaha dan pembinaan teknologi, (2)
penguatan rantai nilai (value chain) sistem dan usaha agribisnis, serta (3) pengaturan
fungsi pelayanan managemen pemerintahan (tata kelola).
Tahap analisis penyusunan dibatasai pada aspek-aspek yang mencakup (1)
analisis kondisi awal, (2) analisis spesifikasi status dan rencana keterkaitan/ kerjasama
antar kawasan lintas kabupaten/ kota, (3) analisis penetapan tujuan/kondisi akhir yang
diinginkan.
Hasil akhir dari penyusunan Master Plan adalah Road Map pengembangan
kawasan yang berisikan : (a) arah kebijakan pengembangan kawasan, (b) strategi
pengembangan kawasan, (c) program pengembangan kawasan, (d) tujuan dan sasaran
pegembangan kawasan, dan (e) prioritas lokasi pengembangan kawasan.
Proses dan metode penyusunan Master Plan pengembangan kawasan pertanian
adalah sebagai berikut :
1) Tim Teknis Provinsi mengkoordinasikan pembentukan Tim Penyusun dan
mengusulkannya kepada Tim Pembina Provinsi untuk disetujui dan
ditugaskan sebagai Tim Penyusun Master Plan pengembangan kawasan
pertanian nasional di provinsi. Komposisi Tim Penyusun melibatkan para
pemangku kepentingan yang ada di lokasi kawasan.
2) Tim Pembina Provinsi menetapkan Tim Penyusun Master Plan
pengembangan kawasan pertanian nasional di provinsi.
3) Metode yang dapat digunakan sebagai instrumen dan alat analisis dalam
penyusunan Master Plan adalah : (1) expert meeting untuk melakukan
tinjauan kebijakan dan peraturan, analisis berita media tentang isu strategis
tentang komoditas, (2) analisis SWOT untuk menganalisis potensi, peluang,
kendala dan masalah pengembangan komoditas di tiap kawasan, serta
berbagai alat analisis lainnya.
30
Berdasarkan hasil pemetaan sumberdaya, tujuan dan sasaran pembangunan
komoditas perkebunan maka dilakukan sintesis :
1. Analisis SWOT, merupakan pemetaan tentang kekuatan (strong), kelemahan
(weakness), peluang (Opportunity), dan ancaman (threath) dalam pembangunan
komoditas perkebunan.
2. Visi dan Misi, merupakan hasil sintesis yang mengarahkan pada tujuan dan sasaran
dari pembangunan komoditas perkebunan, maka pendekatan balans score card, visi
dan misi dirumuskan berdasarkan hasil pemetaan sumberdaya dan tujuan dan
sasaran serta analisis SWOT.
3. Peta Strategi (strategy map) merupakan sintesis dari strategi yang diperlukan untuk
pembangunan industri perkebunan. Peta strategi ini harus merupakan titik-titik
kritis sebagai pengarah dalam membuat terobosan dalam pembangunan komoditas
perkebunan, dan merupakan pengarah bagi penyusunan peta jalan (road map)
4. Road map sebagai pata jalan untuk mencapai visi dan misi yang berisi kegiatan-
kegiatan yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi dan misi serta tujuan dan
sasaran program pengembangan kawasan.
Dalam rangka mewujudkan tersusunnya Master Plan Pengembangan
Kawasan Kakao, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten bersama dengan petani,
pelaku usaha dan seluruh stakeholders pemangku kepentingan saling berkoordinasi dan
bersinergi. Untuk itu proses identifikasi data informasi harus dilakukan dengan suatu
metode yang tepat.
1. Komoditas unggulan sebagai bagian dari sumberdaya dan penghasil produk
Dalam rangka mewujudkan pembangunan pertanian yang berorientasi kepada
tujuan dan sasaran jangka panjang yang bertahap dan berkelanjutan, maka
pengembangan komoditas unggulan pertanian dan agroekosistem pendukungnya
harus dirawat dengan baik, sehingga dapat terus dijamin keberadaannya untuk dapat
diproduksi dan mendukung proses produksi. Dengan demikian keberadaan
benih/bibit sumber harus diperlakukan sebagai plasma nutfah. Adapun sumberdaya
alam (tanah/lahan dan air) yang mendukung proses produksi harus tetap dijaga
kelestariannya.
31
2. Kesesuaian komoditas unggulan dengan sumberdaya lahan dan air
Dalam rangka menetapkan komoditas unggulan pertanian yang berdaya saing,
namun sekaligus dapat dikelola secara berkelanjutan tanpa menimbulkan kerusakan
sumberdaya alam, maka dalam proses penetapannya tidak boleh hanya berorientasi
pada tujuan ekonomi semata. Dengan demikian penetapan komoditas unggulan
pertanian harus memperhatikan aspek kesesuaian dengan sumberdaya alam,
terutama lahan dan air.
3. Menentukan Komoditas Unggulan
Untuk menetapkan komoditas unggulan pertanian di suatu daerah harus
diperhatikan aspek keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Keunggulan
komparatif komoditas dari suatu daerah tercipta dari interaksi antara kelimpahan
sumberdaya (faktor biofisik), penguasaan teknologi dan kemampuan manajerial
dalam kegiatan pengembangan komoditas yang bersangkutan. Faktor alam, yaitu
kesesuaian biofisik seringkali merupakan faktor yang sangat menonjol dalam
membangun keunggulan komparatif, sehingga dapat menjadikan suatu daerah
menonjol dan bahkan memonopoli suatu komoditas/produk tertentu. Sedangkan
keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi antara keunggulan komparatif dan
distorsi pasar. Pada kondisi perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama
sekali, maka keunggulan kompetitif adalah juga merupakan keunggulan komparatif
4. Metode Menentukan Komoditas Unggulan
Dalam menentukan komoditas unggulan yang akan dikembangkan di suatu daerah,
seyogyanya mempertimbangkan beberap hal :
1. Peranan terhadap nilai tambah perekonomian daerah.
2. Peranan terhadap penyerapan tenaga kerja atau pengurangan pengangguran.
3. Peranan terhadap pendapatan rumah tangga tani .
5. Analisis Strategis Kondisi Saat Ini
Untuk melakukan analisis strategis tentang kondisi saat ini aspek yang perlu
dipertimbangkan adalah :
1. Tingkat pemanfaatan teknologi : (1) budidaya (kesenjangan produktivitas aktual
dibandingkan hasil penelitian) dan analisis profitabilitas usahatani; (2) alat dan
mesin pertanian; dan (3) pasca panen pengolahan hasil.
32
2. Neraca produk, dengan memperhatikan : (1) produksi (luas panen/produktivitas)
dan populasi; (2) permintaan (konsumsi langsung, konsumsi industri, konsumsi
lainnya) serta (3) neraca (ekspor-impor dan defisit atau surplus).
3. Pendekatan terhadap analisis kondisi saat ini harus dilakukan dengan kaidah
sebagai berikut :
- Objektif sesuai dengan realitas di lapang.
- Bersifat mendalam untuk analisis masalah dan kendala pengembangan
agribisnis komoditas.
- Perhitungan aljabar dalam bentuk tabulasi silang, data time series (trend,
pertumbuhan), dilihat arah perubahannya.
- Memperhatikan masalah dan kendala pengembangan produksi yaitu dari
aspek sumberdaya lahan, sumberdaya manusia, permodalan, teknologi
(budidaya, alsintan, pasca panen dan pengolahan), pasar dan pemasaran
(termasuk insentif harga) serta kebijakan yang ditetapkan.
6. Analisis Kondisi Ke Depan
Pendekatan terhadap analisis kondisi ke depan harus dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut :
1. Analisis prospek permintaan, penawaran dan defisit/surplus termasuk prospek
yang ingin dicapai pasar lima tahun ke depan (target waktu swasembada, sasaran
jumlah impor dan ekspor antar pulau atau antar negara).
2. Metode proyeksi dengan ekonometrika (elastisitas dan proyeksi).
3. Menyusun arah pengembangan komoditas ke depan (harus ditetapkan sebagai
basis arah pengembangan).
4. Menetapkan/menyusun sasaran produksi sesuai dengan analisis prospek luas
areal, produktivitas, dan produksi/populasi.
5. Menyusun langkah-langkah strategis, kebijakan dan program operasional untuk
mencapai sasaran produksi (SWOT), dengan memperhatikan : (1) ketersediaan
sumberdaya lahan terkait peluang ekstensifikasi; (2) ketersediaan teknologi
budidaya terkait peluang intensifikasi; dan (3) ketersediaan teknologi pasca
33
panen dan pengolahan, (4) ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan
dalam rangka menekan kehilangan hasil dan peningkatan nilai tambah.
6. Menyusun langkah-langkah strategis untuk menghitung : (1) kebutuhan tenaga
kerja, (2) investasi dan modal kerja serta (3) kebijakan pengembangan.
34
BAB IV
METODOLOGI
A. Jenis Data dan Sumbernya
Jenis Data :
1) Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kajian literatur terhadap studi dan
informasi yang terkait dengan pengembangan kawasan pertanian. Pengumpulan
data ini dilakukan melalui survei instansional di berbagai lembaga terkait, kajian
literatur, dan data internet.
2) Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan dan indepth
interview. Observasi lapangan dilakukan di beberapa titik kawasan dan Indepth
interview akan dilakukan dalam bentuk wawancara dengan tokoh-tokoh atau pelaku
kunci yang terkait dengan permasalahan kawasan pertanian. Sasaran indepth
interview tersebut mencakup antara lain: aparat terkait dengan pertanian, tokoh
masyarakat, kalangan industri pariwisata atau unsur terkait lainnya.
Sumber Data :
1. Data Primer
Data primer diperoleh secara langsung dari responden melalui survey dan wawancara.
Survey dilakukan di beberapa wilayah yang mempunyai potensi komoditas
unggulan. Setelah dilakukan survey kemudian dilakukan pengumpulan data
dilanjutkan analisis SWOT.
Wawancara dilakukan di beberapa narasumber yang membidangi kakao.
Diantaranya, wawancara kepada pihak petani sebagai pelaku budidaya komoditas
kakao, Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Kakao, Dinas Pertanian dan Kehutanan,
Penyuluh Pertanian, dan Stakeholder seperti PT Pagilaran.
3. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari :
35
1. Biro Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten
2. Direktorat Jenderal Perkebunan
3. Dinas Pariwisata
4. Bappeda Provinsi dan Kabupaten
5. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul
6. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulonprogo
7. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul
8. Renstra Kementerian Pertanian
9. Renstra Dinas Perkebunan dan Kehutanan DIY
10. Statistik Dishutbun DIY
11. RT RW Kabupaten,
12.Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan
Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015 – 2019
13. Kajian Master Plan Agrowisata DIY
14. Kajian Master Plan Agrowisata Kulon Progo
15. Pustaka
16. Internet
17. Pedoman Umum
18. Pedoman Teknis
B. Metode Pengumpulan Data
Inventarisasi dan identifikasi data dilakukan sebagai kelanjutan dari penggalian
data primer dan data sekunder. Dari sini dapat pula diinventarisir dan diidentifikasi
36
potensi dan permasalahan pengembangan kawasan kakao. Inventarisasi hasil-hasil
tahapan sebelum ini (interpretasi dan survey lapangan) disusun dan disajikan dalam
himpunan data dasar yang sistematik dan informatif. Gambaran yang bersifat kualitatif
dituangkan ke dalam diagram dan peta tematik. Sedangkan data kuantitatif akan
disajikan dengan bentuk tabel, grafik dan peta-peta skalatis.
Penggalian data akan dilakukan melalui beberapa metode, yaitu:
1) Studi Literatur
Studi literatur digunakan untuk mendapatkan data tentang domain kajian yang akan
dilaksanakan dalam hal ini adalah Kabupaten Gunungkidul, Kulon Progo, Sleman,
dan Bantul. Data yang terkumpul akan menentukan untuk kajian dan bermanfaat
untuk menjustifikasi kemampuan untuk mengidentifikasi area kajian. Kegiatan
pengumpulan data sekunder untuk mengumpulkan perkayaan data dan mendukung
sumber data dan informasi ke dalam analisis. Kegiatan pengumpulan data sekunder
akan mencakup:
Mencari literatur terkait (artikel, buku, laporan riset) tentang pengembangan
kawasan
Mencari data mengenai kebijakan dan program eksisting pengembangan kawasan.
2) Pengamatan langsung
Merupakan metode atau tindakan yang dilakukan setelah kita berada dilapangan pada
wilayah pengembangan kawasan kakao melalui pengamatan dan pendokumentasian
langsung terhadap kondisi di lapangan. Hasil dari perolehan data tersebut disimpan
sebagai acuan untuk membuat laporan kondisi eksisting kawasan kakao.
3) Indeepth interview
Indepth interview akan dilakukan dalam bentuk wawancara secara mendalam dengan
tokoh-tokoh atau pelaku kunci yang terkait dengan isu/ permasalahan pemberdayaan
masyarakat. Sasaran indepth interview tersebut mencakup antara lain: aparat di
37
lingkungan Dinas terkait perkebunan, tokoh masyarakat, perangkat desa dan
kecamatan, dan kalangan industri pengolahan.
C. Metode Analisis Data
1) Analisis Deskriptif Kualitatif
Secara teoritis metode ini berusaha mencari fakta dengan interpretasi yang tepat,
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat pelaku usaha, serta berbagai
persepsi yang ada di masyarakat tersebut, termasuk tentang hubungan kegiatan-
kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang
berlangsung dan pengaruh dari suatu variabel terhadap fenomena yang diamati.
Dalam metode ini tim akan dapat membandingkan fenomena-fenomena tertentu
antar daerah sampel sehingga merupakan suatu studi komparatif. Dapat pula tim
mengadakan klasifikasi, serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan
menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu sehingga sering disebut juga
sebagai survei normatif (normative survey). Secara umum tujuan dari
penggunaan metode ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang sedang diselidiki.
2) Analisis SWOT
Analisis SWOT yang merupakan singkatan dari Strengths, Weaknesses,
Oportunities dan Threats adalah metode perencanaan strategis yang digunakan
untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam suatu
proyek/tugas. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari
spekulasi bisnis atau proyek dengan mengindetifikasi faktor internal dan
eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.
Alat yang digunakan untuk memetakan faktor - faktor tersebut adalah matrik
SWOT, matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimilikinya.
38
Analisis SWOT dalam hal ini diarahkan untuk dapat memberikan arahan bagi
pengembangan strategi positioning melalui SWOT Matrix.
External Factor Analysis Summary (EFAS): rangkuman keseluruhan faktor
eksternal yang mempengaruhi yang terdiri dari opportunities dan threats,
yang diberikan bobot skala melalui EFE Matrix.
Internal Factor Analysis Summary (IFAS): rangkuman keseluruhan faktor
internal yang mempengaruhi yang terdiri dari stregths dan weaknesses,
setelah diberikan bobot skala melalui IFE Matrix.
Strategic Factor Analysis Summary (SFAS) : merupakan rangkuman baik
faktor eksternal maupun internal, kemudian dilakukan cross analysis dan
diberikan pembobotan.
Dari SWOT analysis, dapat ditentukan strategi efektif yang sejauh mungkin
memanfaatkan kesempatan yang berlandaskan pada kekuatan yang dimiliki,
mengatasi ancaman yang datang dari luar, serta memperbaiki kelemahan yang
ada. SWOT analysis melaksanakan analisis dan diagnosis keunggulan strategis
untuk mengidentifikasi dengan jelas kekuatan serta kelemahan pada waktu saat
ini. Analisa SWOT juga mengkaji kelemahan di masa datang yang paling
mungkin terjadi.
D. Metode Pendekatan dan Pelaksanaan Studi
Pendekatan pengembangan kawasan dilakukan menggunakan: (1) pendekatan
agroekosistem, (2) pendekatan sistem agribisnis, (3) pendekatan partisipatif, dan (4)
pendekatan terpadu. Keempat pendekatan tersebut harus dilaksanakan secara
berkesinambungan dalam pengembangan kawasan pertanian. Khusus untuk
pengembangan kawasan perkebunan ada satu pendekatan lagi yang digunakan adalah
pendekatan diversifikasi integratif.
1. Pendekatan Agroekosistem
Pengembangan kawasan pertanian disusun dengan mempertimbangkan kualitas dan
ketersediaan sumberdaya lahan melalui pewilayahan komoditas, dengan
mempertimbangkan kesesuaian lahan dan agroklimat agar diperoleh hasil produksi
39
dan produktivitas pertanian yang optimal dan berwawasan lingkungan. Kondisi
agroekosistem di wilayah salah satunya dicirikan oleh kondisi bio-fisik lahan yang
mencakup ketinggian lokasi, kelerengan lahan, kondisi iklim, dan karakteristik
tanah. Untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, penentuan komoditas
unggulan harus mengacu pada peta pewilayahan komoditas pertanian skala
1:50.000 yang telah mempertimbangkan agroekosistem setempat.
2. Pendekatan Sistem Agribisnis
Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam pengembangan kawasan komoditas
unggulan adalah meningkatnya kuantitas produksi, kualitas produk dan
kesinambungan produksi komoditas yang dihasilkan. Dalam rangka pencapaian
sasaran tersebut dan meningkatkan efektivitas serta efisiensi pengembangan
komoditas unggulan, maka pengembangan kawasan komoditas unggulan harus
dilaksanakan melalui pendekatan sistem agribisnis. Hal ini mengandung pengertian
bahwa pengembangan komoditas pertanian di kawasan komoditas unggulan harus
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu mulai dari pengadaan input produksi
hingga pemasaran produk yang dihasilkan petani. Dengan kata lain, kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka pengembangan kawasan komoditas unggulan dapat
meliputi aspek pengadaan input produksi, proses produksi komoditas, aspek
pemasaran, pengolahan komoditas, serta aspek penyuluhan dan permodalan, yang
disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan komoditas unggulan di kawasan
setempat.
3. Pendekatan Terpadu dan Terintegrasi
Pembangunan kawasan komoditas unggulan dengan pendekatan sistem agribisnis
akan membutuhkan dukungan pembinaan serta fasilitas dari seluruh unit Eselon I
lingkup Kementerian Pertanian dan berbagai dinas/instansi di daerah, dan dalam hal
tertentu akan dibutuhkan pula dukungan dari Kementerian lain. Dalam rangka
menciptakan sinergisme kegiatan pada lingkup Kementerian Pertanian, maka
pelaksanaan program pada Unit Eselon I lingkup Kementerian Pertanian di lokasi
kawasan komoditas tertentu perlu dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi. Hal
ini dapat ditempuh dengan melakukan sinkronisasi program lintas Eselon I lingkup
Kementerian Pertanian dan memprioritaskan program-program unit Eselon I
Kementerian Pertanian di lokasi kawasan komoditas unggulan yang telah
40
ditetapkan, sesuai dengan kebutuhannya. Sinkronisasi program juga perlu
dilaksanakan dengan program Pemda Kabupaten, Pemda Provinsi dan program
Kementerian lain.
4. Pendekatan Partisipatif
Pembangunan kawasan komoditas unggulan dalam pelaksanaannya akan
melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah pusat (Kementan), Pemda Provinsi,
Pemda Kabupaten/Kota, pelaku usaha dan masyarakat. Dalam rangka mendorong
keberlanjutan kawasan komoditas yang telah ditetapkan, maka perlu ditumbuhkan
rasa memiliki pada seluruh pihak yang terkait. Dalam kaitan tersebut seluruh pihak
terkait perlu dilibatkan secara aktif mulai dari tahap perencanaan kegiatan hingga
tahap pelaksanaan kegiatan pengembangan kawasan yang telah ditetapkan.
Partisipasi dana dari berbagai pihak (dana APBD, swasta dan masyarakat) juga
perlu dikembangkan untuk meningkatkan sinergi dan outcome dari kegiatan
pengembangan kawasan
5. Pendekatan Diversifikasi Integratif
Dalam pengembangan budidaya tanaman tahunan, seperti tanaman perkebunan dan
hortikultura, pada periode Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), dapat
dikembangkan tanaman pakan ternak atau tanaman penutup tanah untuk menekan
pertumbuhan gulma, menahan erosi, serta menahan aliran permukaan dan
penguapan. Dengan tujuan yang sama, dapat dikembangkan paket teknologi
alternatif berupa pengembangan tanaman pangan intensif, sehingga selain menekan
biaya, sekaligus memberikan pendapatan kepada petani. Disamping itu pada usaha
tanaman tahunan terdapat berbagai jenis limbah dan hasil samping yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak.
Dalam pengembangan kawasan menggunakan pedekatan yang sejalan dengan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana yang diamanatkan dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014, yaitu pendekatan politik, teknokratis,
keterpaduan top down policy-bottom up planning; dan partisipatif.
1. Pendekatan politik : Tujuan dan sasaran pembangunan kawasan harus
diintegrasikan dan diharmonisasikan dengan visi-misi Kepala Dearah.
41
2. Pendekatan teknokratik : Master Plan sebagai instrumen perencanaan scientific
yang disusun dengan kerangka ilmiah Bappeda dan SKPD sebagai penjabaran
operasional dari RPJMD dan Rencana Strategis SKPD.
3. Pendekatan keterpaduan top down policy-bottom up planning : koordinasi
Musrenbang dan koordinasi teknis dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan
mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi.
4. Pendekatan partisipatif : pemilihan dan penetapan arahan strategi dan kebijakan
serta indikasi program disesuaikan dengan kebutuhan, permasalahan dan aspirasi
petani.
42
BAB V
POTENSI WILAYAH KOMODITAS UNGGULAN DAN
KAWASAN PERKEBUNAN
A. Aspek Kondisi Umum Wilayah
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Gunungkidul
1. Letak Wilayah
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, dengan Ibu Kota Wonosari yang terletak 39 km sebelah Tenggara
Kota Yogyakarta. Dengan batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo
Provinsi Jawa Tengah.
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah.
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
2. Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul tercatat 1.485,36 Km2 atau sekitar
46,63 % dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi 18
kecamatan dan 144 desa/kelurahan.
3. Batas Topografis
Kabupaten Gunungkidul berada pada 7°46′ LS-8°09′ LS dan 110°21′ BT-
110°50′ BT.
43
4. Kondisi Geografis
Kabupaten Gunungkidul memiliki ketinggian yang bervariasi, yang terbagi
menjadi 3 wilayah meliputi :
a. Zona Utara disebut wilayah Batur Agung dengan ketinggian 200 m - 700 m di atas
permukaan laut. Keadaannya berbukit-bukit. Wilayah ini meliputi Kecamatan Patuk,
Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin, dan Kecamatan Ponjong bagian utara.
b. Zona Tengah disebut wilayah pengembangan Ledok Wonosari, dengan ketinggian
150 m - 200 mdpl. Wilayah ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo,
Ponjong bagian tengah dan Kecamatan Semanu bagian utara.
c. Zona Selatan disebut wilayah pengembangan Gunung Seribu (Duizon gebergton
atau Zuider gebergton), dengan ketinggian 0 m - 300 mdpl. Zone Selatan ini
meliputi Kecamatan Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop,
Purwosari, Panggang, Ponjong bagian selatan, dan Kecamatan Semanu bagian
selatan.
5. Kondisi Iklim
Suhu udara rata-rata harian 27,7° C, suhu minimum 23,2°C dan suhu
maksimum 32,4°C. Faktor suhu sangat berhubungan dengan tinggi tempat. Suhu
maksimal untuk kakao 30 – 32 ° C, sedangkan suhu minimal sekitar 18 – 21 ° C.
Kelembaban nisbi berkisar antara 80 % – 85 %, tidak terlalu dipengaruhi oleh
tinggi tempat, tetapi lebih dipengaruhi oleh musim. Kelembaban nisbi optimal untuk
kakao adalah 70 % - 80 %.
44
Curah hujan rata-rata pada di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2011 sebesar
2.155,98 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 109 hari/ tahun. Kondisi curah
hujan yang ideal untuk tanaman kakao 1.500-2.500 mm (sangat sesuai) dan 1.250-1.500
mm atau 2.500-3.000 mm (sesuai), dan 1.100-1.250 mm/ 3.000-4.000 mm (agak
sesuai). Berarti kondisi curah hujan di Gunungkidul sangat sesuai untuk tanaman kakao.
6. Kondisi Penggunaan Lahan
Luas lahan di Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul 7.203,3 Ha dengan
kondisi penggunaan lahan 1.161 Ha berupa tanah sawah, 2.723,3 Ha berupa tanah
kering, 2.122,0 Ha berupa bangunan, 1,0 Ha berupa hutan rakyat, 690 Ha berupa hutan
Negara dan 506,0 Ha lainnya. Penggunaan lahan di Kecamatan Patuk paling besar
merupakan lahan kering, yaitu 2.723,3 Ha. Tanaman kakao merupakan tanaman yang
dibudidayakan di lahan kering pada tanah pekarangan dan kebun milik petani.
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Kulonprogo
1. Letak Wilayah
Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian Barat. dengan batas wilayah
sebagai berikut:
a. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Bantul, Prop. D.I.
Yogyakarta
c. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
2. Luas Wilayah
45
Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates memiliki luas wilayah
58.627,512 ha (586,28 km2), terdiri dari 12 kecamatan 88 desa dan 930 dukuh
3. Batas Topografis
Batas topograsif Kabupaten Kulonprogo :
- Barat : 110 derajad Bujur Timur/ E. Longitude 1’ 37 “
- Timur : 110 derajad Bujur Timur/ E. Longitude 16’ 26 “
- Utara : 7 derajad Lintang Selatan/ S. Latitude 38’ 42 “
- Selatan : 7 derajad Lintang Selatan/ S. Latitude 59’ 3 “
4. Kondisi Geografis
Kabupaten Kulon Progo memiliki ketinggian yang bervariasi antara 0 - 1000
meter di atas permukaan air laut, yang terbagi menjadi 3 wilayah meliputi :
a. Bagian Utara : merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ketinggian
antara 500-1000 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Girimulyo,
Kokap, Kalibawang dan Samigaluh. Berdasarkan kemiringan lahan, memiliki lereng
> 15 derajad. Wilayah ini penggunaan tanah diperuntukkan sebagai kawasan
budidaya konservasi dan merupakan kawasan rawan bencana tanah longsor.
b. Bagian Selatan : merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0-100 meter di atas
permukaan air laut, meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan
sebagian Lendah. Berdasarkan kemiringan lahan, memiliki lereng 0-2%, merupakan
wilayah pantai sepanjang 24,9 km, apabila musim penghujan merupakan kawasan
rawan bencana.
c. Bagian Tengah : merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100- 500
meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Nanggulan, Sentolo,
46
Pengasih, dan sebagian Lendah, wilayah dengan lereng antara 2-15%, tergolong
berombak dan bergelombang merupakan peralihan dataran rendah dan perbukitan.
5. Kondisi Iklim
Curah hujan di Kulon Progo rata-rata per tahunnya mencapai 2.150 mm yang
sangat sesuai untuk tanaman kakao, dengan rata-rata hari hujan sebanyak 106 hari per
tahun atau 9 hari per bulan dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan
terendah pada bulan Agustus. Suhu terendahnya lebih kurang 24,2°C (Juli) dan tertinggi
25,4°C (April), dengan suhu maksimal untuk kakao 30 – 32 ° C, sedangkan suhu minimal
sekitar 18 – 21 ° C.
Kelembaban terendah 78,6% (Agustus), serta tertinggi 85,9% (Januari), yang
berarti ideal untuk tanaman kakao karena kelembaban nisbi optimal untuk kakao adalah
70 % - 80 %. Intensitas penyinaran matahari rata-rata bulanan mencapai lebih kurang
45,5%, terendah 37,5% (Maret) dan tertinggi 52,5% (Juli).
6. Kondisi Penggunaan Lahan
Luas lahan di Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo 5.296,37 Ha
dengan kondisi penggunaan lahan 827,72 Ha berupa tanah sawah, 2.087,07 Ha berupa
tanah kering, dan 1.796,01 Ha berupa bangunan. Penggunaan lahan di Kecamatan
Kalibawang paling besar merupakan lahan kering, yaitu 2.087,07 Ha. Tanaman kakao
merupakan tanaman yang dibudidayakan di lahan kering pada tanah pekarangan dan
kebun milik petani.
47
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Sleman
1. Letak Wilayah
Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 derajad 33’00’’ dan 110
derajad 13’ 00’’ Bujur Timur, 7 derajad 34’ 51’’ dan 7 derajad 47’30’’ Lintang Selatan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo, Provinsi DIY
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan
Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DIY
2. Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2 atau
sekitar 18% dari luas Provinsi DIY 3.185,80 Km2, Timur-Barat 35 Km. Secara
administratif terdiri 17 wilayah kecamatan, 86 Desa dan 1.212 Dusun.
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bantul
1. Letak Wilayah
Secara Geografis Kabupaten Bantul terletak diantara 07 derajad 44’04’’ – 08 derajad
00’ 27’’ Lintang Selatan dan 110 derajad 12’34’’ - 110 derajad 31’ 08’’ Bujur Timur
a. Sebelah Utara berbatasan dengan kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo
48
2. Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Bantul adalah 506,85 Km2 (15,90 % dari luas
wilayah Provinsi DIY) dengan topografi sebagai dataran rendah 140% dan lebih dari
separonya (60%) daerah perbukitan.
- Bagian Barat, adalah daerah landai yang kurang serta perbukitan yang membujur dari
Utara ke Selatan seluas 89,86 km2 (17,73 % dari seluruh wilayah)
- Bagian Tengah adalah daerah datar dan landai merupakan daerah pertanian subur
seluas 210,94 km2 (41,62%)
- Bagian Timur, adalah daerah yang landai, miring dan terjal yang keadaannya masih
lebih baik dari daerah bagian Barat seluas 206,05 km2 (40,65%)
- Bagian Selatan, adalah sebenarnya merupakan bagian dari daerah bagian tengah
dengan keadaan alamnya yang berpasir dan sedikit berlagun, terbentang di Pantai
Selatan dari Kecamatan Srandakan, Sanden, dan Kretek.
B. Aspek Ekonomi
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya
cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,
sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam
mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002,
perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi
sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur
Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor
perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai US $ 701 juta.
Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah negara
Pantai Gading dan Ghana. Tiga besar negara penghasil kakao sebagai berikut : Pantai
Gading (1.421.000 ton), Ghana (747.000 ton), Indonesia (577.000 ton). Luas lahan
tanaman kakao Indonesia lebih kurang 992.448 Ha dengan produksi biji kakao sekitar
577.000 ton per tahun, dan produktivitas rata-rata 900 Kg per ha.
49
Daerah penghasil kakao dengan urutan sebagai berikut : Sulawesi Selatan
184.000 ton (31,9%), Sulawesi Tengah 137.000 ton (23,7%), Sulawesi Tenggara
111.000 ton (19,2%), Sulawesi Barat 76.743 ton (13,8%), Sulawesi Utara 21.000
(3,6%), Lampung 17.000 ton (2,9%), Kalimantan Timur 15.000 ton (2,6%) dan daerah
lainnya 15.257 ton (2,6%). Menurut usahanya perkebunan kakao Indonesia
dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :
1. Perkebunan Rakyat 887.735 Ha
2. Perkebunan Negara 49.976 Ha
3. Perkebunan Swasta 54.737 Ha
Ekspor biji kakao Indonesia pada tahun 2008 sebesar 334.915 ton (60%)
dengan negara tujuan ; USA, Malaysia, dan Singapura, sisanya sekitar 242.085 ton
diolah di dalam negeri yang menghasilkan cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, dan
cocoa powder digunakan untuk industri dalam negeri dan ekspor.
Dengan perbaikan planting management (budidaya tanaman, pemeliharaan/
perawatan, dan panen) yang dikelola secara lebih baik dan benar maka tidak menutup
kemungkinan produktivitasnya bisa ditingkatkan menjadi 1.000-1500 Kg/ha. Biji kakao
Indonesia memiliki keunggulan melting point Cocoa Butter yang tinggi, serta tidak
mengandung pestisida dibanding biji kakao dari Ghana maupun Pantai Gading.
Industri kakao Indonesia kedepan memiliki peranan penting khususnya dalam
perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja, karena industri ini memiliki
keterkaitan yang luas baik ke hulu maupun ke hilirnya. Disamping memberikan
pendapatan bagi petani melalui penjualan biji kakao, namun apabila diolah di dalam
negeri menjadi kakao olahan (cocoa liquor,cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa
powder), akan mempunyai nilai yang lebih tinggi serta menyerap tenaga kerja. Selain
itu industri hilir olahan kakao juga telah berkembang di Indonesia seperti industri
cokelat, industri makanan berbasis coklat (roti, kue, confectionary/kembang gula
cokelat), dan penggunaan coklat untuk industri makanan dan minuman secara luas.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun
waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat
seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut sebagian besar (87,4%) dikelola oleh
rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar
50
swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak
dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan
besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai
masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama
Penggerek Buah Kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta masih belum
optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan
sekaligus peluang bagi para petani untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai
tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.
Adapun luas lahan perkebunan Kakao di D.I.Yogyakarta dapat disajikan
seperti tabel berikut ini :
TABEL 5.1. DATA 5 TAHUN LUAS AREAL KAKAO DI DIY (HA)
NO KABUPATEN TAHUN
2011
TAHUN
2012
TAHUN
2013
TAHUN
2014
TAHUN
2015
1. GUNUNGKIDUL 1138,10 1216,00 1337,50 1373,50 1403,00
2. BANTUL 29,55 28,40 27,10 25,26 53,76
3. SLEMAN 43,86 44,46 90,46 101,40 101,40
4. KULONPROGO 3396,42 3522,14 3557,09 3616,97 3597,59
TOTAL 4607,93 4811,00 5012,15 5117,13 5155,75
51
GAMBAR 5.2. PERKEMBANGAN LUAS AREAL KAKAO 5 TAHUN
0,00
500,00
1000,00
1500,00
2000,00
2500,00
3000,00
3500,00
4000,00
GUNUNGKIDUL BANTUL SLEMAN KULONPROGO
TAHUN 2011 TAHUN 2012 TAHUN 2013 TAHUN 2014 TAHUN 2015
TABEL 5.3. DATA 5 TAHUN PRODUKSI KAKAO DI DIY (TON)
NO KABUPATEN TAHUN
2011
TAHUN
2012
TAHUN
2013
TAHUN
2014
TAHUN
2015
1. GUNUNGKIDUL 272,70 329,60 69,97 228,86 476,48
2. BANTUL 5,91 5,07 1,95 1,238 1,113
3. SLEMAN 32,40 21,35 8,32 8,28 8,36
4. KULONPROGO 732,53 1010,93 1043,86 1140,13 1146,00
TOTAL 1043,54 1366,95 1124,10 1378,50 1631,96
52
GAMBAR 5.4. PERKEMBANGAN PRODUKSI KAKAO 5 TAHUN
0,00
200,00
400,00
600,00
800,00
1000,00
1200,00
1400,00
GUNUNGKIDUL BANTUL SLEMAN KULONPROGO
TAHUN 2011 TAHUN 2012 TAHUN 2013 TAHUN 2014 TAHUN 2015
Komoditi perkebunan kakao di D.I.Yogyakarta tersebar di 4 Kabupaten,
dengan urutan terbesar di Kabupaten Kulonprogo 3.597,59 Ha, Gunungkidul 1.403,00 Ha,
Sleman 101,40 Ha dan Bantul 53,76 Ha. Dari diagram tersebut luas areal perkebunan kakao
rata-rata mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir. Produksi kakao juga mengalami
peningkatan selama 5 tahun terakhir dengan produksi terbanyak di Kabupaten Kulonprogo
1.146,00 ton, Gunungkidul 476,48 ton, Sleman 8,36 ton dan Bantul 1,113 Ton. Sesuai
Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan
Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015 – 2019 potensi kakao ada di
Kabupaten Kulonprogo, Gunungkidul, Sleman dan Bantul dengan data statistik pada
tahun 2015 :
1. Potensi kakao di Kabupaten Gunungkidul di wilayah Kecamatan Karangmojo, Patuk,
Playen, Ponjong, dan Nglipar dengan Luas areal 1.403 Ha, TBM 663,50 Ha, TM 670
53
Ha, TTR/ TTM 69,50 Ha, Produksi 476,48 Ton, Produktivitas 711 Kg/ Ha (biji
kering), jumlah petani 9,212 orang.
2. Kakao Gunungkidul tersebar di Kecamatan Nglipar, Gedangsari, Patuk, Karangmojo,
Ponjong, sedangkan sentra kakao di Kec Karangmojo, Patuk, Ponjong
- Karangmojo : Luas areal 284 Ha, Produksi 2,45 Ton, Produktivitas 17 Kg/ Ha
(biji kering), jumlah petani 3.124 orang
- Patuk : Luas areal 749 Ha, Produksi 244,78 Ton, Produktivitas 800 Kg/ Ha (biji
kering), jumlah petani 4.239 orang
- Ponjong : Luas areal 302 Ha, Produksi 170,40 Ton, Produktivitas 1.045 Kg/ Ha
(biji kering), jumlah petani 1.277 orang
3. Potensi kakao di Kabupaten Kulonprogo di wilayah kecamatan di Kec. Temon,
Wates, Panjatan, Sentolo, Pengasih, Kokap, Girimulyo, Naggulan, Kalibawang,
Samigaluh dengan Luas areal 3.597,59 Ha, TBM 1.151,84 Ha, TM 2.445,75 Ha,
Produksi 1.146. Ton, Produktivitas 469 Kg/ Ha (Biji Kering), jumlah petani 17.988
orang dengan sentra di Kalibawang dengan Luas areal 1.045,50 Ha, Produksi 375,53
Ton, Produktivitas 496 Kg/ Ha, jumlah petani 5.228 orang.
4. Sesuai Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan
Perkebunan Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015 – 2019 potensi
kakao di Kabupaten Sleman di wilayah kecamatan Prambanan, Cangkringan dan
Pakem dengan Luas areal 101,40 Ha, TBM 57,02 Ha, TM 44,38 Ha, Produksi 8,36.
Ton, Produktivitas 188,37 Kg/ Ha (Biji Kering), jumlah petani 401 orang.
5. Kakao Sleman tersebar di Mlati, Gamping, Godean, Moyudan, Minggir, Seyegan,
Turi, Pakem, Cangkringan, Ngemplak, Kalasan, Berbah, Prambanan dengan sentra
di Prambanan, Cangkringan dan Pakem
- Prambanan : Luas areal 21,18 Ha, Produksi 0,48 Ton, Produktivitas 78,06 Kg/ Ha
(biji kering)
- Pakem : Luas areal 13 Ha, Produksi 0,37 Ton, Produktivitas 146,40 Kg/ Ha (biji
kering)
- Cangkringan : Luas areal 25,64 Ha, Produksi 0,36 Ton, Produktivitas 37,70 Kg/
Ha (biji kering)
54
6. Sesuai Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan
Perkebunan Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015 – 2019 potensi
kakao di Kabupaten Bantul di wilayah kecamatan Dlingo dan Piyungan dengan Luas
areal 53,76 Ha, TBM 40,16 Ha, TM 13,60 Ha, Produksi 1,11. Ton, Produktivitas
81,84 Kg/ Ha (Biji Kering), jumlah petani 661 orang.
7. Berdasarkan pada tingkat perkembangannya, pengembangan kakao di Sleman dan
Bantul termasuk pada tahap penumbuhan. Penumbuhan kawasan dilaksanakan pada
kawasan existing yang belum berkembang dengan titik berat pengembangan pada
kegiatan on farm, penerapan teknologi budidaya, penyediaan sarana dan prasarana
pertanian, penguatan kegiatan, penyuluhan pertanian.
8. Berdasarkan pada tingkat perkembangannya pengembangan kakao di Gunungkidul
dan Kulonprogo termasuk pada tahap pemantapan. Tahap pemantapan kawasan
dilaksanakan pada kawasan yang telah berkembang dengan titik berat pengembangan
pada penguatan kelembagaan, peningkatan mutu, penguatan akses pemasaran,
pengembangan pasca panen, pengembangan olahan.
C. .Aspek Budiyada (On Farm)
Aspek budidaya dalam pengembangan kawasan kakao :
1. Tahun 1987 : Pengembangan kakao Banpres di Patuk (200 Ha) : Putat, Nglanggeran,
Nglegi, Ngalang, Ngoro-oro, Salam; Ponjong (200 Ha) : Tambakromo, Sawahan.
2. Tahun 1988 : Pengembangan kakao Banpres di Patuk 1000 Ha : Patuk, Putat,
Nglanggeran, Nglegi, Ngalang, Ngoro-oro, Salam, Ponjong 600 Ha : Tambakromo,
Sawahan, Umbulharjo.
3. Tahun 1990 : KIK kakao (Kredit Investasi Kecil) Plasma PIR kakao melalui Bank
BRI.
4. Tahun 1990 : P2WK Gunungkidul (Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus)
1500 Ha di Patuk (750 Ha) : Beji, Bunder dan Karangmojo (750 Ha) : Jatiayu,
Gedangrejo, Ngawis, Kelor, Wiladeg.
5. Tahun 1992 : P2WK Kulonprogo (Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus)
2000 Ha di Kalibawang, Girimulyo, Kokap
55
6. Tahun 1993 : P2WK Kulonprogo (Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus)
2000 Ha di Samigaluh, Temon, Kokap
7. Tahun 1998 : 30 Ha di Patuk
8. Tahun 2011 : Gernas (intensifikasi) 200 Ha di Patuk, Karangmojo dan Gernas
(peremajaan) 100 di Patuk, Karangmojo
9. Tahun 2012 : Perluasan areal kakao 50 Ha (PSP), Optimasi lahan kakao, Perluasan
tanaman kakao di Gunungkidul 100 Ha (Ditjenbun)
10.Tahun 2013 : dilakukan Penyusunan Grand Design Pengembangan Model Desa
Kakao (PMDK) DIY th 2014-2017 melalui anggaran APBN Dishutbun DIY,
Optimasi lahan kakao 40 Ha, Jalan produksi kakao, Pra sertifikasi lahan
11.Tahun 2014 : dilakukan Sosialisasi Grand Design PMDK melalui anggaran APBN
Dishutbun DIY, Peremajaan kakao 100 Ha, Operasional Tenaga Pendamping (TKP/
PLPTKP) Kakao, SL PHT Tanaman Perkebunan Kakao di Kabupaten Gunungkidul
(1 KT).
12.Tahun 2015 : Intensifikasi Tanaman Kakao di Kabupaten Gunungkidul (100 Ha), SL
PHT Tanaman Perkebunan Kakao di Kabupaten Gunungkidul (2 KT), SL PHT
Tanaman Perkebunan di Kabupaten Gunungkidul (4 KT) (Kakao).
13.Tahun 2016 : Intensifikasi tanaman kakao di Kabupaten Gunungkidul (100 Ha),
Kabupaten Kulonprogo (100 Ha), Pembangunan Kebun induk kakao 1 Ha di kab.
Gunungkidul, Pemeliharaan II Kebun Induk Kakao Provinsi (0,8 Ha).
14.Adanya dukungan dari masyarakat sampai dengan tingkat kecamatan dengan
menyepakati untuk mewujudkan sasaran PMDK.
15.Adanya kesepakatan hari kakao untuk gerakan perbaikan kebun, hari kamis utk
Kalibawang, Selasa, rabu, kamis, Jumat untuk Patuk Gunungkidul
16.Terlaksananya peremajaan tanaman diwilayah desa kakao melalui anggaran APBN
Dishutbun DIY
17.Terbentuknya Tim Teknis pada tingkat petani (Tim Penggerak budidaya, Tim
Penggerak Pembuatan pupuk organik, Tim Penggerak Fermentasi)
18. Terlaksananya bimbingan teknis melalui anggaran APBD I Dishutbun DIY :
19. Bimbingan teknis budidaya
20. Bimbingan teknis pembuatan pupuk organik
21. Rehabilitasi tanaman kakao melalui anggaran APBD I Dishutbun DIY
56
22.Terbangunnya 0,3 Ha kebun percontohan diwilayah Desa Kakao di Gunungkidul
melalui anggaran Puslit Koka Jember dengan kegiatan Rehabilitasi, pemangkasan
berat, pemupukan, pembuatan rorak, penambahan tanaman, pengaturan naungan
(menebang dan menambah penaung), penguatan teras dengan batu
23.Pembentukan Tim pendamping dan penyusunan bisnis plan PMDK melalui anggaran
APBN Dishutbun DIY.
24. Proses penyusunan indikator kinerja tim pendampingan kegiatan budidaya, pupuk
dan pengolahan
25.Tersusunnya draf dokumen bisnis plan sebagai pedoman bisnis budidaya, pembuatan
pupuk dan pengolahan
26.Dilakukan Integrasi kakao kambing, dengan fermentasi kotoran kambing akan
menambah efektifitas pemupukan dan dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia.
21.Dilakukan sambung samping yang merupakan perbaikan pohon dengan
menempelkan tunas klon unggul, hal ini dilakukan karena pohon tidak produktif.
Dengan sambung samping, tanaman menjadi muda, unggul, pembentukan cabang
buah mudah dikendalikan.
22.Dilakukan Pruning (pronggol), bertujuan untuk membuat pohon max 4m, buah yg
berada pada ranting tinggi berbiji kecil; meremajakan cabang buah; mengatur
penyinaran.
23.Dilakukan sambung pucuk, dilakukan untuk meremajakan pohon dengan klon yg
lebih baik, karena pohon tidak produktif
23.Dilakukan pembuatan rorak, untuk menimbun ranting, daun dari pangkasan sebagai
pemupukan bahan organik dan saluran drainase, dengan pembuatan rorak dan
composting ini pohon jadi tahan kekeringan.
24.Mengatasi kekeringan pada tanaman muda baik dengan air maupun sersah untuk
mengurangi penguapan, terhindar dari kematian.
25.Fasilitasi gunting pangkas, gunting galah, hand sprayer di Gunungkidul
26.Fasilitasi kandang oleh Ditjenbun dan BPTP untuk integrasi kakao-kambing di
Gunungkidul dan Kulonprogo
57
D. Aspek Kelembagaan
1. Organisasi terkecil di Gunungkidul adalah Kelompok Tani di tingkat Dusun
(padukuhan).
2. Beberapa Kelompok Tani Kakao bergabung menjadi KUB Kakao, Asosiasi Petani
Kakao Gunungkidul.
3. Setiap kelompok di Gunungkidul memiliki hari kakao (35 hari sekali)
4. Pembinaan kelembagaan pada wilayah Model Desa Kakao Gunungkidul pada KT.
Sidodadi Gumawang, Putat, Patuk; KT. Ngudi Subur, Plumbungan, Putat, Patuk
Gunungkidul; KT Ngudi Raharjo II, Plosokerep, Bunder Patuk; KT. Sari Mulyo
Gambiran Bunder Patuk.
5. Tahun 2015 : terbentuk Unit Fermentasi dan Pemasaran Biji Kakao (UFPBK), 2 unit
yaitu :
a. UFPBK Handayani 1, Karangsari Nglanggeran Patuk Gunungkidul
b. UFPBK Handayani 2, Blimbing Umbulrejo Ponjong Gunungkidul
Dengan pembentukan UFPBK (implementasi Permentan 67 Tahun 2014) diharapkan
biji kakao yang beredar berupa kakao fermented yang sudah memenuhi SNI.
Dengan pembentukan Unit Fermentasi pengolahan Biji Kakao (UFPBK) diharapkan
adanya quality control pada biji kakao yang beredar.
6. Kelompok Tani sudah teregister, tercatat di Kantor Bakorluh/ KP4K
7. Kelembagaan kelompok cukup mantap dan dinamis
8. Pembinaan kelembagaan pada wilayah Model Desa Kakao Kulonprogo pada
Kelompok Tani Ngudi Rejeki Slanden, Banjaroyo Kalibawang, KT. Ngudi Mulyo
Banjaran Banjoyo Kalibawang, KT. Rukun Abadi Pantog Kulon Banjaroyo, KT.
Ngudi Lestari Pantog Wetan Banjaroyo Kalibawang.
E. Aspek Sarana dan Prasarana Penunjang
1. Tahun 2008 : Embung 1 buah pada KT. Ngudi Mulyo, Banjaran, Banjaroyo,
Kalibawang.
2. Tahun 2010 : Jalan usaha tani pada KT. Sidodadi, Gumawang, Putat, patuk; KT.
Ngudi Subur, Plumbungan, Putat, patuk; KT Ngudi raharjo II, Plosokerep, Bunder,
Patuk; KT. Sarimulyo, Gambiran, Bunder, Patuk.
58
3. Tahun 2012 : Pengembangan sumber air 2 kelompok @ Rp. 60.000.000 di KT.
Sidodadi, Gumawang, Putat, Patuk dan KT. Ngudi Rahayu II, Ploso kerep, Bunder,
Patuk Gunungkidul tahun 2012, Optimasi lahan kakao pada KT Sedyo Dadi Karang,
Ngalang, Gedangsari; KT. Ngudi Makmur, Wareng, Ngalang, Gedangsari.
4. Pembuatan bak penampung air, sumur resapan, gunting pangkas, gunting galah,
pupuk, obat obatan, gergaji chainshaw di Kulonprogo.
5. Tahun 2013 : Dukungan sarpras pada komoditas kakao 2 kelompok @
Rp.20.000.000 pada di KT. Langgeng kapuas, pantok Kulon, Banjarroyo,
Kalibawang dan KT. Ngudi Mulyo, banjarroyo Banjaran, Kalibawang.
F. Aspek Gangguan Produksi/ Pengendalian OPT
1. Dilaksanakannnya Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) kakao
melaui anggaran APBD I provinsi dan APBN
2. Pengembangan pestisida nabati kakao melalui APBD I Provinsi
3. Gerakan pengendalian OPT di Gunungkidul dan Kulonprogo, OPT yang menyerang
Helopeltis sp., penggerek cabang, PBK, Phythopthora sp, Tupai
4. Pengendalian H/P, dengan sarungisasi dengan plastik, menghindarkan buah dari
hama penghisap maupun jamur busuk buah
5. Pengendalian melalui PHT, budidaya tanaman sehat, gerakan pemeliharaan
(pemangkasan , pemupukan)
6. Pengendalian OPT Penggerek Buah Kakao (PBK) di Gunungkidul :
a. Tahun 2010 = 250 Ha (APBD)
b. Tahun 2011 = 250 Ha (APBD)
c. Tahun 2014 = 50 Ha
d. Tahun 2015 = 50 Ha
G. Aspek Pengolahan dan Pemasaran Hasil
1. Produk olahan kakao di DIY berupa produk primer dan produk sekunder, produk
primer berupa biji kakao kering fermentasi sedangkan produk sekunder berupa
permen cokelat, cokelat patilo, cocoamix, pisang salut cokelat.
2. Pembanguan UFPBK di Gunungkidul pada tahun 2015 sebagai implementasi
Permentan No 67 tahun 2014 dan melengkapi sarana prasarana UFPBK tahun
59
2016 seperti Timbangan elektrik kapasitas 100 – 300 kg, Timbangan
laboratorium, Alat uji kadar air, Alat uji belah biji kakao, Mesin jahit karung
portable, Karung plastik, Plastik untuk jemuran, Nampan plastik, Plastik tempat
label, Lampu laboratorium, Termometer, Alat tusuk karung. Dengan
terbentuknya UFPBK diharapkan pemasaran efektif untuk menjamin kepastian
harga dan kualitas karena pemasaran dilakukan bersama-sama
3. Fasilitasi alat pengolah biji kakao menjadi pasta dan cokelat blok di
Gunungkidul.
4. Rumah produksi pengolahan cokelat, Kotak Fermentasi Susun 3, UPH (Unit
Pengering Hasil) di Gunungkidul
5. Rumah produksi pengolahan kakao sekunder di lokasi model desa kakao
Gunungkidul.
6. Pengolahan coklat oleh BPTP, diharapkan dapat sebagai mitra sejati petani
kakao DIY, Kebutuhan bahan baku saat ini saat ini 5 kg/hari, berupa biji kakao
well fermented.
7. Fasilitasi Peralatan Pengolahan Dodol Kakao di Gunungkidul.
8. Sertifikasi jaminan mutu dan keamanan pangan kakao di Gunungkidul.
9. Analisis residu dan limited bahan kimia di Gunungkidul.
10. Pembinaan UFPBK di Gunungkidul.
11. Pelayanan Informasi Pasar di Gunungkidul dan Kulonprogo.
12. Pembinaan/ Pengawalan/ Pendampingan Pengolahan Hasil Perkebunan di
Gunungkidul dan Kulonprogo.
13. Pemutakhiran Data.
14. Promosi/ pameran produk unggulan perkebunan.
15. Fasilitasi UPH, gudang , tempat pengeringan , kotak fermentasi, peralatan
fermentasi di Gunungkidul dan Kulonprogo.
H. Aspek Kebijakan
1. Pengembangan kakao di DIY sesuai dengan Renstra Kementerian Pertanian
Tahun 2015 – 2019, merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan,
selain itu di DIY telah dikembangkan Pengembangan Model Desa Kakao
(PMDK) sebagai salah satu program strategis Gubernur. Kebijakan ini juga
60
didukung dengan Permentan No 67 Tahun 2014, dimana mulai Bulan Mei 2016
biji kakao yang beredar harus memenuhi standar SNI paling tidak mutu 3 dan
biji kakao yang beredar harus disertai SKAL-BK.
2. Pada Tahun 2015 Gunungkidul merupakan salah satu dari 6 provisni yang
ditunjuk untuk terbentuknya UFPBK, dengan UFPBK diharapkan penanganan
dan pemasaran biji kakao dilakukan secara bersama-sama.
3. Sebagai implementasi dari Permentan No 67 Tahun 2014, telah dilakukan
capacity building kakao, uji kesesuaian biji kakao terhadap standar SNI, bantuan
peralatan pengujian mutu kakao, melengkapi sarana prasarana UFPBK,
pembinaan sertifikasi jminan mutu dan keamanan pangan, analisis residu dan
bahan kimia kakao.
I. Aspek Kepariwisataan
1. Akan dikembangkan paket kegiatan agrowisata di daerah sentra kakao di
Gunungkidul dan Kulonprogo, karena didukung potensi Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata. Pengembangan agrowisata berangkat
dari kondisi eksisting berupa potensi alam seperti Gunung Api Purba
Nglanggeran di Gunungkidul dan Wisata Minat Khusus.di Kulonprogo.
2. Di Kulonprogo telah ditetapkan klaster pengembangan agrowisata, dimana objek
wisata di Klaster 2 didominasi wisata perdesaan yang dikemas dalam bentuk
Desa Wisata. Di dalam pengembangan desa wisata, berbagai aktivitas wisata
telah dipaketkan dan ditawarkan kepada wisatawan. Berbagai bentuk kegiatan
dapat berbasis pada pendalaman kehidupan sosial budaya masyarakat, jelajah
alam sekitar, maupun menikmati suasana pedesaan yang alami dan asri.
Berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan, Desa Wisata Banjarasri memiliki
jumlah kunjungan yang lebih banyak (2.800 wisatawan) bila dibandingkan
dengan Desa Wisata Dlingo (2.120 wisatawan). Dengan mendasarkan pada
lokasi dan aksesibilitas yang ada, maka Desa Wisata Banjarasri diharapkan dapat
menjadi penarik utama kunjungan wisatawan ke wilayah Klaster 2. Potensi agro
yang menonjol di Klaster 2 adalah teh, kakao, cengkeh, kopi, dan bunga krisan.
Di antara potensi agro yang ada, daya tarik yang dapat dikembangkan sebagai
fokus pengembangan wisata kakao. Hal ini terkait dengan atraksi atau kegiatan
61
wisata yang dapat dikembangkan sangat variatif, mulai dari view lahan
budidaya, proses pemetikan dan perawatan, proses fermentasi dan pengolahan
kakao.
3. Perpaduan antara keindahan alam, kehidupan masyarakat pedesaan dan potensi
pertanian, bilamana ditata secara baik dan ditangani secara serius dapat
mengembangkan daya tarik wisata bagi satu daerah tujuan wisata. Agrowisata
yang menghadirkan aneka tanaman dapat memberikan manfaat dalam perbaikan
kualitas iklim mikro, menjaga siklus hidrologi, mengurangi erosi, melestarikan
lingkungan, memberikan desain lingkungan yang estetis bila dikelola dan
dirancang dengan baik. Dengan berkembangnya agro wisata di satu daerah
tujuan wisata akan memberikan manfaat untuk peningkatan pendapatan
masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain bahwa pariwisata dapat dilakukan
untuk mendukung fungsi budi daya pertanian, ekonomi, ekologi dan sosial.
62
BAB VI
ROADMAP DAN RENCANA AKSI
A. Strategi Pengembangan
Strategi pengembangan kawasan pertanian dapat dirumuskan mencakup :
a. Penguatan Perencanaan
Perencanaan pengembangan kawasan komoditas unggulan dilakukan melalui
pendekatan top-down policy, yaitu sejalan dengan arah kebijakan pembangunan
pertanian nasional dan bottom-up planing, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat/petani. Proses perencanaan pengembangan kawasan membutuhkan
keterpaduan program antar Eselon I lingkup Kementerian Pertanian dan lintas
sektor.
b. Penguatan Kerjasama dan Kemitraan
Diperlukan adanya kerjasama kemitraan strategis baik antar daerah, badan usaha
daerah, maupun swasta dan masyarakat. Kerjasama kemitraan stratregis model
klaster, harus mampu memberikan layanan kepada kelompok usaha lebih fokus,
kolektif dan efisien. Karena kelompok sasaran jelas, serta unit usaha yang ada pada
kawasan pada umumnya mempunyai permasalahan yang sama, baik dari sisi
produksi, pemasaran, teknologi maupun permodalan.
c. Penguatan Sarana dan Prasarana
Aspek dasar pengembangan kawasan terdiri dari pengembangan, sarana dan
prasarana produksi, lahan, air pertanian serta prasarana pendukung. Penguatan
sarana prasarana produksi pertanian seperti benih/bibit, pupuk dan obat-obatan
harus dijamin ketersediaannya, baik dalam jumlah dan ketepatan waktu.
d. Penguatan Sumber Daya Manusia
Penguatan sumberdaya manusia dilaksanakan dengan pendidikan dan latihan
terhadap petugas pendamping (penyuluh, staf teknis, penggerak swadaya
masyarakat), petani dan pelaku usaha. Materi pelatihan meliputi: konsep
pengembangan kawasan, penetapan komoditas, penyusunan rancang bangun dan
rencana aksi serta aspek teknis usahatani. Penguatan sumberdaya manusia
63
mencakup aspek budidaya, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran,
serta kelembagaan dalam satu rangkaian yang terfokus pada komoditas unggulan
e. Penguatan Kelembagaan
Penguatan kelembagaan dalam kawasan pertanian dilakukan melalui
pengembangan kelembagaan pembina, kelembagaan pelayanan serta kelembagaan
usaha. Kelembagaan pembina meliputi kelembagaan pembina pengembangan
sumber daya manusia, serta kelembagaan inovasi dan diseminasi teknologi spesifik
lokasi. Kelembagaan pelayanan terdiri dari: kelembagaan pelayanan penyediaan
sarana produksi, permodalan, dan pemasaran dan informasi pasar. Kelembagaan
usaha mencakup kelembagaan usaha kelompok, gabungan usaha kelompok,
koperasi serta kelembagaan usaha kecil, menengah dan besar. Kerja sama
kelembagaan dalam bentuk kerja sama antar Pemerintah Daerah, kemitraan usaha
(public private partnership), bantuan bimbingan teknis serta permodalan dalam
kerangka Corporate Social Responsibility (CSR) harus didorong untuk mendukung
pengembangan kawasan pertanian yang berbasis klaster.
f. Percepatan Adopsi Teknologi
Percepatan diseminasi teknologi pertanian dilaksanakan dengan mengoptimalkan
pemanfaatan teknologi tepat guna dan spesifik lokasi yang dihasilkan oleh lembaga
penelitian dan pengembangan serta perguruan tinggi
g. Pengembangan Industri Hilir
Pengembangan industri hilir di kawasan diarahkan untuk mengolah komoditas
pertanian primer menjadi produk olahan baik produk antara (intermediate product)
maupun produk akhir (final product), guna peningkatan nilai tambah dan daya
saing. Identitas produk suatu kawasan adalah produk akhir, meskipun dalam bentuk
segar. Perlu dilakukan standardisasi produk akhir suatu kawasan terutama untuk
komoditas yang mempunyai prospek di pasar luar negeri.
B. Analisis SWOT
Analisis SWOT Industri Kakao di DIY
Faktor-faktor internal dalam prospek pengembangan industri kakao di DIY adalah
sebagai berikut:
1. Kekuatan (strengths)
64
a. Areal pertanaman kakao di DIY tersebar pada empat kabupaten yakni Gunung
Kidul, Bantul, Sleman dan Kulonprogo.
b. Petani dan kelompok tani kakao telah menjalin kemitraan dengan PT Pagilaran .
c. Ketersediaan Kulit Buah Kakao (KBK) melimpah karena sebagian tanaman kakao
di DIY masih tanaman muda atau belum menghasilkan (TBM)
d. Terdapat pabrik cokelat monggo di DIY.
e. Indonesia memiliki Pusat Penelitian TEH dan Kakao
f. Terdapat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Sekolah Tinggi
Penyuluh Pertanian (STPP), dan Perguruan Tinggi Pertanian
2. Kelemahan (weaknesses)
a. Belum adanya kontinuitas produksi dan produktivitas rendah karena kurang
perawatan dan serangan hama.
b. Banyak tanaman kakao yang tidak produktif.
c. Belum adanya konsistensi penanaman tanaman perkebunan di tingkat petani,
yakni jenis tanaman menyesuaikan dengan musim dan pangsa pasar.
d. Mutu biji kakao belum sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan.
e. Penanganan pasca panen belum sesuai dan sebagian besar biji kakao yang
dihasilkan belum terfermentasi.
f. Belum adanya konsistensi penanaman tanaman perkebunan di tingkat petani
Adapun faktor faktor eksternal dalam prospek pengembangan industri kakao di DIY
adalah sebagai berikut:
3. Peluang (opportunities)
a. Pengembangan kakao di Gunung Kidul baru 40 persen dari potensi yang
dimiliki
65
b. Pemanfaatan anggaran APBN dan APBD
c. Produksi kakao di Kulonprogo masih di bawah potensinya
d. Penandatanganan nota kesepahaman kerjasama sistem pengembangan kakao
berkelanjutan dan peningkatan nilai tambah
e. Perkebunan kakao rakyat memiliki potensi sebagai penyedia pangan alternatif
untuk ternak ruminansia
4. Tantangan (threats)
a. Persaingan dengan komoditas lain yang memiliki nilai jual tinggi
b. Penyakit busuk buah kakao yang dapat menyebabkan kerugian hingga 50%
c. Pemotongan harga biji dan produk kakao di pasar internasional akibat
ketidakkonsistenan mutu
d. Persaingan dengan biji cokelat yang berasal dari Sulawesi, Sumatera dan Jember
Setelah kekuatan, kelemahan, tantangan dan ancaman dalam proses
peningkatan produksi kakao di DIY diketahui, tahapan analisis yang selanjutnya adalah
merumuskan strategi melalui matriks TOWS. Matriks TOWS akan membantu
stakeholder kakao DIY untuk memilih strategi yang paling tepat ketika kekuatan dan
kelemahan industri kakao di DIY dihadapkan pada peluang dan ancaman
pengembangan industri kakao di DIY. Berikut ini adalah penjabaran dari keempat
alternatif pilihan strategi pada matriks TOWS road map kakao di DIY:
TABEL 6.1. MATRIK SWOT
Peluang Eksternal (O) Ancaman Eksternal (T)
Kekuatan Internal (S) SO ST
Pengembangan sentra
agroindustri komoditas
kakao di DIY
Sosialisasi pemanfaatan
KBK untuk pakan ternak
ruminansia sebagai
sumber tambahan
66
pendapatan petani kakao
Mengoptimalkan
ketersediaan KBK melalui
proses fermentasi
alternatif pakan ternak
Penggunaan tanaman
yang tahan/toleran untuk
mengatasi penyakit busuk
buah sebagai alternatif
pengendalian penyakit
tanaman yang paling
murah dan ramah
lingkungan
Progam pengawalan
pusat pengembangan
kakao di kecamatan
Ponjong, Patuk dan
Karangmojo
Sosialisasi pentingnya
teknologi fermentasi
untuk peningkatan
kualitas biji kakao
Peningkatan SDM petani
melalui sekolah lapang
Kelemahan Internal (W) WO WT
Sosialisasi pola
perkebunan inti rakyat
(PIR) antara petani dan
PT Pagilaran
Bantuan mesin
pengering biji kakao
yang modern untuk
meningkatkan kualitas
biji kakao yang
dihasilkan petani
Intensifikasi dan
peremajaan dengan
memanfaatkan anggaran
APBN dan APBD
Sosialisasi teknologi
penanggulangan
penyakit busuk buah
kakao (BBK)
Optimalisasi peran KUB
67
(Kelompok Usaha
Bersama)
5. Strategi SO (Strategi "Maxi-Maxi")
Strategi SO atau strategi maxi maxi adalah strategi yang menggunakan
kekuatan industri kakao di DIY untuk memaksimalkan peluang pengembangan yang
ada. Strategi yang digunakan antara lain:
a. Memfasilitasi pengembangan sentra agroindustri komoditas kakao di DIY
Areal pertanaman kakao di DIY tersebar pada empat kabupaten yakni Gunung Kidul,
Bantul, Sleman dan Kulonprogo. Hal ini berarti setiap kabupaten memiliki potensi
untuk dijadikan sebagai sentra agroindustri komoditas kakao. Oleh karena itu
diperlukan upaya untuk memfasilitasi pengembagan sentra agroindustri kakao di
DIY sebagai tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman kerjasama sistem
pengembangan kakao berkelanjutan dan peningkatan nilai tambah di DIY pada tahun
2012.
b. Mengoptimalkan ketersediaan KBK melalui proses alternatif pakan ternak
ruminansia
Perkebunan kakao rakyat memiliki potensi sebagai penyedia pakan alternatif untuk
ternak ruminansia berupa hasil ikutan saat buah kakao dipanen. Potensi ketersediaan
KBK di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulonprogo dapat mencapai 82,03 persen dari
total produksi KBK di DIY. KBK ini selalu tersedia karena buah kakao pada
perkebunan rakyat dapat dipanen hampir sepanjang tahun. Ketersediaan KBK ini
setiap tahun cenderung meningkat karena sebagian tanaman kakao di DIY masih
berupa tanaman muda atau TBM. Oleh karena itu ketersediaan biomassa KBK yang
melimpah ini perlu ditindaklanjuti dengan proses fermentasi agar dapat disimpan
lebih lama dan meningkatkan kualitas KBK sebagai pakan alternatif untuk ternak
ruminansia.
c. Progam pengawalan pusat pengembangan kakao di kecamatan Ponjong, Patuk dan
Karangmojo
DIY memiliki pabrik cokelat monggo yang mampu memproduksi 300 kilogram
cokelat per hari atau rata rata 5 ton per bulan. Penjualan per hari bisa mencapai 10-11
ribu batang cokelat. Namun sayangnya pabrik cokelat ini belum melirik bahan baku
cokelat dari petani DIY, melainkan lebih suka mendatangkan bahan baku cokelat
68
dari Sulawesi, Sumatera dan Jember. Padahal sebenarnya DIY memiliki potensi
untuk memasok bahan baku cokelat tersebut mengingat baru 40 persen dari potensi
lahan kakao di Gunung Kidul yang termanfaatkan. Oleh karena itu untuk dapat
merebut pangsa pasar tersebut, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah
dengan program pengawalan pusat pengembangan kakao di kecamatan Ponjong,
Pathuk dan Karangmojo baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Selama ini pusat
pengembangan kakao di tiga kecamatan tersebut belum maksimal menghasilkan
kakao dan luas lahannya semakin berkurang.
d. Peningkatan SDM petani melalui sekolah lapang
Produksi kakao kulonprogo saat ini masih 450 kg/ha padahal minimal seharusnya 1,1
ton/ha karena kurangnya pemeliharaan tanaman kakao di kulonprogo. Hal ini
disebabkan karena minimnya pemahaman dan pengetahuan petani terhadap
pengelolaan kakao. Oleh karena itu diperlukan program peningkatan kapasitas petani
terhadap pengelolaan kakao melalui sekolah lapang dengan materi budidaya kakao,
PHT (Pengamatan Hama Terpadu), peningkatan produksi dan penanganan pasca
produksi. Kegiatan ini telah dilakukan di kelompok kelompok tani yang telah intensif
membangun hubungan dengan Dinas dan memiliki potensi tanaman kakao, yaitu di
Pagerharjo Samigaluh. Untuk selanjutnya diharapkan program ini juga dapat
melibatkan tenaga ahli dari STPP, Perguruan Tinggi dan meluas kepada petani ke
daerah lain.
6. Strategi ST (Strategi "Maxi-Mini")
Strategi ST atau strategi maxi mini adalah strategi yang menggunakan
kekuatan industri kakao di DIY untuk meminimalkan ancaman yang muncul dalam
pengembangannya. Strategi yang digunakan antara lain:
a. Sosialisasi pemanfaatan KBK untuk pakan ternak ruminansia sebagai sumber
tambahan pendapatan petani kakao
Salah satu penyebab makin menyusutnya lahan kakao di DIY adalah karena
masyarakat lebih memilih menanam tanaman lain yang memiliki nilai jual lebih
tinggi. Oleh karena itu diperlukan strategi yang dapat menciptakan insentif
berproduksi bagi petani. Salah satunya adalah dengan sosialisasi pemanfaatan KBK
sebagai pakan ternak ruminansia. Strategi ini akan mengatasi permasalahan
terbatasnya ketersediaan hijauan pakan yang menjadi permasalahan utama dalam
69
pemeliharaan ternak ruminansia, sekaligus memberikan tambahan pendapatan bagi
petani kakao.
b. Penggunaan tanaman yang tahan/toleran untuk mengatasi penyakit busuk buah
sebagai alternatif pengendalian penyakit tanaman yang paling murah dan ramah
lingkungan.
Penanaman varietas atau klon kakao yang tahan di daerah basah dapat mengurangi
masalah serangan penyakit. Oleh karena itu keberadaan Pusat Penelitian Kakao
(PUSLITKOKA) dapat dimanfaatkan untuk menjalankan strategi ini. Lembaga
penelitian ini telah menghasilkan klon yang tahan/toleran untuk mengatasi penyakit
busuk buah. Klon DRC 16 merupakan kakao yang cukup tahan untuk kakao mulia,
Pengendalian Busuk Buah Kakao sedangkan untuk kakao lindak, ada beberapa hasil
persilangan yang menunjukkan ketahanan yang cukup tinggi, antara lain Sca 6, Sca
12,dan hibrida Sca 6 x DRC 16, Sca 89 x DRC 16, ICS 60 x DRC 16, ICCRI 03,
ICCRI 04.
7. Strategi WO (Strategi "Mini-Maxi")
Strategi WO atau strategi mini maxi adalah strategi yang meminimalkan
kelemahan industri kakao di DIY dengan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi
yang digunakan antara lain:
a. Sosialisasi pola perkebunan inti rakyat (PIR) antara petani dan PT Pagilaran
Permasalahan yang muncul dalam industri kakao di DIY adalah belum adanya
konsistensi penanaman tanaman perkebunan di tingkat petani, yakni jenis tanaman
menyesuaikan dengan musim dan pangsa pasar. Hal ini dikarenakan petani
cenderung memilih tanaman lain yang dianggap lebih memberikan jaminan
keuntungan. Padahal sesungguhnya petani kakao telah memiliki jaminan pasar
melalui keberadaan PT Pagilaran. Perusahaan ini telah lama mengembangkan pola
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di sentra pengembangan kakao, gunung kidul.
Perusahaan yang dimiliki Yayasan Fakultas Pertanian Gadjah Mada ini sejak awal
membantu mengembangkan produk tersebut dengan pola PIR. Selain dengan petani
di Gunung Kidul, Pagilaran juga menjalin kemitraan dengan petani di wilayah lain,
yakni Batang, Kulon Progo, Pacitan, Wonogiri dan Madiun, untuk pengembangan
tanaman kakao. Model kemitraan yang dibangun adalah Pagilaran berperan dalam
menyiapkan bibit dan tenaga penyuluh. Sementara, petani menyiapkan lahan dan
70
menangani budi daya tanaman hingga berbuah. Seluruh hasilnya ditampung
Pagilaran dengan harga yang telah disepakati dan bersifat fluktuatif mengikuti
perkembangan harga pasar kakao di pasaran. Oleh karena itu dengan
ditandatanganinya nota kesepahaman kerjasama sistem pengembangan kakao
berkelanjutan dan peningkatan nilai tambah, diharapkan keuntungan PIR ini dapat
segera disosialisasikan kepada para petani.
b. Intensifikasi dan peremajaan dengan memanfaatkan anggaran APBN dan APBD
Mengingat banyaknya tanaman kakao yang seharusnya sudah produksi tetapi
ternyata tidak produktif, maka tanaman ini perlu diintensifkan dengan cara
memelihara dan meremajakan tanaman. Dengan peremajaan dapat dilakukan dengan
mengganti tanaman dengan tanaman baru, penggantian dengan tanaman baru ini
harus benar-benar dari bibit yang berkualitas memiliki produktifitas tinggi dan
memiliki umur panjang, atau dengan melakukan sambung samping dengan
sambungan (entres) dari tanaman yang berkualitas. Untuk mendanai peremajaan ini,
petani dapat memanfaatkan anggaran dari Dinas Perkebunan dengan cara
mengajukan permohonan ke Direktorat Jenderal Perkebunan untuk tahun anggaran
berikutnya.
8. Strategi WT (Strategi "Mini-Mini")
Strategi WT atau strategi mini mini adalah strategi yang meminimalkan
kelemahan industri kakao di DIY dan menghindari ancaman. Strategi yang digunakan
antara lain:
a. Bantuan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas biji kakao yang
dihasilkan petani
Rendahnya mutu bahan baku cokelat yang dihasilkan petani di DIY membuat pabrik
cokelat di DIY lebih memilih untuk mendatangkan bahan baku cokelat dari
Sulawesi, Sumatera dan Jember. Rendahnya kualitas biji kakao ini disebabkan petani
di DIY belum memiliki teknologi pengolahann kakao yang memadai. Petani tidak
mempunyai alat pengolah atau pengering biji kakao. Proses pengeringan dilakukan di
bawah sinar matahari selama sekitar tiga hari, sedangkan proses fermentasi memakan
waktu 5-7 hari. Oleh karena itu diperlukan bantuan sarana dan prasarana teknologi
pengolahan biji kakao yang modern untuk meningkatkan kualitas biji kakao yang
dihasilkan oleh petani di DIY. Sarana dan prasarana tersebut dapat berupa bangunan
71
UPH (Unit Pengolahan Hasil), kotak fermentasi, terpal untuk sarana penjemuran,
mesin pengering dan alat timbang bagi unit pemasaran kakao. Dengan menggunakan
mesin pengering maka pengeringan biji kakao hanya memakan waktu 40-50 jam.
b. Sosialisasi teknologi penanggulangan penyakit busuk buah kakao (BBK)
Penyakit busuk buah kakao (BBK) disebabkan oleh Phytophthora palmivora
merupakan penyakit utama pada tanaman kakao. Kerugian yang diakibatkan dapat
mencapai 50%. Gejala buah kakao yang terserang memiliki bercak coklat kehitaman,
biasanya dimulai dari ujung atau pangkal buah. Bercak berkembang dengan cepat
menutupi jaringan internal dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. Buah yang
terinfeksi akan menjadi busuk total dan menjadi hitam. Jamur dapat masuk ke dalam
buah dan menyebabkan biji menjadi busuk dan menurunkan kualitasnya. Teknologi
pengendalian BBK meliputi sanitasi kebun, kultur teknis, menanam jenis tanaman
kakao yang tahan, dan kimiawi. Sanitasi kebun dilakukan dengan cara membuang
semua buah yang menunjukkan gejala serangan/ busuk yang ada di pohon.
Tujuannya ialah untuk menekan sumber infeksi sekecil mungkin. Buah terinfeksi
dikumpulkan kemudian dibenam dalam tanah minimal sedalam 30 cm dari atas
permukaan tanah. Pada saat pembenaman, buah-buah busuk dicampur terlebih
dahulu dengan kotoran ayam, hijauan daun, dan ditambah dengan EM-4 atau Urea
kemudian ditutup dan dimampatkan dengan tanah. Pengendalian kultur teknis
dilakukan dengan cara pengaturan pohon pelindung, pemangkasan tanaman kakao,
dan pengaturan drainase. Pengaturan pangkasan tanaman kakao dengan pengaturan
pohon penaung pada saat menjelang musim hujan perlu dilakukan agar kelembaban
kebun tidak tinggi. Di lokasi yang sering tergenang air dibuatkan saluran drainase.
Tindakan preventif juga sangat dianjurkan agar perkembangan penyakit tidak
meluas. Salah satu tindakan preventif adalah dengan penggunaan fungisida.
Fungisida yang dianjurkan untuk pengendalian penyakit busuk buah kakao, antara
lain, adalah yang berbahan aktif tembaga (Copper Sandoz, Cupravit, Vitigran Blue,
Cobox, Nordox 56 WP) dengan konsentrasi formulasi 0,3% dengan interval 2
minggu. Fungisida kimia juga diaplikasikan biofungisida yaitu jamur antagonis
Trichoderma spp. Diharapkan jamur ini akan dapat digunakan secara luas sebagai
pengganti fungisida kimia. Teknologi pengendalian busuk buah kakao (BBK) pada
72
tahun 2012 telah dilaksanakan di Kelompok Tani Andum Rezeki, Desa Banjarharjo,
Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo.
c. Sosialisasi pentingnya teknologi fermentasi untuk peningkatan kualitas biji kakao
Ketidakkonsistenan mutu biji kakau meenyebabkan pemotongan harga biji kakao
Indonesia sebesar 10-15 persen di pasar internasional, termasuk biji kakao yang
berasal dari DIY. Keberagaman mutu biji kakao Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu pada
seluruh tahapan proses pengolahan biji kakao rakyat, serta pengelolaan biji kakao
yang masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi). Oleh
karena itu diperlukan sosialisai pentingnya teknologi fermentasi untuk peningkatan
kualitas biji kakao.
d. Optimalisasi peran KUB (Kelompok Usaha Bersama)
Komoditas kakao adalah komoditas yang memiliki potensi peningkatan pendapatan
petani, karena harga kakao relatif stabil dan sangat dibutuhkan dipasaran dunia,
namun karena sekarang ini petani masih melakukan penjualan melalui para
tengkulak dan tidak terkordinir maka harga kakao di tingkat petani masih sangat
rendah, untuk mengatasi hal ini maka diperlukan pengoptimalan kinerja KUB
(Kelompok Usaha Bersama) untuk mengkoordinir petani dalam memasarkan kakao
dan melakukan standar kualitas sehingga kakao yang dijual akan memiliki harga
yang baik. KUB ini juga berfungsi untuk mewakili petani dalam melakukan
kerjasama penjualan kakao pada Perusahaan-perusahaan pemasaran kakao, karena
dengan berkelompok maka petani dapat meningkatkan nilai tawar petani terhadap
para pembeli kakao.
C. Program dan Rencana Aksi Pengembangan
Pengembangan kawasan kakao di DIY selalu mengacu pada program yang
sudah dicanangkan oleh kementerian, provinsi dan kabupaten. Harapan dari
pengembangan kawasan kakao adalah untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani, pemerataan pendapatan dan kesepakatan berusaha, penyerapan
tenaga kerja, pengurangan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah.
73
Strategy Map (peta strategi) dalam pembangunan sentra produksi perkebunan
DIY dilandasi dari visi misi Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY yang selanjutnya
disusun strategi berdasarkan pada RPJP dan RPJM.
Berdasarkan hasil analisis SWOT maka dapat disusun suatu program dan
rencana aksi pengembangan kakao DIY. Masing masing program memiliki tujuan yang
spesifik, sehingga diharapkan dalam pelaksanaannya akan lebih tepat sasaran.
TABEL 6.2. PROGRAM DAN RENCANA AKSI
Program dan Rencana Aksi
Tujuan
Memfasilitasi pengembangan sentra
agroindustri komoditas kakao di DIY
Menjadikan setiap kabupaten sebagai sentra
agroindustri komoditas kakao untuk
mewujudkan sistem pengembangan kakao
berkelanjutan dan peningkatan nilai tambah
Mengoptimalkan ketersediaan KBK
melalui proses fermentasi sebagai
alternatif pakan ternak ruminansia
Meningkatkan kualitas KBK sebagai pakan
alternatif untuk ternak ruminansia
Progam pengawalan pusat
pengembangan kakao di kecamatan
Ponjong, Patuk dan Karangmojo
Merebut pangsa pasar pemenuhan kebutuhan
bahan baku cokelat di DIY
Peningkatan SDM petani melalui
sekolah lapang
Meningkatkan kapasitas petani dalam
pengelolaan kakao mulai dari budidaya, PHT
(Pengamatan Hama Terpadu), peningkatan
produksi dan penanganan pasca produksi.
Sosialisasi pemanfaatan KBK untuk
pakan ternak ruminansia sebagai
sumber tambahan pendapatan petani
Mengatasi permasalahan terbatasnya
ketersediaan hijauan pakan sekaligus
memberikan tambahan pendapatan bagi
petani kakao.
Penggunaan tanaman yang
tahan/toleran untuk mengatasi
Mengurangi masalah serangan penyakit
74
penyakit busuk buah sebagai alternatif
pengendalian penyakit tanaman yang
paling murah dan ramah lingkungan
secara murah dan ramah lingkungan
Sosialisasi pola perkebunan inti rakyat
(PIR) antara petani dan PT Pagilaran
Memberikan jaminan pasar kepada petani,
sehingga konsistensi penanaman tanaman
kakao di tingkat petani dapat dijaga
Intensifikasi dan peremajaan dengan
memanfaatkan anggaran APBN dan
APBD
Meningkatkan produktifitas tanaman kakao
Bantuan sarana dan prasarana Meningkatkan kualitas biji kakao yang
dihasilkan petani
Sosialisasi teknologi penanggulangan
penyakit busuk buah kakao (BBK)
Mengurangi tingkat kerugian yang
disebabkan oleh penyakit busuk buah
Sosialisasi pentingnya teknologi
fermentasi untuk peningkatan kualitas
biji kakao
Menghasilkan keseragaman dan
kekonsistenan mutu biji kakao DIY untuk
menghasilkan nilai jual yang tinggi,
khususnya di pasar internasional
Optimalisasi peran KUB (Kelompok
Usaha Bersama)
Mengkoordinir petani dalam memasarkan
kakao dan melakukan standar kualitas
sehingga kakao yang dijual akan memiliki
harga yang baik.
Untuk menangkal tekanan yang terjadi baik dalam perdagangan domestik
maupun internasional, maka pemerintah mengeluarkan peraturan maupun kebijakan
yang terkait dengan peningkatan mutu dan standardisasi, termasuk Standar Nasional
Indonesia (SNI). Pemerintah akan memberlakukan SNI wajib kakao. Dengan
pemberlakuan SNI wajib kakao maka produk yang dihasilkan dan boleh didistribusikan
75
adalah produk kakao yang bermutu, aman dan sesuai keinginan konsumen. Produk yang
aman dan bermutu dapat meningkatkan daya saing sehingga permintaan pasar akan
meningkat dan memperbaiki nilai jual produk.
Mutu yang dipersyaratkan dalam SNI ditentukan oleh setiap tahapan proses
pengolahan kakao fermented mulai dari pemeraman, pemecahan, fermentasi,
pengeringan, sortasi biji kering, pengemasan dan penyimpanan. Pengolahan kakao
fermented ini sangat penting karena akan menentukan kenampakan fisik dan citarasa
yang dipersyaratkan dalam perdagangan dan peredaran biji kakao. Rendahnya mutu
kakao fermented disebabkan karena minimnya sarana pengolahan, lemahnya
pengawasan mutu, dan pengolahan kakao yang tidak berorientasi pada mutu, sehingga
diperlukan pemantauan dan pengawasan mutu secara intensif dan berkelanjutan pada
setiap tahapan proses pengolahan kakao agar tidak terjadi penyimpangan mutu.
SNI yang akan digunakan dalam pemberlakuan SNI wajib kakao adalah SNI
2323 : 2008/Amandemen 2010. Biji kakao yang sesuai standar SNI 2323 :
2008/Amandemen 2010 harus memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus.
Persyaratan Umum SNI 2323 : 2008/Amandemen 2010 meliputi serangga hidup, kadar
air, biji berbau asap/asing/abnormal, kadar benda asing, dan kadar biji pecah.
Sedangkan persyaratan khusus meliputi kadar biji berjamur, kadar biji slaty, kadar biji
berserangga, kadar kotoran/ waste, dan kadar biji berkecambah.
Pada tahun 2012, melalui Program Pengembangan Mutu Kakao Fermentasi di
Daerah Istimewa Yogyakarta telah dilakukan uji kesesuaian mutu biji kakao terhadap
standar SNI di Kabapaten Gunungkidul dan Kulonprogo. Hasil uji kesesuaian mutu biji
kakao terhadap standar SNI dapat dilihat pada tabel berikut :
76
Tabel 6.3. Hasil Uji Kakao
Kecamatan Patuk dan Kalibawang Tahun 2012
No Nama
Kelompok
Hasil Uji sesuai SNI 2323-2008/Amd 2010 (Mutu III)
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10
Kabupaten Gunungkidul
1. KT. Ngudi
Makmur, Dsn.
Salaran, Ds.
Ngoro-oro, Kec.
Patuk
9.8 0 1 0.33 0.33 0 1.39 tdk ada tdk ada ada
2. KT. Hargo Mulyo,
Dsn. Karangsari,
Ds. Nglanggeran,
Kec. Patuk
7.9 0 0.67 0 0.33 0 2 tdk ada tdk ada ada
3. KT. Sidodadi, Dsn.
Gumawang, Ds.
Putat, Kec. Patuk
7.55 0 0.67 0 0 0.49 3.95 tdk ada tdk ada ada
4. KT. Ngudi Subur,
Dsn. Plumbungan,
Ds. Putat, Kec.
Patuk
7.73 0.33 1 0 1 0.26 6.45 tdk ada tdk ada tdk ada
Kabupaten Kulonprogo
1. KT. Rukun Abadi,
Dsn. Pantok Kulon,
Ds. Banjaroyo,
Kec. Kalibawang
7.71 0 4.33 0 2.67 0.28 9.29 tdk ada tdk ada tdk ada
2. KT. Ngudi Rejeki,
Dsn. Slanden, Ds.
Banjaroyo, Kec.
Kalibawang
10.07 0 1.33 0 1.33 0 4.67 tdk ada tdk ada tdk ada
3. KT. Pancakarya
Tunggal, Ds.
Banjaroyo, Kec.
Kalibawang
10.11 0 1.33 0 1 0.35 0.87 tdk ada tdk ada tdk ada
4. KT. Ngudi Mulyo,
Dsn. Banjaran, Ds.
Banjaroyo, Kec.
Kalibawang
10.8 0 1 0 0 1 2.29 tdk ada tdk ada ada
5. KT. Mekar
Gerbosari, Dsn.
Gerpule, Desa
Banjarharjo, Kec.
Kalibawang
25.11 16.67 3.33 0 1.67 0.8 11.67 tdk ada tdk ada tdk ada
Sumber : Laporan Hasil Uji Kakao.LPPT-UGM/U/VIII/2012
Keterangan :
1 : Kadar Air maks 7,5 %,
2 : Biji berjamur maksimal 4 %
3 : Biji slaty maksimal 20 %
4 : Biji berserangga maksimal 2 %
5 : Biji berkecambah maksimal 3 %
6 : Biji pecah maksimal 2 %
7 : Kotoran maksimal 3 %
8 : Biji berbau asap tidak ada
9 : Serangga hidup tidak ada,
10 : Benda asing tidak ada.
77
Dari hasil uji laboratorium FTP. UGM menunjukkan bahwa mutu biji kakao
fermented yang dihasilkan petani kakao di Kecamatan Patuk dan Kalibawang masih
masuk ke dalam kategori mutu 3 (tiga). Untuk meningkatkan mutu kakao tersebut
dibutuhkan dukungan sosialisasi, pelatihan dan pendampingan sehingga petani mampu
melakukan pengolahan kakao sesuai GHP, menerapkan sistem jaminan mutu dan
kemanan pangan serta memanfaatkan sarana pengolahan secara optimal yang akan
menghasilkan produk kakao sesuai SNI dengan kategori mutu yang lebih baik.
Mutu produk kakao sangat ditentukan oleh penanganan budidaya sesuai GAP
yang akan menghasilkan bahan baku kakao berkualitas dan penanganan pengolahan
sesuai GHP yang akan menghasilkan biji kakao fermented yang sesuai standar SNI.
Kriteria mutu biji kakao sesuai SNI sangat dipengaruhi oleh setiap tahapan proses
pengolahan kakao mulai dari pemeraman, pemecahan buah, fermentasi, pengeringan,
sortasi biji kering, pengemasan dan penyimpanan.
Tuntutan pasar akan produk hasil pertanian yang bermutu dan aman
dikonsumsi mununtut petani untuk bisa meningkatkan kualitas produknya agar dapat
memenuhi standar SNI. Dengan menghasilkan produk pertanian yang berkualitas SNI,
maka produk petani akan dapat bersaing di pasaran dan petani berpeluang memperoleh
pendapatan yang lebih besar karena adanya nilai tambah dari produk yang berkualitas
SNI.
78
BAB VII
ANALISIS PERENCANAAN
A. Analisis Budidaya (On Farm)
1. Kondisi pohon dan kebun ideal dapat menghasilkan antara 30 – 150 buah per
pohon/tahun. yang seperti ini belum mencapai 50 Ha dari 4000-an Ha kakao di
DIY. Dengan komitmen yang tinggi semua kebun kakao DIY dapat mencapai
kondisi ideal.
2. Kondisi pohon kakao sudah tua sehingga memerlukan tindakan peremajaan/
rehabilitasi
3. Pohon kurang pupuk sehingga perlu tindakan intensifikasi dengan melakukan
pemupukan tepat jenis, waktu, dosis dan cara, kakao akan berbuah sepanjang
masa.
4. Kekeringan menyebabkan kematian >50% pada tanaman muda bahkan tanaman
tua bila retakan memutus akar sehingga memerlukan upaya untuk mengatasi
berupa mitigasi adaptasi perubahan iklim (sudah dilakukan) dan dukungan
sarpras sumber air.
5. Belum semua petani melakukan pemangkasan pohon tua untuk mengatur
penyinaran, membuang ranting kering dan terserang H/P. Dengan pendampingan
gerakan kelompok akan berjalan efektif.
6. Belum semua petani melakukan pemangkasan pohon muda, membentuk
percabangan agar penyinaran optimal.
7. Hasil peremajaan, tanaman seumur masih sangat rentan kekeringan, sehingga
mitigasi kekeringan sangat diperlukan.
8. Kondisi kebun kakao terlalu rimbun, tercampur dengan tanaman lain,
mengakibatkan kurang sinar sehingga mudah terserang hama penyakit sehingga
perlu pengurangan pohon yang menaungi, dengan pendampingan gerakan
perbaikan kebun
79
Dari hasil analisis tersebut diperlukan upaya tindaklanjut :
1. Diperlukan dukungan untuk pengembangan tanaman kakao (Peremajaan
tanaman kakao, intensifikasi tanaman kakao, rehabilitasi tanaman kakao,
sampung pucuk, sambung samping)
2. Diperlukan upaya gerakan pemeliharaan kebun
3. Dierlukan upaya penataan kebun
4. Diperlukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
B. Analisis Kelembagaan
1. Kurangnya petugas teknis lapangan untuk memberikan penyuluhan mapun
pendampingan kegiatan.
2. Terbatasnya jumlah personil yang kompeten sebagai pendamping kegiatan
pengolahan maupun budidaya kakao.
3. Kemampuan anggota kelompok tani sangat beragam dalam mengelola
komoditas perkebunan, sehingga dihasilkan kondisi kebun yang tidak homogen.
Dari hasil analisis tersebut diperlukan upaya tindaklanjut :
1. Diperlukan dukungan kegiatan untuk mendukung peningkatan kapasitas SDM
petani melalui pelatihan baik Dinamika kelompok, Pelatihan Penguatan
Kelembagaan Lanjutan, Pelatihan Penguatan kelembagaan Lengkap, SLPPHP.
2. Diperlukan dukungan kegiatan untuk mendukung peningkatan kapasitas SDM
petugas melalui FASDA.
3. Perlunya optimalisasi peran KUB (Kelompok Usaha Bersama) karena
Komoditas kakao adalah komoditas yang memiliki potensi peningkatan
pendapatan petani, karena harga kakao relatif stabil dan sangat dibutuhkan
dipasaran dunia, namun karena sekarang ini petani masih melakukan penjualan
melalui para tengkulak dan tidak terkordinir maka harga kakao di tingkat petani
masih sangat rendah, untuk mengatasi hal ini maka diperlukan pengoptimalan
kinerja KUB (Kelompok Usaha Bersama) untuk mengkoordinir petani dalam
memasarkan kakao dan melakukan standar kualitas sehingga kakao yang dijual
akan memiliki harga yang baik. KUB juga berfungsi untuk mewakili petani
dalam melakukan kerjasama penjualan kakao pada perusahaan-perusahaan
80
pemasaran kakao, karena dengan berkelompok maka petani dapat meningkatkan
nilai tawar petani terhadap para pembeli kakao.
4. Diperlukan dukungan untuk pembentukan UFPBK di Banjaroyo dan Banjarharjo
Kecamatan Kalibawang Kulonprogo seperti yang sudah terbentuk di
Gunungkidul karena dengan pembentukan UFPBK (implementasi Permentan 67
Tahun 2014) diharapkan biji kakao yang beredar berupa kakao fermented yang
sudah memenuhi SNI.
5. Perlunya penguatan kelembagaan kelompok tani agar dapat dicapai kolektifitas
produksi, kolektifitas harga, dan kolektivitas pemasaran untuk meningkatkan
posisi tawar petani kakao. Dengan penguatan kelembagaan petani akan
meningkatkan posisi tawar petani kakao karena :
a. Akan terbentuk konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak
ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran.
Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses
dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi,
dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun
modal secara kolektif dan swadaya,misalnya dengan gerakan simpan-pinjam
produktif yang mewajibkan anggotanya menyimpan tabungan dan
meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumtif. Hal ini
dilakukan agar pemenuhan modal kerja dapat dipenuhi sendiri, dan
mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang tengkulak.
b. Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk
menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini
perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi
yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai karena dengan
skala yang lebih besar dan terkoordinasi dapat dilakukan penghematan biaya
81
dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan
produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit.
c. Kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk
mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan
menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian.
Dengan melakukan tindakan kolektif dengan kerjasama di antara petani
dalam mengontrol penentuan harga. Selain itu kerjasama juga akan
mengurangi ongkos waktu dan pemasaran.
C. Analisis Sarana dan Prasarana Penunjang
1. Fasilitasi sarpras di DIY belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sarpras
pada kawasan pengembangan komoditas unggulan pada kluster-kluster yang
telah ditetapkan serta belum mampu menjangkau semua kecamatan miskin yang
ada di DIY.
2. Pada skala nasional tingkat kemiskinan DIY menempati rangking 9
dibandingkan wilayah lain (diatas rerata nasional) dengan urutan jumlah
penduduk miskin dari yang terbanyak ke yang terkecil : Bantul, Gunungkidul,
Sleman, Kulonprogo, Kota Yogyakarta. Dengan adanya dukungan sarpras pada
kawasan perkebunan diharapkan dapat menjadi triger pada wilayah tersebut dan
membantu pengentasan kemiskinan terutama pada kantong-kantong kemiskinan
DIY sesuai dengan Tema RKP DIY Tahun 2017 “ Memacu Pembangunan
Infrastruktur dan Ekonomi untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja serta
Mengurangi Kemiskinan dan Kesenjangan Antarwilayah”
Dari hasil analisis tersebut diperlukan upaya tindaklanjut :
1. Diperlukan dukungan pengembangan irigasi air permukaan, embung, irigasi
perpipaan/ perpompaan, jalan produksi perkebunan, pra dan pasca sertifikasi
lahan perkebunan.
2. Diperlukan dukungan sarana prasarana sebagai salah satu strategi pengembangan
kawasan adalah dengan penguatan sarana dan prasarana baik sarana dan
82
prasarana produksi (bibit, benih, pupuk, obat-obatan), lahan, air, pembiayaan,
pertanian yang harus dijamin ketersediaannya, baik dalam jumlah dan ketepatan
waktu
3. Diperlukan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan sarpras selama 5 tahun
kedepan yang mempertimbangkan daya dukung atau kapasitas lahan, meliputi
daya dukung fisik, alami/iklim, sosial dan budaya. Identifikasi dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan minimal sarpras serta mengoptimalkan pemanfaatan
sarpras pada kawasan perkebunan. Dengan adanya dukungan sarpras dari on
farm sampai off farm pada kawasan perkebunan yang berbasis komoditas
unggulan diharapkan suatu kawasan dapat digarap secara utuh, terpadu dari hulu
sampai hilir, multiyears/berkelanjutan, sinergi antara stakehoder dan berskala
ekonomi sehingga diharapkan dapat menjadi pengungkit/trigger wilayah
perkebunan nasional.
D. Analisis Gangguan Produksi
1. Kondisi kebun kakao terlalu rimbun, tercampur dengan tanaman lain,
mengakibatkan kurang sinar sehingga mudah terserang hama penyakit.
2. Serangan busuk buah, hal yang umum terjadi pada kurangnya pengendalian
dengan fungisida, pada musim penghujan tingkat serangan bisa mencapai >30%.
3. Serangan hama penghisap, hal ini karena masih banyaknya pohon inang hama
yang terlalu dekat, serangan pada buah berakibat, buah jadi kecil, serangan pada
daun muda berakibat mati pucuk.
Dari hasil analisis tersebut diperlukan upaya tindaklanjut :
1. Dibutuhkan dukungan untuk pengendalian OPT dengan menggunakan teknologi
spesifik lokasi karena Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah
satu faktor penting yang perlu diperhatikan karena menghambat pencapaian
sasaran produksi dan kualitas tanaman perkebunan. Diperkirakan rata-rata 30 %
pengurangan hasil dan produk potensial suatu komoditas disebabkan oleh
adanya serangan OPT, selain itu gangguan OPT juga menurunkan kualitas hasil.
83
2. Diperlukan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadi (SLPHT) kakao agar
petani mampu mengendalikan hama terpadu secara mandiri pada kebunnya.
E. Analisis Pengolahan dan Pemasaran Hasil
1. Belum semua petani mau melakukan fermentasi dengan hasil baik.
2. Belum adanya selisih harga yang signifikan antara kakao fermented dengan non
fermented.
3. Hasil olahan coklat oleh petani, diharapkan sebagai pelopor pengolahan coklat
petani DIY.
4. Sistem pemasaran yang belum efektif untuk menjamin kepastian harga dan
kualitas, sehingga diperlukan grading harga sesuai kualitas kakao (fermented).
Dari hasil analisis tersebut diperlukan upaya tindaklanjut :
1. Dengan terbentuknya UFPBK diharapkan pemasaran efektif untuk menjamin
kepastian harga dan kualitas karena pemasaran dilakukan bersama-sama.
2. Untuk dapat menghasilkan produk sesuai standar SNI maka diperlukan sosialisasi SNI,
pelatihan, dan pendampingan.
3. Perlu meningkatkan frekuensi sosialisasi dengan metode praktek proses
fermentasi yang baik dan diikuti dengan pendampingan secara berkelanjutan
agar dalam pelaksanaan pengolahan kakao fermented tidak terjadi penyimpangan
mutu.
4. Perlu melakukan pendampingan secara intensif dan berkelanjutan untuk
meningkatkan psikomotorik petani dalam melaksanakan SNI kakao, dengan
meningkatkan peran petugas pendamping sebagai penasehat kelompok, Trainer
Participatoris serta Link Person.
5. Pemerintah perlu memberikan reward dan punishment yang jelas untuk
meningkatkan motivasi petani dalam melaksanakan SNI kakao dengan
melakukan grading harga dan penerbitan SKAL-BK sebagai syarat dalam
peredaran dan perdagangan biji kakao.
84
F. Analisis Kebijakan
1. Permentan No 67 Tahun 2014 mensyaratkan biji kakao wajib melewati proses
fermentasi sebelum sampai ke industri olahan atau eksportir, namun
implementasinya diundur selama 2 (dua) tahun kedepan karena :
a. Harga biji kakao belum dirasakan perbedaan yang signifikan, yaitu selisih
harga kakao fermentasi dan non fermentasi yang tidak terlalu besar membuat
petani kakao kurang bergairah melakukan fermentasi kakao, dengan selisih
harga Rp 2000 masih dirasakan tidak sebanding dengan waktu yang
diperlukan untuk fermentasi biji kakao karena paling tidak dibutuhkan waktu
5 hari untuk fermentasi biji kakao sementara biji kakao non fermentasi masih
terus dicari pedagang pengumpul dan petani langsung.
b. Belum siapnya kelembagaan untuk pelaksanaan fermentasi.
c. Belum siapnya peralatan yang dibutuhkan untuk fermentasi.
d. Perlunya waktu untuk membina petani tentang cara fermentasi yang benar.
e. Belum memadainya jumlah UFPBK bahkan di dearah sentra produksipun
juga belum memadai.
f. Masih banyak pelaku usaha dan aparat pemerintah yang belum mengetahui
mekanisme Permentan Nomor 67 tahun 2014 sehingga perlu dilakukan
sosialisasi terus menerus agar aparat pemda memahaminya.
g. Tidak banyaknya Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKP-D)
di daerah juga menjadi faktor ketidaksiapan pelaksanaan kewajiban
ferementasi yang memiliki tugas pengujian mutu kakao karena OKKP-D baru
tersedia di ibukota provinsi saja, sedangkan pemda kabupaten/ kota masih
lemah dalam dukungan implementasi Permentan No 67 Tahun 2014.
h. Ketersediaan biji kakao yang fermentasi belum memadai untuk memenuhi
kebutuhan industri, karena selama ini biji kakao yang beredar masih dicampur
dengan biji kakao asalan, padahal kebutuhan industri mencapai 200 ton per
hari
85
Dari hasil analisis tersebut diperlukan upaya tindaklanjut :
1. Diharapkan industri dan pelaku usaha juga menciptakan disparitas harga antara
kakao fermentasi dan non fermentasi minimal Rp 3000/ kg agar petani tertarik
melakukan fermentasi.
2. Intensifkan pembinaan/ pendampingan, dan pengawalan.
3. Intensifkan sosialisasai SNI kakao.
C. Analisis Kepariwisataaan
Pengembangan agrowisata merupakan salah satu upaya dalam rangka
mengembangkan usaha masyarakat berbasis agribisnis dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat di wilayah yang
bersangkutan pada umumnya. Agrowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan
pengembangan ekonomi masyarakat berbasis agribisnis, sehingga menjadi kawasan
agribisnis dan perdesaan yang bersangkutan sebagai profit center.
Dari hasil analisis tersebut diperlukan upaya tindaklanjut :
Akan dikembangkan paket kegiatan agrowisata berbasis kakao, Pengembangan
kawasan agrowisata mampu memberikan manfaat besar bagi masyarakat, dunia
usaha maupun pemerintah setempat melalui :
1. Pengembangan tema kawasan yang berorientasi pada potensi agro untuk
peningkatan atraksi wisata melalui penekanan pada eksplorasi potensi
perkebunan serta lansekap Perbukitan Menoreh dan Nglanggeran
2. Pengembangan sarana dan prasarana pendukung pariwisata yang layak dan
mampu meningkatkan nilai kawasan.
3. Pengembangan atraksi wisata yang mendorong berkembangnya jenis wisata
agro yang sesuai dengan tema yang dikembangkan.
4. Pengembangan jaringan paket wisata dengan atraksi-atraksi wisata
pendukung dari kawasan wisata lainnya.
Justifikasi pengembangan :
1. Mendukung potensi perkebunan
86
Upaya pengembangan kegiatan kepariwisataan kawasan akan dilakukan dengan
pengembangan potensi daya tarik lansekap perkebunan serta komoditas dan
produk dengan mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Dalam hal ini,
konsep konservasi kawasan menjadi dasar perencanaan.
2. Mendukung diversifikasi produk
Pengembangan dengan tema khusus untuk membangun keunggulan kompetitif
terhadap destinasi lainnya, serta dalam rangka diversifikasi produk bagi Provinsi
Yogyakarta.
3. Terintegrasi
Pengembangan terpadu diupayakan untuk memberikan layanan yang efisien
serta pengalaman menyeluruh bagi wisatawan, dengan pengembangan kegiatan/
fasilitas yang terkait dengan tema kawasan.
87
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dengan menggunakan pendekatan wilayah, yaitu fokus pada pengembangan
kawasan berbasis komoditas unggulan (cluster) diharapkan suatu kawasan dapat digarap
secara utuh, terpadu dari hulu sampai hilir, multiyears/berkelanjutan, sinergi antara
stakehoder dan berskala ekonomi sehingga diharapkan dapat menjadi pengungkit/trigger
wilayah perkebunan nasional, yang dapat dicapai melalui :
1. Ketepatan dalam pemilihan komoditas ungguan dan wilayah pengembangannya.
2. Jaminan atau kepastian pasar dan pemasaran komoditas.
3. Sistem penjaminan mutu dari produksi komoditas yang dihasilkan, baik segar
maupun olahan..
4. Potensi sumberdaya wilayah berupa lahan, agroklimat, tenaga kerja, sarana maupun
prasarana sosial dan ekonomi serta kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat
5. Tingkat ketersediaan dan aplikasi IPTEK yang mendukung pengembangan agribisnis
dan agroindustri.
6. Skala ekonomi usahatani/ koperasi yang secara teknis, ekonomis dan lingkungan
bersifat efisien serta mampu menjamin kontinuitas produksi, distribusi dan
pemasaran komoditas.
7. Peran aktif petani/ pengusaha kecil dan tingkat kemampuan untuk mengakses seluruh
potensi sumberdaya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, distribusi
dan pemasaran, modal dan kelembagaan).
8. Orientasi untuk menciptakan usaha yang memiliki tingkat pemanfaatan sumberdaya
secara optimal dengan tingkat keuntungan yang optimal pula, lestari atau
berkelanjutan.
9. Kelembagaan agribisnis spesifik komoditas dan lokasi yang kokoh dalam
pengembangan teknologi, permodalan, pemasaran, penyuluhan, pelayanan dan
peningkatan mutu serta penanganan lingkungan.
88
10.Kemitraan yang saling membutuhkan, tergantung, adil, menguntungkan dan
meningkatkan daya saing.
11.Faktor pendukung untuk kemudahan dalam pelayanan teknologi, perizinan investasi,
perpajakan, permodalan, sarana produksi, distribusi, insentif dan peningkatan mutu
produk.
12.Political will dari pemerintah pusat dan daerah yang ditunjukkan dalam bentuk
operasionalisasi seluruh gerakan pembangunan agribisnis yang didukung oleh
seluruh sektor terkait dalam kondisi clean government dan good governance.
13.Koordinasi dan sinkronisasi yang harmonis antar instansi terkait dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan agribisnis komoditas unggulan.
B. Saran
1. Perlu adanya dukungan dari pemerintah kabupaten dan provinsi untuk meningkatkan
kualitas, kuantitas dan kontinuitas komoditas unggulan DIY melalui :
a. Penataan ulang komoditas unggulan berdasarkan klaster komoditas unggulan
perkebunan yang telah disepakati di tingkat Kabupaten dan Provinsi.
b. Teknologi budidaya menuju Good Management Practices.
c. Teknologi panen dan pasca panen serta diversifikasi produk.
d. Memperkuat kelembagaan petani dan kelompok tani.
e. Membangun SDM yang kompeten di masing-masing komoditas.
f. Memberikan bantuan modal ke kelompok tani atau UMKM,
g. Menjalin pasar khusus specialty produk.
4. Perlu meningkatkan frekuensi sosialisasi dengan metode praktek proses fermentasi
yang baik dan diikuti dengan pendampingan secara berkelanjutan agar dalam
pelaksanaan pengolahan kakao fermented tidak terjadi penyimpangan mutu.
5. Perlu melakukan pendampingan secara intensif dan berkelanjutan untuk
meningkatkan psikomotorik petani dalam melaksanakan SNI kakao, dengan
meningkatkan peran petugas pendamping sebagai penasehat kelompok, Trainer
Participatoris serta Link Person.
6. Pemerintah perlu memberikan reward dan punishment yang jelas untuk
meningkatkan motivasi petani dalam melaksanakan SNI kakao dengan melakukan
89
grading harga dan penerbitan SKAL-BK sebagai syarat dalam peredaran dan
perdagangan biji kakao.
7. Perlunya penguatan kelembagaan kelompok tani agar dapat dicapai kolektifitas
produksi, kolektifitas harga, dan kolektivitas pemasaran untuk meningkatkan posisi
tawar petani kakao.
8. Diharapkan industri dan pelaku usaha menciptakan disparitas harga antara kakao
fermentasi dan non fermentasi agar petani tertarik melakukan fermentasi.
9. Perlu dikembangkan paket kegiatan Agrowisata Berbasis Kakao sebagai upaya untuk
mengembangkan usaha masyarakat berbasis agribisnis agar dapat menjadi profit
center bagi masyarakat setempat.