BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106356/potongan/S2... ·...

24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kajian ini dipicu oleh sebuah pernyataan yang menggelitik; bahwa sejatinya Desa adalah negara kecil. Ter Har menyebutnya dorps republic (republik desa). Ini didasarkan pada kenyataan bahwa wilayah (domain), warga (community), aturan (rules) atau hukum (laws), dan pemerintahan yang menjadi dasar terbentuknya sebuah Negara (state), dimiliki oleh sebuah desa. Tidak adanya pengakuan kedaulatan oleh negara-negara lain secara internasional yang menjadi perbedaan prinsip antara Desa dengan Negara (Zakaria 2004). Keberadaan Negara kecil seperti penggambaran di atas, telah ada dan berjalan dengan teratur, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk, termasuk di wilayah Timur Indonesia, Maluku. Menurut Cooley (1987), sebelum datangnya pengaruh-pengaruh luar oleh bangsa barat yang menginvasi Maluku, pada umumnya desa-desa diwilayah ini dibentuk oleh sebuah ikatan geneologis yang merupakan sekelompok kecil keluarga yang menetap di suatu tempat/wilayah, dikenal dengan sebutan Soa yang dikepalai oleh seorang upu. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa Soa bergabung dan mengangkat seorang raja (latu) yang dianggap memiliki kekuatan paling hebat di antara upu-upu lainnya, sehingga wilayah kekuasaan menjadi semakin luas. Inilah cikal bakal terbentuknya Negeri/Desa adat di Maluku yang tersebar di beberapa wilayah. Negeri-Negeri ini berkembang dengan struktur yang semakin kompleks seiring dengan semakin luasnya kesatuan wilayah kekuasaan. Negeri-Negeri ini berdiri sendiri-sendiri, berdampingan satu sama lain dan tidak merupakan satu kesatuan, masing-masing memiliki community (warga), domain, laws dan government yang bersifat otonom (Efendi 1987).

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106356/potongan/S2... ·...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian ini dipicu oleh sebuah pernyataan yang menggelitik; bahwa sejatinya

Desa adalah negara kecil. Ter Har menyebutnya dorps republic (republik desa). Ini

didasarkan pada kenyataan bahwa wilayah (domain), warga (community), aturan

(rules) atau hukum (laws), dan pemerintahan yang menjadi dasar terbentuknya

sebuah Negara (state), dimiliki oleh sebuah desa. Tidak adanya pengakuan

kedaulatan oleh negara-negara lain secara internasional yang menjadi perbedaan

prinsip antara Desa dengan Negara (Zakaria 2004).

Keberadaan Negara kecil seperti penggambaran di atas, telah ada dan berjalan

dengan teratur, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

terbentuk, termasuk di wilayah Timur Indonesia, Maluku. Menurut Cooley (1987),

sebelum datangnya pengaruh-pengaruh luar oleh bangsa barat yang menginvasi

Maluku, pada umumnya desa-desa diwilayah ini dibentuk oleh sebuah ikatan

geneologis yang merupakan sekelompok kecil keluarga yang menetap di suatu

tempat/wilayah, dikenal dengan sebutan Soa yang dikepalai oleh seorang upu. Pada

perkembangan selanjutnya, beberapa Soa bergabung dan mengangkat seorang raja

(latu) yang dianggap memiliki kekuatan paling hebat di antara upu-upu lainnya,

sehingga wilayah kekuasaan menjadi semakin luas. Inilah cikal bakal terbentuknya

Negeri/Desa adat di Maluku yang tersebar di beberapa wilayah. Negeri-Negeri ini

berkembang dengan struktur yang semakin kompleks seiring dengan semakin luasnya

kesatuan wilayah kekuasaan. Negeri-Negeri ini berdiri sendiri-sendiri, berdampingan

satu sama lain dan tidak merupakan satu kesatuan, masing-masing memiliki

community (warga), domain, laws dan government yang bersifat otonom (Efendi

1987).

2

Otonomisasi Negeri pada masing-masing level (community, domain, laws dan

government) terlihat pada karakteristik khusus dari sebuah Negeri. Masing-masing

Negeri memiliki marga (faam) dan bahasa daerah sendiri. Faam dan bahasa daerah

ini menjadi identitas community yang membedakan dengan Negeri lain. Negeri juga

memiliki domain yang disebut dengan petuanan adat (beschikkingsgebied), yang

terbagi di dalam wilayah administratif kecil (dusun). Secara informal community

yang menempati domain ini, terikat dengan roles dan laws yang berlaku setempat.

Umumnya aturan ini telah berlaku dan dijalankan secara turun temurun oleh seluruh

warga. Negeri dipimpin oleh seorang Raja (regent) atau pamerentah yang berasal dari

marga tertentu (mata rumah parentah). Terdapat tiga buah lembaga atau badan yang

aktif selain Pamerentah yaitu: Pemerintahan Negeri; Saniri Lengkap; dan Saniri

Besar, yang bertugas untuk dalam menjalankan roda pemerintahan Negeri (Efendi

1987).

Pemerintahan Negeri adalah badan pemerintahan Negeri yang terdiri atas

Pamerentah dan para kepala Soa. Saniri Lengkap atau sering disebut Saniri Negeri

keanggotaanya terdiri dari pejabat-pejabat yang merupakan wakil dari Soa Soa tapi

bukan kepala Soa, kepala-kepala adat dan tua-tua Negeri. Saniri Besar merupakan

semacam rapat terbuka antara Saniri Negeri langsung dengan seluruh masyarakat

yang dilaksanakan setahun sekali di Baileo Negeri (balai desa) sebagai

pertanggungjawaban pelaksanaan jalannya pemerintahan Negeri dan keuangan

Negeri serta hal hal lainnya yang menyangkut Negeri pada tahun yang sudah berjalan

dan pelaksanannya bisa dilakukan pada awal tahun.Sistem pemerintahan yang seperti

ini telah berlaku sejak para leluhur (tete nene moyang) orang Maluku yang menjadi

Entitas asli daerah ini.

Entitas asli Maluku ini sangat tertata rapi. Setiap warga Negeri, patuh dan

melaksanakan sistem ini dengan penuh ketaatan. Hal ini disadari oleh kompeni

sehingga Negeri, seperti halnya desa yang ada di wilayah Indonesia dijadikan sebagai

alat eksploitasi kekayaan dan sumber daya alam (Maschab, 2013). Untuk

memuluskan maksudnya, penjajah Belanda mengakui pemerinthan Negeri dengan

dikeluarkannya keputusan landraad Amboina No.14 Tahun 1919 tentang regent en de

3

kepala soas’s (Pemerintahan Negeri) dan diperkuat dengan keputusan landaard

Amboina No. 30 Tahun 1919 tentang negorijbestuur (Dewan Negeri).

Negorijbestuur adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa Raja

dan Kepala-Kepala Soa menjadi pelaksana pemerintahan Negeri (Efendi 1987).

Pengakuan terhadap keberadaan pemerintahan Negeri sebagai republik kecil

yang ada di Wilayah Maluku ini, tidak mendapat tempat saat Indonesia mampu

terlepas dari belenggu kekuasaan penjajah. Euforia kemerdekaan 17 Agustus tahun

1945, ternyata tidak serta merta membawa angin segar bagi kemerdekaan seluruh

warga. Seperti yang dikemukakan oleh Buya Hamka;

“ Masa penjajahan yang panjang, menyebabkan sebagian masyarakat

Indonesia terbagi dalam dua kategori yaitu bermental penjajah dan bermental

terjajah“

Negara Indonesia yang sebagai sebuah lembaga yang mewakili kepentingan

seluruh warganya (kepentingan umum) kembali menggunakan kekuasaannya melalui

Pemerintah untuk memaksakan adanya homogenisasi dalam tata kelola Pemerintahan

mulai dari pusat hingga ke daerah (desa). Cita-cita kemerdekaan melalui sistem

pemerintahan berkedaulatan rakyat dalam wajah negara demokrasi, mengoyak

kearifan lokal yang telah terbentuk sekian lama, puncaknya pada masa orde baru.

Regulasi yang mengatur tentang desa di Indonesia pada masa rezim orde baru,

dituangkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa. Desa adat mengalami

tekanan luar biasa dari negara melalui penyeragaman dan Jawanisasi sistem

pemerintahan desa dalam kesatuan administrasi sentralistik. Undang-undang ini

mengubah desa geneologis atau self governing community yang memiliki hukum adat

yang mengatur dan mengurus sumber daya lokal secara komunal menjadi desa

teritorial adminstratif sebagai perpanjangan tangan Negara untuk menjalankan tugas-

tugah administratif dan pelayanan terhadap warga (Eko 2013). Desa (termasuk desa

adat) tidak lagi berdaya dalam mengurus masyarakat hukum adat berdasarkan hukum

adat. Desa orde baru telah menjadi “perpanjangan tangan” pemerintah pusat yang

bertindak dan berperilaku seragam dalam komando yang sentralistik. Desa adat

kemudian hancur sebagai unit pemerintahan, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

4

hukum adat. Atas nama pembangunan bagi seluruh masyarakat, desa adat terpecah-

pecah menjadi desa-desa administrasi atau tidak diakui sebagai unit pemerintahan asli

(asal usul) masyarakat hukum adat. Keragaman politik lokal mengalami mati suri di

bawah cengkraman otoritas negara mengusung panji orde baru (Maschab, 2013).

Runtuhnya rezim orde baru yang melahirkan reformasi tahun 1999

mendorong perubahan struktur pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik

atau lazim disebut dengan otonomi daerah. Meskipun era ini ditandai dengan adanya

geliat penguatan lokalitas, pada kenyataannya otonomi daerah tidak secara signifikan

mengubah kondisi desa adat dan masyarakat hukum adat. Reformasi hanya

melahirkan delegasi kekuasaan antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah

(otonomi daerah). Desa dalam hal ini tetap menjadi unit pemerintahan yang

menjalankan fungsi pelimpahan administratif semata, yang dahulunya di dominasi

oleh pemerintah pusat menjadi dominasi pemerintah daerah. Pada kondisi ini, gaung

revitalisasi adat yang mengalir seiring reformasi, tindak mampu menempatkan

masyarakat adat pada posisi yang sesuai asal-usul.

Keadaan ini rupanya disadari oleh Pemerintah di tahun 2014, dengan

bercermin dari dinamika respon masyarakat adat di wilayah Indonesia, serta dan

dukungan dari organisasi internasional yang berkomitmen terhadap perjuangan hak-

hak masyarakat asli (indigeneous peoples), keanekaragaman budaya, dan pendapat

bahwa lingkungan dan sumber daya alam dapat dilindungi oleh masyarakat lokal dan

tradisi. Kesadaran akan hal ini dituang dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa. Melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, gambaran desa

sebagai dorps republic, semakin menguat. Di sana dilakukan pembedaan antara Desa

dengan Desa Adat. Secara politik, Desa merupakan suatu organisasi pemerintahan

atau organisasi kekuasaan yang mempunyai wewenang tertentu (Maschab 2013).

Sedangkan Desa Adat adalah warisan organisasi pemerintahan masyarakat lokal yang

dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin

dan masyarakat. Pembedaan desa dengan desa adat tersebut di atas memungkinkan

adanya sosok desa yang semakin berbeda dengan sosok desa adat (Sintya 2015).

Lebih dari itu, keberadaan republik desa sebagaimana ditengarai dari telaah hakiki

5

tersebut di atas menjadi semakin mendapat ruang aktualisasi, ketika amanat Undang-

undang untuk mewujudkan gagasan „Desa Adat‟, termasuk Negeri wilayah Maluku

Tengah.

B. Rumusan Masalah

Desa di Maluku Tengah yang disebut Negeri merupakan desa adat yang sudah

memiliki struktur pemerintahan yang sudah ada sejak zaman dahulu, namun seiring

perkembangan mengalami dinamika mengikuti regulasi yang dikeluarkan oleh

pemerintah pusat baik sejak masa kolonial hingga sekarang. Namun, masyarakat

tetap mempercayaai aturan yang mengatur kehidupan mereka baik pemerintahan,

hubungan masyarakat bahkan pengelolaan sumber daya alam, diatur dengan hukum

adat. Maka pertanyaan riset adalah : “Bagaimana cara kerja adat untuk membentuk

keyakinan masyarakat sehingga dapat mempertahankan tatanan sosial pemerintahah

Negeri/desa adat di kabupaten Maluku Tengah dalam ketatnya perubahan regulasi

tata kelola desa oleh Negara”

C. Pendekatan Teoritik

Guna mengkaji permasalahan yang ingin diungkap, kajian teoritik akan

digunakan akan dibagi kedalam dua pokok kajian. Pertama, kajian ini akan

membedah cara kerja adat melalui basis historis dalam membentuk tatanan

pemerintahan Negeri/Desa Adat di Kabupaten Maluku Tengah, yang menjadi

keyakinan yang telah berakar kuat dalam pribadi maupun komunitas secara kolektif

pada masyarakat adat secara turun-temurun khususnya di desa Soahuku, Yaputih, dan

Kabau, menggunakan pisau analisis teori Boerdieu yaitu simbol, habitus, doxa dan

ranah.

Kedua, karena kajian ini menganggap bahwa Negeri/Desa Adat di Maluku

Tengah sebagi sebuah “Negara kecil” di bawah wilayah NKRI, sudah menjadi

keniscayaan jika keduanya yang sama-sama memiliki kekuatan untuk mendominasi

6

praktik politik dalam kehidupan masyarakat ada. Berdasarkan alasan ini, teori Negara

akan dijadikan sebagai pijakan dalam menilai dialektika kekuatan Negara lewat

regulasi undang-undang dengan eksistensi adat telah terinternalisasi dalam ruang dan

waktu historis yang lama.

1. Intrumen dominasi

a. Habitus dan doxa: logika determinasi

Penggunaan konsep habitus dalam studi ini dimaksudkan agar menilai

bagaimana kecendrungan masyarakat adat (individu) memposisikan dirinya

dalam sebuah praktik yang berkaitan dengan keyakinan adat. Sedangkan konsep

doxa digunakan untuk mengupas bagaimana legitimasi adat untuk memproduksi

wacana yang berpengaruh (dominan) sehingga dapat diterima sebagai kebenaran

yang tidak dapat dipertanyakan lagi bagi masyarakat Negeri di Maluku Tengah.

Habitus lahir dari penolakan Boerdieu terhadap pandangan kaku

subjektivisme dan objektivisme yang menilai pelaku sosial (agen) atau aktor di

dalam perilaku keseharian. Artinya, kehidupan sosial yang tercermin dalam cara

seseorang menerima maupun mempraktekkan sebuah perilaku, bukan semata-

mata akibat pengaruh struktur objektif dalam hal ini adalah struktur sosial

(objektivisme), akan tetapi juga merupakan hasil produksi pemikiran dan

penalaran subjektif individu dalam memahami realitas sosial (subjektivisme).

Dalam telaah kritisnya, Bourdieu memandang bahwa problem dikotomi

antara objektivisme dan subjektivisme atau pertentangan antara agen dan

struktur dalam praktik sosial dapat didamaikan dengan habitus. Bourdieu (1980),

dalam Swartz (1997:96) menyebutkan bahwa "the socialized body (which one

calls the individual or person) does not stand in opposition to society; it is one of

its forms of existence". Boerdeu menawarkan solusi habitus menggunakan suatu

kerangka berpikir relasional. Kerangka ini mensyaratkan adanya proses

dielektika antara struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku,

7

yang saling mempengaruhi secara timbal balik. Kedua hal ini tidak saling

menafikan, tetapi saling bertaut dalam sebuah praktik sosial (Fashri 2014).

Melalui ide habitus, Bourdieu mencoba mengurai praktik sosial sehari-hari

beserta prinsip-prinsip keteraturan yang mengiringinya. Boierdeu ingin

menunjukan bahwa praktik sosial bukan hanya dipahami sebagai pola

pengambilan keputusan yang bersifat individual atau praktik sosial sebagai hasil

dari struktur supra-individual (Fashri 2014) yang diungkapkan lewat pernyataan

“habitus is both a system of schemes of production of practices and a system of

perception ana appreciation of practices” (Bourdieu, 1989) dalam (Bayo 2010)

Konsep habitus dapat ditemukan garis penghubung antara pola determinasi

individu dan determinasi struktur supra-individual. Habitus dapat diandaikan

sebagai mekanisme pembentuk bagi praktik sosial yang beroperasi dari dalam

diri aktor. Boerdieu menyatakan bahwa habitus merupakan “the mental

structures through which they apprehend the social world, are essentially the

product of internalization of the structure of the social world” artinya habitus

adalah hasil internalisasi struktur dunia sosial atau struktur sosial yang

dibatinkan dan diwujudkan.

Dalam hal ini Fashri, menjabarkan habitus dengan empat ciri prinsip yaitu;

pertama, mencakup dimensi kognitif dan afektif yang teaktualisasi dalam sistem

disposisi. Disposisi sendiri mencakup dalam tiga makna yang berbeda: 1)

disposisi dimengerti sebagai hasil dari sebuah tindakan yang mengatur; 2)

merujuk kepada cara meng ada (a way of being) atau kondisi habitual (a habitual

state); dan 3) disposisi sebagai sebuah predisposisi, tendensi, niat atau

kecendrungan. Disposisi terbentuk melalui praktik individu dengan pengalaman

personalnya, interaksi individu dengan orang lain dan dengan struktur objektif.

Kecendrungan-kecendrungan ini dipupuk di dalam posisi-posisi sosial suatu

lingkungan dan memberikan kerangka adaptasi subjektif terhadap posisi sosial

tersebut. Sebagai sebuah sistem disposisi, habitus mencakup kecendrungan-

kecendrungan yang berlangsung kokoh dalam jangka waktu yang lama. Akan

tetapi, karena habitus juga mencakup dimensi kognitif dan afektif, sehingga

8

habitus juga bersifat fleksibel, dan memberi raung bagi individu untuk

beradaptasi terkait dengan posisinya dalam sebuah stuktur atau praktik sosial

tertentu.

Kedua, habitus merupakan struktur-struktur yang dibentuk (structured

structure) dan struktur-struktur yang membentuk (structuring-structure). Hal ini

menyaratkan adanya peran ganda dari habitus dimana di satu sisi, habitus

berperan sebagai sebuah struktur yang membentuk kehidupan sosial. Sedangkan

di sisi lain,habitus dipandang sebagai sruktur yang dibentuk oleh kehidupan

sosial.

Prinsip ketiga adalah habitus merupakan sebuah produk sejarah. Hal ini

tertuang dalam perkataan Boerdieu yaitu “The habitus, the product of history,

produces individual and collectives practice, and hence hstory, in accordance

with the schemes engendered by history”. Habitus merupakan hasil akumulasi

pembelajaran maupun sosialisasi individu maupun kelompok. Dalam hal ini,

sejarah adalah suatu rangkaian berlanjut dari sebuah probabilitas, menjadi

produk dari apa yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang (praktik)

(Jenkins 2004). Pengaruh masa lalu tidak disadari sepenuhnya dan dianggap

sebagai sesuatu yang alamiah atau wajar. Ketidaksadaran kultural yang melekat

dalam habitus, senantiasa diawetkan dari satu generasi ke generasi berikutnya

dan terus menerus diproduksi ulang bagi pembentukan paktik sosial sehari-hari.

Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Praktik sosial Bourdieu

Keempat, habitus bekerja di bawah aras kesadaran dan bahasa, melampaui

jangkauan pengamatan introspektif atau kontrol oleh keinginan aktor. Habitus

Struktur

Praktik

Habitus

9

memberi strategi bagi individu untuk mengatasi pelbagai situasi yang berubah-

ubah dan tidak terduga. Lewat pengalalaman-pengalaman masa lalu, habitus

berfungsi sebagai matriks persepsi, apersepsi dan tindakan. Dengan kata lain

bahwa sebuah tindakan tidak melulu dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan

terhadap aturan, tetapi sisa-sisa masa lalu juga berperan membentuk tindakan-

tindakan atau praktik individu atau kelompok.

Praktik selanjutnya merupakan hasil dari pengintegrasian, pembiasaan, dan

dibentuk dalam lingkungan tertentu. Praktik yang telah dipelajari berdasarkan

persepsi maupun pengalaman afektif individu tersebut, menjadikan individu

mampu bernegosiasi dalam interaksinya dengan individu lainnya pada sebuah

lingkungan sosial.

Pada sebuah lingkungan sosial, individu mungkin akan terpapar dengan

berbagai macam habitus. Habitus yang beragam tersebut, dapat menjadi stimulus

yang tumpang tindih. Habitus dengan stimulus (wacana) yang kuat (dominan)

biasanya lahir dari sebuah interaksi sosial yang intens, dan merupakan sesuatu

yang dikondisikan oleh kelompok-kelompok yang homogen. Wacana dominan

ini selanjutnya yang disebut oleh Boerdieu dengan doxa.

Doxa adalah dunia wacana yang mendominasi individu. Ia merupakan

semesta makna yang diterima begitu saja kebenarannya, tanpa dipertanyakan

lagi. Doxa menjadi tatanan sosial yang dalam diri individu yang stabil dan terikat

pada tradisi, serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak

dipertanyakan lagi. Ia kemudain menjadi kesadaran kolektif yang dianggap hadir

begitu saja tanpa pertimbangan. Sebagai sebuah wacana dominan, doxa memiliki

kemampuan untuk mendefinisikan “yang lain” (the others). Hal ini dapat terjadi

karena doxa memiliki otoritas untuk menjadikan “yang lain” patuh dan percaya.

b. Ranah, Modal dan Simbol

Konsepsi Boerdieu tentang habitus dan doxa dalam membangun logika

dominasi tidak terlepas dari konsepsi lain yang dikemukakan olehnya yaitu

ranah (field) dan modal (capital).

10

Boerdieu mendefinisikan ranah sebagai “a network, or configuration, of

objective relations between positions. These positions are objectively defined, in

their existence and in the determinations they impose upon their occupants,

agents or institusions, by their present and potential situation (situs) in the

structure of the distributions of species of power (or capital) whose possession

commads access to the specific profits that are at stakein the field, as well as by

their objective relation to other positions (domination, subordination, homology,

etc) (Fashri 2014).

Ranah merupakan arena kekuatan yang didalamnya terdapat upaya

memperebutkan sumber daya (modal) dan demi memperoleh akses tertentu, yang

biasanya dekat dengan hirarki kekuasaan. Ranah juga merupakan arena

pertarungan di mana mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau

mengubah konfigurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang membimbing

dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu maupun kelompok,

untuk melindungi atau meningkatkan posisi mereka dalam kaitannya dengan

jenjang pencapaian sosial.

Ruang sosial yang memandang realitas sosial sebagai suatu tipologi (ruang)

sangat terkait erat dengan konsep ranah. Di dalam sebuah ruang sosial, terdapat

berbagai ranah yang saling berhubungan satu dan lainnya. Setiap ranah memiliki

struktur dan kekuatan-kekuatan sendiri. Menurut model teoritis Bourdieu,

pembentukan ruang sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian ranah yang

terorganisasi secara hirarkis (ranah ekonomi, pendidikan, politik, sastra, dan

sebagainya) (Krisdiato, 2014:201).

Dalam setiap ranah, selalu terdapat pertarungan antara yang wacana yang

mendominasi dan yang didominasi. Dalam kaitannya dengan doxa, mereka yang

memiliki kepentingan paling besar untuk mempertahankan integritas doxa adalah

kelompok-kelompok dominan dalam suatu ranah. Dengan kata lain, mereka akan

membangun dalam ruangnya sendiri sebuah orthodoxa. Orthodoxa merupakan

seperangkat keyakinan untuk mendukung doxa (status quo) di dalam sebuah

ranah menggunakan strategi defensif dan pelestarian (conservation). Sebaliknya,

11

wacana yang selalu menentang doxa disebut dengan heterodoxa. Heterodoxa

merupakan wacana kritis yang biasanya diserukan oleh agen (individu atau

kelompok dalam ranah) yang menempati posisi marginal dengan menggunakan

strategi subversi. Strategi defensif atau conservation dengan kemapanan doxa

dalam arena pertarungan wacana, hanya dapat dimenangkan dengan mudah jika

agen yang mendominasi dapat menggunakan mendominasi modal (capital).

Terdapat beberapa modal yang tersebar di dalam sebuah ranah. Pertama,

modal ekonomi (economic capital) yang mencakup alat-alat produksi (mesin,

tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan

mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Kedua, modal budaya (cultural capital) adalah keseluruhan

kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun

warisan keluarga. Termasuk dalam modal budaya antara lain kemampuan

menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai

tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan. Ketiga, modal

sosial (social capital) menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki oleh agen

dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Keempat, modal

simbolik (symbolic capital), yang wujudnya berupa legitimasi otoritas seperti

segala bentuk prestise, status, gelar kehormatan maupun reputasi. Kepemilikan

atas modal yang menentukan kecendrungan posisi seseorang di dalam ranah

menurut kualitas dan kuantitas modal. Semakin besar seseorang mengakumulasi

modal tertentu, maka semakin besar pula peluang untuk mengkonversi antar

modal. Distribusi kapital menentukan struktur objektif kelas-kelas di dalam

sistem sosial. Kelas yang dominan adalah kelas yang memiliki jumlah

(akumulasi) terbesar dari keempat bentuk kapital, sedangkan kelas bawah atau

kaum marginal adalah pemilik kapital yang paling sedikit. Secara logis, maka

kelas pemilik kapital adalah kelas yang paling dominan (Bayo 2010).

Setiap jenis modal tersebar tidak merata di antara kelas-kelas sosial dan

fraksi-fraksi kelas. Meskipun jenis-jenis modal itu sama-sama bisa diubah dalam

kondisi tertentu, mereka tidak bisa direduksi satu sama lain. Kepemilikan modal

12

ekonomi tidak serta-merta mengimplikasikan kepemilikan modal kultural atau

simbolis. Meskipun memiliki peran penting dalam praktik, modal-modal tersebut

tidak otomatis memiliki kekuatan signifikan di dalam suatu ranah. Setiap ranah

memiliki kebutuhan modal spesifik yang berbeda dengan kebutuhan ranah

lain.Bourdieu mengilustrasikan perbedaan jenis modal yang signifikan berikut

efeknya sebagai berikut: “There is thus a chiasmatic structure, homologous with

the structure of the field of power, in which, as we know, the intellectuals, rich in

cultural capital and (relatively) poor in economic capital , and the owners of

industry and business, rich ini economic capital and (relatively) poor in cultural

capital, are I opposition…” (Bourdieu: 1993; 185 dalam Krisdinanto, 2014).

Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut

memiliki daya-daya yang memberikan arti. Menurut Bourdieu 1997:96 dalam

Chopra 2003:427, apa yang dinegosiasikan dan dikontestasikan dalampertukaran

modal didalam ranah bukan hanya seperangkat aksi yang akan membuat

berbagai kelompok orang meningkatkan akumulasi modalnya, namun yang lebih

penting adalah pertaruhan modal dalam mendefinisikan segala sesuatu yang

disebut nomos. Nomos ini dipahami sebagai tata cara regulasi yang mengatur

fungsi-fungsi dari ranah. Nomos bersifat irreducible, mendasar (foundational),

dan membentuk dasar hukum (fundamental law). Secara historis, nomos

membentuk pandangan yang merefleksikan kepentingan kelompok yang

dominan posisinya dalam sebuah ranah. Dengan kata lain, nomos merupakan

segala sesuatu yang membentuk doxa di pada tingkat ranah (Bayo 2010).

Dalam menerangkan praktik sosial, habitus, ranah, dan modal memiliki

hubungan yang berikatan secara langsung (Gambar 2). Karakteristik modal

dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi,

sedangkan ranah sebagai tempat beroperasinya modal. Ranah senantiasa

dikelilingi oleh relasi kekuasaan objektif yang mendominasi berdasarkan pada

jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus.

Berdasarkan skema praktik sosial di atas, kepemilikan modal dan habitus

dalam suatu ranah, akan melahirkan perbedaan dan pembedaan sosial.

13

Diferensiasi ini menjadi dasar dari munculnya sebuah kekuasaan simbolik

(symbolic power). Kuasa simbolik merupakan modal yang langka yang ada di

dalam masyarakat karena kekuasaan untuk merepresentasikannya berakar dalam

modal simbolik. Karena sifatnya yang melegitimasi, mehibahkan sebuah

otoritas, sehingga pemilik kekuatan simbolik akan berusaha sekuat tenaga untuk

mempertahankan modal tersebut dalam praktik sosial dan menjadi pertukaran

modal yang paling hebat jika dipertukarkan.

Gambar 2. Praktik sosial

2. Teori Negara

Negara adalah lembaga yang memiliki kekuasaan. Ada beberaa teori yang

menjelaskan dari mana kekuasaan ini di peroleh Negara. Ada yang mengatakan

kekuasaan tersebut dating dari Ilahi dan adapula yang mengatakan bahwa

kekuasaan itu di peroleh dari masyarakat untuk menciptakan perdamaian.

Semua teori pada dasarnya mengatakan bahwa kekuasaan diperuntukan

supaya Negara bisa menciptakan kebaikan bagi masyarakat di wilayah

kekuasaannya. Misalnya, Plato berpendapat bahwa negaralah yang mengajarkan

nilai nilai moral kepada masyarakat; ajaran gereja menyatakan Negara

berkewajiban menegakan nilai nilai Ilahi di dunia; semntara Hegel berpendapat

bahwa berkewajiban untuk menciptakan masyarakat diujung proses sejarah

Habitus

Prinsip disposisi dan

tindakan dan

klasifikasi

Field

Posisi kekuasaan

(relasi antara posisi)

Capital

Bentuk spesifik ranah

(ekonomi, sosial,

kultural, dan

simbolik)

14

manusia dan atau untuk menciptakan perdamaian seperti pendapat dari Hobbes

(Budiman 1996).

Pendapat pendapat tentang teori Negara diatas banyak di perdebatkan,

karena semua menyatakan bahwa kekuasaan Negara bukanlah untuk kepentingan

penguasa dan hanya mengabdi pada masyarakat. Kenyataannya sepanjang

catatan sejarah banyak sekali ditemukan penguasa tidak mengabdikan

kekuasaannya untuk kepentingan rakyat. Karen itulah muncul ilmu ilmu yang

berusaha mendudukan Negara sebagai lembaga kedaulatan rakyat.

Perdebatan tentang teori Negara, sepertinya dicapai suatu kesimpulan umum

bahwa Negara memang dibutuhkan masyarakat, tetapi kekuasaannya harus

dibatasi. Negara memang harus memiliki kekuasaan yang cukup besar supaya

bisa efektif dalam memerintah tetapi kekuasaan tersebut harus dikontrol dan

dikendalikan oleh masyarakat. Masyarakat harus memiliki kekuatan politik

untuk mengganti pemerintahannya jika kenyataannya pemerintah tidak menepati

janji-janjinya(Budiman 1996). Agar Negara benar benar berguna bagi

masyarakat maka keseimbangan antara kekuasaan Negara dan kedaulatan rakyat

harus dijaga dan di cari titik optimalnya.

Menurut Arif Budiman dalam buku yang sama, mengatakan terdapat

beberapa perSoalan pokok masalah Negara diantaranya: Apakah Negara tersebut

netral atau berpihak; mengapa Negara berpihak; bagaimana menjelaskan Negara

yang berpihak bisa memiliki kekuasaan hegemonic dari Negara pemerintah.

Kelompok teori Liberal (Negara pluralis) menyatakan pada dasarnya Negara

adalah netral, sedangkan kelompok teori radikal (Teori Kaum Marxis)

menyatakan bahwa Negara memihaksalah satu kelompok di masyarakat dank

arena itu tidak netral.

Terdapat tiga masalah yang menerangkan mengapa Negara berpihak.

Pertama, menurut teori marxis klasik bahwa Negara hanya merupakan alat dari

kelompok lain yang lebih berkuasa, kondisi ini Negara tergantung terhadap

kekuatan yang lebih besar yang diluar dirinya. Kedua, menurut teori Negara

organis, Negara bukan alat dari kelompok manapun, kalaupun dalam

15

kebijakannya negaraternyata berpihak, ini dilakukan atas dasar kesadaran dan

perhitungannya sendiri. Mungkin keberpihakannya ini dilakukan karena

kedekatan psikologis antara pejabat Negara dan elit yang ada di masyarakat, atau

Negara mempunyai isis tersendiri demi terwujudnya masyarakat yang ideal.

Ketiga, Negara pada dasarnya mandiri, tetapi terlihat pada sistim ekonomi –

politik atas kondisi structural yang membuat kemandiriannya terbatas, dan jika

Negara memutuskan sesuatu diluar batas batas system atau struktur yang ada

Negara akan mengalami kesulitan.

Permasalahan terakhir tentang Negara adalah cara kerja Negara itu sendiri.

Komponen Negara yang terpenting adalahpemerintah dan kondisi structural,

yang dimaksud dengan pemerintah adalah personal dan Negara, baik alat

maupun aparat birokrasi. Mereka adalah komponen yang mandiri, memiliki

kesadaran sendiri, mempunyai kepentingan dan perhitungan perhitungan untuk

mencapai apa yang diinginkannya. Tetapi karena mereka bekerja pada sebuah

kondisi structural, kebebasan orang yang menguasaai pemerintahan ini menjadi

terbatas.

3. Teori Negara di Dunia Ketiga

Teori Negara pada dunia ketiga bukan merupakan sebuah teori baru tentang

Negara, dalam memahami peranan Negara setidaknya ada beberapa prespektif

teoritis yang menjelaskan fenomena tersebut, yaitu dengan perdebatak

cultural/Teori Budaya, Teori Negara Pasca Kolonial, Teori Negara Otoriter

Birokratis (Budiman 1996).

Teori Budaya menyatakan bahwa hampir semua di Negara ketiga masih

bersifat feudal. Kekuasaan politik dianggap sebagai perpanjangan dari ekuasaan

ke-Ilahian sehingga tidak bisa ditumbangkan.Teori Negara Pasca Kolonial,

menyatakan bahwa bentuk pemerintahan yang merupakan warisan penjajah

biasanya masih dipertahankan atau sangat sedikit sekali diubah untuk penguasa

baru. Pakta dominasi pada dasarnya masih sama dengan Negara colonial,

pemerintah menggalang kekuatannya tanpa melibatkan kelompok kelompok

16

yang ada di masyarakat, Negara berada di atas masyarakat. Teori Nagara

Otoriter Birokratis di perdebatkan oleh Guillermo O‟ Donel yang mengkaitkan

masalah otoritas dengan tahap pembangunan ekonomi dengan melakukan

industry subtitusi impor, rezim yang yang ada akan bersifat nasionalistik dan

demokratis. Namun pada saat tertentu perekonomian industry subtitusi impor ini

akanmencapai titik jenuh dan pertumbuhan ekonomihanya bisa ditingkatkan

kalau pemerintah melebarkan ekspor hasil industrinya. Untuk itu dibutuhkan

akses ke pasar internasional dan teknologi modern serta investor investor baru.

Pemerintah dunia ketiga biasanya tidak memiliki semua itu sehingga perlu

mengajak investasi asing untuk membantu. Investor asing akan masuk jika

stabilitas Negara terjamin, karena itu pemerintah harus menegakan disiplin bagi

masyarakatnya, disini Negara akan berpihak kepada pengusaha dan konsekuesi

logisnya pemerintah menjadi otoriter. Karena itu sebagai akibatnya pemerintah

sangat mandiri dalam menghadapi masyarakat.

4. Masyarakat adat

Adat adalah istilah yang merujuk pada adat istiadat setempat, keyakinan,

dan praktik. Adat identik dengan alam semesta simbolik yang memerintahkan

dunia. Adat dapat pula diartikan sebagai ideologi hegemonik yang melegitimasi

dan struktur kehidupan politik dan seremonial di desa-desa.

Masyarakat Adat diartikan sebagai terjemahan dari kata indigenous peoples.

Hal ini berbeda dengan istilah Masyarakat Hukum Adat yang merupakan

terjemahan dari bahasa belanda yaitu rechtgemencshap. Masyarakat Hukum adat

hanya akan mempersempit entitas masyarakat adat sebatas entitas hukum.

Masyarakat Adat memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar hukum,

misalnya dimensi kultur dan religi. Jadi istilah masyarakat adat dan masyarakat

hukum adat memiliki sejarah dan pemaknaan berbeda.(Zakaria 2004).

Keberadaan masyarakat Adat tidak dapat diabaikan dalam

dinamikakehidupan bangsa Indonesia. Hal ini melihat bahwa masyarakat adat

merupakan salah satu keragamaan dan kearifan lokal yang patut dihargai serta

17

dipelihara dengan bentuk pembangunan yang sesuai. Sayangnya pemahaman

mengenai dinamika masyarakat adat belum benar-benar terinternalisasi dalam

pembangunan tersebut.

Istilah Masyarakat Hukum Adat dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum

adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik akademis. Istilah

tersebut digunakan untuk member identitas kepada golongan pribumi yang

memiliki sistim dan tradisi hukum sendiri untuk membedakan dengan golongan

yang sudah memiliki sistim dan tradisi hukum tertulis.

Sedangkan Masyarakat Adat yang dikenal dengan istilah indegeneus

peoples Aiansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefenisikan sebagai

kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di

wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, idiologi, ekonomi, politik,

budaya dan wilayah sendiri. Selain definisi umum tersebut, definisi dari AMAN

ini secara langsungmendasarkan masyarakat adat dalam empat ciri spesifik

sebagai berikut: (1) Sekelompok orang dengan identitas budaya yang sama. (2)

Sekelompok orang yang saling berbagi sistem pengetahuan. Ciri khas ini terkait

erat dengan sistem pengetahuan yang bagikan (sharing knowledge) yang

bermuara pada kesamaan dalam sosialisasi dan internalisasi kebudayaan. (3)

Sekelompok orang yang tinggal di wilayah yang sama.(4) Sekelompok orang

yang memiliki sistem hukum yang khas dan tata kepengurusan kehidupan

bersama.

Tidak hanya pada skala nasional, dunia internasional pun mengakui

keberadaan masyarakat adat. Hal ini terbukti dengan adanya konvensi ILO

tentang masyarakat adat. ILO mengartikan Masyarakat Adat (indegeneus

peoples) dalam konvensi ILO 169 tahun 1989 sebagai suku-suku bangsa yang

berdiam di Negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya

berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Atau suku suku bangsa yang telah

mendiami sebuah Negara sejak masa kolonisasi yang memiliki kelembagaan

ekonomi, budaya dan politik sendiri, sementara Jose Martinez Cobo

mendefenisikan Masyarakat Adat sebagai kelompok masyarakat atau suku

18

bangsa yang memiliki kalnjutan hubungan sejarah antara masa sebelum invasi

dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka, menganggap

diri mereka berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian bagian dari

masyarakat yang lebih luas(Zakaria 2004).

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative empiris dengan

menggunakan studi kasus pada desa-desa adat di Kabupaten Maluku tengah dan

bersifat deskriptip analitis, karena dari penilitian ini diharapkan dapat diperoleh

gambaran desa desa adat dalam menjalankan pemerintahan desanya sehingga

dilakukan analisis yang bersifat kualitatif terhadap berbagai aspek yang di teliti.

1. Lokasi Penelitian

secara geografis Kabupaten Maluku Tengah pada umumnya terdapat pada

Pulau Seram Pulau Banda dan Pulau-Pulau lease dan secara adat Kabupaten

Maluku Tengah terbagi menjadi 2 (dua) yaitu Patasiwa dan Patalima secara

keyakinan masyarakat Maluku Tengah terbagi menjadi menjadi 2 (dua) yaitu

Desa Islam (salam) dan Desa Kristen (sarani).

Untuk itu penulis berusaha untuk mengumpulkan data secara optimal

sehingga data yang dikumpulkan bias menjadi representative dari unsur tersebut

baik geografis, adat maupun keyakinan

a. Pulau Seram

Pulau Seram terdapat 10 Kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja

Pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah

1. Kecamatan Kota Masohi

2. Kecamatan Amahai

3. Kecamatan Tehoru

4. Kecamatan Telutih

5. Kecamatan TNS

19

6. Kecamatan Teluk Elpaputih

7. Kecamatan Seram Utara Barat

8. Kecamatan Seram Utara

9. Kecamatan Seram Utara Timur Kobi

10. Kecamatan seram Utara Timur Seti

dari sepuluh keecamatan tersebut hanya 2 kecamatan yang diambil sebagai

lokasi peneilitian yaitu Kecamatan Amahai dan Kecamatan Tehoru

b. Pulau Ambon, Pulau Pulau Lease dan Banda

1. Kecamatan Salahutu

2. Kecamatan Leihitu

3. Kecamatan Leihitu Barat

4. Kecamatan Saparua

5. Kecamatan Saparua Timur

6. Kecamatan Pulau Haruku

7. Kecamatan Nusalaut

8. Kecamatan Banda

Dari 8 Kecamatan tersebut peneliti hanya mengambil Kecamatan Pulau

Haruku sebagai lokasi penelitian

Lokasi penelitian ditentukan dengan melihat keterwakilan unsur

geografis, adat dan keyakinan sehingga lokasi penelitian adalah

1. Kecamatan Amahai

2. Kecamatan Tehoru

3. Kecamatan Pulau Haruku

Dengan demikian dari 3 kecamatan tersebut 2 kecamatan berada di

Pulau Seram satu dekat dengan kota kabupaten dan yang satu jauh dari kota

kabupaten dan satu kecamatan lagi di Pulau Lease jauh dari kota kabupaten,

sehingga dimungkinkan ada perbedaan dalam sistim pemerintahan desanya.

Selanjutnya dari setiap kecamatan di pilih 1 (satu) desa sebagai lokasi

penelitian sehingga jumlah keseluruhan menjadi 3 (tiga) desa, yakni :

1. Kecamatan Amahai

20

a. Desa/Negeri Soahuku

2. Kecamatan Tehoru

a. Desa/Negeri Yaputih

3. Kecamatan Pulau Haruku

a. Desa/Negeri Kabau

2. Penentuan Informan

Dalam penelitian ini penentuan informan akan ditentukan berdasarkan

prinsip representative, yang artinya bahwa semua responden betul-betl

dianggap bisa dimintai keterangan, sehingga data-data yang diperoloeh dari

mereka dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, yaitu :

a. Pemerintah Daerah, sebagai pengemban amanat undang-undang dalam

mengatur pemerintahan baik di kabupaten hingga desa yang merupakan

daerah otonomi khusus dengan sistim dan tata cara sendiri yang sudah

ada sejak jaman dahulu. Yaitu instansi yang membidangi sebagai nara

sumber.

b. DPRD sebagai representasi dari masyarakat yang di hasilkan melalui

pemilu dan mempunyai tugas dalam mengeluarkan legislasi daerah

dalam pengaturan Desa Adat.

c. Tokoh tokoh adat yang merupakan perwakilan dari lembaga-lembaga

adat yang mengatur jalannya pemerintahan desa, seperti Raja, Kepala

Soa, serta sekretaris desa yang merupakan lembaga formal sesuai

undang-undang yang terdapat dalam sistim pemerintahan desa.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk memdapatkan data yang akurat, maka dalam penelitian ini akan

menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Wawancara

Tehnik ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat dari

informan, yang memungkinkan bagi peniliti untuk berinteraksisecara

21

langsung dengan informan, yang menjadi informan adala pihak-pihak yang

berkopenten dan sesuai dengan permasalahan penelitian, wawancara ini

terutama di tujukan kepada Raja, Tokoh-tokoh adat, sekretaris des, Instansi

Pemerintahan Kabupaten yang membidangi pemerintahan Desa, serta

Anggota DPRD, Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman

wawancara yang telah disiapkan secara terstruktur , dalam hal ini mula-mula

diajukan beberapa pertanyaan terstruktur, kemudian dari jawaban yang

diperoleh di perdalam lagi dengan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan

keterangan lebih rinci dan mendalam.

Cara seperti ini lazim disebut sebagai method kualitatif yang

mengandalkan interprestasi dari sejumlah data yang dikumpulkan, oleh

karena itu dianggap bahwa kemampuan data metode kualitatif tergantung

dari para penelitinya.

Sejumlah alat rekam juga digunakan untuk mendukung tehnik penelitian

dilapangan, diantaranya tape recorder dan camera yang digunakan untuk

mengikat peneliti mengenai suasana wawancara dan lokasi-lokasi penting di

daerah penelitian. Dengan demikian kelengkapan dasar bagi penelitian ini

diharapkan dapat membuat data yang dikumpulkan di lapangan lebih rinci

dan lengkap sekaligus dapat mendukung proses elaborasi penelitian.

b. Pengamatan

Tehnik ini dianggap perlu karena memungkinkan penulis untuk bisa

secara langsung mengamati sekaligus mencermati keadaan lapangan, hal ini

untuk dapat mendapatkan informasi dari sebuah jenis data yang tidak dapat

di jangkau dengan menggunakan tehnik wawancara.

c. Dokumentasi

Data ini lebih bersifat data pendukung (sekunder) dan dibutuhkan untuk

melengkapi data primer yang ada, dokumentasi-dokumentasi yang

dipergunakan berupa bahan bahan penelitian yang pernah dilakukan

sebelumnya yang sedikit punya kesamaan serta dianggap layak untuk

dijadikan bahan pertimbangan, berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan

22

penelitian serta regulasi regulasi baik regulasi nasional maupun daerah yang

berkaitan dengan penelitian.

4. Teknik Analisa Data

Metode analisis yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah

analisis kualitatif deskriptif, sesuai dengan jenis penelitian yang bersifat

kualitatif, yang artinya dalam menganalisa data tidak digunakan model uji

statistic dengan memakai rumus rumus tertentu melainkan lebih ditujukan

sebagai tipe penelitian deskriptif. Penelitian Deskriptif mempunyai tujuan yaitu

mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekwensi terjadinya suatu

aspek fenomena sosial dan mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial

tertentu seperti interaksi sosial, sistim kekerabatan dan lain-lain. Sehingga model

penelitian seperti ini biasanya dilakukan tanpa melibatkan sebuah rumusan

hipotesa.

Hasil wawancara maupun pengamatan sejauh mungkin diharapkan dapat

membantu dan mendukung analisis yang dihasilkan serta seluruh data yang

diperoleh akan dianalisisi sejak awal terkumpulnya diatas sampai selesai

pengumpulan data dilapangan, hal ini dimungkinkan agar pembahasan nanti

akan memberikan uraian secara sistimatis dan akan mampu menjawab

permasalahan-permasalahan yang ada.

Materi pengadalisaan juga memanfaatkan data sekunder yang sudah ada,

yaitu informasi informasi yang berupa bahan bahan penelitian yang pernah

dilakukan sebelumnya yang sedikit punya kesamaan serta dianggap layak untuk

dijadikan bahan pertimbangan, berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan

penelitian serta regulasi regulasi baik regulasi nasional maupun daerah yang

berkaitan dengan penelitian, yang diperlukan sebagai pendukung kerangka dasar

pemikiran, asumsi asumsi dan pedoman dalam pengumpulan data, serta sebagai

alat konfrehensif dalam penganalisaan.

Agar memperoleh data yang betul-betul representative, maka dalam

menganalisa data akan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu :

23

a. Reduksi Data

Tahapan ini akan memungkinkan agar semua data yang telah terkumpul

selanjutnya direduksi, dengan cara pemilihan dan sekaligus penyederhanaan

data dengan memusatkan perhatian pada pokok permasalahan serta

mempertimbangkan factor-faktor pendukung lainnya yang dianggap terkait

dengan masalah penelitian.

b. Pennyajian Data

Setelah mereduksi data yang ada maka tahapan selanjutnya adalah proses

penyusunan kembali data yang ada secara selektif agar penyajian data

nantinya betul-betul valid.

c. Penarikan Kesimpulan

Proses penarikan kesimpulan ini nantinya adalah hasil dari analisis kualitatif

yang tentunya sesuai dengan pertanyaan atas permasalahan penelitian,

karena penelitian ini bersifat analisis kualitatif, maka dalam menganalisisi

datanya lebih banyak menggunakan cross cheking analisis.

5. Sistematika penulisan

Tesis ini terbagi dalam lima bagian. Adapun sistematika penulisan

sebagaiberikut:

Bab I merupakan pendahuluan. Di dalamnya memuat penjelasan tentang

masalah yang melatarbelakangi penelitian ini, termasuk di dalamnya alasan

mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji. Kerangka teori dan konsep-

konsep utama Pierre Bourdieu, teori negara dan negara ketiga dijelaskan secara

singkat tetapi jelas yang nantinya akan menuntun pembaca pada dalam bab-bab

selanjutnya. Dengan menggunakan konsep tersebut, studi ini mendapatkan basis

dan cara menganalisis data-data yang dikumpulkan dari wawancara, observasi

dan studi pustaka.

Bab II memuat penjelasan sejarah perkembangan masyarakat adat di

Negeri/desa adat kabupaten Maluku Tengah Khususnya desa Soahuku, Yaputi

dan Kabau. Tujuan bab ini adalah untuk menguraikan sejarah dan karakteristik

24

masyarakat adat di desa-desa tersebut yang umumnya masih bersifat genealogis.

Alur pemaran akan dimulai dengan menjelaskan histori terbentuknya Negeri

hingga kondisi saat ini dengan menggunakan pendekatan teori terbentuknya

sebuah negara.

Bab III menjelaskan tentang dinamika perkembangan politik pada

Negeri/desa adat dan sumber-sumber kekuasaan yang memproduksi dan

mereproduksi praktik-praktik kuasa adat daerah tersebut. Tujuan utamanya

menjelaskan logika yang bermain dibalik dominasi kekuasaan adat. Pada bab ini,

alur pemaparan akan dimulai dari menjelaskan rangkaian ide yang menjadi logika

dan praktik-praktik adat menggunakan kerangka berpikir Bourdieu yaitu habitus,

doxa, ranah dan modal.

Bab IV akan memuat penjelasan wajah Negeri/desa adat disetiap perubahan

regulasi pada tiap rezim politik yang berkuasa. Tujuan utama dari bab ini

adalahuntuk menguraikan secara rinci dinamika yang terjadi dalam pemerintahan

Negeri/desa adat serta mencelaskan kepentingan yang bermain di belakang tiap

regulasi yang dikeluarkan. Selain itu, respon masyarakat adat terhadap regulasi

tersebut, juga diuraikan dengan gambalang.

Bab V sebagai bab penutup merupakan kesimpulan dari argumen utama.

Bagian ini merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah

diajukan pada bab I.