BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14646/1/T1_312013003_BAB...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14646/1/T1_312013003_BAB...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Warga Negara adalah orang – orang yang menurut hukum atau secara resmi
merupakan anggota dari suatu negara tertentu. Mereka memberikan kesetiaannya
kepada negara itu, menerima perlindungan darinya, serta menikmati hak untuk ikut
serta dalam proses politik. Mereka mempunyai hubungan secara hukum yang tidak
terputus dengan negaranya meskipun yang bersangkutan telah berdomisili di luar
negeri, asalkan ia tidak memutuskan kewarganegaraannya.1 Warga Negara Indonesia
adalah seluruh warga masyarakat berkebangsaan Negara Indonesia yang telah diakui
oleh Pemerintah Indonesia. Karenanya setiap orang atau sekelompok orang yang
berkebangsaan Negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam memperoleh
keamanan, jaminan perlindungan hukum serta mendapatkan pelayanan oleh
Pemerintah Indonesia.
1 Sri Harini Dwiyatmi, Pendidikan Kewarganegaraan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, h.
186.
2
Pemerintah harus memberikan pelayanan kepada warga negaranya sampai
warga negaranya merasa puas selama masa pemerintahannya berlangsung. Pelayanan
Pemerintah yang dimaksud adalah dalam hal Pelayanan publik. Pelayanan publik
atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik
dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan
di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam
rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan.2 Istilah Publik berasal dari bahasa Inggris
public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah
diterima menjadi Bahasa Indonesia Baku menjadi Publik yang berarti umum, orang
banyak, ramai.3 Jadi, yang dimaksud dengan publik adalah orang perseorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat yang memiliki tujuan yang sama dalam bidang
umum/ sosial.
Pengertian mengenai Pelayanan Publik dapat dilihat dalam Dalam Pasal 1
ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik yang berisi:
“Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang – undangan
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik , diakses pada tanggal 7 Juli 2016.
3 Lijan Poltak Sinambela,dkk, Reformasi Pelayanan Publik “Teori, Kebijakan, dan
Implementasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, h. 5.
3
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”4
Pengertian Pelayanan Publik juga dapat dilihat dalam SK Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standar Pelayanan
Peradilan Bab I huruf D angka 1 di sebutkan bahwa:
“pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar sesuai dengan hak – hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas
suatu barang dan jasa atau pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.”5
Salah satu bentuk pelayanan publik yang diberikan Pemerintah dalam sistem
peradilan adalah memberikan pelayanan dengan konsep keadilan melalui program –
program pelayanan yang di keluarkan oleh Pengadilan. Pelayanan Pengadilan adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi
masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang disediakan oleh Mahkamah Agung dan
badan – badan peradilan di bawahnya berdasarkan peraturan perundang – undangan
dan prinsip prinsip layanan publik.6 Pelayanan publik bagi masyarakat yang bersifat.
Publik memiliki arti yakni objeknya berupa kepentingan – kepentingan yang bersifat
umum.
4 Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
5 SK Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standar
Pelayanan Peradilan.
6 Ibid.
4
Pada dasarnya hukum yang dibuat adalah untuk menciptakan keadilan.
Pandangan keadilan menurut Adam Smith adalah: “untuk mewujudkan keadilan
peran pemerintah perlu dibatasi hanya mengelola pertahanan, keamanan, hubungan
luar negeri, pekerjaan umum dan peradilan.”7 Pendangan lain mengenai keadilan juga
dapat dilihat dalam Teori Hukum Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan
teori keadilan social John Rawl dalam bukunya A Theory of Justice, yang menyatakan
bahwa: “keadilan harus diagungkan, keadilan harus dinomorsatukan dan keadilan
harus diatas segala – galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia.”8
Rumusan pengertian keadilan juga dikemukakan oleh Hans Kelsen yang dalam
bukunya Pure Theory of The Law and State, dikatakan bahwa: “keadilan oleh Kelsen
dimaknai sebagai legalitas.”9 Legalitas yang dimaksud oleh Hans Kelsen adalah tidak
adil jika suatu aturan yang sama diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus
lain yang sama.10
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenal
sesuatu hal, baik menyangkut benda/ orang. Keadilan berasal dari kata adil, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang – wenang, tidak
memihak, tidak berat sebelah.11
Adil bukanlah sama rata pada konsepnya, namun
harus sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Keadilan merupakan suatu perilaku
7 Lijan Poltak Sinambela, dkk., Op.Cit., h. 14.
8 Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan Praktik), Mandar
Maju, Bandung, 2014, h. 30.
9 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Prespektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung,
2015, h. 103.
10 Ibid.
11 H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral, & Keadilan “Sebuah Kajian Filsafat Hukum”,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, h. 85.
5
adil, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya atau sesuai dengan porsinya,
adil itu tidak harus merata berlaku bagi semua orang tetapi sifatnya sangat subjektif.12
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yakni peradilan negara, eksistensi
dan perannya ditetapkan dengan undang – undang. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.13
Kekuasaan Kehakiman juga merupakan kekuasaan yang
mandiri. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan yang bebas dari
pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan menegakkan hukum, jaminan tersebut
ada dalam konstitusi Negara yang merupakan dasar peraturan perundang – undangan
tertinggi dalam negara.14
Hal ini dapat dilihat pada pasal 24 ayat (1) Undang –
Undang Dasar 1945, yang menegaskan: “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.”15
Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim
merupakan asas yang sifatnya Universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja.
Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya
bebas, yaitu bebas dalam memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur
tangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil.16
Kekuasaan Kehakiman yang
mandiri terdiri yang dimaksud diurai menjadi 3 tipe yaitu ; dalam hal kemandirian
12 Ibid., h. 87.
13 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Media Group,
Jakarta, 2012, h. 1.
14 Ibid, h.34.
15 Pasal 24 ayat (1) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
16 Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek – Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2005, h. 51.
6
lembaga/institusinya, kemandirian dalam proses peradilannya, dan kemandirian
hakimnya.
Sebagai peradilan negara, maka tugas dan fungsinya adalah menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan Undang –Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945.17
Kemudian lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,
ditegaskan bahwa: “Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa.”18
Asas ini berlaku untuk semua lingkungan badan peradilan.19
Dunia
peradilan saat ini dituntut untuk dapat melayani para pencari keadilan untuk dapat
lebih transparan, akuntabel, dan professional. Tidak hanya itu dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman, juga disebutkan bahwa “Pengadilan membantu pencari keadilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.”20
Saat ini kantor Pengadilan menjadi hal yang
ditakutkan oleh masyarakat / para pencari keadilan, hal ini dikarenakan masih ada
pandangan bahwa dalam melakukan penyelesaian suatu perkara di pengadilan harus
memiliki uang yang banyak atau yang memiliki kekuasaan yang akan memenangkan
suatu perkara dalam peradilan. Masyarakat menengah kebawah juga menganggap
bahwa peradilan hanya diperuntukkan bagi masyarakat menengah keatas, hal ini
dikarenakan sebagian besar masyarakat menengah keataslah yang terselesaikan
17 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2007,
h. 2.
18 Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman 19 Rimdan, Op,cit,, h. 52.
20 Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman.
7
perkara kasusnya lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat menengah kebawah
(terpinggirkan). Tidak hanya itu, masyarakat masih ragu akan keadilan yang
dijunjung tinggi dalam dunia peradilan, dimana masyarakat merasa bahwa pelaku
dalam suatu tindak pidana sebenarnya adalah korban, dan berlaku sebaliknya.
Karenanya, sistem pengadilan dianggap kacau oleh masyarakat dan dipertanyakan,
kurang mencerminkan nilai – nilai keadilan serta kepercayaan masyarakat terhadap
pelayanan publik kini menjadi sangat rendah.
Para pencari keadilan berarti setiap orang serta warga masyarakat yang
berupaya mencari keadilan yang secara ekonomis mampu atau tidak mampu, yang
memerlukan jasa hukum untuk menangani atau menyelesaikan masalah – masalah
hukum. Secara umum pengertian mengenai pencari keadilan yakni warga masyarakat
atau mereka yang memiliki hak – hak untuk diperjuangkan dalam hukum untuk
memperoleh keadilan. Para pencari keadilan dapat disebut dengan istilah klien. Klien
yang dimaksud yakni adalah tersangka, terdakwa, terpidana dan korban atau pihak
lainnya. Dalam kaitannya para pencari keadilan ini memiliki hak yang sama untuk
memperoleh keadilan, hal ini disebutkan dalam Pasal 28 H ayat (2) Undang – Undang
Dasar 1945 yakni: “setiap orang berhak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Hak – hak tersangka, terdakwa, terpidana, dan korban telah di atur dan di
cantumkan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Dalam pelaksanaan
penegakan hukum, hak asasi yang melekat pada diri tersangka, terdakwa, dan korban
tidak boleh dikurangi. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, hak asasi utama
8
tersangka atau terdakwa yang harus dijunjung antara lain : (a) Persamaan hak dan
kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum; (b) Praduga tak bersalah; (c)
Penangkapan atau penahanan harus didasarkan bukti permulaan yang cukup; dan (d)
hak mempersiapkan pembelaan secara dini.21
Kedudukan korban dalam peradilan
selama ini terabaikan, korban selalu kurang mendapatkan perhatian, pelaku kejahatan
lebih sering mendapatkan spesialisasi dan perhatian dibanding korban. Eksistensi
korban tersubordinasikan dan tereliminasi sebagai risk secondary victimizations
dalam bekerjanya peradilan pidana.22
Padahal, dalam sistem peradilan pidana tidak
boleh ada pengabaian. Hak – hak korban juga harus dijunjung tinggi.
Dalam praktik penerapan hukum pidana, korban diposisikan sebagai ‘saksi
korban’ dan terkadang mengabaikan posisi korban sebagai ‘pencari keadilan’.23
Hak
dan kewajiban menurut Arif Gosita antara lain:
1) Si korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai
dengan taraf keterlibatan korban itu sendiri dalam terjadinya kejahatan
tersebut.
2) Berhak menolak restitusi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau
diberikan restitusi karena tidak memerlukannya).
3) Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban
meninggal dunia karena tindakan tersebut.
21 O.C Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Teripdana,
Alumni, 2006, h. 370-372.
22 C. Maya Indah S, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 97.
23 Ibid, h. 135.
9
4) Mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
5) Mendapat hak miliknya kembali.
6) Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan
menjadi saksi.
7) Mendapatkan bantuan penasihat hukum.24
Pada dasarnya masyarakat membutuhkan kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan
cara yang baik atau tepat. Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang
harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu
menitikberatkan pada kepastian hukum , terlalu ketat menaati peraturan hukum
akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan
rasa ketidakadilan.25
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan
kekuasaan kehakiman. Namun, saat ini putusan hakim sering dinilai kurang
mencerminkan keadilan bagi warga masyarakat serta masih terlalu bersifat normative
yang hanya dengan melihat peraturan perundang – undangan dan lebih suka menjadi
corong undang – undang. Padahal, keadilan adalah faktor penting dan utama yang
harus digali lebih dalam untuk dicari kebenarannya serta dijadikan pegangan dalam
proses persidangan dan dalam putusan hakim.
24 Ibid, h. 142-143.
25 Ahmad Zaenal Fanani, Op.Cit, h. 3.
10
Pengadilan Negeri Salatiga telah mengeluarkan program inovasi terbaru
terkait dengan pelayanan publik sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Pengadilan
Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team
Pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu Pada Pengadilan Negeri Salatiga.
SK ini berisi mengenai sistem pelayanan peradilan terpadu untuk pencapaian keadilan
dalam perkara pidana maupun perdata, pembentukan team pengelola Pelayanan
Peradilan Pemulihan Terpadu di Pengadilan Negeri Salatiga, pengaturan tatacara
pelayanan, biaya pelayanan peradilan, dan penetapan – penetapan untuk penunjukan
konseling. Melalui wawancara dengan Bapak Achmad Raffik Arief, SH., sebagai
Panitera Muda Pidana dan Bapak Adhi Agus Ardhianto, SH., Panitera Pengganti di
Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 30 Mei 2016 dan 28 Juni 2016 ; Ibu Henny
Trimira Handayani, SH,MH., sebagai ketua Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal
22 Agustus 2016 ; Bapak Ferdiansyah SH,MH.,sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana
Umum ; dan Bapak Fajar Yulianto, SH., sebagai Jaksa Penuntut Umum pada tanggal
26 Agustus 2016, Program Peradilan Pemulihan terpadu adalah program unggulan
dan program inovasi dalam hal pelayanan publik di Pengadilan Negeri Salatiga untuk
mempermudah proses perkara serta mewujudkan pelayanan publik dengan konsep
keadilan yang merupakan kewenangan sepenuhnya milik pengadilan yang bertujuan
pada pemulihan atau restorative bagi para pihak yang berhadapan dengan hukum
yakni pencari keadilan.
Mahkamah Agung sebelumnya telah memberikan kewenangannya kepada
masing – masing pengadilan negeri untuk membuat terobosan dalam hal
11
pembaharuan pelayanan publik melalui SK Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan yang
kemudian oleh Pengadilan Negeri Salatiga melalui hal tersebut kemudian membuat
Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) sebagai salah satu terobosan dalam hal
pembaharuan pelayanan publik. Terpadu dapat diartikan bahwa dalam salah satu
bentuk pelayanan publik yang diberikan di Pengadilan Negeri Salatiga yakni berupa
bimbingan konseling yang dilakukan oleh Psikologi, Pendeta, atau Konsuler yang
sebelumnya telah ditunjuk melalui SOP dengan tujuan untuk membangun sarana,
prasarana dan model penanganan peradilan pemulihan terpadu yang dapat membantu
pemulihan keadaan mental atau rokhani bagi korban, pelaku maupun pihak – pihak
yang berperkara melalui penyediaan fasilitas- fasilitas dan lembaga konseling, agar
dapat membantu para pihak yang berhadapan dengan hukum dapat memperbaiki
kualitas kehidupannya ; untuk membuka ruang dialog intersubyektif terbuka bagi
hakim dengan para pihak yang berhadapan dengan hukum melalui bantuan konsuler,
sehingga hakim dapat memahami keadilan yang lebih substantive; membuka stigma
negatif masyarakat ketika hakim berupaya berdialog dengan para pihak dalam
memahami permasalahan suatu perkara; serta untuk mendamaikan perkara sebelum
perkara diputus.
Bentuk Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) di Pengadilan Negeri Salatiga
yang diberikan kepada pelaku dan korban terkait konseling yang dilihat dari sisi
pelaku yakni apakah pelaku tersebut telah benar – benar menyesal akan perbuatan
pelaku yang melanggar norma – norma dalam hukum pidana/ tidak ataukah hanya
12
berpura – pura menyesal yang dalam hal ini berarti memberi penilaian. Jika dalam
penilaian tersebut pelaku masih dapat dibina/dibimbing maka pada saat itu juga
pengadilan memberikan penawaran kepada pelaku apakah mau dilakukan bimbingan
atau tidak. Penilaian tersebut dilakukan oleh hakim dan jaksa. Sedangkan apabila
dilihat dari sisi korban, dilakukan dengan penilaian yang sama, yang selanjutnya
dapat dilakukan bimbingan berupa konseling karena ada pemikiran bahwa orang
tersebut masih dapat untuk dibina. Bimbingan berupa konseling ini berguna untuk
para pihak dalam hal mendapatkan pencerahan batin atau rohani bagi pelaku agar
tidak mengulangi kejahatan yang diperbuat. Dan pemulihan bagi korban, biasanya
untuk pemulihan korban lebih banyak dalam hal perlindungan korban anak.
Kegiatan Konseling dalam program Peradilan Pemulihan Terpadu dilakukan
selama proses perkara hukum berlangsung yakni dalam persidangan yang berguna
bagi para hakim dan jaksa penuntut umum. Melalui program ini hakim yang pada
awalnya tidak tahu segala - galanya menjadi lebih mudah mengetahui dan terbantu
mengenai masukan – masukan serta melalui referensi dari konselor tersebut hakim
dapat mengetahui tentang latar belakang pelaku melakukan tindak pidana, korban
dapat ikut serta dalam tercetusnya tindak pidana atau kenapa korban menjadi pihak
yang dirugikan oleh pelaku, saksi mengenai hal yang sebenarnya atau kondisi
sebenarnya (psikis atau psikologis) dari pihak yang bermasalah tersebut agar dalam
mengeluarkan putusannya hakim menjadi lebih adil untuk menentukan putusannya
dan tidak berat sebelah. Bagi jaksa dapat memperjelas lagi mengenai fakta – fakta
dalam persidangan.
13
Bagi para pencari keadilan yang berkonteks pada masyarakat bahwa
perbuatan kejahatan yang dianggap meresahkan masyarakat itu dengan adanya
bimbingan konseling tersebut maka pelaku yang meresahkan masyarakat tersebut
menjadi sadar dan mengakui kesalahan yang diperbuat dan ketika pelaku kembali ke
masyarakat maka pelaku tidak lagi meresahkan masyarakat dan berguna bagi
masyarakat. Sedangkan untuk korban, korban menjadi tidak khawatir akan perbuatan
pelaku yang meresahkan.
Bentuk rekomendasi/referensi yang diberikan oleh pihak konselor kepada
hakim ada dalam bentuk dokumen (resume) yang sebelum persidangan tersebut
bersifat rahasia dan tidak dapat diberitahukan kepada pihak manapun kecuali hakim
(hanya pada hakim) sampai selesai persidangan dan dokumen tersebut setelah
putusan persidangan baru dapat dibuka secara terbuka. Terkait dengan kepentingan
Jaksa bisa saja jaksa meminta rekomendasi/referensi konselor namun hanya dapat
digunakan sebagai kepentingan untuk memperkuat fakta – fakta yang ada dalam
persidangan.
Bimbingan konseling melalui program peradilan pemulihan terpadu (P3T) ini
lebih sering digunakan dalam perkara – perkara perdata dari pada perkara – perkara
pidana. Hal ini disebabkan pada faktor masyarakat tidak ingin mengikuti bimbingan
konseling dan masyarakat merasa bahwa program bimbingan konseling dalam
perkara pidana itu tidak diperlukan, selain itu juga memberatkan
terdakwa/tersangka/pelaku dalam proses perkara mereka yang menjadi tidak cepat
selesai karena harus menunggu proses konseling tersebut selesai.
14
Biasanya program bimbingan atau konseling yang diberikan dilakukan dengan
cara mempertemukan pihak yang membutuhkan dengan pihak konselor yakni
psikolog atau rohaniawan yang untuk selanjutnya dilakukan bimbingan konseling
tersebut. Model pelayanan konseling tersebut mengadopsi lembaga BP4 pada KUA
dan lembaga pendampingan perempuan dan anak yang terdapat di kepolisian dalam
perkara pidana anak dan tindak pidana susila.26
Pemulihan tersebut dilakukan selama
proses perkaranya berjalan dan dilakukan saat persidangan berlangsung yang
diharapkan hasil dari
Proses pemulihan dengan konseling tersebut dapat menjadi masukan atau
referensi bagi hakim untuk memperjelas titik terang dalam memutus perkaranya,
sekaligus memberi manfaat bagi para pihak yakni pencari keadilan berupa pemulihan
mental. Lembaga konseling ini berjalan sejak ditandatangninya MoU (tanggal 21
September 2015) perantara PN Salatiga dengan PemKot Salatiga , Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
Salatiga, dan telah diterapkan dalam perkara gugatan perceraian. Adapun dalam SOP
pelaksanaan lembaga konseling adalah upaya konseling ditawarkan oleh Hakim atau
Majelis Hakim pada saat persidangan dan Konseling dilakukan di luar jam
persidangan oleh konsuler (Psikolog/Rohaniawan/pendamping) yang ditunjuk. Proses
konseling diharapkan dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan.27
26 http://inovasi.mahkamahagung.go.id/inovasi-
detail/PELAYANAN%20PERADILAN%20PEMULIHAN%20TERPADU%20%20P3T, di akses
pada tanggal 8 Agustus 2016, pukul 11.50.
27 Ibid.
15
Oleh karena itu dengan topik bahasan mengenai Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) bagi pencari keadilan terkait pelayanan publik, penulis akan menganalisis
kasus perkara perkara 100/Pid.B/2015/PN.Slt., dengan terdakwa Feri Tri Wahyudi
Bin Sudirman terjerat pidana dalam pasal 480 ayat (1) KUHP yakni: “barang siapa
membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau menarik
keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut,
menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya
harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.” Dimana dalam kasus
perkara tersebut terdakwa telah membeli rangka sepeda motor hasil curian untuk
dirakitkan menjadi motor trail pesanan dan terdakwa membeli rangka motor tersebut
tanpa dilengkapi dengan surat – surat kepemilikan. Berdasarkan perkara tersebut,
Pengadilan Negeri Salatiga yang menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana
telah menjatuhkan penetapan penunjukan konseling untuk kepentingan terdakwa Feri
Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan Penetapan No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt., pada
tanggal 28 Oktober 2015. Dikeluarkanlah penetapan konseling dalam Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) dalam perkara tersebut yang diperuntukkan bagi terdakwa
Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan maksud bahwa penyimpangan perilaku yang
telah dilakukan oleh terdakwa telah melanggar norma - norma hukum pidana dan
harus dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku dan pengendalian diri
terdakwa yang bertujuan untuk pemulihan secara mental agar terdakwa dapat kembali
melaksanakan fungsi sosialnya di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penetapan
tersebut telah ditetapkan bahwa Sdr..Dra. Siti Zumrotun, M.ag yakni
Psikolog/Rohaniawan, sebagai konsuler dalam perkara tersebut untuk mendampingi
16
dan memberikan bimbingan terhadap terdakwa dan hasilnya dilaporkan pada majelis
hakim. Melalui penetapan ini terdakwa mendapatkan hak – haknya untuk mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.28
Serta melalui penetapan ini hakim
dapat menggali lebih dalam, memahami nilai – nilai hukum yang ada dan rasa
keadilan yang sebenarnya.29
Berdasarkan kasus perkara tersebut hubungan Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) dengan kasus dalam perkara tersebut adalah konseling dalam Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) terhadap pihak yang bermasalah diharapkan mendapatkan
pencerahan berupa pemulihan mental melalui pilihan bimbingan atau konseling serta
memudahkan jalan para pencari keadilan dalam hal penyelesaian konflik terhadap
perkara yang sedang berlangsung. Selain itu melalui peradilan pemulihan terpadu
(P3T) masyarakat selaku pencari keadilan hak – haknya dapat terjamin dalam
memperoleh keadilan dan mempermudah hakim untuk menentukan keadilan dalam
suatu perkara.
Permasalahan dalam Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah
bahwa program tersebut berada di luar cangkupan sistem hukum acara pidana. Hal ini
dikarenakan bahwa Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) merupakan program murni
bentukan Pengadilan Negeri Salatiga yang merupakan amanat dari SK Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang standart
28 Lihat Pasal 28 H ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
29 Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
17
pelayanan publik dan bukan merupakan program bentukan yang berdasarkan Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dan upaya konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) yang ditawarkan oleh Hakim atau Majelis Hakim pada saat persidangan
dilakukan di luar jam persidangan pada saat proses pemeriksaan persidangan oleh
konsuler (Psikolog/Rohaniawan/pendamping) yang ditunjuk melalui surat Penetapan
yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Salatiga sehingga memiliki kemungkinan
akan bertentangan dengan asas – asas yang ada dalam hukum pidana dan hukum
acara pidana yakni beberapa diantaranya adalah asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) dan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Oleh karenanya melalui Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) di Pengadilan
Negeri Salatiga tersebut penulis akan mengkaji berdasarkan asas – asas dalam hukum
pidana dan berdasarkan hukum acara pidana serta akan menganalisis lebih detail
mengenai program pelayanan publik bagi pencari keadilan yang diberikan oleh
Pengadilan Negeri Salatiga yakni Program Pemulihan Terpadu (P3T).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diutarakan penulis diatas, maka dapat dibuat
rumusan masalah : “Bagaimana implementasi Program Peradilan Pemulihan Terpadu
(P3T) di Pengadilan bagi Pelayanan Publik di Pengadilan Negeri berdasarkan
Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN.Slt.
18
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Latar Belakang dan rumusan masalah diatas penulis dapat dibuat
tujuan penulisan :
1. Untuk mengetahui tujuan program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T)
berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN.Slt., bagi
pencari keadilan dalam hukum pidana
2. Untuk mengetahui apakah Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) berdasarkan
Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN.Slt., sudah sesuai dengan
Hukum Acara Pidana
3. Untuk menganalisis program peradilan pemulihan terpadu (P3T) berdasarkan
Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN.Slt., yang dikeluarkan
oleh pengadilan yang dapat membantu para pencari keadilan dalam memperoleh
keadilan
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Akademis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam ilmu hukum
pidana tentang Pelayanan Publik Bagi Pencari Keadilan melalui Peradilan Pemulihan
Terpadu (P3T) di Pengadilan Negeri Salatiga dengan mengjkaji berdasarkan
Penetapan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 100/Pen,Pid/2015/PN.Slt.
19
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum
pidana, serta dapat dipakai sebagai acuan untuk mempelajari mengenai Program
Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) terkait Pelayanan Publik bagi pencari keadilan
yang ada di Pengadilan Negeri Salatiga.
b. Bagi Praktisi, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai bahan evaluasi dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta dapat memperjelas mengenai Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) terkait Pelayanan Publik bagi pencari keadilan yang ada di
Pengadilan Negeri Salatiga.
c. Bagi Peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk
menambah pengetahuan, bahan pembelajaran, serta wawasan di bidang ilmu hukum.
E. Metode Penelitian
Penelitian Hukum yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum secara
yuridis sosiologis. Data penelitian diperoleh melalui beberapa bahan hukum, sebagai
berikut ;
1. bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinnya
mempunyai autoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang – undangan,
20
catatan – catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang – undangan dan
putusan hakim.30
Bahan – bahan hukum primer yang penulis dapatkan, yakni :
a. Undang – Undang Dasar 1945;
b. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana;
c. Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
d. Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
2. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen – dokumen resmi, sebagai berikut :
a. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2002 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik;
b. SK Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang
Standar Pelayanan Peradilan.
c. SK Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang
Pembentukan Peradilan Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga.
d. Penetapan No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt.
2. data primer, merupakan bahan hukum berupa data yang diperoleh melalui sumber
utama yakni melakukan wawancara dengan responden. Responden tersebut yakni
Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Konselor dan Terpidana.
30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014,
h. 181.
21
3. Unit Amatan dan Unit Analisis
- Unit Amatan dari penelitian ini adalah : SK Ketua Pengadilan Negeri
Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Peradilan
Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga, Penetapan
No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt.,
- Unit Analisis dari penelitian ini adalah : Pelaksanaan Program Peradilan
Pemulihan Terpadu (P3T) dalam perkara nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt.
Selanjutnya bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dipisahkan sesuai
dengan kebutuhan dalam analisis dan hasil analisis agar dapat digunakan untuk
mempermudah penulis dalam melakukan pembahasan dalam bab selanjutnya.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan untuk penulisan proposal skripsi ini yakni :
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian