BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang fileuntuk segera dicari solusinya agar masalah tersebut tidak...

23
19 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberdayaan selalu diawali oleh terjadinya suatu masalah yang perlu untuk segera dicari solusinya agar masalah tersebut tidak berdampak buruk secara lebih luas. Permasalahan yang terjadi bisa berupa masalah fisik: jalan rusak, jembatan rawan roboh, permasalahan ekonomi dan lingkungan (Ferry F Kawur, 2007). Masalah lingkungan yang cukup menonjol akhir-akhir ini adalah masalah: banjir, tanah longsor, kekeringan serta kerusakan hutan. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan kerusakan hutan adalah perlunya diterapkan sertifikasi ekolabel dalam pengelolaan hutan, baik pada hutan alam, hutan tanaman maupun pada hutan rakyat. Hutan rakyat kini perannya semakin besar bagi pemenuhan bahan baku kayu nasional ataupun untuk tujuan ekspor. Kayu rakyat mampu memberikan kontribusi bagi penurunan defisit kebutuhan kayu yang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini. Menurut data di BRIK ( Badan Revitalisasi Industri Kehutanan ) tahun 2004 sampai tahun 2006 untuk prosentase produk kayu olahan 38 - 40% menggunakan kayu rakyat (BRIK, 2007). Sementara pada tahun 2011 telah terbangun Hutan Rakyat lebih dari 3,5 juta hektar, dengan potensi standing stock kayu mencapai 125 juta m3 per tahun, potensi siap panen lebih dari 20 juta m3 per tahun, serta mampu menyerap tenaga kerja hingga 17,5 juta orang. Sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis ditebang (Dirjen BPDAS-PS, 2011). Sejarah kemunculan sertifikasi ekolabel hutan berawal dari keprihatinan akan semakin rusaknya hutan di dunia. Dekade 1980 s.d. 1990-an, kampanye dan aksi–aksi boikot terhadap perdagangan kayu-kayu tropis marak dilakukan oleh pemerhati lingkungan. Upaya boikot tersebut tidak terlalu membawa hasil yang menggembirakan, karena selain tersandung ketentuan WTO, juga karena kebutuhan perdagangan kayu dan turunannya adalah tuntutan kebutuhan pasar. Situasi ini mendorong munculnya inisiatif untuk menggunakan sistem sertifikasi

Transcript of BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang fileuntuk segera dicari solusinya agar masalah tersebut tidak...

19

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberdayaan selalu diawali oleh terjadinya suatu masalah yang perlu

untuk segera dicari solusinya agar masalah tersebut tidak berdampak buruk

secara lebih luas. Permasalahan yang terjadi bisa berupa masalah fisik: jalan

rusak, jembatan rawan roboh, permasalahan ekonomi dan lingkungan (Ferry F

Kawur, 2007). Masalah lingkungan yang cukup menonjol akhir-akhir ini adalah

masalah: banjir, tanah longsor, kekeringan serta kerusakan hutan. Salah satu

solusi untuk mengatasi permasalahan kerusakan hutan adalah perlunya

diterapkan sertifikasi ekolabel dalam pengelolaan hutan, baik pada hutan alam,

hutan tanaman maupun pada hutan rakyat.

Hutan rakyat kini perannya semakin besar bagi pemenuhan bahan baku

kayu nasional ataupun untuk tujuan ekspor. Kayu rakyat mampu memberikan

kontribusi bagi penurunan defisit kebutuhan kayu yang dihadapi oleh dunia

kehutanan saat ini. Menurut data di BRIK ( Badan Revitalisasi Industri

Kehutanan ) tahun 2004 sampai tahun 2006 untuk prosentase produk kayu

olahan 38 - 40% menggunakan kayu rakyat (BRIK, 2007). Sementara pada

tahun 2011 telah terbangun Hutan Rakyat lebih dari 3,5 juta hektar, dengan

potensi standing stock kayu mencapai 125 juta m3 per tahun, potensi siap panen

lebih dari 20 juta m3 per tahun, serta mampu menyerap tenaga kerja hingga 17,5

juta orang. Sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut

tiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta

hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis

ditebang (Dirjen BPDAS-PS, 2011).

Sejarah kemunculan sertifikasi ekolabel hutan berawal dari keprihatinan

akan semakin rusaknya hutan di dunia. Dekade 1980 s.d. 1990-an, kampanye

dan aksi–aksi boikot terhadap perdagangan kayu-kayu tropis marak dilakukan

oleh pemerhati lingkungan. Upaya boikot tersebut tidak terlalu membawa hasil

yang menggembirakan, karena selain tersandung ketentuan WTO, juga karena

kebutuhan perdagangan kayu dan turunannya adalah tuntutan kebutuhan pasar.

Situasi ini mendorong munculnya inisiatif untuk menggunakan sistem sertifikasi

20

ekolabel hutan (forest certification ecolabelling system) yang berorientasi pasar

dan sukarela ( LEI, 2004).

Dengan demikian, maka sertifikasi ekolabel hutan bisa dipahami sebagai

alat dan sekaligus proses yang bisa menunjukkan kepada para pihak (konsumen,

pegiat lingkungan, pemerintah, buyer, dan para pihak lain) bahwa suatu hutan

terkelola dengan standar atau prinsip-prinsip keberlanjutan. Biasanya proses

penilaian sertifikasi untuk mendapatkan sertifikat ekolabel dilakukan oleh pihak

ketiga (bukan dari produsen, buyer, konsumen, atau pemerintah).

Penelitian mengenai sertifikasi hutan telah banyak dilakukan namun

belum banyak yang mengkhususkan pada sertifikasi hutan rakyat, terutama di

Indonesia. Simula et al. (2005) telah melakukan studi mengenai Benefit Cost

Ratio sertifikasi hutan di Brazil, Malaysia dan Indonesia namun studi kasus

tersebut dilakukan hanya di hutan alam yang dikelola oleh swasta. Dalam

pengertian yang lain, sertifikasi hutan mempunyai dua wajah yang tidak dapat

dipisahkan, karena pertama, sebagai upaya untuk mendorong pengelolaan hutan

secara lestari dan kedua, membuka peluang terjadinya interaksi atau transaksi

positif antara pasar (pembeli) dengan Unit Manajemen (UM) sebagai produsen

kayu. Untuk itu sertifikasi ekolabel hutan hanya diterapkan pada kawasan

hutan produksi. Adapun hasil konkret yang diperoleh dari sertifikasi ekolabel

hutan adalah pengakuan publik, pemerintah, dan pelaku pasar atas kinerja

pengelolaan hutan secara lestari baik dari sisi: produksi, ekologi, dan sosial.

Saat ini kebutuhan sertifikasi ekolabel hutan kian meningkat. Tidak saja

karena meningkatnya tuntutan konsumen akan produk-produk ” hijau ”, tetapi

sertifikasi ekolabel memampukan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan

hutan memperbaiki kinerja dan proses pengelolaan hutan mereka (Didik

Suharjito, 2000). Kian berkurangnya pasokan kayu akibat tingginya laju

kerusakan hutan (deforestry) semakin mempertegas perlunya mengelola hutan

secara lestari (Sustainable Forest Manajemen) agar diperoleh pasokan hasil

kayu secara berkelanjutan. .

Di Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur, telah terbentuk Kelompok

Tani Hutan Rakyat (KTHR) sebagai satuan Pengelola Hutan, yang bernama

Forest Management Unit (FMU) atau KTHR Lawu Manunggal. KTHR Lawu

21

Manunggal merupakan gabungan KTHR dari 5 desa di Kecamatan Panekan dan

Kecamatan Sidorejo mengelola hutan seluas 940,161 ha. Kelahiran KTHR

berawal dari keprihatinan makin rusaknya hutan rakyat pada wilayah Gunung

Lawu sisi timur karena penebangan kayu tidak terkendali yang dikawatirkan

menimbulkan tingginya laju erosi, tanah longsor dan berkurangnya debit mata

air, sedangkan bagi hutan rakyat yang telah baik tidak dijaga akan fungsi dan

kelestariannya. Terhadap keberhasilan pengelolaan hutan selama ini maka

KTHR ini bermaksud untuk mendapatkan sertifikat ekolabel dalam pengelolaan

hutannya dari Lembaga Sertifikasi (LS) yang kredibel, menurut Sistem

Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) dari

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Namun, tidaklah mudah untuk

mendapatkan sertifikat ekolabel tersebut dan dibutuhkan pemberdayaan bagi

organisasi, pengurus dan anggotanya untuk melakukan upaya pengelolaan

hutan secara lestari serta penyiapan-penyiapan dokumen untuk kelola produksi,

ekologi dan sosial. agar layak mendapatkan sertifikat ekolabel dalam

pengelolaan hutannya.

B. Rumusan Masalah

1. Kondisi kelembagaan KTHR kurang aktif dan tidak memiliki dokumen

administrasi secara baik, bagaimana kondisi awal kelompok tani hutan

sebelum dilakukan pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel?

2. Hutan rakyat rentan terhadap penebangan kayu secara tidak terkendali,

bagaimana kondisi seharusnya KTHR bisa memenuhi kriteria dan indikator

hingga mendapatkan sertifikat ekolabel menurut standar LEI ?

3. Kondisi hutan rakyat yang telah terkelola baik tidak akan berkelanjutan,

bagaimana model pemberdayaan KTHR Lawu Manunggal sampai

mendapatkan sertifikat ekolabel untuk menjaga kelestarian hutannya ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui dan menganalisis kondisi awal KTHR Lawu Manunggal dari

sisi kelambagaan, dokumen dan administrasinya sebelum dilakukan

pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel.

22

2. Mengidentifikasi kriteria dan indikator aspek produksi, ekologi dan sosial

yang dibutuhkan agar KTHR Lawu Manunggal bisa mendapatkan sertifikat

ekolabel menurut standar LEI.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis model pemberdayaan KTHR Lawu

Manunggal sampai mendapatkan sertifikat ekolabel.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:

1. Bagi petani hutan dan kelompok tani hutan. Dapat mengetahui tentang

bagaimana penyiapan organisasi, dokumen apa yang dibutuhkan serta

tahapan apa yang mesti dilakukan apabila ingin mendapatkan sertifikat

ekolabel dalam pengelolaan hutan.

2. Bagi industri kayu dan konsumen hijau. Dapat mengetahui proses dan

adanya unit manajemen pengelola hutan yang menyediakan bahan kayu dari

hutan yang telah dikelola secara lestari.

3. Bagi ilmu pengetahuan. Memberikan masukan tentang model dan strategi

implemetasi pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari

4. Bagi pemerintah dapat memberikan masukan dalam merumuskan dan

menyempurnakan kebijakan dalam penataan dan pengelolaan sumber daya

hutan, sedangkan bagi pemerintah daerah dapat menjadi masukan dalam

menyusun strategi dan perencanaan dalam perluasan pengelolaan hutan

rakyat secara lestari dalam rangka pembangunan sosial, ekonomi dan

lingkungan secara berkelanjutan.

23

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Dasar Pemberdayaan

Untuk memahami konsep pemberdayaan (empowerment) secara tepat

dan jernih memerlukan upaya pemahaman latar belakang kontekstual yang

melahirkannya. Konsep tersebut telah begitu meluas diterima dan

dipergunakan, mungkin dengan pengertian dan persepsi yang berbeda satu

dengan yang lain. Penerimaan dan pemakaian konsep tersebut secara

kritikal tentunya meminta kita mengadakan telaah yang sifatnya mendasar.

Kenneth (1995), pemberdayaan sering disebut sebagai konstruksi secara

psikologis untuk membimbing masyarakat dan relatif sedikit orang yang

memahami tentang hal ini.

Konsep empowerment dipandang sebagai bagian atau sejiwa dengan

aliran-aliran paruh kedua abad 20 yang banyak dikenal sebagai aliran

Posmodernisme dengan titik berat sikap dan orientasinya adalah anti sistem,

anti struktur dan anti determinisme. Memahami gerakan pemikiran baru

tersebut akan sejalan dengan menelaah lahirnya Eropa Modern sebagai

reaksi terhadap pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya

(abad pertengahan). Pemberdayaan Masyarakat adalah sebuah konsep

pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. KKoonnsseepp iinnii

mmeenncceerrmmiinnkkaann ppaarraaddiiggmmaa ppeemmbbaanngguunnaann yyaanngg bbeerrssiiffaatt:: ((11)) PPeeooppllee CCeenntteerreedd,,

((22)) PPaarrttiicciippaattoorryy,, ((33)) EEmmppoowweerriinngg ddaann ((44)) SSuussttaaiinnaabbllee ((CChhaammbbeerrss,, 11999955))..

PPeemmbbeerrddaayyaaaann aaddaallaahh uuppaayyaa uunnttuukk mmeennggeemmbbaannggkkaann ppootteennssii ddaann ddaayyaa

mmaassyyaarraakkaatt ddeennggaann mmeennddoorroonngg ddaann mmeemmbbaannggkkiittkkaann kkeessaaddaarraann aakkaann ppootteennssii

yyaanngg ddiimmiilliikkiinnyyaa sseerrttaa bbeerruuppaayyaa uunnttuukk mmeennggeemmbbaannggkkaannnnyyaa.. Pemberdayaan

bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga

pranata-pranatanya. Misal: menawarkan nilai-nilai budaya, seperti: kerja

keras, hemat, keterbukaan, dan tanggungjawab (Isbandi.2001).

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah

sebuah proses dan tujuan. Seebbaaggaaii pprroosseess,, ppeemmbbeerrddaayyaaaann aaddaallaahh

sseerraannggkkaaiiaann kkeeggiiaattaann uunnttuukk mmeemmppeerrkkuuaatt kkeebbeerrddaayyaaaann kkeelloommppookk ddaallaamm

mmaassyyaarraakkaatt,, tteerrmmaassuukk iinnddiivviidduu--iinnddiivviidduu yyaanngg mmeennggaallaammii mmaassaallaahh

24

kkeetteerrttiinnggggaallaann,, kkeemmiisskkiinnaann,, kkeebbooddoohhaann ddaann llaaiinn--llaaiinn.. SSeebbaaggaaii ttuujjuuaann,, mmaakkaa

ppeemmbbeerrddaayyaaaann mmeennuunnjjuukk ppaaddaa kkeeaaddaaaann aattaauu hhaassiill yyaanngg iinnggiinn ddiiccaappaaii oolleehh

sseebbuuaahh ppeerruubbaahhaann ssoossiiaall:: yyaaiittuu mmaassyyaarraakkaatt yyaanngg bbeerrddaayyaa,, mmeemmiilliikkii

kkeekkuuaassaaaann aattaauu mmeemmppuunnyyaaii ppeennggeettaahhuuaann ddaann kkeemmaammppuuaann ddaallaamm mmeemmeennuuhhii

kkeebbuuttuuhhaann hhiidduuppnnyyaa bbaaiikk yyaanngg bbeerrssiiffaatt ffiissiikk,, eekkoonnoommii,, ssoossiiaall mmaauuppuunn

lliinnggkkuunnggaann.. PPeennggeerrttiiaann ppeemmbbeerrddaayyaaaann sseebbaaggaaii ttuujjuuaann sseerriinnggkkaallii ddiigguunnaakkaann

sseebbaaggaaii iinnddiikkaattoorr kkeebbeerrhhaassiillaann ppeemmbbeerrddaayyaaaann sseebbaaggaaii sseebbuuaahh pprroosseess..

22.. PPeennddeekkaattaann ddaann SSttrraatteeggii PPeemmbbeerrddaayyaaaann KKeelloommppookk

Soetomo (2006), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni

kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya

menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau

penguasaan klien atau target group, atas:

1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan

dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat

tinggal, pekerjaan.

2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras

dengan aspirasi dan keinginannya.

33)) IIddee aattaauu ggaaggaassaann:: kkeemmaammppuuaann mmeennggeekksspprreessiikkaann ddaann mmeennyyuummbbaannggkkaann

ggaaggaassaann ddaallaamm ssuuaattuu ffoorruumm aattaauu ddiisskkuussii sseeccaarraa bbeebbaass ddaann ttaannppaa tteekkaannaann..

44)) LLeemmbbaaggaa--lleemmbbaaggaa:: kkeemmaammppuuaann mmeennjjaannggkkaauu,, mmeenngggguunnaakkaann ddaann

mmeemmppeennggaarruuhhii pprraannaattaa--pprraannaattaa mmaassyyaarraakkaatt,, sseeppeerrttii lleemmbbaaggaa

kkeesseejjaahhtteerraaaann ssoossiiaall,, ppeennddiiddiikkaann,, kkeesseehhaattaann..

55)) SSuummbbeerr--ssuummbbeerr:: kkeemmaammppuuaann mmeemmoobbiilliissaassii ssuummbbeerr--ssuummbbeerr ffoorrmmaall,,

iinnffoorrmmaall ddaann ssuummbbeerrddaayyaa aallaamm llaaiinnnnyyaa..

66)) AAkkttiivviittaass eekkoonnoommii:: kkeemmaammppuuaann mmeemmaannffaaaattkkaann ddaann mmeennggeelloollaa

mmeekkaanniissmmee pprroodduukkssii,, ddiissttrriibbuussii,, ddaann ppeerrttuukkaarraann bbaarraanngg sseerrttaa jjaassaa..

PPeennddeekkaattaann ddaallaamm ppeellaakkssaannaaaann pprroosseess ddaann ppeennccaappaaiiaann ttuujjuuaann

ppeemmbbeerrddaayyaaaann ddii aattaass ddiiccaappaaii mmeellaalluuii ppeenneerraappaann ppeennddeekkaattaann ppeemmbbeerrddaayyaaaann..

AArryy ((22000011)) mmeennyyaattaakkaann,, bbaahhwwaa pprroosseess ppeemmbbeerrddaayyaaaann uummuummnnyyaa ddiillaakkuukkaann

sseeccaarraa kkoolleekkttiiff.. MMeennuurruuttnnyyaa,, ttiiddaakk aaddaa lliitteerraattuurr yyaanngg mmeennyyaattaakkaann bbaahhwwaa

pprroosseess ppeemmbbeerrddaayyaaaann tteerrjjaaddii ddaallaamm rreellaassii ssaattuu--llaawwaann--ssaattuu.. MMeesskkiippuunn

25

ppeemmbbeerrddaayyaaaann sseeppeerrttii iinnii ddaappaatt mmeenniinnggkkaattkkaann rraassaa ppeerrccaayyaa ddiirrii ddaann

kkeemmaammppuuaann ddiirrii kklliieenn aattaauu ttaarrggeett ggrroouupp,, hhaall iinnii bbuukkaannllaahh ssttrraatteeggii uuttaammaa

ppeemmbbeerrddaayyaaaann..

NNaammuunn ddeemmiikkiiaann,, ttiiddaakk sseemmuuaa iinntteerrvveennssii ddaappaatt ddiillaakkuukkaann mmeellaalluuii

kkoolleekkttiivviittaass.. DDaallaamm bbeebbeerraappaa ssiittuuaassii,, ssttrraatteeggii ppeemmbbeerrddaayyaaaann ddaappaatt ssaajjaa

ddiillaakkuukkaann sseeccaarraa iinnddiivviidduuaall;; mmeesskkiippuunn ppaaddaa ggiilliirraannnnyyaa ssttrraatteeggii iinnii ppuunn tteettaapp

bbeerrkkaaiittaann ddeennggaann kkoolleekkttiivviittaass,, ddaallaamm aarrttii mmeennggkkaaiittkkaann kklliieenn ddeennggaann ssuummbbeerr

aattaauu ssiisstteemm llaaiinn ddii lluuaarr ddiirriinnyyaa.. MMaassiihh mmeennuurruutt AArryy,, ppeemmbbeerrddaayyaaaann ddaappaatt

ddiillaakkuukkaann mmeellaalluuii ttiiggaa ppeennddeekkaattaann:: mmiikkrroo,, mmeezzzzoo,, ddaann mmaakkrroo..

11)) PPeennddeekkaattaann MMiikkrroo.. PPeemmbbeerrddaayyaaaann ddiillaakkuukkaann tteerrhhaaddaapp kklliieenn sseeccaarraa

iinnddiivviidduu mmeellaalluuii bbiimmbbiinnggaann,, kkoonnsseelliinngg,, ssttrreessss mmaannaaggeemmeenntt,, ccrriissiiss

iinntteerrvveennttiioonn.. TTuujjuuaann uuttaammaannyyaa aaddaallaahh mmeemmbbiimmbbiinngg aattaauu mmeellaattiihh kklliieenn

ddaallaamm mmeennjjaallaannkkaann ttuuggaass--ttuuggaass kkeehhiidduuppaannnnyyaa.. MMooddeell iinnii sseerriinngg ddiisseebbuutt

sseebbaaggaaii PPeennddeekkaattaann yyaanngg BBeerrppuussaatt ppaaddaa TTuuggaass ((ttaasskk cceenntteerreedd aapppprrooaacchh))..

22)) PPeennddeekkaattaann MMeezzzzoo.. PPeemmbbeerrddaayyaaaann ddiillaakkuukkaann tteerrhhaaddaapp sseekkeelloommppookk kklliieenn,,

mmiissaallnnyyaa kkeelloommppookk ttaannii.. PPeemmbbeerrddaayyaaaann ddiillaakkuukkaann ddeennggaann mmeenngggguunnaakkaann

kkeelloommppookk sseebbaaggaaii mmeeddiiaa iinntteerrvveennssii.. PPeennddiiddiikkaann ddaann ppeellaattiihhaann,, ddiinnaammiikkaa

kkeelloommppookk,, bbiiaassaannyyaa ddiigguunnaakkaann sseebbaaggaaii ssttrraatteeggii ddaallaamm mmeenniinnggkkaattkkaann

kkeessaaddaarraann,, ppeennggeettaahhuuaann,, kkeetteerraammppiillaann ddaann ssiikkaapp--ssiikkaapp kklliieenn aaggaarr

mmeemmiilliikkii kkeemmaammppuuaann mmeemmeeccaahhkkaann ppeerrmmaassaallaahhaann yyaanngg ddiihhaaddaappiinnyyaa..

33)) PPeennddeekkaattaann MMaakkrroo.. PPeennddeekkaattaann iinnii ddiisseebbuutt jjuuggaa sseebbaaggaaii SSttrraatteeggii SSiisstteemm

BBeessaarr ((llaarrggee--ssyysstteemm ssttrraatteeggyy)),, kkaarreennaa ssaassaarraann ppeerruubbaahhaann ddiiaarraahhkkaann ppaaddaa

ssiisstteemm lliinnggkkuunnggaann yyaanngg lleebbiihh lluuaass.. PPeerruummuussaann kkeebbiijjaakkaann,, ppeerreennccaannaaaann

ssoossiiaall,, kkaammppaannyyee,, aakkssii ssoossiiaall,, lloobbbbyyiinngg,, ppeennggoorrggaanniissaassiiaann mmaassyyaarraakkaatt,,

mmaannaajjeemmeenn kkoonnfflliikk,, aaddaallaahh bbeebbeerraappaa ssttrraatteeggii ddaallaamm ppeennddeekkaattaann iinnii..

PPeennddeekkaattaann iinnii mmeemmaannddaanngg kklliieenn sseebbaaggaaii oorraanngg yyaanngg mmeemmiilliikkii

kkoommppeetteennssii uunnttuukk mmeemmaahhaammii ssiittuuaassii--ssiittuuaassii mmeerreekkaa sseennddiirrii,, ddaann uunnttuukk

mmeemmiilliihh sseerrttaa mmeenneennttuukkaann ssttrraatteeggii yyaanngg tteeppaatt uunnttuukk bbeerrttiinnddaakk..

Menurut PERSEPSI (2010), sebuah lembaga yang aktif dalam

pemberdayaan masyarakat bahwa terkait dengan program pertanian

berkelanjutan, terdapat tiga strategi penting yang diterapkan dalam

26

melakukan pendampingan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat.

Strategi yang diterapkan mencakup:

1) Penyiapan Sosial. Strategi ini dimaksudkan untuk mengembangkan

hubungan sosial antar kelompok masyarakat, baik antara kelompok

masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya maupun antara

kelompok masyarakat dengan stake holder dan para pengambil

kebijakan. Untuk itu perlu dilakukan kajian awal melalui teknik

pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dengan maksud untuk

mengetahui potensi, masalah dan harapan masyarakat.

2) Pemecahan masalah secara terpadu. Terpadu yang dimaksud dari aspek

yang didekati, metode yang dikembangkan serta institusi yang terlibat.

Aspek yang didekati diantaranya Sumber Daya Manusia (SDM),

lingkungan (sumberdaya alam), ekonomi, sosial budaya dan lain-lain.

Metode pemecahan masalah yang dikembangkan saling berkait dan

mendukung serta mengarah pada keswadayaan dan berkelanjutan .

Aspek sumberdaya manusia lebih menekankan pada proses belajar bagi

petani atau komunitas yang didampingi untuk dapat mengambil

keputusan secara mandiri apa yang terbaik terhadap usahatani yang akan

dilakukan.

3) Pendekatan kelompok secara hamparan dan satuan keluarga. Pendekatan

kelompok secara hamparan dimaksudkan untuk memudahkan

pengorganisasian dalam proses belajar melalui sekolah lapang dan

menciptakan kawasan yang aman secara ekologis. Sedangkan pendekatan

dalam satuan kelurga dimaksudkan bahwa partisipan (kelompok

dampingan) program adalah semua anggota dalam keluarga tersebut.

Karena pengembangan pertanian berkelanjutan harus memperoleh

penggarapan sejak tingkat paradigma sampai tataran praktis dan harus

memperoleh kesamaan pandang pada lingkup keluarga.

Dari ketiga strategi tersebut, untuk mengarah pada suatu perubahan status

sosial ekonomi petani menuju pertanian berkelanjutan, maka dalam

pelaksanaan program akan bertumpu pada pada 5 unsur yang saling

27

mendukung dan berkait. Unsur dimaksud yaitu unsur: ekologi, teknologi,

ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan.

1) Unsur Ekologi, menekankan kegiatan untuk menjamin kelestarian

ekosistem yang bermutu, mengoptimalkan keanekaragaman hayati pada

agroekosistem dan mengoptimalkan proses alami dalam penyuburan

tanah, penggunaan air dan pengendalian hama, penyakit.

2) Unsur Teknologi, mengutamakan penggunaan teknologi yang diterapkan

kepada petani bersifat mudah, murah, tepat guna, memaksimalkan

penggunaan sumber daya lokal dan meminimalkan masukan dari luar.

3) Unsur Ekonomi, menjamin kebutuhan usaha tani dan kebutuhan ekonomi

rumah tangga serta memungkinkan pengembangan skala usaha dan

deversifikasi.

4) Unsur Sosial Budaya, bagaimana dalam pelaksanaan kegiatan tidak

menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi, diterima masyarakat ( petani )

dan memperhatikan wawasan gender.

5) Unsur Pemberdayaan, unsur ini menjadi strategis di dalam pelaksanaan

kegiatan karena berkait erat dengan keberlanjutan program. Termasuk di

dalamnya yaitu: peningkatan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan dan

kesadaran petani, penguatan institusi, keswadayaan dan jaringan petani

serta partisipasi kader.

3. Pengertian Hutan Rakyat

Hutan rakyat dalam pengertian menurut Undang-undang Nomer.41

tahun 1999 tentang kehutanan adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang

dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan

negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak

milik atau tanah negara. Dari sudut pandang pemerintah mengatakan bahwa

keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena ada dukungan progam

penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan.

Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia

yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh

masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi

28

secara alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis

(Darusman, 1995).

Pendapat lain (Suryohadikusumo, 2004) menyatakan bahwa pada

prinsipnya pengertian hutan rakyat adalah status hak milik (hutan milik) di

luar kawasan hutan dengan penanaman pohon-pohonan secara intensif juga

penanaman tanaman yang lebih dikenal tumpangsari. Hutan Rakyat

merupakan salah satu kegiatan perhutanan sosial yang dilaksanakan pada

tanah yang dibebani (hak milik/hutan rakyat) yang ditanami secara intensif

oleh masyarakat baik perorangan atau kelompok yang berupa tanaman

kayu-kayuan.Program hutan rakyat merupakan salah satu alternatif dalam

rangka mewujdkan pengelolaan hutan rakyat lestari.

4. Sertifikasi Ekolabel Hutan sebagai Insentif dan Promosi

Relevansi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBM)

sebagai domain sertifikasi tidak melulu harus dipandang dari sisi peluang

pasar yang ada bagi produk-produk yang berasal dari PHBM atau dilihat

dari potensi kerusakan ekologis yang ditimbulkannya, yang menempatkan

sertifikasi dalam posisi defensif untuk menjaga gawang terakhir dari

penurunan derajat kelestarian fungsi hutan (LEI, 2004). Berangkat dari

berbagai studi yang telah dirujuk, menunjukkan bahwa model PHBM dalam

banyak hal lebih menunjukkan keunggulannya dalam memelihara

kelestarian hutan, maka sertifikasi seharusnya dapat ditempatkan dalam

posisi: pertama, untuk mendorong lebih jauh lagi model pengelolaan hutan

ini diterima secara luas, dan kedua, untuk lebih memberdayakan masyarakat

itu sendiri dalam mengelola hutan yang sudah ada bahkan membangun

hutan baru dari lahan-lahan tandus menjadi lahan hutan yang lebih

produktif. David L. Spittlehouse (2003), dalam konteks perubahan iklim

maka pengelolaan hutan lestari adalah merupakan langkah strategis dalam

adaptasi di bidang kehutanan.

Kebutuhan untuk memposisikan sertifikasi PHBM sebagai insentif

langsung bagi inisiatif-inisiatif masyarakat dalam mengelola hutan jadi lebih

diperlukan karena pada kenyataannya praktek PHBM di satu sisi telah

29

banyak memperlihatkan keunggulannya dalam soal memelihara kelestarian

hutan, tetapi disisi lain sangat lemah dalam hal dukungan kebijakan publik

(Suntana, AS. 2004) . Karena itu, sistem sertifikasi PHBM semestinya dapat

mendorong terjadinya perubahan orientasi kebijakan publik kehutanan.

5. Tujuan , Manfaat dan Keutamaan Sertifikasi Ekolabel pada Hutan

Rakyat

1) Tujuan

Menanggapi produksi kayu yang tidak berkelanjutan pada konsesi

di hutan tropis program sertifikasi sukarela skama Forest Stewardship

Council (FSC) diperkenalkan untuk meningkatkan kinerja lingkungan,

sosial dan ekonomi atas praktek pengelolaan hutan yang ada (Daniela et

all, 2015). Namun masih menurut skema dari LEI, terdapat beberapa

sistem sertifikasi ekolabel hutan yang berkembang secara internasional

maupun yang ada di Indonesia, namun secara umum dapat disimpulkan

terdapat 2 tujuan utama yaitu: (1) untuk memberikan insentif pasar

maupun non pasar yang mendorong peningkatan kualitas pengelolaan

hutan secara lestari dan berkelanjutan, (2) untuk meningkatkan akses

pasar. Tujuan ini disebut tujuan perdagangan atau trade objektif.

Selain tujuan diatas tujuan sertifikasi hutan adalah untuk

memberikan informasi mengenai keberlanjutan dan kelestarian dari

pengelolaan hutan tempat kayu dihasilkan. Sehingga konsumen dapat

mempertimbangkan keputusan untuk membeli produk kayu dari hutan

yang dikelola secara lestari atau tidak, atau bahkan dari hasil illegal

logging.

2) Manfaat

Sertifikasi bisa memberi manfaat kepada banyak pihak, terutama kepada

pihak berikut:

a) Pengelola dan pemilik hutan. Dengan sertifikasi memungkinkan

memperoleh pangsa pasar produk bersertifikat, harga yang baik, dan

citra positif. Temasuk dorongan untuk terus memperbaiki dan

mempertahankan ukuran kinerja dan proses manajemen mereka.

30

b) Industri pengolah dan pengencer. Sertifikasi menyediakan

mekanisme untuk memastikan bahwa asal-usul kayu yang

diperolehnya secara resmi dan berasal dari hutan yang terkelola

dengan baik.

c) Pemerintah. Karena sertifikasi sebagai salah satu alat untuk

mendorong keberlanjutan pengelolaan hutan, maka tugas dan fungsi

pemerintah bisa terbantu dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan

hutan dan ini penting bagi citra pemerintahan suatu negara dalam

pengelolaan hutan maupun keanekaraman hayatinya.

d) Penanam modal dan lembaga derma. Sertifikasi bisa menunjukkan

kepada pihak penanam modal dan lembaga derma bahwa uangnya

bisa memberi konstribusi kepada usaha atau program yang

memenuhi standar lingkungan dan sosial. (Sistem Sertifikasi

PHBML, LEI 2004).

3) Keutamaan

Dalam pengalaman penerapan sertifikasi ekolabel hutan untuk

mendorong pengelolaan hutan rakyat secara lestari, sekurangnya

terdapat 5 keutamaan yang dapat diperoleh :

a) Mendorong pengelolaan hutan yang lestari.

b) Memberikan penghargaan dan memperkuat inisiatif-inisiatif

pengelolaan hutan oleh rakyat.

c) Mendorong pembangunan hutan di luar kawasan hutan tetap.

d) Mendorong sifat keadilan dan sistem sosial yang lebih baik di

dalam pengelolaan hutan.

e) Mendorong perdagangan produk hutan yang lestari secara ekologis

dan sosial.

66.. PPeennggeelloollaaaann HHuuttaann BBeerrbbaassiiss MMaassyyaarraakkaatt LLeessttaarrii ((PPHHBBMMLL)),, sseebbaaggaaii

SSiisstteemm SSeerrttiiffiikkaassii EEkkoollaabbeell HHuuttaann

Indonesia merupakan salah satu di antara negara di dunia yang

mempunyai sumber daya hutan alam tropis yang besar dengan

keanekaragaman hayati yang tinggi. Tekanan terhadap kelestarian hutan

31

tropis di dunia semakin meningkat akibat tingginya permintaan atas produk-

produk hasil hutan, sementara luas hutan tropis semakin berkurang. Situasi

ini mendorong munculnya paradigma pengelolaan sumberdaya hutan yang

lestari (sustainable forest management/SFM) (LEI, 2002). Implementasi

SFM tidak hanya dituntut pada kawasan hutan alam tropis, namun merebak

pada kawasan hutan lainnya, seperti hutan tanaman maupun hutan yang

dikelola oleh masyarakat. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Lembaga

Ekolabel Indonesia (LEI) telah mengembangkan sistem sertifikasi

pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML).

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) adalah sistem

pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu

komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat, atau lahan milik

(individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah

tangga dan masyarakat, diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk

subsistensi. Ciri utamanya adalah adanya pengaruh sistem sosial setempat

yang cukup kuat di dalam struktur pengambilan keputusan manajerial.

Dalam satu praktek PHBML, orientasi usahanya dari dua macam,

yaitu sebagian bersifat subsiten dan sebagian lain bersifat komersial.

Orientasi usaha komersial umumnya ditujukan untuk jenis-jenis produk

utama, sedangkan orientasi usaha subsisten ditujukan untuk jenis-jenis

produk yang lainnya (Harjanto, 2000).

77.. KKeebbiijjaakkaann PPeennggeelloollaaaann HHuuttaann SSeeccaarraa LLeessttaarrii

Dalam Undang Undang No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan pada

Pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan

dengan: (1) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi

konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat

lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; dan (2)

meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; dan (3) meningkatkan

kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat

secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga

32

mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan

terhadap akibat perubahan eksternal; dan menjamin distribusi manfaat

yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Namun secara khusus terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan

secara lestari diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (LHK) Nomor: P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-Ii/2014 tentang

Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi

Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Hutan hak

adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah

yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak

atas tanah. Hutan hak disebut pula sebagai hutan rakyat.

Dalam Permen LHK tersebut pada Pasal 4, bahwa pemilik hutan

rakyat yang diperuntukkan untuk produksi, maka wajib untuk mendapatkan

Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) atau sertifikat

ekolabel yang menjelaskan bahwa hasil kayu yang dipanen dipastikan

diperoleh dari hutan yang telah dikelola secara lestari. Sertifikat pengelolaan

hutan secara lestari dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang bersifat

independen setelah menerima permohonan dan melakukan penilaian

dokumen ajuan serta verifikasi lapang. Dengan demikian bahwa bagi

pengelola dan pemilik hutan bahwa pengelolaan hutan untuk kesejahteraan

Sosial, Ekonomi dan Lingkungan (SOSEKLING) dengan pengelolaan

secara lestari adalah merupakan suatu keharusan.

B. Penelitian Terdahulu dan Relevan

Penelitian tentang pemberdayaan masyarakat terkait dengan pengelolaan

hutan telah dilakukan beberapa peneliti terdahulu, namun terdapat beberapa

perbedaan pada daerah, karakteristik, tujuan ataupun fokus penelitian. Beberapa

penelitian dimaksud sebagimana tersaji pada tabel berikut.

33

Tabel 1. Penelitian terdahulu dan relevan

No Judul dan Peneliti Tahun Lokasi Metode Fokus Penelitian

1 Pengelolaan Hutan

Lestari dan Sertifikasi

Ekolabel.

Purwanto

2008 Kabupaten

Wonogiri

Diskriptif

Kualitatif

Untuk mengetahui

pengaruh sertifikasi

ekolabel terhadap

tataniaga dan kenaikan

harga kayu rakyat

2 Efektifitas Sistem

Sertifikasi

Pengelolaan Hutan di

Hutan rakyat.

Erlinda Daniyati

2009 Kabupaten

Wonogiri

dan Kulon

Progo

Diskriptif

Kualitatif

Membandingkan

efektifitas dalam

pengelolaan hutan rakyat

antara yang sudah

bersertifikat ekolabel di

Kabupaten

Wonogiri dengan yang

belum bersertifikat di

Kabupaten Kulon Progo

3 Pemberdayaan

Masyarakat Sekitar

Hutan dalam

Meningkatkan

Partisipasi

Pengelolaan Hutan

Lindung .

Gunawan Ade.

2011 Kabupaten

Cianjur

Diskriptif

Kualitatif

Untuk mengetahui

faktor-faktor yang dapat

meningkatkan partisipasi

masyarakat serta

mengidentifikasi

kebutuhan

pendampingan dalam

rangka pemberdayaan

masyarakat di sekitar

hutan lindung Gunung

Simpang, di Cibuluh

4 Pemberdayaan

Masyarakat di Sekitar

Balai Taman Nasional

Gunung Palung

Kecamatan Sukadana.

Yudi Dwi Septiyanto

2012 Kabupaten

Kayong

Utara

Diskriptif

Kualitatif

Untuk mengetahui

kapasitas masyarakat

sekitar Taman nasional

dalam rangka menyusun

strategi pemberdayaan

masyarakat.

5 Strategi

Pemberdayaan

Masyarakat

Kelompok Tani Hutan

Ngudi Makmur di

Sekitar Kawasan

Taman Nasional

Gunung Merapi.

I.Putu Garjita

2014 Kabupaten

Boyolali

Diskriptif

Kualitatif

Bermaksud

mengidentifikasi dan

menyusun strategi

pemberdayaan

masyarakat dalam rangka

meningkatkan

pendapatan masyarakat

yang terorganisir pada

kelompok tani Ngudi

Makmur .

34

Beberapa penelitian tersebut menekankan sejauhmana efektifitas antara

hutan rakyat yang telah bersertifikat ekolabel dan yang belum bersertifikat serta

mengidentifikasi strategi dan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan

lindung dan taman nasional. Pertanyaannya bagaimana model pemberdayaan

kelompok tani hutan rakyat sampai bisa mendapatkan sertifikat ekolabel belum

diungkap dalam penelitian-penelitian sebelumnya.

C. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini meliputi : (1) mengetahui dan menganalisis kondisi awal

KTHR Lawu Manunggal dari sisi kelambagaan dan administrasinya sebelum

dilakukan pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel. (2)

mengidentifikasi kriteria dan indikator yang dibutuhkan agar KTHR Lawu

Manunggal bisa mendapatkan sertifikat ekolabel menurut standar LEI dan (3)

untuk mengetahui dan menganalisis model pemberdayaan KTHR Lawu

Manunggal sampai mendapatkan sertifikat ekolabel. .

Berdasarkan penelusuran literatur, penelitian ini dilandaskan pada teori:

(1) konsep dasar pemberdayaan masyarakat, (2) pendekatan dan strategi

pemberdayaan kelompok, dan (3) tentang sertifikasi ekolabel hutan sebagai

insentif dan promosi. Menurut Glasser dan Stauss (1980:31) dalam Moleong

(2000:37), landasan teori dapat disajikan dalam dua bentuk : a) seperangkat

proporsi dan b) diskusi teoritis yang memanfaatkan ketegori konseptual dan

kawasannya. Dalam penelitian ini dipilih bentuk yang kedua.

Pemberdayaan Masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan

ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. KKoonnsseepp iinnii mmeenncceerrmmiinnkkaann

ppaarraaddiiggmmaa ppeemmbbaanngguunnaann yyaanngg bbeerrssiiffaatt:: ((11)) PPeeooppllee CCeenntteerreedd,, ((22)) PPaarrttiicciippaattoorryy,,

((33)) EEmmppoowweerriinngg ddaann ((44)) SSuussttaaiinnaabbllee ((CChhaammbbeerrss,, 11999955)).. PPemberdayaan

memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah.

PPeennddeekkaattaann ddaallaamm ppeellaakkssaannaaaann pprroosseess ddaann ppeennccaappaaiiaann ttuujjuuaann

ppeemmbbeerrddaayyaaaann ddii aattaass ddiiccaappaaii mmeellaalluuii ppeenneerraappaann ppeennddeekkaattaann ppeemmbbeerrddaayyaaaann..

AArryy ((22000011)) mmeennyyaattaakkaann,, bbaahhwwaa pprroosseess ppeemmbbeerrddaayyaaaann uummuummnnyyaa ddiillaakkuukkaann

sseeccaarraa kkoolleekkttiiff.. MMeennuurruuttnnyyaa,, ttiiddaakk aaddaa lliitteerraattuurr yyaanngg mmeennyyaattaakkaann bbaahhwwaa pprroosseess

ppeemmbbeerrddaayyaaaann tteerrjjaaddii ddaallaamm rreellaassii ssaattuu--llaawwaann--ssaattuu.. MMeesskkiippuunn ppeemmbbeerrddaayyaaaann

35

sseeppeerrttii iinnii ddaappaatt mmeenniinnggkkaattkkaann rraassaa ppeerrccaayyaa ddiirrii ddaann kkeemmaammppuuaann ddiirrii kklliieenn aattaauu

ttaarrggeett ggrroouupp,, hhaall iinnii bbuukkaannllaahh ssttrraatteeggii uuttaammaa ppeemmbbeerrddaayyaaaann..

Sementara menurut PERSEPSI, 2010 untuk mengarah pada suatu

perubahan status sosial ekonomi petani kearah pertanian berkelanjutan, maka

dalam pelaksanaan kegiatan harus bertumpu pada lima unsur yang saling

mendukung dan berkait. Unsur dimaksud yaitu unsur: ekologi, teknologi,

ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan.

Dalam sistem sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat

lestari/PHBML (LEI, 2002:29). Sertifikasi hutan adalah bagian dari sistem pasar

yang bersifat insentif, mendorong terjadinya perubahan dalam hal: pengelolaan

hutan lestari, memberikan penghargaan dan memperkuat inisiatif pengelolaan

hutan oleh masyarakat, perluasan hutan di luar kawasan dan terjadinya

perdagangan hasil hutan rakyat yang lebih berkeadilan.

Adapun sistem sertifikasi ekolabel hutan yang berkembang secara

internasional maupun yang ada di Indonesia, secara umum dapat disimpulkan

bertujuan : (1) untuk memberikan insentif pasar maupun non pasar yang

mendorong peningkatan kualitas pengelolaan hutan secara lestari dan

berkelanjutan dan (2) untuk meningkatkan akses pasar. Tujuan ini disebut tujuan

perdagangan atau trade objective. Selain itu tujuan sertifikasi hutan adalah untuk

memberikan informasi mengenai keberlanjutan dan kelestarian dari pengelolaan

hutan tempat kayu dihasilkan. Sehingga konsumen dapat mempertimbangkan

keputusan untuk membeli produk kayu dari hutan yang dikelola secara lestari

atau tidak (LEI. 2004).

Teori lain yang dipergunakan sebagai landasan dalam penelitian ini

adalah teori kelembagaan. Teori kelembagaan yang dipilih yaitu teori

kelembagaan Kartodiharjo (1995) dimana kelembagaan terdiri struktur, kognitif,

normatif dan regulatif serta aktifitas yang memberikan stabilitas dan makna bagi

pelaku sosial. Sisi lain bahwa kewajiban mengelola hutan secara lestari untuk

kesejahteraan sosial, ekonomi dan lingkungan (SOSEKLING) adalah

merupakan perintah regulasi sebagaimana tertuang dalam UU 41 Tahun 1999,

tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

No. P 95/Menhut-II/2014, tentang Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan

36

Verifikasi Legalitas kayu. Dengan demikian kerangka pemikiran penelitian ini

secara skematik di jelaskan pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

D. Hipotesis

1. Kondisi awal kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Lawu

Manunggal belum memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan sertifikat

ekolabel

2. Untuk mendapatkan sertifikat ekolabel belum teridentifikasi syarat-syarat

yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi kriteria dan indikator untuk

kelestarian aspek ; produksi, ekologi, dan sosial.

3. KTHR Lawu Manunggal mengalami kesulitan untuk mendapatkan sertifikat

ekolabel apabila tidak dilakukan pemberdayaan.

PERMASALAHAN

SOSIAL, EKONOMI

DAN LINGKUNGAN

� Faktor eksternal (masalah

lingkungan, tuntutan

produk hijau, citra yang

baik )

� Faktor internal (kebutuhan

ekonomi, pemasaran,

produksi lestari)

KEPUTUSAN KTHR

MENUJU SERTFIFIKASI

EKOLABEL

KEBIJAKAN PEMERINTAH

Identifikasi

Kondisi Awal

(Potret)

Kelompok Tani

Hutan Rakyat

(KTHR)

Kondisi Ideal

Kelembagaan

KTHR Dan

Syarat –Syarat

Mendapatkan

Sertifikat

Ekolabel

Gap Analisis

(Kesenjangan)

Pemberdayaan yang

dilakukan ?

Pemberdayaan

KTHR Lawu

Manunggal

Temuan:

� Kesimpulan � Rekomendasi

� Model Pemberdayaan Ekolabel

37

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Tempat Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di Kelompok Tani Hutan Rakyat

(KTHR) sebagai satuan Pengelola Hutan, yang bernama Forest Management

Unit (FMU) Lawu Manunggal. FMU Lawu Manunggal yang merupakan

gabungan KTHR dari 5 desa yakni: (1) Desa Sukowidi, (2) Desa Tapak, dan

(3) Desa Sumberdodol, Kecamatan Panekan serta (4) Desa Sumber Sawit, dan

(5) Desa Sido Mulyo, Kecamatan Sidorejo di Kabupaten Magetan, Provinsi

Jawa Timur.

B. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, dimulai bulan Nopember 2015

sampai dengan bulan Januari 2016, sejak pengambilan data, analisis sampai

dengan penyusunan laporan penelitian.

C. Tata Laksana Penelitian

1. Metode yang digunakan

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif

kualitatif. Metode penelitian menguraikan secara teknis tentang metode-

metode yang dipergunakan dalam penelitian. Metode berarti penyelidikan

berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menurut Ary (1982) metode

penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan

analisis data yang diperlukan guna menjawab persoalan penelitian.

a. Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh melalui wawancara, FGD dan observasi, adapun data

sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi diantaranya data statistik

Kecamatan Panekan dan Kecamatan Sidorejo dalam angka, monografi

desa, dokumen - dokumen KTHR Lawu Manunggal kepada lembaga

38

sertifikasi, data-data lain yang relevan yang ada di Dinas HUTBUN

serta hasil kajian – kajian lain yang pernah dilakukan dan relevan.

b. Responden

Pemilihan responden dalam wawancara dan FGD menggunakan

metode sampel terpilih (purposive sampling), dimana dalam

penentuannya menggunakan cara bola salju bergulir ( snow ball effect).

Dari metode ini diperoleh responden yang mampu merepresentasikan

dari obyek informasi yang digali. Berbagai temuan dari hasil wawancara

dan studi dokumentasi tersebut, selanjutnya dianalisis dan

direkronstruksi dalam laporan hasil penelitian sekaligus ditarik

kesimpulan dan saran. Sebagai responden dalam penelitian ini adalah:

pengurus dan anggota KTHR Lawu Manunggal, perangkat desa, tokoh

masyarakat pendamping lapang dari PERSEPSI, petugas dari Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan serta pihak lain yang

terkait dengan pengembangan kelompok hutan rakyat.

c. Alur Pengumpulan Data

Untuk mengetahui kondisi awal KTHR maka peneliti melakukan

pemetaan atau identifikasi dengan cara wawancara dan FGD kepada

anggota kelompok tani, pengurus, perangkat desa dan Penyuluh

Kehutanan Lapang (PKL) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Magetan.

Untuk mengetahui kondisi seharusnya yang mesti dipenuhi agar

KTHR dapat mengajukan sertifikasi ekolabel maka dilakukan

wawancara kepada pengurus KTHR dan lembaga pendamping dari

PERSEPSI dan dinas HUTBUN Kabupaten Magetan, serta studi

dokumentasi terkait dengan sistem sertifikasi PHBML dari Lembaga

Ekolabel Indonesia (LEI) dan dokumentasi ajuan kepada lembaga

sertifikasi yang ada di kelompok maupun yang ada di lembaga

pendamping.

Terkait untuk mengetahui proses pemberdayaan KTHR Lawu

Manunggal sebagai unit pengelola hutan lestari yang memperoleh

39

sertifikat ekolabel pengelolaan lestari untuk hutan rakyat, peneliti

melakukan wawancara atau FGD dengan pengurus dan anggota KTHR.

Untuk kepentingan cross check bagaimana proses pemberdayaan yang

dilakukan, peneliti juga mewancarai kepada pendamping yakni dari

Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial

(PERSEPSI), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan

serta perangkat desa dan kecamatan. Data sekunder lain yang dibutuhkan

oleh peneliti adalah dokumen tentang organisasi KTHR seperti profil

KTHR Lawu Manunggal, struktur organisasi, daftar kepengurusan,

kegiatan yang dilakukan, Kabupaten Magetan dalam angka dan lain-lain.

Telaah terhadap masing-masing dokumen yang ada selanjutnya

akan dilihat dari tujuan dokumen diperlukan, manfaat adanya dokumen

serta bagaimana proses penyususunan dokumen tersebut. Langkah

selanjutnya peneliti akan mengelompokkan masing-masing dokumen

(kodefikasi) untuk memudahkan pemahaman bagi orang/pihak luar

apabila bermaksud ingin mengetahui jenis dan isi dokumen atau bahkan

ingin mengembangkan sertifikasi ekolabel hutan rakyat pada wilayah

lain.

2. Pengolahan Data dan Analisis

Untuk kategori penelitian kualitatif (qualitatif field research),

keputusan untuk melakukan analisis data dimulai pada saat memulai

observasi. Teknik analisisnya dimulai dengan mencoba atau berusaha

melihat sesuatu dan merepresentasikan berdasarkan pandangan responden

(Hutapea dan Suwondo, 1989). Namun untuk sampai pada tahap ini data-

data yang diperoleh perlu diuji keabsahan/validitasnya (Azwar, 2000).

Untuk menguji validitas data dalam kajian ini digunakan teknik

trianggulasi dengan cara; pertama, membandingkan hasil pengamatan

dengan hasil wawancara; kedua, membandingkan keadaan dengan

perspektif informan kunci yang satu dengan lainnnya, ketiga;

membandingkan hasil wawancara dengan data hasil perekaman data,

40

seperti dokumen, hasil–hasil penelitian dan kisah-kisah sejarah yang

memiliki keterkaitan dengan objek penelitian (Moleong, 1999).

Langkah berikutnya, hasil dari data primer maupun sekunder diolah

dengan pendekatan kualitatif, mereduksi data, menyajikan data yang telah

tersusun, membuat hasil-hasil temuan lapang dalam bentuk tema-tema

yang saling berkaitan satu sama lainnya, kemudian menarik kesimpulan.

3. Alur Penelitian

Berikut adalah alur penelitian yang dilakukan.

Alur Penelitian

Temuan Lapang (Data Primer ) Data Statistik(Data Sekunder)

Klusterisasi Menurut Aspek

(Kondisi Awal, Ideal, Kesenjangan)

Pemberdayaan

Menuju Sertifikasi Ekolabel

Kesimpulan dan Rekomendasi

Gambar 2. Alur Penelitian

41