BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan adalah permasalahan kompleks, sehingga penanggulangannya
perlu banyak usaha dan cara. Berbagai macam program penanggulangan /
pengentasan kemiskinan telah diluncurkan pemerintah dengan melibatkan berbagai
instansi dan sektor. Sampai akhir Pelita VI muncul berbagai macam program
pengentasan kemiskinan, tetapi sebagaian besar dengan pendekatan wilayah
administratif, program berbasis kepentingan sektoral, sehingga kurang dapat
dipadukan dan akhirnya akan memunculkan persaingan antar sektor.
Banyak orang miskin tidak mau dikatakan miskin, tetapi bila ada bantuan, maka
orang kayapun sering mengatakan dirinya miskin, sebab kegiatan pada saat ini
sebgian besar hanyalah berupa pemberian bantuan kepada orang miskin. Dengan
demikian bukan kail diberikan, tetapi ikan yang diberikan, sehingga tidak terlihat
adanya pemberdayaan masyarakat, tetapi hanya nampak adanya orang memberi dan
menerima.
Penyebab semua ini adalah bahwa dalam pelaksanaannya pembangunan
masyarakat harus selalu mengacu pada kebijakan-kebijakan dari Pemerintah Pusat,
padahal kebijakan-kebijakan tersebut belum tentu cocok apabila diterapkan pada
semua wilayah dengan berbagai kondisi spesifik. Untuk mengantisipasi maka
dimunculkanlah kebijakan agar menjadi jembatan antara daerah dengan pusat dan
2
dapat mengeliminir kesenjangan tersebut, kebijakan itu adalah dengan Program
Pengembangan Wilayah Terpadu ( PPWT ), menurut Mohtar Mas’oed (1994):
Program Pembangunan Masyarakat Desa yang dirancang dari atas itu mendorong penetrasi negara yang mendalam dan meluas ke dalam kehidupan pedesaan dan pengintegrasiannya ke dalam kerangka kerja nasional. Selain memberi kesempatan kepada penduduk desa untuk menikmati sumberdaya yang dimiliki negara, program itu juga memaksakan penyeragaman pelembagaan desa dengan resiko menghapuskan keunikan lokal. Di hadapan hukum nasional, banyak lembaga-lembaga lokal kehilangan keabsahan. Ditambah dengan mekanisme pengendalian yang ketat, kondisi itu melemahkan otonomi pedesaan. Dan akhirnya memandulkan potensi-potensi yang ada disana untuk menumbuhkan demokrasi.1 Banyak penduduk hidup di bawah garis kemiskinan merupakan tantangan bagi
pemerintah. Konstitusi mewajibkan pemerintah untuk mengentaskannya. Program
Pengembangan Wilayah Terpadu merupakan program yang diharapkan dapat
meningkatkan secara langsung pendapatan/kesejahteraan masyarakat berpenghasilan
rendah di daerah yang berpotensi, tetapi belum berkembang dengan membuka daerah
terisolir, meningkatkan produktivitas masyarakat, menciptakan keserasian laju
pertumbuhan antar daerah dan antar sektoral, meningkatkan kualitas dan menjaga
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, mendorong pertumbuhan
lapangan kerja serta memecahkan masalah spesifik di wilayah tertentu.
Potensi masyarakat di daerah yang berwujud partisipasi masyarakat harus
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Menurut Mohtar Mas’oed ( 1994 ) :
Partisipasi masyarakat hanya dalam wujud ikut serta menerapkan teknologi yang diperkenalkan atau dalam bentuk menggalakkan tabungan nasional, bayar pajak, hanya mengkonsumsi produk dalam negeri, mengetatkan ikat pinggang, menginvestasikan modal dan sebagaianya. Dan ini didukung oleh teorisasi
1 Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994. (p. 97)
3
modernisasi yang menekankan perlunya ditumbuhkan perilaku modern mendukung transfer teknologi dan pembentukan kapital.2 Perilaku tersebut cenderung dimiliki masyarakat ibukota dan sedikit sekali
dimiliki oleh masyarakat di daerah. Hampir putusnya hubungan antara masyarakat
ibukota dengan masyarakat di daerah merupakan suatu issue yang patut untuk kita
pertimbangkan. Seandainya ada hubungan tersebut hanyalah sebatas hubungan searah
yang berwujud hubungan yang bersifat top down dan ekstratif, bukan hubungan
kerjasama dan saling dukung antara masyarakat ibukota dan masyarakat di daerah.
Sangat diperlukan pendekatan yang menitik beratkan pada masalah ketenagakerjaan
dan penyediaan lapangan kerja serta menumbuhkan adanya partisipasi aktif dari
masyarakat bukan pendekatan dengan melakukan penekanan pada pembentukan
kapital serta penumpukan modal. Hubungan harmonis antara pusat dengan daerah
diperlukan guna menumbuhkan partisipasi aktif dari masyarakat.
Partisipasi masyarakat diarahkan pada empat sasaran yaitu: partisipasi
masyarakat dalam pembuatan keputusan, penerapan keputusan, partisipasi dalam
menikmati hasil yang dicapai dan partisipasi dalam mengevaluasi hasil yang telah
dicapai. Pada pemerintahan Orde Baru perilaku partisipasi masyarakat adalah
partisipasi dalam penerapan keputusan, bukan dalam pembuatan, maupun evaluasi.
Kondisi ini tidak menggambarkan adanya suatu demokrasi yang baik. Menurut John
M. Cohen dan Norman T. Uphoff dalam Mohtar Mas’oed (1994), efektivitas
keikutsertaan masyarakat sangat ditentukan oleh banyaknya power yang dimiliki oleh
masyarakat. Partisipasi sejati adalah kondisi warga memperoleh kontrol lebih besar,
2 Mas’oed, (p. 98)
4
sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dua hal dapat dipakai memahami
persoalan demokratisasi : Pertama perlunya sikap moderasi yaitu bergaining power
rasional dan jangka panjang, bukan tindakan bernafsu dan sekali jadi. Dalam
beberapa hal diperlukan tindakan incremental yaitu membentuk demokrasi secara
step by step. Kedua perlunya empowerment yaitu suatu sikap yang menegaskan
bahwa proses demokratisasi harus diupayakan, tidak dapat ditunggu kedatangannya,
sehingga diperlukan pemupukan power pada para pengikiutnya.
Power adalah kemampuan memaksakan kehendak pada pihak lain. Dalam
pengertian distributif hubungan power bersifat zero sum dan sangat kompetitif. Orang
berperilaku rasional tidak mungkin dapat bekerjasama karena mereka beranggapan
bahwa dengan diberikannya power kepada pihak lain maka akan merugikan dirinya.
Selain itu power juga memiliki dimensi generatif, bersifat positive sum, yaitu
bahwa pemberian power kepada pihak lain dapat meningkatkan power-nya sendiri
tanpa mengurangi sedikitipun power yang dimilikinya, sehingga bertambah banyak
power diberikan, maka akan bertambah besar pula power kita. Dalam kehidupan
politik dikatakan bahwa pemberian power pada rakyat dapat meningkatkan power
pemerintah atau dapat dikatakan bahwa dengan tambahan power pada masyarakat
bukan berarti kehancuran bagi pemerintah. Demikianlah tadi pendapat dari John M.
Cohen dan Norman T. Uphoff yang termaktub dalam Mohtar Mas’oed (1994).
Saat ini perekonomian berada pada situasi paling buruk setelah berada pada
persimpangan antara ekonomi rakyat kecil yang makin tergusur dengan semakin
menguatnya kondisi ekonomi konglomerat di perkotaan sehingga terjadi suatu jarak
5
yang cukup lebar diantara keduanya. Oleh karena itu diperlukan adanya penggarapan
dan pengembangan ekonomi rakyat kecil untuk mempersempit jarak tersebut.
Indonesia sedang mengalami dilematis karena krisis berkepanjangan sedang
melanda. Berdasarkan perkiraan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
( BKKBN ), saat ini penduduk miskin di Indonesia lebih dari seratus juta jiwa, berarti
berkisar 50% (lima puluh persen) atau separuh dari jumlah penduduk Indonesia.
Pertambahan penduduk miskin saat ini disebabkan berhentinya kegiatan ekspor
impor. Kontribusi terbesar Income per Capita pada masa lalu berasal dari produksi
barang dengan bahan baku terbesar dari komponen impor. Tetapi di lain pihak orang-
orang miskin, ada yang menikmati panen raya karena produknya hanya sedikit
mengandung bahan impor, sehingga dapat bersaing dengan produk berbahan impor.
Akhir Repelita V dan Repelita VI pemerintah sudah berusaha untuk
mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan,
banyak cara sudah dilakukan untuk mengentaskan, yaitu dengan dimasyarakatkannya
berbagai program pengentasan kemiskinan.
Upaya paling strategis dalam mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial di
negara kita dewasa ini adalah penerapan dari demokrasi ekonomi, dan ekonomi
kekeluargaan, menurut Mubyarto saat ini terjadi perdebatan di kalangan cendekiawan
menyangkut masalah penjabaran demokrasi ekonomi, tetapi belum masuk dalam
ekonomi kekeluargaan, karena demokrasi ekonomi mnghendaki seluruh rakyat dan
kekuatan ekonomi ikut serta dalam proses pengambilan keputusan ekonomi
(produksi), sedang ekonomi kekeluargaan lebih menekankan pada apa yang
dihasilkan (distribusi) dari pelaksanaan demokrasi ekonomi. Pancasila mengharuskan
6
adanya persatuan (bangsa) Indonesia dan kerakyatan untuk mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut mengandung pengertian diperlukan
adanya demokrasi di segala bidang, mencakup bidang politik, ekonomi dan hukum.
Hanya dengan prinsip demokrasi dapat dicapai kemakmuran merata bagi seluruh
masyarakat, bukan kemakmuran bagi beberapa orang. Demokrasi Ekonomi menunjuk
pada cara-cara produksi, ekonomi kekeluargaan menunjuk pada hasilnya (distribusi)
dan Ekonomi Pancasila menunjukkan pedoman dan asas-asas umum perilaku
berekonomi dan berbisnis sehari-hari.
Untuk mempercepat laju pembangunan di segala bidang, terutama dalam
hubungannya dengan pemerataan pembangunan ke berbagai daerah, sejak Pelita IV
pemerintah telah menyusun program terobosan yang disebut sebagai Program
Pengembangan Wilayah Terpadu ( PPWT ).
Berbeda dengan program-program pembangunan Sektoral dan Inpres lainnya,
PPWT memiliki ciri spesifik, yaitu program tanpa mengenal batas administratif
daerah dan tidak mengenal egoisme sektoral yang dominan. Program ini tidak
semata-mata mengejar tujuan yang bersifat fisik saja akan tetapi juga sangat
memperhitungkan adanya dimensi kewilayahan serta adanya upaya peningkatan
kapasitas kelembagaan dan aparatur di daerah.
Pelaksanaan awal dari program ini lebih ditujukan pada proyek-proyek dengan
skala kecil, karena dimaksudkan sebagai media bagi aparat pemerintah daerah dalam
melakukan analisa wilayah dan merencanakan berbagai jenis kegiatan sesuai
kebutuhan daerah; kaitannya terhadap dukungan proses desentralisasi, partisipasi dan
kontribusi daerah dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
7
Berpijak pada permasalahan tersebut, maka model dapat dilaksanakan di semua
daerah dengan mengandalkan pada sumber dan potensi pada masing-masing derah.
Ini memerlukan sutu modifikasi dan penyempurnaan yang berkesinambungan sesuai
kondisi, potensi dan permasalahan masing-masing daerah.
Dalam era otonomi daerah, program ini sangat bermanfaat karena dalam era ini
diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri dalam menentukan kegiatannya
dalam rangka membangun daerah, tanpa perlu adanya ketergantungan yang sangat
tinggi dengan pemerintah pusat.
Pelaksanaan program ini dikelola sampai tingkat terendah yaitu kecamatan.
Diharapkan Camat secara aktif ikut serta melibatkan masyarakat mulai dari proses
perencanaan sampai pada tahap evaluasinya, sehingga masyarakat dapat terlibat
secara langsung dalam kegiatan pembangunan.
Program Pengembangan Wilayah Terpadu dilaksanakan berdasarkan instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor: 14 Tahun 1990 tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Pengembangan Wilayah Terpadu dalam rangka Pembangunan Daerah,
tanggal 7 Mei 1990. Program Pengembangan Wilayah Terpadu bertujuan untuk :
(1) Meningkatkan secara langsung pendapatan / kesejahteraan golongan masyarakat pedesaan dan perkotaan berpenghasilan rendah di daerah yang berpotensi tetapi belum berkembang
(2) Menyempurnakan dan meningkatkan kemampuan : a. Aparatur Pemerintah Daerah Tingkat I, Tingkat II, dan kecamatan yang
terlibat langsung dalam penanganan Program Pengembangan Wilayah Terpadu;
b. Aparatur Pemerintah Pusat dalam rangka membina Program Pengembangan Wilayah Terpadu yang dikelola oleh Pemerintah Daerah;
(3) Membuka daerah-daerah terisolir, terpencil, perbatasan, kritis dan minus; pusat-pusat produksi dan pemasaran serta daerah pariwisata demi
8
memperlancar arus pengangkutan barang dan jasa serta mobilitas kelancaran perekonomian daerah serta keseluruhan;
(4) Meningkatkan produktivitas masyarakat melalui pengembangan ragam dan pola teknis di bidang pertanian, industri dan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah;
(5) Menciptakan keterbukaan masyarakat melalui upaya pendidikan dan penyuluhan dalam rangka membuka isolasi sosial masyarakat;
(6) Membantu terciptanya upaya yang mempunyai nilai dan pola perilaku kreatif, inovatif dan sikap wirausaha pada masyarakat;
(7) Menciptakan keserasian laju pertumbuhan antar daerah dan antar sektoral; (8) Meningkatkan kualitas dan menjaga kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup; (9) Mendorong pertumbuhan lapangan kerja; (10) Meningkatkan peranan wanita dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat
dalam pembangunan; (11) Memecahkan masalah-masalah yang bersifat spesifik di wilayah-wilayah
tertentu.3
Instruksi Menteri Dalam Negeri ini ditindak lanjuti dengan Panduan
Operasional nomor 050/1402/Bangda tertanggal 5 Juni 1993, sebagai dasar
operasional kegiatan-kegiatan dalam rangka pelaksanaan Program Pengembangan
Wilayah Terpadu ( PPWT ).
Pelaksanaan Program Pengembangan Wilayah Terpadu mempunyai ciri-ciri
dapat mendorong pelaksanaan desentralisasi dengan melibatkan masyarakat dalam
proses perencanaan dan pelaksanaan, sebagai upaya mengembangkan kemampuan
dan kemandirian lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat. Hal tersebut
dimaksudkan dapat mendorong motivasi dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, dilaksanakan dengan mengutamakan daerah-daerah yang belum
tersentuh kegiatan pembangunan, baik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi maupun
3 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1990 (p.9-10)
9
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota,berorientasi pada
keterpaduan pelaksanaan dan masalah-masalah khusus di daerah. Maksud lain adalah
untuk membuka daerah terbelakang dengan mendorong pertumbuhan sosial ekonomi
daerah, meningkatkan inovasi dan kreativitas masyarakat serta dapat diterapkannya
teknologi tepat guna dengan cara meningkatkan dan memantapkan hubungan
kerjasama harmonis antara Kelurahan, Kecamatan, Pemerintah Kabupaten/Kota,
Pemerintah Propinsi hingga Pusat.
Program pemberdayaan masyarakat Program Pengembangan Wilayah Terpadu
adalah merupakan usaha penanganan antar daerah dan lintas sektoral, agar dapat
dikelola dengan baik karena pendekatan tidak berdasarkan pada pendekatan batas
administratif saja, tetapi wilayah dengan karakteristik permasalahan sama dan secara
geografis posisinya berdampingan. Dalam pelaksanaannya masing-masing daerah
diharapkan dapat menentukan wilayah konsentrasi yang memenuhi syarat untuk
digarap bersama-sama dengan manajemen keroyokan sehingga pada akhir kegiatan
diharapkan dapat melakukan perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan
dan evaluasi kegiatan pembangunan tersebut. Dengan dilaksanakannya Program
Pengembangan Wilayah Terpadu, masyarakat dapat langsung menangani
permasalahan di wilayahnya dengan membuat daftar usulan kepada Camat untuk
dapat ditangani secara lintas sektoral. Dalam Program Pengembangan Wilayah
Terpadu peran serta dari masyarakat sebagai orang yang mengenal serta mengerti
situasi, kondisi dan potensi yang ada di wilayahnya sangat diharapkan.
Dalam pelaksanaan Program Pengembangan Wilayah Terpadu di
Pemerintah Kota Yogyakarta terdapat beberapa kesenjangan yang terjadi hal ini
10
disebabkan karena tidak adanya persamaan persepsi dalam menangani kegiatan ini.
Hal itu terjadi baik ditingkat Pemerintah Kota, Kecamatan hingga ke masyarakat.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi mengakibatkan kejadian ini terjadi,
pengalaman masa lalu menjadi suatu faktor yang amat sangat mempengaruhi
pelaksanaan kegiatan ini, ketidaksiapan mental dari para pelaku juga mempengaruhi
dalam pelaksanaannya. Banyaknya masyarakat yang menganggap bahwa kegiatan ini
hanyalah sebuah proyek yang biasanya merupakan suatu rekayasa menjadikan
kegiatan ini mengalami kendala.
Kegiatan dari program Pengembangan Wilayah Terpadu ini diperlukan suatu
wilayah konsentrasi pengembangan yang strategis, sehingga Kota Yogyakarta dalam
satu periode pelaksanaan yaitu selama 3 tahun hanya menentukan satu wilayah
kecamatan sebagai wilayah konsentarsi pengembangan dengan berbagai macam
pertimbangan serta dasar dalam menentukannya. Hal ini dilakukan dengan maksud
agar wilayah kecamatan yang relatif tertinggal dapat mengejar ketertinggalannya
dengan wilayah kecamatan lainnya, diharapkan suatu saat nanti akan ada kesejajaran
anatara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya karena jurang pemisah antara satu
kecamatan dengan kecamatan lainnya tidak begitu jauh, hal ini diharapkan agar
tingkat perekonomian di Kota Yogyakarta relatif baik.
Kecamatan Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo adalah dua
kecamatan yang dapat mewakili Kota Yogyakarta pada masing-masing periodenya.
Kecamatan Gedongtengen menjadi wilayah konsentrasi pada tiga tahun pertama,
sedangkan Kecamatan Umbulharjo terpilih sebagai wilayah konsentrasi
pengembangan pada tiga tahun berikutnya.
11
B. Perumusan Masalah
Setelah melakukan pencermatan pada aturannya maka dapat dibandingkan
dengan keadaan di lapangan, karena aturan tersebut adalah merupakan keadaan ideal
apabila Program Pengembangan Wilayah Terpadu telah diimplementasikan sesuai
dengan tujuan, sehingga apabila terjadi penyimpangan, maka dapat diketahui bahwa
penyimpangan disebabkan oleh faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Berbagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Program
Pengembangan Wilayah Terpadu akan berpengaruh kepada kinerja implementasi
kebijakan Program Pengembangan Wilayah Terpadu di Kota Yogyakarta. Masalah
penelitian ini adalah: “ Apakah kebijakan Program Pengembangan Wilayah Terpadu
di Kota Yogyakarta telah diimplementasikan sesuai aturan, sehingga pemberdayaan
perekonomian di Kota Yogyakarta dapat tercapai?”
Berdasarkan permasalahan tersebut,dalam melakukan analisis dilakukan atas
dasar hasil penelitian di lapangan dengan pendekatan metode kualitatif (survei),
kemudian dilakukan grounded research dengan pendekatan kualitatif (pengamatan
dan wawancara mendalam), dimaksudkan dapat melihat jelas serta mengetahui
implementasi di lapangan serta dapat menjawab berbagai pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses implementasi kebijakan PPWT di Kecamatan
Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta?
2. Bagaimanakah kinerja implementasi kebijakan PPWT di Kecamatan
Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta?
3. Faktor apa yang mempengaruhi kinerja implemnetasi kebijakan PPWT di
Kecamatan Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta?
12
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui proses
implementasi Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPWT) di Kecamatan
Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. Sedangkan secara
khusus ingin mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Program
Pengembangan Wilayah Terpadu di Kecamatan Gedongtengen dan Kecamatan
Umbulharjo Kota Yogyakarta.
D. Landasan Teori
1. Strategi pembangunan desa di Indonesia
Strategi pembangunan desa yang ada di Indonesia saat ini tidak konstan, hal
ini dapat dilihat dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Situasi
obyektif dalam melakukan kegiatan pembangunan desa pada kurun waktu tertentu
serta tersedianya sumber daya dapat mewarnai strategi yang dipilih.
Ginandjar Kartasasmita (1996): Strategi pembangunan nasional yang
diterapkan semasa Orde Baru mencatat kemajuan yang sangat berarti, tetapi akibat
adanya laju perkembangan yang tidak seimbang antar daerah maka terjadilah
kesenjangan anatar daerah yang demikian luasnya, untuk mengejar kesenjangan
tersebut bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena hal itu akan menjadi kendala
yang tidak mudah diatasi. Hal ini disebabkan karena: adanya keterbatasan pemerintah
mengucurkan dana untuk membangun sarana dan prasarana, keterbatasan sumber
daya manusia di wilayah terbelakang, tantangan pada era globalisasi, memerlukan
kesiapan dari sumber daya yang ada serta sulitnya menarik investor masuk dalam
13
suatu daerah terbelakang, menurut Mohtar Mas’oed (1994): Selama Orde Baru
restrukturisasi politik Indonesia dianggap sebagai syarat untuk mencapai keberhasilan
pembangunan ekonomi sedangkan menurut Gunawan Sumodiningrat (1998):
Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi,
berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Kemiskinan
ditandai oleh keterisolasian, keterbelakangan dan pengangguran, yang kemudian
meningkat menjadi ketimpangan antar daerah, antar sektor dan antar golongan
penduduk, lain lagi apa yang dikatankan Mohtar Mas’oed (1997): Kemiskinan
dibedakan dalam dua jenis yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan
(artificial). Kemiskinan alamiah timbul akibat kelangkaan sumber daya alam
sedangkan kemiskinan buatan lebih diakibatkan oleh munculnya kelembagaan yang
membuat anggota masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana dan
fasilitas ekonomi secara merata.
Dengan melihat berbagai pendapat tersebut, agak sukar untuk menempatkan
tujuan akhir, sasaran, target kualitatif dan kuantitatif, persepsi terhadap kondisi awal
dan strategi untuk mencapainya dalam suatu koherensi konseptual. Hal ini disebabkan
adanya persepsi terhadap permasalahan masyarakat desa yang tidak mendasar,
sehingga langkah-langkah yang diambil dalam pembangunan juga kurang mendasar
dan lepas dari sasaran yang ditetapkan.
2. Strategi pembangunan ekonomi rakyat
Ekonomi rakyat adalah suatu kegiatan perekonomian dengan pelakunya
adalah rakyat kecil, sedangkan rakyat kecil itu sendiri merupakan sebagian besar dari
masyarakat Indonesia. Membangun ekonomi rakyat berarti akan meningkatkan
14
kemampuan rakyat dengan cara mengembangkan potensi dan mendinamisasikannya,
atau dengan kata lain adalah memberdayakan masyarakat untuk berperan serta secara
aktif dalam pembangunan dan pengembangan sistem perekonomian. Pemberdayaan
masyarakat bertujuan untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat, sehingga akan
meningkatkan produktivitas rakyat, akhirnya sumber daya alam di sekitarnya dapat
dimanfaatkan secara optimal. Rakyat dan lingkungannya akan mampu secara
partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah, hingga akhirnya dapat
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Rakyat miskin atau yang
belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya
ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya.
Menurut Mubyarto (1997), pengembangan ekonomi rakyat dapat dilihat dari
tiga sisi:
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolak pemikirannya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya.
2. Memperkuat potensi ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat itu. Dalam rangka memperkuat potensi ekonomi rakyat ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan dan derajat kesehatan serta terbukanya kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi.
3. Mengembangkan ekonomi rakyat juga mengandung arti melindungi rakyat dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat atas yang lemah. Upaya melindungi rakyat tersebut tetap dalam rangka proses pemberdayaan dan pengembangan prakarsanya4.
Pelaksanaan pembangunan nasional, melalui berbagai program, proyek dan
kegiatan pembangunan semua sasarannya bermuara pada masyarakat, tetapi
4 Mubyarto, Ekonomi Rakyat Program IDT & Demokrasi Ekonomi Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1997 (p. 37)
15
kenyataannya belum sesuai dengan yang diharapkan pada Garis-garis Besar Haluan
Negara,padahal sesungguhnya Garis-garis Besar Haluan Negara itu sendiri adalah
keputusan dari keinginan dan kehendak masyarakat.
3. Kemiskinan dan faktor-faktor penyebabnya
Definisi konsep dan operasional tentang kemiskinan belum memiliki rumusan
yang jelas dan pasti. Untuk menentukan suatu kebijakan harus dimulai dari rumusan
jelas dan pasti tentang apa serta bagaimana kemiskinan tersebut, karena apabila
rumusan jelas maka dengan mudah dapat dijadikan indikator untuk menilai
keberhasilan kebijakan pengentasan kemiskinan yang telah dicapai, serta dapat
dimonitor dan diantisipasi secara cepat dan akurat.
Belum adanya kesamaan pengertian kemiskinan dapat dilihat dengan adanya
pengelompokan definisi kemiskinan ke dalam dua hal, yaitu definisi relatif dan
definisi absolut. Reitsma dan Kleinpening (1985) yang dikutip oleh Yeremias T.
Keban (1995), merumuskan definisi yang bersifat relatif tentang kemiskinan adalah
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seseorang, mencakup material
maupun non material. Sementara Sen (Meier, 1989) menyatakan definisi yang
bersifat absolut, bahwa kemiskinan adalah the failure to have certain minimum
capabilities. Definisi ini mengacu pada standar kemampuan minimum, berarti bahwa
penduduk yang tidak melebihi kemampuan minimum dapat dianggap sebagai miskin.
Di Indonesia kemiskinan sering mengacu pada rumusan yang dikeluarkan oleh
Biro Pusat Statistik (BPS), yaitu dengan membuat garis kemiskinan melalui
pengeluaran nilai rupiah yang setara dengan 2100 kkal per orang perhari ditambah
dengan nilai rupiah untuk kebutuhan non pangan yang dihitung dari pengeluaran
16
untuk perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, penerangan, bahan bakar dan air
yang diperoleh oleh Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Berarti garis
kemiskinan mempunyai dua komponen yaitu komponen batas kecukupan pangan dan
komponen batas kecukupan non pangan. Dengan demikian mereka yang tergolong
miskin adalah mereka yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan.
Bank Dunia menggunakan batas ukuran kemiskinan adalah pendapatan sebesar
1 (satu) dollar Amerika Serikat per orang per hari, sehingga apabila pendapatan rata-
rata yang diperoleh per orang perhari kurang dari 1 (satu) dollar Amerika Serikat
maka orang tersebut termasuk dalam kategori miskin.
Selain itu ada pula pendapat dari Sayogyo (1977) yang mengukur garis
kemiskinan dengan menggunakan standar beras. Untuk daerah pedesaan adalah
kurang dari 320 kg beras perorang pertahun sedangkan untuk daerah perkotaan adalah
kurang dari 480 kg beras perorang pertahun. Baik untuk daerah pedesaan maupun
perkotaan pernyataan ini memiliki kelemahan karena kurang dapat mengantisipasi
perkembangan pengeluaran terhadap kebutuhan lain seperti kesehatan, penddidikan,
perumahan dan lain sebagainya. Kelemahan lain metode ini karena memakai standar
beras, padahal kenaikan harga beras relatif lamban dibandingkan dengan harga
komoditas lainnya, hal ini disebabkan harga beras dikendalikan oleh pemerintah.
Selain beberapa kriteria tersebut ada pula kriteria yang dikeluarkan oleh Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan 5 (lima) strata yaitu
Keluarga Pra Sejahtera (PS), Keluarga Sejahtera I (KS I ), Keluarga Sejahtera II (KS
II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III plus (KS III+). Dengan
strata dari BKKBN tersebut maka dalam strata Keluarga Pra Sejahtera (PS) maupun
17
Keluarga Sejahtera I (KS I) termasuk dalam kategori keluarga miskin dengan
penjelasan bahwa Keluarga Pra Sejahtera adalah sebuah keluarga yang belum mampu
memenuhi kebutuhan dasar secara minimal dalam hal sandang, pangan, papan dan
kesehatan. Sedangkan Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar secara minimal tetapi belum mampu memenuhi
kebutuhan psikologis dan sosial seperti kebutuhan akan pendidikan, Keluarga
Berencana, interaksi dalam keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta belum
terpenuhinya kebutuhan transportasi. Dari beberapa kriteria yang dikeluarkan oleh
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ini, pelaksanaan ibadah
yang tidak teratur dapat masauk kriteria orang miskin, karena kriteria miskin tidak
hanya ditentukan oleh kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan makan 2 kali
sehari. Indikator yang dirumuskan oleh BKKBN tersebut saat ini telah menjadi tolok
ukur untuk menilai derajat kemiskinan dalam sebuah keluarga.
4. Implementasi dan kinerja implementasi kebijakan
Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) merupakan suatu proses
lebih lanjut dari tahap formulasi kebijakan. Kalau pada tahap formulasi ditetapkan
strategi dan tujuan kebijakan, maka tahap implementasi ini merupakan tindakan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan.
Menurut Pressman dan Wildavsky (1979) implementasi merupakan suatu
proses lebih lanjut dari suatu kebijkaan yang berusaha untuk menghubungkan antara
tindakan dengan tujuan. George C. Edwards III (1980) mengatakan implementasi
merupakan tahapan dalam proses kebijakan, terletak antara tahapan penyusunan
kebijakan dengan hasil yang dihasilkan oleh kebijakan itu. Dikatakan pula bahwa
18
kegiatan implementasi terdiri antara lain perencanaan, pendanaan, pengorganisasian,
pengangkatan dan pemecatan karyawan serta negoisasi. Secara lebih mendalam
Randal B. Ripley (1985) mengatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan
aktivitas fungsional untuk melaksanakan rancangan program dalam kegiatan-kegiatan
adminstratif nyata. Grindle (1980) mengatakan bahwa tugas implementasi adalah
membentuk suatu kaitan yang memungkinkan arah kebijakan publik direalisir sebagai
hasil dari aktivitas pemerintah mencakup penciptaan policy delivery system yaitu
rancangan sarana spesifik agar dapat tercapainya tujuan akhir.
Dari pandangan tersebut dapat ditarik pendapat bahwa implementasi kebijakan
dalah tahap yang sangat menentukan untuk mencapai tujuan. Kebijakan yang telah
ditetapkan dengan baik, tidak menjamin kebijakan tersebut akan berhasil sebab
implementasi kebijakan merupakan suatu aktivitas yang mengakumulasikan seluruh
potensi bagi tercapainya tujuan.
Kinerja implementasi kebijakan menurut Ripley dan Franklin (1986)
keberhasilannya dapat dilihat dengan tiga perspektif, yaitu: Pertama, keberhasilan
implementasi yang diukur dengan menggunakan perspektif kepatuhan (compliance)
street level bureaucrats terhadap atasannya. Kedua, keberhasilan diukur dari
kelancaran rutinitas dan tidak adanya persoalan. Ketiga, keberhasilan dilihat dari
kepuasan semua pihak terutama pada kelompok penerima manfaat.
Perspektif pertama dan kedua dalam prakteknya sulit untuk dipisahkan. Dalam
suatu organisasi birokrasi, kepatuhan diartikan sebagai kepatuhan terhadap struktur
dan prosedur, berarti semakin tinggi tingkat kepatuhan terhadap struktur dan
prosedur, maka rutinitas akan semakin lancar. Pengukuran ketidakpatuhan dapat
19
dilihat dari frekuensi penyimpangan prosedural dan keterlambatan yang terjadi,
seperti dalam laporan hasil pemeriksaan oleh instansi pengawas.
Berdasarkan alasan tersebut studi ini akan melihat kinerja implementasi
kebijakan PPWT melalui: cakupan atau jumlah kepala keluarga miskin yang menjadi
sasarannya, ketepatan dalam menentukan sasaran, ketepatan dalam menentukan jenis
kegiatan, perkembangan usahanya setelah mengikuti program ini, peningkatan
pendapatan rumah tangga dari masyarakat yang ikut program ini, sikap anggota
masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan, dapat dilihat
dari berbagai pandangan terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi suatu kinerja
implementasi kebijakan, Ripley dan Franklin (1986), mengemukakan bahwa gagasan
tentang keberhasilan suatu implementasi kebijakan tidak hanya memiliki satu definisi
yang dapat diterima umum tetapi pasti memiliki pemahaman berbeda ketika para
analis berbicara atau berfikir tentang suatu implementasi kebijakan yang berhasil.
Linder dan Peters yang dikutip oleh Goggin (1990) berpendapat bahwa pembahasan
tentang kegagalan dan keberhasilan suatu implementasi kebijakan adalah suatu
persoalan administratif; program dikatakan berhasil apabila program dapat berjalan.
Van Metter dan Van Horn (1975) mempertanyakan, “ Mengapa ada implementasi
yang berhasil dan ada implementasi yang gagal?” Tentu ada berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Dalam pembahasannya implementation performance merupakan
suatu variabel terikat, sedangkan variabel bebas atau faktor yang mempengaruhi
kinerja implementasi antara lain menyangkut: standar dan tujuan kebijakan, sumber
daya, komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksanaan, karakteristik lembaga
20
pelaksana, kondisi ekonomi, sosial dan politik serta watak dan sikap dari para
pelaksana kebijakan. Selanjutnya Cook dan Scioli (dalam Dolbeare, 1975)
mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti tersedianya sumber daya bagi aktivitas program, karakteristik pelaksana
program, karakteristik lokasi, karakteristik administrasi dan organisasi, serta aspek-
aspek temporal seperti aspek waktu dan service delivery. Lain lagi pendapat dari
George C. Edwards III (1980), dalam pembahasannya menggunakan dua premis
penting :
- “What are the preconditions to successful policy implementation?”
- “What are the primary obstacles to successful policy?”
untuk menjawabnya diperlukan adanya empat variabel utama yang mempengaruhi
proses suatu implementasi kebijakan publik sebagai berikut:
1. Communication ( komunikasi )
2. Resources ( sumber daya )
3. Dispositions ( watak )
4. Bureaucratic structure ( struktur birokrasi )
Dalam studi implementasi kebijakan PPWT penulis melihat bahwa variabel
yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan PPWT adalah komunikasi,
sumber daya, karakteristik lembaga pelaksana dan watak/sikap pelaksana. Rumusan
kerangka teori dari pendapat diatas “Komunikasi, sumber daya, karakteristik lembaga
pelaksana dan watak/sikap pelaksana merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja
implementasi kebijakan PPWT.”
21
Faktor komunikasi merupakan syarat pertama bagi efektivitas implementasi
kebijakan, karena pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang dihasilkan.
Keputusan dan pelaksanaan kebijakan harus ditata dan dapat disampaikan kepada
personil yang tepat, dengan demikian komuniasi adalah merupakan aspek yang
sangat penting.
Komunikasi pada hakekatnya merupakan suatu proses penyampaian pesan
(message) dari kominukator kepada komunikan (audience). Dalam proses
komunikasi, biasanya komunikator mengharapkan agar komunikasi dapat dimengerti
dan melaksanakan apa yang dipesankan oleh komunikator. Dalam konteks kebijakan
berarti komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari perumus
kebijakan kepada pelaksana kebijakan.
Dalam jaringan komunikasi yang tidak baik, pesan yang disampaikan dapat
menimbulkan persepsi bertolak belakang, membingungkan dan ada ketidak
konsistenan dalam memberikan suatu instruksi sehingga hasil yang diperoleh tidak
seperti apa yang diharapkan.
Dalam pelaksanaan PPWT pesan yang harus disampaikan oleh aparat
pemerintah kepada masyarakat harus jelas dan akurat mengenai standar, sasaran dan
tujuan yang ingin dicapai oleh PPWT. Sosialisasi merupakan salah satu bentuk dari
komunikasi yang harus dilakukan oleh para aparat pada berbagai tingkatan dengan
jelas, akurat dan konsisten kepada masyarakat ketika PPWT akan diimplementasikan,
sehingga hasil yang dicapai dari pelaksanaan PPWT sesuai dengan harapan.
Faktor sumber daya merupakan suatu kebijakan yang dirumuskan dengan
baik dan jelas serta konsisten, karena ketika diimplementasikan di lapangan belum
22
tentu memberikan hasil sesuai harapan, walaupun kebijakan telah diimplementasikan
dengan baik dan akurat sesuai yang telah disampaikan. Hal ini dapat terjadi apabila
tidak ada sumber daya yang baik, sehingga dalam mengimplementasikannya menjadi
tidak efektif. Dengan demikian aspek sumber daya merupakan salah satu aspek
penting lain dalam implementasi kebijakan.
Menurut George C.Edwards III (1980) sumber daya yang penting itu termasuk
staf, jumlahnya, keahlian yang sesuai, informasi dan kejelasan otoritas yang
menjamin pelaksanaan kebijakan. Staf atau personil adalah merupakan sumber daya
paling esensial dalam suatu implementasi kebijakan,banyak kegagalan diakibatkan
kurang handalnya personil. Walaupun jumlah personil ikut menetukan keberhasilan
implementasi kebijakan tetapi banyaknya personil tidak menjamin suksesnya
implementasi kebijakan, karena jumlah personil harus diimbangi dengan adanya
ketrampilan ataupun keahlian.
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan sumber daya adalah sumber
daya manusia, sumber daya alam, sarana, prasarana, dan dana yang tersedia selain
sumber daya lain yang menyangkut keahlian ataupun ketrampilan dari personil,
informasi, otoritas serta prasarana lain yang sangat menentukan untuk
mengoptimalkan implementasi kebijakan PPWT.
Faktor karakteristik lembaga pelaksana yang berhubungan dengan badan
adminstratif yang mempengaruhi hasil kebijakan adalah merupakan faktor lain yang
berpengaruh terhadap suatu implementasi kebijakan, hal ini menyangkut kompetensi
staf, pengawasan, politik, vitalitas organisasi, keterbukaan komunikasi baik vertikal
23
maupun horisontal, di dalam maupun di luar organisasi serta hubungan formal
maupun informal antara lembaga dengan pembuat kebijakan.
Dalam rangka penelitian ini hubungan baik dan harmonis yang dilakukan antara
masyarakat dengan aparat pemerintah baik di tingkat kelurahan, kecamatan dan
seterusnya sampai ke tingkat yang lebih tinggi, maupun hubungan lintas sektoral
sangatlah diperlukan. Karena lemahnya keadaan suatu lembaga/instansi akan
menghambat proses pencapaian tujuan.
Faktor watak/sikap pelaksana adalah merupakan faktor selanjutnya yang
sangat berpengaruh terhadap suatu implementasi kebijakan. Suatu implementasi
kebijakan dapat dilakukan dengan baik tidak hanya sekedar mengetahui yang harus
dikerjakan serta memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, akan tetapi para
pelaksana hendaknya juga memiliki watak/sikap positif dalam melakukannya
didukung dengan adanya motivasi kuat untuk melaksanakannya. Apabila para
pelaksana itu memiliki watak/sikap berbeda dengan yang telah diputuskan maka
proses implementasi kebijakan menjadi lebih kompleks dan dapat menimbulkan
suatu masalah baru.
Banyak kebijakan gagal pada tahap implementasi, karena para pelaksana tidak
memiliki emosi atau kepedulian terhadap kebijakan tersebut. Padahal hal ini
dibutuhkan karena para pelaksana harus dapat memenuhi keinginan masyarakat
dalam implementasi kebijakan.
Dalam PPWT ini faktor watak/sikap pelaksana amat diperlukan karena dalam
program ini diharapkan akan ada suatu kebersamaan pada berbagai tingkatan dan
24
pada berbagai sektoral, sehingga keberhasilan program ini ditentukan oleh
watak/sikap pelaksana yang positif dalam pelaksanaan di lapangan.
E. Metode Penelitian
1. Lokasi dan populasi
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Yogyakarta dengan 2 (dua) kecamatan
yang pernah menerima kegiatan PPWT yaitu kecamatan Gedongtengen dan
Kecamatan Umbulharjo, karena hanya 2 (dua) kecamatan inilah yang pernah
menerima PPWT. Kecamatan Gedongtengen adalah daerah pusat kota, sedangkan
Kecamatan Umbulharjo adalah daerah pinggiran/perbatasan.
Masyarakat Kota Yogyakarta relatif memiliki sifat individual yang cukup
tinggi sehingga diperlukan adanya penanganan yang spesifik dalam pelaksanaan
PPWT ini. Kota Yogyakarta tidak memiliki desa miskin sehingga merupakan suatu
pertimbangan yang diambil ntuk penelitian ini, karena tidak memilik desa miskin
maka Kota Yogyakarta tidak pernah mendapatkan Program IDT, karena Program IDT
hanya dikhususkan bagi desa tertinggal.
Kota yogyakarta sebenarnya memiliki penduduk miskin cukup banyak, tetapi
dengan distribusi tersebar di empat belas kecamatan di Kota Yogyakarta. Selain itu
Kota Yogyakarta adalah satu-satunya daerah perkotaan di Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan satu wilayah konsentrasi selama satu periode (3-5 tahun)
pelaksanaan PPWT.
Kecamatan Gedongtengen merupakan salah satu wilayah di pusat kota yang
memenuhi kriteria dari Kerangka Pembangunan Strategis (KPS) sehingga terpilih
25
menjadi wilayah konsentrasi PPWT pada tahun anggaran 1994/1995 s/d 1996/1997,
sedangkan Kecamatan Umbulharjo merupakan salah satu wilayah yang berbatasan
dengan Kabupaten Bantul dan merupakan daerah tumbuh kembang cepat Kota
Yogyakarta, sesuai kriteria pada Kerangka Pembangunan Strategis (KPS) sehingga
terpilih menjadi wilayah konsentrasi pada tahun 1997/1998 s/d 1999/2000.
Dari kedua kecamatan tersebut setelah dilakukan pendataan yang dilakukan
oleh penulis dengan snow ball sampling di lapangan, terdata sebanyak 300 orang
penerima manfaat PPWT kemudian setelah didatangi untuk diberikan angket ternyata
hanya dapat ditemui 170 orang penerima manfaat PPWT, akhirnya dipilih secara acak
dari masing-masing kegiatan sehingga ada sebanyak 100 penerima manfaat pada
kedua kecamatan untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini.
2. Proses Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini digunakan cara-cara sebagai berikut:
Survey, dengan pendekatan kualitatif didukung dengan kuantitatif, dengan
cara ini dikumpulkan data dari masyarakat yang terkena langsung PPWT dengan
memberikan angket pada penerima manfaat dari program ini di Kecamatan
Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. Dalam tahap ini
penulis berusaha mengumpulkan data responden dari instansi pelaksana ataupun
penanggung jawab kegiatan, tetapi ternyata data penerima manfaat tidak diperoleh
akhirnya penulis terjun ke lapangan dan berhasil mengumpulkan 300 nama penerima
manfaat yang didapatkan secara snow ball sampling, hal ini disebabkan keterbatasan
penulis dalam mengumpulkan data tersebut, setelah penulis memperoleh data maka
26
dilanjutkan dengan memberikan angket, ternyata yang dapat ditemui oleh penulis
hanyalah sejumlah 170 responden pada kedua kecamatan tersebut.
Grounded Research, merupakan pendekatan kualitatif dengan wawancara
bebas kepada tokoh masyarakat, Lurah, Kepala Seksi Pembangunan Masyarakat
Desa, Camat dan Instansi pelaksana atau penangung jawab di Kota Yogyakarta serta
100 responden dari masyarakat penerima manfaat PPWT yang dapat mewakili
masing-masing kegiatan serta adanya suatu kemauan untuk dilakukan wawancara
secara mendalam agar dapat memperoleh jawaban lebih mendalam berkaitan dengan
data dari para penerima manfaat program ini dengan tidak lupa melihat dan
mencermati catatan serta dokumentasi lainnya yang ada di Kecamatan hingga ke
tingkat Pemerintah Kota Yogyakarta.
Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dari catatan di Kecamatan
hingga ke instansi pelaksana atau penanggung jawab kegiatan di Pemerintah Kota
Yogyakarta.
3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini setelah melalui survey dengan pendekatan kualitatif
didukung kuantitatif dan akan ditindaklanjuti dengan melakukan Grounded Research
kepada berbagai pihak, diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam data hasil
survey yang telah dilakukan. Pendekatan ini dipergunakan dengan berbagai
pertimbangan, antara lain:
1. Apabila diketemukan adanya kenyataan ganda maka dengan metode kualitatif hal
tersebut akan lebih mudah untuk dilakukan penyesuaian.
27
2. Seacara langsung metode ini akan menyajikan hakikat hubungan atara peneliti
dengan responden.
3. Lebih peka dan mudah menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh
bersama pola-pola nilai yang dihadapi.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 1999 s/d Desember 2001, karena
pada bulan Desember 1999 tersebut telah masuk pada triwulan keempat pelaksanaan
Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPWT) di Kecamatan Umbulharjo Kota
Yogyakarta yang merupakan pelaksanaan tahun ketiga dari suatu paket program
selama tiga tahun, dan dilakukan pengamatan pada masa setelah program ini berjalan
di dua kecamatan, tetapi pemantauan awal di lokasi penelitian telah penulis lakukan
sejak bulan Juli 1999.