BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian taklid...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemahaman manusia terhadap makna agama menentukan sikap terhadapnya. Bagi para pemeluk agama yang berusaha taat, agama adalah jalan hidup yang menjadi acuan segala tindakan. Seorang yang memaknai agama sebagai ‘sesuatu yang adanya hanya berdasarkan keyakinan’ saja, melahirkan pemahaman agama yang taklid. Agama disikapi sebagai suatu prinsip yang tidak perlu diperdebatkan dan cukup diyakini saja. Sehingga, sikap mereka dalam berkehidupan (agama) cenderung tertutup (eksklusif). Sebaliknya, seseorang yang mempunyai pandangan bahwa, agama sebagai jalan hidup yang dinamis harus dimaknai secara kontekstual. Agama dihadirkan sebagai suatu ‘paket’ produk yang keberadaannya tidak lepas dari campur tangan manusia sehingga layak untuk dipertanyakan. Disisi lain, pesan kebijaksanaan yang melekat pada agama dinilai beberapa kalangan sebagai suatu ‘kerumitan yang tidak menemukan titik kepastian. Kebenaran yang dibawa agama tidak memberikan kejelasan ‘bukti terkait asal-usulnya. Sehingga, orang-orang yang mempunyai pemahaman demikian melahirkan sikap penolakan akan kebenaran agama. Pemahaman mereka tentang kebenaran menegasikan kebijaksanaan yang dibawa oleh agama. Pemaknaan terhadap agama demikian melahirkan pengamalan dan sikap terhadap agama yang beragam pula. Contoh sikap yang didasarkan pada pemahaman terhadap makna agama dapat diangkat pada berbagai periode zaman. Pada zaman modern misalnya; corak

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian taklid...

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pemahaman manusia terhadap makna agama menentukan sikap terhadapnya.

Bagi para pemeluk agama yang berusaha taat, agama adalah jalan hidup yang menjadi

acuan segala tindakan. Seorang yang memaknai agama sebagai ‘sesuatu yang adanya

hanya berdasarkan keyakinan’ saja, melahirkan pemahaman agama yang taklid.

Agama disikapi sebagai suatu prinsip yang tidak perlu diperdebatkan dan cukup

diyakini saja. Sehingga, sikap mereka dalam berkehidupan (agama) cenderung

tertutup (eksklusif). Sebaliknya, seseorang yang mempunyai pandangan bahwa,

agama sebagai jalan hidup yang dinamis harus dimaknai secara kontekstual. Agama

dihadirkan sebagai suatu ‘paket’ produk yang keberadaannya tidak lepas dari campur

tangan manusia sehingga layak untuk dipertanyakan. Disisi lain, pesan kebijaksanaan

yang melekat pada agama dinilai beberapa kalangan sebagai suatu ‘kerumitan yang

tidak menemukan titik kepastian. Kebenaran yang dibawa agama tidak memberikan

kejelasan ‘bukti terkait asal-usulnya. Sehingga, orang-orang yang mempunyai

pemahaman demikian melahirkan sikap penolakan akan kebenaran agama.

Pemahaman mereka tentang kebenaran menegasikan kebijaksanaan yang dibawa oleh

agama. Pemaknaan terhadap agama demikian melahirkan pengamalan dan sikap

terhadap agama yang beragam pula.

Contoh sikap yang didasarkan pada pemahaman terhadap makna agama

dapat diangkat pada berbagai periode zaman. Pada zaman modern misalnya; corak

2

pandang hidup di zaman modern adalah bertumpu pada rasio. Agama sebagai ‘wadah

untuk kehidupan yang secara gamblang ditimbang secara rasional. Secara spesifik

bagi kaum intelektual zaman modern, segala sesuatu yang misterius tidak lain adalah

ketidaktahuan manusia sehingga harus dibuktikan secara positivistik. Padahal,

sejatinya setiap agama tentunya mengandung nilai-nilai yang bersifat ortodoks

(sakral) yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh nalar (rasio).

Franz Magnis-Suseno (2006: 53) mengatakan, bagi kaum modern yang

mengagungkan rasio, agama seluruhnya harus dapat dimengerti oleh nalar. Sehingga,

agama direduksikan menjadi ajaran moral, suatu lembaga untuk membuat manusia

bertindak beradab. Takhta rasionalitas dan makna tidak lagi milik Allah melainkan

rasio dan kehendak manusia itulah yang menjadi titik fokus kesatuan dan arti (Wora,

2006: 55). Agama bagi kaum modern tidak lain adalah alat untuk suatu tujuan

tertentu dan melepaskan makna agama sebagai suatu yang integral dalam kehidupan.

Modernisme kemudian berkembang dan memuncak dengan lahirnya

saintisme pada perumusan perkembangan budaya manusia melalui konsep

positivisme yang dikembangkan Auguste Comte. Perumusan tersebut terdiri atas tiga

tingkatan; pertama mitos-agama, kemudian tingkatan kedua yaitu filsafat dan

tingkatan ketiga adalah positivistik. Atau dalam bahasa Magnis-Susno (2006: 56)

yaitu hokum tiga tahap. Tiga tahap yang bersifat hirarkis ini menurut Comte yang

menggerakkan peradaban umat manusia.

3

Pola pemikiran yang digagas oleh Auguste Comte ini menjadi peletak dasar

perkembangan ilmu pengetahuan yang diikuti dan terus dikembangkan oleh para

intelektual/ilmuwan zaman modern. Mitos dan agama yang dianut masyarakat

dianggap sebagai tahapan perkembangan kebudayaan manusia yang paling awal. Jadi,

menurut Comte, cara berfikir manusia, juga masyarakat di mana pun akan mencapai

puncaknya pada tahap positif, setelah melampui tahap theologik dan metafisik

(Wibisono, 6). Tahapan positivistik yang menurutnya puncak kebudayaan manusia

dan dapat dipertanggungjawabkan.

Peneliti memandang, dalam pola yang dikemukakan Comte tersebut terdapat

kekeliruan. Hal ini disebabkan oleh pencampuran atara mitos dengan agama. Agama

dinilai Comte adalah suatu yang setara dengan mitos. Padahal, dalam peranan

perkembangan ilmu, keduanya an sich berbeda. Agama justru memungkinkan

pendekatan ilmiah karena, dengan membedakan antara Tuhan dan alam dunia, agama

memungkinkan pendekatan duniawi (Magniz-Suseno, 2006: 63). Hal inilah yang

melatarbelakangi sikap orang modern terhadap kebenaran (dalam) agama secara

skeptis dan cenderung atheis.

Di zaman pra-modern (dimana semua agama-agama besar dunia dapat

ditemukan di zaman ini), sikap masyarakat yang mempunyai corak pemikiran

Postmodern, yang secara sistemtatis digagas oleh Jean Francois Lyotard

memposisikan agama dalam pandangannya juga tidak kalah cerobohnya. Konsepsi

individual yang memandang makna kebenaran didasarkan pada konteksnya masing-

4

masing membuat universalitas dalam agama gugur. Dalam postmodernisme, segala

grand narrative (narasi besar)-jalur strategi intelektual yang mengklaim bahwa ada

prinsip-prinsip kebenaran, kesejahteraan, makna kehidupan, dan moral yang bersifat

universal- ditolak dan diganti dengan narasi-narasi kecil, dengan nilai-nilai mitos,

spiritual, dan ideologinya yang spesifik (Haber, 1994: 4).

Postmodernisme yang proyek besarnya lahir sebagai kritik terhadap

pemikiran corak modern menyamakan universalitas kebenaran rasio yang dianut oleh

kaum modern dengan konsepsi kebenaran universal yang terdapat dalam keyakinan

umat beragama. Sehingga masyarakat dengan corak pemikiran Postmodern meyakini

kebenaran yang pada kenyataannya adalah bersifat plural. Tidak ada kebenaran

universal. Keyakinan akan pluralitas kebenaran kemudian akan melahirkan

pemahaman makna hidup yang partikular. Corak pemikiran demikian-lah yang

kemudian melahirkan pemahaman akan realitas dan makna hidup yang bermasalah.

Kaum perenial berpendapat, pluralitas postmodernisme adalah sebuah

pluralitas yang simpang siur, liar dan tak beraturan, serta penuh kontradiksi. Dalam

pluralitas postmodernisme, tidak ada saling keterkaitan di antara unsur-unsur

pluralitas tersebut (Wora, 2006: 105). Dengan penolakan konsep universalitas ala

Lyotard tersebut secara otomatis juga menafikan pembahasan yang masuk pada ranah

metafisika. Keyakinan akan adanya realitas dibalik realitas yang tampak dalam

kajian metafisika menjadi nihil. Begitupun dalam memahami agama, Tuhan yang

terdapat dalam keyakinan umat beragama menjadi tidak terbaca, baik itu Tuhan yang

5

bersifat personal (transendent), dan bahkan Tuhan yang diyakini adanya sebagai

realitas yang impersonal (immanent). Faktor demikianlah yang menggeser hakikat

agama dan pada saat yang sama mencabut rasa religiusitas di zaman ini.

Realitas dalam pandangan modern dan postmodern adalah bersifat bineritas;

modern dengan corak rasio yang bersifat universal, dan postmodernisme mengakui

kebenaran yang bersifat plural, pada posisi tersebut kaum perennial menjadi sintesa

dari keduanya. Perenialisme mengakui kebenaran yang plural sekaligus terdapat

unsur yang bersifat universal. Pluralitas perenialisme adalah sebuah pluralitas

terintegrasi (Wora, 2006: 112). Realitas dipandang sebagai suatu yang bersifat plural

juga saling terkait satu sama lain. Jadi, pandangan terhadap realitas itu boleh berbeda-

beda, namun realitas itu sendiri Cuma satu, dan menyeluruh (Wora, 2006: 114).

Adalah Frithjof Schuon sebagai salah satu tokoh religio Perennis yang

beranggapan bahwa, salah satu penyelewenangan yang secara tidak langsung

diwariskan Renaissance kepada kehidupan modern adalah kebingungan sekitar agama

dan tanah air dalam kultus sentimental ‘humanisme’ (Schuon, 2002: 35). Menurut

Schuon, realitas pada hakikatnya adalah satu. Pemahaman akan realitas yang hakiki

tersebut adalah ditempuh dengan jalan intuisi. Namun demikian, meskipun

pemahaman realitas didasarkan atas pengalaman intuisi yang bersifat personal,

pengenalan akan dasar-dasar tentang realitas tersebut adalah dengan jalan agama.

Agama adalah metode yang tidak dapat ditinggalkan untuk memahami hakikat

realitas.

6

Frijhtof Schuon hadir dengan corak filsafat perennial juga religius. Schuon

adalah pemikir Muslim kontemporer penganjur pluralisme religius (M. Legenhausen,

2010: 51). Meskipun ia mengakui perbedaan berupa pluralitas kebenaran yang

terdapat dalam setiap agama, namun ia juga mengharuskan seseorang yang ingin

memahami realitas sejati dengan mengikuti satu jalan (bentuk) melalui agama

tertentu, meskipun pada akhirnya akan berakhir pada muara yang sama, yaitu hakikat

kebenaran. Menurut Schuon, agama Islam, Kristen, Yahudi dan lain-lain adalah

hanya sebuah bentuk. Agama, merupakan jalan-jalan yang dapat mencapai

pemahaman akan realitas sejati, yaitu Tuhan. Bagi Schuon, inti agama ditemukan

dalam realitas transenden (Smith, 2003: xxi). Hal inilah yang menarik peneliti untuk

mengkaji pemikiran Schuon, tentang hakikat agama: adalah bentuk dan Tuhan adalah

esensi merupakan pendekatan yang baru dalam ulasan teologis-filosofis. Selain itu,

masih jarangnya penelitian yang mengangkat Frithjof Schuon sebagai tokoh kajian

menjadi alasan tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji pemikirannya.

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan tiga masalah kajian

dalam penelitian ini. Rumusan masalah tersebut, yaitu:

1. Apa makna agama dalam perspektif filsafat agama?

2. Apa pandangan Frithjof Schuon tentang makna agama?

3. Apa relevansi Pemikiran Frithjof Schuon dengan pluralitas agama di

Indonesia?

7

C. Keaslian Penelitian

Peneliti telah melakukan telaah atas berbagai karya baik berupa buku-buku

ilmiah, skripsi, tesis, jurnal, ataupun sumber ilmuah lain, dan berpendapat belum ada

kajian pemikiran Frithjof Scoun dalam pespektif filsafat agama di lingkungan

Universitas Gadjah Mada. Meskipun banyak pemikir, ahli sejarah dan perbandingan

agama sering memakai pola pemikiran yang dikembangkan Schuon sebagai landasan

atau dasar dalam teori/konsep mereka, namun belum ada yang mengkaji pemikiran

Schuon dengan tema demikian secara sistematis.

Peneliti beranggapan, ada beberapa literatur yang relevan dan dapat

mendukung penelitian ini baik yang didapat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah

Mada dan berbagai penelitian di beberapa lingkungan akademik lainnya . Berikut

ulasan singkat terkait penelitian tersebut. Pertama, Metafisika Frithjof Schuon, adalah

skripsi yang disusun oleh Guruh Salafi pada tahun 2004. Guruh Salafi menjelaskan

dalam skripsinya tersebut pengertian dan konsep matafisika secara umum dalam

pandangan Fritjhof Schuon.

Kedua, Laporan Penelitian (LAPEN) yang berjudul Filsafat Agama yang

disusun oleh Mustofa Anshori Lidinillah pada tahun 2007. Dalam tulisan tersebut,

Mustofa Anshori tidak menyinggung pemikiran Frithjof Schuon, ia hanya mengulas

pengertian filsafat agama sebagai metode untuk memahami agama secara filosofis.

Ketiga, Disertasi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

tahun 2011 berjudul Pluralitas Agama: Studi Komparatif Pemikiran Frithjof Schuon

8

dan Nurcholish Madjid. Disertasi yang disusun oleh Ngainun Naim ini mengkaji

pemikiran spiritual subjektif Frithjof Schuon yang kemudian ditarik Naim dalam

rangka menjawab problem konflik agama di Indonesia. Naim membandingkan

pemikiran agama Frithjof Schuon yang bertitik tolak pada pengalaman agama yang

bersifat personal dengan pemikiran sosial agama yang dikemukakan oleh Nurcholish

Madjid. Naim berpendapat bahwa terdapat keselarasan pemikiran kedua tokoh

tersebut dalam menjawab problem pluralitas agama di Indonesia yang masih sering

muncul. Hasilnya, pluralitas agama di Indonesia dinilai tidak menjadi penghalang

untuk kelangsungan dalam berkehidupan di Indonesia.

Keempat, penelitian Disertasi tahun 2012 oleh Dinar Dewi Kania yang

berjudul Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed

Muhammad Nuqaib al-Attas di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor. Dinar dalam

penelitian ini mengulas konsep epistemologi yang menjadi landasan dalam Frithjof

Schuon. Dinar mengemukakan bahwa, intuisi yang dikembangkan Schuon telah

membuka cakrawala pemikirannya yang lebih luas. Epistemologi dalam corak intuisi

Schuon merupakan suatu tawaran perspektif dalam menghadapi krisis kebijaksanaan

di abad modern. Berdasarkan hasil telaah peneliti terhadap berbagai karya yang

relevan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

ada penelitian yang sama dengan akan akan disusun peneliti, baik dalam pemikiran

Frithcjof Schuon ataupun konsep eksoterisme dan esoterisme dalam perspektif

filsafat agama.

9

D. Manfaat Penelitian

Penelitian pemikiran dalam filsafat agama dengan tokoh Frithjof Schuon ini

diharapkan dapat membawa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

wawasan dan khazanah keilmuan filosofis terkait makna dan

pengahayatan agama. Penelitian ini bisa membawa manfaat bagi kaum

intelektual dan akademisi di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta secara khusus, maupun bagi bangsa dan Negara

secara umum untuk bersikap ilmiah, religius dan bijaksana dalam

berbagai segi kehidupan

2. Manfaat Praktis

1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep esoterisme dan eksoterisme

Frithjof Schuon dalam penghayatan agama.

2. Sebagai tambahan pengetahuan/perspektif untuk mendukung

pembangunan karakter bangsa Indonesia.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Menjabarkan dan menganalisis makna agama dalam perspektif filsafat

agama.

10

2. Menjabarkan, menganalisis, dan menginterpretasikan makna agama

dalam pemikiran Fitjhof Schoun dalam perspektif Filsafat Agama.

3. Kontekstualisasi konsep atau makna agama dalam pandangan Frithjof

Shuon dengan pluralitas agama di Indonesia.

F. Tinjauan Pustaka

Peneliti telah melakukan tela’ah terhadap karya-karya yang terbatas,

beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini antara lain adalah karya Frithjof

Schuon sendiri, yaitu, “The Transcendent Unity of Religions” (1975) yang

dialihbahasakan oleh Saafroedin Bahar menjadi Mencari Titik Temu Agama-agama.

Pembahasan makna agama dalam buku ini cukup komprehensif. Schuon memaparkan

dasar-dasar filosofis dalam pemikirannya, antara lain tentang metafisika dan

kebenaran, dan pegertian agama-agama besar dunia. Dimensi-dimensi filosofis

tersebut kemudian diulas kembali oleh Schuon dalam karya selanjutnya, “Islam and

The Perennial Philosophy” (1976) yang dialihbahasakan oleh Rahmani Astuti

menjadi Islam dan Filsafat Perenial. Pembahasan tentang keragaman agama yang

merupakan manifestasi dari Tuhan (yang satu) juga terdapat dalam buku ini, hanya

saja, penjelasan tentang agama Islam mendapat porsi yang lebih banyak.

Berbeda dengan kedua buku di atas, karya Schuon yang berjudul “The

Transfiguration of Man” (1995) yang diterjemahkan oleh Fakhruddin Faiz menjadi

Transfigurasi Manusia: Refleksi Antrosophia Perennialis (2002) mengulas

11

perkembangan manusia berkaitan dengan agama. Selain itu, agama-agama besar

dalam buku itu diulas dari garis sejarah lahirnya.

Pandangan Frithjof Schuon tentang agama sebagaimana yang didiskripsikan

di atas, pernah diulas oleh Komar dalam kajian tesisnya yang berjudul Konsep

Kesatuan Transenden sebagai Salah Satu Solusi Konflik Atas Nama Agama:

Perspektif Filsafat Perennial Frithjof Schuon tahun 2007. Dalam kajian tersebut,

Komar (2007: iv) mengatakan bentuk agama-agama yang dimaksud Frithjof Schuon

adalah dalam dimensi eksoteris yang bersifat relatif, namun di dalamnya terkandung

muatan substansi yang sama dan mutlak pada dimensi esoteris. Inilah yang disebut

dengan kesatuan transenden agama-agama. Dalam kajiannya tersebut, Komar

berpendapat bahwa pemikiran Frithjof Schuon tersebut sangat relevan untuk

dijadikan pintu masuk dialog antar umat beragama.

Ngainun Naim dalam disertasinya yang berjudul Pluralitas Agama: Studi

Komparatif Pemikiran Frithjof Schuon dan Nurcholish Madjid (2011) mempunyai

harapan yang sama akan terciptanya pluralitas agama melalui dialog antar agama.

Konsep eksoterisme dan esoterisme yang dikemukakan Frithjof Schuon menurut

Naim adalah keniscayaan. Keragaman agama-agama adalah kenyataan yang harus

dihormati (Naim, 2011: x). Riset kepustakaan yang diterapkan Naim dalam

penelitiannya ini adalah dengan metode historis, komparatif, deskriptif-analisis dan

sintesis (Naim, 2011: 30-33).

12

Nurcholish Madjid dalam Pengantar untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan

(1990:xxvii) menarik konsep tersebut kerana yang lebih praktis, ia menghimbau

kaum inklusif (Muslim) diperintahkan untuk membuka diri dan mengajak kaum ahli

kitab menuju ke “pokok-pokok kesamaan”, yaitu menuju ke ajaran Ketuhanan Yang

Maha Esa (Monoteisme, tawhid). Dengan mengutip N.J. Woly (1998), Nurcholish

Madjid memetakan perlunya dialog antar agama untuk memperjernih makna agama

dalam tiga sikap dialog berikut:

Pertama, sikap yang ekslkusif dalam melihat agama lain.

Kedua, sikap inklusif dengan memandang agama-agama lain adalah bentuk

implisit agama yang dianut.

Ketiga, sikap pluralis dalam pengertian, memandang agama-agama lain

adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama. Agama-

agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama.

Adapun beberapa karya lain yang cukup relevan dalam penelitian ini

diantaranya: Budhy Munawwar-Rachman (2010: 690) dalam buku Reorientasi

Pembaruan Islam;Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Barus Islam

Indoneia memberikan pandangan makna agama terkait eksoterisme dan esoterisme.

Dalam buku tersebut Budhy mengungkapkan; Eksoteris adalah kebenaran dalam

partikulasi agama-agama yang berbeda sedangkan esoteris adalah kebenaran agama

yang bersifat ebsolut. Akan tetapi keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi

satusama lain.

13

Pentingnya perbincangan bentuk (eksoterik) dan esensi (esoterik) dalam

agama juga ditegaskan oleh Eric J. Sharpe (1975: 253) dengan tiga poin berikut:

1. Meningkatkan pengetahuan yang lebih baik antara pemeluk agama dan

tradisi.

2. Menegaskan unsur-unsur yang universal di semua agama.

3. Membangkitkan keyakinan bahwa agama-agama mempunyai tanggung

jawab besar untuk bekerja sama menyebarkan moralitas di dunia.

Beragam bentuk agama (eksoterik) yang bersifat manifestasi dari ‘yang

hakikat’ dipandang berbeda oleh George A. Lindleck (1985: 16) yang dikutip oleh

Emanuel Wora (2006: 107-109) dalam buku Perenialisme: Kritik atas Modernisme

dan Postmodernisme. George A. Lindleck memandang bahwa pentingnya rekonsiliasi

doktrin untuk memahami permasalahan mengenai agama. Ragamnya bentuk agama

dipandang Goerge sebagai ekspresi rasa dan skema interpretatif-komprehensif yang

biasanya terkandung di dalam mitos atau cerita yang kemudian diritualkan. Bentuk

agama yang identik dengan doktrin-doktrinnya yang kemudian dihadirkan sebagai

produk budaya (seperti layaknya mitos).

Berbeda dengan tokoh-tokoh yang telah diulas di atas, Sigmund Freud

(1927: 30) memandang bahwa kebenaran agama bukanlah kebenaran yang

diwahyukan oleh Tuhan, atau kesimpulan logis yang didasarkan pada bukti ilmiah.

Kebenaran agama adalah kebenaran yang diinginkan oleh pemeluk-pemeluknya.

Kebenaran agama adalah harapan umat manusia yang paling mendesak dan oleh

14

karena itu rahasia kekuatannya adalah harapan akan kebenaran itu sendiri.

Pengalaman (individual) keagamaan bagi Freud tak lain adalah neurosis psikologis

yang akan mengakibatkan neurosis obsesional universal (Freud, 1927: 150).

Buku selanjutnya yaitu Tren Pluralisme Agama yang disusun oleh Anis

Malik Thoha (2005). Sebagai pemikir/ahli tentang agama, Anis Malik (2005:266)

memandang berbeda terkait penggalian hakikat agama secara filosofis. Menurutnya,

pendekatan filosofis terhadap agama (khususnya yang dikemukakan John Hick)

adalah gagasan yang meredusir dan meminggirkan peran agama. Namun demikian,

meskipun kritik yang dikemukakan Anis Malik cukup ketat dan kritis, pada karyanya

tersebut, Anis Malik tidak memaparkan secara jelas terkait konsep pengganti dalam

mengelola pluralitas agama yang ada. Ia hanya menghimbau kepada umat Muslim

dalam menyikapi pluralitas yang ada dengan bertumpu pada penegasan jati diri atau

identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan

terhadap peran agama yang meliputi kehidupan manusia.

Dalam karyanya tersebut, Anis menegasikan konsep yang dibawa melalui

pendekatan ilmu (sejarah, antropologi, budaya dll.), filsafat dan perenial dalam

meneropong agama, namun hal ini tidak diafirmasi lebih lanjut dengan menghadirkan

konsep pengganti.

Peneliti memandang perlunya memperkaya perspektif dalam melihat

pemaknaan hakikat agama. Oleh karena itu, peneliti juga menghadirkan pandangan

berbeda terkait pendekatan filosofis dalam melihat agama. Hal ini dilakukan dengan

15

harapan terjadinya dialektika perspektif dalam melihat dan kemudian menganalisis

konsep-konsep terkait objek material dan objek formal dalam penelitian ini agar dapat

mendapatkan makna yang jelas dan komprehensif.

G. Landasan Teori

Peneliti mengangkat pemikiran tokoh Frithjof Schuon tentang Hakikat

agama dalam perspektif filsafat agama. Objek formal ini dimaksudkan untuk

menjernihkan makna agama yang terkadang masih menjadi masalah.

Perbincangan filsafat agama tentang hakikat agama adalah penggalian

bentuk dan hakikat agama. Frithjof Schuon, dalam buku Mencari Titik Temu Agama-

agama (1975: 77) sebagai objek material dalam penelitian ini mengatakan: Agama

adalah “bentuk” dari “jiwa”. Agama dianggap sebagai sesuatu yang bersifat esensi

dan termanifestasi menjadi bentuk-bentuk agama tertentu. Huston Smith (1975: 11),

selaku Pengantar dalam buku tersebut berpendapat semua agama hanya berbeda

dalam bentuknya saja yaitu pada ranah. Meskipun kesatuan absolut, yaitu Tuhan,

tidak dapat dilukiskan atau bahkan dijelaskan secara tepat, akan tetapi penjelasan

seperti itu tetap diperlukan.

Seyyed Hossein Nasr (1975: 8) dengan memakai istilah yang sering

digunakan Frithjof Schuon; religio perennis atau religio cordis adalah dengan

menggabungkan wawasan metafisika dengan pengetahuan yang luas mengenai

berbagai agama dalam aspek doktrinal, etika dan artistik. Pemahaman akan suatu

16

bentuk, yaitu agama akan mengantarkan manusia pada pemahaman yang hakiki.

Menurut Nasr, religio perenis adalah penjelasan tentang aspek-aspek yang lebih

dalam dari tradisi-tradisi (khususnya yang berkaitan dengan agama) dengan bahasa

yang dapat dimengerti secara murni sekaligus setia kepada kebenaran Kekal.

Filsafat agama mempunyai orientasi penggalian makna hakikat dari setiap

agama. Wilfred Cantwell Smith dalam The Meaning and The End of Religion (1962:

17) menyatakan perlunya mengkaji ulang terminologi agama. Menurut Smith,

terminologi agama sangat problematik, ambigu, kontroversial yang mengundang

polemik tak berujung dan tidak dapat dikenali di alam nyata. Sehingga menurut

Smith, pentingnya pengkajian ulang atas terminologi agama baik secara historis

maupun filosofis (filsafat agama).

Whitehead memandang agama sebagai entitas yang terus berproses.

Menurutnya, agama selalu dalam ‘proses menjadi’ dan proses situ tidak akan pernah

selesai dan tidak dapat didefinisikan dalam konteks das sein (Religion as it is)

melainkan lebih pada agama sebagai das sollen (“religion as it should be”)

(Whitehead, 2009: 33).

Muhammad Iqbal (1966:4) berpendapat terkait perbincangan filsafat tentang

hakikat agama, menurutnya, filsafat (agama) diharapkan tidak menempatkan agama

lebih rendah dari pada ilmu-ilmu lain. Agama bukanlah bagian dari masalah

kehidupan manusia, bukan hanya sekedar pikiran, bukan hanya sekedar tindakan saja,

agama adalah pernyataan manusia yang selengkapnya. Jadi, didalam menilai agama,

17

filsafat mesti mengakui posisi agama yang asasi, dan tidak menganggap agama

sebagai alternatif lain dalam proses pemikiran yang sintesis melainkan harus

menerimanya sebagai suatu sumber kekuatan.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan yang

bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah sehingga dapat

mencapai hasil yang optimal (Anton H. Barkker: 1986, 6). Adapun metode dalam

penelitian ini dilalui dengan penentuan tiga tahap berikut:

1. Bahan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan berdasarkan dua

macam bahan yakni pustaka utama dan pustaka sekunder. Pustaka utama terdiri atas

karya-karya Frithjof Schuon, sedangkan pustaka sekunder merupakan materi yang

bersumber dari berbagai buku, jurnal, artikel dan tulisan lain, yang terkait dengan

tema penelitian ini.

a. Pustaka utama:

i. “Islam and The Perennial Philosophy” (1976) dialihbahasakan oleh

Rahmani Astuti menjadi Islam dan Filsafat Perenial (Bandung: Mizan,

1993).

ii. “Esoterism as Principle and as Way” (1978).

18

iii. “The Transfiguration of Man” (1990) dialihbahasakan oleh Fakhruddin

Faiz menjadi Transfigurasi Manusia (Yogyakarta: Qalam, 2002).

iv. “The Transcendent Unity of Religions (1945). Dialihbahasakan oleh

Saafroedin Bahar menjadi Mencari Titik Temu Agama-agama (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2003).

v. Ringkasan Metafisika yang Integral dalam Ahmad Norma Permata (ed.),

Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

1996).

b. Pustaka sekunder:

i. Aymard, Jean-Baptiste dan Laude, Patrick, 2005, Frithjof Schuon; Life

and Teachings, Suhail Academy Lahore, Pakistan.

ii. Magniz-Suseno, Franz, 2006, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta.

iii. Nasr, Seyyed Hossein, 1975, Kata Pengantar dalam Frithjof Schuon,

1993, Islam dan Filsafat Perenial, Mizan, Bandung.

iv. Smith, Huston, 1973, Kata Pengantar dalam Frijhtof Schuon, 1994,

Mencari Titik Temu Agama-agama, (terj.) Safroedin, 1994, Pustaka

Firdaus, Jakarta.

v. Smith, Huston, 1991, Agama-agama Manusia Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta.

19

vi. Thoha, Anis Malik, 2005, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis,

Perspektif, Jakarta.

2. Jalan Penelitian

Proses penelitian akan dilaksanakan melalui tahapan-tahapan berikut:

i. Pembagian objek kajian. Pembagian ini berdasarkan pada objek formal dan

objek material. Data yang pertama berisi pustaka mengenai filsafat agama.

Data yang kedua terbagi pada dua objek, pertama berisi tentang pustaka

mengenai pemikiran Frithjof Schuon yang terdapat dalam karya-karyanya

yang merupakan sumber primer dan, kedua berupa kajian tokoh yang

berkaitan dengan objek (formal dan material) yang diangkat.

ii. Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis

mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data-data yang

telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab dan

sub-sub bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan

penelitian.

iii. Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan dianalisis oleh peneliti sesuai

dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

iv. Penyajian data, pada tahap ini peneliti akan memaparkan hasil analisis secara

sistematis berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukkan. Penyajian data

20

diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan

sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit.

3. Analisis Penelitian

Analisis data adalah usaha konkrit untuk memberikan interpretasi terhadap

data-data yang telah tersedia. Penelitian ini akan menggunakan analisis kualitatif

karena data-data yang digunakan adalah data kualitatif, serta penjelasannya dalam

bentuk ungkapan-ungkapan dan kalimat. Data dalam penelitian ini akan dianalisis

menggunakan metode Hermeneutika yang terdiri atas tiga unsur metodis; deskriptif,

verstehen dan interpretasi.

i. Deskriptif: konsep-konsep pemikiran filsuf dijabarkan dan

dijelaskan dalam bentuk kalimat penjabaran maupun parafrase,

sehingga dapat dipahami pola pemikiran, paham-paham apa yang

mempengaruhinya dan kemungkinannya mempengaruhi pemikir lain.

ii. Verstehen: data yang telah dikumpulkan akan dipahami karakteristik

masing-masing, kemudian diketahui makna tiap-tiap data.

iii. Interpretasi: pemahaman atas data yang telah diperoleh dan

diketahui maknanya melalui penerjemahan karya filsuf dan

memberikan pandangan penulis atas karya-karya tersebut.

Pembahasaan peneliti atas pemahaman terhadap pemikiran yang

diteliti.

21

I. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dijadwalkan akan berlangsung secara kondisional, dengan dua

pembagian tahap penelitian. Tahap pertama adalah pengumpulan bahan berupa

materi atau data yang terkait dengan penelitian ini. Tahap selanjutnya adalah

penyusunan hasil penelitian sesuai dengan analisis sebagaimana yang telah

dijabarkan pada bagian sebelumnya. Tahap yang terakhir adalah penjabaran

deskriptif-analisis. Tahap ini akan dilengkapi dengan hasil konsultasi atau

bimbingan, revisi dan diskusi dengan pembimbing penelitian, sehingga rumusan

masalah dapat terjawab, dan tujuan penelitian dapat dipenuhi.

J. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini akan dipaparkan sesuai dengan

sistematika berikut:

Bab I, memaparkan penjelasan secara umum penelitian terkait isi penelitian.

Secara berurutan: terdiri atas latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, metode penelitian, jadwal penelitian, dan sistematika

penulisan dalam penelitian.

Bab II, berisi paparan tentang filsafat agama: terdiri dari definisi filsafat

agama, ruang lingkup filsafat agama, hubungan filsafat agama dan

pengertian/hakikat agama, dan persoalan-persoalan yang menjadi kajian dalam

Filsafat Agama.

22

Bab III, berisi biografi Frithjof Schuon. Pada bagian ini akan dijabarkan

secara garis besar karya-karya, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran, pokok

pemikiran, paradigma dan orientasi pemikiran Frithjof Schuon.

Bab IV, memaparkan hasil analisis atas pemikiran Frithjof Schuon tentang

makna agama. Pada bab ini akan dijelaskan makna agama berupa hakikat dan bentuk

dalam pandangan Frithjof Schuon. Hakikat dan bentuk dalam bahasa Frithjof Schuon

adalah Esoterisme dan Eksoterisme dalam pengahatan agama. Urutan penyusunan

hasil analisis penelitian ini adalah analisis filosofis terkait sikap Frithjof Schuon

terhadap keberagaman agama, pengertian istilah dan batasan-batasan Eksoterisme.

Dalam bab ini juga akan dijelaskan Konsep Esoterisme dalam pandangan Frithjof

Schuon, meliputi pengertian esoterisme dan konsep universalitas dalam agama-

agama.

Bab V, berisi kontribusi pemikiran Frithjof Schuon tentang hakikat agama.

Kontribusi tersebut dijabarkan dalam poin-poin berikut, pertama, dijelaskan terlebih

dahulu agama-agama yang terdapat di Indonesia. Kedua, pemaparan bentuk

penghayatan (Religious Experience) masyarakat Indonesia terhadap agama yang

dianut. Ketiga, analisis peneliti berupa pertautan hakikat agama dalam pandangan

Frithjof Schuon dengan pluralitas agama di Indonesia.

Bab VI, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan umum dari

semua bab, dan pengusulan beberapa saran dari peneliti.