BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik multisistem dengan ciri hiperglikemik akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (American Diabetes Association, 2012). Secara garis besar, kondisi DM dibagi menjadi dua yaitu DM tipe 1 (tergantung insulin) dan DM tipe 2 (tidak tergantung insulin). Tipe diabetes yang banyak dialami adalah non-insulin dependent diabetes melitus (NIDDM /tipe 2). Adanya kegagalan sekresi insulin oleh sel beta pankreas sehingga menyebabkan defisiensi insulin di tingkat perifer, resistensi insulin dan peningkatan produksi glukosa di hepar menjadi penyebab terjadinya diabetes melitus tipe 2 ini. Peningkatan glukosa darah postprandial merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit diabetes, dimana dikatakan diabetes jika hasil pemeriksaan kadar glukosa darahnya 200 mg/dl (11,1 mmol/L) (American Diabetes Association, 2008). Kondisi resistensi ataupun defisiensi insulin akan memberikan dampak besar terhadap regulasi glukosa dalam kaitannya dengan translokasi GLUT-4. Protein GLUT-4 merupakan transporter yang berperan dalam mengangkut glukosa ke dalam sel otot rangka. Protein GLUT-4 akan ditranslokasikan ke permukaan membran sel otot rangka setelah adanya rangsangan sinyal dari insulin yang menempel pada reseptor insulin di otot (Lauritze dan Schetzer, 2010). Sehingga apabila terjadi resistensi ataupun defisiensi insulin maka translokasi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik multisistem

dengan ciri hiperglikemik akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya (American Diabetes Association, 2012). Secara garis besar, kondisi

DM dibagi menjadi dua yaitu DM tipe 1 (tergantung insulin) dan DM tipe 2 (tidak

tergantung insulin). Tipe diabetes yang banyak dialami adalah non-insulin

dependent diabetes melitus (NIDDM /tipe 2). Adanya kegagalan sekresi insulin

oleh sel beta pankreas sehingga menyebabkan defisiensi insulin di tingkat perifer,

resistensi insulin dan peningkatan produksi glukosa di hepar menjadi penyebab

terjadinya diabetes melitus tipe 2 ini. Peningkatan glukosa darah postprandial

merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya

penyakit diabetes, dimana dikatakan diabetes jika hasil pemeriksaan kadar

glukosa darahnya 200 mg/dl (11,1 mmol/L) (American Diabetes Association,

2008).

Kondisi resistensi ataupun defisiensi insulin akan memberikan dampak

besar terhadap regulasi glukosa dalam kaitannya dengan translokasi GLUT-4.

Protein GLUT-4 merupakan transporter yang berperan dalam mengangkut

glukosa ke dalam sel otot rangka. Protein GLUT-4 akan ditranslokasikan ke

permukaan membran sel otot rangka setelah adanya rangsangan sinyal dari insulin

yang menempel pada reseptor insulin di otot (Lauritze dan Schetzer, 2010).

Sehingga apabila terjadi resistensi ataupun defisiensi insulin maka translokasi

GLUT-4 ke membran sel untuk mengangkut glukosa ke dalam sel baik di otot

lurik, jaringan adiposa maupun di organ hati akan berkurang sehingga terjadi

peningkatan kadar glukosa darah.

Penatalaksanaan diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non

farmakologis, berupa perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani,

dan penurunan berat badan bila terdapat berat badan lebih atau obesitas. Bila

dengan langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes belum tercapai, maka

dilanjutkan dengan penggunaan obat atau terapi farmakologis dengan pemberian

obat hipoglikemik oral (OHO). Pada kasus tertentu, dokter akan memberikan

injeksi insulin yang harganya cukup mahal. Penggunaan terapi farmakologis baik

dengan OHO maupun injeksi insulin tidak boleh sembarangan. Hal ini

dikhawatirkan apabila penggunaannya tidak terkontrol, penderita dapat

mengalami hipoglikemik sehingga perlu dicari obat alternatif lain yang

diharapkan memiliki efek sama seperti obat antidiabetik, dengan efek samping

yang minimal (Suyono, 2005). Indonesia memiliki banyak tanaman yang

berkhasiat sebagai bahan obat dan telah digunakan secara turun temurun karena

selain efek sampingnya relatif kecil, harganya juga relatif lebih murah. Salah satu

tanaman obat yang memiliki banyak aktivitas adalah Litsea glutinosa (L.

glutinosa).

Kulit batang L. glutinosa memiliki banyak kandungan fitokimia yang

meliputi alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, fenol, tanin, dan saponin.

Ditemukan juga kandungan asam oleat yang dilaporkan memiliki banyak aktivitas

biologi seperti efek hipotensi (Parikh & Rangrez, 2012). Serta fitoestrogen

sebagai agen osteoprotektif (Parikh, 2009). Ekstrak kulit batang L. glutinosa juga

menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri dan antifungi (Hosamath, 2011). L.

glutinosa juga menunjukkan aktivitas antiinflamasi pada tikus yang dibuat udem

dengan kecepatan respon inhibisi sebesar 46%, 35%, dan 43% (Devi dan Meera,

2010).

Sedangkan penelitian mengenai aktivitas antidiabetik dari L. glutinosa

belum pernah dilakukan tetapi untuk spesies yang lain dari genus Litsea sudah

pernah dilakukan yaitu pada Litsea coreana. Litsea coreana dapat menurunkan

kadar glukosa darah pada tikus yang diinduksi dengan aloksan dan adrenalin

dengan dosis optimal adalah 100 dan 300 mg/kgBB (Lu et al., 2005). Total

flavonoid dari Litsea coreana mampu menurunkan kadar glukosa darah secara

signifikan dengan mekanisme aksi peningkatan sensitivitas insulin melalui

penurunan ekspresi protein tyrosine phosphatase 1B (PTP1B) pada jalur signaling

insulin (Sun, 2010). Hal tersebut didukung dengan penelitian lain dimana

digunakan tikus yang resisten terhadap insulin dan diberikan flavonoid total dari

Litsea coreana, maka terjadi peningkatan sensitivitas insulin pada tikus tersebut

(Lu et al., 2009).

Sehingga dari hasil penelitian-penelitian tersebut mendorong peneliti untuk

melakukan penelitian mengenai aktivitas antidiabetik dari L. glutinosa karena

antara L. glutinosa dan L. coreana masih dalam satu genus yang sama sehingga

kemungkinan besar memiliki aktivitas yang sama. Pada penelitian ini akan dilihat

pengaruh serbuk simplisia kulit batang L. glutinosa terhadap kadar glukosa darah

dan translokasi protein GLUT-4 sebagai transporter glukosa.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pemberian serbuk simplisia kulit batang L. glutinosa dapat

menurunkan kadar glukosa darah postprandial pada tikus diabetes terinduksi

streptozotosin dan nikotinamid ?

2. Apakah pemberian serbuk simplisia kulit batang L. glutinosa dapat

meningkatkan translokasi protein GLUT-4 pada tikus diabetes terinduksi

streptozotosin dan nikotinamid ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian serbuk kulit batang L. glutinosa

terhadap kadar glukosa darah postprandial pada tikus diabetes terinduksi

streptozotosin dan nikotinamid.

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian serbuk kulit batang L. glutinosa

terhadap translokasi protein GLUT-4 pada tikus diabetes terinduksi

streptozotosin dan nikotinamid

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah : memberikan informasi mengenai aktivitas antidiabetik dari

serbuk simplisia kulit batang L. glutinosa dalam menurunkan kadar glukosa

darah postprandial dan peningkatan translokasi protein GLUT-4 pada tikus

terinduksi streptozotosin dan nikotinamid.

2. Manfaat Sosial : sebagai informasi bagi industri farmasi untuk

mengembangkan penelitian mengenai aktivitas antidiabetik pada L. glutinosa

sehingga bisa menjadi salah satu alternatif pilihan untuk pengobatan diabetes

melitus dari bahan alam.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tanaman Litsea glutinosa

Secara taksonomi tanaman L. glutinosa dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Laurales

Family : Lauraceae

Genus : Litsea

Species : Litsea glutinosa (Lour.) C.B. Rob

Nama lain : Litsea chinensis Lamk, Litsea littoralis (L.) Vill., Tetranthera

laurifolia Jacq., Sebifera glutinosa Lour (Ngernsaengsaruay, 2011).

Nama Indonesia : huru batu, huru beusai, huru tangkulak, adem ati, kapu ketek,

nyampu wingka, nyampoh, wuru beling (Jawa), huru tangkalak, madang kapas

(Sunda).

Litsea merupakan salah satu genus terbesar dari famili Lauraceae dan

merupakan spesies penting dalam komponen hutan tropis. Genus ini memiliki

anggota lebih dari 300 spesies yang sebagian besar berada di Asia. Salah satu

spesies dari genus Litsea adalah L. glutinosa. L. glutinosa merupakan tanaman

berkayu dengan ukuran kecil hingga sedang, memiliki tinggi 4-15 m, dan

diameter mencapai 20-30 cm. Kulit batang halus dan berwarna abu-abu atau

coklat keabu-abuan. Daun tersusun spiral dengan bentuk dan ukuran bervariasi,

tetapi secara umum berbentuk oval atau elips, dengan ukuran panjang 10-20 cm

dan lebar 2,5-5 cm. Daun berwarna hijau atau hijau tua dan berubah menjadi

kuning sebelum gugur. Bunga majemuk berbentuk malai, berwarna putih, tangkai

bunga berukuran hingga 1 cm, ramping, berambut halus lebat pada cabang pendek

yang ramping sepanjang hingga 14 mm. Tangkai putik halus, berbentuk corong,

benang sari berjumlah 10-18, ramping dan berbulu. Buah berbentuk bulat dengan

diameter 0,8-1 cm, berwarna hijau tua dengan bintik berwarna putih, dan akan

berubah menjadi ungu tua hingga hitam saat masak. Permukaan buah L. glutinosa

mengkilat, halus dan saat dibuka biasanya akan berbau aromatik. Akar tunggang

dengan warna coklat muda, batangnya bulat dan lurus (Ngernsaengsaruay, 2011).

Tanaman L. glutinosa tersebar di China, India, Nepal, Bhutan, Sri Lanka,

Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Filipina, Papua Nugini, Maluku, Jawa,

Kalimantan, dan Australia. Habitat dari L. glutinosa sangat luas tetapi paling

banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Tanaman L. glutinosa biasanya berbunga

pada bulan Februari-Juli, sedangan masa berbuahnya pada bulan Juni-November

(Ngernsaengsaruay, 2011). Gambar 1 adalah gambar pohon, bunga dan buah dari

L. glutinosa.

Gambar 1. Litsea glutinosa (Lour.) C.B. Robinson : A. Pohon; B. Bunga; C. Buah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Parikh & Rangrez (2012) kulit

batang L. glutinosa memiliki banyak kandungan fitokimia yang meliputi alkaloid,

flavonoid, steroid, triterpenoid, fenol, tanin, dan saponin. Senyawa yang

ditemukan dalam fraksi alkaloid L. glutinosa adalah eicosan, pieprizin, piridin,

tetrahidroisokuinolin, krinamin. Sedangkan di dalam subfraksi dari alkaloidnya

mengandung dikloro asetil fenil piperazin, cinnamolaurin, androsta 1, 4 diena

trion, tetrahidroisokuinolin, asam fluorosinamat, krinamin, dihidroandrosteron,

trimetil dodekana, penta dekana, trikosan, hepta dekana.

A

C

B

Kulit batang L. glutinosa memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan

antifungi, dimana L. glutinosa mampu menghambat bakteri gram positif seperti

Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermis dan bakteri gram negatif

seperti Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi, dan Escheria coli. Sedangkan

untuk aktivitas antifunginya L. glutinosa mampu menghambat pertumbuhan

Candida albicans dan Aspergillus fumigatus (Haque et al., 2014; Hosamath,

2011).

L. glutinosa juga menunjukkan aktivitas antiinflamasi pada tikus yang

dibuat udem dengan kecepatan respon inhibisi sebesar 46%, 35%, dan 43% (Devi

dan Meera, 2010). Selain itu L. glutinosa juga dilaporkan memiliki aktivitas

sebagai aprodisiaka pada tikus jantan dengan peningkatan ejakulasi (Sukh, 2006).

L. glutinosa (Lour.) C.B. Rob merupakan tanaman yang penting baik dari segi

ekonomi, kesehatan, maupun keperluan konservasi. Tanaman ini termasuk etno-

medical dimana dapat digunakan untuk diare, disentri, rematik, dan antispasmodik

(Haque et al., 2014). Selain itu ekstrak kulit batang L. glutinosa berkhasiat

sebagai analgetik (Lohitha, 2010).

Sedangkan penelitian mengenai aktivitas antidiabetik dari L. glutinosa

belum pernah dilakukan tetapi untuk spesies lain dari genus Litsea sudah pernah

dilakukan yaitu pada Litsea coreana. Litsea coreana dapat menurunkan kadar

glukosa darah pada tikus yang diinduksi dengan aloksan dan adrenalin dengan

dosis optimal adalah 100 dan 300 mg/kgBB (Lu et al., 2005). Total flavonoid dari

Litsea coreana mampu menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan dengan

mekanisme aksi peningkatan sensitivitas insulin melalui penurunan translokasi

protein tyrosine phosphatase 1B (PTP1B) pada jalur signaling insulin (Sun,

2010). Hal tersebut didukung dengan penelitian lain dimana digunakan tikus yang

resisten terhadap insulin dan diberikan flavonoid total dari Litsea coreana, maka

terjadi peningkatan sensitivitas insulin pada tikus tersebut (Lu et al., 2009).

2. Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit metabolik multisistem dengan

ciri hiperglikemik akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-

duanya. Kelainan pada sekresi atau kerja insulin tersebut menyebabkan

abnormalitas dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, serta

menyebabkan komplikasi kronik meliputi mikrovaskuler, makrovaskuler, dan

neuropati. Diabetes melitus juga menjadi penyebab terbesar terjadinya kebutaan

pada orang dewasa dengan usia antara 20-74 tahun, dan berkontribusi terhadap

perkembangan penyakit renal pada tahap akhir, serta tindakan amputasi

(American Diabetes Association, 2012).

Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit tidak menular

yang banyak terjadi di dunia. Prevalensi diabetes melitus (DM) di dunia pada

dewasa (usia 20-79 tahun) sebanyak 6,4% atau 285 juta orang pada tahun 2010

dan diprediksi akan meningkat menjadi 7,7% atau 439 juta orang pada tahun 2030

(Shaw et al., 2010). World Health Organization (WHO) telah memprediksi

adanya peningkatan jumlah penderita diabetes yang cukup besar untuk tahun-

tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien

dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia

yang mempunyai jumlah penduduk melebihi 200 juta jiwa, sejak awal abad ini

telah menjadi negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak ke-4 di

dunia, setelah Amerika Serikat, India dan China (Suyono, 2005).

Secara garis besar, kondisi DM dibagi menjadi dua yaitu DM tipe 1

(tergantung insulin) dan DM tipe 2 (tidak tergantung insulin). Tipe diabetes yang

banyak dialami adalah DM tipe 2 yaitu sekitar 90% dari seluruh populasi pasien

diabetes sedangkan untuk DM tipe 1 sekitar 5-10%. Selain diabetes tipe 1 dan 2

tersebut terdapat istilah diabetes melitus gestasional yaitu keadaan diabetes atau

intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan dan biasanya berlangsung

hanya sementara atau temporer. Intoleransi glukosa biasanya tidak terjadi hanya

karena satu penyebab yang konsisten saja tetapi karena beberapa penyebab yang

meliputi gangguan genetik terhadap fungsi sel beta, gangguan genetik terhadap

kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena induksi obat atau

zat kimia, infeksi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM (American

Diabetes Association, 2012).

Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena adanya gangguan autoimun yang

menyebabkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. Penderita

diabetes tipe 1 harus mendapatkan suntikan insulin atau dikenal dengan istilah

Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM). Penyebab diabetes melitus tipe 1

adalah infeksi virus atau reaksi autoimun (kelainan pada sistem kekebalan tubuh).

Gangguan autoimun akan menyerang sel β pankreas secara menyeluruh. Dimana

sel β pankreas berfungsi untuk memproduksi insulin, oleh karenanya bila sel β

pankreas rusak, maka tidak tersedia lagi insulin bagi tubuh untuk mengatur kadar

glukosa dalam darah (Hartini, 2009).

Diabetes tipe 2 adalah kondisi dimana hormon insulin dalam tubuh tidak

dapat berfungsi dengan semestinya, dikenal dengan istilah Non-Insulin Dependent

Diabetes Melitus (NIDDM). Ditandai dengan adanya resistensi insulin dan

defisiensi sekresi insulin. Resistensi insulin ditandai dengan penurunan

penggunaan glukosa pada jaringan, adanya peningkatan produksi glukosa di

hepar, dan peningkatan akumulasi glukosa di sirkulasi (darah). Adanya kondisi

hiperglikemik dalam tubuh akan menstimulasi pankreas memproduksi insulin

lebih banyak untuk mencoba mengatasi resistensi insulin. Sehingga terdapat

peningkatan kadar glukosa dan insulin pada kondisi resistensi insulin (American

Diabetes Association, 2012). Diabetes melitus tipe 2 biasanya disebabkan karena

keturunan, gaya hidup yang tidak sehat, kegemukan, kurang olahraga, terlalu

banyak makan makanan dengan gizi yang tidak seimbang (Hartini, 2009).

Pada diabetes melitus tipe 2, insulin masih diproduksi namun insulin tidak

dapat bekerja secara adekuat (resistensi insulin). Sehingga diabetes tipe 2 tidak

mutlak memerlukan suntikan insulin seperti penderita diabetes tipe 1. Obat yang

diberikan pada penderita diabetes melitus tipe 2 adalah obat untuk memperbaiki

kerja insulin dan obat untuk memperbaiki fungsi sel β pankreas dalam

memproduksi insulin. Usaha penurunan berat badan dapat meningkatkan

kepekaan sel terhadap insulin sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk

proses metabolisme (Hartini, 2009). Apabila tidak ditangani dengan baik, pada

perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM tipe 2 akan mengalami

kerusakan sel-sel β pankreas secara progresif sehingga terjadi defisiensi insulin.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya

ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin

(Depkes, 2005).

Diabetes melitus seringkali muncul tanpa gejala. Namun gejala klasik yang

sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil),

polidipsi (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu

sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh

terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali

sangat mengganggu (pruritis), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas

(Depkes, 2005). Pada DM tipe 1 gejala klasik di atas sering dikeluhkan pasien

disertai cepat merasa lelah (fatigue) dan juga merasa iritabilitas. Sedangkan pada

DM tipe 2, keluhan umumnya hampir tidak ada dan biasanya penanganan baru

dimulai beberapa tahun setelah penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah

terjadi. Penderita DM tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh

dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,

hiperlipidemia, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes,

2005).

Untuk diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu:

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma postprandial ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

Glukosa plasma postprandial merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan pasien

tidak mendapat kalori sedikitnya selama 8 jam.

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200

mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO berdasarkan standar dari WHO menggunakan

beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus untuk dewasa dan

1,75 g/kgBB untuk anak-anak yang dilarutkan ke dalam air (Triplitt et al., 2008).

Penatalaksanaan diabetes dapat dibagi menjadi 2, yaitu (Soegondo, 2005) :

1. Pendekatan non farmakologi, yaitu dengan pemberian edukasi, perencanaan

makan atau terapi nutrisi medik, aktivitas fisik atau kegiatan olah raga dan

penurunan berat badan bila didapatkan berat badan lebih atau obesitas.

2. Penatalaksanaan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi. Dilakukan

apabila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum

mampu mencapai sasaran terapi, yaitu glukosa darah darah yang terkontrol

dengan baik, maka dilanjutkan dengan penatalaksanaan terapi medikamentosa

atau intervensi farmakologi, disamping tetap menerapkan pengaturan makan dan

aktivitas fisik yang sesuai.

Terapi farmakologi yang dapat digunakan sebagai terapi DM, yaitu :

1. Obat antidiabetik oral

a. Golongan Sulfonilurea

Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian sulfonilurea

disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin dari pankreas. Sifat perangsangan

ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa karena ternyata pada saat

hiperglikemi gagal merangsang sekresi insulin dalam jumlah yang cukup, obat-

obat tersebut masih mampu merangsang sekresi insulin pada dosis tinggi (Tony

dan Suharto, 2005). Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk menurunkan kadar

glukagon dalam darah, meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan

reseptor, dan menghambat penghancuran insulin oleh hati. Contoh dari obat ini

adalah glibenklamid, glikazid, klorpropamid (Mycek et al., 2001).

b. Glinid

Glinid merupakan obat dengan mekanisme kerja yang sama dengan

sulfonilurea, tetapi utamanya melalui peningkatan sekresi insulin fase pertama.

Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid (derivat asam benzoat)

dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah

pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Dapat memberikan

aksi yang cepat dengan durasi pendek. Diminum sebelum makan dan dapat

diberikan 3-4x setiap hari. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemik postprandial

(Mycek et al., 2001).

c. Biguanid (Metformin)

Obat pada golongan ini menurunkan kadar glukosa darah melalui

pengaruhnya terhadap kerja insulin di tingkat perifer sehingga mampu

meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan dan menghambat glukoneogenesis.

Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak

mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan (Babar and Skugor,

2009). Contoh obat golongan ini adalah fenformin, buformin, dan metformin.

d. Tiazolidindion

Senyawa ini memperbaiki sensitivitas insulin di antara lain pada jaringan

lemak, otot, dan hepar. Efek protektif terhadap sel β ini kemungkinan dapat

menghindarkan komplikasi mikrovaskuler diabetes jangka panjang (retinopati,

nefropati, dan neuropati). Zat ini merupakan agonis PPAR-gamma sehingga

meningkatkan sensitivitas adiposit bagi insulin (Tjay dan Rahardja, 2002). Contoh

obat golongan ini adalah pioglitazon, rosiglitazon.

e. Golongan Penghambat α – Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase

di dalam saluran cerna sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan

menurunkan hiperglikemik postprandial. Akarbose, senyawa tetra-maltosa dan

miglitol (derivat piperidintriol) merupakan contoh obat golongan ini (Tjay dan

Rahardja, 2002).

2. Obat antidiabetik injeksi

a. Insulin

Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, dan paling efektif dalam

menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin

dapat menurunkan kadar HbA1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak

seperti obat hipoglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maksimal. Terapi

insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al.,

2008). Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam

pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan

langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan

didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang

sudah sangat dikenal adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.

Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat

masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya

sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi

energi sebagaimana seharusnya (Depkes, 2005).

Penggunaan insulin pada pasien DM diperlukan pada semua penderita DM

tipe 1, penderita DM tipe 2 apabila terapi lain tidak dapat mengendalikan kadar

glukosa darah, keadaan stress berat (infeksi berat, tindakan pembedahan, infark

miokard, atau stroke), DM gestasional dan penderita DM yang hamil

membutuhkan terapi insulin apabila diet saja tidak mengendalikan kadar glukosa

darah, ketoasidosis diabetik, hiperglikemik berat yang disertai ketosis,

ketoasidosis diabetik, hiperglikemik hiperosmolar non ketotik, hiperglikemik

dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, gangguan

fungsi ginjal atau hati yang berat, dan kontraindikasi dan/atau alergi terhadap

OHO (Depkes, 2005).

3. Streptozotosin (STZ)

Streptozotosin memiliki rumus kimia (2-deoxy-2(3-(methyl-3-

nitrosoureido)-D-glucopyranose)) disintesis oleh Streptomycetes acrhomogenes

dan digunakan dalam penelitian untuk induksi baik diabetes melitus tergantung

insulin (tipe 1) maupun diabetes melitus tidak tergantung insulin (tipe 2). Untuk

menginduksi diabetes melitus tipe 1 dapat dilakukan dengan pemberian berulang

STZ dosis rendah, sehingga terjadi kondisi diabetes tipe 1 karena aktivasi

mekanisme imun tubuh. Sedangkan untuk induksi diabetes tipe 2 dapat dilakukan

dengan pemberian STZ dosis tinggi (≥40 mg/kgBB) secara tunggal (Szkudelski,

2001).

STZ pertama kali ditemukan oleh Vavra dkk pada tahun 1960. STZ

merupakan suatu antibiotik antineuplastik dari kelompok nitrosurea, yang artinya

kelompok senyawa larut lemak yang memiliki fungsi sebagai agen pengalkilasi.

Pada awalnya STZ digunakan sebagai antibakteri serta tumor, tetapi kemudian

diketahui bahwa STZ memiliki efek diabetik yang efektif. STZ terdiri dari 1-

metil-1-nitrosurea yang terikat pada C2 dari D-glukosa dan memiliki berat

molekul 26,5, tidak berwarna, mengalami dekomposisi pada suhu 115 ºC

membentuk gas, larut dalam air, dan berbentuk padat. Tidak stabil pada suhu

kamar, oleh karena itu harus disimpan pada suhu dibawah 20 ºC, bersifat stabil

dalam larutan pH 4 dan temperatur yang rendah (Nurdiana dkk, 1998).

Di dalam sel, STZ serupa dengan glukosa yang diangkut oleh protein

pengangkut glukosa yaitu glucose transporter (GLUT-2) dan menyebabkan

alkilasi DNA. Pengalkilasian tersebut menyebabkan rantai DNA ribosa putus dan

terjadi kerusakan DNA. Kerusakan DNA akan memicu produksi enzim poli

(ADP-ribosa) sintase, yaitu enzim yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan

DNA. Enzim ini memerlukan NAD (Nicotinamida Adenine Dinucleotida) sebagai

substratnya, sehingga kandungan NAD dalam sel menurun. Berkurangnya NAD

seluler akan menyebabkan penurunan jumlah ATP karena di dalam pembentukan

ATP diperlukan NAD, sehingga sintesis dan sekresi insulin dapat terhambat yang

menyebabkan hiperglikemik. STZ berperan pula sebagai donor NO yang mampu

meningkatkan spesies oksigen reaktif (ROS) diantaranya radikal superoksida (O2-

), radikal hidroksil (OH), dan hidrogen peroksida (H2O2). Aksi sinergis NO dan

ROS berperan dalam terjadinya fragmentasi DNA. NO dan ROS dapat

membentuk peroksinitrit yang dapat menyebabkan kerusakan DNA pada sel beta

pankreas. Kondisi ini selanjutnya memicu tejadinya hiperglikemik (Szkudelski,

2001).

4. Nikotinamid

Nikotinamid merupakan turunan amida dari asam nikotinat, yang selama

empat puluh tahun terakhir telah diberikan pada dosis tinggi untuk berbagai

aplikasi terapi. Dan saat ini dalam tahap uji coba untuk digunakan sebagai sarana

potensial mencegah terjadinya diabetes melitus tipe 1 (insulin- dependent) pada

individu dengan resiko tinggi (Knip et al., 2000). Nikotinamid atau vitamin B3

mampu mencegah atau menghambat terjadinya penyakit diabetes defisiensi

insulin dengan melindungi sel islet dari sitotoksik yang akan menyerang. Pada

awal terjadinya diabetes melitus tipe 1 pemberian nikotinamid mampu

meningkatkan fungsi dari sel beta pankreas (Kolb, 1999).

Pada penelitian terkait diabetes, nikotinamid berfungsi sebagai antioksidan

dengan mengkonsumsi radikal bebas sehingga dapat membatasi kerusakan DNA

pada sel beta pankreas. Kemungkinan besar mekanisme aksi nikotinamid secara in

vivo adalah dengan target utama poly(ADP-ribose)polymerase (PARP) dan

(mono) ADP-ribosyl transferases (ADPRTs). Supresi dari PARP oleh nikotinamid

dapat mengurangi konsumsi dari NAD+ (substrat dari PARP) (Kolb, 1999).

Seperti yang telah diketahui, aktivitas dari PARP adalah mengatur tahap awal

apoptosis. Dosis tinggi nikotinamid utamanya mempengaruhi reaksi ADP-

ribosilasi di sel beta sepeti pada sel imun dan endotelium. Sebagai hasilnya, jalur

kematian sel dan translokasi gen berubah, sehingga dapat meningkatkan

ketahanan sel beta dan mengembalikan keseimbangan imunoreglukosasi (Kolb,

1999).

5. Transporter GLUT-4

Membran sel yang berstruktur lipid bilayer akan menyebabkan sifat

impermeable pada molekul karbohidrat. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem

transport untuk mengangkut glukosa. Glukosa dapat masuk ke dalam sel melalui

difusi terfasilitasi yang membutuhkan ATP, yakni melalui Glukosa Transporter

(GLUT). GLUT-4 merupakan salah satu dari 14 tipe GLUT, dimana pada masing-

masing tipe memiliki spesifisitas terhadap substrat, profil kinetk, dan distribusi

pada jaringan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, sel otak memiliki GLUT-1

sehingga sel tersebut mampu memasukkan glukosa ke dalam sel dalam

konsentrasi yang rendah dari darah tanpa membutuhkan insulin. Sementara itu

GLUT-4 terdapat pada sel adiposa dan sel otot membutuhkan insulin dan

konsentrasi glukosa yang tinggi. PI 3-kinase merupakan protein yang penting

dalam translokasi GLUT-4 ke membran sel pada sel otot dan adiposa (Leto &

Saltiel, 2012; Wilcox, 2005).

Protein GLUT-4 merupakan protein transporter yang berperan dalam

mengangkut glukosa ke dalam sel otot rangka. Protein GLUT-4 akan

ditranslokasikan ke permukaan membran sel otot rangka setelah adanya

rangsangan sinyal dari insulin yang menempel pada reseptor insulin di otot. Otot

rangka merupakan otot lurik yang paling besar masanya dibandingkan jenis otot

lain (40-60% dari masa tubuh manusia). Otot rangka merupakan tempat

penyimpanan sekaligus tempat pengubahan glukosa yang paling dominan setelah

organ hati. Pada otot rangka terdapat dua protein transporter glukosa, yaitu

GLUT-1 dan GLUT-4. Protein GLUT-4 merupakan transporter glukosa yang

terlibat dengan rangsangan insulin dalam menurunkan kadar glukosa darah. Pada

saat rangsangan insulin terjadi translokasi GLUT-4 sebanyak 400 kali lipat lebih

tinggi dibandingkan GLUT-1. Kondisi resisten insulin memberikan dampak besar

terhadap reglukosasi glukosa dalam kaitannya dengan translokasi GLUT-4

(Lauritze dan Schetzer, 2010).

GLUT-4 adalah transporter glukosa utama dan terletak terutama pada sel

otot dan sel lemak. Konsentrasi glukosa fisiologis adalah 36-179 mg per desiliter

(2 sampai 10 mmol per liter). Pentingnya GLUT-4 dalam homeostasis glukosa

ditunjukkan melalui penelitian pada tikus di mana satu alel dari GLUT-4 gen

diganggu. Tikus-tikus ini mengalami pengurangan 50 persen konsentrasi GLUT-4

pada otot rangka, jantung, dan sel lemak, dan mereka mengalami resistensi insulin

berat, diabetes berkembang pada setidaknya setengah tikus jantan (Sheperd et al.,

1999). Pada sel otot dan sel lemak normal, GLUT-4 didaur ulang antara membran

plasma dan vesikel penyimpanan intraseluler. GLUT-4 berbeda dari transporter

glukosa lain, yaitu sekitar 90 persen terletak di intrasel saat kondisi tidak ada

rangsangan insulin atau rangsangan lain seperti olahraga (Sheperd et al., 1999).

Dengan adanya insulin atau stimulus lain, keseimbangan dari proses daur ulang

ini diubah untuk mendukung translokasi GLUT-4 dari vesikel penyimpanan

intraseluler ke arah membran plasma, dan juga ke tubulus transversa pada sel otot.

Efek bersihnya adalah peningkatan kecepatan maksimal transpor glukosa ke

dalam sel (Sheperd et al., 1999 ; Shulman, 2000).

Insulin memiliki peran dalam berbagai metabolisme pada jaringan target

misalnya regulasi transportasi glukosa dan metabolisme glukosa dimulai dengan

terjadi ikatan terlebih dahulu antara insulin dengan bagian ekstraseluler dari IRS

(Insulin Receptor Substrate) reseptor insulin transmembran spesifik. Ikatan

tersebut dapat mengaktivasi fosforilasi tirosin kinase pada bagian intraseluler dari

reseptor. Selanjutnya akan mengaktivasi IP3 Kinase (Inositol-3-Phospat Kinase)

dan berakhir dengan pembentukan dan aktivasi glucose transporter (GLUT-4).

Kemudian GLUT-4 di sitoplasma ditranslokasi ke membran sel sehingga

menstimulasi translokasi atau transport glukosa plasma masuk dari ekstrasel ke

intrasel melalui transporter glukosa (GLUT-4). Konversi glukosa menjadi

glucose-6-phosphate (G-6-P) terjadi karena bantuan enzim heksokinase IV (lebih

dikenal dengan glukokinase). Dalam sel, G-6-P digunakan untuk metabolisme

atau disimpan sebagai glikogen atau trigliserida (Kasuga, 2006; Shulman, 2000).

F. Landasan Teori

L. glutinosa (Lour.) C.B. Robinson merupakan tanaman yang penting baik

dari segi ekonomi, maupun kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Parikh & Rangrez (2012) kulit batang L. glutinosa memiliki banyak

kandungan fitokimia yang meliputi alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, tanin,

dan saponin. Aktivitas antidiabetik pada tanaman biasanya terkait dengan

kandungan senyawa fenoliknya, salah satunya adalah flavonoid. Flavonoid

merupakan senyawa alam yang dapat berperan sebagai antioksidan atau peredam

radikal bebas. Antioksidan bekerja dengan menghentikan pembentukan radikal

bebas pada penderita diabetes melitus dan memperbaiki kerusakan-kerusakan

yang telah terjadi dalam tubuh terutama kerusakan pada sel beta pankreas.

Sehingga produksi insulin oleh sel beta pankreas dapat meningkat dan terjadilah

penurunan kadar glukosa darah.

Penelitian mengenai aktivitas antidiabetik pada L. glutinosa belum pernah

dilakukan tetapi untuk spesies lain dari genus Litsea sudah pernah dilakukan yaitu

pada Litsea coreana. Litsea coreana dapat menurunkan kadar glukosa darah pada

tikus yang diinduksi dengan aloksan dan adrenalin dengan dosis optimal adalah

100 dan 300 mg/kgBB (Lu et al., 2005). Total flavonoid dari Litsea coreana

mampu menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan dengan mekanisme

aksi peningkatan sensitivitas insulin yang melalui penurunan translokasi protein

tyrosine phosphatase 1B (PTP1B) pada jalur signaling insulin (Sun, 2010). Hal

tersebut didukung dengan penelitian lain dimana digunakan tikus yang resisten

terhadap insulin dan diberikan total flavonoid dari L. coreana, maka terjadi

peningkatan sensitivitas insulin pada tikus tersebut (Lu et al., 2009).

L. coreana dan L. glutinosa merupakan tanaman yang berada dalam genus

yang sama yaitu Litsea, dan keduanya sama-sama memiliki kandungan flavonoid.

Sehingga sangat dimungkinkan bahwa L. glutinosa juga memiliki aktivitas

antidiabetik (mampu menurunkan kadar glukosa darah) seperti halnya pada L.

coreana.

G. Hipotesis

1. Serbuk kulit batang L. glutinosa mampu menurunkan kadar glukosa darah

postprandial pada tikus diabetes terinduksi streptozotosin dan nikotinamid.

2. Serbuk kulit batang L. glutinosa mampu meningkatkan translokasi protein

GLUT-4 pada jaringan otot tikus diabetes terinduksi streptozotosin dan

nikotinamid.