BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang dapat
berakibat fatal dalam waktu yang relatif singkat. Penyebab penyakit ini adalah
virus dengue, sejenis virus yang tergolong arbovirus yang masuk ke dalam tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti betina (Hastuti, 2008). Departemen
kesehatan RI melaporkan kasus DBD selama tahun 2009 di Indonesia paling
banyak terdapat di 10 provinsi yaitu Jawa Barat (29.334 kasus 244 meninggal),
DKI Jakarta (26.326 kasus 33 meninggal), Jawa Timur (15.362 kasus 147
meninggal), Jawa Tengah (15.328 kasus 202 meninggal), Kalimantan Barat (5.619
kasus 114 meninggal), Bali (5.334 kasus 8 meninggal), Banten (3.527 kasus 50
meninggal), Kalimantan Timur (2.758 kasus 34 meninggal), Sumatra Utara (2.299
kasus 31 meninggal), dan Sulawesi Selatan (2.296 kasus 20 meninggal) (Depkes
RI, 2009).
Nyamuk merupakan serangga yang sangat mengganggu karena selain
menyebabkan rasa gatal dan sakit, beberapa nyamuk merupakan vektor atau
penular berbagai jenis penyakit berbahaya, seperti demam berdarah, malaria, kaki
gajah, dan chikungunya (Kardinan, 2005).
Untuk mencegah penularan penyakit ini digunakan motto 3 M plus yaitu
menguras, mengubur, menutup, ditambah dengan menghindari gigitan nyamuk
dengan menggunakan kelambu bila tidur siang, menggunakan obat nyamuk oles,
ataupun mengusir nyamuk dengan obat nyamuk bakar/semprot pada pagi/sore hari
2
baik di dalam maupun luar ruangan (Depkes RI, 2009). Obat nyamuk oles/repelan
kimiawi yang sering digunakan adalah campuran dimetil ftalat, etoheksodiol,
butopiranoksi, DEET, dan dietiltoluamid (Martin & Cook, 1961). Penggunaan
bahan-bahan tersebut sebagai insektisida sering menimbulkan dampak yang tidak
diinginkan, karena residu yang ada sulit terdegradasi, sehingga dapat mengganggu
ekosistem yang ada. Disamping bahan-bahan tersebut, dikenal juga adanya
insektisida alami, yang diketahui mudah terdegradasi hanya saja efeknya pendek
sehingga diperlukan pemakaian yang berulang (Mardihusodo, 1992 cit Agnes,
2008).
Di Indonesia terdapat banyak tumbuhan penghasil minyak atsiri yang
dapat dimanfaatkan untuk pengusir nyamuk, seperti pepermin, kayu putih,
cengkeh dan geranium. Aktivitas repelan minyak atsiri tersebut disebabkan
adanya senyawa yang memiliki gugus aldehid atau keton, seperti sitral, sinamil
aldehida, karvon dan sebagainya (Price & Price, 1997).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Agnes, 2008, dilaporkan bahwa
minyak atsiri daun cengkeh yang diformulasi dengan minyak wijen pada
konsentrasi 70% sebagai obat nyamuk elektrik efektif sebagai repelan (95,33%)
terhadap nyamuk Ae. aegypti. Syelvi, 2008, melaporkan bahwa minyak sereh
wangi yang diformulasi dengan minyak wijen sebagai obat nyamuk cair elektrik
efektif sebagai repelan (92%) nyamuk Ae. aegypti pada kadar 50%. Rahmaniyati,
2001, melaporkan bahwa minyak atsiri kuncup bunga cengkeh menunjukkan
aktivitas repelan terhadap nyamuk Ae. aegypti dengan harga RT50 (waktu untuk
50% dari jumlah nyamuk tidak menghisap darah) sebesar 25,07 menit untuk
3
lotion dengan minyak atsiri cengkeh 0,5% v/v; 94,23 menit untuk lotion dengan
minyak atsiri cengkeh 1,0% v/v; 152,18 menit untuk lotion dengan minyak atsiri
cengkeh 1,5% v/v; dan 228,19 menit untuk lotion dengan minyak atsiri cengkeh
2,0% v/v. Semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri cengkeh semakin tinggi
efektivitas sebagai repelan terhadap nyamuk Ae. aegypti.
Bentuk sediaan insence sering digunakan pada acara keagamaan, dan
sediaan ini bisa juga berisi bahan yang memiliki aktivitas sebagai insektisida
(Price & Price, 1997). Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan insence
combustible yang berisi bahan-bahan yang memiliki aktivitas repelan terhadap
nyamuk Ae. aegypti, dengan harapan bahwa kemungkinan terjadinya reaksi
sensitisasi bisa dihindari, tidak seperti halnya bentuk oles, karena bahan aktif tidak
langsung berhubungan dengan kulit.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Apakah minyak atsiri daun cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) Merr. &
Perry) dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan insence combustible?
2. Apakah sediaan yang dibuat memiliki aktivitas sebagai repelan terhadap
nyamuk Ae. aegypti?
3. Berapa kadar efektif minyak atsiri daun cengkeh dalam sediaan insence
combustible yang memiliki aktivitas repelan terhadap nyamuk Ae. aegypti?
4
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan
dari penelitian ini, yaitu :
1. Mengetahui apakah minyak atsiri daun cengkeh dapat diformulasikan dalam
bentuk sediaan insence combustible sebagai repelan alami.
2. Menguji aktivitas repelan dari sediaan uji terhadap nyamuk Ae. aegypti.
3. Menentukan kadar efektif minyak atsiri daun cengkeh dalam sediaan insence
combustible sebagai repelan nyamuk Ae. aegypti.
D. Manfaat Penelitian
1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan data untuk
aktivitas repelan bahan alam dengan bentuk sediaan yang berbeda yaitu
sebagai insence combustible.
2. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh kadar efektifnya untuk
digunakan sebagai pegangan bagi pengguna dan peneliti lain.
E. Tinjauan Pustaka
1. Uraian Tentang Nyamuk
a. Klasifikasi
Nyamuk Ae. aegypti dikenal sebagai vektor penular penyakit
demam kuning, demam berdarah dengue dan chikungunya.
5
Urutan klasifikasi dunia hewan menurut Brown (1979), Ae.
aegypti termasuk dalam :
Philum : Anthropoda
Class : Hexapoda (insecta)
Sub class : Pterigota
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
b. Morfologi dan siklus hidup
Dalam siklus hidupnya, Ae. aegypti mengalami metamorfosis
sempurna : telur - larva (jentik) - pupa (kepompong) - dewasa, seperti
yang diperlihatkan pada gambar 1.
Gambar 1. Siklus hidup Ae. Aegypti (Alfarisi, 2011)
6
1) Telur
Gambar 2. Morfologi telur Ae. Aegypti (Alfarisi, 2011)
Nyamuk Ae. aegypti biasa bertelur di tempat penampungan air
di sekitar manusia seperi kaleng, vas bunga, botol dan tempat
penampungan burung. Pada hari yang ke-3 sampai ke-4 setelah
menghisap darah, nyamuk betina mampu bertelur sekitar 300-750
butir selama 4-5 hari (Sungkar, 1994).
Telur Ae. aegypti mempunyai bentuk lonjong seperti torpedo
dengan panjang ± 0,6 mm dan berat 0,0113 mg. Telur berwarna putih
saat diletakkan, 15 menit kemudian telur berwarna abu-abu dan
setelah 40 menit akan menjadi hitam. Telur diletakkan satu persatu
pada permukaan air dan menempel pada dinding bejana, biasanya
lebih suka pada bagian yang lebih gelap. Telur dapat bertahan sampai
berbulan-bulan pada suhu -2oC sampai 42
oC. dalam waktu 1-2 hari
nyamuk akan menetas menjadi larva akan tetapi jika kelembaban
terlalu rendah maka telur akan menetas lebih lama yaitu dalam waktu
4 hari (Sungkar, 1994).
7
2) Larva
Gambar 3. Morfologi larva Ae. aegypti(Alfarisi, 2011)
Nyamuk Ae. aegypti mempunyai 4 tingkat bentuk tingkat larva
(instar) tiap instar diakhiri dengan pengelupasan dan pergantian kulit
yang disebut ekdisis (Mardihusodo dkk, 1978). Posisi larva dalam air
menggantung hampir vertical dengan kepala di bawah dan hanya
ujung pipa udara (sifon) yang menembus permukaan. Bentuk kepala
lebar, agak rata dan tiap sisi mempunyai antena dan mata. Larva instar
baru sangat kecil dan transparan dengan panjang 1-2 mm
(Mardihusodo dkk., 1978)
Larva mengalami 4 stadium perkembangan larva yaitu instar I,
II, III dan IV hingga terbentuk pupa. Pada instar I disebut spina dan
torak belum begitu jelas dan sifon belum hitam. Kemudian mengalami
instar II larva yang telah berumur 1-2 hari akan mengalami ekdisis
dengan bertambah besar, panjang 2,5-3,5 mm, spina belum terlihat
jelas akan tetapi sifonnya sudah mulai hitam. Instar III, larva yang
telah berumur 2-3 hari dengan ukuran lebih panjang, spina pada posisi
torak sudah terlihat jelas, sifon sudah lebih gelap dari warna abnomen
8
dan torak. Instar IV mempunyai panjang 7-8 mm, sifon pendek dan
sangat gelap. Umur rata-rata mulai dari jentik sampai dengan
kepompong berkisar antara 7-15 hari dalam 2-3 hari kemudian akan
menjadi kepompong atau pupa (Sugito, 1990). Perkembangan larva
terutama dipengaruhi oleh suhu dan makanan. Pada keadaan yang
optimal yaitu cukup makanan dan suhu air 25-27oC perkembangan
larva sekitar 6-8 hari (Sungkar, 1994).
3) Pupa
Gambar 4. Morfologi pupa Ae. aegypti (Alfarisi, 2011)
Pupa mempunyai kepala yang lebih besar menyerupai tanda
tanya (Brown, 1979). Pupa tidak memerlukan makanan, tetapi perlu
udara dan perkembangan pupa sekitar 2-4 hari. Jika diganggu nyamuk
akan bergerak cepat untuk menyelam selama beberapa detik kemudian
muncul lagi ke permukaan air (Sungkar, 1994). Pada umumnya
nyamuk jantan lebih cepat menetas daripada betina (Sugito, 1990).
Pupa Ae. aegypti mempunyai terompet pada toraks untuk bernafas,
suatu kantong udara yang terletak di antara bakal sayap pada bentuk
9
dewasa, dan sepasang pengayuh yang saling menutupi dengan rambut-
rambut ujung pada ruas abnomen terakhir (Brown, 1983).
4) Dewasa
Gambar 5. Morfologi nyamuk dewasa Ae. aegypti (Alfarisi, 2011)
Nyamuk Ae. aegypti berukuran kecil dibandingkan nyamuk
jenis lainnya, warnanya hitam dengan belang-belang putih diseluruh
tubuhnya baik di dada, perut, kaki maupun sayapnya. Kepala bulat
atau sferik dan mempunyai sepasang mata, sepasang antena, sepasang
palpi yang terdiri atas 5 segmen dan 1 probosis. Jenis kelamin nyamuk
dapat dibedakan dari antenanya. Antena terdiri dari 15 segmen, jika
nyamuk jantan antena tipe plumose dan palpi maksilaris sama panjang
dengan probosis. Sedangkan nyamuk betina antena tipe pilase dan
palpi maksilaris seperempat panjang probosis (Brown, 1979).
c. Karakteristik
Nyamuk Ae. aegypti mempunyai keefektifan menggigit yang
tinggi pada waktu siang terutama pagi hari antara jam 08.00-13.00 dan
sore hari antara jam 15.00-17.00 (Lubis, 1998). Beberapa faktor yang
mendorong nyamuk Ae. aegypti mencari makan adalah rasa lapar, bau
10
yang dipancarkan oleh inang, temperatur, kelembaban, karbondioksida,
dan warna. Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai warna gelap terutama
hitam daripada warna terang (Anonim, 2006).
Makanan nyamuk jantan dan betina berupa sari tumbuhan dan
sering pula nektar. Darah diperlukan nyamuk betina untuk perkembangan
telurnya. Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia, 3
hari kemudian mampu bertelur, dan 24 jam kemudian nyamuk itu
menghisap darah lagi selanjutnya kembali bertelur. Walaupun nyamuk
betina berumur kira-kira 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk
menghisap darah dan bagi virus atau parasit untuk perkembangbiakan dan
selanjutnya menyebarkan virus atau parasit ke manusia lain. Kebiasaan
menghisap darah tersebut berulang dan menghisap darah satu orang atau
beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Nyamuk betina
perlu menghisap darah untuk mematangkan telur dan telur dapat menetas
jika dibuahi yang jantan. Nyamuk beristirahat dalam rumah pada benda-
benda yang digantung, seperti pakaian, kelambu, gorden, juga pada
dinding yang gelap di malam hari(Soemarmo, 1988).
d. Peranan
Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Ae.aegypti. Tipe
virus sebagai etiologi penyakit demam berdarah dengue yang paling
dominan adalah D3, kemudian diikuti D2, D1, D4. Penyakit ini ditandai
dengan demam mendadak 2-7 hari dan pendarahan pada kulit maupun
pada bagian tubuh yang lain, mengakibatkan shok dan yang paling fatal
11
adalah kematian (Lubis, 1998; Muchlastriningsih dkk, 1998; Sukana,
1993).
Penularan DBD dari orang penderita kepada orang yang sehat
dapat terjadi melalui gigitan nyamuk. Seseorang yang di dalam darahnya
sudah terdapat virus dengue merupakan sumber utama penularan demam
berdarah dengue. Virus berada dalam darah selama 4-7 hari dimulai dari
1-2 hari setelah demam (Lubis, 1998).
Di Indonesia penyakit demam berdarah meningkat pada musim
hujan yaitu pada bulan Oktober-Maret/April. Tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk akan bertambah semakin banyak, karena
banyak penampungan air yang terisi air hujan, menyebabkan nyamuk
akan menetaskan telurnya pada penampungan air tersebut yang akhirnya
telur akan menetas dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu pada musim
hujan populasi nyamuk akan meningkat dan akan meningkat pula
penularan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk (Lubis, 1998).
e. Pengendalian
Pribadi, dkk. (1998) membagi cara pengendalian nyamuk menjadi :
1) Pengendalian lingkungan
Pengendalian dilakukan dengan cara mengelola lingkungan,
yaitu memodifikasi atau memanipulasi lingkungan, sehingga
terbentuk lingkungan yang tidak cocok yang dapat mencegah atau
membatasi perkembangan vektor. Sebagai contoh misalnya,
pengaturan system irigrasi, penimbunan tempat-tempat yang dapat
12
menampung air dan tempat-tempat pembuangan sampah,
membersihkan tanaman air yang mengapung di danau seperti
ganggang dan lumut, serta pengubahan rawa menjadi sawah.
2) Pengendalian kimiawi
Untuk pengendalian ini digunakan bahan kimia yang
berkhasiat membunuh serangga (insektisida) atau hanya untuk
menghalau serangga saja (repellent). Kebaikan cara pengendalian ini
ialah dapat dilakukan dengan segera dan meliputi daerah yang luas,
sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang
singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya bersifat
sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan,
kemungkinan timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida dan
mengakibatkan matinya beberapa pemangsa.
3) Pengendalian mekanik
Cara pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat
yang langsung dapat membunuh, menangkap, atau menghalau,
menyisir, mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh. Penggunaan
baju pelindung, pemasangan kawat kasa di jendela merupakan cara
untuk menghindarkan hubungan (kontak) antara manusia dan vektor.
4) Pengendalian biologik
Beberapa parasit dari golongan nematoda, bakteri, protozoa,
jamur dan virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk.
Artropoda (contohnya Arrenurus madarazzi) juga dapat dipakai
13
sebagai pengendali nyamuk dewasa. Predator atau pemangsa yang
baik untuk pengendalian larva nyamuk terdiri dari beberapa jenis ikan
(Ikan kepala timah, ikan gabus, Lesbistus reticularis, dll), larva
nyamuk yang berukuran lebih besar (larva Culex fuscanus), larva
capung dan Crustaceae.
2. Repelan Nyamuk
Repelan merupakan substansi yang digunakan untuk melindungi diri
dari serangga dengan cara melakukan penolakan terhadap penjamu karena
dapat menyamarkan atau menyembunyikan bau dari penjamu (Remington,
1995). Penjamu adalah organisme yang menampung virus, parasit, partner
mutualisme, atau partner komensalisme, umumnya dengan menyediakan
makanan dan tempat berlindung. Lebih dari 10.000 bahan kimia telah
diujikan aktivitas repelannya, untuk melawan gigitan nyamuk dan lalat
penggigit yang lebih efektif dibanding minyak sereh yang sebelumnya
dikenal secara turun menurun sebagai repelan yang efektif (Martin & Cook,
1961). Aktivitas repelan tergantung dari sifat fisika-kimia gugus fungsi
tertentu pada struktur kimia senyawa repelan. Menurut Price & Price, 1997,
repelan alami yang sering digunakan pada umumnya mengandung senyawa
yang memiliki gugus fungsional seperti aldehida dan keton. Minyak cengkeh
mengandung senyawa dengan gugus fungsional aldehid dan keton (halaman
23). Mekanisme kerja dari repelan sampai saat ini belum diketahui secara
14
pasti. Menurut Goumin, dkk., 2003 cit Mulyani, 2013, mekanisme kerja
repelan nyamuk yang mungkin ada 5, yaitu :
a. Menghambat respon nyamuk terhadap rangsangan kimia yang
ditimbulkan oleh manusia atau binatang.
b. Memiliki senyawa dalam konsentrasi rendah dapat menarik nyamuk,
dalam konsentrasi tinggi akan memiliki aktivitas repelan nyamuk.
c. Menginaktivasi reseptor indera penciuman dan meningkatkan
kemampuan indera perasa nyamuk.
d. Melumpuhkan sistem syaraf nyamuk.
e. Menghambat reseptor pencari mangsa dan menginaktivasi reseptor
lainnya.
Efektivitas suatu repelan selain ditentukan oleh sifat fisika-kimia
gugus fungsional, juga ditentukan oleh faktor yang lain, diantaranya adalah
jenis dan umur nyamuk, dosis repelan yang digunakan, pengguna dari
repelan, dan faktor lingkungan seperti, suhu, kelembaban dan sirkulasi udara
(Goumin, dkk., 2003 cit Mulyani, 2013).
Contoh produk yang beredar di pasaran adalah Mukzlock® yaitu
gelang pengusir nyamuk berbahan alami yang memiliki formula khusus untuk
mengusir nyamuk. Mukzlock® mangandung bahan alami citronella dan
formula khusus, tidak mengandung bahan kimia dan racun seperti pyrethoid
(pada obat nyamuk semprot), N, N-diethyl-m-toluamide (DEET) pada obat
oles, dan transflutrin (pada obat nyamuk bakar) (Faiz, 2013). Lavenda®
Lotion anti nyamuk dengan sari bunga Lavender memberikan perlindungan
15
efektif terhadap gigitan nyamuk dan tahan lebih lama. Bunga Lavender selain
dikenal sebagai anti nyamuk, juga dipercaya sebagai aroma terapi yang
mampu membuat tubuh lebih rileks (Anonim, 2012).
3. Insence
Insence atau dupa adalah salah satu bentuk sediaan aromaterapi. Dupa
merupakan sebuah material yang mengeluarkan asap dan bau ketika dibakar.
Dupa banyak digunakan dalam acara keagamaan dan pengobatan (Wibowo,
2009). Berdasarkan cara penggunaannya, dikenal ada 2 jenis insence yaitu
insence combustible “pembakaran langsung” dan insence non combustible“
pembakaran tidak langsung”. Penggunaan insence combustible yaitu langsung
dengan membakar sediaan sehingga timbul asap yang mengeluarkan aroma,
sedang insence non combustible berupa serbuk yang ditaburkan pada bara api,
sehingga timbul asap yang mengeluarkan aroma (Schnaubelt, 1998).
Bahan yang digunakan untuk pembuatan insence biasanya terdiri dari:
a. Serbuk kayu
Serbuk ini berfungsi sebagai bahan pendukung dan pengisi.
Semakin halus serbuk ini dapat menghasilkan mutu dupa yang bagus
(Schnaubelt, 1998).
b. Bahan aktif
Biasanya berupa minyak atsiri alami. Tergantung dari tujuan
terapinya, bahan aktif yang digunakan dipilih bahan yang sesuai, sebagai
contoh : apabila tujuannya untuk menambah semangat bisa dipilih aroma
16
pinus, pipermin, untuk menenangkan dipilih aroma bergamot, Roman
chamomile, dan bahkan bisa digunakan untuk perlindungan diri terhadap
gigitan serangga, misalnya aroma lavender, sereh, dan lain sebagainya
(Schnaubelt, 1998).
c. Bahan pembakar
Bahan yang dapat menjalarkan api seperti kalium nitrat (KNO3).
Kalium nitrat ialah suatu senyawa kimia anorganik dengan rumus KNO3.
Senyawa ini adalah garam ion dari ion kalium, K+ dan ion nitrat, NO3
−.
Kalium nitrat merupakan pengoksidasi yang efisien, yang menghasilkan
nyala berwarna pada pembakaran karena adanya kalium. Ini adalah salah
satu dari tiga komponen bubuk hitam, bersama dengan bubuk arang
(karbon secara substansial) dan sulfur, yang keduanya bertindak sebagai
bahan bakar dalam komposisi ini (Ansari, 2014).
d. Bahan perekat
Gom dapat digunakan sebagai perekat misalnya tragakan.
Konsentrasi tragakan yang banyak digunakan yaitu 5%b/v. Serbuk ini
berfungsi untuk membentuk suatu massa dan untuk meletakkan serbuk
kayu pada batang jika dupa dalam bentuk stick (Hanjaya, 2008).
e. Kemenyan (benzoin)
Benzoin (benzoe) adalah resin balsam yang diperoleh dengan
penorehan batang tanaman Styrax benzoin Dryander, dan S.
paralleloneurus Perkins (Benzoe Sumatra) atau S. tonkinensis (Pierre)
17
Craib ex Hartwich (Benzoe Siam) dari suku Styracaceae (Wiryowidagdo,
2007).
1) Pemerian
Benzoe Sumatra berbentuk massa yang rapuh, terdiri atas
serpihan yang mengkilap tembus cahaya, berwarna keputih-putihan
atau kemerah-merahan, terkurung di dalam matriks resin yang
berwarna coklat kemerahan atau coklat abu-abu. Bau seperti balsam,
serta rasa sedikit pahit dan tajam. Sedangkan benzoe Siam berbentuk
serpihan atau blok dengan berbagai ukuran. Bagian luar berwarna
coklat kekuningan atau coklat kemerahan, tetapi di bagian dalam
berwarna putih susu dan jernih. Bau seperti vanili dan balsam
(Wiryowidagdo, 2007).
2) Sifat fisik dan kimia
Benzoin menimbulkan asap putih jika dipanasi serta akan
segera berkondensasi jika mengenai permukaan yang dingin dan cepat
membentuk kristal. Jika dipanasi bersama larutan KMnO4, benzoe
Sumatra akan segera menimbulkan bau benzaldehida, tetapi tidak
dengan benzoe Siam. Pada uji warna dengan FeCl3, ekstrak alkohol
benzoe Siam akan membentuk warna hijau, sedangkan benzoe
Sumatra tidak memberikan reaksi (Wiryowidagdo, 2007).
18
3) Jenis-jenis benzoin
Getah kemenyan terdiri dari 2 jenis yaitu Sumatra Benzoin dan
Siam Benzoin. Perbedaan dari kedua jenis tersebut dapat dilihat di
tabel I (Stahl, 1985).
Tabel I. Perbedaan Kemenyan Siam dan Sumatra
Kemenyan Siam Kemenyan Sumatra
Damar dari kulit Styrax
tonkinensis Craib, berasal dari
Muangthai (dikenal juga dengan
nama Benzoe Siam).
Damar dari kulit berbagai jenis
Styrax, terutama Styrax benzoin
Dryander, berasal dari Sumatra
dan Jawa.
Kandungan : 60-80% terdiri atas
hablur koniferilbenzoat dan
sinamilbenzoat cair, asam α-
siaresinolat 6%, asam benzoat
bebas cair kira-kira 12%, dan
vanillin kira-kira 0,3% (hasil
oksidasi koniferilalkohol).
Kandungan : 70-80%
koniferilbenzoat,
koniferilsinamat, dan
sinamilsinamat; asam sinamat
bebas 10% dan sedikit asam
benzoat.
Khasiat : ekspektoran pada
bronchitis, dan disinfektan
setempat untuk luka permukaan.
Sering digunakan dalam
kosmetika.
Khasiat : sama seperti
Kemenyan Siam. Sering
digunakan dalam industri
penyalutan.
4) Khasiat
Benzoin digunakan sebagai bahan obat dalam obat batuk
ekspektoran, sebagai antiseptik, juga dipakai pada berbagai obat luar
dan kosmetik (Wiryowidagdo, 2007). Kandungan asam sinamat dalam
benzoin memiliki struktur yang mirip dengan L-tirosin, sehingga
dapat menghambat aktivitas enzim tirosinase secara kompetitif dan
dapat digunakan sebagai pemutih kulit, serta insektisida (Rudyanto &
Hartanti, 2008).
19
4. Minyak Atsiri
Minyak atsiri disebut juga dengan minyak eteris atau minyak terbang
(essential oil, volatile oil) dihasilkan oleh tanaman. Minyak ini mudah
menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi, mempunyai rasa
pedas (pungent taste), berbau wangi sesuai dengan bau tanaman
penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air
(Ketaren, 1985).
Dalam tanaman, minyak atsiri mempunyai 3 fungsi, yaitu :
a. Membantu proses penyerbukan dengan menarik beberapa jenis serangga
atau hewan.
b. Mencegah kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan.
c. Sebagai cadangan makanan dalam tanaman.
Minyak atsiri banyak digunakan untuk pembuatan kosmetik, parfum,
antiseptik, obat-obatan, “flavoring agent” dalam bahan pangan atau minuman
dan sebagai pencampur rokok kretek dalam industri. Variasi komposisi
minyak atsiri disebabkan oleh perbedaan jenis tanaman penghasil, kondisi
iklim, tanah tempat tumbuh, umur pemanenan, metoda ekstraksi yang
dipergunakan dan cara penyimpanan minyak (Ketaren, 1985).
Minyak atsiri umumnya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan
kimia yang terbentuk dari unsur Carbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O)
serta persenyawaan kimia yang mengandung unsur Nitrogen (N) dan belerang
(S). Komponen kimia dalam minyak atsiri dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1) Hidrokarbon, yang terdiri terutama dari persenyawaan terpena dan 2)
20
“Oxygenated Hydrocarbon”.Selain itu minyak atsiri mengandung resin dan
lilin dalam jumlah kecil yang merupakan komponen tidak dapat menguap
(Ketaren, 1985).
Berikut ini sifat fisik dan kimia dari minyak atsiri :
a. Sifat Fisik
Minyak atsiri yang masih segar (baru diekstrak) biasanya tidak
berwarna atau berwarna kekuning-kuningan dan beberapa jenis minyak
berwarna kemerah-merahan, hijau atau biru. Jika minyak dibiarkan lama di
udara dan kena cahaya matahari pada suhu kamar, maka minyak tersebut
akan mengalami interaksi dengan oksigen (teroksidasi) sehingga
menghasilkan warna minyak yang lebih gelap, bau minyak berubah dari
bau wangi alamiahnya serta minyak menjadi lebih kental dan akhirnya
membentuk sejenis resin sehingga dapat menurunkan jumlah senyawa
kimia dalam minyak (Ketaren, 1985).
Minyak atsiri dapat menguap pada suhu kamar dan penguapan
semakin besar dengan kenaikan suhu, umumnya larut dalam alkohol dan
pelarut organik lainnya, kurang larut dalam alkohol encer yang
konsentrasinya kurang dari 70 persen. Daya larut tersebut lebih kecil jika
minyak mengandung fraksi terpena dalam jumlah besar (Ketaren, 1985).
b. Sifat Kimia
Sifat kimia minyak atsiri ditentukan oleh persenyawaan kimia yang
ada di dalamnya, terutama terpena, ester, asam, aldehida dan beberapa
21
jenis persenyawaan lainnya yang termasuk dalam golongan “oxygenated
hydrocarbon”, misalnya alkohol, aldehida, eter, ester dan keton.
Perubahan sifat kimia minyak atsiri merupakan ciri dari kerusakan
minyak yang mengakibatkan penurunan mutu. Beberapa proses yang dapat
mengakibatkan perubahan sifat kimia minyak adalah proses oksidasi,
hidrolisa, polimerisasi (resinifikasi) dan penyabunan (Ketaren, 1985).
Reaksi oksidasi pada minyak atsiri pada umumnya terjadi pada
ikatan rangkap dalam terpen. Peroksida yang bersifat labil akan
berisomerisasi dengan adanya air, sehingga membentuk senyawa aldehid,
asam organik dan keton yang menyebabkan perubahan bau yang tidak
dikehendaki (Guenther, 1990).
Proses hidrolisa terjadi di dalam minyak atsiri yang mengandung
ester. Proses hidrolisa ester merupakan proses pemisahan gugus OR dari
gugus asil dalam molekul ester sehingga terbentuk alkohol dan asam
bebas. Keberadaan air dan asam sebagai katalisator ini akan menyebabkan
ester mengalami hidrolisis dengan sempurna. Asam organik hasil hidrolisa
ester atau pun yag terdapat secara alamiah, dapat bereaksi dengan ion
logam sehingga membentuk garam yang mengakibatkan perubahan warna
pada minyak atsiri (Guenther, 1990).
Resinifikasi (polimerisasi) merupakan penggabungan antara dua
jenis atau lebih monomer menjadi polimer. Beberapa komponen dalam
minyak atsiri dapat membentuk resin (merupakan senyawa polimer).
Selama proses pengolahan, minyak atsiri dapat membentuk resin terutama
22
pada pengolahan yang mempergunakan tekanan tinggi dan suhu tinggi,
serta selama penyimpanan (Guenther, 1990).
5. Metode Penyulingan
Menurut Ketaren, 1985, penyulingan merupakan proses pemisahan
komponen yang berupa cairan atau padatan dari 2 macam campuran atau
lebihberdasarkan perbedaan titik uapnya. Proses ini dilakukan terhadap
minyak atsiri yang tidak larut dalam air. Jumlah minyak yang menguap
bersama uap air ditentukan oleh :
a. Besarnya tekanan uap yang digunakan.
b. Berat molekul masing-masing komponen dalam minyak.
c. Kecepatan minyak yang keluar dari bahan yang mengandung minyak.
Penentuan dihentikannya proses penyulingan dapat diketahui dengan
beberapa cara, yaitu :
a. Memperhitungkan jumlah minyak yang diharapkan dari sejumlah bahan.
b. Diketahui dari pengalaman atau hasil percobaan penyulingan.
c. Mengukur jumlah minyak yang sudah tersuling, dan memperkirakan
jumlah minyak yang tersuling untuk setiap tambahan waktu tertentu.
Minyak atsiri dapat diperoleh dengan 3 metoda, yaitu ekstraksi,
penyulingan atau destilasi dan melalui pemerasan dan penekanan.
23
Pada industri pengolahan minyak atsiri terdapat 3 macam cara
penyulingan, yaitu :
a. Penyulingan dengan air (water distillation)
Cocok digunakan untuk bahan tanaman yang kering dan
minyaknya tidak rusak bila dididihkan. Pada destilasi dengan cara ini,
bahan dapat diserbuk halus, alat sederhana, murah,menggunakan
ketel, dan bahan langsung kontak dengan air (terendam) (Gunawan&
Mulyani, 2004). Kelemahan cara penyulingan air adalah proses
pengekstraksian minyak atsiri tidak dapat berlangsung sempurna
walaupun bahan dirajang. Selain itu, senyawa yang berupa esterakan
terhidrolisa sebagian menjadi asam dan alkohol. Persenyawaan yang
peka seperti aldehida dapat mengalami polimerisasi karena pengaruh
air mendidih. Penyulingan air membutuhkan ketel yang besar,
ruangan yang luas, dan jumlah bahan bakar yang banyak. Komponen
minyak yang bertitik didih tinggi dan bersifat tidak larut dalam air
tidak dapat menguap secara sempurna, sehingga komponen minyak
yang diperoleh tidak lengkap (Ketaren, 1985). Komponen yang tidak
mudah disuling adalah alkohol bertitik didih tinggi, senyawa fenol
(eugenol, dan sebagainya), dan zat-zat tertentu yang mengandung
nitrogen (Guenther, 1987).
b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation)
Destilasi ini cocok digunakan untuk bahan kering maupun
segar yang dapat rusak apabila dididihkan. Pada destilasi dengan
24
cara ini bahan tidak kontak langsung dengan air sehingga yang
kontak dengan bahan bukan air melainkan uap air (Tyler, dkk.,
1988). Bahan diletakkan di atas piring yang berupa ayakan
(angsang), yang diletakkan beberapa sentimeter di atas permukaan
air dalam ketel penyuling.
Kecepatan difusi uap melalui bahan dan keluarnya minyak
dari sel kelenjar minyak ditentukan oleh:
1) Kepadatan bahan dalam ketel penyuling
2) Tekanan uap
3) Berat jenis dan kadar air bahan
4) Berat molekul komponen kimia dalam minyak
Pengisian bahan ke dalam ketel harus diatur homogen sehingga uap
dapat berpenetrasi secara merata ke dalam bahan.
Kelemahan penyulingan air dan uap adalah dibutuhkannya uap
yang besar dan waktu penyulingan yang lama. Pada proses
penyulingan sejumlah besar uap akan mengembun dalam jaringan
tanaman, sehingga bahan bertambah basah dan terjadi aglutinasi.
Keuntungan menggunakan penyulingan air dan uap adalah jika uap
berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan dan suhu dapat
dipertahankan mencapai 100oC, lama penyulingan relatif lebih
singkat. Selain itu, rendemen minyak lebih banyak dan mulutnya
lebih baik dibandingkan minyak hasil penyulingan dengan air. Bahan
yang disuling tidak dapat menjadi gosong (Ketaren, 1985).
25
c. Penyulingan dengan uap (steam distillation)
Penyulingan dengan uap sebaiknya dimulai dengan tekanan
uap rendah (kurang lebih 1 atm). Tekanan uap secara berangsur-
angsur dinaikkan sampai 3 atm. Permulaan tekanan yang tinggi dapat
mengakibatkan minyak terdekomposisi dan terjadi resinifikasi. Jika
komponen minyak dalam bahan dianggap telah habis, tekanan
dinaikkan untuk menyuling komponen kimia yang bertitik didih lebih
tinggi. Air sebagai sumber air panas terdapat dalam ketel yang
letaknya terpisah dari ketel penyuling. Selama proses penyulingan,
suhu ketel diawasi supaya tidak melampaui suhu superheatedsteam.
Hal ini untuk mencegah terjadinya pengeringan bahan sehingga dapat
diperoleh rendemen minyak yang besar.
Penyulingan uap baik digunakan untuk menyuling minyak dari
biji-bijian, akar, dan kayu yang umumnya mengandung minyak
bertitik didih tinggi. Minyak yang bertitik didih tinggi misalnya
minyak cengkeh, kayu manis, akar wangi, ketumbar, sereh, kamfer,
kayu putih, dan jenis minyak bertitik didih tinggi lainnya. Kelemahan
penyulingan dengan uap adalah tidak baik dilakukan terhadap minyak
yang mudah rusak oleh pemanasan dan air. Minyak yang dihasilkan
mengalami perubahan bau dari bau alamiahnya, terutama minyak
atsiri dari bunga (Ketaren, 1985).
26
6. Uraian Simplisia
Gambar 6. Daun cengkeh (Syzigium aromaticum L. Merr. & Perry) gugur (Anonim,
2013)
Sistematika Tanaman:
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Myrtales
Suku : Myrtaceae
Marga : Syzygium
Jenis : Syzygium aromaticum (L.) Merr. & Perry
(Sutrisno, 1998)
Indonesia merupakan negara penghasil cengkeh nomor tiga setelah
Tanzania (Zanzibar) dan pulau Madagaskar. Tanaman cengkeh mengandung
minyak atsiri 16-21% (minimum 15%v/b) dengan bobot jenis lebih besar dari
pada air, juga mengandung polifenol, tanin, triterpen, saponin dan sterol.
27
Tangkai bunga, bunga dan daun mengandung minyak atsiri dengan eugenol
sebagai kandungan utama yang dapat mencapai 70-93 persen. Komponen
minyak atsiri lainnya adalah eugenol asetat, kariofilen, metil n-amin keton,
seskuiterpenol dan naftalena (Ketaren, 1985). Menurut Hegnauer (1969),
buah mengandung 10% gallotannin-ellagitannin. Bunga dan buah
mengandung pigmen utama glikosida rhamnosianidin, 0,1% asam ellagat,
quersetin, isoquersetin, kaemferol dan mirsetin. Bunga mengandung asam
oleanolat.
Tanaman cengkeh (Eugenia aromatica O.K.) atau disebut juga
Syzygium aromaticum termasuk dalam suku Myrtaceae. Daunnya bundar
telur sungsang, dan daun yang masih muda berwarna merah jambu kekuning-
kuningan, buahnya berupa buah buni, berbentuk lonjong dan berwarna merah
tua (Ketaren,1985).
Daun yang layu dan pada akhirnya gugur akan mengalami kehilangan
klorofil, jumlah protein, proses fotosintesis dan respirasi menurun sehingga
mengakibatkan mitokondria rusak dan produksi ATP menurun, serta
permeabilitas membran yang juga menurun sehingga jaringan melemah
(Salisbury & Ross, 1995). Ketika daun itu gugur, hanya proses peruraian
yang terjadi (katabolisme) karena enzim tertentu dalam sel masih dapat
bekerja menguraikan senyawa aktif sesaat setelah sel mati dan selama bahan
simplisia tersebut masih mengandung kadar air tertentu, sedangkan pada
tumbuhan yang masih hidup reaksi enzimatik yang merusak itu tidak terjadi
karena adanya keseimbangan antara proses-proses metabolisme, yaitu
28
anabolisme dan katabolisme (Depkes RI, 1985). Jadi, adanya perubahan
komposisi senyawa penyusun minyak atsiri daun cengkeh petik dan daun
cengkeh gugur kemungkinan dapat disebabkan karena adanya proses
peruraian (katabolisme) oleh enzim tertentu akibat adanya kadar air tertentu.
7. Minyak Cengkeh
Tanaman cengkeh mempunyai sifat khas karena semua bagian pohon
mengandung minyak, mulai dari akar, batang, daun sampai bunga.
Kandungan minyak cengkeh pada bagian-bagian tanaman tersebut bervariasi
jumlahnya namun kadar minyak yang paling tinggi terdapat pada bagian
bunga (Ketaren, 1985).
Minyak daun cengkeh umumnya mengandung jumlah eugenol lebih
sedikit bila dibandingkan dengan minyak bunga cengkeh. Eugenol merupakan
persenyawaan yang paling penting di dalam minyak cengkeh dan jumlahnya
dapat mencapai 84-88,5% (daun cengkeh yang berasal dari Madagaskar).
Eugenol bersifat mudah menguap, tidak berwarna atau berwarna agak kuning
dan mempunyai rasa getir (Ketaren, 1985).
Eugenol (C10H12O2), dikenal dengan nama IUPAC 2-metoksi-4-(2-
propenil)fenol. Berupa cairan tidak berwarna atau berwarna kuning
pucat.Dapat berubah menjadi lebih gelap dan mengental saat terkena udara.
Pemberi rasa pedas pada cengkeh.. Praktis tidak larut dalam air, mudah
larutdalam alkohol, kloroform, eter, minyak (Budavariet al., 1996).
29
Rumus : C10H12O2
Berat molekul : 164,20
Massa molar : 164,2 g/mol
Titik lebur : -9,2°C sampai – 9,1°C
Indeks bias 20oC : 1,5410
Kerapatan 20oC : 1,0664
(Budavari et al., 1996)
Gambar 7. Struktur kimia eugenol (Calvero, 2007)
Minyak cengkeh berwarna kuning atau tidak berwarna, berbentuk cair,
dan warna menjadi lebih gelap akibat penyimpanan. Kerusakan minyak atsiri
umumnya disebabkan oksidasi yang terjadi pada ikatan tidak jenuh (Ketaren,
1985). Minyak cengkeh mempunyai sifat iritatif, oleh karena itu
penggunaannya sebaiknya dilakukan dengan hati-hati (Price & Price, 1997).
Golongan fenilpropanoid, yaitu fenilpropena berperan penting dalam
bau dan cita rasa minyak atsiri tumbuhan. Biasanya fenilpropena terdapat
dalam fraksi „minyak atsiri‟ jaringan tumbuhan, bersama-sama dengan
terpena minyak atsiri. Keduanya larut dalam lemak, jadi berbeda dengan
30
kebanyakan senyawa fenol. Beberapa senyawa tersebar luas, seperti
eugenol(Harborne, 1987).
Eugenol sudah terbukti sebagai antijamur, antiseptik dan antiserangga
sehingga sangat efektif jika digunakan sebagai bahan obat gosok (lotion)
pengusir nyamuk (Kardinan, 2005 cit Mangili, 2011).
Menurut analisis komponen minyak atsiri oleh Agusta (2000), daun
cengkeh mengandung sekitar 2,79% minyak atsiri dengan komposisi kopaena
(0,14), kiselina valerova (0,40), isokariofilena (15,00), α-kariofilena (1,02),
azulena (0,03), metil salisilat (0,13), 3,3,7,7-tetrametil-5-(2-metil-1-propenil-
1)-trisiklo4.1.0.02.4-heptana (0,07), benzena metanol (0,03), patchulana
(0,04), 5-furfuril alkohol (0,04), benzil alkohol (0,08), eugenol (82,13),
eugenol asetat (0,64), trans-2-isopropilbisiklo-4.3.0-non-3-ena-8-on (0,25).
Minyak cengkeh mengandung senyawa keton yaitu metil-n-amil
keton, metil-n-heptil keton, trans-2-isopropilbisiklo-4.3.0-non-3-ena-8-on dan
senyawa aldehid seperti valeraldehid dan vanilin dalam jumlah yang kecil
(Guenther, 1990).
Hasil analisis secara KG-SM oleh Purnamasari (2009) menunjukkan
bahwa minyak atsiri daun cengkeh gugur tersusun atas 4 komponen senyawa
kimia yang teridentifikasi sebagai eugenol, β-kariofilen, α-humulen dan α-
kubeben.
31
eugenol asetat α-kariofilen β-kariofilen
α-kubeben benzil alkohol isokariofilen
5-furfuril alkohol
Gambar 8. Struktur senyawa komponen minyak atsiri daun cengkeh (Gunawan & Mulyani,
2004; Wiryowidagdo, 2007)
Minyak cengkeh mengandung minyak atsiri dengan komponen
utamanya eugenol, dapat berfungsi sebagai repelan dengan cara menyumbat
pori-pori sensilla yang merupakan reseptor asam laktat pada antena nyamuk
sehingga mencegah nyamuk mendekati kulit yang diolesi minyak cengkeh
(Trongtokit et al., 2005 cit Mangili, 2011).
32
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agnes (2008), minyak daun
cengkeh yang diformulasi dengan minyak wijen dalam sediaan elektrik cair
dengan kadar minyak daun cengkeh sebesar 70% memiliki aktivitas repelan
terhadap nyamuk Ae. aegypti sebesar 95,33±0,94%. Penelitian Mangili
(2011) menunjukkan bahwa minyak cengkeh dengan kadar 25%, 50% dan
100% berefek repelan terhadap nyamuk Aedes sp, makin tinggi kadar minyak
cengkeh yang digunakan maka potensinya makin meningkat.
8. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut
oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari
dua fase, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dengan
arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas
disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap,
ukuran molekul atau kerapatan muatan ion (Depkes RI, 2008).
Pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT), zat penjerap merupakan
lapisan tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau
logam secara merata, umumnya digunakan lempeng kaca. Lempeng yang
dilapisi dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan
yang tercapai dapat didasarkan pada adsorpsi, partisi, atau kombinasi kedua
efek, yang tergantung dari jenis lempeng, cara pembuatan, dan jenis pelarut
yang digunakan. Kromatografi Lapis Tipis dengan lapis tipis penukar ion
dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Perkiraan identifikasi
33
diperoleh dengan pengamatan bercak dengan harga Rf yang identik dan
ukuran yang hampir sama, dengan menotolkan bahan uji dan pembanding
pada lempeng yang sama. Rf adalah jarak yang ditempuh oleh senyawa dari
titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal.
Pembandingan visual ukuran bercak dapat digunakan untuk memperkirakan
kadar secara semi kuantitatif. Pengukuran kuantitatif dimungkinkan, bila
digunakan densitometer, atau bercak dapat dikerok dari lempeng, kemudian
diekstraksi dengan pelarut yang sesuai dan diukur secara spektrofotometri.
Pada KLT dua dimensi, lempeng yang telah dikembangkan diputar 90o dan
dikembangkan lagi, umumnya menggunakan bejana lain yang dijenuhkan
dengan sistem pelarut yang berbeda (Depkes RI, 2008).
Menurut Wagner& Bladt (1996) dan Sutrisno (1986), deteksi bercak
KLT dapat dilakukan secara :
a. Kimia
Deteksi ini dilakukan dengan cara mereaksikan bercak dengan
suatu pereaksi melalui penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas.
Beberapa contoh pereaksi semprot adalah sebagai berikut :
1) 2,4-dinitrophenylhydrazine
Digunakan untuk mendeteksi senyawa yang mempunyai gugus
aldehid atau keton. Reagen 2,4-dinitrophenylhydrazine ini akan
memberikan bercak warna biru jika bereaksi dengan keton jenuh, dan
memberikan bercak warna hijau zaitun ketika bereaksi dengan aldehid
jenuh. Jika bereaksi dengan senyawa karbonil tidak jenuh, maka hanya
34
akan memberikan sedikit perubahan warna atau sama sekali tidak
berubah.
2) Besi (III) Klorida
Digunakan untuk mendeteksi asam hidroksamat dan fenol.
Asam hidroksamat berupa bercak merah, sedangkan fenol berupa
bercak biru atau kehijauan.
3) Anisaldehida-AsamSulfat
Digunakan untuk mendeteksi komponen minyak atsiri. Setelah
disemprot, lempeng dipanaskan pada suhu 100oC selama 5-10 menit
dalam oven. Diamati dalam sinar tampak dan/atau UV 366 nm. Hasil
positif yang ditunjukkan oleh komponen minyak atsiri yaitu muncul
bercak warna biru, hijau, merah, dan coklat. Pereaksi ini terbatas
keawetannya, bila warna sudah menjadi merah ungu, maka tidak boleh
dipakai lagi.
b. Fisika
Deteksi ini dapat digunakan untuk bercak dengan cara penyerapan
di daerah sinar ultra violet (UV) gelombang pendek (254 nm) atau
fluoresensi radiasi UV gelombang pendek dan/atau gelombang panjang
(365 nm). Senyawa yang mempunyai dua ikatan rangkap atau lebih dan
senyawa aromatik, misalnya turunan benzena, mempunyai serapan yang
kuat di daerah 230-300 nm. Agar senyawa ini dapat dideteksi pada plat,
suatu indikator fluoresensi (F254) ditambahkan pada penjerap yang
menghasilkan fluoresensi kuat di daerah UV 254 nm. Senyawa tersebut
35
dapat memadamkan fluoresensi itu sehinggs tampak sebagai bercak gelap
pada latar belakang yang berfluoresensi kuning-hijau (Stahl, 1985). Cara
deteksi ini digunakan untuk mendeteksi derivat fenilpropan (contohnya
anetol, safrol, eugenol, apiol) dan senyawa seperti timol dan
piperiton.Eugenol terdeteksi dengan munculnya pemadaman pada hRf 60-
65. Sedangkan pada UV 366 terpenoid dan propilfenoltidak mempunyai
fluoresensi yang khas (Wagner & Bladt, 1996).
9. Metoda Mikrodestilasi Tanur TAS
Banyak senyawa organik dan anorganik menguap pada suhu yang
dinaikkan sehingga dapat dipisahkan dari cuplikan. Sudah lebih dari lima
puluh tahun beberapa „obat‟ dimikrosublimasi dan diidentifikasi berdasarkan
parameter kristalografi, titik leleh, dan/atau sifat kimia. Suatu contoh klasik
ialah sublimasi kafeina dari obat alam. Pada kasus paling sederhana, beberapa
miligram serbuk obat dipanaskan pada kaca objek dan sublimatnya
dikumpulkan pada kaca objek kedua yang terdapat di atas kaca objek
pertama, berjarak kira-kira 1 mm. Bila teknik mikropemisahan termal yang
demikian itu digabung dengan suatu teknik pengalihan dan penotolan, diikuti
dengan kromatografi lapis tipis, hasilnya adalah metoda mikrodestilasi tanur
TAS (Stahl, 1985).
Seperti pada metoda analisis lain, kondisi kerja yang optimum harus
dicari melalui percobaan. Data yang diperoleh harus dicatat dalam bentuk dan
urutan berikut, misalnya :
36
a. Jumlah sampel yang dimasukkan ke dalam pipa kaca (mg)
b. Sifat dan jumlah zat pembawa yang ditambahkan
c. Penyetelan suhu tanur/oven
d. Waktu huni pipa kaca yang berisi cuplikan di dalam tanur
Persyaratan untuk suatu obat dinyatakan seperti contoh berikut. TAS :
25 mg serbuk obat XY, 15 mg gel merah muda yang mengandung air 20 %,
220oC, 90 detik (Stahl, 1985).
Gambar 9. Alat Tanur TAS
F. Landasan Teori
Nyamuk Ae. aegypti, sebagai serangga vektor penyebar penyakit demam
berdarah masih menjadi sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang sudah ada, minyak cengkeh dengan kadar 25%, 50%
dan 100% berefek repelan terhadap nyamuk Aedes sp. Minyak cengkeh
mengandung minyak atsiri dengan komponen utamanya eugenol, dapat berfungsi
sebagai repelan dengan cara menyumbat pori-pori sensilla yang merupakan
reseptor asam laktat pada antena nyamuk sehingga mencegah nyamuk mendekati
kulit yang diolesi minyak cengkeh. Penelitian lain juga membuktikan bahwa
37
minyak daun cengkeh kadar 70% yang diformulasi dengan minyak wijen dalam
sediaan elektrik cair dan serbuk daun cengkeh kadar 10% (mengandung minyak
0,3%)yang diformulasi dalam bentuk sediaan insence combustible memiliki
aktivitas repelan. Oleh karena itu, minyak atsiri daun cengkehberpotensi
memberikan efek repelan pula terhadap nyamuk Ae. aegypti dalam sediaan obat
nyamuk bakar atau insence combustible.
G. Hipotesis
Minyak atsiri daun cengkeh yang mengandung eugenol dapat
diformulasikan dalam bentuk sediaan insence combustible yang dapat digunakan
sebagai repelan alami terhadap nyamuk Ae. aegypti, dan kadar efektifnya dapat
ditentukan.
38